28
BAB II PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Defenisi Pengadaan Tanah Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah di lakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah diatur dalam peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) nomor 15 tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan keputusan presiden (Keppres) nomor 55 tahun 1993,yang kemudian juga digantikan dengan Perpres no 36/2005 yang telah diubah dengan Perpres no 65/2006. Perpres no 36/2005 memperoleh reaksi luas dari masyarakat karena berbagai kelemahan.Pembahasannya difokuskan pada 4 hal yakni: 1. Landasan hukum pengadaan tanah dan asas-asas pengadaan tanah. 2. Pengaturan tentang kepentingan umum dalam berbagai peraturan perundangundangan terkait perolehan tanah. 3. Pelaksanaan pengadaan tanah . 4. Komentar/catatan terhadap butir-butir Peraturan Kepala BPN No 3/2007. Sebelum berlakunya keppres no 55/1993,dalam UU no 20/1961 tentang pecabutan
Universitas Sumatera Utara
29
hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya digunakan pendekatan yang luas tentang pengertian kepentingan umum dan dalam Inpres no 9/1973. Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.23 Pengadaan tanah melalui keppres yang dilakukan melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Berbeda dengan waktu yang lampau, dimana pihak swasta dapat memanfaatkan lembaga pembebasan tanah menurut tata cara yang diatur oleh Permendagri no 15/1975 berdasarkan Permendagri no 2/1976, maka sekarang jelas bahwa untuk kepentingan bisnis, pengambilalihan tanah harus dilakukan secara langsung antar pihak swasta dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan serta tanaman dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain atas dasar musyawarah (pasal 2 ayat(3) Keppres no 55/1993. Bagi instansi pemerintah pun, bila kegiatan pembangunan yang direncanakan tidak termasuk dalam kategori kegiatan dalam pasal 5 angka 1 tersebut, maka pengadaan tanahnya harus dilaksanakan secara langsung dengan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan,tanaman,dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,atas dasar musyawarh (pasal47 ayat(1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 1/1994).Disamping itu pasal 23 Keppres no 55/1993 menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luas tidak lebih dari 1 Ha (skala kecil) dapat 23 Harsono dan Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 21-43.
Universitas Sumatera Utara
30
dilakukan langsung oleh instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, dengan cara jual-beli,tukar-menukar, atau cara-cara lain yang disepakati bersama. 24 Bagaimana dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh otorita, BUMN,dan BUMD. Dalam surat Pengantar Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tanggal 29 juni 1994 disebutkan, bahwa untuk otorita,BUMN/BUMD bila kegiatannya termasuk dalam pasal 5 angka 1, maka dapat dibantu oleh Panitia Pengadaan Tanah, tetapi harus dimohonkan terlebih dahulu kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. Hal itu berarti bahwa bila kegiatan untuk kepentingan umum itu tidak termasuk dalam pasal 5 angka 1, maka keppres no 55/1993 tidak otomatis
berlaku
terhadapnya,
melainkan
harus
dimohon
oleh
Menteri/Ketua
Lembaga/Direktur BUMN/BUMD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara agar Keppre no 55/1993 dapat diberlakukan kepadanya. Tugas panitia Pengadaan Tanah adalah : a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,bangunan,tanaman dan bendabenda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan. b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan. d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pebangunan dan atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan 24 Ibid, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
31
pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan pemegang hak atas tanah. e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi. f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah,bangunan,tanaman.dan benda-benda lain yang ada di atas tanah. g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Penggunaan tanah hanyalah untuk kepentingan umum dalam arti meliputi kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemrintahan atau Pemerintah Daerah yang selanjutnya dimiliki (bukan diartikan sebagai hak milik atas tanahnya) atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi :25 a. Jalan umum dan jalan tol,rel kreta api (di atas tanah, di ruang atas tanah ataupun di ruang bawah tanah)saluran air minum/air bersih,saluran pembuangan air dan sanitasi, b. Waduk,bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya c. Pelabuhan.bandara udara,stasiun kreta api dan terminal. 25 Maria s.w. Sumardjono, Tanah pembangunan umum sosial dan budaya, Buku Kompas, Yogyakarta, 2008, hal. 45-56.
Universitas Sumatera Utara
32
d. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir.lahar dan lain-lain bencana. e. Tempat pembuangan sampah f. F cagar alam dan cagar budaya. g. Pembangkit,transmisi,distribusi tenaga listrik. Musyawarah yang mesti dilakukan untuk memperoleh kesepakatan terfokus kepada pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut, bentuk dan besarnya ganti rugi, ada beberapa hal yang perlu dipahami secara cermat, yaitu: a. bahwa pengadaan tanah itu ada untuk pembangunan: 1) kepentingan umum, dan 2) selain dari kepentingan umum. b. bahwa pembangunan untuk kepentingan umum itu ada: 1)selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan 2) selanjutnya bukan untuk dimiliki atau akan dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah. c. bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum itu meliputi : 1) yang tidak dapat diahlikan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke lokasi lain, dan 2) yang masih dapat diahlikan/dipindahkan ke lokasi lain. 1. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
Universitas Sumatera Utara
33
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. 2. Dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan
dengan
cara
pelepasan
hak
dan
pencabutan
hak
atas
tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.26 3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak. Namum menurut pasal 1 angka 2 Perpres No. 71 Tahun 2012 adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak, yang dimaksud dengan pihak yang berhak adalah pihka yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (pasal 1 angka 3 Perpres No. 71 Tahun 2012). Pihak tersebut memiliki tanah dan atau menyediakan tanah sebagai objek dari rencana pangadaan tanah dengan menerima ganti kerugian yang layak dan adil bagi mereka.
26 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman tanah UUPA, Jakarta, Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 7-9.
Universitas Sumatera Utara
34
B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA Pasal 4 ayat (1) UUPA menyebutkan atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Meskipun pasal ini menyebutkan macam-macam hak atas tanah namun tidak ada dijelaskan mengenai hak-hak apa yang dimaksud. Untuk itu kiranya dengan melihat pasal 16 UUPA maka terjawablah ketidakjelasaan dari pasal 4 tersebut. Menurut ketentuan dalam pasal 16 UUPA ada dikenal beberapa macam hak atas tanah, yaitu: 1) Hak- hak atas tanah sebagai dimkasud dengan pasal 4 ayat (1) ialah: a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Universitas Sumatera Utara
35
Hak-hak atas tanah yang terdapat dalam pasal 16 ini yang semula bersifat limitatif, tetapi dalam perkembangannya tidaklah bersifat limitatif, karena masih memberi kemungkinan untuk munculnya hak-hak baru atas agraria lainnya,salah satu contohnya Hak Pengelolaan.27 Menurut Soedikno Hertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2,yaitu: 1. Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sebagaimana di perlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hak lain yang lebih tinggi (pasal 4 ayat (2) UUPA); 2. Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah yang mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam-macam hak atas tanahnya misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertama dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah hak guna bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada hak guna usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya wewenang pada hak guna usaha adalah menggunakan
27
Ibid hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
36
tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, peternakan atau perkebunan.28 Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu: 1. Hak atas tanah yang bersifat primer Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara, data antara lain, Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan atas tanah negara, hak perkara-perkara atas tanah negara. 2. Hak Atas tanah yang bersifat sekunder Yaitu hak tanah yang berasal dari pihak lain, yaitu Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan Hak Gadai, Hak Menumpang. Lebih lanjut perlu dijelaskan secara terperinci mengenai hak-hak atas tanah yang dimaksud di atas. 1. Hak Milik Hak Milik sebagaimana diatur dalam pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh prang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6. Pemberian sifat terkuat dan terpenuh di sini bukanlah berarti bahwa hak tersebut bersifat mutlak serta tidak dapat digangu gugat, sebagaimana sifat asli dari hak eigendom yang 28
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
37
pernah diberlakukan sebelum lahirnya UUPA, melainkan dibatasi oleh pengertian dan isi dari fungsi sosial. KUHP Perdata Hak eigendom Mutlak. UUPA Hak milik Fungsi Sosial. Menurut Pasal 22 UUPA, Hak Milik dapat terjadi: a. Menurut Hukum Adat b. Karena Penetapan Pemerintah c. Karena Undang-undang
a. Terjadinya Hak Milik Menurut Hukum Adat Sesuai dengan salah satu prinsip dasar dari UUPA, bahwa UUPA, adalah perangkat hukum yang berdasarkan Hukum Adat, namun kedudukan pengertian dan ruang lingkup Hukum Adat yang dimaksudkan di sini adalah berbeda dengan kedudukan, pengertian dan ruang lingkup Hukum Adat yang ada sebelumnya. Sehingga wajar di mana UUPA juga memberikan kemungkinan terjadinya hak milik menurut ketentuan-ketentuan yang dulu dikenal dalam Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.29 Terjadinya hak milik menurut Hukum Adat antara lain dalam hubungannya dengan hak ulayat. Menurut Pasal 22 UUPA hal ini harus diatur dengan Peraturan Pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara.
29 Tampil Ansari Siregar, Pendalaman Lanjutan UUPA, Pustaka Bangsa Press, 2009, hal. 199-205.
Universitas Sumatera Utara
38
Demikian pula Hak Milik dapat terjadi karena konversi dari tanah-tanah eks. Hukum Adat, menurut ketentuan-ketentuan hak atas tanah yang diakui dapat dikonversi menjadi Hak Milik (dilihat penjelasaan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997). b. Terjadinya Hak Milik Menurut Penetapan Pemerintah Pemerintah memberikan hak milik atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara berdasarkan suatu permohonan. Selain memberikan hak milik yang baru sama sekali juga dapat memberi hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang sudah ada umpamanya, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Secara umum pemberi hak milik atas tanah telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Naional no 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberi Hak Atas Tanah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 Tahun 1972 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberi Hak Atas Tanah. Menurut Pasal 2PMA/Ka BPN No.31/1999 kewenangan untuk pemberi hak atas tanah secara individual dan kolektif dan keputusan pembatalan keputusan pemberi hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. c. Terjadinya Hak Milik Menurut Undang-undang Hak Milik dapat terjadi menurut ketentuan undang-undang melalui lembaga konversi.Menurut ketentuan tersebut beberapa hak atas tanah yang ada sebelum diundangkannya UUPA dikonversikan menjadi hak milik apabila yang mempunyai hak milik pada tanggal 24 September mempunyai kewarganegaraan tunggal.
Universitas Sumatera Utara
39
Hak-hak yang dapat menjadi hak milik berdasarkan ketentuan konversi antara lain:30 a. Hak eigendom atas tanah yang ada, setelah berlakunya UUPA sejak tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi hak mili, bilamana telah memenui persayaratnpersyarat yang telah di tentukan; b. Hak
agrarisch
eigendom,
milik
yayasan,
hak
andarbeni,grand
sultan,
landerijen,erfacht,hak usaha atas tanah partikelir, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik sepanjang pemegang memenuhi persyaratan yang ditentukan; c. Hak gogolan,pekulen atau sanggan yang bersifat tetap mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik; d. Hak milik berdasarkan surat keputusan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional atau dari Kepala Kanwil BPN Vide Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1972 yo SK 5a/DPA/1970.
2. Hak Guna Usaha a. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 guna perusahaan pertanian,perikanan dan pertenakan; b. Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. 30 Ibid, hal. 207
Universitas Sumatera Utara
40
c. Hak Guna Usaha dapat beralih dan diahlikan pada pihak lain.
3. Hak Guna Bangunan Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. a. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunan,jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan paling lama 20 tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan diahlikan kepada pihak lain.
4. Hak Pakai Adalah hak untuk menggunakan dan atau memunggut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh Pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. 5. Hak Guna Sewa Adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang sewa pada tiap-tiap waktu tertentu.
Universitas Sumatera Utara
41
6. Hak Guna Membuka Tanah Hak memungut hasil hutan Adalah hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas tanah dalam arti yang sesungguhnya. Dikatakan demikian karena kedua hak tersebut tidak memberi wewenang untuk menggunakan tanah.1 Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan merupakan bentuk pengejawantahan hak ulayat. Tujuan dari dimasukkannya kedua hak ini ke dalam UUPA adalah semata-mata untuk menselaraskan UUPA dengan hukum adat.Pasal 46 ayat (2) UUPA menentukan bahwa penggunaan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya memberikan hak milik kepada pengguna tersebut. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai hak memungut hasil hutan terdapat di Undang-Undang Pokok Kehutanan.31 7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Adalah masih terdapat hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Hak-hak yang bersifat sementara tersebut antara lain: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian (Pasal 53 UUPA). Hak-hak tersebut bersifat sementara karena suatu saat lembaga hukum tersebut tidak akan ada lagi. Hal ini disebabkan karena hak-hak tersebut dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional.2 Hak gadai, hak usaha bagi hasil dan hak sewa tanah dipandang membuka peluang untuk terjadinya pemerasan, sedangkan hak menumpang juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hukum agraria Indonesia karena mengandung sisa unsur feodal.3 Harus diakui hingga saat ini hak-hak tersebut belum
31
Ibid, hal 210
Universitas Sumatera Utara
42
sepenuhnya hapus, namun hak-hak tersebut harus tetap diatur untuk mebatasi sifatnya yang bertentangan dengan UUPA.32 Dalam pembahasan ini selanjutnya sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia no 26 tahun 1988 tugas bidang pertanahan berada pada Departemen Dalam Negeri yang mana dilaksanakan oleh Direktoral Jendral Agraria, setelah diterbitkannya keppres no 26 Tahun 1988 tersebut, maka tugas di bidang pertanahan berada pada Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 2 Keppres tersebut ditegaskan bahwa Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan yang baik berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya yang meliputi: 1. Pengaturan, pengguna penguasaan dan pemilikan tanah 2. Pengurusan hak-hak atas tanah 3. Pengukuran dan pendaftaran tanah 4. Lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden. C. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah Pengadaan Tanah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. 32
Ibid, hal 215
Universitas Sumatera Utara
43
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu : 1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah). 2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.33 Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari 33 Arie Sukanti, Bentuk Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 2009, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
44
segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya. Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi.34
34 Binsar Simbolon, Bentuk-bentuk pengadaan tanah Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, Buku Pintar, 2010, hal. 4-6.
Universitas Sumatera Utara