BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.1 Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa: 1.
Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial;
2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain; Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan 1
Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1
1
2 lunasnya suatu pembayaran terhadap pembelian suatu objek hak milik atas tanah, maka para pihak dalam hal ini pihak penjual dan pihak pembeli melakukan suatu perbuatan hukum dengan membuat suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah dihadapan Notaris. Dengan dibuat dihadapan Notaris, maka para pihak dalam membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan. Perbuatan hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan dengan perjanjian jual beli di hadapan Notaris yang kemudian apabila syarat terang dan tunainya terpenuhi maka dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sekaligus juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah, jual beli hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696), yang menyatakan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumh susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, peralihan hak milik atas tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah
3 ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan hukum jual beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Jual beli yang dilakukan dengan nyata atau konkret dikenal dengan istilah “terang dan tunai”, namun apabila diperhatikan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli diartikan sebagai berikut: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”2 Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.3 Dalam hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik atas tanah dilakukan pada saat bersamaan (tunai) dihadapan seorang PPAT (terang).4 Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak milik atas tanah disebabkan karena hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah telah terjadi antara penjual dan pembeli bila diketahui oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 366 3 Florianus SP Sangsun, 1998, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, h. 18 4 Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 87
4 orang saksi.5 Dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan dalam rangka proses peralihan hak milik atas tanah. Dalam perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta memuat janji-janji untuk melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah. Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian namun tetap tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian dimana untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata mengandung empat syarat yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3.
Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang halal ; Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, yaitu dengan cara tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan 5
Sahat Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan, Pustaka Sutra, Jakarta, h. 17-21
5 menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan. Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun dan/atau telah menikah dengan usianya yang belum mencapai umur 21 tahun. Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, misalnya dalam suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka obyek atas tanah dan harga harus dimasukkan ke dalam perjanjian jual beli tersebut dengan jelas. Jika tidak jelas, maka perjanjian tidak sah. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu (tidak tertentu) dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu tidak menunjukkan hal tertentu, tetapi hal yang tidak tentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Isi perjanjian yang dimaksudkan disini adalah bahwa tersebut tidak dapat bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Apabila keempat syarat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini, maksudnya adalah setiap orang bebas
6 mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemukan terjadinya berbagai hal yang berakibat suatu perjanjian mengalami pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun berdasarkan putusan pengadilan. Dari sisi ini pelaksanaan perjanjian jual beli hak milik atas tanah untuk dapat dikaji lebih lanjut mengingat perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului proses peralihan hak milik atas tanah. Terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian yaitu yang pertama, pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat membuat gugatan perdata wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat dan memohon kepada hakim agar perjanjian jual beli tersebut dibatalkan. Kedua adalah dengan menunggu sampai ia digugat atau sebagai tergugat melalui gugatan Pengadilan Negeri setempat, berdasarkan bukti-bukti surat maupun kwitansi, fakta-fakta persidangan dan keterangan-keterangan saksi selama menjalani proses persidangan maka hakim membuat dasar pertimbangan untuk dapat memutus perkara perdata terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut. Dalam rumusan Pasal 1266 KUHPerdata ditentukan tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
7 a. Perjanjian harus bersifat timbal balik, dimana para pihak saling memperjanjikan memberikan prestasi yang terkait satu sama lain, tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Dasar pembenaran dari syarat batal adalah kepatutan karena terutama dalam perjanjian timbal balik adanya prestasi yang satu dikaitkan dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak lawan mempunyai hak untuk minta agar perjanjian dibatalkan. Namun, pihak lawan tersebut tidak berhak mengajukan pembatalan jika ia sendiri telah wanprestasi. b. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lawan, syarat batal dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 1266 KUHPerdata). c. Pembatalan harus dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri, gugatan perdata wanprestasi terhadap salah satu pihak harus dituntutkan pembatalannya. Kata harus dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata ditafsirkan sebagai aturan yang memaksa dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui perjanjian yang melalui perjanjian mereka. Hakim juga memiliki kewenangan lain, seperti menolak tuntutan pembatalan apabila wanprestasi yang dilakukan relatif kecil dibandingkan dengan prestasi yang sesungguhnya.6 Oleh karena terdapat kekosongan norma terkait dengan perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka Jika dikemudian hari timbul gugatan atau ada pihak yang menyangkal isi perjanjian yang telah dibuat, diharapkan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, namun apabila tidak mencapai kesepakatan demi keadilan dapat mengajukan gugatan perdata wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat. Sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dengan dipenuhinya syarat batal, maka perjanjian jual beli tanah dapat dibatalkan dan keadaan harus dikembalikan pada kondisi semula pada saat timbulnya perjanjian tersebut. Setelah perjanjian dibatalkan, maka para pihak mengembalikan segala sesuatunya pada keadaan semula, 6
Ibid, h. 30
8 pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan, dan harus dikembalikan. Dapat dikemukakan bahwa akibat hukum terhadap terjadinya pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut menyebabkan para pihak harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu seperti apa yang telah diperjanjikan sebelumnya, seperti yang telah disebutkan diatas dengan mengembalikan pembayaran yang telah diterima, denda dan ketentuan lainnya yang telah diperjanjikan. Perjanjian jual beli yang merupakan suatu akta otentik akan dapat memberikan suatu perlindungan serta adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Seperti kasus yang diangkat dalam pembahasan tesis ini yaitu dengan dimohonkannya pembatalan atas Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tertanggal 2 Mei 2005 yang dibuat dihadapan Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan., SH., dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) dan kepastian hukum melalui putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 138/Pdt.2010/PT.Dps tertanggal 6 Januari 2011. Dibatalkannya perjanjian ini dikarenakan ketidakmampuan dari pihak pembeli dalam hal ini yaitu Rizaldy Deciderus Watruty untuk melunasi harga jual beli atas 9 (sembilan) bidang tanah yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang. Ketidakmampuan pelunasan inilah yang kemudian dijadikan dasar atau alasan bagi pihak pembeli untuk membatalkan jual beli 9 (sembilan) bidang tanah yang tercatat atas nama dari Penjual. Pembatalan jual beli hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan, SH dengan Akta No. 24 tanggal 13 Pebruari 2008.
9 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, hal ini menarik untuk diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul: “Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah Di Denpasar (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps).” Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan dipaparkan beberapa tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian jual beli. Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Lubnah Aljufri dan Setu Santoso. Pertama, tesis dari Lubnah Aljufri, NIM 0906652785, alumni Program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Indonesia Depok Tahun 2012 dengan judul tesis adalah Kekuatan Hukum Pembuktian Perjanjian Pengikatan Jual beli (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN.Dpk). Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dan yang kedua yaitu mengenai bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual beli yang telah dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan mengapa Pengadilan Negeri Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual beli antara Tergugat II dengan Tergugat
I
adalah
sah
(Putusan
Pengadilan
Negeri
Depok
Nomor
120/Pdt.G/2009/PN.Dpk). Kedua, Tesis dari Setu Santoso, NIM B4B 001 189, alumni Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2008 dengan judul tesis adalah Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Objek Jaminan Kredit Pemilikan Rumah Di PT.
10 Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Ciputat Tangerang. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak terhadap jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank, dan yang kedua yaitu bagaimana akibat hukum dari peralihan jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank dengan dibuat akta pengikatan jual beli dan kuasa serta akta surat kuasa. Dari kedua tesis yang telah diuraikan diatas, maka terdapat perbedaan yang spesifik yaitu tentang pembatalan terhadap perjanjian jual beli serta perlindungan hukumnya, sedangkan kedua judul tesis pembanding lebih menekankan pada kekuatan hukum pembuktian perjanjian jual beli dan perlindungan hukum para pihak dalam pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan objek jaminan kredit pemilikan rumah. Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps) dan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalannya atau keasliannya.
11 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap perjanjian jual beli hak milik atas tanah? 2. Apakah dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah para pihak mendapatkan perlindungan hukum? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai hukum perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut: a. Tujuan Umum Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian dengan keterkaitannya dengan Hukum Kenotariatan mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah. b. Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penyusunan tesis ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari adanya pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
12 2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak dalam pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah. 1.4 Manfaat penelitian Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perjanjian. Demikian juga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Perjanjian dan Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik hak atas tanah, yang ternyata dalam KUHPerdata tidak diatur secara jelas mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah. b. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif kepada para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan.
13 1.5 Landasan Teoritis Dalam menganalisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini akan digunakan beberapa teori. “Kata teoritik atau teoritis atau theoretical berarti berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori7.”Oleh Soetandyo Wignjosoebroto, teori dikatakan ”Sebagai suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman8.” Berdasarkan uraian konsep diatas, adapun teori-teori yang dapat dipergunakan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu: 1. Teori Tujuan Hukum Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan kepastian.9 Teori tujuan hukum menurut Radbruch dalam Theo Huijbers adalah Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan
7
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum - Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 156. 8 Soetandyo Wignyosoebroto, 2006, Hukum-Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Eksam dan Huma, Jakarta, h. 179. 9 H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, h. 19
14 antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan10 Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. ”Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum11.” Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, peran Notaris yang independen dan tidak memihak sangat diperlukan dalam membuat perjanjian jual beli untuk dapat tercapainya tujuan hukum hukum yaitu keadilan di dalam perjanjian tersebut, bermanfaat pula bagi pihak pembeli dalam hal pelunasan jual beli hak milik atas tanah kepada pihak penjual serta adanya kepastian hukum agar para pihak terlindungi secara hukum sebagai akibat dari perjanjian jual beli, maka di dalam perjanjian jual beli harus memperhatikan ketiga tujuan hukum menurut skala prioritas agar dikemudian hari tidak menimbulkan keberatan maupun gugatan dari para pihak atas perjanjian jual beli tersebut. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
10
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h. 163 11 Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19.
15 Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan pertama. 2. Teori Perjanjian Mengenai
perjanjian
dalam
bahasa
Belandanya
diistilahkan
dengan
“overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata”12. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain dikemukakan oleh Schoordijk bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan. Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu. 13 Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata menentukan mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, yang mengatur dan memuat hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.14 Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah satunya Handri Raharjo yang menyatakan terdapat kata sepakat antara subjek 12
Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 402. 13 Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h. 68 14 Subekti dan Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 323.
16 hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.”15 Van Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian sebagai berikut: Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu: 1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan, 2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, 3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian16 Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Adanya perbuatan hukum, Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang, Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan, Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih, Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain, 6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum, 7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan 8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundangundangan.17
15
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 42. 16 Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. I) h. 26. 17 Ibid, h. 25.
17 Syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah sepakat untuk mengikatkan diri, seperti tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 Namun tidak setiap pernyataan dapat menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki19. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas Pacta Sunt servanda yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Sehingga jelas bahwa dapat dibuat perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau lebih dikenal dengan 18
R. Subekti I, Op.Cit, h. 1. Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. II) h. 168 19
18 asas kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk oordeel) yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel) yaitu unsur naturalia dan unsur aksidentalia.20 Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam perjanjian tertentu, namun tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itu pun, suatu perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali dinyatakan sebaliknya, sebagai contoh dalam jual beli tidak diperjanjikan mengenai siapa yang berkewajiban membayar biaya balik nama, maka ketentuan undang-undang yang berlaku yaitu Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur aksidentalia merupakan suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu perjanjian
hendaklah
memenuhi
rasa
kepercayaan
dan
keadilan
yang
berkeseimbangan bagi para pihak, dimana perjanjian tersebut memenuhi asas persamaan hukum dan asas keseimbangan. Teori Perjanjian dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas
Tanah
(Studi
Kasus
Putusan
Pengadilan
Negeri
Denpasar
No.
05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan kedua. 20
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, cet. 2, Bandung, h. 99
19 3.
Konsep Perlindungan Hukum Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan
hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”21. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan perjanjian wujud perlindungan para pihak dalam hal ini pihak penjual maupun pembeli tertuang dalam perjanjian jual beli. Perjanjian yang dibuat antara penjual dengan pembeli berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak, dimana para pihak harus menjalankan atau mentaati isi perjanjian yang sudah disepakati. Perjanjian jual beli merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dalam memperoleh atau mengalihkan hak atas tanah ataupun rumah, baik yang dimiliki oleh subyek hukum orang maupun yang berupa badan hukum. Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya.22 Namun tidak jarang terjadi pada masyarakat sebelum dilakukan jual beli tersebut, terlebih dahulu dilakukan suatu perjanjian yang mengikat antara para pihak yang membuatnya atau sering disebut Perjanjian Jual beli. Hal tersebut dilakukan oleh karena adanya 21
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h. 1. 22 Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 10
20 satu dan lain hal yang menyebabkan jual beli atas tanah tidak dapat dilakukan pada saat itu juga. Suatu perjanjian dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi syarat sah perjanjian, yaitu adanya itikad baik, sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif, yaitu dengan melihat subyek dari para pihak pembuat perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yaitu dengan melihat obyek yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak dipenuhinya
syarat
subyektif
maka
perjanjian
tersebut
dapat
dimintakan
pembatalannya pada Hakim (voidalble), sedangkan dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) atau perjanjian tersebut selalu diancam bahaya pembatalan.23 Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya. Ada dua macam perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan 23
R.Subekti I, Op.cit, h. 20
21 hukum represif bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundangundangan. Terhadap perlindungan hukum represif disebutkan dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan. Konsep Perlidungan Hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk melengkapi teori dalam menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah. Konsep ini sebagai bahan yang melengkapi dalam menganalisis untuk menjawab permasalahan kedua. Dalam rumusan Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu (perjanjian timbal balik), yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Teori dari perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu dengan yang lainnya. Pengertian yang dimaksud dengan “mempunyai antara yang satu dengan yang lainnya” adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain sebagai pihak
22 yang memikul tanggung jawab. Pembagian di sini berdasarkan atas perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, apakah mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak.24 Jadi dalam perjanjian jual beli, yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas suatu barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang telah disetujuinya.25 Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian tersebut sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsurunsur yang pokok (essentialia) yang barang dan harga, walaupun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” Jadi jual beli melibatkan eksistensi dan sekurang-kurangnya dua perikatan (untuk memberikan sesuatu) secara timbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menimbulkan prestasi dan pertanggungjawaban secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut, yaitu 24
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 43-44 25 R. Subekti 2002, Hukum Perjanjian, Cet. XVI., PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut R.Subekti I),h. 79
23 penjual dan pembeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan miliknya kepada si pembeli.26 Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut KUHPerdata, adalah perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya menurut KUHPerdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, perjanjian jual beli baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.27Apa yang dikemukakan mengenai sifat jual beli diatas, Nampak jelas diterangkan dalam Pasal 1459 KUHPerdata, yang menyatakan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.” Berhubung dengan sifat jual beli tersebut, maka tidak mudah untuk dapat dimengerti yang dimaksud dalam Pasal 1471 KUHPerdata yang menyatakan: “Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Apabila jual beli itu hanya bersifat obligatoir saja, yang berarti belum memindahkan hak milik, tentulah tidak keberatan apabila seorang menjual
sesuatu barang belum
kepunyaannya, asal nanti pada waktu diserahkan barang tersebut, benar-benar menjadi hak milik si pembeli. Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana dengan Pasal 26
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cet. X, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut R.Subekti II), h. 2 27 R. Subekti I, Op. cit, h. 80
24 1471, tanpa disadari bahwa pasal tersebut dalam KUHPerdata yang menentukan saat pemindahan hak milik pada saat dilakukannya penyerahan, tidaklah tepat. Dalam Pasal 1460 KUHPerdata terdapat keganjilan, dan tepat sekali oleh para sarjana dan yuriprudensi dibatasi keberlakuannya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja. Artinya barang tertentu adalah, suatu barang yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh kedua belah pihak.28 Si penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu, menyerahkan barangnya dan menanggungnya. Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu menjadi milik si pembeli. Jadi penyerahan itu suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu orang ke orang lain, dari si penjual kepada si pembeli. Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan harus dipikul oleh oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1476 KUHPerdata). Dari ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata), dan ketentuan jual beli terhadap penjual memiliki 2 (dua) kewajiban pokok, mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, kewajiban tersebut adalah: 1)
Kewajiban menyerahkan hak milik Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata 28
Op.cit, h. 82-83
25 mengenal tiga macam barang yaitu, barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 (tiga) macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing barang itu, yaitu: a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyatakan: Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya. Dari
ketentuan
tersebut
dapat
kita
lihat
adanya
kemungkinan
menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada dalam kekuasaan si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja. Cara yang terakhir ini dikenal dengan nama“tradition brevi manu”, yang berarti “penyerahan dengan tangan pendek”. b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan balik nama dimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik Nama atau Pegawai Penyimpan Hipotik, yaitu menurut Pasal 616 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam pada
26 itu segala sesuatu yang mengenai Tanah, dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam Buku II KUHPerdata tersebut, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Nomor 1960-104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, selanjutnya disebut UUPA). Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut, dalam Pasal 19 menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta di hadapan pejabat tersebut. c. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”, sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Sebagaimana diketahui KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak, yaitu meletakkan kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran harga yang telah disepakati dan di sisi lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dengan perkataan lain, perjanjian jual beli menurut
27 KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukan penyerahan, yang caranya ada tiga macam tergantung dari macamnya barang. 2)
Kewajiban menanggung tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.
3)
Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi daripada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang akan dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. Atau juga si pembeli, sewaktu digugat di muka Pengadilan oleh pihak ketiga dapatlah ia meminta kepada Hakim agar supaya si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan datang atau sedang berjalan. Hukum perjanjian adalah hukum pelengkap, kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-undang, bahkan mereka diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun, tetapi ada batasannya. Jika dijanjikan penanggungan, atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, si pembeli
28 berhak, dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang akan dibelinya kepada orang lain, menuntut kembali kepada si penjual: 1. Pengembalian uang harga pembelian; 2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan; 3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat asal. 4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli. Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, barang itu telah merosot harganya, maka si penjual tetap diwajibkan mengembalikan harga seutuhnya. Sebaliknya jika barangnya pada waktu dijatuhkan putusan untuk menyerahkan kepada orang lain, telah bertambah harganya meskipun tanpa suatu perbuatan dari si pembeli, si penjual diwajibkan membayar kepada si pembeli apa yang melebihi harga pembelian itu juga. Selanjutnya si penjual diwajibkan mengembalikan kepada si pembeli segala biaya yang telah dikeluarkan untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barangnya. Kewajiban utama pihak pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya terdapat dalam pengertian jual beli,
29 karena jika tidak, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar menukar”, atau kalau harga itu sudah berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja. Dalam pengertian jual beli sudah terdapat pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua pihak, namun adalah diperkenankan untuk memperkirakan atau penentuan orang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465 KUHPerdata). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu perjanjian dengan suatu „syarat tangguh‟, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang ketiga tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Ini berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik maupun tidak) diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi obyek perjanjian, prestasi, atau kewajiban maupun utang tidak pernah ada.
30 Dalam rumusan Pasal 1446 KUHPerdata, menyatakan bahwa selama dan sepanjang ketidakcakapan tidak dikuatkan, maka perjanjian yang dibuat oleh mereka yang cakap tersebut tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, dan karenanya pula tidak memberikan hak menuntut harta kekayaan pada salah satu pihak terhadap siapa mereka telah membuat perjanjian. Bunyi Pasal 1446 KUHPerdata tersebut adalah: Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang, anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harusnya dinyatakan batal semata-mata atas dasar kebelum dewasaan dan pengampuannya. Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan dan orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka. Dengan demikian berarti, setiap pihak yang cakap bertindak dalam hukum, yang membuat perjanjian jual beli dengan orang yang tidak cakap yang telah melaksanakan kewajibannya menurut jual beli yang telah disepakati, atas tuntutannya terhadap salah satu pihak yang tidak cakap tersebut, senantiasa diancam dengan pembatalan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1454 ayat (2) KUHPerdata dengan konsekuensi bahwa menurut ketentuan Pasal 1451 KUHPerdata bahwa pembatalan sebagai akibat ketidakcakapan membawa akibat bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat pelaksanaan jual beli tersebut, hanya dapat dituntut kembali sekedar barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekedar ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang telah diberikan atau
31 dibayarkan itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi kepentingannya.29 Dalam konteks demikian, tidaklah berarti kebendaan yang diserahkan kepada seorang yang tidak cakap untuk bertindak dalam hukum tidak memperoleh penggantian. Sifat konsensual dari jual beli adalah terjadinya kesepakatan dari para pihak. Dengan demikian dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan tercapai suatu kesesuaian kehendak artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga dikehendaki pihak lain. Dalam perjanjian jual beli, asas konsensualisme tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang dalam pasal tersebut dinyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua perjanjian dibuat secara sah”, yang artinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah disebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.30 Hukum perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap, kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajibankewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan kedua belah pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun. Namun hal ini ada batasannya, yaitu sebagai berikut:31 Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu 29
Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Op.cit. H. 36 R.Subekti II, Op.cit. h. 4 31 R.Subekti I, Op.cit. h. 84 30
32 apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang suatu akibat dari suatu perbuatan yang telah dilakukan olehnya. Segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini adalah batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 1494 KUHPerdata. Si penjual, dalam hal adanya janji sama, jika terjadi suatu penghukuman terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli pada waktu dilakukan, mengetahui adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika ia telah membeli barang tadi dengan pernyataan akan memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata). Dengan demikian maka yang menjadi alat ukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli. Pernyataan timbal balik dalam perjanjian jual beli oleh kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan
kewajiban
diantara
mereka.
Undang-undang
berpangkal
pada
asas
konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapainya konsensus harus mengacu pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Kemudian, jika terjadi perselisihan tentang apakah terjadi konsensus atau tidak, apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak, maka Pengadilan melalui putusan Majelis Hakim lah yang akan menetapkannya. Dalam perjanjian jual beli atau yang disebut juga dengan perjanjian timbal balik, hanya berlaku Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal selalu
33 dipersangkakan ada dalam perjanjian timbal balik, dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan ketentuan pasal ini maka perjanjian yang ditutup adalah perjanjian timbal balik, dan salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, maka pihak yang lawan janjinya berhak menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini juga sehubungan dengan adanya tangkisan, bahwa pihak lawan janjipun tidak memenuhi kewajiban perikatan (exception adempleti contractus).32 Para pihak bersikap rasional dalam menyelesaikan permasalahan dalam perjanjian jual beli merupakan anggapan dari resiko para pihak.Persoalan terpenting bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi maupun mencegah kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli. Oleh karena itu para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute settlement clause” atau “midnight clause”) dalam perjanjian perjanjian jual beli. Jika pada akhirnya permasalahan berkembang menjadi lebih rumit, maka upaya penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak adalah pada dua opsi, yaitu: a.
Penyelesaian melalui jalur litigasi
b.
Penyelesaian melalui jalur nonlitigasi Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak, dan status kekuasaan. Para 32
J. Satrio, Op. Cit. h. 46-47
34 pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, serta dipertahankan33. 1.6. Metode Penelitian Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Jenis-jenis penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah penulisan hukum, penulisan hukum yang memiliki sifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan masukan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum Perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Sebagai penulisan hukum dalam bidang akademis, dimaksudkan untuk membedakan dengan penulisan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang bersifat praktis, apabila dicermati substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni ”penulisan yang bersifat normatif dan doktrinal.34” 1.6.1
Jenis Penelitian Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan: ... penelitian hukum digunakan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan
33
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 307-308 34 Ibid, h.26.
35 bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nilai35. Menurut Bagir Manan dalam bukunya penelitian bidang hukum, jenis penelitian hukum normatif yaitu “penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum36.” Dengan kata lain penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya “bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti37.” Menurut Abdulkadir Muhammad "penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat38.” Dalam kaitannya dengan lingkupan dari penelitian hukum normatif, dikatakan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,
35
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.33. 36 Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Jurnal hukum, Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung, h. 4 37 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, Jakarta, h. 52. 38 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 51.
36 formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya39. Jenis penelitian dalam penelitian ini sebagai penelitian hukum normatif, yaitu “penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.40” Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.41 Hal ini senada dengan pendapat Morris L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research menyatakan bahwa:“legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”42 yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek. Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum kemudian dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu dapat berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar, Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum 39
Ibid, h. 101-102. Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 41 Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 51 42 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1 40
37 tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, dan rancangannya).43 Penelitian hukum normatif dalam tesis ini berangkat dari kekosongan norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah. 1.6.2
Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk
mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penulisan tesis ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam KUHPerdata terkait perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah serta menggunakan produk legislatif dan regulasi, yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus
44
. Pendekatan konsep
(conseptual approach) dalam ilmu hukum khususnya terkait dengan perjanjian jual beli digunakan sebagai titik tolak bagi analisis penelitian hukum sehingga akan muncul konsep sebagai suatu akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk dapat mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum
43
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h.52. Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media Group, Jakarta, h. 97. 44
38 terkait dengan perlindungan para pihak terhadap pembatalan jual beli hak milik atas tanah. 1.6.3
Sumber Bahan Hukum Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam sumber
bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu terdiri dari: bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sumber bahan hukum ketiga yaitu bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder45. Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini diperoleh dari hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).46 Adapun bahan hukum yang dimaksudkan terdiri dari: 1). Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan tesis ini antara lain adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 45
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Loc.cit. Ronny Hanitijo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24. 46
39 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1997 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696. 6. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. 2). Bahan Hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan. Bahanbahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik penelitian. Dalam kaitan itu, maka bahan hukum sekunder dari penelitian ini bersumber dari literatur di bidang Hukum Perdata, Hukum Agraia beserta berbagai artikel terkait. 3). Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
40 ensiklopedi dan seterusnya.47 Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait. 1.6.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung.48 Bahan hukum yang relevan dikumpulkan menggunakan teknik sistim kartu (card system),49 yaitu menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penguraian, menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep yang ada. Studi kepustakaan bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
47
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23 48 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58. 49 Winarno Surakhmad, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar Metode & Teknik,Tarsito, Bandung, h. 257.
41 1.6.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan secara kualitatif,
kemudian dianalisa dengan teori-teori yang relevan, disimpulkan untuk menjawab permasalahan dan disajikan secara deskriptif analistis yaitu terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi meliputi "isi maupun struktur hukum positif50”. Maksud dan tujuannya adalah melakukan pemahaman untuk menentukan makna aturan hukum. Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan dan sistematisir bahan-bahan hukum yang diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahanbahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.
50
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), dalam Yuridika,Nomor 6, tahun IX, Nopember-Desember. Tanpa halaman.
42 BAB II KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
Dalam Bab II ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep tentang perjanjian jual beli. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu tentang, konsep mengenai perjanjian yang pada sub sub babnya membahas mengenai syarat lahirnya suatu perjanjian, kemudian perjanjian menurut KUHPerdata dan penyebab hapusnya suatu perjanjian. Pada sub bab kedua dibahas mengenai konsep mengenai perjanjian jual beli yang pada sub sub bab nya membahas mengenai perjanjian jual beli dalam KUHPerdata, hal-hal yang perlu dicantumkan dalam perjanjian jual beli dan bentuk perjanjian jual beli, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: 2.1 Konsep Mengenai Perjanjian Istilah perjanjian atau kontrak di dalam praktiknya terkadang masih dipahami secara rancu. Sebagian masyarakat dan pelaku bisnis mencampur adukkan kedua istilah tersebut seolah-olah merupakan pengertian yang berbeda. Untuk pengertian yang sama Burgerlijk Wetboek (BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract. “Hal tersebut secara jelas dapat disimak dari judul buku III titel kedua tentang perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian yang dapat kita baca dalam bahasa Belandanya, yaitu: Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden51.” Pengertian tersebut juga banyak didukung oleh pendapat di kalangan sarjana, yang juga menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam 51
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13.
43 pengertian yang sama, “antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, 52J. Satrio,53Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,54 Mariam Darus Badrulzaman,55 Purwahid Patrik,56 dan Tirtodiningrat57.” Subekti berpendapat lain mengenai istilah perjanjian atau persetujuan dengan kontrak, menurutnya istilah “kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis58. Sedangkan pendapat sarjana lain, Pothier dalam bukunya Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan antara pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian di mana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.59 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian yang telah diuraikan oleh para sarjana di atas, dalam penulisan tesis ini sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus kajian tesis ini sebagian berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di 52
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13. J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19. 54 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, h. 84. 55 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 89. 56 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h. 45. 57 R. M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h. 72. 58 R. Subekti, Op.cit, h. 1. 59 Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Loc. Cit. 53
44 mana terdapat pengertian yang sama antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) dengan kontrak (Contract). Dalam tesis ini kedua istilah tersebut akan digunakan istilah perjanjian, hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Pengaturan perjanjian terdapat di dalam Bab II Buku III KUHPerdata mulai dari Pasal 1313 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian merupakan perbuatan atau rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan seseorang kepada seorang lainnya untuk berjanji melaksanakan sesuatu hal. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan pengertian perjanjian bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih60.” Adapun tujuan dari dibuatnya suatu perjanjian menurut pendapat Sucitthra Vasu menyatakan bahwa The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.61
60
Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab Perdata.Cet. XL, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338. 61
Undang-Undang
Hukum
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, page. 1
45 2.1.1
Syarat Lahirnya Suatu Perjanjian Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang,
hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian, terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.” Semua tindakan, baik perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun perjanjian merupakan fakta hukum. Fakta hukum adalah kejadian-kejadian, perbuatan atau tindakan, atau keadaan yang menimbulkan, beralihnya, berubahnya atau berakhirnya suatu hak. Singkatnya, fakta hukum adalah fakta ang menimbulkan akibat hukum. Fakta ini dapat berupa perbuatan atau tindakan, juga dapat berupa fakta lainnya, seperti fakta hukum apa adanya, misalnya, kelahiran, kematian, kedewasaan atau keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan, ataupun lewatnya waktu atau daluarsa.62 Menurut azas konsensualisme, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. 62
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1
Dan
46 Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu. Apabila
sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang membuat
perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun ada perjanjian-perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata,63 dan perjanjian-perjanjian "formal" atau perjanjian-perjanjian riil, itu adalah pengecualian. Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Jadi kesepakatan berarti persesuaian kehendak.64 Kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun oleh pihak yang menerima penawaran. 63 64
R.Subekti I, Op.cit, h. 4 R.Subekti I , Op.cit, h. 26
47 Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Perlu diperhatikan, akibat hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, dan tentunya tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. Hal ini merupakan asas umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya.65 Mengenai proses membuat perjanjian menurut pendapat Ros Macdonald dan Denise McGrill sebagai berikut ”just a drafting is the process of converting the underlying intention of the party or parties into a written document, construction is the process od derinving the tru intention of the party or parties from the document.”66 yang artinya membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang mendasari
pihak-pihak
yang
membuat
kontrak
menjadi
dokumen
tertulis
konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang dibuat. Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa 65
Herlien Budiono, Op.cit, h. 10 Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis Butterworths, Australia, page 3 66
48 yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.67 Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut. Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara umum.68 Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan hukum perjanjian yaitu sebagai berikut: a) Teori Kehendak (wilstheorie) Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan. Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki otonomi, tidak akan memecahkan masalah apapun. Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak.
Meskipun
demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul 67
C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h. 194. 68 Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Jakarta, h. 196
49 kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain.69 b) Teori Pernyataan (verklaringstheorie) Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentukanya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak. Namun teori ini juga memiliki kelemahan karena teori pernyataan hanya berfokus pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan pernyataan.70
69 70
Herlien Budiono, Op.cit, h. 77-79 Herlien Budiono, Op.cit, h. 80
50 c) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie) Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat disebut sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian tergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.71 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataanpernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini adalah hal yang penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang, para pihak terpaksa berpijak pada pernyataanpernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan pernyataan itu sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk mendapatan kepastian hukum dalam pembuktiannya. Perjanjian juga didasarkan pada suatu kepercayaan, sebagaimana 71
Herlien Budiono, Op.cit, h. 80
51 untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka teori perjanjian dapat digunakan untuk mengkaji kasus mengenai pembatalan perjanjian jual beli yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar. 2.1.2
Perjanjian Menurut KUHPerdata Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar
dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.72 Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terjadi hubungan hukum antara dua pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Mengenai dasar hukum dari perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan definisi pasal ini diketahui bahwa dalam perjanjian ada pihak yang mengikatkan dirinya terhadap pihak lain. Definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan
72
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, h. 19
52 dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.73 Pengertian perjanjian yang termuat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata masih terdapat beberapa kelemahan yang harus dikoreksi, diantaranya yaitu: a.
Hanya menyangkut sepihak saja
b.
Tidak mengandung suatu konsensus
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas
d.
Tanpa menyebut tujuan. Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata
menurut para sarjana kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahankelemahan dan terlalu luas pengertiannya karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.74 Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian : ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad) tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah 73 74
h. 49.
R.Subekti I, Op.cit, h. 1 R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta,
53 perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.75 Untuk melengkapi kekurangan mengenai rumusan perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Subekti memberikan pendapat mengenai pengertian perjanjian yaitu “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.”76 Rutten sebagaimana dikutip oleh Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dan peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah
75
Abdulkadir Muhamad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 80 76 Subekti, Op.cit, h. 2.
54 satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.77 Berdasarkan definisi yang telah diberikan diatas mengenai perjanjian maka dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun tertulis untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat hukum. Perjanjian dalam lingkup hubungan bisnis lazimnya disebut dengan kontrak. Menurut pendapat Robert Duxbury memberikan pengertian mengenai kontrak sebagai berikut : “a contracts may be defined as an agreement between two or more parties that is binding in law.”78 Kemudian pendapat lain mengenai kontrak sebagaimana diungkapkan oleh Gordon W. Brown and Paula A. Sukys menyatakan bahwa : “ a contracts is an agreement between two or more competent parties, based on mutual poses, to do or to refrain from doing some particular thing that is reither illegal not impossible, the agreement result in abligation or a duty that can be enforead in accourt law.”79 Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kontrak disamakan dengan perjanjian dimana keduanya dilakukan diantara dua orang atau lebih dan mereka yang mengadakan perjanjian tersebut terikat pada hukum, artinya apabila ada 77
Purwahid Patrik, 1998, Hukum Perdata II, Jilid I, Mandar Maju, Bandung,
h. 1-3. 78
Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Seventeen edition, Thomson Sweet & Maxweel, London, England, p. 1 79 Gordon W. Brown and Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC Applications, 10th Edition,Glencoe Mc. Grow-Hill, New York America, p. 95
55 pihak yang melanggar isi perjanjian yang telah disepakati itu maka terhadap pihak yang melanggar tersebut dapat dituntut secara hukum dimuka pengadilan. Secara yuridis, pengadilan dapat memaksakan untuk berlakunya suatu perjanjian dan pengadilan juga dapat menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar apa yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Dalam suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini menurut penulis berlaku untuk setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tunduk sesuai dengan hukum di Indonesia. Sehingga setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik secara otentik maupun dibawah tangan harus memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini.
56 Selain mengeni syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat juga syarat sah nya perjanjian diluar ketentuan dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diantaranya yaitu: -
Harus dilakukan dengan iktikad baik
-
Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan
-
Harus berdasarkan atas asas kepatutan atau kepantasan
-
Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.80
Terdapat juga perjanjian-perjanjian tertentu yang untuk sahnya perjanjian tersebut harus memenuhi ketentuan tertentu, misalnya harus dibuat secara notariil (dibuat oleh atau dihadapan Notaris), contohnya perjanjian fidusia, perjanjian dalam pendirian Perseroan Terbatas, perjanjian dalam pendirian Yayasan, perjanjian dalam pendirian Koperasi, dan lain sebagainya. Perjanjian tersebut harus hanya dilakukan dihadapan pejabat tertentu saja, misalnya : perbuatan hukum “hibah atas obyek bidang tanah tertentu,” harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Pendirian Koperasi harus dilakukan dihadapan Notaris yang berwenang membuat Akta Koperasi. Demikian juga ada perjanjian atau kontrak-kontrak tertentu yang harus mendapat ijin dari Pejabat yang berwenang.81 Menurut hemat penulis syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri yang merupakan syarat mutlak adanya sebuah perjanjian, dimana kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai 80
Mulyoto, 2012, Perjanjian (Tehnik, Cara Membuat dan Hukum Perjanjian Yang Harus Dikuasai), Cakrawala Media, Yogjakarta, h. 34-35 81 Ibid
57 hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/ diadakan itu, dan apabila mereka tidak sepakat maka tidak ada perjanjian. Kesepakatan yang dibuat menunjukkan bahwa mereka (orang-orang) yang melakukan perjanjian, sebagai subyek hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas dalam membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur paksaan. Sepakat tersebut tidak saja mencakup pengertian “sepakat” untuk mengikatkan diri tetapi juga “sepakat‟ untuk mendapatkan prestasi. Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau memberikan prestasi, tetap mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.82 Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat paksaan tercantum dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat. ”Batalnya perjanjian juga tercantum dalam Pasal 1325 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun kebawah.”
82
Herlien Budiono, Op.cit, h. 73-74
58 Mengenai syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung makna bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian/ perikatan tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau menurut hukum, sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum pula. Dalam KUHPerdata hanya diterangkan tentang mereka/ pihak-pihak yang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga pihak di luar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap untuk melakukan perbutan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi : setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Mengenai syarat selanjutnya yaitu suatu hal tertentu pada persyaratan sahnya suatu perjanjian adalah obyek dari pada perjanjian. Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan barang-barang yang dapat ditentukan nilainya atau dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi : "Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. Syarat terakhir untuk sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal. Menurut ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa : "Suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan." Sedangkan Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa: “jika
59 tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun ada sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah. ”Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya seseorang mengadakan transaksi jual beli senjata api tanpa dilindungi oleh surat-surat yang sah dalam hal pemilikan senjata api, maka perjanjian yang dilakukan adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat mengenai suatu sebab yang halal yaitu prestasi yang dilakukan telah melanggar undang-undang tentang pemilikan senjata api. Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
60 Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas-asas yang berlaku yaitu sebagai berikut: a.
Asas konsensualisme
b.
Asas kebebasan berkontrak
c.
Asas Pacta Sunt Servanda
d.
Asas Iktikad Baik Menurut hemat penulis, asas konsensualisme tercermin dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah nya perjanjian yaitu dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Maksudnya adalah bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis sebagai alat bukti. Asas konsensualisme disini maksudnya adalah bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan dari para pihak, yang dengan demikian otomatis tidak adanya unsur penipuan, kekhilafan maupun unsur paksaan. Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam artian bahwa setiap orang bebas untuk melaksanakan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini tercermin dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan berkontrakpun menurut hemat penulis dibatasi oleh beberapa hal yaitu tidak dilarang oleh undangundang; tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan tidak bertentangan dengan
61 ketertiban umum. Selain itu asas kebebasan berkontrak juga terkait dengan kebebasan dari para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian
dengan
siapapun;
menentukan
isi
perjanjian,
pelaksanaan
dan
persyaratannya; menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari asas ini adalah setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dengan demikian pada prinsipnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas dari segi bentuk, isi, sepanjang perjanjian yang telah dibuat tersebut mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti halnya undang-undang. Meskipun setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, namun bukan berarti tidak ada batasannya. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas lain yang berlaku dalam perjanjian yaitu dikenal dengan asas Pacta Sunt Servanda, asas ini juga tercermin dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Maksud dari asas ini dalam suatu perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi mereka yang membuatnya dan tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang diatur dalam undang-undang.
62 Selain ketiga asas yang telah diuraikan diatas, dikenal juga asas iktikad baik. Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Pemahaman substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Iktikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya iktikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi iktikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.83 Terdapat juga asas-asas lain yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian yaitu asas nemoplus yuris
yang artinya bahwa orang atau badan hukum hanya
dibenarkan menjalankan hak nya sebatas hak yang orang atau badan hukum tersebut miliki. Asas personalitas atau yang biasa disebut asas kepribadian yang artinya bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri dan suatu perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Di dalam suatu perjanjian pada hakekatnya adalah pertukaran antara hak dan kewajiban secara adil atau secara seimbang yang biasa disebut dengan asas proporsionalitas. Dalam suatu perjanjian menganut juga asas yang dikenal dengan asas force majeure yang artinya debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar 83
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, h. 139
63 ganti rugi, akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa. Keadaan memaksa yang dimaksud adalah keadaan dimana debitur memang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tersebut.84 Berdasarkan uraian mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian sebagaimana disebutkan diatas maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian terjadi dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak untuk saling mengikatkan dirinya, setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atas apa yang telah disepakati sebelumnya asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan peraturan yang berlaku umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh kedua belah pihak. Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asasasas perjanjian berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam suatu proses jual beli terjadi kesepakatan perjanjian. Dalam kaitannya dengan hukum pemerintahan, dalam hal pengadaan barang dan jasa misalnya pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta dimana kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Asas-asas dari perjanjian bersentuhan dengan segala jenis hukum yang ada. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari
84
Mulyoto, Op.cit, h. 36-37
64 adanya suatu perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian juga memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya. Selain mengenai asas-asas dalam hukum perjanjian, dikenal juga unsur-unsur yang tercantum dalam suatu perjanjian adapun unsur-unsur tersebut yaitu: a. Unsur esensialia b. Unsur naturalia c. Unsur aksidentalia Mengenai unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak akan ada perjanjian. Sebagai contoh yaitu dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga yang disepakati, karena tanpa adanya kesepakatan barang dan harga dalam perjanjian jual beli, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan. Mengenai unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undangundang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian, undangundang yang mengaturnya, sehingga dapat diketahui bahwa unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian. Sebagai contohnya yaitu, jika daam suatu perjanjian tidak diatur secara tegas mengenai cacat yang tersembunyi, maka secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata yang harus menanggung cacat tersembunyi tersebut. Unsur terakhir yaitu unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak apabila para pihak memperjanjikan. Sebagai contohnya yaitu
65 dalam perjanjian jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu perjanjian yang bukan merupakan unsur esensialia dalam perjanjian. 2.1.3 Penyebab Hapusnya Suatu Perjanjian Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan-perikatan hapus : a. Karena Pembayaran Pembayaran merupakan bentuk pelunasan dan suatu perjanjian, atau perjanjian berakhir dengan adanya pembayaran sejumlah uang, atau penyerahan benda. Dengan dilakukannya pembayaran, pada umumnva perikatan/ perjanjian menjadi hapus akan tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kreditur semula. Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran bagi si berpiutang. b. Karena Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Oleh Penyimpanan Atau Penitipan Barang Ini merupakan salah satu cara jika si berpiutang tidak ingin dibayar secara tunai terhadap piutang yang dimilikinya. Dengan sistem ini barang yang hendak
66 dibayarkan itu diantarkan kepada si berpiutang. Selanjutnya penawaran tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Maksudnya adalah agar si berpiutang dianggap telah dibayar secara sah atau si berutang telah membayar secara sah. Supaya pembayaran itu sah maka diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya; 2) Dilakukan oleh debitur yang berwenang membayar; 3) Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan; 4) Waktu yang ditetapkan telah tiba; 5) Syarat yang mana hutang dibuat telah dipenuhi; 6) Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui; 7) Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau juru sita,disertai oleh 2 orang saksi.85 c. Karena pembaharuan Utang Pembaharuan hutang, adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan
sebagai
pengganti
perikatan
semula,
maksudnya
bahwa
pembaharuan hutang ini terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur lama dengan kreditur baru. Pembaharuan utang ada tiga macam yaitu : 85
Surajiman, 2001, Perjanjian Bernama, Pusbakum, Jakarta, h. 22
67 1) Pembaharuan hutang yang obyektif, yaitu mengganti atau merubah isi dari pada perikatan. Penggantian perikatan ini terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. 2) Pembaharuan hutang yang subyektif pasif, yaitu mengubah sebab dari pada perikatan. Misalnya ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum. 3) Pembaharuan hutang yang subyektif aktif, yaitu selalu merupakan persetujuan segitiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan kreditur baru. d. Karena Perjumpaan Utang Perjumpaan utang ada, apabila utang piutang debitur dan kreditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini utang piutang lama berakhir. Adapun syarat suatu utang supaya dapat diperjumpakan yaitu : 1) Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis kualitas yang sama; 2) Hutang itu harus sudah dapat ditagih; 3) Hutang iu ditaksir dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya. Menurut ketentuan Pasal 1425 KUHPerdata diterangkan, "Jika kedua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut, dihapuskan”.
68 e. Karena Percampuran Utang Menurut Pasal 1436 KUHPerdata percampuran hutang terjadi apabila kedudukan seorang yang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) itu menjadi satu, maka menurut hukum terjadilah percampuran hutang. Dengan adanya percampuran itu, maka segala hutang piutang tersebut dihapuskan. Misalnva si debitur kawin dengan krediturnva dalam suatu persatuan harta kawin, maka dapat terjadi percampuran di antara mereka. f. Karena Pembebasan Hutang Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana si kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari si debitur. Pembebasan hutang ini dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, dengan pembebasan ini perjanjian menjadi berakhir. Pasal 1439 KUHPerdata menyatakan bahwa “jika si berpiutang dengan sukarela membebaskan segala hutang-hutangnya si berhutang. Dengan adanya suatu pembebasan maka hal ini tidak dapat dipindah alihkan kepada hak milik”. g. Karena Musnahnya Barang Yang Terhutang Bila obyek yang diperjanjikan adalah merupakan barang tertentu dan barang tersebut musnah, maka tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sama sekali, maka apa yang telah diperjanjikan adalah hapus/ berakhir.
69 h. Karena Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan disini semuanya adalah batal demi hukum karena kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim; 2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.86 Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan diatas undangundang mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana penjelasan ini tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada "Penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan. i. Karena Berlakunya Suatu Syarat Batal Syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu, kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Dengan
86
Subekti I, Op.cit, h. 75-76
70 demikian apabila peristiwa itu benar-benar terjadi, maka si berhutang wajib mengembalikan apa yang diterimanya. j. Karena Lewat Waktu atau Kadaluwarsa Lewat waktu atau kadaluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata diartikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai lewatnya waktu untuk dapat dikatakan kadaluwarsa, juga dapat dilihat pada Pasal 1967 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena kadaluarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun”. 2.2 Konsep Mengenai Perjanjian Jual Beli (PJB) 2.2.1 Perjanjian Jual beli dalam KUHPerdata dan Pendapat Para Sarjana Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Perjanjian jual beli pada umumnya dikatakan merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak. Dalam suatu proses jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dikatakan sebagai hukum kebendaan karena dalam hal jual beli melahirkan hak pada masing-masing pihak atas tagihan (penjual dan
71 pembeli), yang berupa penjual menerima penyerahan pembayaran harga jual dari pihak pembeli sedangkan pembeli menerima penyerahan hak atas kebendaan. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli melahirkan kewajiban kepada masingmasing pihak. Dimana penjual wajib menyerahkan hak atas kebendaan yang dijual kepada pembeli sedangkan pembeli wajib membayar harga atas barang yang dibeli tersebut.87 Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa : “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi :“Jual beli dianggap telah terjadi kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayàr”. Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem KUHPerdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya 87
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.cit, h. 7
72 hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.88 Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu : 1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. 2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum. 3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.89 Untuk mengetahui pengertian dari Perjanjian Jual beli dapat dilihat dengan memisahkan antara pengertian perjanjian dengan perjanjian jual beli. Mengenai perjanjian seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk 88 89
R.Subekti I, Op.cit, h. 80 Boedi I, Op.cit, h. 317
73 menimbulkan akibat hukum. Pengertian perjanjian jual beli menurut pendapat R. Subekti adalah “perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, dan belum terjadinya pelunasan harga.”90 Pendapat lain dikemukakan oleh Herlien Budiono yang menyatakan bahwa “perjanjian jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya”.91 Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli adalah sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Adapun yang menjadi fungsi dari perjanjian jual beli dalam kedudukannya sebagai perjanjian pendahuluan yaitu untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama atau perjanjian pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono yang menyatakan bahwa perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.”92
90
R.Subekti I, Op.cit, h. 75 Herlien Budiono, 2004, Pengikat Jual Beli dan Kuasa Mutlak, Majalah Renvoi, edisi tahun I, No. 10, Bulan Maret, h. 57 92 Ibid, h. 56-57 91
74 2.2.2 Hal-Hal Yang Perlu Dicantumkan Dalam Perjanjian Jual beli Dalam suatu perjanjian jual beli yang merupakan suatu perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/ utama biasanya mencantumkan janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utama. Sebagai contoh yaitu dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah, dalam perjanjian jual belinya biasanya berisi mengenai janji-janji baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli hak atas tanah tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan PPAT seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan PPAT. Selain mencantumkan mengenai janji-janji biasanya dalam suatu perjanjian jual beli juga mencantumkan mengenai hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT, baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak milik atas tanah di PPAT telah terpenuhi. Dalam suatu perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak dimana seharusnya barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan, penyerahan harus dilakukan ditempat dimana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan.
75 Adapun cara-cara penyerahan benda yang diperjual belikan tersebut berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjual belikan, yaitu sebagai berikut: a. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu, misalnya penyerahan kunci gudang sebagai simbol penyerahan barang yang ada dalam gedung tersebut. b. Barang tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya ada dengan melalui akta dibawah tangan atau akta otentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut diberitahukan kepada si berutang, atau disetujui secara tertulis oleh si berutang. c. Benda tidak bergerak atas tanah cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama. 2.2.3 Bentuk Perjanjian Jual beli Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tidak begitu banyak menimbulkan permasalahan, apalagi barang yang dijadikan objek jual beli tersebut merupakan barang nyata, terdiri dari satu macam barang, barang tersebut dapat dinikmati secara langsung dan pembayarannya dilakukan secara tunai menggunakan uang.
76 Sebagaimana disebutkan diatas menurut pendapat Herlien Budiono yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, maka sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini tentunya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian di Indonesia. Dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan, yaitu subyek dan obyek. Menurut hemat penulis subyek disini adalah menyangkut pihak penjual dan pembeli. Pihak penjual dan pembeli harus memiliki itikad baik untuk melakukan jual beli hak atas tanah yang akan dijual tersebut, artinya apakah pihak penjual berhak untuk menjual tanah tersebut dan apakah pihak pembeli berhak untuk membeli hak atas tanah tersebut. Jika penjual dan pembeli berhak untuk melakukan perjanjian jual beli tersebut, dan diantara mereka sudah terjadi kesepakatan mengenai tanah yang akan dijual beserta harga dari tanah tersebut, para pihak juga tidak menggunakan kuasa, maka para pihak datang menghadap Notaris menyampaikan maksud mereka untuk mengadakan perjanjian jual beli dengan dilengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan yang berlaku, yaitu menyangkut identitas yang jelas dari masing-masing pihak. Selain identitas juga diperlukan berkas-berkas atau surat-surat seperti bukti-bukti kepemilikan atas tanah tersebut, identitas tanah, identitas dan keweangan penjual dan pembeli, serta dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
77 Setelah semua syarat yang diperlukan diatas dilengkapi, kemudian Notaris membuatkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah sebagai perjanjian pendahuluan dalam jual beli hak milik atas tanah tersebut dalam rangkap dua, dan kedua rangkap itu ditandatangani oleh pihak penjual, pembeli, saksi-saksi dan Notaris. Kesepakatan atas besaran harga tanah yang disetujui oleh para pihak menentukan besarnya pajak penjualan yang harus dibayarkan. Kemudian diadakan pendaftaran jual beli itu sendiri yang meliputi pencoretan nama pemegang hak lama (penjual) dan pencantuman nama pemegang hak baru (pembeli) dalam buku tanah, dan di sertipikat hak milik atas tanah yang dijual, dengan mencatat dalam kedua dokumen itu dengan menuliskan tanggal dan nomor serta nama PPAT yang membuatnya. Setelah akta jual beli dan sertifikat hak milik atas tanah didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dilakukannya proses peralihan hak milik dan selanjutnya dapat dilakukan penyerahan sertipikat kepada pihak pembeli.
78 BAB III PENYEBAB PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH
Dalam bab III ini akan diuraikan mengenai penyebab terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli Hak Milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu bagaimana proses terjadinya peralihan Hak Milik atas tanah dengan dibuatnya perjanjian jual beli hak milik atas tanah kemudian akan membahas pula unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: 3.1 Proses Peralihan Hak Milik Atas Tanah Dengan Dibuatnya Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah Perkembangan masyarakat yang dinamis memunculkan berbagai kebutuhan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan atas tanah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di wilayah pemukiman, pusat bisnis, pemerintahan dan industri, menjadikan tanah sebagai komoditas yang sangat berharga dan memiliki nilai investasi tinggi. Hal ini berdampak makin tingginya kebutuhan masyarakat akan tersedianya lahan atau tanah, sehingga transaksi tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang sering dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kendala yang dihadapi adalah pertumbuhan penduduk terus meningkat, sedangkan ketersediaan tanah yang sangat terbatas. Karena terbatasnya tanah yang tersedia dan kebutuhan akan tanah semakin bertambah, dengan sendirinya akan
79 menimbulkan benturan-benturan kepentingan akan tanah, yang berakibat akan menimbulkan permasalahan atas tanah, karenanya oleh pemerintah kebikan mengenai tanah ini diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penjajahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet, Agrarissvhe Besluit dan sebagainya mengenai tanah untuk kepentingan penjajah antara lain perkebunanperkebunan yang berada di Wilayah Indonesia di berikan kepada perusahaanperusahaan Belanda. Demikian juga perlindungan terhadap hak-hak atas tanah diberikan kepada kaum penjajah seperti hak eigendom adalah hak milik yang mutlak pada umumnya diberikan kepada kaum penjajah serta diberikan kepastian hukumnya dengan mendaftar hak-hak terebut dalam suatu daftar, kemudian diberikan tanda bukti atas tanah tersebut. Sedangkan kepada penduduk pribumi/ rakyat Indonesia yang tunduk kepada hukum adat tidak diberikan bukti hak atas tanah dan kalaupun ada hanya berupa bukti pembayaran pajak saja, seperti girik, pipil, kekitir dan lain sebagainya. Tidak semua kalangan masyarakat tahu apa saja bukti kepemilikan, lebih-lebih mendapatkan hak atas tanah dan bangunan yang sah menurut hukum. Kepemilikan tanah yang sah harus sudah terdaftar di BPN, sehingga setelah mengantongi bukti yang sah baru kita bisa mendapatkan nomor setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Setelah Indonesia merdeka, keadaan semacam itu dirasakan tidak adil dan tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, sehingga setelah melewati waktu yang lama untuk mempersiapkannya, baru pada tahun 1960 Indonesia berhasil membentuk
80 peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dalam bentuk undang – undang yang disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang dikenal dengan UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Mengenai hak atas tanah di Indonesia, adapun tata cara permohonan peralihan hak atas tanah adalah sebagai berikut: 1. Hak Milik Adapun tata cara permohonan hak milik menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, permohonan hak milik tersebut oleh pemohonan diajukan secara tertulis Kepada Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional) melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota tempat letak tanah yang bersangkutan. Permohonan hak milik tersebut memuat: Keterangan mengenai pemohon: a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan serta keterangan mengenai istri/ suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya. b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan Nomor Surat Keputusan Perusahaan oleh pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
81 Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik a) Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa girik, surat kavling, surat-surat bukti atas tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya. b) Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasi). c) Jenis tanah (pertanian/non pertanian). d) Rencana penggunaan tanah. e) Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara). Keterangan lain-lain a). Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yag dimohon; b. Keterangan lain yang dianggap perlu. 2. Hak Guna Usaha Adapun prosedur yang dapat dilakukan untuk permohonan Hak Guna Usaha adalah sebagai berikut : 1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis kepada Menteri (sekarang Kepala Badan Pertanahan nasional) melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertahanan Nasional setempat dengan tembusanya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten /Kota daerah letak tanahnya (Pasal 18 jo. Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun 1999).
82 2) Permohonan tersebut memuat mengenai identitas pemohon, keterangan mengenai data fisik dan yuridis dari tanahnya, serta keterangan lain yang dianggap perlu. 3) Permohonan dimaksud juga harus dilampiri dengan (Pasal 19 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 tahun 1999) a) Foto copy identitas pemohon atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum ; b) Rencana perusahaan tanah jangka waktu pendek atau jangka waktu panjang; c) Ijin lokasi atau surat persetujuan pengguna tanah atau surat ijin pencadangan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah ; d) Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang , akta pelepasan bekas tanah milik adat atau wenang surat surat bukti perolehan tanah lainya. e) Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi penanaman modal asing tertentu.
83 3.
Hak Guna Bangunan Dalam tata cara permohonan Hak Guna Bangunan sesuai dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No . 3 tahun 1993 adalah sebagai berikut: a) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 M2 dan semuanya pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelola , kewenangan untuk memberikan keputusan ada pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota. b) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luas lebih dari 2.000 M2 tapi tidak lebih dari 150.000 M2 kewenangan memberi keputusan ada pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. c) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya lebih dari 150.000 M2, kewenangan memberi keputusan ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pemberian hak atas tanah merupakan penetapan pemerintah yang memberikan sesuatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak, pembaruan hak, perubahan hak, juga pemberian hak di atas tanah hak pengelola. Permohonan untuk memperoleh hak guna bangunan diajukan oleh pemohon kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, secara tertulis dengan
84 menggunakan formulir permohonan dengan melampirkan keterangan- keterangan mengenai : A. keterangan mengenai pemohon : 1) perorangan Nama, umur , kewarganegaraan, tempat tinggal , pekerjaan ,serta keterangan mengenai istri / suami serta anak yang masih menjadi tanggungan ; 2) badan hukum Nama badan hukum, tenpat kedudukan akta atau akta pendirian badan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. B. keterangan mengenai tanahnya : 1) status tanah (tanah hak atau tanah Negara) 2) letak, batas dan luasnya (surat ukur / gambar situasi) 3) jenis tanah (tanah pertanian / non pertanian) 4) Rencana penggunaan tanah 5) daftar pengusaha atau alas haknya (dapat berupa sertifikat, girik, surat kavling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah / tanah yang telah dibeli dari pemerintah ,putusan pengadilan ,akta PPAT,akta pelepasan hak dan lainlain) C. lain-lain 1) keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan setatus tanah yang sudah di miliki pemohon. 2) keterangan lain yang dianggap perlu.
85 Dalam hal keputusan pemberian hak guna bangunan tidak dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan, maka kepala kantur pertanahan yang bersangkutan menyampaikan
kepada
kepala
kantor
wilayah
propinsi
disertai
dengan
pertimbangannya Pasal 37 ayat (6) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala BPN No. 9 tahun 1999. Kepala Kantor Wilayah, mencatat dan meneliti berkas permohonan dan menerbitkan kuputusan pemberian hak atau keputusan penolakan apabila hal itu merupakan kewenanganya. Dalam hal kewenangan ,menerbitkan keputusan pemberian hak ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk mencatat dan meneliti data kelengkapan data yuridis dan data fisik. Apabila berkas permohonan sudah lengkap, maka dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional serta yang berlaku, Kepala Badan Pertahanan Nasional menerbitkan keputusan pemberian hak guna bangunan atau keputusan penolakan. Peralihan hak atas tanah sering menimbulkan sengketa dikemudian hari, hal ini akan menimbulkan konflik antar pihak yang besengketa. Walaupun di Indonesia memberikan ruang untuk setiap orang mencari keadilan melalui pengadilan, namun sistem peradilan di Indonesia dianggap masih rumit. Hal inilah mengapa banyak masyarakat enggan untuk melakukan proses hukum ke Pengadilan untuk mencari keadilan dan untuk mempertahankan haknya.
86 Pengertian lain tentang peralihan hak atas tanah, adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilk semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).93 Perbuatan hukum dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Menurut CST Kansil, bahwa “Segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya membuat surat wasiat, membuat persetujuan-persetujuan dinamakan perbuatan hukum”. Perbuatan hukum itu terdiri dari: a. Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, misalnya pembuatan surat wasiat, dan pemberian hadiah sesuatu (benda). b. Perbuatan hukum dua pihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.94
93
Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Universitas Trisaksi, Jakarta, h. 56 94 CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 119
87 Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan kami terangkan sebagai berikut: a. Pewarisan tanpa wasiat menurut hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal, maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. b. Pemindahan hak Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa : a) Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak kepada adiknya dan lain sebagainya. b) Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain. c) Jual beli tanah tersebut dijual kepada pihak lain. Acara jual beli banyak tergantung dari status subyek yang ingin menguasai tanah dan status tanah yang tersedia misalnya apabila yang memerlukan tanah suatu Badan Hukum Indonesia sedangkan tanah yang tersedia berstatus Hak Milik maka dengan cara Jual beli tidak bisa di laksanakan karena akan mengakibatkan jual belinya , karena Badan Hukum Indonesia tidak dapat menguasai tanah Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek cara peralihan hak dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh.
88 d) Tukar menukar antar bidang tanah yang satu dengan bidang tanah yang lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur uang dengan suatu pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/ harga tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama. e) Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar atas nama beberapa nama sehingga untuk lebih memperoleh kepastian hukum para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah yang mereka miliki bersama-sama. f)
Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan tersebut.
g) Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai contoh tanah yang akan dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan status hak milik, ini tidak bisa dilakukan karena Badan Hukum Indonesia bukanlah Subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah dengan status hak milik.
89 h) Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan dialihkan tersebut susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut merupakan jaminan pada bank yang sudah di eksekusi lalu mau dijual. i)
Peralihan karena penggabungan
atau peleburan perseroan
yang
menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset perseroan yang diambil alih tersebut. Jual Beli, tukar menukar, hibah dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelakasanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan demikian perbuatan hukum yang bersangkutan dihadapan PPAT dipenuhi. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas
daya
pembuktiannya
pemindahan
haknya
didaftarkan
pada
kantor
pertanahan setempat letak tanah tersebut berada, dengan tujuan : 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah tertentu dan Satuan Rumah Susun yang terdaftar. 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli tanah harus dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang. Hal ini sesuai dengan ketentuan
90 yang tercantum dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam prakteknya, terdapat juga sebelum pembuatan akta jual beli tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwenang terlebih dahulu oleh para pihak dibuat suatu perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Jual beli. Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah dibuat sebagai perjanjian pendahuluan dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah yang dibuat dalam bentuk akta Notaris sebagai suatu kebutuhan hukum dari masyarakat yang dalam kesehariannya telah banyak dipraktekan di kantor Notaris. Menurut hemat penulis berdasarkan penelusuran dari beberapa literatur maka dapat diketahui beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat PJB antara lain: 1. Uraian obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah dan bangunan (jika perlu disertai peta bidang tanah dan arsitektur bangunan), sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan yang melekat pada obyek tanah dan bangunan tersebut.
91 2. Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya. Pembayaran harga tanah dapat juga ditentukan secara bertahap yang pelunasannya dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli. 3. Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata pembangunan rumahnya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan developer, maka calon pembeli berhak membatalkannya dan menerima kembali uang muka. Atau jika pembangunan itu telah selesai sesuai waktunya tapi calon pembeli membatalkannya secara sepihak, maka calon pembeli akan kehilangan uang mukanya. 4. Penegasan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah dan biaya Notaris /PPAT. 5. Jika perlu dapat dimasukan klausul pernyataan dan jaminan dari calon penjual, yaitu bahwa tanah dan bangunan tidak sedang berada dalam jaminan hutang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Jika ternyata pernyataan dan jaminan calon penjual itu tidak benar, maka calon penjual akan membebaskan calon pembeli dari tuntutan pihak lain manapun. Adapun faktor yang menjadi alasan dibuatnya Perjanjian pendahuluan terhadap Jual beli hak milik atas tanah oleh dan dihadapan Notaris yaitu: 1. Obyek tanah yang diperjual belikan belum memiliki sertipikat yang merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam prakteknya tanah yang dijual tersebut masih berstatuskan tanah yasan yang diwarisi
92 secara turun temurun dan belum pernah didaftarakan menurut ketentuan yang berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti atas tanah tersebut masih berupa girik yang tercatat dalam buku C tanah di kelurahan; 2. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat tanah masih berlangsung di kantor pertanahan; 3. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjualbelikan belum dilakukan secara lunas oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran dilakukan secara bertahap berdasarkan kesepakatan pihak penjual dan pembeli; 4. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak Penghasilan atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat dalam suatu akta PPAT; 5. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka waktunya dan sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di kantor pertanahan; 6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang diperlukan untuk pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen mana ternyata masih dalam proses pengurusan. Dari beberapa sebab tersebut diatas, maka dibuatnya perjanjian jual beli berdasar pada 3 (tiga) alasan yaitu: 1. Pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual telah lunas, tetapi syarat-syarat formal belum lengkap, misalnya sertifikat masih dalam proses penerbitan atas nama pihak penjual.
93 2. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran, tetapi syaratsyarat formal sudah lengkap. 3. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran karena syarat formal belum terpenuhi. Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu pegangan atau pedoman. Hal inilah yang membedakan penjualan yang dilakukan dengan membuat suatu akta notariil Perjanjian Jual beli dengan suatu sistem penjualan menurut hukum tanah Nasional. Dimana jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat mengandung asas tunai, terang dan riil atau nyata, sedangkan jual beli yang dimaksudkan dalam perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja. 3.2
Unsur-Unsur Yang Melatarbelakangi Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah Perjanjian jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual beli (AJB) dapat
94 di tandatangani. Para pihak yang akan melakukan jual beli hak milik atas tanah harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan sebagainya. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertifikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertifikat, dan dilain sisi, misalnya pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua biaya hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati. Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah sebagai perjanjian pendahuluan dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah dalam prakteknya sering dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris yang mengakibatkan Perjanjian Jual beli menjadi akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna sehingga para pihak yang terikat didalamnya mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Peranan seorang Notaris dalam membuat suatu akta harus bersikap netral, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif, dengan bantuan Notaris para pihak yang membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.
95 Notaris dalam pembuatan Perjanjian Jual beli (PJB) hak milik atas tanah dapat memberikan pemahaman hukum yang benar tentang kedudukan masing-masing pihak baik pihak penjual maupun pembeli sehingga dapat membantu menyelesaikan dalam memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual beli sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Posisi Perjanjian Jual beli (PJB) yang merupakan sebuah perjanjian pendahuluan dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah diharapkan dapat memberikan bantuan terhadap pemahaman hukum yang benar kepada pihak penjual maupun pihak pembeli terkait peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang peralihan hak milik atas tanah, sedangkan yang dapat diketahui bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan menyangkut tanah harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dalam pembuatan Perjanjian Jual beli, Notaris harus memperhatikan beberapa hal yang merupakan kewenangannya, yaitu: 1) Kedudukan atau status penjual adalah merupakan pihak yang berhak menjual tanah. Bila di dalam sertipikat terdapat lebih dari satu nama penjual (tanah tersebut dimiliki secara bersama-sama), maka tanah tersebut dilarang dijual oleh satu orang, yang berhak menjualnya adalah semua pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut. Kepemilikan bersama atas hak milik
96 biasanya bisa terjadi karena hibah, kewarisan atau membeli secara patungan atau bersama-sama. 2) Penjual adalah pihak yang berwenang untuk menjual tanah yang bersangkutan. Untuk dapat bertindak sebagai penjual, maka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu sebagai berikut: a. Sebidang tanah dalam sertipikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut merupakan harta bersama dengan suaminya, maka si istri tidak berwenang menjual sendiri tanah tersebut, namun harus menjual bersama-sama dengan suaminya atau suaminya memberikan persetujuan tertulis kepada istrinya untuk melakukan perjanjian jual beli. Demikian juga sebaliknya, bila suatu tanah tercatat atas nama suami, istri juga harus memberi persetujuan tertulis dari suami untuk menjual. b. Apabila tanah tersebut tercatat atas nama seseorang yang tunduk pada KUHPerdata dan sedang berada di bawah pengampuan, maka yang berwenang menjual tanah tersebut adalah pengampu dari orang yang bersangkutan dan harus ada penetapan dari Pengadilan Negeri setempat. c. Anak yang berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun nama anak tersebut tercatat pada sertipikat. Jual beli dapat terlaksana jika ayah dari anak tersebut bertindak sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua. 3) Pembeli adalah pihak yang diperkenankan untuk membeli tanah dari penjual. Untuk dapat membeli tanah dengan status hak milik, maka tidak semua pembeli
97 dapat melakukannya. Perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer serta Warga Negara Asing tidak dapat memiliki Hak Milik. Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam suatu keadaan tertentu dapat ditemukan terjadinya berbagai hal, yang mengakibatkan perjanjian tersebut mengalami pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun atas perintah pengadilan. Sebagai suatu bentuk perikatan, perjanjian jual beli hak milik atas tanah mengandung hak dan kewajiban dari para pihak yang membuatnya, sehingga apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli dilanggar atau bahkan tidak dipenuhi oleh para pihak yang terikat di dalamnya maka dapat disebut telah terjadi wanprestasi. Perjanjian jual beli dimungkinkan untuk dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan perjanjian jual beli tersebut dapat pula dimohonkan pembatalannya berdasarkan putusan Pengadilan Negeri setempat melalui gugatan perdata. Tentunya dengan dibatalkannya suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah yang telah dibuat secara otentik dihadapan Notaris akan membawa konsekuensi yuridis tertentu. Salah satu syarat yang penting di dalam perjanjian timbal balik adalah ingkar janji. Seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa ; “ingkar janji adalah syarat batal.” Syarat batal dianggap selalu ada dalam perjanjian timbal-balik. Jika syarat batal itu terjadi, perjanjian tidak batal dari segi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus
98 dilakukan walaupun ingkar janji sebagai syarat batal dicantumkan di dalam perjanjian. Perjanjian jual beli juga terkait perjanjian dengan ketetapan waktu. Karena perjanjian dengan ketetapan waktu adalah suatu perjanjian yang tidak menangguhkan perjanjian, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ketetapan waktu yang dapat menangguhkan atau mengakhiri perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim; 2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu. Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan di atas Undang-Undang mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana penjelasan ini tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada "Penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
99 Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena: 1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki. 2. Pihak pertama selaku penjual melihat adanya kemungkinan pihak kedua selaku pembeli mengalami kebangkrutan atau secara finansial tidak dapat memenuhi kewajibannya. 3. Terkait resolusi atau perintah Pengadilan. 4. Terlibat hukum. 5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian. Pembatalan Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Pembatalan mutlak; dan 2. Pembatalan relatif. Pembatalan mutlak, adalah suatu pembatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas. Pembatalan mutlak terjadi karena: (1) Cacat bentuknya; (2) Perjanjian itu dilarang undang-undang; (3) Bertentangan dengan kesusilaan, dan (4) Bertentangan dengan ketertiban umum.
100 Contoh pembatalan mutlak: 1. Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu tidak dipenuhi. 2. Perjanjian Kawin yang dibuat di bawah tangan oleh para pihak, namun seharusnya Perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris (Pasal 147 KUHPerdata). Pembatalan relatif adalah suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan biasanya diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya: wakil dari orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan kekerasan atau penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Hal ini dapat diartikan bahwa perjanjian jual beli merupakan permulaan atau perjanjian obligatoir atau pelengkap. Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian pokoknya ada, hal ini tidak sebagaimana perjanjian obligatoir lazimnya seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah didahului dengan perjanjian utang piutang terlebih dahulu. Oleh karena perjanjian jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli yang sebenarnya belum terpenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah terpenuhi dapat bertemu kembali (untuk kewajiban jual beli dihadapan pejabat umum
101 yang berwenangan untuk melaksanakan jual beli). Dalam Perjanjian Jual beli hak milik atas tanah dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal yang belum dapat dipenuhi pada saat perjanjian jual beli tersebut dilakukan, biasanya menyangkut harga yang belum lunas atau surat-surat tanah yang belum ada. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1253 KUHPerdata dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli hak milik atas tanah dapat digolongkan ke dalam perjanjian bersyarat. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata menentukan: Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat. Suatu syarat harus tegas dicantumkan dalam perikatan. Undang-undang menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu perikatan, yaitu: 1. Bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan; 2. Bertentangan dengan kesusilaan; 3. Dilarang Undang-undang; 4. Pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang terikat.
102 Agar suatu perjanjian jual beli dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak, maka adapun hal-hal yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian jual beli sebagai perjanjian pendahuluan yaitu: 1.
Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya untuk menjual kepada pihak pembeli yang berjanji dan mengikat dirinya untuk membeli dari pihak penjual sebidang tanah tertentu;
2.
Pihak penjual mengakui bahwa uang harga penjualan tanah yang akan dijual oleh pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut senilai yang telah disepakati dan telah dibayar oleh pembeli kepada pihak penjual pada saat penandatanganan perjanjian dan perjanjian jual beli berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau kwitansinya yang sah, tanpa mengurangi dikeluarkannya kwitansi tersendiri/ khusus.
3.
Manakala pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kelalaian mana telah terjadi dan terbukti dengan lewatnya waktu saja, maka pihak pembeli dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual, untuk tiaptiap hari keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus.
4.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut setelah lewatnya waktu tersebut di atas, Pihak Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka Perjanjian jual beli dianggap berakhir dan sepanjang perlu kedua belah pihak melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267
103 KUHPerdata, dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Pihak Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada Pihak Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, misalnya 7 (tujuh) hari setelah tanah dan bangunan tersebut terjual kepada pihak lain. 5.
Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut menjadi milik pihak pembeli, dan segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala kerugian yang diderita dengannya mulai hari tersebut menjadi milik atau dipikul oleh pihak pembeli.
6.
Pihak Penjual menjamin bahwa tanah dan bangunan tersebut milik Pihak Penjual, tidak dijaminkan secara bagaimanapun juga kepada pihak lain, tidak dibebani dengan beban-beban apapun juga dan pula bebas dari sita jaminan, sehingga pihak pembeli tidak akan mendapat gangguan dan atau rintangan dari pihak lain rnengenai hal itu.
7.
Selanjutnya perjanjian jual beli yang akan dilaksanakan tersebut dilakukan dengan syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang lazim untuk sesuatu jual beli hak milik atas tanah, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tersebut telah diketahui oleh pihak-pihak.
104 8.
Pihak penjual memberikan kuasa kepada pihak pembeli dan baik bersama-sama maupun masing-masing untuk dan atas nama pihak penjual melaksanakan penjualan tanah dan bangunan tersebut di atas kepada pihak pembeli dengan harga dan perjanjian-perjanjian sebagaimana tersebut di atas dan berhubung dengan itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, membuat menyuruh dan menandatangani akta jual beli yang bersangkutan dan surat-surat lainnya yang diperlukan, menyerahkan segala sesuatu yang dijual tersebut kepada pihak kedua dan selanjutnya melakukan apa saja yang baik dan berguna untuk mencapai maksud tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan.
9.
Pihak Penjual selanjutnya dengan ini memberi kuasa kepada pihak pembeli untuk selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan atas nama Pihak Pembeli melakukan dan menjalankan segala hak, kepentingan dan kekuasaan pihak penjual mengenai tanah dan bangunan tersebut dan untuk keperluan itu melakukan segala tindakan hukum baik tindakan pengurusan maupun tindakan pemilikan.
10. Pihak Penjual berjanji dan mengikat dirinya selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan tidak akan menggadaikan ataupun menjaminkan secara bagaimanapun juga, menjual atau dengan cara lain melepaskan tanah dan bangunan tersebut kepada pihak lain. 11. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam akta ini tidak dapat ditarik kembali dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang tanpa
105 kuasa-kuasa tersebut tidak akan dibuat dan kuasa-kuasa itu pun diberikan dengan melepaskan semua peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang mengatur segala sebab dan dasar yang mengakhirkan suatu kuasa. Kuasa-kuasa tersebut di atas baru sepenuhnya berlaku apabila Pihak Pembeli telah memenuhi seluruh kewajibannya kepada Pihak Penjual. 12. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tidak akan berakhir karena salah satu pihak meninggal dunia, akan tetapi bersifat turun temurun, dan harus dipenuhi oleh ahli waris atau penerima hak masing-masing. 13. Segala pajak yang berhubungan dengan tanah dan bangunan tersebut sampai hari penjualan dipikul oleh pihak penjual dan mulai hari tersebut dipikul oleh pihak pembeli. 14. Ongkos-ongkos yang berhubungan dengan pemindahan nama tanah dan bangunan tersebut kepada pihak pembeli dipikul oleh pihak pembeli. 15. Klausula Domisili, yaitu pihak-pihak memilih tempat tinggal tetap dan umum mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Jika benda yang dijual itu berupa suatu barang tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang ini sejak saat pembelian itu terjadi merupakan tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat (berhak untuk) menuntut
106 harganya.” Dalam suatu proses jual beli tentunya baik penjual maupun pembeli samasama mempunyai hak dan kewajiban. Adapun yang menjadi kewajiban (utama) dari pihak penjual terhadap pembeli, yaitu : -
menyerahkan barang/benda yang bersangkutan;
-
menanggung/menjamin (vrijwaren)penguasaan benda yang dijual itu secara aman dan tenteram (rustig en vreedzaam);
-
cacad-cacad yang tersembunyi (verborgen gebreken) dari benda yang bersangkutan atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan pembatalan jual beli itu. Pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga dari apa yang
dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/ perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan benda itu. Jika pembeli tidak membayar harga benda yang dibelinya itu, maka penjual dapat menuntut dibatalkannya jual beli yang bersangkutan. Suatu perjanjian tidak senantiasa berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya, terdapatnya kondisi-kondisi tertentu yang berakibat suatu perjanjian harus berakhir tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Adapun unsur-unsur yang berpotensi mengakibatkan terjadinya pembatalan perjanjian jual beli tersebut, yaitu: 1. Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
107 2. Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak milik atas tanah (jual beli hak milik atas tanah dihadapan PPAT) belum selesai sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan; 3. Subyek hukum yang bertindak selaku penjual ternyata dikemudian hari bukanlah subyek hukum yang berhak melakukan peralihan; 4. Obyek jual beli ternyata di kemudian hari dalam keadaan sengketa; 5. Para pihak tidak melunasi kewajibannya dalam membayar pajak; 6. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut dibatalkan oleh para pihak. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan perjanjian jual beli lalu kemudian terjadi hal-hal seperti tersebut diatas dapat berakibat pada pembatalan dari perjanjian jual beli tersebut apabila diantara para pihak tidak menemui kata sepakat untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah, maka para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian jual beli tersebut kepada Pengadilan. Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri (PN) yang menyatakan jual beli dibatalkan, maka perjanjian jual beli dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki akibat hukum sejak dari awalnya. Apabila putusan PN tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka terhadap putusan tersebut baru dapat dilakukan eksekusi. Dengan demikian, semua kewajiban seperti pembayaran haruslah dikembalikan seutuhnya untuk mengembalikan ke keadaan semula seperti tidak pernah ada jual beli. Untuk itu, uang pembeli sudah seharusnya dikembalikan sejumlah yang pembeli bayarkan.
108 Apabila uang yang menjadi hak Pembeli tidak dikembalikan, sedangkan telah ada putusan dari PN bahwa jual beli itu telah dibatalkan, maka segala bentuk kewajiban
(pembayaran)
yang
telah
terjadi
juga
dibatalkan
dan
harus
dikembalikan.Setelah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, langkah yang dapat Pembeli lakukan adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi ke PN yang memutus perkara tersebut. Mengenai eksekusi putusan perkara perdata ini diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menyebutkan bahwa: Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari. Apabila terhadap putusan tersebut belum juga dilakukan eksekusi, maka Pembeli dapat melaporkan penjual polisi berdasarkan Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Pejabat yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu dalam Pasal 92 KUHP yang salah satunya adalah hakim. Dengan demikian, dikarenakan putusan
109 tersebut adalah putusan hakim, apabila ada pihak-pihak yang tidak menuruti dan melaksanakan putusan tersebut maka dapat dipidana dengan berdasarkan Pasal 216 ayat (1) KUHP. Jadi, Pembeli dapat mengajukan tuntutan pidana terhadap penjual apabila penjual tetap tidak menjalankan putusan tersebut setelah mengajukan permohonan eksekusi ke PN yang memutus perkara tersebut.
110 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DENGAN DIBATALKANNYA PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH
Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai perlindungan hukum dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu akibat hukum dari pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, kemudian akan membahas pula perlindungan hukum yang dapat diberikan dalam pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: 4.1 Akibat Hukum Dari Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah Suatu perbuatan hukum untuk menyatakan batalnya, maka dikenal istilahistilah “batal demi hukum”, “membatalkannya” sesuai dengan Pasal 1449 KUHPerdata, “menuntut pembatalan” sesuai dengan Pasal 1450 KUHPerdata, “pernyataan batal” sesuai dengan Pasal 1451-1452 KUHPerdata, “gugur” sesuai dengan Pasal 1545 KUHPerdata, “gugur demi hukum” sesuai dengan Pasal 1553 KUHPerdata. Ajaran kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan menyatakan suatu perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Akibat kebatalan berlaku pula terhadap beding yang batal, keputusan yang batal atau wasiat yang batal. Pada perbuatan hukum dapat mengandung cacat yang
111 sifat cacat tersebut dapat berbeda-beda. Dengan adanya cacat yang berbeda menimbulkan sanksi yang berbeda pula. Perbedaan utama mengenai kebatalan adalah batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dalam suatu keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu dalam suatu perjanjian maka diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut. Perbuatan hukum yang mengandung cacat namun penentuan apakah perbuatan hukum tersebut menjadi sah atau batal tergantung pada keinginan orang tertentu menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Pengertian pembatalan ini mengandung dua macam kemungkinan alasan yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni : 1. Perjanjian harus bersifat timbal balik 2. Harus ada wanprestasi 3. Harus ada putusan hakim. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian mengenai pembatalan yaitu “suatu proses, cara, perbuatan membatalkan, atau suatu pernyataan batal”. Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bahwa ada suatu peristiwa dan ditandatangani. Pembatalan akta Notaris dalam hal ini perjanjian jual beli dengan Putusan Pengadilan Negeri dimulai dengan proses pemeriksaan perkara di Pengadilan yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Ketua Majelis Hakim
112 yang ditunjuk dalam menangani perkara gugatan perdata pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah akan menentukan hari dan jam perkara untuk diperiksa di depan persidangan. Semua perkara persidangan ialah termasuk kekuasaan atau wewenang hakim yang memutuskannya. Hakim serta pengadilan merupakan alat perlengkapan dalam suatu negara hukum yang ditugaskan menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan. Hak dan kewajiban hukum yang dilahirkan dari perbuatan hukum yang disebut dalam akta Notaris, hanya mengikat pihak-pihak dalam akta itu, dan apabila terjadi sengketa mengenai isi perjanjian, maka Notaris tidak terlibat dalam pelaksanaan kewajiban dan dalam menuntut hak, karena Notaris berada diluar perbuatan hukum pihak-pihak tersebut. Akta Notaris sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan bukti lengkap dan telah mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum perdata dapat mengalami degradasi kekuatan bukti dari kekuatan bukti lengkap menjadi permulaan pembuktian dan dapat memiliki cacat yuridis yang menyebabkan kebatalan atau ketidak absahannya. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan kewenangan untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dikehendaki oleh para pihak atau pihak-pihak yang sengaja datang menghadap kepada Notaris untuk mengkonstantir keterangan itu dalam suatu akta otentik dan agar akta yang dibuatnya memiliki kekuatan bukti yang sempurna.
113 Seorang Notaris memiliki kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan yang terkandung dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN)
dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Menjadi sangat penting untuk seorang Notaris mengetahui dan memahami syarat-syarat otentitas, keabsahan dan sebab-sebab kebatalan suatu akta Notaris, sangat penting untuk menghindari secara preventif adanya cacat yuridis dalam suatu akta yang dibuatnya yang dapat mengakibatkan hilangnya otentitas hingga batalnya akta Notaris tersebut. Suatu akta Notaris yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta dibawah tangan, apabila akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak dapat dituntut, sekalipun Notaris yang bersangkutan menjadi kehilangan nama baiknya. Berdasarkan uraian diatas menurut hemat penulis dapat diketahui bahwa suatu akta yang disebut sebagai akta otentik adalah alat bukti yang mengikat, dan alat bukti yang sempurna dalam arti bahwa hal-hal yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dapat dianggap benar oleh hakim sepanjang ketidakbenaran atas akta tersebut tidak dapat dibuktikan. Adapun pembatalan perjanjian jual beli membawa akibat hukum sebagai berikut: 1. Perjanjian berakhir dan sepanjang diperlukan kedua belah pihak melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata, dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan
114 bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Pihak Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada Pihak Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, misalnya 21 (dua puluh satu hari) hari setelah tanah dan bangunan tersebut terjual kepada pihak lain. 2. Para pihak dapat dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual atau pembeli, untuk tiap-tiap hari keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus. Tanggung jawab seseorang atas apa yang dibuatnya tentunya merupakan kewajiban masing-masing individu tersebut. Akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dalam hal ini Notaris tidak bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pihak yang kalah dalam perkara ini, dan Notaris tidak dapat dituntut atas kerugian biaya pembuatan akta yang telah dibuatnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, salah satu kasus pembatalan PJB yang dibahas dalam tesis ini yaitu dengan menganalisa Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. tertanggal 13 Agustus 2007 dengan Penggungat yaitu pihak pembeli dalam hal ini RIZALDY DECIDERUS WATRUTY, umur 39 Tahun, pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Kerta Rahayu No. 57 Suwung, Denpasar, Bali, yang selanjutnya disebut PENGGUGAT.
Melawan
penjual dalam hal ini yaitu : REINTA SORTARIA ARIA SITOMORANG, umur 56
115 Tahun, pekerjaan swasta, beralamat Banjar Seseh, Kelurahan Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. TENTANG DUDUKNYA PERKARA: Menimbang: 1. Bahwa pada bulan April 2005, Penggugat bertemu dengan Tergugat dan Tergugat menceritakan bahwa Tergugat mempunyai beberapa bidang tanah seluas 2,8 Hektar yang terletak di Kecamatan Mengwi, Desa Munggu, Kabupaten Badung dan Tergugat berniat untuk menjual tanah tersebut dengan harga Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) per 100 m2. 2. Bahwa setelah Penggugat melihat lokasi tanah tersebut mempunyai prospek yang bagus untuk membangun usaha villa, maka Penggugat berniat untuk membeli tanah tersebut dan setelah mengadakan pertemuan dengan Tergugat maka disepakati harga jual tanah tersebut sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah) per 100 m2 dengan pembayaran secara bertahap selama 4 kali dalam waktu 6 bulan dengan total pembayaran sebesar Rp. 23.406.000.000,- (dua puluh tiga milyar empat ratus enam juta rupiah). 3. Bahwa pada tanggal 2 Mei 2005, Penggugat dan Tergugat melakukan Perikatan Jual beli di Notaris Fransisca Theresa Nilawati, SH yang beralamat di Jalan Patimura No. 7 Denpasar terhadap tanah-tanah milik Tergugat yaitu: a. Tanah Hak Milik No. 985/Desa Buduk seluas 5100 m2. b. Tanah Hak Milik No. 430/Desa Buduk, seluas 1.900 m2. c. Tanah Hak MilikNo. 431/Desa Buduk, seluas 2.050 m2
116 d. Tanah Hak MilikNo. 464/Desa Buduk, seluas 5.600 m2 e. Tanah Hak MilikNo. 465/Desa Buduk, seluas 1.450 m2 f. Tanah Hak Milik No. 495/Desa Buduk, seluas 1350 m2 g. Tanah Hak Milik No. 496/Desa Buduk, seluas 2650 m2 h. Tanah Hak Milik No. 497/Desa Buduk, seluas 2.650 m2 i. Tanah Hak MilikNo. 498/Desa Buduk, seluas 4.600 m2 Dan pada tanggal seperti tersebut diatas juga telah dilakukan pembayaran uang muka sebesar Rp. 1.365.000.000,- (satu milyar tiga ratus enam puluh lima juta rupiah); 4. Bahwa setelah ikatan jual beli yang dilakukan di Notaris pada tanggal 2 Mei 2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap pertama pada tanggal 8 Juni 2005 sebesar Rp. 9.262.500.000,- (sembilan milyar dua ratus enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah); 5. Bahwa pada tanggal 30 Agustus 2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap kedua sebesar Rp. 4.631.250.000,- (empat milyar enam ratus tiga puluh satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian pada tanggal 19 Oktober 2005, Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 2. 431.250.000 (dua milyar empat ratus tiga puluh satu ribu dua ratus lima puluh ribu rupiah), kemudian pada tanggal 30 Oktober 2005, Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 2.200.000.000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah), selanjutnya pada tanggal 21 Desember 2005 kembali Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 1.852.500.000,- (satu milyar delapan ratus lima puluh dua juta lima ratus
117 ribu rupiah). Bahwa pada tanggal 2 Februari 2006, Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 3.051.476.025,- (tiga milyar lima puluh satu juta empatratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima rupiah). Dan terakhir Penggugat melakukan pembayaran pada tanggal 5 Mei 2006 sebesar Rp. 2.628.112.500,- (dua milyar enam ratus dua puluh delapan juta seratus dua belas ribu lima ratus rupiah). Sehingga total pembayaran yang telah dilakukan Penggugat adalah sebesar Rp. 27.422.088.525 (dua puluh tujuh milyar empat ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima rupiah). 6. Bahwa keterlambatan yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat seperti yang diatur dalam Perjanjian Jual beli tidak sesuai, namun hal tersebut telah disetujui dan disepakati oleh Tergugat terbukti dengan diterimanya pembayaran oleh Tergugat. 7. Bahwa terhadap keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat, Penggugat
mendapat
pinalty
terhadap
keterlambatan
sebesar
Rp.
4.016.088.525,- (Empat milyar enam belas juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima rupiah). 8. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pelunasan pembayaran seharusnya tergugat menyerahkan sertifikat tanah-tanah tersebut diatas kepada Penggugat, namun sampai saat ini sertifikat-sertifikat tanah tersebut belum diserahkan kepada Penggugat, yang mana Sertifikat tersebut masih di Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH.,
118 9. Bahwa penggugat sudah berusaha mencari Tergugat sesuai dengan alamat yang tercantum di Perjanjian Jual beli, namun sampai saat ini keberadaan Tergugat belum diketahui 10. Bahwa penggugat sudah berusaha untuk menghubungi Tergugat, namun sampai sekarang belum memperoleh informasi dimana keberadaan tergugat; 11. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pembayaran lunas, maka sudah sepantasnya sertifikat tanah-tanah tersebut diatas diserahkan oleh Tergugat kepada Penggugat melalui Notaris Francisca dan juga dibuatkan akta Jual belinya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli antara Penggugat dan Tergugat yang dilakukan di Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH adalah lunas dan sah; 3. Menyatakan hukum agar Tergugat menyerahkan Sertifikat Tanah Hak Milik yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak Milik No. 430 seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2, Tanah Hak Milik No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas 1450 m2, Tanah Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No. 496 seluas 1350 m2,
119 Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak Milik No. 498 seluas 4600 m2 kepada Penggugat melalui Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH; 4. Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (Dwangsom) kepada Penggugat
sebesar
Rp.
1.000.000,-
(satu
juta
rupiah)
setiap
hari
keterlambatannya menyerahkan sertifikat-sertifikat diatas; 5. Menyatakan hukum bahwa putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun Tergugat mengajukan Verset, Banding, Kasasi ataupun mengajukan Peninjauan Kembali; 6. Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya perkara yang timbul dalam perkara ini; Menimbang, bahwa pada sidang yang telah ditetapkan pihak Penggugat datang menghadap kuasa hukumnya dipersidangan, sedangkan pihak Tergugat tidak pernah hadir dipersidangan padahal sudah diumumkan melalui Sekretaris Kabupaten Badung sesuai surat pengumuman panggilan masing-masing tanggal 26 Januari 2007, tanggal
6
Februari
2007
dan
tanggal
22
Februari
2007,
Nomor
:
05/Pdt.G/2007/PN.Dps. Menimbang bahwa oleh karena Tergugat telah dipanggil secara patut tetapi tidak pernah hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah, sehingga Tergugat dianggap tidak menggunakan hak nya untuk itu, maka sidang tetap dilanjutkan tanpa hadirnya pihak Tergugat.
120 Menimbang bahwa selanjutnya pemeriksaan dimulai dengan pembacaan surat gugatan Penggugat, yang atas pertanyaan Hakim Ketua, Kuasa Hukum Penggugat menyatakan tetap pada gugatannya tersebut. TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA: Atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan setelah memeriksa buktibukti dan saksi-saksi dalam persidangan, maka : Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah dipertimbangkan tersebut diatas maka telah terbukti fakta-fakta hukum sebagaimana yang didalilkan Penggugat dalam gugatannya sehingga dapat menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gugatan Penggugat beralasan hukum sehingga gugatan Penggugat dalam petitum No. 1 dapat dikabulkan; Menimbang, bahwa mengenai gugatan Penggugat dalam petitum No. 2 oleh karena dalam petitumnya Penggugat juga mohon putusan seadil-adilnya maka petitum No. 2 tersebut dikabulkan dengan perbaikan redaksi seperlunya sebagaimana termuat dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa mengenai petitum No. 4 tentang Dwangsom Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut ini : -
Bahwa sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat bahwa sertifikatsertifikat tanah sengketa sekarang ini ada di simpan di Notaris T. Francisca Teresa Nilawati, SH., yaitu di Notaris ditempat dibuatnya Perjanjian Jual beli antara Penggugat dan Tergugat dan begitu pula sesuai dengan bukti yaitu Surat Keterangan dari Notaris T. Francisca Teresa Nilawati, SH., yang
121 menerangkan bahwa benar asli dari Sertifikat tersebut masih tersimpan di tempat Notaris tersebut; -
Bahwa oleh karena itu gugatan Penggugat dalam petitum No. 4 tersebut tidak relevan untuk dikabulkan sehingga harus dinyatakan ditolak;
-
Menimbang bahwa mengenai petitum gugatan No. 5 yaitu agar putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan berdasarkan ketentuan Pasal 180 HIR/191 Rbg begitu pula untuk prinsip kehati-hatian, maka Majelis memandang tuntutan agar putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu tidak beralasan untuk dikabulkan
-
Bahwa oleh karena itu gugatan penggugat dalam petitum No. 5 dinyatakan ditolak. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
maka gugatan penggugat dikabulkan sebagain, sehingga biaya perkara harus dibebankan kepada Tergugat; Mengingat dan memperhatikan segala ketentuan dan peraturan Per undangundangan yang bersangkutan: MENGADILI: 1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut, tidak hadir tanpa alasan yang sah; 2. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dengan Verstek;
122 3. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 15 Mei 2005 antara Penggugat dan Tergugat yang dilakukan di Notaris Francisca Teresa Nilawati, SH adalah LUNAS DAN SAH; 4. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai Sertifikat-Sertifikat tanah hak milik yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak Milik No. 430 seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2, Tanah Hak Milik No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas 1450 m2, Tanah Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No. 496 seluas 1350 m2, Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak Milik No. 498 seluas 4600 m2, untuk menyerahkan sertifikat-sertifikat tersebut kepada Penggugat; 5. Menghukum pula kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 289.000,- (dua ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah); 6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya. Berdasarkan
uraian
mengenai
Putusan
Pengadilan
Negeri
Denpasar
No.
05/Pdt.G/2007/PN.Dps tertanggal 13 Agustus 2007 tersebut dapat diketahui bahwa pembeli dalam hal ini Rizaldy Deciderus Watruty menuntut agar segera Perjanjian Perjanjian Jual beli yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak Penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang tersebut dibuatkan Akta Jual beli karena Rizaldy menyatakan telah membayar Lunas dan Sah atas tanah-tanah yang diperjual belikan tersebut. Putusan pengadilan ini dikabulkan sebagian dengan verstek. Atas putusan pengadilan ini, maka pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan perlawanan
123 dengan menggugat pihak Rizaldy Deciderus Watruty sebagaimana yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps tertanggal 9 Agustus 2010, dengan Reinta Sortaria Situmorang sebagai Pelawan dan Rizaldy Deciderus Watruty sebagai Terlawan. Dalam putusan ini dapat diketahui bahwa : TENTANG DUDUKNYA PERKARA: Menimbang, bahwa Pelawan sebagai dasar perlawanannya itu telah mengemukakan sebagai berikut: -
Bahwa amar putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 diputus dengan tidak hadirnya Pelawan (Tergugat Asal).
-
Bahwa berdasarkan Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) terdapat 3 (tiga) klasifikasi tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (Verzet) terhadap putusan verstek, yaitu : 1) Dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan; 2) Sampai hari kedelapan sesudah peringatan (Aanmaning); 3) Sampai hari kedelapan sesudah dijalankannya eksekusi; Lebih lengkap Pasal 153 ayat 2 Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) berbunyi sebagai berikut: “(2) jika pemberitahuan putusan itu telah diterima oleh orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat dilakukan dengan tenggang waktu empat belas hari setelah pemberitahuan itu. Bila surat keputusan itu disampaikan
124 tidak kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat diajukan sampai dengan hari kedelapan setelah diperingatkan menurut Pasal 207, atau bila ia tidak datang menghadap untuk diberitahu meskipun telah dipanggil dengan sepatutnya, terhitung sampai dengan hari kedelapan setelah perintah tertulis seperti tersebut dalam Pasal 208 dilaksanakan.” -
Bahwa pelawan (Tergugat Asal) tidak pernah menerima dan mengetahui baik tentang adanya Surat Penggilan Sidang dalam pemeriksaan perkara maupun menerima pemberitahuan putusan secara langsung dari Pengadilan Negeri Denpasar karena Pelawan (Tergugat Asal) telah tidak tinggal tetap pada alamat di Bali sebagaimana disebut dalam gugatan dan putusan akan tetapi bertempat tinggal di Tangerang, Banten, sehingga berdasarkan Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) tersebut Pelawan (Tergugat Asal) masih memiliki hak hukum untuk mengajukan keberatan berupa perlawanan (verzet) terhadap putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut;
-
Bahwa pelawan (Tergugat asal) telah menghadiri sidang Tegoran/Aanmaning pada tanggal 26 November 2009 di Pengadilan Negeri Denpasar, oleh karenanya perlawanan (verset) ini diajukan masih dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari sejak peringatan (Aanmaning) diberikan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) sehingga perlawanan (verzet) ini berdasar hukum dan patut untuk diterima.
-
Bahwa perlawanan (verzet) ini diajukan berdasarkan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
125 I.
TANGGAPAN / KEBERATAN TERHADAP GUGATAN PENGGUGAT 1. Pelawan (Tergugat Asal) menolak tegas seluruh dalil-dalil gugatan Terlawan (Penggugat Asal) terkecuali yang secara tegas diakui kebenarannya. 2. Bahwa benar antara Pelawan (Tergugat Asal) dengan Terlawan (Penggugat Asal) telah menandatangani Perjanjian Jual beli atas 9 (sembilan) bidang tanah sebagaimana diterangkan dalam Sertifikat-Sertifikat Hak Milik sesuai dengan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Theresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar sebagaimana disebut Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 3 posita gugatannya. 3. Bahwa terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dan dengan sengaja menyembunyikan fakta tentang harga jual beli atas tanah tersebut karena khusus mengenai harga jual beli, Terlawan (Penggugat Asal) dan Pelawan (Tergugat Asal) telah membuat kesepakatan lain yang secara nyata dipatuhi yaitu Surat Perjanjian Tertanggal 30 Mei 2005 yang diwarmeking/didaftarkan pada Evi Susanti, SH., Notaris di Kabupaten Badung di Kuta; 4. Bahwa harga jual beli berdasarkan Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei 2005, sebagaimana yang didalilkan dan dijadikan dasar gugatan Terlawan (Penggugat Asal) adalah sebesar Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua Milyar enam juta rupiah) sedangkan harga sebenarnya disepakati sesuai Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam Milyar enam ratus enam puluh juta rupiah).
126 5. Bahwa yang secara nyata dipatuhi oleh Terlawan (Penggugat Asal) dan Pelawan (Tergugat Asal) dalam melakukan pembayaran adalah Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 dimana Terlawan (Penggugat Asal) telah melakukan pembayaran hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah) sehingga tidak benar dan merupakan dalil penjebakan pernyataan Terlawan (Penggugat Asal) bahwa dengan pembayaran sebesar Rp. 27.422.088.525,(dua puluh tujuh milyar empat ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima rupiah) berikut pinalty sebagaimana disebut pada poin 5 dan 7 posita gugatannya jual beli telah lunas. 6. Bahwa oleh karena harga jual beli adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah) dimana Terlawan (Penggugat Asal) baru membayar sebesar Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah) sehingga kewajiban masih tersisa sebesar Rp. 3.316.716.000,- (tiga milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas rupiah) belum termasuk pinalty 5% per bulan yang sampai gugatan Terlawan (Penggugat Asal) diperiksa dan diputus pengadilan hingga kemudian Perjanjian Jual beli dibatalkan sisa pembayaran tersebut belum dilunasi dan penalty atas keterlambatan sama sekali tidak pernah dibayar maka secara hukum Perjanjian Jual beli hak milik atas tanah belum bisa ditandatangani karena
127 Surat Kuasa Menjual yang diterima Terlawan (Penggugat Asal) belum dapat diberlakukan sertifikat tidak berdasar hukum pula untuk dilakukan. 7. Bahwa dengan jumlah pembayaran yang telah dilakukan Terlawan (Penggugat Asal) hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah) maka terbukti kesepakatan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 telah tidak berlaku dan dengan demikian pula nyata dan terbukti bahwa Terlawan (Penggugat Asal) telah dengan sengaja menyembunyikan fakta tentang Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2009 tentang kesepakatan harga yang secara nyata dipatuhi oleh kedua belah pihak. 8. Bahwa mengenai belum lunasnya pembayaran telah pula diakui oleh Terlawan (Penggugat Asal) dengan menyatakan tidak mampu membayar yang kemudian dijadikan alasan untuk membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 jauh setelah putusan dalam perkara ini dijatuhkan Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana ternyata dalam Akta Pembatalan Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari 2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar. 9. Bahwa oleh karena harga jual beli atas tanah berdasarkan Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 dan sebagaimana juga terbaca dalam poin 11 dokumen Perjanjian Memiliki Properti Dengan Kepercayaan dan Jaminan Mengganti Kerugian antara Terlawan (Penggugat Asal) dengan Nicholas Jhon Hyam yang dilampirkan dalam permohonan eksekusi adalah sebesar Rp.
128 36.660.000.000,- tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah) yang belum lunas pembayarannya maka tidak benar dan haruslah ditolak dalil posita Terlawan (Penggugat Asal) mendapat pinalty pembayaran atas keterlambatan sebesar Rp. 4.016.088.525 (empat milyar enam belas juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua uluh lima rupiah). 10. Bahwa oleh karena pembayaran harga jual atas tanah ternyata belum lunas maka tidak beralasan hukum dan karenanya haruslah ditolak dalil Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 8 posita jo poin 2 petitum yang mendalilkan dan meminta pernyataan lunas dan sah Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 yang selanjutnya meminta penyerahan sertifikat dan pembuat Akta Jual beli sebagaimana disebut pada poin 11 posita jo poin 3 petitum. 11. Bahwa sekiranya pembayaran dianggap telah lunas – quod non – maka tidak seharusnya Terlawan (Penggugat Asal) mengajukan gugatan sebagaimana dalam perkara ini akan tetapi cukup melaksanakan saja Surat Kuasa Khusus Menjual yang telah diberikan kepadanya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 dan 5 Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005. 12. Bahwa dengan tidak dilaksanakannya Surat Kuasa Khusus Menjual yang telah diberikan kepada Terlawan (Penggugat Asal) maka cukup membuktikan bahwa jual beli atas tanah belum lunas pembayarannya sehingga patut dipertanyakan itikad Terlawan (Penggugat Asal) dalam mengajukan gugatannya.
129 13. Bahwa disamping itu Terlawan (Penggugat Asal) juga telah mengingkari sendiri dalil gugatannya dengan telah melakukan pembatalan terhadap Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor : 5, sebagaimana ternyata dengan Akta Pembatalan Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari 2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar, sehingga secara hukum telah terjadi kontradiksi atau saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan. 14. Bahwa satu-satunya alasan Terlawan (Penggugat Asal) untuk melakukan pembatalan terhadap Perjanjian Perikatan Jual beli tersebut adalah karena Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak sanggup untuk melunasi harga pembelian sesuai harga yang disepakati berdasarkan Surat Perjanjian tertanggal 30 Agustus 2005 dan pembatalan mana yang dibenarkan berdasarkan Pasal 1 Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei 2005, sehingga dengan demikian jelas terbukti bahwa Terlawan (Penggugat Asal) telah mengakui belum melunasi pembayaran. 15. Bahwa petitum gugatan Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 4 dan 5 tentang uang paksa (dwangsom) dan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu haruslah ditolak oleh karena disamping tidak berdasar hukum juga karena tuntutan tersebut tidak didukung oleh dasar dan alasan hukum dalam uraian posita. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, terbukti Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dalam mengajukan fakta yang sebenarnya dalam gugatannya dimana
130 dengan sengaja telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang bukti yang menunjukkan bahwa harga jual beli atas tanah belum lunas, juga adanya kontradiksi atau saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan dimana Perjanjian Jual beli yang dijadikan dasar gugatan telah dibatalkan sendiri oleh Terlawan (Penggugat Asal), sehingga gugatan Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak berdasar hukum oleh karenanya sepatutnya gugatan Terlawan (Penggugat Asal) ditolak untuk seluruhnya. II.
KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN 1.
Bahwa Pelawan (Tergugat Asal) sangat keberatan terhadap putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agutus 2007, atas dasar dan alasan hukum sebagai berikut;
2.
Bahwa oleh karena putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agustus 2007 didasarkan kepada gugatan yang tidak berdasar hukum maka secara hukum putusan atas gugatan tersebut otomatis haruslah dibatalkan;
3.
Bahwa disamping itu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang mengadili dan memutus perkara telah memberikan putusan melebihi yang dimohonkan oleh Penggugat oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 189 (3) Rbg (Pasal 178 ayat (3) HIR);
4.
Bahwa Majelis Hakim telah meresahkan bukti yang tidak ada kaitannya dengan perkara sehingga putusan tersebut tidak mengikat dan tidak dapat dilaksanakan;
131 III.
EKSEKUSI PUTUSAN TIDAK BERDASAR HUKUM UNTUK DILANJUTKAN Bahwa dengan adanya Perlawanan (verzet) ini maka sesuai hukum acara
perdata pemeriksaan atas perkara akan dilakukan kembali secara keseluruhan sehingga eksekusi terhadap putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.DPs., tanggal 13 Agutus 2007 tidak mempunyai dasar hukum untuk dilanjutkan; Berdasarkan hal-hal tersebut, mohon dengan hormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut: 1.
Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;
2.
Mengabulkan Perlawanan (Verzet) Pelawan untuk seluruhnya;
3.
Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya;
4.
Membatalkan Putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor ; 05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 sehingga eksekusi atas putusan tersebut tidak dapat dilanjutkan;
5.
Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Atau: Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Menimbang bahwa Majelis Hakim telah memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berdamai, dengan menunjuk : H. Puji Harian, SH., M.Hum.,
132 sebagai mediator, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 akan tetapi tidak berhasil, oleh karena itu pemeriksaan terhadap perkara ini dilanjutkan dengan pembacaan perlawanan,-- dst TENTANG HUKUMNYA: Menimbang bahwa maksud dan tujuan perlawanan ini adalah seperti terurai tersebut terdahulu; Menimbang, bahwa perlawanan ini dimajukan dalam tenggang waktu dan menurut Undang-undang, sehingga dengan demikian dapat diterima; Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan ini agar gugatan Penggugat Asal (Terlawan) ditolak karena: 1. Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dengan sengaja telah menyembunyikan tentang fakta harga jual beli atas 9 bidang tanah tersebut yang secara nyata dipatuhi oleh kedua belah pihak yaitu Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 yang telah diwarmeking/didaftarkan pada Evi Susanti Panjaitan, SH., Notaris di Kabupaten Badung; 2. Terlawan (Penggugat Asal) mendalilkan dalam gugatannya jual beli seharga Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta rupiah), berdasarkan Perjanjian Jual beli tanggal 5 Mei 2005 sedangkan harga yang sebenarnya disepakati berdasarkan Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah);
133 3. Terlawan (Penggugat Asal) telah secara nyata mematuhi perjanjian tanggal 30
Mei
2005,
dan
telah
melakukan
pembayaran
sebanyak
Rp.
33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga tidak benar Terlawan telah melakukan pembayaran Rp. 27.422.088.525,- (dua puluh tujuh milyar empat ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima rupiah); 4. Karena Terlawan (Penggugat Asal) baru melakukan pembayaran sebesar Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah), sedangkan harga jual beli tanah Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah), sehingga Terlawan masih mempunyai kewajiban yang belum terbayar sebesar Rp. 3.316.716.000,(Tiga milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah), belum termasuk pinalty atas keterlambatan pembayaran sebesar 5 % per bulan yang belum dibayar sampai sekarang, sehingga Akta Jual beli belum bisa ditandatangani dan surat kuasa menjual yang diterima Terlawan (Penggugat Asal) belum dapat dilakukan, sehingga penyerahan sertifikat belum bisa dilaksanakan; 5. Belum lunasnya pembayaran tersebut diakui oleh Terlawan dengan menyatakan tidak mampu membayar dan kemudian dijadikan alasan untuk membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005, jauh setelah
134 putusan dalam perkara ini dikabulkan Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana ternyata dengan akta Pembatalan No. 24 tanggal 13 Februari 2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar. Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil perlawananya, Pelawan (Tergugat Asal) telah mengajukan bukti-bukti surat, kedua belah pihak tidak ada mengajukan saksi-saksi. Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pelawan tersebut, Majelis mempertimbangkan sebagai berikut: -
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan Pelawan adalah bahwa tidak benar harga jual beli 9 (sembilan) bidang tanah antara Pelawan dengan Terlawan itu seharga Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta rupiah sebagaimana perjanjian jual beli tanggal 2 Mei 2005 No. 5, akan tetapi yang benar adalah seharga Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah) sebagaimana perjanjian tanggal 30 Mei 2005 dan Terlawan telah membayar sejumlahRp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga dengan demikian Terlawan masih mempunyai kewajiban sebesar Rp. 3.316.716.000,- (Tiga milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah), karena Terlawan tidak mampu membayar lalu kemudian Terlawan membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh setelah Pengadilan Negeri Denpasar
135 menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana dilakukan dihadapan Notaris T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali. -
Menimbang, bahwa karena Pelawan (Tergugat Asal) telah menyangkal gugatan Terlawan (Penggugat Asal) maka berdasarkan Pasal 283 Rbg kepada Terlawan (Penggugat Asal) dibebani untuk membuktikan dalil-dalilnya.
-
Menimbang, bahwa yang perlu dibuktikan oleh Terlawan (Penggugat Asal) adalah apakah benar antara Terlawan dengan Pelawan telah terjadi perjanjian jual beli tanah dan Terlawan telah membayar lunas kepada Pelawan.
-
Menimbang…, dst Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut terbuktilah bahwa Terlawan
(Penggugat Asal) tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dan Pelawan (Tergugat Asal) telah dapat membuktikan dalil gugatannya, sehingga dengan demikian perlawanan Pelawan (Tergugat Asal) adalah tepat dan beralasan. Menimbang bahwa Pelawan telah dapat membuktikan dalil perlawanannya, maka pelawan (Tergugat Asal) adalah Pelawan yang benar, sementara itu Terlawan (Peenggugat Asal) karena tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dimana Terlawan (Penggugat Asal) belum melunasi harga atas 9 bidang tanah, serta telah membatalkan perjanjian jual beli tersebut, maka putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agustus 2007 haruslah dibatalkan serta gugatan Terlawan (Penggugat Asal) haruslah dinyatakan ditolak.
136 Menimbang, bahwa karena Terlawan (Penggugat Asal) adalah pihak yang kalah, maka terhadap biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dibebankan kepada Terlawan (Penggugat Asal). Mengingat Pasal 153 ayat (2) RBg, serta ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang berkaitan. MENGADILI 1. Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar; 2. Mengabulkan perlawanan Pelawan untuk seluruhnya; 3. Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya; 4. Membatalkan
Putusan
Verstek
Pengadilan
Negeri
Denpasar
No.
05/Pdt.G/2007/PN.Dps, tanggal 13 Agustus 2007; 5. Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 466.000,- (empat ratus enam puluh enam ribu rupiah). Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar pada hari Selasa Tanggal 03 Agustus 2010. Berdasarkan paparan kasus diatas dapat diketahui bahwa dalam hal ini Rizaldy Deciderus Watruty yang pada awalnya telah menuntut untuk penyerahan ke 9 sertifikat atas tanah yang telah dilakukan perjanjian jual beli karena mengklaim telah membayar lunas atas 9 bidang tanah tersebut, dan Pengadilan Negeri memutus Verstek dengan Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps bahwa Perjanjian Jual beli tersebut telah lunas dan sah dibayar oleh pihak Pembeli. Namun atas putusan verstek tersebut pihak Penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan Verzet, yang
137 dalam Verzet ini diketahui bahwa pihak pembeli yaitu Rizaldy Deciderus Watruty telah membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh setelah Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana dilakukan dihadapan Notaris T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali tersebut dengan alasan tidak sanggup lagi untuk membayar atas sisa pelusanasan dari harga yang telah disepakati sebelumnya bersama pihak penjual. Dalam putusan Verzet ini pihak Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan perlawanan dari pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. sehingga dalam kasus ini diketahui bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dilakukan oleh salah satu pihak, dalam hal ini yang mengajukan pembatalan adalah pihak pembeli dengan alasan tidak sanggup lagi untuk melunasi pembayaran atas sembilan bidang tanah tersebut. Mengenai ajaran atas kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum, baik perbuatan hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan menyatakan suatu perbuatan hukum batal, berarti karena adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Perbedaan utama mengenai kebatalan adalah batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Pada keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum, maka perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Pembatalan ini dapat berakibat
138 terhadap siapapun, dapat pula hanya berlaku terhadap orang tertentu, serta dapat pula hanya batal sebagian. 4.2
Perlindungan Hukum Yang Dapat Diberikan Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak
yang membuatnya maka perjanjian jual beli dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Notaris dalam membuat suatu akta tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif. Para pihak yang membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan mereka perjanjikan. Keotentikkan dari suatu akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) UndangUndang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.” Sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik bukan karena undang-undang menyatakan demikian namun karena akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum sesuai dengan yang termuat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”
139 Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata maka dapat diketahui bahwa terdapat 2 macam bentuk akta yaitu akta yang dibuat oleh Notaris dan akta yang dibuat dihadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta relaas atau menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sebagai pejabat umum. Akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi, karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu di konstatir oleh Notaris di dalam suatu akta otentik. Akta ini disebut pula akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris. Perbedaan antara kedua akta diatas dapat dilihat dari bentuk akta tersebut. Dalam akta partij, dengan diancam akan kehilangan otentitasnya atau dikenakan denda, harus ditandatangani oleh para pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya, keterangan tersebut harus dicantumkan oleh Notaris dalam akta dan keterangan tersebut dalam hal ini berlaku sebagai pengganti tanda tangan. Dapat diketahui bahwa dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak merupakan suatu keharusan. Untuk akta relaas tidak menjadi permasalahan apakah para pihak yang hadir menolak atau menandatangai akta tersebut. Seperti contohnya dalam pembuatan berita acara rapat para pemegang saham dalam PT orang-orang yang hadir telah
140 meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup Notaris menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik. Dalam suatu akta partij sebagai akta otentik memberikan jaminan kepastian hukum terhadap para pihak termuat dalam bagian dari akta yang terdiri dari 1. Tanggal akta 2. Tanda tangan-tanda tangan yang tercantum dalam akta tersebut 3. Identitas dari para pihak yang hadir (comparanten) 4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta tersebut adalah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan tersebut hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri. Pada umumnya suatu akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, dalam suatu akta terdiri dari tiga bagian yaitu: a. Komparisi Dalam komparisi memuat mengenai hari dan tanggal akta, nama Notaris, dan tempat kedudukannya, identitas para penghadap, beserta keterangannya bertidak untuk diri sendiri atau sebagai wakil/kuasa dari orang lain, yang harus disebutkan juga jabatan dan tempat tinggalnya beserta atas kekuatan apa ia bertindak sebagai wakil atau kuasa.
141 b. Badan Akta Dalam badan akta memuat mengenai isi dari apa yang ditetapkan sebagai ketentuan-ketentuan yang bersifat otentik, misalnya perjanjian, ketentuanketentuan mengenai kehendak terakhir (wasiat) dan lain-lain. c. Penutup Bagian penutup akta merupakan suatu bentuk yang tetap, yang memuat pula tempat dimana akta itu dibuat dan nama-nama, jabatan serta tempat tinggal saksi-saksi instrumenter. Selanjutnya pada bagian penutup ini juga disebutkan bahwa akta itu dibacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi, dan sesudah itu ditandatangani oleh para penghadap, para saksi dan Notaris. Tentang kekuatan pembuktian dari akta Notaris dapat dikatakan bahwa tiaptiap akta Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut: 1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik. 2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. 3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya(tegenbenvijs).
142 Mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada para pihak yang terikat dalam suatu akta, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perlindungan hukum tersebut. Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu perlindungan yang berarti hal atau perbuatan melindungi. Dan hukum yang berarti suatu aturan untuk menjaga kepentingan semua pihak. Pendapat mengenai perlindungan hukum juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah suatu upaya perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum, tentang apa-apa yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan atau melindungi kepentingan dan hak subjek hukum tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala kegiatan atau perbuatan yang dapat memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak dan memberikan kepastian hukum terhadap semua subjek hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli maka perlindungan hukum yang dapat diberikan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka tergantung pada kedudukan dari perjanjian jual beli yang telah dibuat sebelumnya. Adapun wanprestasi atau keadaan dimana salah satu pihak ingkar janji atau tidak memenuhi perikatan, dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1. Debitor sama sekali tidak memenuhi perikatan; 2. Debitor terlambat memenuhi perikatan 3. Debitor keliru atau tidak memenuhi perikatan.
143 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seseorang dapat dikatakan wanprestasi apabila melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut. Begitupula dalam perjanjian jual beli terhadap hak milik atas tanah. Wanprestasi bisa saja dilakukan oleh salah satu pihak karena tidak selamanya setiap orang yang membuat kesepakatan mampu untuk melaksanakan semua kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Karena dilanggarnya kesepakatan tersebut maka persyaratan sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata menjadi kekurangan syarat sehingga perjanjian jual beli ini dapat dimintakan pembatalan pada Pengadilan Negeri setempat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim; 2. Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu. Perlindungan hukum yang dapat diberikan dengan diajukannya pembatalan oleh salah satu pihak atas perjanjian jual beli yang telah disepakati sebelumnya maka dapat diberikan dalam bentuk akta yang dibuat secara otentik dihadapan Notaris sebagai pejabat umum. Perlindungan hukum yang diberikan dalam perjanjian jual beli sangat kuat karena sifat pembuktian dari perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan pejabat umum dalam hal ini Notaris mempunyai pembuktian yang sangat kuat sesuai dengan pembuktian dari akta otentik. Selain itu perlindungan lain yang diberikan
144 adalah perlindungan hukum yang dibuat berdasarkan dari kesepakatan yang di buat oleh para pihak yang terkait dengan perjanjian jual beli yang jika kita kaitkan dengan peraturan tentang perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi : semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ada beberapa perlindungan yang dapat diberikan jika salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian jual beli : 1. Perlindungan terhadap penjual Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh calon penjual itu sendiri. Misalnya ada beberapa penjual yang di dalam perjanjian jual beli yang dibuatnya memintakan kepada pihak pembeli agar melakukan pembayaran uang pembeli dengan jangka waktu tertentu yang disertai dengan syarat batal, misalnya apabila pembeli tidak memenuhi pembayaran sebagaimana telah dimintakan dan disepakati maka perjanjian jual beli hak milik atas tanah yang telah dibuat dan disepakati menjadi batal dan biasanya pihak penjual tidak akan mengambalikan uang yang telah dibayarkan kecuali pihak pembeli meminta pengecualian. 2. Perlindungan terhadap pembeli Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya
145 adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau tanda hak milik atas tanah tersebut di pegang oleh pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap pemenuhan hak semua pihak dalam jual beli selain sesuai perlindungan hukum yang diberikan oleh kekuatan akta otentik juga dapat berlandaskan Pasal 1338 KUHPerdata, serta niat baik dari para pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat. Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada si penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya adalah
146 apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau tanda hak milik atas tanah tersebut di titipkan kepada pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya. Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan dalam perjanjian jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata untuk pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah ke Pengadilan Negeri setempat sehingga diharapkan mendapat putusan yang seadil-adilnya.
147 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka yang dapat disimpulkan dari permasalahan dalam tesis ini yaitu sebagai berikut: 1. Unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap Perjanjian Jual beli hak milik atas tanah yaitu: a.
Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
b.
Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak milik atas tanah (akta jual beli tanah dihadapan PPAT) belum selesai sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
2. Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada si penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa dari pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang
148 diatur dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau tanda hak milik atas tanah tersebut di titipkan kepada pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya. Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan dalam perjanjian jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk membatalkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, sehingga diharapkan nantinya mendapat putusan yang seadil-adilnya. 5.2. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai berikut: 1. Kepada Notaris untuk menghindari terjadinya pembatalan atas perjanjian jual beli hak milik atas tanah, Notaris diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam menyusun klausula yang akan dituangkan dalam perjanjian jual beli tersebut,
149 hal ini juga untuk menghindari adanya keinginan buruk dari pihak yang nantinya dapat merugikan pihak yang satunya. 2. Kepada pembuat Undang-undang (Pemerintah dan DPR), disarankan untuk melakukan revisi terhadap KUHPerdata dengan melakukan suatu rekontruksi hukum terhadap pengaturan yang tidak jelas mengenai pembatalan perjanjian jual beli, karena perjanjian jual beli banyak digunakan dalam proses jual beli hak milik atas tanah di masyarakat.