Perampasan Tanah untuk Pembangunan
Sumber matanews.com
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
www.elsam.or.id
daftar isi
editorial.............................................................................04 Ancaman Itu Bernama Perampasan Merespon wajah buram praktek perampasan dan konsolidasi kontrol lahan di atas segelintir kelompok, salah satu badan PBB menyerukan satu standard norma baru yang diadopsi di tahun ini, di Roma. Panduan yang dikenal sebagai panduan sukarela untuk tatakelola tenurial yang bertanggungjawab itu merincikan seperangkat norma baru untuk mengembalikan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan akses terhadap lahan.
laporan utama.................................................. 05-16 Sumber matanews.com
daerah .......................................20-22 Memperjuangkan Jakarta Baru: Membuka Ruang dan Kesempatan bagi Pemajuan HAM
Dalam konteks birokrasi dan kepemerintahan, Jokowi-Basuki telah menunjukkan komitmennya akan pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik. Jokowi tak ragu membuka kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempercepat pembenahan sistem pengelolaan keuangan di Pemprov DKI.
resensi........................................23-24 Dibutuhkan Improve The Will!
Resensi buku The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia karya Tania Murray Li. Buku ini dengan apik menggunakan kerangka pemikiran Michel Foucault tentang govermentality (kepengaturan) yang ringkasnya merupakan “pengarahan perilaku” yang bekerja dengan mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan..
MP3EI, Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Laju Kehancuran
Sejak dimulainya pencanangan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau disingkat MP3EI pada 27 Mei 2011, masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi pembangunan besar-besaran yang difokuskan pada beberapa sektor seperti pangan, energi, dan infrastruktur. Apakah MP3EI? Mengapa ia ada? Apa konsekuensinya?
Landgrabbing di Sumatera Utara Penjarahan tanah atau umum disebut landgrabbing dimaknai sebagai pelepasan tanah karena kehadiran investasi yang membutuhkan tanah skala luas, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu perebutan sumberdaya dan konflik tanah yang tidak terelakkan, berujung pelanggaran hak asasi manusia karena ketidakseimbangan antara kekuatan kapital versus masyarakat lokal yang rentan di dalam pasar yang didesain liberal.
Sukabumi-Bogor dalam Genggaman Pengusaha Besar Pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi yang kemudian disingkat Bocimi merupakan salah satu mega proyek yang dibangun Pemerintah Republik Indonesia di Jawa bagian Barat dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) periode 2011 - 2025.
Kemenangan Kecil di Rawa Tripa Putusan PTTUN Medan atas kasus PT. Kalista Alam merupakan salah satu kemenangan kecil terhadap perlawanan ekspansi sawit yang menggerus kawasan hutan. Keputusan ini juga menjadi bukti bahwa penegakan hukum atas upaya penyelamatan lingkungan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan diharapkan bisa menjadi sebuah momentum dalam penegakan hukum secara lebih luas.
nasional.....................................17-19 Mengkritisi RUU Ormas dan Potensi Pelanggaran HAM Terhitung sejak tahun 2006, Pemerintah gencar menggolkan RUU Ormas yang ternyata mendapat dukungan beberapa agensi asing yang berkepentingan terhadap pengontrolan organisasi masyarakat sipil. Tercatat ada tiga agensi asing yang terlibat memfasilitasi proses revisi UU Ormas.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
dari redaksi
www.elsam.or.id
Redaksional Penanggung Jawab: Indriaswati Dyah Saptaningrum Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto Redaktur Pelaksana: Widiyanto Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman Staf Litbang:
Mohamad Zaki Hussein
LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM) Jl Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Telp: 021 797 2662 / 7919 2564, Fax: 021 7919 2519 Website: www.elsam.or.id Email:
[email protected] Facebook: www.facebook.com/perkumpulanelsam Twitter: @elsamnews @ElsamLibrary
Redaktur: Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penerbitan didukung oleh: Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail:
[email protected],
[email protected] Website: www.elsam.or.id. Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat CIMB Niaga No. 064.01.05455.007.
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
editorial
Ancaman Itu Bernama Perampasan
T
anah selalu punya tempat khusus bagi tiap komunitas. Di Jawa dikenal pepatah “Sadumuk Bathuk, sanyari bumi, den labuhi lutahing ludiro lan ditohi pati” yang kurang lebih berarti, meski hanya seujung dahi dan sejari bumi, (tanah) akan dibela sampai mati. Ungkapan itu secara cermat menggambarkan kedalaman kosmis relasi manusia dan tanah. Tak melulu di Jawa, ungkapan serupa dalam bahasa daerah yang berbeda ditemukan hampir diseluruh kepulauan nusantara, dari Bugis, sampai Papua. Bila melongok lebih jauh dan teliti, serangkaian ritual adat dilekatkan dengan tanah dan fungsi produktif tanah untuk pendukung kehidupan dari pedalaman Kalimantan, Nusa tenggara, Aceh dan Papua, semua makin menegaskan hubungan khusus yang dimiliki komunitas dengan tanah yang dipijaknya. Pola tersebut memperoleh tantangan pertamanya dengan adanya gagasan pembangunan dan modernisasi pertanian, dimana tanah menjadi bagian sentral dari aset dan properti dan dengan sendirinya menjadi subyek dari kebijakan modernisasi ekonomi. Gelombang lain adalah fenomena perampasan tanah atau dikenal sebagai ‘land-grabbing’ yang mulai menyeruak di paruh delapanpuluhan, diawali dengan keprihatinan atas ekspansi aktor-aktor seperti Saudi Arabia, dan Korea Selatan yang melakukan ekspansi penguasaan lahan di sebagaian Afrika untuk kepentingan ketahanan pangan negaranya. Fenomena ini segera berkembang luas dengan hadirnya makin banyak pemain dengan berbagai alasan yang berbeda, seperti meningkatnya tuntutan akan bahan bakar yang ramah lingkungan ( bio-fuel). Suatu paradok baru telah lahir dimana gagasan pelestarian lingkungan dilakukan di atas perubahan tata lingkungan yang masif yang melibatkan praktek perampasan jutaan hektar lahan dan terkadang kekerasan yang berujung hilangnya nyawa dari ribuan komunitas lokal dan masyarakat adat di berbagai tempat, mulai dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fenomena ini bukanlah isapan jempol atau jargon pamphlet propaganda. Seperti diuraikan dalam narasi laporan utama di halaman-halaman Asasi ini, narasi itu dibangun dari tuturan yang berserak yang dialami berbagai komunitas baik yang lahannya raib atas nama perluasan lahan untuk komoditi kelapa sawit, area sasaran untuk pengembangan produksi pangan (food-estate), ataupun area pengembangan dan percepatan kawasan ekonomi terpadu ( sering dirujuk dengan kebijakan MP3EI). Nama boleh berbedabeda, tapi realitas yang dialami masyarakat lokal mewujud dalam wajah yang sama, dimana mereka menemukan lahan mereka tiba-tiba terenggut dari kontrol dan penguasaan mereka. Dalam banyak kasus, tak melulu entitas privat yang mereka hadapi, tapi juga perangkat negara dan entitas negara.
4
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Dalam wajah mutakhirnya, perampasan tanah, tak melulu berarti memindahkan kepemilikan, tapi juga juga secara mendasar berisi upaya memindah kontrol atas akses terhadap lahan. Sehingga meski berwajah negara dan atas nama kepentingan publik dan pembangunan, kita musti menyimpan tanya atas kemungkinan kontrak konsesi pada pihak ketiga (baca swasta) di baliknya. Hampir seluruh pengalihan kontrol lahan meski dilakukan langsung oleh entitas negara seperti proyek MIFEE di Papua, tetap berujung pada lahirnya berbagai konsesi pada entitas bisnis. Membilang lahan dalam kisaran juta dan memberikan konsesi pada satu entitas bisnis mungkin terdengar ganjil belasan tahun lalu, tapi menjadi normalitas baru bagi pemerintah di saat sekarang, seolah di atas lahan jutaan hektar tak ada manusia dan komunitas yang hidup. Praktek perampasan ini dalam berbagai kasus memberikan gambaran konspirasi jahat yang sempurna antara negara dan bisnis di hadapan ratusan wajah putus asa dan aliran darah masyarakat lokal yang berontak menuntut haknya. Merespon wajah buram praktek perampasan dan konsolidasi kontrol lahan di atas segelintir kelompok inilah, salah satu badan PBB menyerukan satu standard norma baru yang diadopsi di tahun ini, di Roma. Panduan yang dikenal sebagai panduan sukarela untuk tatakelola tenurial yang bertanggungjawab itu merincikan seperangkat norma baru untuk mengembalikan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan akses terhadap lahan, sebagai sumber kehidupan. Sebagai suatu standard norma, panduan itu merefleksikan pembacaan yang baik atas masalah-masalah kontemporer yang telah diuraikan di atas, dan menawarkan serangkaian prinsip-prinsip praktis yang diharapkan dapat diterapkan di semua negara dalam berbagai konteks nasional yang berbeda. Satu yang pasti, lahirnya panduan ini bertujuan untuk mengembalikan kewajiban negara melindungan akses dan kontrol komunitas atas tanah sebagai bagian krusial dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya, sudah saatnya panduan itu mendukung perjuangan berbagai masyarakat lokal untuk menagih janji pemerintah dalam melaksanakan kewajiban konstitusional dalam perlindungan HAM. Indriaswati D. Saptaningrum Direktur Eksekutif ELSAM
laporan utama
MP3EI, Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Laju Kehancuran Oleh Siti Rakhma Mary (Koordinator Program Hukum dan Resolusi Konflik HuMa)
“Saya mengundang Anda sebagai mitra kami untuk melaksanakan rencana tersebut. Kami telah mengembangkan skema public-private partnership untuk memfasilitasi minat investasi Anda. Ini adalah kerangka win-win. Di satu sisi, Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari investasi dan kerjasama dengan Anda. Di sisi lain, investasi Anda akan kembali dan tumbuh”.1 (Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di APEC CEO Summit 2012, Far Eastern Federal University, Vladivostok, Russky Island, Rusia, 8 September 2012)
Latar belakang MP3EI ejak dimulainya pencanangan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau disingkat MP3EI pada 27 Mei 2011, masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi pembangunan besarbesaran yang difokuskan pada beberapa sektor seperti pangan, energi, dan infrastruktur. Apakah MP3EI? Mengapa ia ada? Apa konsekuensinya? MP3EI bisa diartikan sebagai salah satu bagian dari rencana pembangunan jangka panjang Indonesia. Landasan hukumnya adalah Perpres No. 32 tahun 2011. Pasal 1 ayat 2 Perpres ini menyebutkan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak 2011 sampai 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, dan melengkapi dokumen perencanaan yang ada.2 Untuk mendukung penguatan MP3EI, Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang antara lain mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres No. 26 tahun 2012. Dalam lampiran Perpres itu, disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya peran Indonesia dalam perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di dunia. Karena itu Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum global dan regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Lebih lanjut dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga internasional. Sementara itu, keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil
S
pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.3 Luas kawasan terbesar, penduduk terbanyak dan sumber daya alam terkaya menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara. Menurut dokumen ini, Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global.4 MP3EI dan ASEAN connectivity: meluasnya jaringan kapital Nyatanya, keberadaan MP3EI tak terlepas dari peran negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan Asian Development Bank (ADB), menyiapkan dana besar untuk mendukung proyekproyek infrastruktur.5 Sebelum pertemuan APEC di Rusia, pertemuan internasional negara-negara anggota G20 telah menjadikan infrastruktur sebagai fokus perundingan. G20 ingin menerapkan skema penyediaan dan pembiayaan infrastruktur dalam rangka menolong krisis. Pertemuan APEC di Rusia kemudian menyepakati bahwa akselerasi investasi infrastruktur adalah strategi penting untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan di Asia Pasifik.6 APEC beranggotakan 21 negara dan lembaga keuangan internasional seperti ADB, WB, dan insitusi-institusi bisnis lainnya.7 Bisa dikatakan bahwa inisiatif-inisiatif untuk membuka peluang investasi global secara lebih luas melalui pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang didengungkan dalam pertemuan APEC, G20, dan ASEAN berjalan seiring. Tetapi, ide tentang konektivitas ASEAN ini pertama kali diusulkan oleh Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva pada pembukaan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-42 pada 20 Juli 2009 di Thailand. Ia mengatakan bahwa community of connectivity ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
5
(keterhubungan komunitas) dimana semua barang, orang, investasi dan inisiatif bisa berjalan tanpa hambatan, seharusnya menjadi tujuan ASEAN tahun 2015. Usulan Abhisit tersebut ditindaklanjuti dalam beberapa pertemuan ASEAN selanjutnya. Pada 24 Oktober 2009, para pemimpin ASEAN merancang Master plan on ASEAN connectivity yang kemudian disepakati dalam KTT ASEAN Ke-17 di Hanoi, Vietnam, pada 28 Oktober 2010. Master plan ini adalah dokumen strategis untuk ASEAN connectivity dan rencana aksi 2011-2015 untuk menghubungkan ASEAN melalui pembangunan infrastruktur fisik, konektivitas institusional dan konektivitas orang.8 Mengapa konektivitas penting bagi negara ASEAN? Karena ASEAN adalah pasar 573 juta orang, dengan daya beli yang cenderung meningkat. Sedangkan Indonesia adalah pusat pertumbuhan ASEAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,50%, Singapore 6,10%, Malaysia 5,80%, China 5,80%, Thailand 3,50% dan Filipina 3,20%. Dengan demikian, ASEAN community akan menyediakan pasar lebih besar, lebih efektif, dan kompetitif. Apalagi total perdagangan ASEAN sedang naik, dari 17,4 triliun ASD ke 72,3 triliun pada 2010.9 Potensi ASEAN inilah yang kemudian dilirik oleh negara-negara maju dan lembagalembaga keuangan internasional. Apalagi dengan krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa, lembagalembaga tersebut memandang ASEAN sebagai pasar yang menjanjikan untuk ekspansi modal mereka. Keterkaitan MP3EI dengan perekonomian ASEAN rupanya menemukan benang merahnya. Duta Besar RI mengatakan bahwa integrasi hanya dapat dilakukan jika ASEAN inter dan intraconnectivity dapat tercipta, sehingga perpindahan barang, orang, dan jasa dapat dilakukan dengan cepat, murah dan leluasa. Untuk itu negaranegara kepulauan di ASEAN perlu menggalakkan pembangunan infrastruktur darat, laut, dan udaranya guna menunjang integrasi antar sesama negara ASEAN serta antar negara ASEAN dengan kawasan dan dunia.10 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Presiden SBY bahwa perbaikan infrastruktur di Indonesia akan meningkatkan konektivitas ASEAN dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi di lingkup APEC dan dunia. Pemerintah mencontohkan proyek MP3EI kerjasama dengan negara-negara ASEAN diantaranya adalah Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT – GT) juga tercantum dalam Koridor Ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan contoh kerjasama: jaringan listrik ASEAN yang dinamai ASEAN Power Grid yang berkapasitas 600 MW antara Semenanjung Malaka, Malaysia, dan Pulau Sumatera dan menjadi bagian dari Proyek Melaka – Pekanbaru Interconnection dalam program kerjasama subregional IMT – GT11
6
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Dari rumusan lampiran Perpres No.32 tahun 2011 di atas, terlihat betapa Pemerintah menginginkan Indonesia menjadi negara maju dengan cepat. Itulah mengapa masterplan ini menggunakan pendekatan percepatan transformasi ekonomi, bukan pendekatan business as usual. Masterplan ini menggunakan slogan: locally integrated, globally connected. Ia menggunakan pendekatan spasial, membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-Maluku. Masing-masing koridor ekonomi memiliki tema sesuai dengan potensinya: koridor Ekonomi Sumatera sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”; Koridor Ekonomi Jawa sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”; Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”; Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”; Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional; dan Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”. MP3EI ini terfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Pengembangan kawasan dengan penentuan koridor-koridor tersebut menurut Pemerintah dapat memberi dampak spill over (melampaui batas) dan mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan sekitarnya secara lebih cepat.12 Memisahkan pulau, mengambil untung Sekilas, tak ada masalah dengan penentuan koridor. Bahkan bisa jadi, hal ini dianggap sebagai kecerdasan Pemerintah merencanakan pembangunan. Namun, bila dibaca secara kritis, pemisahan pulau-pulau besar menjadi enam koridor itu adalah bentuk baru pengkonsentrasian wilayahwilayah untuk dieksploitasi para pemilik modal. Tujuannya hanya satu: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Memang sebelum ada masterplan tersebut, para pemilik modal telah mengeksploitir berbagai jenis sumberdaya alam di seluruh Nusantara. Namun dengan MP3EI, Pemerintah membantu para investor menemukan daerah-daerah baru dengan kekhususan masing-masing. Dengan membagi-bagi Nusantara menjadi enam koridor tersebut, terjadilah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Penentuan lokasi-lokasi tertentu untuk proyek tanaman monokultur juga kian melanggengkan kerusakan lingkungan. Penetapan masterplan yang memilih wilayah-wilayah tertentu dengan sumberdaya tertentu itu dilakukan sepihak.
laporan utama Masyarakat tak pernah dimintai pendapat. Tak ada persetujuan sebagaimana prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Proyek besar ini, hanya diputuskan sepihak oleh pemerintah yang mengklaim telah melakukan penelitian akan potensi sumberdaya alam di enam koridor tersebut.13 Padahal proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah-wilayah proyek. Mereka berdiam di atas tanah-tanah adat atau ulayat. Walhasil, Pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat hukum adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut. Dalam kasus MIFEE di Merauke, proses mendapatkan tanah adat dilakukan investor dan Pemerintah dengan tipu daya.14 Politik pecah belah Proyek-proyek MP3EI pada gilirannya akan mematikan berbagai potensi budidaya tanaman pangan dan jenis-jenis pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja pada masing-masing pulau atau wilayah itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan perkebunan-perkebunan sawit atau pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya pekerjaan masyarakat lokal dari berladang atau bertani menjadi buruh perkebunan atau pertambangan. Apalagi jika tanah mereka telah hilang diambil pemilik modal untuk dijadikan perkebunan atau pertambangan, mereka tak punya pilihan lain selain bekerja di proyek tersebut. Tetapi penggunaan tenaga kerja dari masyarakat lokal biasanya terbatas. Perusahaan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, persis ketika Belanda mendatangkan kuli-kuli dari Jawa ke perkebunan-perkebunan di Sumatera pada masa kolonial.15 Pembukaan proyek-proyek infrastruktur juga telah membuat orang beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh di perkotaan. Masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang sejak awal telah mengelola tanah dan sumber daya alamnya, tak bisa masuk dalam skema megaproyek tersebut. Selain persoalan budaya, juga karena tak memiliki modal ekonomi dan tenaga kerja untuk membentuk daerahnya sesuai tema MP3EI. Sehingga, alih-alih mengintegrasikan kekuatan lokal sesuai slogan, pemerintah justru mempraktekkan politik pecahbelah dan kuasai (devide et impera). Melancarkan perampasan tanah melalui regulasi Untuk mewujudkan MP3EI, Pemerintah memerlukan dana sekitar Rp. 4.500 trilliun yang 35% di antaranya diperoleh dari pihak swasta. Nyatanya, Pemerintah tak memiliki uang sebanyak ini. Mereka lalu berusaha menggaet para investor dari luar negeri di berbagai kesempatan. Selain para investor ASEAN, pemerintah juga mengundang investor Amerika Serikat, Rusia, dan Australia. Mereka akan menanamkan modalnya di proyekproyek tersebut, termasuk proyek infrastruktur.
Penyediaan infrastruktur yang seharusnya merupakan tanggung jawab Pemerintah, dikerjasamakan antara Pemerintah dengan pengusaha, bahkan Pemerintah memandang perlu mengembangkan pembiayaan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha. Untuk mendukungnya, Pemerintah menjanjikan kemudahan-kemudahan dan insentif seperti bea masuk, pajak, perijinan, dan aturan ketenagakerjaan. Masa konsesi bagi swasta pun diperlama, seperti pengelola jalan tol yang kini masa konsesinya menjadi 40 tahun, dari 30-35 tahun sebelumnya. Peran pemerintah adalah menyediakan regulasi untuk mempermudah pengusaha menanamkan investasinya. Hal ini ditempuh karena pelaksanaan MP3EI terhambat oleh beberapa peraturan, masalah perijinan, keberadaan lahan, dan rencana tata ruang. Peraturan-peraturan yang dipandang menghambat adalah di bidang pertanahan, kehutanan, dan tata ruang. Perpres No. 32 tahun 2011 mengamanatkan perbaikan 28 aturan yang dapat menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru untuk mempercepat dan memperluas investasi. Aturan yang harus diperbaiki tersebut terdiri atas tujuh UU, tujuh Peraturan Pemerintah, enam Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan Menteri, dan ditargetkan selesai pada akhir tahun 2011.16 Salah satu aturan yang dibuat adalah UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah dilakukan melaui musyawarah, tetapi jika tak ada kesepakatan, maka pemerintah akan menitipkan ganti rugi untuk si pemilik tanah itu di pengadilan. Beberapa aturan lain untuk memperlancar investasi adalah: PP No. 52/2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu atau di Daerah Tertentu, Perpres No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ketiga, Perpres No.28/2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Keempat, penerbitan peraturan perundang-undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur. Hasilnya adalah diterbitkannya: 1). Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata (Makassar, Sungguminasa, dan Takalar) 2). Perpres No. 88/2011 tentang RTR Sulawesi 3). Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat 4). Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.17 Hukum negara versus hukum adat Pemberlakuan hukum negara di wilayah-wilayah adat seringkali mengakibatkan benturan antara ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
7
hukum negara dengan hukum adat. Sebelum pelaksanaan MP3EI pun, telah banyak terjadi konflik antara hukum adat dengan hukum negara. Contohnya pada 2009, masyarakat adat di kampung Pelaik Keruap, Kalimantan Barat memberlakukan hukum adat kepada sebuah perusahaan yang melakukan survey tambang batubara di wilayah hutan adat secara sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui masyarakat dan dikenai hukum adat. Namun masyarakat mengetahuinya dan mereka memberlakukan hukum adat. Tetapi mereka yang memberlakukan hukum adat itu justru dipenjara. Pelaksanaan MP3EI akan meningkatkan intensitas konflik macam ini. Apalagi ketika hukum adat banyak diingkari oleh Pemerintah. Akibat dari pengingkaran ini adalah perampasan-perampasan tanah di seluruh penjuru. Sampai saat ini saja, pemberian ijin-ijin lokasi dan konsesi untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, dan hutan, telah merampas hak-hak hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat. Beberapa konflik agraria telah muncul berkenaan dengan pelaksanaan MP3EI ini diantaranya: kasus PT DH Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, KPI Sei Mangke, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, PLTU Batang Jawa Tengah, PT Bukit Asam-perluasan Bangko Tengah, Pertambangan di Sulawesi, dan Smelter di Kalimantan Selatan,18 kasus perluasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol SemarangSolo. Penutup: membuat kemajuan dengan menghancurkan MP3EI rupanya bukan desain bagi kemajuan seluruh masyarakat Indonesia, tetapi hanya menguntungkan mereka yang disebut pemilik modal, baik pemodal dalam negeri maupun asing. Secara keseluruhan, proyek ini justru membawa kesengsaraan bagi masyarakat dan lingkungan. Bila lingkungan rusak oleh tanaman-tanaman monokultur dan aktivitas ekstraktif yang rutin, maka alam akan hancur. Kerusakan lingkungan akan berdampak pada masyarakat sekitar dan lingkungan global. Pertama, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah proyek, MP3EI berdampak pada hilangnya kemajemukan dan potensi budidaya tanaman. Kedua, terjadi spesialisasi tenaga kerja. Ketiga, konflik antara hukum adat dan hukum negara. Kesemuanya itu mengakibatkan konflik agraria merebak di beberapa daerah. Pemerintah telah memfasilitasi masuknya pemilik modal mulai dari desain kebijakan, perbaikan dan pembuatan regulasi, sampai teknis mendapatkan tanah di lapangan. Namun, pada akhirnya MP3EI tak lebih sebagai megaproyek
8
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
menghancurkan sumber-sumber penghidupan dan memiskinkan masyarakat lokal.
Keterangan 1 2
3 4 5 6 7 8
9
10 11 12
13 14
15 16 17 18
http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 11 September 2012, Presiden Undang Investor APEC Sukseskan MP3EI Dokumen perencanaan tersebut: Sistem Perencanaan dan Penganggaran dalam UU Nomor 25 tahun 2004 dan UU Nomor 17 tahun 2003, RPJPN 2005-2025, RPJMN 2014, RKP, RAN GRK, REDD, RTRWN, RTRW Pulau, serta RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota) Lampiran Perpres No. 32 tahun 2011 hal 1. Lampiran Perpres No. 32 tahun 2011, hal 4. Salamuddin Daeng, Manipulasi Kapitalisme atas Krisis Infrastruktur, artikel dalam Jurnal Free Trade Watch, IGJ, Jakarta, edisi Oktober 2012, hal 6 Ibid, hal 7 Ibid, hal 7 Siswo Pramono et all (ed.), 2011, ASEAN Connectivity in Indonesian Context, Centre of Policy Analysis and Development for Asia-Pacific and African Regions Policy Analisis and Development Agency Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, Jakarta, hal 1. Lihat juga dokumen Masterplan on ASEAN Connectivity, 2011. Siswo Pramono et all (ed.), 2011, Expanding Opportunities: Integrating Indonesian Economic Corridors into ASEAN Market, 2011, Centre of Policy Analysis and Development for Asia Pacific and African Regions, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, Jakarta, hal 1-2. http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 3 April 2012, Indonesia Undang Pengusaha ASEAN Investasi Proyek MP3EI http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 5 November 2012, JICA Sarankan Pengembangan 2 Jalur Kapal Ro-Ro di Segitiga RI, Malaysia dan Thailand Asisten Deputi Bidang Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian, Dr. Ir. Abdul Kamarzuki, dalam Buletin Tata Ruang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), edisi Maret-April 2011, dalam http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 16 April 2012, Dukung MP3EI, Bitung Segera Jadi Kawasan Ekonomi Khusus Periksa dokumen MP3EI dan beberapa dokumen analisis Kementerian Luar Negeri Indonesia Mengenai hal ini, saya telah menuliskannya dalam paper berjudul : MIFEE: Perampasan Tanah Adat Orang MalindAnim, dipresentasikan di Konferensi Negara Hukum, 9-10 Oktober di Jakarta. Mengenai hal ini, periksa karya Ann L. Stoler, “Kapitalisme Dan Konfrontasi Di Sabuk Perkebunan Sumatera 18701979, 2005, KARSA, Yogyakarta. http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 15 Mei 2012, Sukseskan MP3EI, Pemerintah Siap atasi Kendala Lahan http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 28 Maret 2012, 27 Regulasi Telah Diterbitkan Untuk Sukseskan MP3EI http://www.setkab.go.id/mp3ei.html, 9 November 2012, Peran Kelembagaan Penataan Ruang dalam Upaya Percepatan Pelaksanaan MP3EI
laporan utama Landgrabbing di Sumatera Utara Oleh Saurlin Siagian
(Peneliti Lentera Rakyat, Pengajar di Universitas Darma Agung)
P
enjarahan tanah atau umum disebut landgrabbing dimaknai sebagai pelepasan tanah karena kehadiran investasi yang membutuhkan tanah skala luas, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memicu perebutan sumberdaya dan konflik tanah yang tidak terelakkan, berujung pelanggaran hak asasi manusia karena ketidakseimbangan antara kekuatan kapital versus masyarakat lokal yang rentan di dalam pasar yang didesain liberal.
Proyek jual beli tanah skala luas–land deals– tidak dapat dimaknai dalam relasi yang netral antara pembeli dan penjual seperti pada umumnya, karena kaitan kekuasaan ekonomi dan politik yang timpang menyebabkan, secara baik-baik maupun kekerasan, satu pihak harus kehilangan akses terhadap sumberdaya.1 Di Sumatera Utara, penjarahan tanah skala luas terjadi bukan hanya karena ekspansi sawit sebagai salah satu komoditi pasar global, tetapi juga disebabkan oleh sebuah ide yang diproyeksikan dalam gagasan besar bernama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor ekonomi Sumatera. Dalam proyek ekonomi tak biasa ini, pelbagai jenis proyek diciptakan di Sumatera untuk mendukung gagasan sawit sebagai mimpi masa depan, sekaligus sentra energi alternatif global. Luas perkebunan sawit di Sumatera Utara, sekitar 19 persen dari daratan provinsi, atau sekitar 1,3 juta hektar dari tujuh juta hektar. Sawit memang telah berumur ratusan tahun di provinsi ini, akan tetapi setengah dari luasan tersebut merupakan hasil konversi dalam satu dekade terakhir. Pulau Sumatera dikenal sebagai penyumbang terbesar—sekitar 80 persen—produksi minyak sawit nasional. Dengan demikian, menurut skema proyek MP3EI, kebutuhan akan sebuah kompleks industri yang bisa melakukan pengolahan komprehensif terhadap minyak sawit perlu dibangun di Pulau Sumatera, secara khusus di provinsi Sumatera Utara.2 Dengan demikian ekspansi sawit diramalkan akan mendorong terjadinya pergolakan luar biasa di masa mendatang. Yang pasti, bukan kutukan kekayaan sumberdaya alam-the curse of natural resources, meminjam judul tulisan Jeffrey Sachs3– yang harus dialami oleh masyarakat lokal, tetapi karena pilihan kebijakan ekonomi bernama MP3EI. Melalui MP3EI ini penjarahan tanah untuk ekspansi sawit seolah makin terlegitimasi.
Enam besar aktor utama perkebunan sawit swasta di Sumut: Nama Perusahaan
Pemilik
Estimasi Luas Lahan dan Lokasi
PT.Bakrie Sumatera Plantation,
Bakrie group
28.122 hektar, berlokasi di Asahan
PT. Smart
Sinar Mas Group, Konsesi 29.809 hektar, dibawah Golden berlokasi di Tapanuli Agri Resources Selatan, Labuhan Batu, dan sebagian kecil di Kalimantan. Termasuk seluas 10.887 hektar konsesinya di Sialang Taji, Labura
PT. Torganda DL Sitorus
Konsesi 42.000 hektar
PT. Socfin Indonesia
Socfin Group, Belgium
Konsesi 46.003 hektar, Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang, dan sejumlah kecil di Aceh.
PT. London Sumatera (Lonsum)
PT Pan Lonsum , Happy Cheer Limited, British Virgin Island, dan publik
Konsesi 45.720 hektar, di Langkat, Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, dan sejumlah kecil di Sulawesi, Kalimantan Timur dan Jawa.
PT. Wilmar
Wilmar Group
363.238 hektar, sbb: PT. Milano, seluas 5.871 hektar di Labuhan Batu, PT. Agro Nusa Persada Indah, di Asahan (total luas tidak diketahui), PT. Binanga Karya, 392 hektar, di Kampung Pajak, Na 9-10, Labuhan Batu, PT. Umada, konsesi 1.591 hektar, di Merbau, Labuhan Batu. Termasuk 80.000 ha berlokasi di Malaysia,
Sumber: Diolah dari Indonesian Agribisnis Directory, CIC, 2009 Proyek MP3EI di Sumut Guna memfasilitasi ekspansi sawit sejumlah proyek infrastruktur pendukungnya pun mulai dibangun di Sumatera Utara. Pada Juni 2012 saya berkunjung ke sekitar Pelabuhan Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, salah satu proyek yang masuk dalam skema MP3EI. Dengan memakai beca motor, saya berkeliling sepanjang pantai, dan menemukan pantai telah dikapling-kapling oleh korporasi besar dengan tembok tembok tinggi mengingatkan kita pada tembok “Gaza”. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
9
Tembok-tembok itu sudah dibangun jauhjauh hari sebelum pengumuman pembangunan pelabuhan raksasa itu. Proses jual beli tanah sudah lama berakhir. Namun masyarakat lokal baru sadar belakangan bahwa di lokasi itu akan dibangun Pelabuhan Kuala Tanjung, sebuah pelabuhan raksasa di Indonesia setelah Tanjung Priok yang direncanakan sebagai pelabuhan khusus minyak sawit dan berbagai turunannya, satu-satunya di Indonesia Pada kesempatan berikutnya saya mengunjungi megaproyek kompleks industri pengolahan sawit Indonesia yang berlokasi di Sei Mangke, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kunjungan kali ini mirip mengunjungi penjara. Sepanjang perjalanan dikawal oleh petugas keamanan, dan tidak diperbolehkan mengambil foto. Proyek di atas lahan seluas lebih dari 2.000 hektar yang merupakan pilot project nasional dalam skema MP3EI ini terlihat sedang sibuk berbenah. Proyek ini digadang-gadang menggantikan peran industri pengolahan sawit hilir yang masih dipegang oleh Malaysia.4 Satu jam perjalanan dari kompleks industri itu, kita bisa mencapai proyek pembangunan bandara Internasional Kuala Namu, Deli Serdang, yang akan menggantikan bandara Polonia Medan, dimana 40 kepala keluarga, eks karyawan PTPN II yang tergabung dalam Kerukunan Warga Masyarat Lemah (KWML) masih bertahan di sekitar bandara karena ganti rugi yang tidak adil.5 Proyek raksasa yang besarnya hampir setara dengan Bandara Internasional Kuala Lumpur ini, dalam mimpinya diharapkan akan mengambil keuntungan dari posisi yang lebih dekat dengan bandara-bandara udara Eropa, dibanding bandara Changi di Singapura, dan bandara Kuala Lumpur di Malaysia. Tiga proyek raksasa di atas akan menggerakkan ekonomi seiring dengan munculnya konflik atas lahan yang berujung pada pelanggaran hak-hak
Sumber http://intercontinentalcry.org
10
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
masyarakat lokal. Yang perlu diingat pembangunan tiga megaproyek di atas juga membutuhkan pembangunan sumber-sumber energi dan akses distribusinya, seperti pembangunan infrastruktur jalan tol, kereta api, dan suplai energi listrik, gas, dan bioenergi- raksasa pula, yang akan digerakkan dari pusat-pusat energi di lokasi lainnya di Sumatera Utara.6 Seperti halnya pembangunan dam pendukung bernama Bendungan Lau Simeme yang akan menghanyutkan puluhan desa di Deli Serdang, Hulu Kota Medan. Demikian pula pembangunan pembangkit listrik Asahan II, III, dan IV, di antaranya akan mengorbankan tanah-tanah warga di kabupaten Asahan dan Tobasa. Pembangunan tiga megaproyek raksasa di atas makin melumasi perebutan tanah yang semakin akut di Sumatera Utara. Meningkatnya kebutuhan pasar terhadap minyak sawit secara tidak langsung membuat provinsi ini tidak bisa menghindarkan diri dari pertikaian antara korporasi dan masyarakat lokal yang faktanya menunjukkan peningkatan pula.
Perbedaan Cara Pandang Timbulkan Pelanggaran Hak Pada mulanya cara pandang terhadap komoditas yang kental kalkulasi ekonomistik membuat land grab makin marak. Di saat terjadi lack of supply terhadap komoditas di pasaran dunia, para pemilik kapital besar memanfaatkan lahan-lahan di negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia yang kian timpang. Ini pintu masuknya: krisis pangan dunia. Banyak investor-investor asing kemudian menawarkan pengelolaan perkebunan skala besar di negara berkembang dengan bungkus modernisasi pengelolaan perkebunan. Mereka menawarkan dana, negara berkembang menyediakan lahan. Dalam penjelasan ini, sawit kemudian dinobatkan sebagai komoditi kapital yang dengan harga berapa pun, dikonstruksikan sebagai barang superior, mengingat kebutuhan pasar dunia terhadap minyak sawit cukup besar. Sehingga tawaran kapital terhadap masyarakat lokal tidak ada pilihan lain: berkebun sawit atau mati. Cara pandang versi kapital terhadap lahan dan sumberdaya alam ini menjadi pangkal masalah serius. Dalam observasi penelitian di pantai timur jauh Sumatera Utara, yakni kawasan Leidong, saya mendapatkan gambaran menarik. Dalam tempo 10 tahun, sekitar 80 hektar pertanian padi Leidong yang fenomenal di Sumatera itu telah dikonversi menjadi sawit oleh sekelompok petani lokal secara sukarela di desa kecil, Tanjung Mangedar, hanya karena mendengar sawit lebih menguntungkan (faktor penarik), dan karena perubahan cuaca dan ketidakstabilan ketersediaan air (faktor pendorong). Akan tetapi apa yang terjadi? Pada bulan November 2012 ini para petani tersebut membiarkan buah sawit busuk di pohonnya karena harga yang anjlok hingga Rp. 600 dari lokasi pemanenan.7
laporan utama Cara pandang kapital terhadap sawit disini sama persis dengan apa yang dialami oleh masyarakat lokal di Papua dalam konteks proyek MIFEE, Merauke. Pohon Sagu yang menjadi sumber utama pangan pokok masyarakat lokal terpaksa ditebang diganti dengan perkebunan sawit dan pertanian padi skala luas.8 Ini terjadi karena komoditas sawit dan padi lebih laku di pasar dunia ketimbang sagu. Nasib yang sama terjadi pada kasus PT. Toba Pulp Lestari di Tapanuli terhadap hamparan pohon Kemenyan di hutan Kecamatan Pollung. Perusahaan lebih memandang penting pohon akasia karena ia adalah bahan pembuat kertas, sementara masyarakat adat di sekitar hutan, yakni di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, memandang, dalam mitos yang mereka percayai, hamparan pohon itu sebagai perempuan sumber susu kehidupan yang haram ditebang. Tidak kurang dari 300 tahun lamanya, ratusan ribu pohonpohon keramat itu, yang disebut dengan haminjon, mereka pelihara di dalam hutan, dan diambil getahnya secara teratur sekali seminggu. Dari cara pandang kapitalistik atas penguasaan sumberdaya alam milik masyarakat, berimplikasi pada persoalan serius lainnya yakni, terjadinya dualisme hukum yang berlaku atas sumberdaya alam tersebut. Jika masyarakat kurang mengenal hukum tertulis sebagai bukti penguasaan atas wilayah dan sumberdaya alam, maka kapital lebih gemar menggunakan hukum yang serba positivistik. Dualisme hukum lantas memicu maraknya tindakan kriminalisasi oleh perusahaan terhadap masyarakat, yakni penggunaan pasal-pasal kriminal atau pidana, untuk menjerat masyarakat lokal yang memperjuangkan tanahnya dengan dalih tidak memiliki bukti kepemilikan secara tertulis. Meminjam istilah Noer Fauzi Rachman, “aparat penegak hukum hanya menangkap pencuri angsa, tetapi tidak pernah menangkap pencuri hamparan tanah yang luas, tempat angsa itu dicuri.”9 Tercatat pada semester pertama tahun 2012, hanya di Sumatera Utara saja, lebih dari 120 orang ditangkap dan ditahan berkaitan dengan konflik tanah antara masyarakat lokal dengan perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara.10
Korban Kriminalisasi di Sumut, Januari - Juli 2012 NO 1
NAMA KELOMPOK dan LOKASI
Luas Sengketa Perusahaan/ Pengusaha (Ha) PT. SMART Tbk
Korban
Poktan Padang Halaban, Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Labura
± 3000
60 orang petani ditangkap, 10 ditahan
2
Poktan Penghijauan, Desa Suka Rame, Kec. Kualuh Hulu, Labura
± 602
PT. Graha 8 orang Petani Dura Leidong ditangkap Prima / PT. Sawita Leidong Jaya
3
Poktan Karya Lestari, ± 250 Desa Suka Rame, Kec. Kualuh Hulu, Labura
PT. Graha 9 orang Petani Dura Leidong ditangkap Prima / PT. Sawita Leidong Jaya
4
Poktan Bersama, Desa Tebing Linggahara Baru, Kec. Bilah Barat, Labuhan Batu
± 86
Erlina Lim
1 orang ditangkap.
5
Kelompok Masyarakat Desa Sipare-pare Hilir, Desa Tubiran, Desa Pulo Bargot, Kec. Marbau, Labuhan Batu
± 600
Lim Tjok Seng, Yahya, Thio Hock Seng
7 orang petani ditangakp
6
Poktan Maju Jaya MBK, Desa Marbau Selatan, Kec. Marbau, Labura
± 72
PTPN III Mabau Selatan
2 orang ditangkap
7
Poktan Sei Siarti, 250 125 KK, Desa Sei Siarti, Kec. Kampung Rakyat, Labusel
Pengusaha Lokal
30 orang ditangkap, 3 orang diantaranya ditahan.
8
Poktan Sei Mencirim Kab. Deli Serdang
400
PTPN II
6 ditangkap
9
Poktan Torang Jaya Mandiri, Padang Lawas
8.000
PT Sumatera Belasan ditangkap, Riang Lestari dan 1 ditahan (SRL) dan Sumatera Silva Lestari (SSL)
10 Petani Desa Hutabalang, Kec. Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah
-
PT. AEP 1 orang ditangkap (sebelumnya bernama PT. Cahaya Pelita Andhika/ CPA)
11 Petani Dusun I Desa Bangun Pulo Rakyat Kab. Asahan
800
Koperasi Bina Tani milik Aan Manurung
3 warga ditahan dan disiksa
12 BPRPI Saentis dan Klambir Lima, Kab. Deli Serdang
-
PTPN II
Intimidasi Pembakaran gubuk, penangkapan
13 Warga eks pengungsi Aceh di Kabupaten Langkat
TNGL
Belasan ditangkap, Penganiayaan
14 Warga Mandailing Natal desa Huta Godang Muda, Madina.
-
PT Sorik Mas Penangkapan Mining
15 Desa Bandar Setia/ Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kab Deli Serdang, yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB)
160
PTPN II
Kekerasan melibatkan OKP dan sekuriti PTPN II
16 Kelompok Tani 7179 Deli Serdang
2.000
PTPN II, dll
Intimidasi dan kekerasan dari Satpol PP, OKP, dan Polisi
Sumber: Hasil Rekapitulasi Sekber Reforma Agraria Sumut, Juli 2012
Respons Buat Para Aktor Dari sini terdapat dua karakter yang berbeda yang tidak terdamaikan, dimana kepentingan kapital berambisi memperoleh dan mengakumulasi lahan dan sumberdaya alam seluas-luasnya, punya karakter bertolak belakang dengan kepentingan subsistensi rakyat korban. Kapital berpikir ekspansi, masyarakat korban berusaha mempertahankan kehidupan dan kedaulatan atas lahan. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
11
Salah satu pola land grabbing yang menarik adalah dengan memakai legitimasi standar-standar yang indah di atas kertas, plus lembaga watch dog yang mengkritik pedas, untuk mengkamuflase isi perut atau watak kapital yang tidak bisa dibohongi, yakni akumulasi tiada henti. Singkatnya, delapan tahun hadirnya organisasi berbasis kepentingan macam RSPO, tidak berpengaruh positif terhadap perlindungan masyarakat. Kita lalu menyadari adanya proses agenda setting yakni monokulturisasi pemikiran: hidangan sawit di meja bundar tanpa pilihan lain mengharuskan para kaum maskulin barat dan timur itu berbicara dalam bahasa yang sama, yakni bahasa sawit. Sebutlah ini sebagai penjarahan secara tidak langsung alur berfikir; indirect Mind-grabbing. Bentuk-bentuk operasi akumulasi kapital bisa kelihatan seperti ramah terhadap masyarakat korban, tetapi isi dari operasi itu, tidak bisa dibohongi, demi keberlanjutan dan kelanggengan eksploitasi. Oleh karena itu, membangun jaringan korban perkebunan sawit lintas kabupaten, lintas provinsi, hingga lintas negara di dunia equatorial, daripada terlibat mengamini agenda yang disetting oleh korporasi yang seolah olah peduli terhadap hak hak korban, perlu dipertimbangkan. Ada beberapa aktor yang perannya penting sekaligus krusial untuk diminta pertanggungjawaban. Pertama, negara dan organisasi multilateral lintas dan berbasis negara. Sebuah laporan penelitian menunjukkan bahwa kebijakan publik di negara maju seperti Eropa mendorong terjadinya penjarahan tanah secara tidak langsung di Asia Tenggara, melalui kebijakan mereka atas minyak terbarukan (agrofuel), dan peran lembaga multilateral yang mereka dukung semacam World Bank yang turut bertanggungjawab terhadap penjarahan ini.11 Tragisnya, Pemerintah Indonesia sangat aktif melakukan domestikasi dan legislasi hukum hak asasi internasional semacam kovenan hak sipil dan politik, hak ekonomi sosial dan budaya, adopsi deklarasi hak asasi manusia ASEAN, pada November 2012, hingga terlibat dalam deklarasi hak-hak masyarakat adat tahun 2007, yang memastikan prinsip Keputusan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (FPIC) dilakukan sebelum memulai proses pembangunan. Sayangnya domestikasi persoalan serta banyaknya hasil legislasi yang terkait dengan hak asasi manusia masih dibarengi dengan tingginya korban pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan upaya masyarakat korban mempertahankan lahannya. Artinya, pengesahan banyak ketentuan hukum hak asasi manusia ini tidak sejalan dengan praktek penegakan hak asasi manusia yang masih minor di Indonesia. Aktor kedua adalah korporasi. Korporasi juga tidak kalah aktif membangun wajah ramah sosial dan lingkungan. Contoh paling dekat adalah dengan melihat lebih dekat forum inisiatif korporasi yang bergerak di bidang industri sawit, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Faktanya proses dalam RSPO didominasi oleh industri. Tidak ada
12
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
representasi dari masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam RSPO. Masyarakat adat maupun lokal tidak memiliki sumberdaya dan pengetahuan yang memadai mengenai RSPO, selain adanya masalah jurisdiksi dari masyarakat lokal ketika ingin mengajukan komplain terhadap perusahaan anggota RSPO. Prosedur komplain berjalan sangat lambat, mempertanyakan ketika sebuah kesepakatan dibangun dalam RSPO ini, sesungguhnya tidak ada aturan siapa yang akan melaksanakannya, serta minimnya representasi masyarakat sipil. Semua masalah ini seperti didesain untuk memarjinalkan keterlibatan masyarakat dalam upaya mempengaruhi keputusan-keputusan dalam RSPO. Agar masyarakat tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan yang cukup dalam menghadang laju ekspansi perkebunan sawit dengan jalan perampasan lahan.
Referensi Utama Borras, Jun. Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role, TNI, Amsterdam, 2011 Shiva, Vandana, Bebas dari Pembangunan, Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997 Sachs J.D. and Warner A.M., The Curse of Natural Resources, European Economic Review, 45, 2001
Keterangan 1
Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role, TNI, Amsterdam, 2011.
2
Dokumen Masterplan MP3EI 2011-2025, Indonesia Mandiri, Maju, Adil dan Makmur.
3
Sachs J.D. and Warner A.M., 2001
4
http://www.apkasi.or.id/read/311654/gapki--industri-sawitindonesia-kalah-dari-malaysia
5 http://bitra.or.id/2012/2011/12/15/ancaman-kelaparandalam-tembok-mega-proyek-bandara-kwalanamu/ 6 http://m.bisnis.com/articles/krisis-listrik-300-industri-disumut-tunggu-pasokan 7
Wawancara dengan seorang tokoh desa, A Dosma, desa Tanjung Mangedar, 3 Desember 2012.
8
Pernyataan seorang tokoh lokal Papua, Septer Manufandu, dalam sebuah konferensi Landgrabbing and Palm Oil Plantations, di Medan, 5-10 Nopember 2012.
9
Pasar-sebagai-Keharusan:Sebab Struktural dari Konflik Agraria, Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia, dan disampaikan dalam bahasa inggris dalam “Southeast Asia Conference on Landgrabbing and Palm Oil Plantations, idem.
10 Data Sekber Reforma Agraria Sumut, 2012. 11 Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia, op-cit.
laporan utama Sukabumi-Bogor dalam Genggaman Pengusaha Besar Oleh Nia Ramdhaniaty
(Direktur Eksekutif the Indonesian Institute for Forest and Environment/ RMI)
P
embangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi yang kemudian disingkat Bocimi merupakan salah satu mega proyek yang dibangun Pemerintah Republik Indonesia di Jawa bagian Barat dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) periode 2011 - 2025. Pembangunan jalan tol sepanjang 54 km resmi dicanangkan pada Desember 2011 oleh Gubernur Jawa Barat. Proyek senilai Rp. 7,8 Triliun itu memiliki konsesi 45 tahun dengan proses pembangunan bertahap, yaitu Ciawi-Lido (14,6 km), Cibadak-Sukabumi Barat (13,9 km), dan Sukabumi Barat-Sukabumi Timur (13,2 km).
Development, Tbk Company. Pembangunan wisata alam tersebut melengkapi bisnis properti dan perkebunan dengan pemilik yang sama di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Sebut saja Bogor Nirwana Residence (BNR), Sentul Nirwana Residence dan Kawasan Lido yang dijadikan areal bisnis properti Bakrieland Development, Tbk Company. Tidak hanya itu, di sekitar Tol Bocimi dan sekitarnya penguasaan lahan besar untuk perkebunan pun dilakukan oleh pemilik yang sama. PT. Bahana Sukma Sejahtera (BSS) yang beroperasi di Kabupaten Bogor telah memegang ijin HGU sejak tahun 1994, dan kemudian beralih ke PT. Fusion, milik kelompok Bakrieland Development, Tbk Company, yang pada tahun 2012 dialihkan ke PT. Julam yang dikuasai MNC Group. Dari data dan informasi yang didapat, ada kesamaan pengalihan pengelola Tol Bocimi dengan berlaihnya aset perkebunan dan properti lainnya. Ada apa dengan Tol BOCIMI?
Tangisan dan Harapan Warga
Padasaatpencanangan,TolBocimiakandioperasikan oleh PT. Trans Jabar Tol (TJT) yang sahamnya dimiliki PT Bakrie Toll Road (60%), BUMD Jawa Barat PT. Jasa Sarana (25 persen) dan PT. Bukaka Teknik Utama (15%). Namun, menurut berita Radar Bogor 24 November 2012, diketahui telah beralih pengelolanya dari PT. Bakrie Toll Road ke MNC Group. Pembangunan jalan tol Bocimi tersebut dipercaya mampu mengurai kemacetan yang terjadi di ruas jalan nasional Ciawi-Sukabumi. Tidak hanya kemacetan, sesuai dengan tujuan pembangunannya, proyek ini menjamin mampu mendorong perekonomian negara dengan mendatangkan proyek-proyek lainnya dan skala investasi yang bervariasi. Seperti yang diutarakan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 tahun 2011 tentang MP3EI 2011-2025, MP3EI dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini terbukti dengan menjamurnya bisnis properti di sepanjang jalur Bogor-Sukabumi serta rencana pembangunan wisata alam yang menghubungkan dua areal konservasi, yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak,1 di Jawa Barat oleh PT. Graha Andrasentra Propertindo, yang diperkirakan akan menjadi yang terluas, termegah, dan terbaik di kawasan Asia.2 PT. Graha Andrasentra Propertindo merupakan anak perusahaan Kelompok Usaha PT. Bakrieland
Secara administratif rancangan pembangunan Tol Bocimi akan melewati enam Kelurahan3 di Kota Bogor, tiga desa di Kecamatan Caringin,4 Kabupaten Bogor, dan tujuh desa di Kecamatan Cigombong,5 Kabupaten Bogor, serta beberapa desa di Kabupaten Sukabumi. Sebagian besar lahan yang terkena pembangunan jalan tol ini adalah berupa sawah seluas 42,99 ha, kebun/ladang seluas 74,55 ha dan pemukiman seluas 24,66 ha.6 Areal produktif petani ini dipaksa disulap menjadi fungsi lain. Kontroversi pun muncul di beragam kalangan, termasuk di dalam komunitas yang terkena gusuran. “Kami mah teu kunanaon tanah ieu digusur, tapi kudu jelas atuh gagantina...” Seorang warga yang terkena gusur mengatakan dalam bahasa lokal bahwa mereka tidak keberatan jika tanahnya digusur. Akan tetapi harus jelas penggantinya. Begitulah ungkapan masyarakat di Kabupaten dan Kota Bogor yang pasrah tanahnya akan tergusur akibat pembangunan jalan Tol Bocimi. Ungkapan tersebut bukan tanpa tawar-menawar, tapi tercantum harapan besar warga yang disampaikan kepada pihak pengembang. Dikatakan warga bahwa pengganti yang dimaksud harus sesuai dengan objek gusuran. Pengganti disini tidak hanya diletakkan pada uang saja, tapi juga dilihat dari tingkat kesuburan tanah, seperti sawah dan kebun masyarakat. Oleh karenanya penting bagi penggusur untuk mempertimbangkan dan memberikan penilaian tanah bisa sebanding dengan nilai produktivitasnya. Seperti yang terjadi Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong warga tetap menuntut agar proses ganti rugi tanah tersebut bisa dinilai dengan wajar dan sesuai dengan nilai produksinya. Warga Desa Wates Jaya hingga kini tetap bertahan dengan nilai tanah ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
13
sekitar Rp. 500.000/m, namun pihak pengembang bertahan dengan Rp. 200.000-300.000/m. Ini bagian dari bentuk mempertahankan lahan produktif mereka, karena pada dasarnya warga masih sangat ingin mempertahankan sawah dan kebunnya. “Kami mah embung kaleungitan emas hejo kami (kami tidak ingin kehilangan emas hijau kami)... “. Kehilangan asset produktif tentu merugikan bagi masyarakat. Namun dengan menaruh harapan besar kepada pihak pengembang dan Pemerintah Daerah setempat, warga berharap ada keuntungan yang diperoleh dari proses pembebasan lahan pembangunan tol sejak tahun 2009 yang lalu. Sayangnya keuntungan itu tidak kunjung diperoleh hingga saat ini. Yang terjadi warga korban penggusuran kini harus menelan rasa kekecewaan kepada Tim Pengadaan Tanah (TPT) yang berjanji akan mengurus persoalan ini hingga selesai. Adalah sebuah kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak asasi seluruh warga negaranya. Namun nyatanya masih banyak korbankorban pelanggaran hak asasi manusia akibat ulah rakus penguasa negeri ini, seperti yang terjadi pada proses pembebasan lahan tol Bocimi. Penulis mengidentifikasi sejumlah pelanggaran hak dalam pembangunan proyek tol tersebut, antara lain: 1. Peniadaan sumber penghidupan berupa sawah dan kebun serta pemukiman secara sengaja dan diganti dengan beragam bentuk investasi skala besar. Hak atas ketersediaan pangan menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Namun seringkali hak dasar ini dilanggar secara sengaja atas nama pembangunan ekonomi negara. Lahan-lahan produktif yang seharusnya menjadi sumber pangan warga dipaksa diubah untuk pembangunan insfrastruktur. Sarana ini tak lain untuk mendatangkan investasi yang lebih besar yang hanya menguntungkan segelintir elit. Terlihat dari mulai dibangunnya bisnis-bisnis properti dan bisnis lainnya yang bermunculan di lahan sekitar tol Bocimi. Seperti yang jelas terjadi di Desa Cimande Hilir, Kabupaten Bogor yang akan dibangun bisnis properti besar milik pengusaha besar Indonesia. Dampak dari kejadian ini adalah adanya harapan besar warga untuk bisa mendapatkan keuntungan nominal dari hasil ganti rugi tanah yang terjual. Sayangnya itu tidak pernah mereka dapatkan. Yang terjadi malah lahan pemukiman yang terkena pembangunan tol sudah tidak boleh ditempati lagi, meskipun proses pembayaran belum berjalan dengan baik. Ini terjadi di Desa Cimande Hilir, Kab. Bogor dan beberapa kelurahan di Kota Bogor. Selain itu juga memungkinkan adanya perubahan mata pencaharian warga, dari bertani menjadi pekerja pabrik atau petugas keamanan di sektor bisnis yang lain. 2. Proses pembebasan lahan tidak berjalan dengan baik Informasi yang diterima dari warga, di Kabupaten Bogor harga lahan yang terkena gusuran rata-rata dinilai 4-5 kali harga pasar atau 7-10 kali harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sedangkan di Kota Bogor harga tanah dinilai kurang dari dua kali harga NJOP. Perbedaan perhitungan nilai dan proses ganti rugi memicu terjadinya konflik di lapangan. Warga di enam kelurahan (Kelurahan Muarasari, Sindangsari, Harjasari, Bojong Kerta, Kertamaya dan Rancamaya) Kota Bogor menuntut kepada tim pembebasan lahan
14
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
untuk merevisi nilai tanah yang diusulkan oleh tim pembebasan lahan. Sedangkan warga di beberapa desa di Kecamatan Caringin dan Cigombong menuntut untuk segera mensepakati harga tanah (Desa Wates Jaya) dan segera membereskan pembayaran ganti rugi lahan. Hingga saat ini hanya Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin saja yang proses pembayaran tanahnya sudah dilakukan dengan baik. Sedangkan Desa Cimande Hilir baru sekitar 70% terbayar, itu pun karena adanya tekanan-tekanan melalui aksi unjuk rasa warga ke kantor TPT. Masih banyak desa yang belum terselesaikan dengan baik. Karena realisasi pembayaran yang tidak berjalan dengan baik, alhasil warga harus berurusan dengan para renternir akibat himpitan ekonomi. Seperti yang terjadi di Desa Cimande Hilir (2010). Ini dilakukan warga karena warga berharap proses pembayaran bisa dilakukan segera. Namun faktanya karena proses ganti rugi ditunda hingga lebih dari satu tahun, warga harus berurusan dengan renternir. Tidak menutup kemungkinan jeratan renternir pun bisa terjadi di desa-desa lainnya. 3. Penipuan oleh pihak ketiga lainnya Selain pelanggaran hak atas ganti rugi lahan, proses pembebasan lahan pun diwarnai dengan beragam intimidasi yang dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Lurah Kertamaya, Kota Bogor yang menggunakan 30 orang preman menakut-nakuti warga untuk menandatangani dokumen pembebasan lahan. Proses intimidasi ini disinyalir ada perintah dari pejabat Pemerintah Kota Bogor yang berwenang pada saat itu. Di bawah tekanan para preman tersebut, warga terpaksa menandatangani surat pernyataan persetujuan pembebasan lahan tersebut. Tidak hanya itu, jauh sebelum ada kesepakatan pihak pengembang dengan warga, rupanya para biong tanah sudah mengetahui hal ini dan mencuri start membeli tanah warga secara besar-besaran dengan harga yang minimal dan tidak memihak kepada masyarakat. Lahan-lahan yang sudah dikuasai oleh biong tersebut kemudian dijual dengan harga sangat tinggi kepada pengembang pembangunan jalan Tol Bocimi untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Banyak strategi atau cara yang dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara ini, termasuk mendatangkan proyek-proyek besar atas nama pembangunan. Entah ekonomi siapa yang akan ditingkatkan: penguasa, pengusaha, atau memang betul untuk rakyat kecil? Kalau untuk rakyat kecil, tentunya dengan proporsi yang jauh lebih sedikit. Itu pun kalau ada!
Keterangan 1 Baca master plan Nirwana National Park, Rencana Pemanfaatan Lahan Konsesi TNGHS. 2 Pikiran Rakyat, 28 Desember 2010 3 Kelurahan Muarasari, Sindangsari, Harjasari, Bojong Kerta, Kertamaya dan Rancamaya 4 Desa Cimande Hilir, Ciherang Pondoh dan Caringin 5 Desa Ciadeg, Ciburayut, Cisalada, Pasir Jaya, Tugu Jaya, Cigombong, dan Wates Jaya 6 Pos Kota, 5 Oktober 2010
laporan utama Kemenangan Kecil di Rawa Tripa Oleh Teuku Muhammad Zulfikar (Direktur Eksekutif Walhi Aceh)
H
utan rawa gambut Tripa atau lebih dikenal dengan sebutan Rawa Tripa adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat Pulau Sumatera dengan luas mencapai ± 61.803 hektar. Secara administratif, 60 persen luas Rawa Tripa berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh Nanggroe Darussalam. Sisanya berada di wilayah Babahrot, Aceh Barat Daya (Abdya). Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan.
Rawa Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir serta benteng alami bagi bencana tsunami. Selain itu, Rawa Tripa juga dapat menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif bagi produksi pertanian yang berada di sekitarnya. Kita juga bisa menemukan berbagai jenis ikan dan hasil hutan nonkayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein di Rawa Tripa. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Di dalam kawasan ini terdapat sedikitnya 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan lele (biasa dan jumbo), belut, paitan dan kerang. Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar. Hal penting lainnya adalah beberapa sumberdaya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya. Berbagai jenis satwa penting dan langka yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa, antara lain Beruang Madu (Helarctos malayanus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Burung Rangkong (Buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya. Bahkan hasil penelitian Prof. Carel van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil. Namun, rawa gambut Tripa saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pembukaan lahan perkebunan dalam kawasan tersebut oleh perusahaan. Padahal kawasan tersebut secara tradisional merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal. Laju penghancuran rawa gambut Tripa di Aceh telah meningkat secara tajam dalam beberapa bulan terakhir. Jika hal ini terus dibiarkan besar kemungkinan hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan orangutan Sumatera atau Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) yang dilindungi akan terancam punah. Hasil laporan yang dibuat oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang juga salah satu anggota Jaringan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan bahwa walaupun pada tahun 1990 Rawa Tripa masih ditutupi hutan rawa primer seluas 61.803 hektar, pada tanggal 26 Desember 2011 hanya tersisa 12.655 hektar, dan sampai awal Oktober 2012 menurun hanya tersisa 10.023 hektar. Berarti selama 9,5 bulan sudah 2.632 hektar (20,8%) hutan rawa gambut yang hilang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, penegakan hukum merupakan salah satu hal penting untuk penyelamatan Rawa Tripa. Penegakan hukum ini berkaitan dengan pemanfaatan kawasan HGU yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti melakukan praktek pembakaran di areal lahan HGU. Praktek pembakaran lahan tidak dibenarkan berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Berdasarkan hasil pemantauan lapangan beberapa LSM lingkungan yang dilakukan pada bulan Mei 2009 dan laporan hot spot (pembakaran lahan) satelit NOAA pada bulan November 2008, Februari dan April, 2009, hingga awal Oktober 2012 masih ditemukan titik-titik hot spot di areal HGU yang berada di Rawa Tripa. Terhadap hal ini, proses penegakan hukum menjadi suatu keharusan untuk membuktikan bahwa praktek pemanfaatan kawasan Rawa Tripa oleh perusahaan pemilik HGU banyak menimbulkan persoalan dan merupakan pelanggaran hukum. Beberapa perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha di kawasan Rawa Tripa di antaranya PT. Kalista Alam, PT. Surya Panen Subur (SPS) II, PT. Dua Perkasa Lestari yang saat ini sedang dipersengketakan. Khusus mengenai HGU PT. Kalista Alam, dari hasil analisis Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (KPRT) misalnya, dianggap telah mengganggu kepentingan umum karena tanah yang diklaim perusahaan tersebut merupakan tanah dusun Panton Bayu, Desa Kuala Seumayam. Maka sesuai Pasal 34 UU Pokok Agraria tahun 1960, hak tersebut dapat dicabut. Kegiatan individu dan masyarakat sipil dalam rangka advokasi kawasan hutan rawa Tripa diawali dengan adanya dugaan pelanggaran kewenangan institusional pemerintahan dalam hal pelestarian fungsi lingkungan hidup kawasan hutan rawa Tripa. Pada 5 Juni 2010, masyarakat yang berasal dari 21 gampong dalam Kemukiman Tripa dan Seunueam membuat Surat Petisi Masyarakat yang ditujukan kepada Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, dan Bupati Nagan Raya. Karena tidak direspon secara arif dan bijaksana oleh kedua pemimpin tersebut, ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
15
maka protes masyarakat terakumulasi menjadi suatu gerakan advokasi yang tergabung dalam TKPRT. Masyarakat kemudian menempuh jalur hukum melalui mekanisme gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, karena Gubernur Aceh telah menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara No.525/ BP2T/5322/2011, tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam seluas +1.605 Ha. via legal standing Walhi Aceh yang tampil dipersidangan tata usaha negara. Kewenangan atributif Walhi Aceh sebagaimana maksud Pasal 92 UU No.32 Tahun 2009 mengajukan gugatan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara Cq Gubernur Aceh No.525/ BP2T/5322/2011, tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT Kalista Alam seluas +1.605 Ha. kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh dengan dalil bahwa SK Gubernur Aceh tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tuntutannya bahwa SK Gubernur Aceh tersebut secara substansi telah mengabaikan dan bertentangan dengan integrasi teritorial kawasan hutan rawa Tripa. Atas gugatan tata usaha negara tersebut, PTUN Banda Aceh berpendapat bahwa Walhi Aceh dan Gubernur Aceh belum optimal menempuh upaya penyelesaian secara administratif, karena berdasarkan Pasal 84 - 87 UU No.32 Tahun 2009 terhadap perkara ini ditafsirkan oleh PTUN Banda Aceh sebagai sengketa lingkungan hidup. Walhi Aceh menolak putusan PTUN Banda Aceh tersebut, dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan. Walhi Aceh dalam memori bandingnya menyebutkan alasannya bahwa perkara ini adalah perkara sengketa TUN dan bukan sengketa lingkungan hidup, PTUN Banda Aceh telah mengalihkan isu yaitu dari isu sengketa TUN menjadi isu lingkungan hidup. PTTUN Medan yang memeriksa, mengadili dan memutus dalam tingkat banding setelah membaca memori banding, kontra memori banding, berkasberkas perkara maka terhadap SK TUN yang diperkarakan tersebut diuji dengan menggunakan pengujian, yaitu: pengujian atas kewenangan Gubernur Aceh menerbitkan SK TUN yang diperkarakan, pengujian atas prosedur dalam menerbitkan SK TUN yang diperkarakan dan pengujian atas subtansi SK TUN diperkarakan tersebut. Akhirnya dari pengujian tersebut PTTUN Medan mengabulkan gugatan banding Walhi Aceh dengan bunyi amar putusannya antara lain menyatakan batalnya SK TUN yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh No: 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam; serta memerintahkan kepada Tergugat I/Terbanding I Cq Gubernur Aceh untuk mencabut Keputusan TUN mengenai pemberian Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam. PT. Kalista Alam selaku pihak Tergugat II Intervensi/ Terbanding II menolak putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan tersebut, dan mengajukan
16
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
permohonan kasasi pada tanggal 19 September 2012, sehingga terhadap perkaranya adalah kembali pada posisi semula, kecuali pihak Gubernur Aceh (tergugat I/terbanding I) mencabut/membatalkan SK TUN yang diperkarakan tersebut. Sekalipun PT. Kalista Alam mengajukan kasasi, maka pihak Gubernur Aceh pada 12 September 2012 telah menerima pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan tersebut. Selanjutnya Gubernur Aceh Cq Terbanding I telah mencabut SK Gubernur Aceh No.525/BP2T /5322/2011, guna melaksanakan putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan. Gubernur Aceh menerbitkan SK No.525/BP2T/5078/2012, tertanggal 27 September 2012, yang mencabut Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. Kalista Alam. Gubernur Aceh telah mempertimbangkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan No.89/B/2012/PT.TUN-Medan, Pasal 45 A ayat (2) UU No.5 Tahun 2004 jo UU No.14 Tahun 1985, dan telah mempertimbangkan PT Kalista Alam hingga sekarang belum membangun kebun plasma kepada masyarakat seluas 30% dan tidak menyampaikan laporan perkembangan fisik usaha secara berkala setiap enam bulan sekali kepada Dinas Teknis Provinsi dan tembusannya kepada Dinas Teknis Kabupaten Nagan Raya, sehingga telah memenuhi syarat untuk dilakukan pencabutannya. Putusan PTTUN Medan atas kasus PT. Kalista Alam merupakan salah satu kemenangan kecil terhadap perlawanan ekspansi sawit yang menggerus kawasan hutan. Keputusan ini juga menjadi bukti bahwa penegakan hukum atas upaya penyelamatan lingkungan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan diharapkan bisa menjadi sebuah momentum dalam penegakan hukum secara lebih luas. Namun begitu perlawanan terhadap berbagai praktik jahat perusahaan perusak Rawa Tripa belum berakhir. Jalan menuju kemenangan mutlak masih sangat panjang dan membutuhkan energi dan semangat yang besar pula. Untuk itu sinergi dari berbagai pihak yang peduli akan kelestarian lingkungan dan penegakan hukum lingkungan sangat diharapkan.
Daftar Pustaka: - Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Kertas Posisi Penyelamatan Rawa Tripa, Banda Aceh, 2010. - WALHI Aceh, Majalah Tanah Rencong, Asa di Putusan Rawa Tripa, Volume 3, Edisi XVI, Banda Aceh, Juli – Agustus 2012. - Yayasan Ekosistem Lestari, Laporan Kondisi Terkini Mengenai Penghancuran Rawa Gambut Tripa dan Kebakaran, Medan, 2012. -
Zuhri, M. Hasibuan, Legal Opinion, Banda Aceh, November 2012.
nasional Mengkritisi RUU Ormas dan Potensi Pelanggaran HAM Oleh Fransisca Fitri
(Direktur Eksekutif YAPPIKA/Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat)
Proses revisi UU Ormas dan campur tangan asing
S
ekitar Oktober 2007, Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri/ Kemdagri— berupaya mendesakkan draf RUU Ormas kepada Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Namun berkat tiga lembar kertas fakta yang memuat tanya-jawab seputar Tolak UU Ormas yang disodorkan oleh PSHK, YAPPIKA, ELSAM, ICW, GAPRI, PKM, KONTRAS, WALHI, KPI, IMPARSIAL dan UPC, Baleg menolak draf RUU Ormas versi Pemerintah tersebut. Dengan demikian upaya Pemerintah merevisi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Ormas) semenjak 2006 kandas sementara waktu. Terhitung sejak tahun 2006, Pemerintah gencar menggolkan RUU Ormas yang ternyata mendapat dukungan beberapa agensi asing yang berkepentingan terhadap pengontrolan organisasi masyarakat sipil. Tercatat ada tiga agensi asing yang terlibat memfasilitasi proses revisi UU Ormas. Pertama adalah UNDP melalui Program Civic Engagement in Democratic Governance Project atau CIVED, yang memfasilitasi Kemdagri untuk menyusun peraturan perundang-undangan secara partisipatif. Dukungan kedua diberikan oleh Charity Commission, sebuah komisi dari Pemerintah Kerajaan Inggris dengan tujuan untuk membuat kode etik bagi LSM. Lepas dari Charity Commission, Kementerian selanjutnya difasilitasi oleh GTZ (sekarang bernama GIZ), sebuah agensi dari Pemerintah Jerman. Keberadaan agensi asing dalam proses revisi terlihat sangat mewarnai substansi draf RUU Ormas Pemerintah, termasuk judul rancangan undangundangnya sendiri. Judul RUU Ormas sebelumnya dinamai RUU Lembaga Masyarakat dan RUU Organisasi Masyarakat Sipil. Di dalamnya termuat ide untuk membuat Komisi Organisasi Masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan kredibilitas, kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas organisasi masyarakat.1 Pernah pula muncul ide tentang Forum/Dewan Nasional Lembaga Masyarakat yang berfungsi melakukan koordinasi dan membangun sinergi antar lembaga masyarakat, dan antara lembaga masyarakat dan Pemerintah.2 Revisi UU Ormas ini masuk menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) semenjak 2005-2009, meski tidak pernah dilakukan pembahasan. Lantas mengapa sekarang ini Pemerintah bersama
DPR terlihat sangat cepat ingin menyelesaikan pembahasan RUU Ormas? Setelah hampir satu dekade Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) menjadi leading sector revisi UU Ormas, tiba-tiba pada penghujung 2010 DPR “mengambil alih” tugas ini. Baleg pun kemudian menyiapkan RUU Organisasi Masyarakat. Di tingkat DPR, Dewan membentuk Pansus RUU Ormas pada 3 Oktober 2011 yang diketuai oleh Abdul Malik Haramain, politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Benarkah UU Ormas dan proses revisinya kita butuhkan? Apa sebenarnya alasan di balik revisi ini? Kebutuhan mendesak apa yang harus diatasi dengan merevisi UU Ormas? Untuk menjawab pertanyaan ini, seringkali DPR dan Pemerintah mengatakan bahwa alasan revisi UU Ormas dibutuhkan sebagai dasar untuk menindak pelaku kekerasan oleh kelompok ormas. Tentu saja tidak akan ada yang menyangkal alasan ini. Alasan lain adalah kecurigaan para ultranasionalis terhadap ‘bantuan asing’ untuk tindakan terorisme atau pencucian uang atau menyetir ormas yang akan mengakibatkan terganggunya kesatuan NKRI. Dengan alasan tersebut Pemerintah memerlukan UU Ormas baru untuk menjaga stabilitas NKRI. Namun apakah benar kita membutuhkan UU Ormas baru dengan menerima begitu saja alasanalasan tersebut? Pelaku kekerasan entah yang bertameng dalam sebuah ormas atau tidak, sudah pasti harus ditindak. Apalagi para pelaku kekerasan tersebut dapat dengan gamblang dilihat wajahnya di televisi. Oleh karena itulah, revisi UU Ormas sebagai sebuah keharusan untuk menyelesaikan persoalan kekerasan, terasa dan terdengar sangat tepat. Tidak dilakukannya penegakan hukum pada pelaku kekerasan tidak berkaitan dengan UU Ormas maupun proses revisinya. Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Jika revisi UU Ormas dikaitkan dengan kecurigaan terhadap dampak ‘bantuan asing’, maka undangundang ini sesungguhnya berbenturan dengan UU ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
17
No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sementara proses awal revisi UU Ormas ini jelas-jelas Pemerintah sendiri mendapat dukungan dan fasilitasi dari ‘bantuan asing’. Pemerintah juga sempat berdalih butuh UU Ormas sebagai alat pendorong transparansi dan akuntabilitas ormas yang berbadan hukum yayasan. Padahal kita telah memiliki UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang mengatur mekanisme akuntabilitas dan transparansi keuangan yayasan. Jika memang hendak mendorong akuntabilitas dan transparansi yayasan, selain dasar hukum yayasan yang sudah diatur, Pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan dan melaksanakan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU ini menetapkan organisasi nonpemerintah termasuk badan publik nonpemerintah yang harus transparan kepada publik.
Mengapa UU Ormas diciptakan oleh Orde Baru? UU Ormas lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. Disahkan pada 17 Juni 1985, UU Ormas merupakan bagian dari Paket Undang Undang Politik bersama dengan RUU Pemilu, RUU Parpol, RUU MPR, DPR, dan DPRD, dan RUU Referendum. Sementara UU lainnya telah direvisi seiring dengan iklim demokrasi Indonesia yang terus berkembang, substansi UU Ormas justru memburuk. Perlu kita ingat, bentuk Ormas diciptakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” dan “azas tunggal”. Ini sebuah konsep yang dipaksakan untuk mengekang kemerdekaan berserikat dan berkumpul masyarakat. Konsep dari sebuah pemerintah otoritarian yang takut pada warganya sendiri sehingga perlu untuk menempatkan organisasi sejenis dalam satu wadah sehingga mudah dikontrol dan diawasi. Dua tahun setelah UU Ormas disahkan tahun 1985, Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berasaskan Islam dan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) yang berasaskan Marhaenisme dibubarkan oleh Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam dengan alasan menolak menyesuaikan diri dengan UU Ormas baru itu. Babak baru pelanggaran kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai cara yang ‘sah’ dan ‘legal’ dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Pasal pembekuan dan pembubaran organisasi yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang menjadi instrumen pelanggaran HAM oleh Pemerintah. Berbagai pemikiran yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan NKRI menjadi ancaman yang harus dilenyapkan dengan paksa. Bentuk “Ormas” sendiri tidak jelas posisinya dalam kerangka hukum yang benar. Kerangka hukum yang ada untuk organisasi kemasyarakatan di Indonesia
18
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
terbagi menjadi dua jenis. Untuk organisasi tanpa anggota, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, seperti telah disinggung di muka. Sementara untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan, hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan Stb. 1870-64 tentang PerkumpulanPerkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) yang dikeluarkan pada 28 Maret 1870. Mengingat hal ini, Pemerintah semestinya bukan merevisi UU Ormas tetapi seharusnya mencabutnya. Tidak seperti UU Yayasan dan Stb. 1870-64 yang memberikan status badan hukum, UU Ormas hanya memberikan status terdaftar melalui Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di Kementerian Dalam Negeri. SKT ini ibarat ‘stempel sah’ ijin operasi sebuah ormas yang sewaktu-waktu dapat dibekukan atau dicabut oleh Pemerintah.
Ancaman pelanggaran HAM melalui substansi RUU Ormas Pemerintah menargetkan 14 Desember 2012 akan mengesahkan RUU Ormas dalam Rapat Paripurna. Pemerintah tampak sangat memaksakan untuk ‘mengganti baju’ UU Ormas agar lebih cocok dengan iklim demokrasi saat ini. Namun Pemerintah dan DPR gagal menyadari bahwa bukan bajunya yang menjadi akar persoalan pelanggaran HAM tetapi keberadaan undang-undang inilah yang bermasalah. Mencopot baju UU Ormas tetap tidak akan membongkar gagasan pengekangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang melekat lewat pengontrolan Ormas. Berbagai substansi yang jelas-jelas melanggar HAM diloloskan oleh anggota Pansus yang berasal dari partai-partai yang dulunya merupakan sasaran UU ini. Sangat ironis, mereka yang dahulu menjadi masyarakat korban sekarang menjadi elit penguasa yang membangkitkan kembali instrumen pelanggar HAM masyarakat. Pada Pasal 2 RUU Ormas versi November 2012 misalnya, tentang asas Ormas adalah Pancasila dan UUD 1945, serta dapat mencantumkan asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Rumusan pasal ini seolah tidak mengandung persoalan, namun mengandung nasionalis semu. Pada saat penghargaan terhadap pluralitas Indonesia sangat rendah saat ini, persoalan akan terletak pada tingkat pelaksanaan. Mari kita simulasikan. Kelompok LGBT atau kelompok aliran kepercayaan akan menghadapi kesulitan menjalankan kemerdekaannya untuk berserikat dan berekspresi karena dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 50 memuat berbagai larangan bagi Ormas yang potensial menjadi pasal karet bagi pelanggaran HAM masyarakat.3 Organisasi seperti Pemuda Papua yang menolak penembakan warga sipil bisa saja
nasional menerima stigma sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan atau keselamatan RI, karena dianggap membela organisasi separatis. Organisasi buruh atau mahasiswa yang melakukan aksi mendapatkan represi dari aparat kemudian melakukan perlawanan bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kekerasan atau mengganggu ketertiban umum. Organisasi antikorupsi yang mencoba menjerat pejabat korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Bahkan dalam sidang Pansus RUU Ormas, secara gamblang mengemuka beberapa contoh organisasi yang dikategorisasikan sebagai organisasi yang dapat membahayakan keselamatan negara antara lain organisasi ICW, Kontras, WALHI, Greenpeace. Maka kepada organisasi-organisasi ini sangat mungkin menjadi organisasi terlarang karena melakukan kegiatan yang dilarang dalam UU Ormas. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Hal ini berpotensi menyulitkan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Ketentuan tentang pendirian Ormas pun berimplikasi menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul menjadi hanya berbentuk “Ormas” (Pasal 8). Organisasi berbadan hukum Yayasan dan Perkumpulan, maupun organisasi yang tidak berbadan hukum, semua wajib daftar sebagai Ormas dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri (Pasal 16), yang dapat diperpanjang, dibekukan, atau dicabut. ‘Penggantian baju’ RUU Ormas ini memberikan implikasi tekanan dan kerumitan administratif bagi pelaksanaan hak berserikat dan berkumpul. Pasal 16 mengatur pendaftaran bagi Ormas tidak berbadan hukum. Adanya pasal ini akan mengakibatkan sebuah kelompok pengajian ibu-ibu harus mendaftar ke Bupati/Walikota atau struktur pemerintahan di bawah Kemdagri demi untuk memenuhi kebutuhan melakukan pengajian bersama secara rutin. Mendaftar juga bukan perkara gampang. Serangkaian persyaratan harus dipenuhi mulai dari memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau akte pendirian yang dikeluarkan oleh notaris, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama kelompok pengajiannya, surat pernyataan bukan merupakan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan,
baru bisa mendapatkan SKT. Itupun jika kelompok pengajian tersebut lolos verifikasi. Apa yang bisa terjadi pada kelompok pengajian tersebut jika tidak memiliki SKT tapi tetap menjalankan kegiatan pengajian rutinnya? Kelompok tersebut akan mendapatkan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga dari pemerintah daerah setempat. Jika tidak diindahkan, pemerintah daerah bisa membekukan sementara tanpa melalui pengadilan. Jika pada masa pembekuan, kelompok tetap melakukan kegiatan maka pemerintah daerah bisa mengajukan pembubaran kepada Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung tergantung pada kedudukan kelompok tersebut. Sementara pada April 2012, Pemerintah telah menerbitkan Permendagri No. 33/2012 tentang Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan (Orkemas) dalam Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sebagai turunan dari UU Ormas yang sedang direvisi. Isi Permendagri tak kalah mengerikan dengan RUU Ormas yang sedang dibahas oleh Pansus. Pengekangan ranah pemikiran melebar ke pemikiran yang dianggap kiri seperti marxisme, atheisme, dan sosialisme hingga pemikiran yang dianggap kanan yaitu kapitalisme. Permendagri ini juga terlihat mulai memaksakan ‘wajib SKT’ bagi Organisasi Masyarakat Sipil di berbagai kabupaten/kota. Ada kesan kuat Peraturan Mendagri ini menjadi payung hukum pengontrolan masyarakat sipil jika RUU Ormas tak jadi disahkan. Cara ini adalah metode lama untuk menjadikan hukum, terutama peraturan yang dikeluarkan oleh eksekutif, sebagai alat untuk melegitimasi pengontrolan kebebasan berserikat. RUU Ormas harus dicabut, bukan direvisi. Tidak seharusnya Pemerintah dan DPR memelihara rasa takut pada daya kritis masyarakat sehingga memaksakan pengaturan yang berpotensi melanggar HAM. Pengaturan sektor masyarakat harus dikembalikan pada kerangka hukum yang benar, yaitu berbasis non anggota dengan UU Yayasan, dan berbasis anggota dengan RUU Perkumpulan yang saat ini telah berada dalam daftar Prolegnas.
Keterangan 1
RUU tentang Organisasi Masyarakat Sipil, sandingan Naskah RUU Ormas (Tim Pokja) dan hasil harmonisasi, 2008.
2
RUU tentang Lembaga Masyarakat, draf RUU ke 103, 27 Maret 2008.
3
Model Represi Baru dalam RUU Ormas, materi kampanye yang ditulis oleh Kristina Viri, staf Divisi Advokasi, Riset dan Kampanye YAPPIKA untuk Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), 2012.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
19
Memperjuangkan Jakarta Baru: Membuka Ruang dan Kesempatan bagi Pemajuan HAM Oleh Otto Adi Yulianto
(Koordinator Biro Penelitian dan Pengembangan ELSAM) Tancap Gas untuk Jakarta Baru
B
elum genap seratus hari Joko Widodo (Jokowi) - Basuki Tjahaja Purnama (Basuki) menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sejumlah langkah awal untuk menghasilkan perubahan telah mereka lakukan. Segera setelah dilantik pada 15 Oktober 2012, pasangan ini langsung tancap gas, baik melalui tindakan langsung, program, maupun kebijakan, membidani lahirnya Jakarta Baru.
warga, program ini mendapat tanggapan sangat baik. Kebanyakan warga kini tidak ragu untuk memeriksakan kesehatannya. Intinya, warga sangat antusias dengan program Pemprov ini. Setiap hari jumlah warga yang berobat dan memeriksakan diri makin meningkat hingga dua kali lipat. Saking banyaknya yang memanfaatkan program ini, di luar perkiraan, belakangan muncul fenomena calo antrean.2
Soal lain, Basuki akan berupaya agar kantor 3Pemprov DKI menyediakan ruang khusus bagi ibu Jokowi dikenal sebagai mantan Walikota Solo untuk menyusui atau memompa ASI secara layak, paling sukses, dan Basuki adalah mantan Bupati selain juga menyediakan alat pemompa dan kulkas Belitung Timur yang berprestasi. Pasangan Jokowi- untuk menyimpan ASI. Basuki berusaha meyakinkan Basuki ini mengusung visi Jakarta Baru, yakni: (1) supaya tidak ada pegawainya yang terpaksa menyusui mewujudkan Jakarta sebagai kota modern yang atau memompa ASI di tempat yang tidak layak, seperti tertata rapi serta konsisten dengan rencana tata di kamar mandi apalagi di gudang. Terkait dengan upaya pemenuhan hak atas ruang wilayah, (2) menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas dari masalah-masalah menahun seperti pendidikan, Pemprov DKI baru-baru ini meluncurkan macet, banjir, pemukiman kumuh, sampah dan lain- program Kartu Jakarta Pintar. Kartu yang berbentuk lain, (3) menjamin ketersediaan hunian dan ruang ATM Bank DKI ini diberikan kepada siswa dari publik yang layak serta terjangkau bagi warga kota dan keluarga tidak mampu. Dana program ini diambil ketersediaan pelayanan kesehatan yang gratis sampai dari alokasi dana Rawan Putus Sekolah di Suku rawat inap dan pendidikan yang berkualitas secara Dinas Pendidikan. Untuk tahap awal, kartu dibagikan gratis selama dua belas tahun untuk warga Jakarta, kepada 3.046 siswa sekolah menengah (SMA/SMK) (4) membangun budaya masyarakat perkotaan yang yang berasal dari keluarga miskin dari 15 sekolah toleran, tetapi juga sekaligus memiliki kesadaran dalam negeri dan 98 sekolah swasta, dari rencana sebanyak memelihara kota, dan (5) membangun pemerintahan 10.406 siswa di tahun 2012. yang bersih dan transparan serta berorientasi pada Melalui kartu ini, setiap siswa mendapat dukungan pelayanan publik.1 finansial sebesar Rp 240.000 per bulan, khusus hanya Meski dalam rumusannya tak satu pun menyebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. “hak asasi manusia”, namun sangat jelas bahwa Pemprov DKI akan memantau penggunaannya dan misi ini sarat dengan komitmen penghormatan, akan menarik kembali jika terjadi penyalahgunaan.3 perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia Dalam konteks birokrasi dan kepemerintahan, (HAM), baik hak sipil maupun, terutama, hak ekonomi, Jokowi-Basuki telah menunjukkan komitmennya sosial, dan budaya. akan pemerintahan yang bersih dan transparan Salah satu yang menonjol adalah realisasi program serta berorientasi pada pelayanan publik. Di saat Kartu Jakarta Sehat. Dalam usaha memenuhi hak banyak pejabat publik menghadapi kasus korupsi, atas kesehatan warganya, Pemerintah Provinsi DKI Jokowi tak ragu membuka kerja sama dengan Komisi Jakarta (Pemprov DKI) meluncurkan program Kartu Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempercepat Jakarta Sehat pada 10 November 2012. Lewat pembenahan sistem pengelolaan keuangan di program ini, biaya pengobatan bagi warga Jakarta di Pemprov DKI. Dengan pendampingan KPK, Pemprov Puskesmas dan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit DKI akan membangun sistem untuk keterbukaan Umum Daerah (RSUD) maupun rumah sakit swasta dalam hal akses informasi publik, anggaran, transparansi pengadaan barang, dan transparansi yang menjadi rekanan Pemprov DKI ditiadakan. 4 Dari berita media maupun perbincangan dengan pengaduan. Bagi KPK, Pemprov DKI menjadi pilot project provinsi pencegahan antikorupsi.5
20
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
daerah Sebagaimana Jokowi, Basuki juga aktif memproduksi perubahan dalam hal transparansi ini. Rapat dan pertemuan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Basuki kini direkam dan bisa disaksikan publik melalui www.youtube.com. Manifestasi komitmen Pemprov DKI sebagai pelayan publik juga tampak melalui pelbagai kunjungan yang dilakukan Jokowi ke daerahdaerah yang dinilai masih menghadapi masalah. Kehadirannya untuk mendengar langsung keluhan dan masukan dari warga mengenai persoalan yang sedang mereka hadapi. Kunjungan ke lapangan atau wilayah yang dinilai bermasalah ini kemudian secara populer disebut “blusukan”. Blusukan ini cenderung sebagai metode atau gaya Jokowi dalam mempelajari permasalahan yang dihadapi warga, yang kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan solusinya secara bersama. Tentunya ini bukan pencitraan seperti yang sempat dituduhkan
Kepada Tim Penggerak PKK, Jokowi meminta agar fokus kegiatan PKK yakni di kawasan-kawasan miskin dan kumuh. “Jangan sampai gerakan PKK malah di Menteng, tetapi harus di Bukit Duri, Cakung, Tebet, karena merekalah yang membutuhkan gerakan PKK,” tuturnya.6 Untuk mendukung program-program yang berorientasi kepada kebutuhan dan aspirasi warga, Jokowi tegas memotong anggaran yang tidak perlu dan selanjutnya dialokasikan ke program lain yang produktif, seperti memotong anggaran untuk penyusunan pidato, yang sebelumnya dialokasikan sebesar Rp 1,2 miliar. Meski membawa perubahan, namun tidak berarti setiap langkah dari pasangan ini selalu berjalan mulus tanpa mendapat perlawanan atau hambatan. Kalau “perlawanan” datang dari warga, seperti pedagang pasar tradisional di kawasan Jl Fatmawati, Jakarta Selatan yang demonstrasi akibat kuatir akan
Sumber detik.com
oleh beberapa politisi Jakarta, namun tindakan otentik dari Jokowi, yang di satu kesempatan secara tegas ia nyatakan bahwa akan terus melakukan blusukan selama lima tahun kepemimpinannya. Selain blusukan, Jokowi tak segan melakukan kunjungan mendadak ke sejumlah kantor kelurahan dan kecamatan, yang dilanjutkan dengan mengumpulkan lurah se-Jakarta sebagai bagian dari usaha besar “reformasi birokrasi”. Jokowi minta agar para lurah dan camat untuk lebih tahu tentang lapangan daripada dirinya. Mereka dituntut agar lebih rajin blusukan dan memberi perhatian kepada wilayah di daerahnya yang masih menghadapi masalah. Tuntutan yang sama juga disampaikan Jokowi saat memberi sambutan dalam acara pelantikan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) DKI Jakarta periode 2012-2017.
mengalami penggusuran karena daerahnya menjadi jalur mass rapid transit (MRT) layang, Jokowi sangat mungkin bisa menyelesaikannya sendiri secara “winwin solution” karena dia punya pengalaman panjang dan track record baik dalam hal penyelesaian konflik semacam ini di Solo. Namun tampaknya untuk saat ini Jokowi masih mengkaji dan menimbang, belum mengambil keputusan tentang jadi atau tidaknya kelanjutan rencana pembangunan MRT tersebut. Menurut Jokowi, “Warga demo ya tidak apa-apa. Nanti akan kita lihat toh. Diputuskan mau jalan atau tidak saja belum kok. Ya makanya belum sosialisasi.”7 Berbeda ceritanya kalau hambatan datang dari para politisi, misalnya dalam kasus pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) DKI Jakarta tahun 2013 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI NOVEMBER-DESEMBER 2012
21
oleh DPRD DKI yang berlarut-larut. Berkali-kali rapat antara pihak legislatif dan eksekutif DKI tidak pernah mencapai titik temu. Bahkan dalam rapat pembahasan pada 6 Desember 2012, sempat terjadi aksi walk out sejumlah anggota Dewan. Anggota Komisi E DPRD DKI, Wanda Hamidah, mengatakan bahwa sejumlah anggota Dewan memutuskan keluar dari ruang rapat karena ulah sejumlah anggota Dewan lainnya yang terkesan ingin menghambat pengesahan anggaran DKI 2013. Menurut anggota DPRD DKI yang juga ikut walk out ini, “Pertanyaan yang dilontarkan tidak lagi bertujuan mengkritisi, melainkan menghambat agar pengesahan KUA-PPAS molor.” Adanya sebagian anggota Dewan yang berupaya menghambat program Pemprov DKI Jakarta dengan cara mengulur-ulur waktu pembahasan, membuat Basuki tak segan menantang DPRD Jakarta untuk membahas KUA dan PPAS DKI Jakarta 2013, antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, secara terbuka.8 Pelajaran dari DKI Jakarta Apa yang disampaikan di atas baru merupakan sebagian (kecil) saja dari kinerja dan capaian awal pasangan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017, yang belum genap seratus hari menjabat. Perubahan lain, seperti memberi ruang demonstrasi bagi buruh dan menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2013 sebesar Rp 2,2 juta, mengarahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI agar tidak mengedepankan tindakan represif, menerima warga yang datang ke balai kota untuk menyampaikan permasalahan yang dihadapinya, dsb dapat dengan mudah kita temukan dalam pemberitaan media massa. Nyaris setiap hari selalu ada liputan khusus di media massa tentang kegiatan ataupun terobosan kebijakan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Jokowi-Basuki saat ini. Bahkan Kompas Online (www.kompas.com)9 secara khusus membuat rubrik “Menuju 100 Hari Jokowi-Basuki.” Namun ulasan ini tidak dimaksudkan sebagai glorifikasi untuk Jokowi dan Basuki, tetapi lebih untuk mengedepankan aspek pembelajarannya. Kepemimpinan Jokowi-Basuki telah membuka ruang dan kesempatan bagi perubahan, termasuk dalam pemajuan HAM, setidaknya di tingkat DKI Jakarta. Dari apa yang dikerjakan dan capai dalam rentang waktu tak lebih dari seratus hari ini, tampaknya memberi petunjuk bahwa perubahan adalah mungkin. Dengan Jokowi-Basuki yang punya track record baik sebagai pejabat publik, selain harapan, warga Jakarta juga punya ruang. Warga dapat melakukan kontrol, juga kesempatan untuk berpartisipasi membangun Jakarta Baru. Dengan gubernur-wakil gubernur yang bekerja dan warga juga aktif, Jakarta Baru dan pemajuan HAM adalah sebuah keniscayaan. Dalam sistem demokrasi sekarang ini, di mana situasi
22
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISINOVEMBER-DESEMBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
keterwakilan politik masih buruk, pemimpin seperti Jokowi-Basuki ini ternyata mungkin dan perlu didorong agar juga tumbuh di pelbagai daerah lainnya. Dari pengalaman DKI Jakarta, tampak bahwa menghadirkan negara dalam pemajuan HAM dapat terjadi dan dilakukan lewat usaha melahirhadirkan pejabat-pejabat publik yang mau dan mampu merepresentasikan kepentingan dan aspirasi warganya. Kepemimpinan dan kinerja Jokowi-Basuki di DKI Jakarta saat ini layak untuk menjadi rujukan dan standar (minimal) bagi pejabat publik di Indonesia. Di sisi lain, warga tidak seharusnya menaruh harapan sepenuhnya di pundak mereka. Warga juga perlu aktif terlibat dalam setiap urusan bersama (persoalan publik), baik dengan melakukan pengawasan/kontrol, atau sebaliknya memberikan dukungan aktif bagi setiap kebijakan yang memang berorientasi kepada kebaikan bersama (bonum commune), karena tidak selalu setiap kebijakan yang baik bagi warga mendapat respon positif, khususnya dari para politisi yang cenderung mengutamakan diri atau kelompoknya sendiri.
Keterangan 1 Lihat http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/10/visi-danmisi-gubernur, diakses pada 14 Desember 2012 2
Lihat “Calo Cari Untung di Kartu Jakarta Sehat”, dalam http://www.wartakotalive.com/detil/berita/111787/Calo-CariUntung-di-Kartu-Jakarta-Sehat diakses pada 18 Desember 2012
3
Lihat “Jokowi Resmi Luncurkan ‘Kartu Jakarta Pintar’“ dalam http://metro.news.viva.co.id/news/read/371564jokowi-resmi-luncurkan--kartu-jakarta-pintar- diakses pada 18 Desember 2012
4
Lihat “Jokowi ke KPK Bukan Adukan PNS yang Korup” dalam http://megapolitan.kompas.com/ read/2012/11/27/13445570/Jokowi.ke.KPK.Bukan.Adukan. PNS.Korup diakses pada 18 Desember 2012
5
Lihat “Datangi KPK, Jokowi Disambut Musik Betawi” dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/27/11491130/ Datangi.KPK.Jokowi.Disambut.Musik.Betawi diakses pada 18 Desember 2012
6
Lihat kompas.com, 15 Oktober 2012
7
Lihat “Warga Demo Rencana MRT, Jokowi Tidak Ambil Pusing” dalam http://www.beritasatu.com/ megapolitan/87769-warga-demo-rencana-mrt-jokowi-tidakambil-pusing.html diakses tanggal 18 Desember 2012
8
Lihat “DKI Ajukan RAPBD 46 Trilyun” dalam http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/107708 diakses tanggal 18 Desember 2012
9
http://megapolitan.kompas.com/ read/2012/09/22/21255833/Inilah.Program.100.Hari. JokowiBasuki
resensi
Dibutuhkan Improve the Will! Oleh Iwan Nurdin
(Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria-KPA)
Judul Buku : The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia Penulis : Tania Murray Li Penerjemah : Herry Santoso dan Pujo Semedi Impresum : Jakarta: Marjin Kiri, Juli 2012 Kolasi : xii,536 hal.; 20,3 cm. ISBN : 978-979-1260-15-2 “Kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak tahu dan tidak akan mengetahui apa yang sedang kalian lakukan.”
S
eorang pakar agraria senior berkomentar mengenai buku The Will To Improve karya Tania Li. “Oh, buku yang bagus,” katanya singkat. “Kesimpulan saya adalah membalik judulnya, dan itu yang dibutuhkan: improve the will,” lanjutnya. Senior tadi pasti tidak sekedar berseloroh. The Will atau kehendak untuk memperbaiki atau membangun keadilan agraria seolah tidak pernah habis. Kehendak itu diusung oleh beragam aktor dari level internasional, nasional hingga lokal. Tania Li dalam bukunya ini menguraikan bahwa kehendak untuk memperbaiki sesungguhnya telah berjalan lebih dari dua abad di Nusantara. Bahwa hasilnya tidak banyak mengubah kondisi masyarakat, bahkan dalam kenyataan menjadi lebih buruk, tentu penting mengulas benarkah kehendak (the will) tersebut salah dalam implementasi, atau sejak awal salah dalam mendiagnosa masyarakat yang akan di-improve. Buku ini dengan apik menggunakan kerangka pemikiran Michel Foucault tentang govermentality (kepengaturan) yang ringkasnya merupakan “pengarahan perilaku” yang bekerja dengan mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan. Dalam hal memperbaiki kehidupan masyarakat, kepengaturan memerlukan sebuah rasionalitas yang khas yaitu “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal 9-10). Kepengaturan sendiri bukan barang baru. Kepengaturan dapat dilihat mulai yang bersifat berlebihan karena kekuasaan yang despotik (“kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak berhak”) hingga pengaturan dikarenakan atas klaim akan adanya ilmu pengetahuan yang sempurna (“Kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak tahu dan tidak akan mengetahui apa yang sedang kalian lakukan”).
Dari titik ini, Li mendeskripsikan secara singkat dimulainya serangkaian kepengaturan pada masa kolonial yang bersekutu dengan klaim kesempurnaan ilmu pengetahuan hingga masa Orde Baru. Li secara ringkas menuliskannya di Bab 1, yang merupakan pijakan bagi penelusuran kepengaturan dalam kajian buku ini. Tania Li yang juga Guru Besar Antropologi Universitas Toronto Canada, mengambil lokasi utama penelitian dan kajian di Sulawesi Tengah, khususnya di Poso, Tentena, dan Taman Nasional Lore Lindu dalam memberikan gambaran panjang tentang intervensi kepengaturan. Intervensi kepengaturan pertama di wilayah ini dimulai sejak zaman kolonial ketika politik etis tengah digalakkan. Kepengaturan ini pada awalnya berkehendak memperbaiki masyarakat supaya lebih bertata tertib dan bersahabat dengan lingkungan sekitar. Kepengaturan ditujukan guna meningkatkan produktivitas pertanian supaya kesejahteraan masyarakat meningkat, serta hendak mengenalkan kepada masyarakat mengenai cara melindungi hutan dari penggunaan dan penyalahgunaan tanah, seperti ladang berpindah. Belanda lantas menerapkan kebijakan penertiban dengan mendorong penduduk pegunungan yang dianggap terbelakang untuk memeluk agama Kristen, meninggalkan agama nenek moyang mereka. Perlahan identitas masyarakat setempat mulai dihilangkan. Kepengaturan ini lantas memicu pemindahan penduduk dari lokasi dusun berlereng ke lembah Palu yang lebih padat penduduk. Mereka membangun sawah-sawah di bawah komando tangan besi Belanda. Akan tetapi proyek ini mengalami kegagalan yang mengenaskan akibat wabah penyakit. Semasa Orde Baru, ternyata Pemerintah saat itu banyak mengerjakan proyek-proyek yang sesungguhnya pernah dilakukan di masa kolonial. Replikasi proyek ini mengingatkan kita pada proses reinkarnasi rezim Orde Baru dari pemerintah kolonial Belanda. Intervensi Orde Baru bisa dikatakan tidak ada perbedaan dengan masa kolonial, tercermin lewat proyek-proyek seperti proses pemindahan penduduk, pembentukan tapal batas kawasan hutan dan non hutan dan intensifikasi pertanian. Bahkan, proyek pemindahan penduduk antarpulau juga dilakukan Orde Baru di Sulawesi Tengah dengan masuknya orang Jawa dan Bali melalui program transmigrasi. Untuk mempermudah kepengaturan, Pemerintah Orde Baru melabeli mereka dengan stigma “masyarakat
terasing”, sebuah proyek yang menggambarkan masyarakat pegunungan sebagai manusia yang serba kekurangan dan butuh bimbingan. Kerugian nyata yang diterima masyarakat pegunungan akibat kepengaturan sangat besar. Mereka pada akhirnya kehilangan akses terhadap tanah sebagai akibat pengambilalihan negara atas nama hukum dan proyek-proyek pembangunan Pemerintah. Mereka juga menjadi korban atas perubahan cara pandang terhadap tanah yang oleh negara maupun pemilik kapital dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Dampak kepengaturan ini kemudian menghasilkan pembentukan beragam identitas di wilayah pegunungan Sulawesi Tengah yang belakangan memicu ketegangan sosial. Proyek-proyek teknis yang berkehendak mengubah perilaku masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang dianggap mengancam keragaman hayati dan lingkungan hidup menjadi objek kajian Tania Li juga. Serangkaian pendidikan dan usaha kolaborasi telah dilakukan untuk mengubah perilaku dan tata cara bertani masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan masyarakat dari sentuhan langsung dengan Taman Nasional. Nampaklah bahwa kepengaturan mulai dilakukan secara intensif tidak saja oleh Pemerintah, namun juga oleh lembaga-lembaga donor internasional dan LSM yang oleh Li dikelompokkan sebagai wali masyarakat. Yang lagi-lagi mudah ditemukan kegagalannya di lapangan. Kegagalan demi kegagalan tersebut telah menimbulkan sejumlah kekecewaan dan perlawanan masyarakat. Mereka kemudian berniat mengembalikan kembali klaim mereka atas sumberdaya, khususnya tanah yang diambil alih atas nama pengaturan oleh Pemerintah. Proses perlawanan masyarakat dilakukan melalui Forum Petani Merdeka (FPM) yang didukung oleh aktivis yang tergabung dalam Yayasan Tanah Merdeka. Proses perjuangan pengembalian klaim atas tanah dalam taman nasional itu sendiri telah banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan di antara sesama aktivis dan Pemerintah, karena wilayah taman nasional itu sendiri yang mengandung makna pelestarian lingkungan dan identitas masyarakat adat yang dilekatkan kepada FPM. Apa yang dibahas oleh Li adalah pendalaman dan kritik dari banyak konsep usaha perbaikan kepada masyarakat. Mulai dari kehendak perbaikan yang masih mengutamakan pendekatan atas ke bawah (top down) hingga kehendak memperbaiki dengan mengutamakan skema pendekatan partisipatif, kolaboratif dan berbasis masyarakat yang tidak dapat dijalankan secara baik karena tiada bersungguhsungguh dalam implementasi. Menurut Li, selama ini ada dua pertentangan mendasar dalam kehendak untuk memperbaiki, yaitu kontradiksi antara penetrasi kapitalisme dengan kehendak untuk memperbaiki masyarakat yang justru
mengalami dampak negatif dari proses kapitalisme tersebut. Kedua adalah cara perancangan program perbaikan yang mempertegas batas antara para ahli dan wali dengan masyarakat yang hendak diperbaiki itu sendiri. Buku ini memberi informasi dan analisa yang kaya mengenai perubahan kondisi agraria masyarakat dalam Taman Nasional Lore Lindu, di pegunungan Sulawesi Tengah, akibat kapitalisme. Masyarakat setempat mengalami penghilangan kepemilikan atas tanah dan pengusiran. Buku ini juga mengulas perubahan etnografi sebagai akibat perampasan tanah masyarakat. Hal ini menguatkan banyak hipotesis bahwa kekerasan dan konflik horizontal banyak dipicu oleh krisis agraria yang tengah berlangsung. Dalam kesimpulan buku ini, Li mengajukan mengajukan solusi persis seperti yang disampaikan pakar agraria senior di atas: perlunya perbaikan atas upaya perbaikan yang selama ini dijalankan. Tidak hanya mempertahankan dan meyakini sisi niat baik dari usaha perbaikan yang selama ini direncanakan dan dijalankan.