Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
SENGKETA TANAH : SUATU BENTUK PERTENTANGAN ATAS PEMBEBASAN TANAH RAKYAT UNTUK PEMBANGUNAN (Studi Kasus: Pembebasan Tanah Untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)
Tania Dora Warokka, Zulkifli, Muba Simanihuruk
Abstract: The design of this thesis is based on the result of field research towards social community as well as parties involved in the process of land liberation which is planned for construction of Kuala Namu Airport in order to replace Medan Polonia Airport. This research tried to describe the process of land liberation and how the receival or the refusal reaction of the people surrounds toward the process itself. Research data found that the land liberation happened in both Kecamatan Beringin and Pantai. The differences of land status owned , those are land of individual property and land of the farming party, made the execution of liberation needed process in some stages, started from socialization, measurement, inventory and overtaking payment. Group of people with land status of individual property, undergo all the steps of the process until it was clear while Pasar VI Kuala Namu village of which lands were the property of PTPN II did not pass all the steps of liberation process procedurally so that it invited the conflict until today. Therefore it can be said the process of land liberation does not move democratically as a whole. Based on the data collected, the result of writer’s analysis explains that the existence of different accepting reaction by the people towards the land liberation was not caused by the differences of status of land own itself but there are several factors influenced, like the low level of consciousness as well as understanding of people on the land own rights as the resource with economic value where the attitude of being given more space for poor people especially farmers to be able to stand for what they deserve, and the weak involving of non government organization in advocating land cases arise. Keywords: land dispute, land liberation, construction, replacement and conflict PENDAHULUAN Kebutuhan transportasi suatu kota banyak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah penghuni kota tersebut. Semakin besar jumlah penduduk suatu kota akan cenderung semakin banyak fasilitas prasarana dan sarana angkutan umum yang dibutuhkan. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengundang peningkatan sarana transportasi. Sementara itu pembangunan sarana dan prasarana transportasi akan mengundang atau menjadi daya tarik bagi tumbuhnya pemukiman. Jadi transportasi merupakan salah satu faktor kunci pemberi pelayanan/jasa dalam kebutuhan penduduk kota.. Maka keberadaan dan kesiapan fasilitas jasa pelayanan transportasi udara adalah merupakan salah satu faktor penting dan mendukung. Saat ini Bandar Udara Polonia Medan yan dikelola PT Angkasa Pura II di
samping keberadaannya memberikan jasa pelayanan transportasi udara baik domestik maupun Internasional juga berperan sebagai pintu gerbang Indonesia Belahan Barat guna pertumbuhan kerjasama Segi Tiga Utara (IMTOT) yaitu antara Sumatera Utara-Aceh dengan Malaysia dan Thailand. Untuk itu banyak pihak yang terpaksa harus mengalah demi keamanan Bandara Polonia, misalnya beberapa bangunan terpaksa harus dipangkas, seperti bangunan Istana Plaza yang terletak di Jalan Ir. Juanda Medan yang hanya berjarak 643,5 meter dari landasan Polonia. Semula, plaza ini berlantai tujuh, kini harus puas hanya mempunyai lima lantai saja. Begitu juga dengan gedung Bank Indonesia, yang berjarak empat kilometer, hanya boleh dibangun delapan tingkat saja. Polonia yang merupakan pintu gerbang bagi angkutan udara domestik dan luar negeri
Tania Dora Warokka adalah Staf di Save The Children Zulkifli dan Muba Simanihuruk adalah Dosen MSP SPs USU
63
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
sudah sangat terbatas kemampuannya. Tercatat pada puncaknya mencapai 71 penerbangan in dan out di atas runaway. Artinya terdapat 75 pesawat yang keluar masuk setiap harinya. Rencananya panjang landasan akan mencapai 4000 meter yang jauh lebih luas bila dibandingkan dengan panjang landasan Polonia saat ini 2.900 meter. Dengan demikian bandara baru Medan ini diperkirakan akan mampu menampung beragam jenis pesawat dari yang berbadan kecil sampai boeing 747 atau yang lebih besar lagi. Dengan areal yang begitu luas diharapkan mampu menampung 4 juta penumpang. Sebagai tahapan awal dari pembangunan bandara, pada tahun 1997 yang lalu pembebasan tanah telah dilakukan, yang mencakup 8 desa yang terletak pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin. Berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan, dari dua lokasi kecamatan ini, perbedaan status tanah cukup berpengaruh kepada reaksi masyarakat atas pembebasan tanah tersebut. Di dua kecamatan ini, terdapat desa yang lahannya merupakan tanah perkebunan sehingga pembayaran ganti rugi sampai sekarang ini belum selesai, sementara itu di beberapa desa lainnya seperti Beringin, Sidodadi Ramunia, Pantai Labu Pekan, Pantai Labu Baru, Sidourip dan Pasar V Kebun Kelapa di mana tanah-tanahnya adalah hak milik pribadi, pembayaran ganti rugi sudah selesai dan penerimaan masyarakat relatif menerima. Penelitian ini merupakan kajian mengenai sengketa tanah yang diawali oleh adanya pembebasan tanah. Tanah memiliki arti penting bagi masyarakat khususnya bagi petani, di mana keberadaan tanah tidak saja bermakna sebagai modal untuk berproduksi tetapi juga merupakan bagian dari sejarah kehidupannya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses pembebasan tanah yang terjadi dalam proyek pembangunan Bandara Kuala Namu Deli Serdang, dan bagaimanakah reaksi yang muncul dari masyarakat yang terkena proyek pembebasan tanah, baik yang menerima maupun yang menolaknya. METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Dalam menganalisa datadata yang terkumpul digunakan gabungan
64
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Untuk kepentingan analisis kualitatif yang mendalam dan terfokus. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) karena adanya upaya untuk mengamati secara langsung gejala sosial yang diteliti, berusaha untuk memahami fenomena yang tidak diprediksi sebelumnya dan mengembangkan kesimpulan-kesimpulan tentatif untuk dipelajari lebih lanjut. (Earl. R. Babbie; 1979; 205-206, Sitorus, 1997, 44). Dalam pengumpulan data-data yang diperlukan peneliti telah mengumpulkan data kualitatif dan data kuantitatif, yang dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (depth interview) terhadap key informan, penyebaran kuesioner. Selain data ini, peneliti juga telah mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen. PEMBAHASAN Permasalahan konflik pertanahan yang akan dibahas berawal dari adanya pembebasan sejumlah lahan yang rencananya akan dipergunakan untuk pembangunan Bandara Kuala Namu sebagai pengganti Bandara Polonia Medan. Sebagai sebuah proyek besar, rencana pembangunan Bandara Kuala Namu telah diketahui oleh masyarakat sebelum adanya sosialisasi resmi. Mengetahui tentang akan adanya pembebasan tanah, pada umumnya masyarakat setuju dengan adanya rencana pembangunan tersebut, mereka ber-pandangan bahwa dengan akan dibangunnya bandara baru maka daerah sekitar tempat tinggal mereka akan lebih ramai dan maju, sehingga kemajuan tingkat kehidupan dapat tercapai. Proses Pembebasan Tanah Proses utama yang harus dilalui sebelum berjalannya pembangunan bandara Kuala Namu adalah proses pembebasan tanah yaitu sebuah proses pengalihan kepemilikan tanah dari pemilik sebelumnya kepada PT. Angkasa Pura II. Didalam proses pembebasan tanah ini, juga terdapat sejumlah tahapan penting sebagai sebuah rangkaian yaitu; pembentukan tim pembebasan tanah, pemberian sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah, inventarisasi kepemilikan hingga pembayaran ganti rugi.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Pembentukan Tim PembebasanTanah Mengawali proses pembebasan tanah untuk pembangunan Bandara Kuala Namu, dibentuklah Tim Pembebasan tanah yang sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.76 Tahun 1994 Tentang Pembentukan Panitia Pemindahan Bandar Udara Polonia Medan dan juga Surat Keputusan Bupati KDH Tingkat II Deli Serdang Nomor: 591.05/22/DS/Tahun 1995 Tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Tingkat II Deli Serdang. Dengan telah terbentuknya Tim pembebasan tanah tersebut, untuk selanjutnya, tim ini mempunyai tugas untuk melaksanakan rapat koordinasi antar instansi terkait, melakukan penyuluhan kepada masyarakat/ pemilik tanah yang terkena proyek, melakukan pengukuran keliling areal proyek , melakukan pengukuran rincikan pemilikan tanah, mengadakan inventarisasi subjek dan objek serta bangunan dan tanaman yang tumbuh di atasnya tiap rincikan pemiliknya, melakukan musyawarah antar panitia dengan pemilik tanah tentang besarnya ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman berdasarkan harga yang nyata/sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan menetapkan besarnya ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman tiap persil/pemilikan tanah. Sehubungan dengan tugas-tugas tersebut maka Departemen Perhubungan dalam hal ini PT. Persero Angkasa Pura II akan membayarkan ganti rugi sesuai penetapan panitia pengadaan tanah, setelah selesai pembayaran ganti rugi, PT. Persero Angkasa Pura II mengajukan permohonan hak pakai kepada Badan Pertanahan Nasional. Didalam proses pembebasan tanah ini, penulis juga ingin mengetahui apakah ada bentuk-bentuk tekanan bahkan ancaman yang disampaikan oleh Tim Pembebasan kepada masyarakat. Hal ini penting diketahui sebagai salah satu pedoman apakah proses pembebasan ini berlangsung cukup demokratis tanpa paksaan dan tidak manipulatif. Pada umumnya masyarakat mengaku tidak menerima tekanan ataupun ancaman dari Tim Pembebasan, namun begitu terdapat juga beberapa orang yang mengaku disuruh untuk menerima saja bila tanahnya nanti dibebaskan dan menerima ganti rugi. Hal ini dapat terlihat dari hasil penyebaran
kuesioner yang dilakukan, sebagian besar responden mengaku tidak menerima tekanan atau ancaman dari pihak Tim Pembebasan, dan selebihnya mengaku menerina tekanan. Sosialisasi Pembebasan Tanah Tahapan awal yang dilakukan oleh Tim Pembebasan dalam rangkaian proses pembebasan tanah ini adalah Tahapan Sosialisasi. Pada tahap sosialisasi ini, bertujuan untuk menyampaikan informasi awal kepada masyarakat bahwa tanah mereka akan dibebaskan untuk kepentingan pembangunan Bandara Kwala Namu sabagai pengganti Bandara Polonia Medan. Dapat dijelaskan sebelum Tim Pembebasan memberitahukan secara resmi kepada masyarakat, mereka telah lebih dulu mengetahui mengenai rencana pembebasan tanah tersebut. Selama mereka melakukan tahapan penyuluhan ini, reaksi masyarakat cukup sulit menerima dalam arti banyak masyarakat yang mengajukan keberatannya karena alasan: kenapa harus di lokasi mereka, keberatan karena sudah enak-enak berkumpul dengan keluarga, dan ketakutan masyarakat akan adanya korupsi aparat pemerintah. Banyaknya sosialisasi yang diterima oleh masyarakat cukup bervariasi, hal ini menurut salah seorang anggota Tim Pembebasan dapat terjadi karena memang Tim pada waktu itu memang tidak menentukan berapa kali sosialisasi akan dilakukan tetapi tergantung dari situasi dan kondisi di lapangan, artinya apabila ada daerah yang memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut akan dilakukan sosialisasi kembali. Tahapan selanjutnya yang dilakukan Tim Pembebasan adalah pengukuran dan inventarisasi. Pada saat pengukuran berlangsung, masyarakat yang sebelumnya telah memperoleh pemberitahuan bahwa akan dilakukan pengukuran turut menyaksikan pengukuran. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat menyesuaikan ukuran yang dimilikinya dengan hasil pengukuran. Tahapan terakhir adalah tahapan pembayaran ganti rugi yang didahului oleh adanya negosiasi harga yang berulang-ulang kali dan membutuhkan waktu yang hampir satu tahun. Dalam proses pembayaran ganti rugi ini, beberapa dinas dan instansi yang terkait di dalam tim pembebasan tanah telah mengeluarkan daftar harga sebagai pedoman pembayaran ganti rugi. Seperti Badan Pertahanan Nasional untuk harga
65
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
tanah, Dinas Pertanian dan Perkebunan untuk harga tanam-tanaman dan Dinas PU untuk harga bangunan. Harga tanah untuk Kecamatan Pantai Labu telah dibagi berdasarkan lokasi dan kelas tanahnya. Meskipun sama-sama berada pada satu Kecamatan yang sama, tetapi harga tanah untuk masing-masing desa berbeda satu sama lainnya baik harga tanah yang belum mempunyai sertifikat (masih berupa surat Keterangan Kepala Desa) ataupun tanah yang telah mempunyai sertifikat. Perbedaan harga jual tanah tersebut meskipun berada pada kelas tanah yang sama karena selain mengacu kepada NJOP, ternyata kesepakatan akhir dengan pihak Angkasa Pura adalah mengacu kepada nilai jual terakhir yang tercatat di Kecamatan. Perubahan ini karena menyikapi keberatan dari di mana hanya mengacu kepada NJOP maka nilai ganti rugi tanah akan sangat kecil sekali. Besarnya nilai ganti rugi tanah ini berdasarkan pada Nilai Nyata atau sebenarnya sesuai dengan Surat Keterangan Camat Pantai Labu No.5922/25 tanggal 03 Maret 1997 dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tebing Tinggi No. 1420/WPJ.01/ KB.0803/1997 tanggal 07 April 1997. Negosiasi harga menjadi bagian yang penting dalam tahapan pembayaran ganti rugi ini, di mana dalam proses ini masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatannya atas harga yang ditawarkan oleh pihak pembeli dalam hal Angkasa Pura II. Meskipun demikian, masih ada juga responden yang mengaku tidak pernah memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi harga. Pembebasan tanah yang dilakukan ini adalah merupakan pembebasan tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan umum dengan menggunakan pendekatan formal administratif (legal formal approach), seperti yang dijelaskan oleh Dianto Bachriadi (Hariadi; 1995), pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling sering dilakukan mengingat banyak tanahtanah yang dikuasai petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat-menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara. Dalam setiap praktek pembebasan tanah, pihak pemegang hak atas tanah kerap kali
66
menjadi pihak yang dirugikan, tanpa bisa mengadakan negosiasi yang berimbang, di mana hak-hak mereka diakui dan dilindungi. Meskipun nilai ganti rugi atas tanah, bangunan dan tanaman telah ditetapkan, tetapi proses negosiasi tetap ada. Harga yang paling banyak dinegosiasikan adalah diseputar harga tanah. Banyaknya tawaran ataupun keberatan yang datang dari masyarakat mengenai harga tanah mereka adalah karena terdapatnya perbedaan penentuan harga tanah. Negosiasi harga menjadi bagian yang penting dalam tahapan pembayaran ganti rugi ini, di mana dalam proses ini masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatannya atas harga yang ditawarkan oleh pihak pembeli dalam hal Angkasa Pura II. Meskipun demikian, masih ada juga responden yang mengaku tidak pernah memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi harga. Pada kasus pembebasan ini, selain faktor kelengkapan surat-surat tanah yang belum lengkap, hal ini juga dapat menentukan harga ganti rugi atas tanah tersebut. Dari hasil penelitian didapati bahwa pada saat akan mengambil uang ganti rugi, masyarakat juga harus membawa lembaran bukti inventarisir (berita acara) yang telah ditanda tangani sebelumnya pada waktu pengukuran tanah berlangsung. Sebagian besar responden hanya membawa lembar inventarisasi tersebut, dan selebihnya membawa KTP saja, terlihat tidak ada responden yang membawa Surat Tanah atau Kartu Keluarga. Kurang lengkapnya surat-surat tanah yang mereka miliki disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hanya dengan surat keterangan kepala desa atau bahkan hanya dengan sebuah patok, maka tanah tersebut telah dinyatakan sebagai miliknya. Selain itu faktor sejarah kepemilikan tanah masyarakat yang berasal dari tanah-tanah bekas perkebunan yang HGU nya telah lama berakhir dan ditempati oleh masyarakat hingga tiga sampai empat generasi telah dinyatakan sebagai miliknya. Variabel yang sangat menentukan dalam proses pembebasan tanah adalah asas musyawarah dan ganti rugi. Kedua variabel inilah yang bila tidak berjalan dengan baik kerap menjadi titik balik munculnya konflik atas tanah (Hariadi, 1995). Untuk kasus pembebasan tanah ini, kedua variabel tersebut ternyata juga
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
menentukan apakah terjadi reaksi penerimaan atau penolakan masyarakat. Artinya sekelompok masyarakat yang relatif lebih banyak dilibatkan dalam pertemuanpertemuan (musyawarah), mendapatkan informasi yang lebih banyak mengenai pembebasan ini, sehingga perdebatan yang kerap muncul di dalam masyarakat hanyalah penentuan harga ganti rugi. Namun kenyataan lain yang terjadi pada sekelompok masyaraka yang tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah melalui pertemuan demi pertemuan yang dilakukan oleh tim pembebasan membuat masyarakat merasa terancam kepastian akan kelangsungan hidup dan tempat tinggal mereka, akibatnya perjuangan untuk tetap meminta kepastian hidup setelah pembebasan terus diperjuangkan. Pendekatan formal administratif yang digunakan membuat masyarakat tidak bisa secara bebas mengungkapkan keberatan atau bahkan penolakannya terhadap pembebasan tanah ini. Masyarakat petani dalam hal ini cenderung untuk bersikap menerima dan pasrah kepada keadaan. Seperti di dalam proses pengukuran tanah, bangunan dan tanam-tanaman, meskipun sebagian besar masyarakat ikut menyaksikannya tetapi ada juga yang keberatan dengan hasil pengukuran tim tersebut. Dari beberapa masyarakat yang diwawancarai, terdapat 8 % dari mereka yang pernah mengajukan keberatannya atas hasil pengukuran. Keberatan ini kebanyakan adalah mengenai luas tanah mereka, yaitu adanya perbedaan luas tanah antara hasil pengukuran petugas dengan perhitungan si pemilik tanah tersebut. Setelah didata, masyarakat juga harus menandatangani berita acara inventarisasi baik yang untuk tanah, bangunan ataupun tanaman. Seluruh hasil inventarisasi selanjutnya ditempelkan di Kantor Kepala Desa agar masyarakat bisa melihat hasil perhitungan dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan apabila hasil inventarisasi tidak sesuai dengan yang dimiliki. Keberatan tersebut dapat disampaikan kepada kepala desa masing-masing. Setelah semua masyarakat melihat dan tidak ada lagi pengumuman maka hasil resmi inventarisasi kembali ditempel dan dilaporkan ke Angkasa Pura.
Konflik Tanah yang Muncul Pembebasan tanah ini menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan kepada penerimaan masyarakat yang berbeda satu sama lainnya. Selain itu, permasalahan antara status tanah yang dimiliki yaitu antara tanah milik pribadi dengan tanah milik perkebunan ternyata menjadi penyebab perbedaan tata cara pembayaran ganti rugi yang memunculkan konflik di dalam masyarakat. Secara keseluruhan, proyek ini membebaskan tanah masyarakat yang berlokasi di delapan desa, tetapi dari kedelapan desa tersebut, ternyata konflik sosial yang muncul tidak pada semua desa, secara khusus juga pembahasan mengenai konflik sosial ini akan memfokuskan pembahasan pada konflik sosial yang terjadi pada Desa Pasar VI Kuala Namu yang sampai saat ini masih berlangsung. Dalam menjelaskan bagaimana konflik sosial yang terjadi di Desa Pasar VI Kuala Namu, analisa akan dibagi kedalam tiga bagian yaitu: pra-konflik, konflik dan pasca konflik. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan analisa dan pembahasan serta agar gambaran menganai konflik sosial yang terjadi dapat terlihat secara bertahap. Pra Konflik Sampai saat ini, permasalahan tanah yang masih terjadi dengan adanya pembebasan tanah adalah antara masyarakat di Desa Pasar VI Kuala Namu dengan PTPN II selaku pemilik Perkebunan. Hal ini disebabkan karena wilayah Desa Pasar VI Kebun Kelapa adalah merupakan termasuk wilayah kerja PTPN II sehingga luas desa yang mencapai 890 Ha merupakan tanah milik perkebunan. Informasi mengenai pembangunan Bandara Kuala Namu, sebelumnya secara tidak resmi telah diketahui oleh masyarakat desa pasar VI dari tetangga mereka di desa sebelah yaitu Desa Pasar V dan desa lainnya seperti Desa Beringin. Ketiadaan pemberitahuan resmi baik melalui surat pemberitahuan ataupun musyawarah desa berlanjut hingga pada tahapan proses pembebasan tanah mulai dari tahapan sosialisasi, pengukuran, inventarisasi hingga pembayaran ganti rugi. Pengukuran tanah adalah tahapan selanjutnya, pada tahapan ini, tim
67
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
pembebasan tanah selain melakukan pengukuran langsung ke masyarakat juga melakukan inventarisasi atas tanah, bangunan dan tanamtanaman yang terdapat pada tanah yang akan dibebaskan. Setelah itu, panitia melakukan inventarisasi yang bertujuan untuk mendata tanah, bangunan dan tanaman yang dimiliki oleh masing-masing kepala keluarga. Pada tahap inventarisasi ini, petugas juga meminta agar masyarakat dapat menunjukkan sertifikat tanahnya ataupun bila belum mempunyai sertifikat dapat juga berupa surat keterangan camat. Bagi mereka yang memperoleh pemberitahuan resmi, sumber pemberitahuan tersebut, sebagian besar mereka dapatkan melalui kepala desa masing-masing ataupun kepala dusun yang dalam hal ini diangkat untuk membantu tugas kepala desa. Selain itu pemberitahuan juga diperoleh dari Pihak Angkasa Pura dan Kecamatan. Sekitar pertengahan tahun 1996, Desa Pasar VI Kuala Namu didatangi oleh petugas tim pembebasan yang pada waktu itu melakukan pengukuran dan penghitungan atas tanamantanaman yang ada di atas tanah masing-masing. Pengukuran dan penghitungan yang dilakukan tidak termasuk tanah dan bangunan, hal ini dikarenakan tanah dan bangunan mereka adalah milik Perkebunan. Penetapan harga ganti rugi untuk tanaman tersebut dibedakan atas tanam-tanaman yang sudah menghasilkan dengan yang belum menghasilkan, dan juga lengkap dengan satuannya. Demikian juga halnya dengan tanaman jenis perkebunan, Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling tinggi harga ganti ruginya, hal ini karena tanaman ini dianggap sangat produktif dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Pembayaran uang ganti rugi tersebut dihadiri oleh tim pembebasan, pihak Angkasa Pura dan petugas dari Bank. Dalam pembayaran ganti rugi panitia langsung menggunakan pihak Bank untuk membayarkan dan menyimpan kembali uang ganti rugi tersebut dengan alasan keamanan, yaitu BNI, BRI, dan BPDSU. Di mana pada saat pembayaran, begitu menerima uang ganti rugi, masyarakat dapat langsung menyimpan uang mereka ke salah satu Bank yang hadir pada waktu itu. Uang ganti rugi yang diterima masyarakat hanyalah uang ganti rugi
68
untuk tanaman sementara itu uang ganti rugi untuk tanah dan bangunan, masyarakat disuruh berurusan dengan PTPN II. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, jumlah uang ganti rugi yang mereka terima pada saat ituu sangat kecil. Seperti misalnya, ada masyarakat yang hanya menerima Rp 37.500,- dan Rp 174.000,-. Kecilnya jumlah uang ganti rugi yang mereka terima ini tentunya karena sedikitnya tanam-tanaman yang mereka miliki, di mana bila kita amati, selain karena luas pekarangan rumah yang kecil juga masyarakat tidak banyak yang menanam pepohonan seperti masyarakat di desa lainnya yang bukan desa perkebunan. Setelah berlangsungnya proses pembayaran ganti rugi atas tanam-tanaman, secara otomatis masyarakat desa tersebut hanya menunggu saja kapan pihak perkebunan akan memberikan uang ganti rugi atas rumah dan tanah tersebut. Hampir enam (6) bulan menunggu masyarakat hidup terkepung dalam kurungan tembok bandara hingga akhirnya sebagai kelanjutan atas ganti rugi tanah dan bangunan maka, pada tanggal 27 April 1998, pihak perkebunan memanggil 29 orang buruh aktif dan 6 orang buruh harian lepas ke kantor perkebunan di Pagar Merbau. Pertemuan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menawarkan bantuan kepada karyawan untuk melakukan pindah rumah. Tawaran yang diberikan oleh pihak perkebunan berbeda kepada buruh aktif, buruh harian lepas dan pensiunan perkebunan. Kepada buruh aktif, perkebunan akan memberikan ganti rugi sebesar Rp 2.350.000,- kepada buruh harian lepas akan diberikan Rp 250.000,-. Selanjutnya pada tanggal 30 April 1998, pihak Perkebunan kembali memanggil para pensiunan perkebunan ke kantor perkebunan di Pagar Merbau, tawaran yang diberikan oleh perkebunan adalah diberikannya uang ganti rugi sebesar Rp 4.292.084,-. Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan yang telah ditetapkan oleh pihak PTPN II. Berdasarkan perhitungan tersebut, ternyata jumlah ganti rugi yang ditawarkan kepada masyarakat hanya 50% saja.Perhitungan yang hanya dihargai 50% tersebut berdasarkan kepada Surat Menkeu No.89/16/KMK/1991 yang menyatakan bahwa apabila suatu hari tanah dan bangunan milik perkebunan tersebut dialihkan atau dijual maka kepada penghuninya diberikan keringanan sebesar 50% untuk membelinya.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Konflik Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu semakin berkembang ketika sebagian besar dari warga desa baik yang buruh aktif perkebunan, buruh harian lepas dan pensiunan perkebunan tidak mau menerima tawaran uang ganti rugi yang diajukan oleh pihak PTPN II. Menurut masyarakat, alasan mereka tidak mau menerimanya sederhana saja karena uang ganti rugi tersebut tidak bisa dibuat apa-apa dalam pengertian tidak bisa untuk membeli sepetak tanah untuk tempat tinggal, membangun rumah bahkan membeli sawah untuk bercocok tanam. Kondisi tersebut, membuat seluruh warga desa yang tetap menolak uang ganti rugi tersebut. Karena merasa tidak adanya penyelesaian masalah yang diupayakan dari kedua belah pihak maka warga desa yang merasa mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bagaimana untuk memperjuangkan nasib, mereka bernaung di dalam sebuah kelompok perjuangan untuk bersatu dalam menyelesaikan permasalahan ini. Setelah adanya penolakan sebagian masyarakat desa Pasar VI Kuala Namu terhadap ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak perkebunan, saat ini mereka dapat dikatakan terkurung di dalam kurungan tembok bandara yang telah berdiri sejak tahun 1998 yang lalu. Sampai akhirnya pada tahun 2000, terjadi pengusiran warga oleh perkebunan melalui surat edaran resmi perkebunan yang dibagikan oleh petugas pengamanan (Papam) perkebunan kepada seluruh penduduk desa yang masih menempati rumah dan tanah perkebunan. Surat bernomor II.TG-PM/X/84/2000, secara singkat berisikan : oleh karena warga tidak lagi mempunyai hak atas tanah dan bangunan milik perkebunan karena sudah dialihkan ke PT. Angkasa Pura II maka diminta untuk mengosongkan rumah dalam waktu 3 x 4 jam terhitung mulai tanggal 23 September 2000. Bangunan rumah dapat dibongkar dan mendapatkan bantuan uang pindah sebesar Rp 250.000,-. Keresahan warga menjadi bertambah dengan datangnya surat pengusiran tersebut. Kebingungan masyarakat terjadi antara ketidaktahuan akan pindah kemana dan bagaimana mereka menghadapi tekanan dari pihak perkebunan tersebut. Sebagian besar surat edaran yang mereka terima tersebut,
dikembalikan kembali oleh masyarakat kepada pihak perkebunan sebagai simbol bahwa mereka menolak atau tidak menyetujui adanya instruksi pengosongan rumah tersebut. Untuk memperkuat bukti atas peristiwa tersebut, maka KWML meminta kepada Kepala Desa untuk membuat surat keterangan bahwa benar adanya pengusiran oleh pihak perkebunan. Dengan terjadinya pengusiran oleh pihak perkebunan tersebut, membuat KWML mulai aktif memperjuangkan nasib mereka. Untuk itu, KWML dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upayanya melakukan perjuangan. Dalam hal ini keterlibatan pihak LSM adalah untuk membantu penguatan organisasi masyarakat dalam wadah KWML dalam melakukan setiap langkah perjuangan. Pasca Konflik Dalam konflik atas tanah yang terjadi di Desa Pasar VI Kuala Namu ini, sesegera mungkin harus diupayakan penyelesaiannya mengingat penderitaan yang dialami masyarakat dan tidak mungkin membiarkan masyarakat tersebut tergusur secara perlahan seiring dengan proses pembangunan bandara yang informasinya akan dimulai dalam waktu dekat ini. Kasus konflik atas tanah yang terjadi saat ini, dengan penyelesaian kasus yang disampaikan oleh masyarakat, bila ditinjau berdasarkan Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang pengadaan tanah memiliki alasan yang cukup kuat, di mana dalam Kepres tersebut menyebutkan bahwa ganti kerugian dapat berupa; uang, tanah pengganti, dan pemukiman kembali. Melihat sulitnya menyelesaikan masalah ini dengan memberikan sejumlah uang ganti rugi maka pengajuan pemukiman kembali dan tanah pengganti menjadi pilihan yang lebih baik. Dengan adanya permohonan tersebut, saat ini sejumlah masyarakat yang masih menetap di Desa Pasar VI Kuala Namu hanya bisa menunggu kebijaksanaan yang akan diambil oleh pihak perkebunan untuk menyelesaikan permasalahan konflik atas tanah ini. Analisa Kasus Konflik atas tanah yang terjadi ini bila dianalisa pendekatan perspektif konflik, dapat dijelaskan bagaimana keberadaan tanah sebagai salah satu modal produksi menjadi salah satu
69
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
elemen yang sangat potensial memicu terjadinya konflik sosial.Kepentingan akan tanah yang berbeda menjadi salah satu variabel penting dalam munculnya kelas pemilik tanah dengan kelas pekerja (buruh). Dalam kasus ini, kelas yang tidak memiliki tanah memiliki ketergantungan yang amat tinggi terhadap tanah tersebut, kelas buruh yang dalam hal ini adalah mereka yang bekerja di perkebunan sangat rentan atas dominasi kelas penguasa yang dalam hal ini adalah pihak perkebunan. Tanah sebagai salah satu faktor produksi memang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hubungan-hubungan produksi yang selama ini berlangsung di dalam perkebunan semakin melemahkan posisi para buruh perkebunan dengan tidak memiliki hak sedikitpun atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Fasilitas pemondokan yang mereka terima membuat mereka semakin terikat dan tergantung dengah pihak perkebunan. Terbatasnya akses para buruh perkebunan terhadap tanah membuat tingkat kekhawatiran mereka atas kelangsungan hidup mereka lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang memiliki tanah (ataupun yang berstatus hak milik pribadi). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Juliantara (1995) dapat terjadi karena setelah adanya pembebasan biasanya tingkat kehidupan mereka khususnya para petani tidak menunjukkan peningkatan yang berarti justru semakin cenderung menurun. Tidak dipenuhinya tuntutan-tuntutan tersebutlah yang menyebabkan sekelompok masyarakat merasa hak mereka atas tanah dan bangunan telah diambil semena-mena oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Dengan kondisi ini adanya persamaan kepentingan di antara mereka dapat menjadi awal munculnya kesadaran kelas untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan mereka, sebagaimana pemikiran Marx. Dalam terjadinya konflik sosial, terdapat dua variabel penting yaitu identitas dan kekerasan. Intensitas yang dalam hal ini dipahami sebagai pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak yang berkonflik sementara itu kekerasan mengacu kepada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan. Dalam kasus ini bila kita mencoba merefleksikan kedua variabel tersebut, terlihat variabel intensitas dan kekerasan tidaklah secara dominan terjadinya, artinya dalam konflik yang
70
sedang terjadi ini masyarakat yang berkonflik justru cenderung menerima dengan hanya melakukan upaya untuk meredam tekanantekanan yang diberikan oleh pihak perkebunan melalui pencarian dukungan dan bantuan kepada pihak-pihak yan dianggap mempunyai perhatian atas kasus ini, sementara itu pihak perkebunan mencoba melemahkan perjuangan masyarakat dengan mengintimidasi misalnya melakukan upaya pengusuran warga. Analisa penulis terhadap lemahnya perjuangan kelompok masyarakat di Pasar VI Kuala Namu ini adalah karena lemahnya posisi mereka yang berdampak kepada: masih terbatasnya kemampuan mereka untuk melakukan upaya-upaya perlawanan, terbatasnya jaringan sosial yang dibangun, dan ketergantungan yang teramat sangat atas budaya buruh-majikan yang selama ini berlangsung. Seperti salah satu pendapat Marx bahwa faktor yang menentukan kesadaran individu dan kelasnya adalah posisi kelas (Johnson, 1994). Marx (Elster, 2000) berpandangan bahwa para buruh tani yang cenderung berpikir bahwa semua tenaga yang mereka keluarkan merupakan tenaga gratis, mereka tergelincir pada sebuah pemikiran bahwa semua tenaga yang mereka keluarkan mendapatkan penghargaan finansial karena mereka benar-benar mendapatkan pembayaran sesuai jam kerja mereka. Selanjutnya akan memunculkan penindasan secara ekonomi, di mana mereka tidak mempunyai tanah, skill, dan modal untuk berproduksi. Demikian juga halnya kehidupan petani penggarap khususnya buruh perkebunan, dengan gaji yang mereka terima per bulannya, perkebunan meminta agar setiap buruh dapat bekerja secara maksimal sehingga produktivitas baik secara kualitas dan kuantitas dapat terjaga, tetapi di lain pihak upah (gaji) yang mereka terima sangat kecil apalagi dengan santunan bagi para pensiunan yang sangat rendah ditambah lagi dengan tidak adanya lahan bagi mereka. Senjangnya posisi tawar menawar antara kelas buruh dengan kelas majikan membuat permasalahan konflik atas tanah ini semakin tidak bisa didekati atau diselesaikan dengan pendekatan buruh-majikan, tetapi penyelesaian yang sebaiknya adalah penyelesaian yang juga memperhatikan nilai-nilai sosial kelas buruh itu sendiri, di mana setelah sekian lama
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
mereka secara turun temurun mengabdikan diri untuk perkebunan. Dari pemaparan proses pembebasan tanah dan konflik atas tanah yang muncul, hasil temuan lapangan penulis menunjukkan bahwa secara umum pembebasan tanah untuk pembangunan Bandara Kuala Namu ini tidak menimbulkan intensitas konflik yang cukup tinggi, di mana sebagian besar desa yang terkena pembebasan menerima adanya pembebasan dengan sikap yang cenderung “pasrah” pada keadaan, sementara untuk Desa Pasar VI meskipun mengadakan perjuangan untuk dapat memperoleh kembali hak atas tanah dan tempat tinggalnya memiliki organisasi yang lemah untuk melakukan perjuangan-perjuangan kaum tani pada umumnya. Secara umum, kasus pembebasan tanah ini lebih mengarah kepada terciptanya konsensus, yang menurut penulis hal tersebut dikarenakan masih kecilnya kesadaran masyarakat akan hakhak sosial dan ekonominya atas tanah, lemahnya pilar-pilar demokrasi baik di dalam dan di luar masyarakat sehingga dominasi negara yang begitu kuat sulit untuk ditaklukkan. KESIMPULAN Pembangunan yang berlangsung senantiasa membutuhkan kesiapan segala aspek baik modal, sumber daya manusia, teknologi dan sebagainya. Demikian juga halnya pembangunan di bidang jasa kebandarudaraan. Seiring dengan partumbuhan penumpang dan permintaan pasar
akan peningkatan rute penerbangan dan fasilitas bandar udara bertaraf Internasional membuat pihak pengelola Bandar udara segera berbenah diri. Untuk itulah keberadaan Bandara Polonia Medan saat ini dinilai sudah tidak mampu lagi untuk mengimbangi peningkatan permintaan tersebut dan sulit untuk dikembangkan sebagai bandara internasional. Pembebasan tanah yang dilakukan sebagai rencana awal pembangunan Bandara Kuala Namu mencakup di dua kecamatan yaitu Kecamatan Beringin yang luasnya mencapai 5269 Ha dengan jumlah penduduk mencapai 45.040 jiwa dan di Kecamatan Pantai Labu dengan luas lahan mencapai 8362 Ha berpenduduk sekitar 38.380 jiwa. Pembebasan tanah tersebut meliputi delapan desa yaitu: Desa Sidodadi Ramunia, Desa Beringin, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Desa Pasar VI Kuala Namu, Desa Sidourip, Desa Ramunia Perkebunan, Desa Pantai Labu Baru dan Desa Pantai Labu Pekan. Pembebasan tanah yang sudah dilakukan sejak tahun 1997 yang lalu, hingga kini proses pembangunan Bandara Kuala Namu belum juga dimulai. Sehingga lokasi komplek bandara yang sejak tahun 1998 yang lalu sudah di pagar saat ini hanya menjadi lahan tidur saja, walaupun di beberapa tempat oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk menanam tanaman-tanaman palawija yang berumur singkat ataupun sayursayuran seperti cabai, terong, kacang panjang dan timun.
71
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
Skema Konflik Pembebasan Tanah Rencana pembangunan Bandara Kuala Namu (Angkasa Pura)
Pembebasan tanah di 2 Kecamatan
Kecamatan Beringin : Desa Sidodadi Ramunia, Desa Beringin, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Desa Sidourip, Desa Pasar IV Kuala Namu.
Kecamatan Pantai Labu : Desa Ramunia Perkebunan, Desa Pantai Labu Baru, Desa Pantai Labu Pekan.
Pembayaran Ganti Rugi Sosialisasi Pembebasan tanah
Pengukuran Tanah & Inventarisasi
Menerima ganti rugi atas tanah, bangunan & tanaman: 1. Desa Beringin 2. Desa Sidodadi Ramunia 3. Desa Pasar V Kebun Kelapa 4. Desa Sidourip 5. Desa R. Perkebunan 6. Desa Pantai Labu Baru 7. Desa Pantai Labu Pekan
Menerima ganti rugi atas tanam-tanaman saja: Desa PasarVI Kuala Namu (akhir 1997)
Belum selesai
Selesai
Pertengahan 1998, pihak PTPN II menawarkan bantuan uang ganti rugi kepada 1. buruh aktif (Rp.2.350.000) 2. buruh harian lepas (Rp.2.500.000) 3. pensiunan (Rp.4.292.000)
Masyarakat menolak
Masyarakat tetap tinggal di dlm komplek bandara
Melakukan upaya perjuangan dengan bantuan advokasi dari sebuah LSM
Masyarakat bertahan
Mengadakan upaya permohonan dukungan dan bantuan ke DPRD Tk. II Sumut, Komnas HAM, DPR-RI
Permohonan penyelesaian: penyediaan lahan seluas 47 Ha untuk pemukiman dan kegiatan pertanian keluar tembok bandara di atas lahan sisa wilayah Desa Pasar VI Kuala Namu (kawasan pedesaan bagian timur ex afdeling VI Pagar Merbau PTP IX/PTPN II)
72
Tahun 2000 terjadi pengusiran oleh pihak perkebunan
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Proses pembebasan tanah yang telah berlangsung tersebut terdiri dari beberapa proses utama yaitu: tahapan pembentukan tim pembebasan tanah (Tim 9) yang akan bertugas menangani pembebasan tanah mulai dari sosialisasi hingga pembayaran ganti rugi. Tahapan sosialisasi merupakan tahapan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pembebasan tanah misalnya, luas tanah yang akan dibebaskan, lokasi yang terkena, besarnya nilai ganti rugi. Tahapan pengukuran dan inventarisasi merupakan tahapan lanjutan di mana setelah seluruh masyarakat diberikan informasi mengenai pembebasan maka tim akan mendata luas tanah, bangunan dan jumlah tanamantanaman yang dimiliki masing-masing rumah sebagai bahan inventarisasi. Tahapan berikutnya adalah tahapan pembayaran ganti rugi. Proses pembebasan tanah yang muncul di masyarakat berbeda satu sama lainnya, sebagian besar masyarakatnya relatif lebih menerima dan telah memperoleh ganti rugi atas tanah, bangunan dan tanam-tanaman. Namun demikian, penerimaan masyarakat tersebut disebabkan karena masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah hampir 7 tahun berlangsung, namun hingga kini pembebasan tanah untuk bandara Kuala Namu masih meninggalkan konflik atas tanah. Dari kedelapan desa yang terkena pembebasan tanah tersebut, status kepemilikan tanah masyarakat berbeda satu sama lainnya. Perbedaan status kepemilikan tanah ini sudah barang tentu menimbulkan perbedaan pada saat pembayaran ganti rugi berlangsung. Desa Sidodadi Ramunia, Desa Beringin, Desa Sidourip, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Desa Ramunia, Desa Pantai Labu Baru dan Pantai Labu Pekan merupakan desa-desa yang tanahnya berstatus milik sendiri sehingga pembayaran ganti rugi tidak menimbulkan konflik berkepanjangan tetapi hanya sebatas proses negosiasi untuk mendapatkan harga yang sesuai yang berlangsung hingga beberapa kali. Sementara konflik yang saat ini masih berlangsung adalah di Desa Pasar VI Kuala Namu. Konflik yang terjadi hingga saat ini adalah antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak perkebunan. Pada kasus ini, konflik muncul diawali dengan tidak
demokratisnya proses pembebasan di mana masyarakat tidak diikutsertakan dalam tahapan sosialisasi, pengukuran, inventarisasi hingga pembayaran ganti rugi. Pada lain pihak, ganti rugi yang mereka terima hanyalah ganti rugi tanamtanaman yang nilainya sangat kecil, sementara untuk uang ganti rugi atas tanah dan bangunan belum mereka terima hingga saat ini. Konflik atas tanah yang muncul, kembali lagi akibat proses pembebasan tan kurang demokratis dan keterbatasan akses masyarakat petani khususnya buruh perkebunan sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan terlalu berkuasanya negara sehingga dengan kekuasaan yang ada semakin memarjinalkan kaum petani. SARAN Banyaknya kasus-kasus sengketa tanah yang terjaadi baik antara pribadi maupun kelompok semakin menguatkan arti betapa tingginya nilai ekonomis dari tanah sebagai salah satu sumber daya alam dan faktor produksi. Di samping itu juga semakin menguatkan betapa potensialnya tanah sebagai pemicu munculnya konflik. Kasus-kasus sengketa tanah yang muncul akibat kebutuhan pembangunan yang terus bergulir sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi kedepannya, sehingga pada bagian akhir tulisan ini, penulis memberikan saran-saran untuk mengurangi maraknya konflik atas tanah, yaitu: 1. Proses pembebasan tanah harus melewati seluruh tahapan-tahapan pembebasan dengan demokratis dan tidak manipulatif, dan pembebasan tanah tidak sebatas mengalihkan hak kepemilikan atas tanah semata, khususnya bagi proyek-proyek untuk kepentingan pemerintah, nasib para korban pembebasan tanah juga harus mendapatkan perhatian berupa kepastian tempat tinggal misalnya. 2. Diperketatnya pengawasan terhadap pendataan masyarakat yang mengusahakan tanah (penggarap), pemilik HGU, dan pemukim liar sehingga apabila terjadi pembebasan tanah status pemberian ganti rugi sudah jelas dan tidak tumpang tindih. 3. Perhatian serius dari instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional untuk
73
Warokka, dkk., Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan…
memetakan mana tanah-tanah yang bermasalah atau tidak. Sementara itu proses pembebasan yang melibatkan perkebunan hendaknya penyelesaian pembayaran ganti rugi tidak menggunakan pihak ketiga walaupun dari pihak perkebunan sendiri, agar permasalahan tidak berlarut-larut. 4. Dipermudahnya masyarakat dalam hal pengurusan surat (sertifikat) tanah sehingga bukti kepemilikan lebih kuat secara hukum, masyarakat tidak dibebankan dengan biaya-
74
biaya lain diluar biaya yang sudah ditetapkan oleh negara. 5. Secara khusus, sehubungan dengan akan dilaksanakannya pembangunan Bandara baru, penulis menyarankan agar penelitian mengenai dampak pembangunan Bandara Kwala Namu juga dilakukan oleh pihakpihak yang merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
DAFTAR PUSTAKA
Elster, Jhon, 2000, Karl Marx dari Marxisme – Analisis Kritis, PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta. Fauzi, Noer, 1999, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta; hal vii Hariadi, Nanang, 1995, Dinamika Petani, LP3ES, Jakarta. Jhonson, Paul, 1995, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I Penerbit Gramedia, Jakarta. -----------------, 1996, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, Penerbit Gramedia, Jakarta. Sitorus, Henry, 1997, Teknologi Tangkap Ikan dan Perubahan Struktur Sosial Ekonomi Nelayan, Tesis S2 Universitas Indonesia, Jakarta
75