Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
762634
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 06, Feb - April 08
Tanah Negara dan Pemanfaatannya Bagi Pembangunan Bangsa
Tanah Adat Hak Pengelolaan Atas Tanah
Keterangan Cover
Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
762634
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 06, Feb - April 08
masalah yang kita hadapi tidak lagi pertanyaan tentang
Tanah Negara dan Pemanfaatannya
APA hak-hak masyarakat adat itu,
BAGAIMANA
melainkan soal hak-hak masyarakat adat itu akan diatur dalam kebijakan-kebijakan dan/atau peraturan-perundangan-undangan Negara
DARI REDAKSI
Bagi Pembangunan Bangsa
Tanah Adat Hak Pengelolaan Atas Tanah Cover Depan Foto : LMPDP/MA Lokasi : Sudirman - Jakarta dan berbagai sumber
4
Cover Belakang Foto : LMPDP/MAP Lokasi : Mataram - NTB
Hak Pengelolaan Atas Tanah Setiap institusi atau lembaga Pemerintah dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk keperluan pembangunan gedung kantor atau untuk kegiatan operasional menurut bidang masing-masing. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh karena pemberian langsung oleh Pemerintah, atau berasal dari hasil pembelian atau pembebasan tanah dari milik penduduk. Status bidang tanah tersebut tetap sebagai aset Pemerintah dikarenakan sumber dananya berasal dari Pemerintah. Sebagai pemegang atau pengguna aset Pemerintah itu, maka instansi atau lembaga Pemerintah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada Departemen Keuangan yang dalam hal ini sebagai instansi pengelola kekayaan negara. Yang perlu menjadikan perhatian disini adalah sejauh mana kewenangan yang melekat pada instansi atas bidang tanah yang berasal dalam penguasaannya.
Land
Bulletin LMPDP
3
10
Tanah Adat
Setiap inisiatif yang berkaitan dengan persoalan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat (indigenous people) di negeri ini pada dasarnya adalah mulia dan sekaligus kritis. Dikatakan mulia karena pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu berkaitan langsung dengan pengakuan dan penghormatan pada nilai-nilai universal hak azazi manusia, sebagai mana yang telah diatur dalam berbagai konvensi Internasional, yang telah pula diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Namun, situasinya menjadi kritis ketika inisiatif itu dikaitkan dengan kenyataan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan selama ini.
Tanah Negara dan Pemanfaatannya bagi Pembangunan Bangsa Dalam rangka pembangunan daerah bagi kesejahteran masyarakatnya secara kongkrit dan nyata sebagai ensensi dasar bagi sebuah Pemerintah Desentralisasi/otonomi daerah, maka Pemerintah Kab/Kota mengusai tanahtanah Negara dengan status Hak Pakai/HPL/Tanpa hak sama sekali. Namun karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemda Kab/Kota, maka tanah-tanah yang dikuasai tersebut tidak seluruhnya dapat direlokasikan untuk proyek pembangunan. Implikasinya, banyak tanah-tanah milik Negara yang dikuasai Pemda yang masih belum diberdayakan secara maksimal, efisien dan efektif, sehingga masih banyak yang terlantar atau sering disebut dengan “lahan tidur”. Tanah negara/pemda tersebut di atas dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga/investor agar mempunyai nilai ekonomis yang mengutungkan bagi negara/pemda daripada dibiarkan terlantar.
14
Dari Redaksi “Tanah Negara”, adalah istilah yang tidak pernah dipergunakan di dalam UUPA tetapi banyak dipergunakan di dalam pelaksanaan pengelolaan pertanahan. Istilah “tanah negara” dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian yang di dalam UUPA disebut “tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Penunjukan itu biasanya dilakukan secara implisit. Orang dianggap dengan sendirinya mengetahui bahwa tanah negara itu adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hanya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah secara explisit dikatakan “tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”, yang didefinisikan sebagai “tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah”. Dalam Penjelasan UUPA dikatakan bahwa tanah “dikuasai” oleh Negara bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara, untuk pada tingkatan yang tertinggi: a. b. c.
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah; menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas tanah; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Dalam pada itu mengingat bangsa Indonesia terdiri dari sukusuku bangsa yang sebagian merupakan kesatuan masyarakat yang sampai sekarang masih berfungsi dengan baik sebagai masyarakat hukum adat dengan kewenangannya atas tanah bersama yang merupakan lingkungan kehidupan mereka, maka UUPA tetap mengakui kewenangan tersebut. Hal ini merupakan pembatasan bagi Negara dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana diberikan oleh UUPA di atas. Edisi Bulletin Land kali ini memuat beberapa tulisan yang menggambarkan berbagai pandangan sekitar Tanah Negara yang diharapkan dapat menjadi latar belakang pengetahuan dalam perumusan kebijakan pertanahan terkait dengan pengelolaan tanah negara. Disajikan pula suatu tulisan mengenai Hak Pengelolaan yang merupakan suatu modus dalam pelaksanaan “hak menguasai” dari negara yang sudah disebut di atas dengan menguasakannya kepada Pemerintah Daerah atau badan-badan umum yang secara fisik menguasai tanah yang bersangkutan. Seperti halnya mengenai tanah negara, pemahaman mengenai Hak Pengelolaan ini juga beragam. Tulisan-tulisan tersebut memang tidak bermaksud untuk memberikan solusi mengenai keberagaman pemahaman di atas. Solusi itu diharapkan diberikan oleh kebijakan pertanahan yang ditetapkan atas dasar pengetahuan mengenai adanya keberagaman itu.
Land
Edisi 06, Feb - April 08 ISSN 1978-7626
diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP
Pelindung
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas
Penanggungjawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Pemimpin Redaksi
Ir. Rinella Tambunan, MPA
Dewan Redaksi
J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA Ing. Andreas Groetschel, Dipl. Agr., Msc Ir. Salusra Widya, MA Ir. Nana Apriyana, MT Dr. jur. Any Andjarwati Sudira, S.Sos
Editor
B. Guntarto Khairul Rizal
Redaksi
Esther Fitrinika Zaenal Arifin Arrie Faizal Idham Khalik
Desain & Layout
Dica.H
Distribusi & Administrasi
Nerry.G Nunik P (Sekretariat Komponen-1 LMPDP)
Alamat Redaksi
Jl. Latuharhary No. 9 Jakarta 10310 Phone (021) 310 1885-87 Fax (021) 390 2983 www.landpolicy.or.id E-mail :
[email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca. Tulisan/artikel dalam bulletin ini tidak selalu mencerminkan opini pengelola program LMPDP (PIU-Bappenas)
Redaksi
3 FEBRUARI - APRIL 2008
Bappenas
LAND 06
Hak Pengelolaan
Atas Tanah
Oleh: Drs. Soemardijono*)
S
etiap institusi atau lembaga Pemerintah dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk keperluan pembangunan gedung kantor atau untuk kegiatan operasional menurut bidang masing-masing. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh karena pemberian langsung oleh Pemerintah, atau berasal dari hasil pembelian atau pembebasan tanah dari milik penduduk. Status bidang tanah tersebut tetap sebagai aset Pemerintah dikarenakan sumber dananya berasal dari Pemerintah. Sebagai pemegang atau pengguna aset Pemerintah itu, maka instansi atau lembaga Pemerintah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada Departemen Keuangan yang dalan hal ini sebagai instansi pengelola kekayaan negara. Yang perlu menjadikan perhatian disini adalah sejauh mana kewenangan yang melekat pada instansi atas bidang tanah yang berasal dalam penguasaannya. Kewenangan yang melekat pada penguasaan suatu instansi, ternyata pengertiannya berkembang sedemikian meluasnya berdasarkan selera dan kebijakan sesaat. Rumusan pengertian tersebut dapat disajikan secara kronologis sejak awal sebagai disebutkan berikut ini, dengan maksud bahwa dari rumusan pengertian yang berkembang itu dapat dikaji berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Untuk dapat memahami perkembangan rumusan pengertian penguasaan dimaksud, ada baiknya kita mulai dengan melihat beberapa hal. Petama, menurut ketentuan dari Staatsblaad 1911 No 110 juncto Staatsblad 1940 No 430 disinggung tentang harta benda, bangunan dan lapangan militer. Adapun mengenai bidang tanah dirangkum ke dalam kata ”'s lands onroerende goederen” atau harta benda tetap atau tidak bergerak milik Negara. Kewenangan yang melekat pada instansi itu disebut dengan istilah ”in beheer” atau ”dalam penguasaan”. Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari Pemerintah untuk membiayai pemeliharaannya. Kewenangan penguasaan oleh suatu instansi Pemerintah digunakan istilah ”in beheer” atau dalam penguasaan.
Materi hukum dalam Staatsblad 1911 No 110 jo Staatsblad 1940 No 430 dikesampingkan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara. Pasal-pasal yang terkait dengan penguasaan tanah sebagai objek atau sasaran pengkajian ini ialah: 1. Pasal 2 berbunyi: Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan Undang-Undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri. 2. Pasal 3 ayat 1 huruf a berbunyi: Di dalam hal penguasaan tersebut dalam pasal 2 ada pada Menteri Dalam Negeri maka ia berhak menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan dalam pasal 4. 3. Pasal 4 berbunyi: Penguasaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 ayat 1 huruf a diserahkan kepada: - Suatu Kementerian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementerian atau Jawatan. - Suatu Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri. 4. Pasal 9 berbunyi: - Kementerian, Jawatan atau daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya, dapat memberi zin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek. - Perizinan untuk memakai dalam ayat 1 pasal ini berisfat sementara dan setiap waktu harus dapat dicabut kembali. 5. Pasal 12 berbunyi : Kepala daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan-ketentuan Menteri Dalam negeri.
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
4
Materi hukum yang perlu diingat dalam peraturan ini ialah adanya pemisahan antara subjek penguasaan oleh Kementerian atau Jawatan dengan subjek penguasaan oleh Daerah Swatantra. Penguasaan tanah yang diberikan kepada Kementerian atau Jawatan adalah hanya digunakan untuk pelaksanaan kepentingannya sendiri atau tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain dengan sesuatu hak. Tidak demikian halnya kewenangan penguasaan tanah yang diberikan kepada daerah Swatantra. Kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara dengan tujuan untuk kemudian dapat diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu jenis hak atas tanah. Mungkin pembuat peraturan ini masih diilhami oleh peraturan dan perundangan zaman Hindia Belanda dahulu bahwa Pemerintah Kotapraja dalam usahanya dapat diberikan tanah dengan status RVE (Recht van Eigendom) untuk kepentingan pembangunan perumahan rakyat. Kepada para penyewa atau pembeli perumahan tersebut dapat diberikan suatu jenis hak tertentu. Kewenangan jenis ini tidak diberikan kepada Kemeterian atau Jawatan, namu kalau kita mengikuti perkembangan peraturan perundangan agraria selanjutnya, hal ini akan terjadi. Subjek penguasaan tanah menjadi bercampur aduk. Kewenangan Menteri Dalam Negeri di bidang agraria beralih kepada dan menjadi tugas dan wewenang Menteri Agraria berdasarkan Keputusan Presiden No 132 tahun 1953 jis Keputusan Presiden No 55 tahun 1955, Undang-Undang No 7 tahun 1958 dan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria No 9 em. 19/22/33-7 dan SK/62/Ka/59 tanggal 5 Maret 1959. Sedangkan peralihan tugas di bidang pendaftaran tanah dari Menteri Kehakiman kepada Menteri Agraria adalah berdasarkan Undang-Undang No 76 tahun 1957 dan Keputusan Presiden No 190 tahun 1957 dan Keputusan Presiden No 190 tahun 1957. Sejak tahun 1959, Kementerian Agraria mulai berbenah dari, antara lain aparat pelaksana sebagian besar berasal dari Pamong Praja dan sebagian adalah lulusan berbagai universitas. Setelah adanya peralihan tugas dan kewenangan dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria, diterbitkanlah Peraturan Menteri Agraria No 6 tahun 1959 tentang Pemberian dan Pembaharuan Beberapa Hak Atas Tanah serta Pedoman mengenai Tata Cara Kerja Bagi Pejabat-Pejabat yang Bersangkutan. Mengenai penguasaan tanah Negara diatur dalam Bab VI Pasal 25 yang berbunyi sebagai berikut: Mengenai permohonan penguasaan tanah Negara sebahai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No 8 ahun 1953, berlaku mutatis mutandis ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab I di atas dengan ketentuan bahwa: a. Mengenai permohonan yang diajukan oleh Daerah-Daerah Swatantra, yang berwenang memberi keputusan adalah Menteri Agraria sedang instansi-instansi lainnya ialah Kepala Inspeksi Agraria.
5 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
b. Surat keputusan pemberian penguasaan yang bersangkutan antara lain disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk dibukukan menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah. Dalam peraturan ini subjek penguasaan tanah Negara masih tetap dipisahkan antara daerah Swatantra dengan instansi-instansi lainnya. Setiap surat keputusan pemberian penguasaan tanah perlu disampaikan ke Kantor Pendaftaran tanah untuk dibukukan demi tertib administrasi dan terdaftar. Kemudian, peraturan menteri Agraria No 6 tahun 1959 ini dicabut kembali dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria No 15 tahun 1959. Adapun mengenai penguasaan tanah Negara diatur dalam bab VI Pasal 24 yang berbunyi : ”Ketentuan-Ketentuan dalam pasal 1 serta pasal 3 sampai dengan pasal 6 ayat 1, 2 dan 4; pasal 8 ayat 1, 2 dan 3; pasal 9 ayat 1 dan 2; serta pasal 23 ayat 2 berlaku mutatis mutandis terhadap pemberian penguasaan tanah negara menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 dengan catatan bahwa pejabat-pejabat yang menyelenggarakannya disesuaikan dengan pembagian tugas wewenang tersebut dalam Keputusan Menteri Muda Agraria tanggal 22 Oktober 1959 No Sk 495/Ka/59” Sampai keluarnya peraturan ini belum ada tambahan kata ”hak” di depan kata ”penguasaan”. Pada tahun 1960 lahirlah Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Undang-Undang ini sama sekali tidak mengatur penguasaan tanah Negara oleh Kementerian, Jawatan dan Daerah Swatantra sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953. Mengenai penguasaan tanah Negara ini hanya disinggung sedikit di dalam Penjelasan Umum Angka II nomor 2 dengan kalimat yang berbunyi : ”Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan 'kepada sesuatu Badan Penguasa' (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4)”. Pasal 2 ayat 4 UUPA berbunyi : ” Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksananya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”
Pasal 2 ayat 4 ini mengandung pengertian adanya rencana delegasi kewenangan hak penguasaan negara, namun sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur delegasi wewenang kekuasaan Negara ini belum pernah ada. Dan sesuatu yang mustahil apabila delegasi wewenang ini diberikan kepada Departemen, Jawatan. Kalimat dalam penjelasan umum angka II nomor 2 di atas, formulasinya sudah jelas bahwa Negara dapat memberikan tanah yang dikuasainya dalam pengelolaan kepada Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Jadi untuk kepentingan langsung dengan tugasnya atau tidak ada penjelasan bahwa Departemen, Jawatan atau daerah Swatantra dapat berhubungan dengan pihak ketiga. Inilah pengertian ”dalam pengelolaan” menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Menteri Agraria mengeluarkan Keputusan No SK/112/Ka/61 tentang Pembagian Tugas Wewenang Agraria. Dalam daftar lampiran keputusan tersebut, khususnya tersebut Angka V disebut Hak Penguasaan (beheer). Mulai dari Keputusan Menteri Agraria No SK/112/Ka/61 ini diperkenalkan kata ”hak penguasaan” tetapi ada kata dalam kurung ”beheer” sebagai salah satu jenis hak atas tanah. Pengertian hak penguasaan disini tetap dikaitkan dengan maksud untuk keperluan khusus guna menyelenggarakan tugasnya. Perkembangan pengertian ”penguasaan” atau ”beheer” yang unik adalah setelah keluarnya Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan KetentuanKetentuan Kebijakan Selanjutnya. Maksud peraturan ini ialah bahwa tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953 perlu dikonversi menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
1.
2..
3.
Pasal 1 berbunyi : Hak Penguasaan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953 yang diberikan kepada Departemen, Direktorat-Direktorat dan Daerah Swatantra sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi ”Hak Pakai ”sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan. Pasal 2 berbunyi: Jika tanah Negara sebagaimana dimaksud pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka ”Hak Pengelolaan” sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk kepeluan itu oleh instansi yang bersangkutan. Pasal 6 berbunyi : Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 5 di atas, memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut; menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun; dan menerima uang pemasukan, ganti rugi dan uang wajib tahunan.
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
6
Permasalahan yang perlu dikaji terhadap Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965 ini adalah sebagai berikut: Hak Pengelolaan sebagai salah satu jenis hak tidak disebutkan sumber hukumnya, lain halnya dengan hak pakai yang disebut dalam pasal 1 sumber hukumnya disebutkan Undang-Undang Pokok Agraria. Timbulnya Hak Pengelolaan ini adalah hanya bersumber pada kebijaksanaan Menteri. Departemen, Direktorat-Direktorat sebagai subjek atau pemegang hak Pengelolaan diperbolehkan bertransaksi dengan pihak ketiga. Sebagai instansi Pemerintah apakah dibenarkan memberikan sesuatu hak kepada pihak ketiga secara langsung? Lain halnya dengan Daerah Swatantra, yang dalam sejarahnya pernah mengadakan usaha pembangunan perumahan rakyat. Departemen atau instansi Pemerintah apakah diijinkan menerima uang pemasukan, ganti rugi atau uang wajib tahunan yang semestinya disetorkan ke kas Negara. Peraturan Menteri Agraria ini mungkin bermaksud dapat memberikan uang pemasukan ke kas instansi Pemerintah, tetapi kebijakan ini kurang tepat. Hak Pengelolaan ditetapkan sebagai salah satu jenis hak atas tanah adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1973 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah. a. Pasal 1 berbunyi: Yang dimaksud dalam peraturan ini dengan : ”Hak Atas Tanah” adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hal Pengelolaan seperti yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. ”Tanah Negara” adalah tanah yang langsung dikuasai Negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No 5 tahun 1960. ”Tanah Hak” adalah tanah yang telah dipunyai dengan sesuatu hak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini. Dengan materi hukum pasal 1 ini, jelas sekali bahwa Hak Pengelolaan dianggap sebagai tanah hak dan termasuk dalam kelompok jenis-jenis hak atas tanah. Padahal UndangUndang Pokok Agraria, khususnya dalam pasal 16 tidak menyebutkan adanya Hak Pengelolaan ini. b. Pasal 28 berbunyi Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah Negara seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965 yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :
7 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
-
Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun. Menerima uang pemasukan dan atau uang wajib tahunan. Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1973 ini masih tetap sama dengan rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan yang diatur dalam pasal 6 Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965. c. Pasal 29 berbunyi: Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada: Departemen dan Jawatan- Jawatan Pemerintah. Badan-Badan hukumm yang ditunjuk Pemerintah. Pasal ini tidak menyinggung Daerah Swatantra sebagai subjek hak. Dalam rangka menunjang kebijaksanaan Pemerintah mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas penanaman modal, perlu diciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi untuk menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan dengan tujuan agar kebutuhan pengusaha akan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan. Sehubungan dengan kebijaksanaan ini, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk keperluan Perusahaan. - Pasal 2 berbunyi: Ayat 1: Dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratannya yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang bersangkutan kepada perusahaan dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah Negara sebagai berikut : a. Jika perusahaannya berbentuk badan hukum: hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. b. Jika perusahannya merupakan usaha perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. - Pasal 3 berbunyi: Dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, Hak Pengelolaan sebagai dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 1 huruf a berisikan wewenang untuk : a. P e r e n c a n a a n , p e r u n t u k a n d a n penggunaan tanah yang bersangkutan. b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
atau industri-industri yang ada di dalam lokasi hak pengelolaan itu. Tidak semua pemegang hak pengelolaan itu sebuah perusahaan. Mereka akan mengikuti bunyi pengertian hak pengelolaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1974 ini. Rumusan dan pengertian hak pengelolaan yang ada atau diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 tahun 1977 bunyinya sama sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1974 tersebut di atas. Telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1996 tentang Hal Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dibaca dari judulnya saja, tidak ada kata Hak Pengelolaan. Tetapi ada sisipan di pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: ”Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya” Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pasal 1 ayat 2 ini. c.
-
-
Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan/pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. Dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. Pasal 5 ayat 3 berbunyi : Kepada Perusahaan Pembangunan Perumahan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dapat diberikan tanah Negara dengan Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai menurut kebutuhan, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. Pasal 6 ayat 5 berbunyi ; Kepada Industrial Estate yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal ini dapat diberikan tanah Negara dengan hak pengelolaan, hak guna bangunan atau hak pakai menurut kebutuhan sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku.
Pada tahun ini nampak berkembangnya perusahaan pembangunan perumahan dan perusahaan pembangunan industri milik Pemerintah. Demikian banyak fasilitas diberikan, termasuk demikian luasnya rumusan dan pengertian hak pengelolaan yang subjek haknya adalah perusahaan-perusahaan Negara. Perusahaan pemegang hak pengelolaan berwenang membuat persyaratan-persyaratan berikut jumlah keuangannya yang wajib ditanggung oleh pihak ketiga
Setelah mengikuti perkembangan pengaturan hak pengelolaan secara kronologis tersebut di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian antara lain sebagai berikut. Landasan hukum hak pengelolaan terlalu lemah. Dasarnya adalah Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953 dan ditetapkan sebagai salah satu jenis hak atas tanah berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 1973. Sumber hukumnya adalah kebijaksanaan Menteri yang direalisir dalam bentuk peraturan Menteri. Undang-Undang Pokok Agraria tidak mengatur tentang hak pengelolaan ini dan tidak ada suatu jenis hak yang disebut hak pengelolaan. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 16 berbunyi : Ayat 1: Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai e. Hak Sewa f. Hak Membuka Tanah g. Hak Memungut Hasil Hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hakhak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
8
Pasal 53 ayat 1 menyebutkan bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Adapun mengenai rumusan dan pengertian mengenai hak pengelolaan juga berkembang dan berubah-ubah. Bagi subjek Departemen, Jawatan dan Daerah Swatantra berlaku rumusan hak pengelolaan yang mengandung materi setengah komersil, sedangkan untuk kepentingan perusahaan Real Estates dan Industrial Estates berlaku rumusan hak pengelolaan yang mengandung inti komersil. Departemen atau jawatan-jawatan sebagai pemegang hak pengelolaan adalah mengandung kelemahankelemahan. Di samping ia dapat memberikan bagianbagian dari areal hak pengelolaannnya, juga berwenang menerima uang pemasukan. Lembaga Pemerintah tersebut disamping menjalankan tugas melayani publik, juga melakukan perbuatan setengah komersil sehingga berfungsi ganda, yang dapat mengganggu tugas pokoknya. Menerima uang pemasukan secara langsung juga tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Demikian pula rumusan hak pengelolaan yang mengandung unsur komersil. Pemegang hak pengelolaan dapat membuat persyaratan-persyaratan dan beban keuangan yang memberatkan para investor. Klausula tugas pengawasn belum diatur. Siapa yang bertugas memonitor pelaksanaan ini dan apa sanksi hukum yang akan diterapkan apabila persyaratanpersyaratan itu memberatkan. Apakah masuk wilayah hukum publik atau hukum perdata? Konflik ini tidak mustahil akan terjadi, baik konflik itu masih tertutup maupun akan terbuka.
Kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada suatu departemen atau lembaga Pemerintahan dengan hak pengelolaan menimbulkan fungsi ganda, ialah sebagai lembaga yang melayani kepentingan publik, tetapi juga diberi kesempatan untuk mendapatkan uang pemasukan secara langsung. Apabila kebijaksanaan ini dilanjutkan, maka tidak mustahil apabila Departemen atau lembaga Pemerintah akan berbuat ikut-ikutan atau latah. Dapat dibayangkan apabila hal ini terjadi maka pelayanan publik akan makin menjadi terganggu. Untuk menghindari hal demikian itu, kiranya akan lebih tepat apabila diadakan pemisahan yang tegas antara fungsi pelayanan publik dengan fungsi berniaga. Penguasaan bidang tanah untuk kepentingan langsung oleh instansi Pemerintah, diberikan status hak pakai selama dipergunakan. Apabila ada Departemen yang sebagian tugasnya berkaitan dengan sesuatu usaha, maka diwajibkan membentuk Badan Usaha Milik Negara atau Milik Daerah. Peraturan perundangan mengenai Badan Usaha ini sudah ada. Badan Hukum milik Pemerintah ini berstatus sejajar dengan Badan Hukum Swasta yang lain, dan kepada mereka dapat diberlakukan sepenuhnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut peraturan pelaksanannya. Pemberian fasilitas berlebihan kepada Departemen, Jawatan, Daerah Swatantra atau BUMN/BUMD, akan berakibat menurunkan atau mengorbankan tertib hukum di bidang agraria/pertanahan dan tertib hukum yang lain.
Kewenangan para pemegang hak pengelolaan untuk membuat perencanaan dan peruntukan tanah perlu kiranya diatur secara lebih rinci. Kalau tidak akan dapat menimbulkan salah tafsir dan merasa berwenang penuh apapun yang terjadi di dalam areal hak pengelolaan. Perlu ada perincian kewenangan perencanaan dan penggunaan tanah itu sehingga ada batas-batas dalam langkah koordinasi dengan Pemerintah Daerah. Sebagai misal ialah masalah pemasangan papan reklame, ruang parkir, ijin usaha pertokoan, rumah makan dan lain-lain. Bagaimana mengatur pembagian hasil keuntungan uang pemasukan agar tidak berebut kewenangan dalam upaya di lapangan. Oleh karena perumusan dan pengertian mengenai hak pengelolaan ini berubah-ubah dan dikembangkan demikian luasnya seolah-olah berwujud delegasi kewenangan dari hak menguasai dari Negara, maka timbullah banyak permasalahan, baik permasalahan dari segi yuridis maupun segi penerapannya, perlu diadakan analisa untuk menemukan penyebabnya dan kemudian dicari solusinya.
9 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
*) Purna Karyawan Badan Pertanahan Nasional
Tanah Adat Oleh: R. Yando Zakaria *)
S
etiap inisiatif yang berkaitan dengan persoalan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat (indigenous people) di negeri ini pada dasarnya adalah mulia dan sekaligus kritis. Dikatakan mulia karena pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu berkaitan langsung dengan pengakuan dan penghormatan pada nilai-nilai universal hak azazi manusia, sebagai mana yang telah diatur dalam berbagai konvensi Internasional, yang telah pula diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Namun, situasinya menjadi kritis ketika inisiatif itu dikaitkan dengan kenyataan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan selama ini. Misalnya, Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama-sama oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi, Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Ketahanan Nasional, Center for Strategic and International Studies, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2005 lalu sampai pada kesimpulan bahwa, “...telah terjadi sejumlah pelanggaran hak masyarakat hukum adat yang bersifat struktural dan sistemik, yang berakar pada kesalahan konseptual dan kesalahan visi politik tentang posisi struktural masyarakat hukum adat dengan suku bangsa induknya, dengan bangsa, dan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesalahan konseptual dan kesalahan visi yang kemudian tertuang dalam sejumlah undang-undang organik itu harus dikoreksi secara mendasar untuk mewujudkan secara konsisten dan koheren atas dasar jaminan konstitusional yang terdapat dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945.” Seminar Nasional itu juga merekomendasikan bahwa upaya koreksi secara mendasar tersebut harus dilakukan melalui kajian yang mendalam terhadap latar belakang konseptual, visi politik, serta paradigma yang tepat tentang hubungan struktural antara masyarakat hukum adat, suku bangsa, bangsa, dan negara (cetak miring ditambahkan); melalui proses harmonisasi hukum; maupun melalui proses pemberdayaan dari masyarakat hukum adat serta suku bangsa itu secara khusus maupun dari seluruh warganegara pada umumnya (Komisi Nasional Hak Azazi Manusia, et.al., 2005). Sekitar setahun berikutnya, tepatnya 9 Agustus 2006, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, dalam sambutannya pada upacara memperingati Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, menyatakan bahwa, ”...masyarakat hukum adat, sering
berada dalam posisi yang lemah, dalam mempertahankan hak-hak tradisional mereka, di tengah-tengah kekuatan modal dalam mengeksploitasi lahan dan sumberdaya alam. Pemerintah tentu harus berpihak kepada kelompok yang lemah, seraya mencari jalan keluar secara proporsional dan adil, dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara tanpa harus mengorbankan hak masyarakat hukum adat. Karena itu, saya menyerukan kepada segenap jajaran Pemerintah, di pusat maupun di daerah, agar sungguhsungguh dalam memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat di daerah-daerah, dalam menyusun program pembangunan.” Dalam bagian lain Presiden menegaskan pula, ”Undangundanglah yang akan mengatur apa saja yang menjadi hak tradisional masyarakat hukum adat. Sebagaimana kita maklumi, hingga kini kita belum memiliki UndangUndang dimaksud. Saya berharap kita dapat menyusun Rancangan Undang-Undang itu dalam waktu yang tidak terlalu lama.” Dua tahun waktu telah berlalu. Sependek sepengetahuan saya, tentu ada sejumlah inisiatif yang mengarah pada pemenuhan janji Presiden itu. Sayangnya, setidaknya tidak seperti yang saya bayangkan, inisiatif-inisiatif itu tersebar ke berbagai inisiatif departemen sektoral, tanpa induk atau payung hukum - yang dapat menjadi pedoman bagi penafsiran yang satu. Distorsi dan ketidaksesuaian antar sektor pun menjadi suatu yang kerap terjadi, dan telah pula menimbulkan permasalahan baru bagi upaya-upaya perjuangan pengakuan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak masyarakat adat di negeri ini. “Rame-rame Mengakui Keberadaan Masyarakat Adat”. Itulah judul yang paling tepat untuk menggambarkan tingkah laku berbagai Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang dikeluarkan pasca tahun 1998, tatkala mencoba merumuskan klausul mengenai masyarakat adat. Umumnya, yang memiliki klausul tentang masyarakat adat adalah UU dan RUU yang mengatur mengenai sumberdaya agraria atau sumberdaya alam. Namun Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan revisi KUHP juga memiliki klausul tentang masyarakat adat. Di mata UU Sisdiknas masyarakat adat adalah golongan masyarakat yang berhak memperoleh pendidikan khusus (pasal 5 ayat 3). Sementara revisi UU KUHP mengakui ketentuan hukum adat sebagai hal yang bisa menyimpangi asas legalitas serta memasukan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah jenis pidana tambahan.
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
10
Perkembangan itu secara kasat mata seperti menggembirakan. Jika ditelisik lebih dalam kesimpulan yang muncul malah sebaliknya. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, sebagaimana diatur pada Pasal 18, memuat pengakuan terhadap masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah swapraja (zelfbesturende landschappen) dan berbagai macam susunan asli (volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan negeri. Menurut Simarmata, itu adalah tonggak pertama pengakuan keberadaan masyarakat adat di negeri ini. Tonggak kedua pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dirumuskan lima belas tahun kemudian saat Undang-Undang No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria diundangkan. UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya. Gelombang pengakuan hukum yang ketiga berlangsung di masa-masa awal Orde Baru ketika diproduksi sejumlah Undang-Undang sektoral seperti UU No. 5/1967 tentang Kehutanan dan UU No. 11/1966 tentang Pertambangan. Kedua UU ini memiliki klausul pengakuan terhadap masyarakat adat namun sepanjang masih ada. UU No. 5/1967 mengaku hak-hak masyarakat adat sepanjang dalam kenyataanya masih ada dan tidak mengganggu tercapainya tujuantujuan UU tersebut. Gaya pengakuan bersyarat itu terus berkembang di masa pemerintahan Orde Baru dan telah menjadi standar pengakuan normatif pada semua instrumen kebijakan. Bila dibuat dalam sebuah rangkuman, perundangan produk Orde Baru mengakui masyarakat adat hanya jika: (1) dalam kenyataanya masih ada; (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundanganundangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Model pengakuan yang demikian, selain memperkenalkan pengakuan bersyarat juga memperkenalkan pengakuan berlapis. Selain harus memenuhi syarat-syarat sosiologis, politis dan normatif-yuridis namun juga harus memenuhi syarat prosedural (ditetapkan dengan Perda). Gaya itulah yang membuat pengakuan hukum tersebut sebenarnya bukan bermaksud memberikan kebebasan dasar pada masyarakat adat melainkan menentukan batasanbatasan. Gaya yang sama tetap terjadi setelah reformasi 1998. Pasca reformasi 1998, terjadi amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 pada tahun 2000, yang menghasilkan klausul baru yang mengatur mengenai masyarakat adat. Dikatakan bahwa negara mengakui
11 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Gaya pengaturan dan pengakuan yang serupa juga dilakukan oleh Tap. MPR/1998 tentang HAM dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Itu juga yang ditirukan oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Menurut Simarmata, inilah gelombang keempat pengakuan hukum terhadap masyarakat adat sesudah Indonesia menjadi bangsa merdeka. Gaya yang membuat UUD 1945 hasil amandemen dalam sisi tertentu membuat kemunduran dibanding sebelum amandemen. Lebih jelasnya, setelah amandemen kedua pada tahun 2000 lalu, pada pasal 18B, diatur bahwa: “(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Ini dapat dianggap sebagai pintu masuk untuk keharusan melahirkan undang-undang tentang otonomi desa dan/atau keberadaan masyarakat adat, seperti yang juga diinginkan Presiden RI, sebagaimana telah dikutip di awal tulisan! Begitu pula dengan kehadiran Bab XA, Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang menyebutkan bahwa, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman”. Meski begitu, jika dikaitkan dengan 'politik sistem birokrasi pemerintahan' yang ada, dari pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 ini tidak juga ada pernyataan eksplisit tentang adanya 'otonomi desa' ataupun 'otonomi asli', sebagai ekspresi kewenangan administratif dari pengakuan atas ahakahak masyarakat adat itu. Jika adanya pengakuan akan 'otonomi desa' itu dapat ditunjukkan dengan adanya perumusan 'negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (seperti desa, Nagari, Banua, huta, dll. misalnya) beserta hak-hak tradisionalnya (hakhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, seperti 'sebelum adanya negara)', sebagaimana yang sering disuarakan oleh pendukung gerakan masyarakat adat dan otonomi desa selama ini, masih ada dua jebakan lain. Pertama, siapa yang akan menentukan masyarakat hukum adat itu 'masih ada' dan 'sesuai dengan perkembangan masyarakat' itu?; kedua, ukuran-ukuran apa saja yang akan digunakan untuk menentukan masyarakat hukum adat itu masih ada dan sesuai atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat? Namun, khususnya berkaitan dengan hukum ketatanegaraan, masalah yang lebih genting dari kedua
masalah di atas adalah telah diubahnya perumusan dan/atau keberadaan - 'hak asal-usul' pada Pasal 18 UUD 1945 menjadi sekedar 'hak-hak tradisional' pada Pasal 18B ayat (2) itu. Dengan perumusan yang demikian, pengakuan hukum dan politik dari satuan masyarakat hukum adat sebagaimana yang terkandung dalam konsep 'hak asal-usul' - diubah menjadi sekedar pengakuan terhadap tradisi dari masa lampau, yang dapat saja disingkirkan jika dinilai telah 'tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat'. Padahal, dalam hemat saya keharusan bagi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat tidak terletak pada keunikan tradisi masa lampau itu, melainkan terletak pada pengakuan atas hak masyarakat adat untuk mengatur kehidupannya sendiri, dalam konteks waktu kini sekalipun. Andai saja rumusan ini tidak diubah menjadi 'hak-hak tradisional', melainkan tetap sebagai 'hak asal-usul', kedua masalah yang telah disebut terdahulu akan lebih mudah diluruskan. Utamanya dengan menegakkan prinsip self identification, sebuah prinsip yang melekat pada 'hak asal-usul' sebagai 'hak bawaan' itu. Dengan cara ini satuan-satuan komunitas itu sendirilah yang akan menentukan apakah mereka mewujudkan suatu satuan masyarakat hukum adat tertentu, dengan segala hakhak untuk mengurus kehidupan bersamanya sendiri, sebagaimana yang telah diakui dalam konvensi-konvensi Internasional tentang masalah ini, seperti Konvensi ILO No. 169 misalnya. Sayangnya pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tidak memiliki Penjelasan yang dapat dipedomani dalam (lebih) menjernihkan simpang-siur pengakuan hak-hak masyarakat adat dan/atau otonomi desa ini. Akibatnya, pengertian-pengertian yang menyangkut 'susunan asli' (menyangkut keberadaan desa atau yang disebut dengan nama lain), 'bersifat istimewa' (tidak diperlakukan sama untuk setiap keadaan), 'hak asal-usul' (hak yang muncul dari perkembangan satuan masyarakat itu sendiri), dan (ber-) 'otonomi asli' (sebagai hak bawaan yang berbeda kedudukannya jika dibandingkan dengan hak berian seperti yang terjadi pada kasus otonomi daerah), tetap saja tidak dapat terjernihkan. Situasi di atas telah membuka ruang bagi perumusan ulang oleh pemegang kuasa, yang boleh jadi tidak sesuai dengan kepentingan satuan-satuan masyarakat hukum adat itu sendiri. Penyimpangan-penyimpangan secara konstitusional pun akan (dapat) terus berlangsung. Halhal seperti inilah yang memungkinkan adanya variasi derajat pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat ini dalam berbagai perangkat peraturan-perundangan yang ada sekarang ini. Uraian ringkas di atas telah menunjukkan sebagian critical issues dan pilihan konsepsi seputar pengaturan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Seperti telah saya kemukakan di atas, masalah yang kita hadapi dalam masalah ini tidak lagi pertanyaan tentang 'apa' (hak-hak masyarakat adat itu), melainkan soal 'bagaimana' (hak-hak masyarakat adat itu akan diatur
dalam kebijakan-kebijakan dan/atau peraturanperundangan-undangan Negara). Sebagai pedoman kerja dalam kerangka pertanyaan 'bagaimana', sekaligus menjawab pertanyaanpertanyaan yang menumpulkan upaya pengakuan hakhak masyarakat adat selama ini, sebagaimana yang terekspresikan dalam 'politik pembatasan' itu, dirasa perlu untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi berbagai makna yang terkandung dalam beberapa kata kunci, seperti 'adat', 'masyarakat adat', 'hak adat', 'hak ulayat', 'tanah ulayat', dan lain sebagainya itu secara lebih sungguh-sungguh. Situasi politik dan ekonomi yang seperti apa yang mempengaruhi, sehingga 'hak ulayat', dan kemudian juga 'hak adat' dirumuskan sebagai beschikingrecht yang mengacu pada pemilikan bersama itu? Apakah memang tidak ada konsepsi pemilikan individual dalam adat yang terdapat di negeri ini? Apakah adat tidak boleh berubah, sehingga jika dia berubah maka pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang berubah itu menjadi hilang? Upaya itu penting dilakukan karena maraknya pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan dan perundang-undangan belakangan ini telah dirayakan sebagai suatu keberhasilan oleh sementara pihak. Namun, jika ditelisik lebih jauh, boleh jadi, itu adalah kemajuan yang semu, bahkan bukan tidak mungkin menjadi apa yang saya sebut sebagai 'pengakuan negatif'. Artinya, melalui pengakuan yang ada, yang kemudian juga menyertakan batasan-batasan tertentu yang sejatinya dibangun berdasarkan kenyataan sosial, ekonomi, politik, dan budaya masa lalu, pengakuan itu justru akan bermuara pada penyingkiran. Sebabnya adalah, di satu sisi, batasan-batasan itu dibangun berdasarkan kenyaataan dan kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya masa lalu, dan di pihak lain, karena perkembangan zamannya, realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang menjadi dasar pembentukan konsep pengakuan dimaksud telah berubah total. Hampir tidak ada satuan kehidupan masyarakat yang hidup hari ini sama kondisinya dengan masa-masa sebelumnya. Sehingga, ketika kriteria itu diterapkan, dia tidak akan pernah bertemu dengan realita hari ini, alias masyarakat adat yang didefenisikan dengan kriteria-kriteria masa lalu itu -- tidak ada lagi di wilayah tertentu itu. Ini adalah kesimpulan yang ahistoris. Sebab, perubahan adalah suatu keniscayaan pada setiap persekutuan sosial semacam masyarakat adat itu. Dengan kata lain, masalahnya adalah, konsep dan atau batasan-batasan yang digunakan dalam pengakuan itu bersifat kontekstual (sesuai dengan kondisi pada pada masanya), dan belum tentu sesuai pada masa yang lain. Oleh sebab itu, penggunaan konsep yang sama pada waktu yang berbeda tanpa paham 'karakter dasar' yang menyertainya -- bisa menyesatkan. Betapapun, pengakuan akan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu adalah suatu keniscayaan (Zakaria, 2000 & 2004). Namun, agar tidak menyesatkan dan
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
12
operiasional, hal itu perlu dilandasi pemahaman yang komprehensif tentang konsep-konsep dimaksud, pada masing-masing masa yang relevan pula. Pemahaman yang komprehensif berarti pemahaman yang menyeluruh, baik pemahaman tentang aspek epistimologis atau teoritisasi pengetahuan yang terkandung dalam konsep (-konsep) dimaksud, maupun aspek ontologis (konsep-konsep lain yang relevan dan terkait), dan dari aspek oxiologisnya (dasar etika). Sebabnya adalah, saat ini, baik pihak yang menentang maupun yang membela 'hak-hak komunitas' ini terjebak pada cara pikir (usang) yang sama (Li, 2003). Aspek epistemologis, ontologis, dan oxiologis yang hidup dalam konsep politik pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang berlaku pada suatu masa dapat menandai corak politik pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat pada masa yang bersangkutan. Dengan memahami ketiga aspek yang melingkupi konsep (-konsep) dimaksud, kita bisa memahami esensi dari konsep tertentu pada masa lampau, dan merekonstruksi esensi yang sama jika positif -- pada masa sekarang. Dengan cara ini maka penyesatan semacam perangkap 'pengakuan negatif' itu -- akan dapat diatasi. Kita membutuhkan kajian seperti yang telah dirintis oleh Prof. Soetandyo Wignjosobroto. Khususnya yang berkaitan dengan masalah keberadaan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Inisiatif yang didorong oleh berbagai institusi Negara yang diselenggarakan secara serius untuk mengembangkan kebijakan yang dibutuhkan -- akan meningkatkan makna dan pemanfaatannya. Bahkan, bukannya tidak mungkin, pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat ini dijadi pondasi yang kokoh bagi pengembangan negara-bangsa Indonesia meminjam Ben Andeson -yang dibayangkan ada itu (Zakaria, 2004). Dalam uraian pada bagian terdahulu saya telah menekankan pentingnya kajian yang lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan policy development ketimbang studi yang sekedar memperkaya basis pengetahuan yang ada. Jika pilihan ini akan dikerjakan, jauh lebih penting lagi untuk memikirkan upaya policy transfer-nya. Misalnya, bagaimana inisiatif ini diarahkan untuk mengubah atmosfir arah perubahan kebijakan dalam masalah pengakuan hak-hak masyarakat adat ini pada lembaga sepenting Badan Pertanahan Nasional itu sendiri. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah (a) mendiagnose potensi masalah yang mungkin dihadapi dalam pengembangan kebijakan pengakuan hak-hak adat, baik di tingkat Nasional maupun daerah; (b) Mensintesakan pengalaman pengakuan hak masyarakat adat selama ini dari sisi proses, output maupun outcomes, dengan menggali informasi dari para pelaksana di akar rumput, para pejabat, para peneliti/ pengamat, masyarakat selaku beneficiary program, serta para pengkritik program; (c) Menganalisis penyebab dari kinerja inisiatif-inisiatif pengakuan hak-hak masyarakat adat selama ini, dilihat dari kejelasan aturan main, prosedur administratif,
13 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
kualifikasi personel, ketersediaan anggaran, dan karakter resipien program; (d) Meredesain alternatifalternatif model pengakuan hak-hak masyarakat adat; (e) Memilih alternatif model implementasi pengakuan hak-hak masyarakat adat yang practical (hasil analisis para experts) dan yang desirable (sesuai dengan kepentingan aktor-aktor berpengaruh, seperti politisi, birokrat, pemimpin kunci, dll); (f) Mendesain strategi untuk mensiasati batasan-batasan regulasi, keterbatasan sumberdaya manusia dan finansial, dan lain sebagainya. Mengakhiri bahasan saya, dengan beberapa catatan yang telah saya sampaikan di atas, perlu saya akui bahwa saya sulit untuk melepaskan diri dari praduga yang saya tahu itu adalah hal yang tidak baik -- bahwa proyek ini, sebagaimana banyak proyek sejenis lain sebelum ini, hanya akan menjadi 'sekedar proyek'. Sementara proses perumusan kebijakan telah dan terus akan terjadi di ruang-ruang politik dan bisnis yang tertutup. Pengalaman beberapa tahun belakangan ini telah mengajarkan kita soal itu: di tengah kesibukan kita termasuk Pemerintah -- mengkaji dan coba merumuskan kebijakan soal pengakuan hak-hak masyarakat atas tanah, kita juga menyaksikan sejumlah perumusankan kebijakan setingkat undang-undang yang setengah hati jika tak bisa dikatakan tidak peduli atas hak-hak masyarakat adat, maupun kepentingan rakyat pada umumnya. Seperti yang terjadi pada kasus UU Perkebunan, dan lain sebagainya. Inilah persoalan politik-ekonomi proyek-proyek semacam ini: cara bagaimana hasilnya masuk ke dalam kebijakan, seringkali diposisikan sebagai urusan lain. Sejak dari proyek LAP 1, studi tentang tanah adat telah menjadi komponen utama. Tapi studi-studi itu tidak berhasil masuk ke proses pembuatan kebijakan. Persoalannya bukanlah sama sekali soal "ohh itu di luar urusan studi ini" atau "ohh itu kan bukan lagi urusan substansi," dan seterusnya. Tetapi sesungguhnya adalah persoalan "posisionality" si peneliti, organisasi proyek, dengan segala payung kelembagaannya. Hal-hal ini semua sesungguhnya akan menentukan cara bagaimana pertanyaan-pertanyaan penelitian dirumuskan dan pilihan pendekatannya ditentukan. Seorang teman aktivis yang peduli dengan hak-hak masyarakat adat ini mengatakan bahwa masalah yang paling mendasar yang berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat ini adalah ketidakberanian Pemerintah untuk menyentuhnya secara sungguh-sungguh. Sehingga kebijakan yang lahirpun tidak operasional. “Saya kira, negara (Pemerintah) agak enggan berbagi kedaulatan dengan masyarakat adat”, katanya. Apakah praduga itu akan menjadi kenyataan, mudahmudahan tidak, waktulah yang akan mengujinya.
*) Praktsi Antropologi Fellow pada Lingkar Pembanguna Desa dan Kota (KARSA)
Tanah Negara dan Pemanfaatannya Bagi Pembangunan Bangsa
Oleh: M. Rizal Alif, SH., MH *)
D
alam rangka pembangunan daerah bagi kesejahteran masyarakatnya secara kongkrit dan nyata sebagai ensensi dasar bagi sebuah Pemerintah Desentralisasi/Otonomi Daerah, maka Pemerintah Kab/Kota menguasai tanah-tanah Negara dengan status Hak Pakai/HPL/Tanpa hak sama sekali. Namun karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemda Kab/Kota, maka tanah-tanah yang dikuasai tersebut tidak seluruhnya dapat direlokasikan untuk proyek pembangunan. Implikasinya, banyak tanah-tanah milik Negara yang dikuasai Pemda yang masih belum diberdayakan secara maksimal, efisien dan efektif, sehingga masih banyak yang terlantar atau sering disebut dengan “lahan tidur”. Padahal Pemerintah Indonesia sedang berjuang untuk segera keluar dari “badai” Krismon Juli 1997 untuk menyejahterakan rakyatnya kembali seperti negaranegara tetangga. Penelantaran “lahan tidur” milik Negara tersebut terus berlangsung akibat terbatasnya anggaran Pemerintah meskipun pihak investor banyak yang memerlukan tanah bagi obyek investasinya. Pihak swasta tidak dapat membeli tanah-tanah milik negara atau asset Pemda karena jika sampai terjadi jual beli dengan pihak investor, maka haknya menjadi BATAL (Arie S Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005 hlm 301).
bagi pemenuhan kebutuhan papan yang layak dan sehat serta ramah lingkungan secara lebih efisien, efektif, adil, transparan dan akuntabel serta berkelanjutan. Misalnya bagi percepatan pembangunan Rusuna (1000 Tower) berdasarkan Kepres No. 22 tahun 2006 serta program gerakan pembangunan sejuta rumah yang pernah dicanangkan di era Mantan Peresiden Megawati. Oleh karena itu diperlukan solusi. Misalnya adalah dengan mengundang investor guna bekerjasama di dalam rangka pemanfatan tanah-tanah negara yang terlantar dalam rangka membangun daerah khususnya pembangunan Rusuna di wilayah perkotaan. Implikasi positifnya, di satu sisi tanah negara milik Pemda tersebut menjadi tidak terlantar, dan di sisi lain kebutuhan papan akan masyarakatnya terpenuhi.
Dasar Hukum/Legal Frame Work a.
b.
Penelantaran tanah negara yang merupakan asset Pemda tersebut banyak dimanfaatkan oleh penggarappenggarap liar atau occupant liar di atas tanah milik Pemda. Akibatnya banyak terjadi kasus sengketa tanah antara penggarap dengan pihak Pemda. Dampak lainnya, banyak menimbulkan daerah pemukiman kumuh di atas tanah Pemda tersebut. Padahal Pemerintah sudah mengeluarkan PP No. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan pendayagunakan tanah-tanah terlantar, karena pada dasarnya semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria). Karena anggaran yang dimiliki terbatas, Pemda tidak dapat memanfaatkan tanah-tanah terlantar tersebut secara maksimal bagi kesejahteran rakyatnya khususnya
c.
Undang-undang Dasar/ UUD 1945 Amandemen ke-4 Pasal 33 UUD 1945 Amandemen ke-4. Undang-undang/ UU 1. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 2. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 3. UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria 4. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 5. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara 6. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 7. UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 8. UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 9. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal 10. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup. Peraturan Pemerintah/ PP 1. PP No. 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
14
2.
PP No. 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah 3. P P N o . 2 9 t a h u n 2 0 0 0 t e n t a n g Penyelenggaraan Jasa Konstruksi 4. PP No.36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah-tanah Terlantar 5. PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 6. PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional 7. PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL d. Perpres./Inpres/Kepres 1. Perpers No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah/ RPJM 2. Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur 3. Inpres No. No. tahun 1990 tentang Peremajan Pemukiman Kumuh yang Berada di Atas Tanah Negara. e. Kepmen 1. Permendagri No. 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 2. Permenkeu No. 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan Pemanfaatan Penghapusan dan Pemindatangan Barang Milik Negara 3. Peraturan Ka. BPN No. 4 tahun 1989 tentang Bentuk Dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 4. Permendagri No. 3 tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah Kepada Pihak ke III. f. Perda 1. Perda Daerah Kota Tangerang No. 17 tahun 2000 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Swasta 2. Perda DKI No. 10 Tahun 1988 tentang Penyertaan Modal daerah kepada Pihak Ke III 3. Perda Sumbar No. 6 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pengertian Tanah Negara Tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak atas tanah yakni yang bukan/tidak termasuk tanah-tanah hak sebagimana diatur dalam Pasal 16 UUPA, bukan tanah wakaf, bukan tanah ulayat dan bukan tanah HPL. Termasuk dalam ruang lingkup tanah negara meliputi juga: a) tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya; b) tanahtanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi; c) tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris; d) tanah-tanah yang diterlantarkan; e) tanah-tanah yang diambil alih untuk kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dan pengadaan tanah yang (sekarang) diatur dalam Perpres No. 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
15 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
Bagi Pelaksanan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Maria SW Soemardjono). Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan tanah milik negara/milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan pendapatan negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainya. Misalnya BOT/BTO/Sewa Ruislag Bangun guna serah/BOT adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau berikut sarana fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanahnya beserta bangunan dan/atau berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Bangun serah guna/BTO adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunanya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Sewa adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Tukar menukar (Ruislag) adalah suatu nilai jumlah luas tanah dan/atau bangunan yang harus diberikan oleh pihak lain kepada Negara/Daerah sebagai realisasi atas tukar menukar pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengertian kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership) adalah dimana kedua belah pihak mempunyai fungsi, peranan dan memperoleh manfaat/keuntungan dan atau kemungkinan resiko atas usaha yang sesuai dengan kontribusinya. Tujuannya untuk meningkatkan peran swasta dalam mempercepat penyediaan jasa pembangunan perkotaan yang dinamis. Pengertian kemitraan ini jangan dirancukan dengan swastanisasi yang merupakan pengalihan total tanggungjawab tertentu dari pemerintah kepada Swasta. (Sumber: Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah), Dirjen Ciptakarya, Departemen PU, Pokok Acuan Pokja Pengembangan konsep tata ruang kota yang dinamis, Pokja Kerjasama Pemerintah, Swasta dan Peran serta Masyarakat, Jakarta, September 1989, hlm IV-4).
Permasalahan Tanah Negara Tanah negara khususnya tanah negara tidak bebas di wilayah perkotaan dengan status HPL/Hak Pakai milik B U M N / B U M D / Pe m d a / I n s t a n s i Pemda/Departemen/Lembaga Non departemen/Instansi Pemerintah Pusat, Tanah Ex BPPN ada yang masih kosong dari penghuni, ada yang di duduki penggarap/penghuni liar dan ada yang dihuni secara resmi/legal. Pendayagunaan potensi Tanah Negara yang merupakan asset milik Pemerintah Pusat/Daerah/BUMN/BUMD secara optimal dan terpadu serta transparan dan akuntabel kepada publik masih kurang. Di pihak lain
peran aktif masyarakat juga masih kurang di era reformasi dan otonomi daerah. Selain itu, tanah-tanah Negara milik Pemerintah/Pemda ada yang sudah bersertifikat (terdaftar di Kantor BPN setempat) dan ada yang tidak/belum didaftarkan ke kantor BPN setempat. Misalnya Tanah Pemda Propinsi Jatim. Tanah-tanah negara baik milik Pemerintah/Pemda belum semua diinventarisir oleh pengguna barang milik negara/daerah untuk diserahkan kepada pengelola barang, Menkeu, secara clear dan clean baik fisik maupun juridis dan dipublikasikan secara transparan dan akuntabel kepada publik. Misalnya aset-aset tanah ex. BPPN yang masih bermasalah baik fisik dan juridis, sehingga belum dapat diberdayakan dan dikerjasamakan dengan pihak ketiga, Investor/Swasta/Masyarakat melalui konsep Public Private Partnership in Dynamic Urban Development bagi percepatan pembangunan apartemen rakyat 1000 tower. Dalam hal penjualan, tukar menukar (ruislag/tukar guling), hibah dan penyertaan modal asset tanah milik pemerintah pusat/daerah memerlukan persetujuan Presiden, Menkeu, DPR, Gubernur, Walikota, Bupati, dan DPRD sehingga prosesnya memerlukan waktu yang panjang karena tidak bisa langsung dilakukan oleh Pengguna barang/Kuasa pengguna Barang milik negara/Pemda tersebut (PP No. 6 Tahun 2006). Masih banyak tanah milik negara/Pemda, yang diperolehnya dari dana APBN/APBD tersebut di terlantarkan atau mubazir dan kurang didayagunakan dan dikelola dengan baik potensinya oleh Pemerintah/Pemda sehingga dimanfaatkan para penggarap liar. Misalnya tanah milik Pertamina, Pemda dan sebagainya. Keterbatasan dana Pemerintah/Pemda khususnya Pasca Krismon Juli 1997 menyebabkan Pemerintah/Pemda tidak dapat merelokasikan seluruh tanah milik Negara/Pemda dengan status Hak Pakai, HPL dan tanpa hak sama sekali. Pihak swasta banyak yang memerlukan dana sebagai obyek investasinya akan tetapi swasta tidak dapat membeli dan menjaminkan Tanah Negara ke Bank/Pasar Modal karena swasta hanya memliki economic owner dan bukan legal owner, sehingga haknya bisa batal. Pengguna barang (Instansi Pemerintah/Departemen) berkeberatan menyerahkan Asset Tanah Negara kepada Pengelola Barang (Menkeu) sesuai amanah PP No. 6 Tahun 2006 karena sebelum lahirnya PP No. 6 tahun 2006 statusnya adalah sebagai pengelola barang milik negara. Selain itu, masa sewa aset negara/pemda oleh swasta hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 12 PP No. 6 tahun 2006). Situasi ini tidak feasible/profitable bagi investor untuk return investmentnya karena terlalu singkat. Perjanjian penggunaan lahan milik negara/pemda dengan status HPL kepada pihak ke tiga dalam bentuk Bangun, Kelola/Gunakan dan Alihkan/ Bangun Kelola dan Miliki/ Bangun serah guna banyak bermasalah dan
tidak transparan serta akuntabel kepada publik/konsumen Sarusun, sehingga berpotensi disalahgunakan baik oleh Pemerintah/ Pemda/ BUMN/ BUMD/ BPN/ BANK atau conflict of interest. Misalnya HGB diatas HPL dialihkan, dijaminkan, dijual, habis masa berlakuknya tanpa seizin tertulis dari pemilik asset negara/pemda. Bila masa HGB di atas tanah HPL, habis masa berlakunya, kemana pengembang memperpanjang HGB tersebut ? Izin HPL harus ke BPN pusat dan memakan waktu 2 tahun serta biayanya mahal. Investor/Konsumen Sarusun kurang tertarik dengan status HGB/Hak Pakai di atas tanah HPL milik Negara/Pemda karena banyak masalah dan potensi konflik/ tidak bank able dan investor friendly, kecuali Hak Milik dan Sewa tanpa batas waktu seperti di negara maju, Singapura, Australia, Hongkong, Inggris dan sebagainya. Mitra swasta/investor yang ditetapkan sebagai pemenang tender tidak boleh memindahtangankan, menggadaikan atau menjaminkan obyek BOT/BTO (tanah berserta bangunan serta fasilitasnya) (Pasal 29 ayat 3 PP No. 6 Tahun 20006). Tanah ex BPPN yang seyogyanya dapat dijadikan sebagai Land Banking/ BUMN Bank Tanah, misalnya untuk percepatan pembangunan Rusuna 1000 Tower sesuai RTRW Kota akan tetapi masih banyak bermasalah baik secara fisik maupun juridisnya. Selain itu, belum ada certificate insurance dan morgate insurance yang dijamin Pemerintah bagi perlindungan hukum Investor dan Konsumen Sarusun seperti yang sudah lama dilaksanakan di negara USA. Tanah negara tidak bebas dengan status HPL. Di areal di bawah pengelolaan Badan Otorita Batam masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik masyarakat sehingga harus dilakukan proses ganti rugi dan pemindahan penduduknya ke tempat pemukiman baru. Dijadikannya Batam menjadi kawasan perdagangan bebas/FTZ oleh Pemerintah Pusat, dimana nantinya akan dibentuk Badan Pengusahaan FTZ dan Badan pengelola FTZ, membuat semua asset tanah negara tersebut diserahkan menjadi asset Badan Pengelola FTZ yang baru. Nantinya Pemkot Batam dan Badan Otorita Batam dilebur menjadi Badan Pengelola FTZ Batam.
Pemanfaatan Tanah Negara dan Pengentasan Kemiskinan Asset negara berupa tanah meliputi dua jenis kepemilikan yaitu Tanah Negara di tingkat pemerintahan pusat dan di tingkat pemerintahan daerah. Tanah Negara/Pemda diperoleh melalui dana APBN/D dan perolehan lain yang sah (Pasal 1 dan 2 PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara). Tanah Negara adalah tanah yang bekas hakhak di atasnya dibebaskan oleh Pemerintah/Pemda dengan mennggunakan dana APBN/D, misalnya melalui
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
16
Perpres No. 36 tahun 2006 Jo amandemennya Perpres No. 65 tahun 2006 sebagai pengganti Kepres No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk ProyekProyek Kepentingan Umum dan Pembebasan Tanah Melalui Swasta Murni sesuai Pasal 2 ayat 2 Perpres No. 36 tahun 2006 Jo. amandemennya Perpres No. 65 tahun 2006 sebagai pengganti Kepres No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Proyek-proyek Kepentingan Umum. Tanah negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu tanah negara bebas dan tanah negara tidak bebas. Tanah negara bebas adalah tanah negara yang langsung di bawah penguasaan Negara, di atas tanah tersebut tidak ada satu pun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain Negara. Tanah Negara bebas ini dapat langsung dimohonkan kepada Negara/pemerintah (BPN) melalui prosedur yang lebih pendek daripada tanah Negara tidak bebas. Tanah Negara tidak bebas adalah tanah Negara yang di atasnya sudah ditumpangi suatu hak punya pihak lain, antara lain HPL yang dipunyai Pemda Kab/Kota, Perum Perumnas, Pertamina, Bulog, Badan Otorita BATAM, PLN, PJKA dan badan-badan pemerintah/pemda yang seluruh modal/sahamnya dipunyai Pemerintah/Pemda. Pemegang HPL diberikan kewenangan oleh Negara untuk memberikan sebagian tanahnya kepada Pihak ketiga dengan seizin Ka. BPN. Selain itu, Tanah Negara yang di atasnya ada HGU, Hak Pakai dan HGB. Adapun tata cara pemberian Hak Pengelolaan Tanah (HPL) menurut PMA No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan HPL adalah sebagai berikut: 1. Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada (Pasal 67): a. Instansi Pemerintah termasuk Perintah Daerah b. Badan Usaha Milik Negara c. Badan Usaha milik Daerah d. PT. Persero e. Badan Otorita f. Badan-badan Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah. Diberikan HAK Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah. 2. Permohonan Hak Pengelolaan diajukan secara tertulis. 3. Permohonan Hak Pengelolaan memuat: a. Keterangan mengenai pemohon: Nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: - Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa sertifikat, penunjukan atau penyerahan dari Pemerintah, pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti perolehan tanah lainnya.
17
FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
-
Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya). - Jenis tanah (pertanian/non pertanian). - Rencana penggunaan tanah. - Status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara) c. Lain-lain tentang: - Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang, tanah yang dimohon. - Keterangan lain yang dianggap perlu. 4. Permohonan Hak Pengelolaan dilampiri dengan: a. Fotocopy identitas pemohon atau surat keputusan pembentukannya atau akta pendirian perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang. c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat isian pencadangan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa sertifikat, penunjukan atau penyerahan dari Pemerintah, pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti perolehan tanah lainnya. e. Surat persetujuan atau rekomendasi dari instansi terkait apabila diperlukan. f. Surat Ukur apabila ada. g. Surat pernyataan atau bukti bahwa seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah. 5. Pemberian Hak Pengelolaan Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan (Pasal 70). HPL ini sebenarnya tidak diatur dalam UUPA dan merupakan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin kepastian hukumnya ke depan, menurut hemat penulis seyogyanya HPL ini diatur dalam suatu UU tersendiri. Atau disederhanakan haknya menjadi Tanah Negara saja seperti di US sehingga lebih pasti dan tidak rumit serta menimbulkan multi tafsir yang membingungkan investor. Tanah negara/pemda tersebut di atas dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga/investor agar mempunyai nilai ekonomis yang mengutungkan bagi negara/pemda daripada dibiarkan terlantar. Kerjasama Pemanfaatan adalah pendayagunaan tanah milik negara/milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan pendapatan Negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainya. Misalnya BOT/BTO/Sewa, Ruislag. Bangun guna serah/BOT adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau berikut sarana fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak
lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanahnya beserta bangunan dan/atau berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Bangun serah guna/BTO adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Sewa adalah pemanfaatan barang milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Tukar menukar (Ruislag) adalah suatu nilai jumlah luas tanah dan/atau bangunan yang harus diberikan oleh pihak lain kepada Negara/Daerah sebagai realisasi atas tukar menukar pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan. Adapun pengertian kerjasama Pemerintah dan Swasta adalah dimana kedua belah pihak mempunyai fungsi, peranan dan memperoleh manfaat/keuntungan dan atau kemungkinan resiko atas usaha yang sesui dengan kontribusinya. Tujuannya untuk meningkatkan peran swasta dalam mempercepat penyediaan jasa pembangunan perkotaan yang dinamis. Pengertian kemitraan ini jangan dirancukan dengan swastanisasi yang merupakan pengalihan total tanggungjawab tertentu dari pemerintrah kepada swasta (Direktorat Tata Kota dan Tata daerah, Dirjen Ciptakarya, Departmen PU, Pokok Acuan Pokja Pengembangan konsep tata ruang kota yang dinamis, (TOR) Pokja Kerjasama Pemerintah, Swasta dan Peran serta Masyarakat, Jakarta, September 1989 hlm IV-4).
Keuntungan dan Kerugian Pemanfaatan Tanah Milik Negara/Pemda 1.
2.
Keuntungannya antara lain : a. Inventarisasi jenis hak dan pemegang hak lebih mudah karena tanah yang dikuasai relatif luas oleh satu pemegang tanah. b. Proses perolehan tanahnya lebih mudah. c. Biaya perolehan tanahnya tidak ada. d. Biaya lebih cepat, mudah dan murah. e. Ada yang sudah bersertifikat dengan status HPL/Hak Pakai. f. Instrumen hukumnya sudah ada PP No. 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan barang Milik Negara/Daerah Jo. Permenkeu No. 470/KM.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik/Kekayaan Negara Jo. Permendagri No. 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah Jo. Draft PP tentang Pembangunan Rusuna di atas Tanah Milik Negara/Milik Daerah. Kerugiannya antara lain : a. Perlu waktu untuk koordinasi antar instansi terkait, terutama antara pengguna asset dan penyelenggara pembangunan. b. Tanah diterlantarkan. c. Dihuni pemukiman liar.
d. e. f.
g.
Masih belum diberdayakan bagi percepatan pembangunan Rusuna. Birokrasi perizinannya masih panjang. Masih ada yang belum bersertifikat. Misalnya tanah milik Pemda Propinsi Jawa Timur. Tidak bank able dan investor friendly serta jangka waktunya terbatas khusunya untuk sewa lahan.
Sistem Kerjasama pemanfaatan tanah negara/pemda diatur dalam PP No. 6 tahun 2006 tentang Penglolaan Barang Milik Negara/Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana dari UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sistem Kerjasama pemanfaatan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 PP No. 6 Tahun 2006) antara lain sebagi berikut: 1. Kerjasama pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan atau bangunan dilaksanakan oleh Pengelola barang, setelah diserahkan oleh pengguna barang milik negara/daerah. 2. Kerjasama pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola barang milik daerah (Sekda) setelah mendapatkan persetujuan dari Gubernur/Wakot/Bupati. 3. Mitra kerjasama dilakukan melalui tender sekurang-kurangnya 5 peminat. 4. Kerjasama pemanfaatan dengan mitra swasta/investor/masyarakat dilakukan karena tidak tersedianya dana yang cukup dalam APBN/APBD untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/perbaikan terhadap barang milik negara/daerah. Sekaligus guna meningkatkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah tersebut serta peningkatan Penerimaan negara/daerah. 5. S e l a m a j a n g k a w a k t u k e r j a s a m a pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan atau bangunan tersebut, mitra kerjasama dilarang menjaminkan/ menggadaikan barang milik negara/daerah tersebut yang menjadi obyek kerjasama. 6. Biaya yang terkait dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama tidak dibebankan kepada APBN/APBD. Pengamanan dan pemeliharaan barang milik negara/daerah berupa tanah sebagai berikut ( Pasal 33 dan 35 PP No. 6 Tahun 2006): 1. Barang milik negara/daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah RI/Pemda. 2. B u k t i k e p e m i l i k a n b a r a n g m i l i k negara/daerah berupa tanah dan atau bangunan wajib disimpan dengan tertib dan aman oleh pengelola barang. 3. Penguna barang dan atau kuasa pengguna barang berupa tanah dan atau bangunan bertanggung jawab atas pemliharan barang milik negara/daerah tersebut.
LAND 06
FEBRUARI - APRIL 2008
18
Pemindahtanganan tanah milik negara/ daerah berupa tanah dan atau bangunan antara lain sbagai berikut (Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 PP No. 6 Tahun 20006): 1. Harus mendapatkan persetujuan DPR/DPRD kecuali: a. Sudah tidak sesuai dengan RTRW Kota. b. Harus dihapuskan. c. Diperuntukan bagi pegawai negeri. d. Diperuntukan bagi kepentingan umum. e. Dikuasai negara berdasrkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum yang tetap. 2. Untuk tanah dan atau bangunan bernilai di atas Rp 10. 000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan pengelola barang (Menkeu) setalah mendapatkan persetujuan Presiden. 3. Untuk tanah dan atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp 10.000.000.000 (Sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh penglola barang. 4. Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan atau bangunan dilakukan pengelola barang (Sekda) setelah mendapatkan persetujuan Gubernur/Bupati/Wakot. Untuk penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola barang milik negara dan atau oleh Gubernur/Walikota/Bupati untuk barang milik daerah. Sedangkan untuk tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa (Pasal 54 sampai dengan Pasal 57) PP No 6 Tahun 2006): 1. Tanah dan atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang. 2. Tanah dan atau bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggraan Tupoksinya. 3. Tukar menukar dilakukan setelah dikaji dari aspek teknis, ekonomis dan juridisnya. 4. Tukar menukar barang milik negara berupa tanah dan atau bangunan dapat dilakukan dengan pihak Pemda/BUMN/BUMD dan swasta. 5. Tukar menukar brang milik daerah berupa tanah dan atau bangunan dapat dilakukan dengan pihak Pemerintah Pusat/BUMN/BUMD dan swasta. 6. Tukar menukar barang harus dituangkan dalam BAP.
3.
untuk barang milik daerah. Pelaksanaannya dilakukan oleh pengelola barang milik negara dan pengelola barang milik daerah setelah mendapatkan persetujuan Gubernur/Wakot/Bupati.
Tata cara pemanfaatan tanah negara diatur lebih teknis dalam Permenkeu No. 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindatanganan Barang Milik Negara. Adapun untuk tanah Pemda diatur dalam Perda masing-masing daerah Kab/Kota sebagai tindak lanjut dari Permendagri No. 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolan Barang Milik Daerah seperti contoh Perda Propinsi Sumbar No 6 tahun 2007 tentang Pengelolan Barang Milik Daerah. Sementara daerahdaerah lain masih banyak yang belum memiliki Perda tersebut dan seyogyanya dipercepat. Hal ini dikarenakan program kemitraan Public Private Partnership dalam penggunaan lahan milik publik/tanah negara/pemda dapat mengentaskan kemiskinan dan pengangguran/pemberdayaan masyarakat. Model-model proyek kemitraan Pemerintah/Pemda, Swasta dan masyarakat diterapkan dalam pembangunan proyek experiment Bekasi yakni Pratama Plaza di Bekasi. Model Proyek Citraniaga Samarinda, pernah direkomendasikan sebagai salah satu contoh proyek kemitraan antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat dalam Proyek Bank Dunia Training in Urban Spatial Planning tahun 1988- kerjasama Dirjen Ciptakarya, PU dan Dirjen Bangda, Depdagri, dimana penulis terlibat sebagai salah satu anggota Pokja Kemitraan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Model lain adalah Pasar Senggol di Citraland Mall, Pasar Festival Taman Rasuna Kuningan yang bekerjasama dengan pembangunan swalayan mal (UKM) milik Dinas UKM DKI dengan pengembang swasta pusat perbelanjaan Cilandak Town Square (Citos) pedagang sektor informal bahkan masuk ke Carrefour, sebuah swalayan besar milik Perancis. Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, lapisan masyarakat konsumen dari berbagai tingkatan strata sosial dapat berbelanja ke sana.
Pe n y e r t a a n M o d a l Pe m e r i n t a h Pusat/Daerah Mengenai penyertaan modal Pemerintah Pusat/Daerah sebagai berikut (Pasal 63 PP No. 6 Tahun 2006): 1. P e n y e r t a a n m o d a l P e m e r i n t a h Pusat/Daerah dapat berupa tanah dan atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan Gubernur/Bupati/Wakot untuk barang milik daerah. 2. Penetapannya oleh pengelola barang milik negara dan atau Gubernur/Wakot/Bupati
19 FEBRUARI - APRIL 2008
LAND 06
*) Tim Studi Spatial Planning
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT masalah yang kita hadapi tidak lagi pertanyaan tentang
APA hak-hak masyarakat adat itu,
BAGAIMANA
melainkan soal hak-hak masyarakat adat itu akan diatur dalam kebijakan-kebijakan dan/atau peraturan perundangan-undangan Negara