BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) Udang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan,
1
2
sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian negara.1 Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998), seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas pokok PPAT adalah: (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : 1
Maria. S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35.
3
a. b. c. d. e. f. g. h.
jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; pemberian Hak Tanggungan; pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam
melaksanakan
tugas
pokok
tersebut,
PPAT
mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta. Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1
4
angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Apabila dilihat, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Melihat wilayah Indonesia yang demikian luas, diperlukan banyak PPAT dengan lingkup/wilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam
5
pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan ada 3 (tiga) macam PPAT, yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori PPAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu : 1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum). 2. PPAT sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala Desa).
6
3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor Pertanahan). Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum agraria nasional kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga “orang” yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa, PPAT adalah “Pejabat Umum“.2 Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud di atas diantaranya untuk membuat Akta.3 Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan dialihkan. Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa : “Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah 2
Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44. 3 Efendi Perangin-angin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 62.
7
atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabatpejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : “Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998, tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, bahwa “karena fungsinya di bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut. Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara. Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah. Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada umumnya disebabkan oleh kondisi diri pribadi dari Camat itu sendiri, seperti misalnya seringnya Camat melakukan kesalahan dan Camat kurang menguasai
8
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka, meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah berpraktek sebagai PPAT. Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali. Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan hal tersebut, mengingat output pendidikan magister kenotariatan semakin banyak di Indonesia, maka sebagai solusinya Camat tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
9
memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji tentang : “KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT” Penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat” ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Keaslian (originalitas) penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah : 1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : “Pelaksanaan Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara di Kabupaten Grobogan” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2006). Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah : a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya dalam era otonomi daerah. b. Bagaimanakah
pelaksanaan
pengaturan
dilapangan
fungsi
dan
kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan
10
Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai berikut : a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara, kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang lemah, serta sikap Notaris/PPAT yang terkesan menutup mata terhadap penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan juga ada perbedaan. 2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2010). Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah : a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak semuanya menjadi PPAT Sementara ?
11
b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara ? c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara? Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu : a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara, disebabkan karena faktor : 1) sistem birokrasi dan pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih bermasalah, seperti pungutan liar; 2) banyak calo dan pengguna jasa yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3) Tidak hanya kasus percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara. b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow masih sangat dibutuhkan keberadaannya. Selain karena formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara maka perannya sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris, sehingga semua aturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
12
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow. c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara menyebabkan pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah 3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : “Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014). Rumusan masalah yang diangkat adalah : a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. b. bagaimanakah tanggung jawab Camat sebagai PPAT Sementara atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.
13
Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah : a.
Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi.
b.
Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi (fautes personalles). Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan dikenakan sanksi perdata.
Ketiga karya tulis dalam bentuk tesis sebagai tugas akhir studi Program Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan kedua tidak menyentuh sama sekali masalah kewenangan, sedangkan penelitian yang ketiga membahas tentang kewenangan namun tidak mempermasalahkan tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Hal ini dapat dilihat dari rumusan masalahnya berbeda dengan rumusan masalah yang akan dikaji dalam proposal ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul: “Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014), pembahasannya lebih terfokus pada kajian dari keotentikan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 BW serta pertanggungjawaban pribadi (fautes personalles). Dua permasalahan dalam
14
proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1) keabsahan wewenang; dan 2) akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 (dua) permasalahan dalam proposal ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berhubungan dengan paradigma science is proces dan paradigma science is product, yang selanjutnya dapat diidentifikasi tujuan dimaksud sebagai berikut : 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan
konsep, asas dan teori tentang hukum pertanahan umumnya dan peralihan hak atas tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.
15
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat” ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, dalam artian sebagai sumbangan pemikiran, baik untuk tujuan teoritis maupun untuk tujuan praktis. Manfaat hasil penelitian penelitian dimaksud, dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.4.1
Manfaat Teoritis Pengembangan teori, konsep dan doktrin hukum pertanahan pada
umumnya dan peralihan hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
penyelesaian masalah pertanahan, terutama dalam peralihan hak atas tanah melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
1.5 Landasan Teoritis 1.5.1
Konsep Negara Hukum Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan
berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karaktaristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah
16
bangsa, ideologi negara dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika dan sejarahnya masing-masing. Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum antara lain Peraturan Perundang-undangan. Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang rechtstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtstaats,4 Terkait dengan asas dalam negara hukum, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan asas pokok negara hukum ada tiga, yakni : 1) asas monopoli paksa (zwangmonopoli); 2) asas persetujuan rakyat; dan 3) asas persekutuan hukum (rechtsgemeenschap). Selanjutnya asas pokok negara hukum dimaksud, dijelaskan sebagai berikut : 4
Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1
17
1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu. Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan menggunakan paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud di atas disebut „main hakim sendiri‟. 2. Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat) hanya wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang diciptakan secara sah dengan persetujuan langsung (undangundang formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, apabila ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan pembayaran atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau mentaatinya, dan apabila Pejabat memaksakan peraturan tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang melawan hukum”. 3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap, legal partnership), sehingga para pejabat penguasa negara dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta menggunakan kekuasaan negara, mereka tunduk kepada hukum (sama dengan rakyat/warga masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama.5 Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia adalah: 1) Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan landasan ini Undang-undang formal dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting negara hukum;
5
29
Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
18
2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan; 3) Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan undang-undang; 4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan (rechtmatigeidstoetsing).6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebelum perubahan, dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada seluruh penyelenggara negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum. Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam pikiran bangsa Indonesia yang lazim disebut dengan hukum dasar tertulis. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis, hanya memuat dan mengatur hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and balances, dalam penyelenggaraan negara seperti adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dalam bagian konsideran huruf a secara tegas menyebutkan bahwa “pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh 6
Philipus M. Hadjon, Op.Cit.
19
lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah dikembangkan lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang lembagalembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ombudsman dan sebagainya.
Indonesia sebagai negara hukum sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai manifestasi dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Peraturan Perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat berwenang dan mengikat umum (mencakup
undang-undang dalam arti formal maupun material). Hukum tertulis diartikan sebagai setiap keputusan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang.7 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah negara hukum yang dimaksudkan dengan hukum positif tidak hanya peraturan perundang-undangan saja, namun keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang juga dapat diberlakukan sebagai hukum positif.
1.5.2
Teori Wewenang
1.5.2.1 Pengertian Wewenang Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama dan kedua yaitu kedudukan dan akibat hukum dan akta tanah yang dibuat oleh Camat yang diberi wewenang sebagai PPAT Sementara. 7
Bachtiar Effendi, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 17.
20
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan karaktar. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. Sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik.8 Dalam praktak, antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan kewenangan (authority, gezag) dianggap tidak penting untuk dibedakan. Menurut Indroharto “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/ Administratif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai sesuatu bagian tertentu/salah satu bagian dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.9 Lebih jauh
Indroharto mengemukakan bahwa
“Wewenang” adalah kemampuan yg diberikan oleh peraturan perundangundangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum10. Dalam konsep wewenang terkandung asas legalitas, yang maknanya adalah :
8
Philipus. M. Hadjon, 1997, “Tentang Kewenangan“, dalam Yuridika Nomor 5 dan 6 Tahun XII September-Desember., Surabaya : FH Unair, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September Desember, hal. 12 9 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit. 10 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90
21
1. setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan Hukum Administrasi Negara atau kebijakan harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis); 2. untuk menjamin dijalankannya “kesamaan perlakuan oleh pemerintah / penguasa”; dan 3. menunjang berlakunya kepastian hukum.11
1.5.2.2 Jenis Wewenang Sehubungan dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu “atribusi dan delegasi“.12 Sedangkan menurut Suwoto Mulyosudarmo, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.13 Berbeda halnya dengan Indroharto, prihal perolehan kewenangan dimaksud, Indroharto mengemukakan bahwa wewenang diperoleh
secara “atribusi, “delegasi” dan “mandat”, yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 11
Ibid. hal.83-84 Philipus, M. Hadjon, 2004. Pengantar Hukum Administrasi, UGM Press, Yogyakarta, hal. 128-129. 13 Suwoto Mulyosudarmo, 1997. “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara”, Disertasi. Unair Surabaya, hal. 39-48. 12
22
1. “Atribusi” yaitu : pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: a. yang berkedudukan sebagai “original legislator” : yg dinegara kita adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR bersama-sama Presiden sebagai pembentuk undang-undang; b. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu (Badan/Jabatan Pemerintahan). 2. “Delegasi” yaitu : pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan/Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan/Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. 3. “Mandat” yaitu : di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain14 Selanjutnya HD.van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip Indroharto, membedakan cara perolehan wewenang sebagai berikut : 1. Atribusi : adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan); 2. Delegasi : adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya (delegatie: overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuursorgaan aan een ander); 3. Mandat : terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander).15 Berbeda halnya dengan Stroink dan Steenbeek menurutnya hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu: atribusi dan delegasi yang selanjutnya dijelaskan bahwa : 1) Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru; dan 2) delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang 14
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90 15 Ibid.
23
telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Dalam hal mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang; tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.16 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan asss legalitas dalam konsep wewenang yang paling penting adalah menunjang belakunya kepastian hukum, selain itu perlakuan yang sama dari pemerintah kepada warganya dan dapat diartikan juga pelaksanaan wewenang dari pemerintah harus bersumber pada peraturan perundang-undangan.
1.5.2.3 Pembatasan Wewenang Terhadap wewenang, juga ada pembatasan, yang sering disebut ketidakwenangan (onbevoegdheid). Ada 3 (tiga) macam ketidakwenangan, yakni : 1. Onbevoegdheid ratione materiae, artinya pejabat itu pada hakekatnya tidak berwenang untuk melakukan tindakan. 2. Onbevoegdheid ratione loci, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh wilayah tertentu. 3. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh waktu tertentu.17 Tentang pembatasan wewenang Philipus M Hadjon18 mengemukakan tentang prosedur pelimpahan, tanggungjawab dan tanggung gugat serta 16
Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 74-75 Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Djumali, Surabaya, hal. 12 – 13. 17
24
kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi, seperti nampak dalam skema berikut : No. 1
PRIHAL Prosedur pelimpahan
2
Tanggungjawab dan Tanggung gugat
3
Kemungkinan si Pemberi menggunakan wewenang itu lagi
DELEGASI MANDAT Dari suatu organ pemerintahan Dalam hubungan rutin kepada organ lain: dengan atasan bawahan: hal peraturan perundang-undangan. biasa kecuali dilarang dengan tegas. Tanggungjawab dan tanggung Tetap pada pemberi gugat beralih kepada delegataris mandat. (yg menerima pelimpahan wewenang). Tidak dapat menggunakan Setiap saat dapat wewenang itu lagi kecuali menggunakan sendiri setelah ada pencabutan dengan wewenang yang berpegang pada asas “contrarius dilimpahkan. actus”.
Sumber: Philipus M Hadjon.19 Tabel di atas, menunjukkan bahwa dalam hal wewenang yang diperoleh secara delegasi dan mandat, ada pembatasan dilihat dari aspek : 1) prosedur pelimpahan; 2) tanggungjawab dan tanggung gugat; dan 3) kemungkinan pemberi wewenang menggunakan wewenangnya itu lagi. Dari aspek prosedur pelimpahan, perolehan wewenang secara delegasi, berlangsung dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain, dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat dapat terjadi dalam hubungan rutin atasan bawahan, sebagai suatu hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Dari aspek tanggungjawab dan tanggung gugat, dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris (yang menerima pelimpahan wewenang), sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada
18 19
Ibid. Ibid.
25
pemberi mandat. Dilihat dari aspek kemungkinan si Pemberi menggunakan wewenangnya lagi, maka dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi, penggunaan wewenang oleh pemberi wewenang tidaklah dimungkinkan kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”. Sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat, pemberi wewenang dapat menggunakan wewenangnya yang telah dilimpahkan.
1.5.2.4 Karakter Wewenang Karakter wewenang dapat dibedakan atas: 1) wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan; dan 2) wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang pokok saja.20 Dari paparan karakter wewenang tersebut di atas, dapat diketahui bahwasanya ada pembedaan karakter wewenang menjadi 3 (tiga) jenis. Wewenang terikat isinya telah ditentukan secara rinci dalam artian, kapan dan dalam keadaan bagaimana dapat dipergunakannya wewenang, sebagai akibat pejabat atau badan pemerintah wajib melaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Di samping wewenang 20
Ibid.
26
terikat, ada pula wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen), yang memberikan kebebasan pejabat untuk mengatur lebih lanjut wewenang dimaksud secara lebih lebih konkrit dan rinci, namun tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hal-hal yang bersifat pokok. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara perolehan wewenang meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Perbedaan ketiganya, atribusi berkaitan dengan wewenang baru, delegasi berkaitan dengan pelimpahan wewenang dan mandat berkaitan dengan hubungan internal tanpa menimbulkan perubahan wewenang secara yudis formal.
1.5.3
Teori Perlindungan Hukum Teori perlindungan hukum digunakan dalam penelitian ini untuk
membahas rumusan masalah kedua yaitu perlindungan hukum dari akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT sementara. Teori perlindungan hukum pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant dan Fitzgerald. Menurut Kant seperti dikutip oleh Beranrd L. Tanya, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum kepada warga negaranya.21 Sedangkan menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yang
21
Bernard L. Tanya, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, KITA, Surabaya, hal. 75.
27
menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan
dan
mengkoordinasikan
berbagai
kepentingan
dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.22 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.23 Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.24 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.25 Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun
22
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. Ibid. 24 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 25 Hartono, Sunaryati, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29. 23
28
pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.26 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.27 Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.28 Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan
26
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/, diakses tanggal 17 September 2014. 28 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64. 27
29
kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Perlindungan hukum oleh karenanya merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29 1. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari oleh teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, dimana perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif, 29
Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.
30
artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan atas tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat normatif.30 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum dari negara/pemerintah kepada warga negaranya dapat diberikan secara perventif maupun repretif. Pelindungan hukum secara perventif bertujuan untuk mencegah pelanggaran, sedangkan pelindungan hukum secara reprersif berupa sanksi hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan maksud untuk menimbulkan efek jera.
1.5.4
Konsep Keabsahan Akta Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang 30
Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Persada, Jogjakarta, hal.
200.
31
menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka keabsahan akta menjadi diragukan. Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,31 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :32 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. 31
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal. 125. 32 Philipus M. Hadjon, 2001, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik,” Post, Surabaya, hal. 3.
32
Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. 2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. 3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur
tata
cara
pembuatannya
(sekurang-kurangnya
memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut). 4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. 5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum. Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat
33
(2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihakyang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.33 Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.34
33 34
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 51. Habib Adjie, Op Cit, hal. 128.
34
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka : a. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. b. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan secara tanggung gugat terhadap akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum. Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris. 2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De
35
Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.35 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notarismendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undangundang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.36 3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu : a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Kewenangan Notaris yang lainnya
35
Tan Thong Kie, 1994, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 362. 36 Habib Adjie, Op Cit, hal. 54.
36
yaitu (1) Notaris berwenang pula : (a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; (b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; (f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) Membuat akta risalah lelang; (2) Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut. b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
37
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyaitempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasalpasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan : (a) Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. (b) Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta. (c) Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN). d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara
38
waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN). Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:37 1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undangundang (UUJN). 2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris. 3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta. 4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut. 5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
1.5.5
Konsep Akta Otentik Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang 37
Habib Adjie, Op.Cit, hal. 121.
39
telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan, Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.38 Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 KUH Perdata mengatur mengenai akta otentik yang berbunyi sebagai berikut; “akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta”. Akta otentik ada dua macam yaitu:39 1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan “akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuatakta itu, yakni notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Dengan kata lain, akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh notaris. Contohnya berita acara rapat para pemegang saham dalam perseroan terbatas
38
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung,
hal. 36. 39
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51.
40
2. Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan “akta partij” Akta yang partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti itu dinamakan akta yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian hibah, wasiat, kuasa, dan lain sebagainya.40 Akta partij selalu memilih kekuatan bukti materiil dan merupakan alat bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-pihak dan pejabat yang menerangkan seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat menyangkal kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.41 Notaris tidak berada di dalamnya pada 2 (dua) macam akta tersebut, tetapi yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan. Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta otentik itu ada pada para pihak. Dengan demikian akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak40
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 46 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 136. 41
41
pihak tersebut berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah para pihak benar-benar berkata atau melakukan perbuatan hukum seperti yang termuat dalam akta tersebut. Terhadap hal-hal yang disampaikan kepada notaris, apakah itu mengandung suatu kebenaran atau tidak, hal itu bukanlah kewenangan notaris. Apabila akta notaris itu mengandung kebohongan atau kepalsuan dimana keterangan yang diberikan kepada notaris tidak benar maka tidak menjadikan akta tersebut sebagai akta palsu, sepanjang notaris tersebut tidak mengetahui bahwa keterangan yang diberikan padanya adalah tidak benar atau palsu. Uraian tersebut di atas menunjukkan antara akta otentik yang dibuat “oleh” dan yang dibuat “dihadapan” pegawai umum terdapat perbedaan pokok antara lain: 1. Pada akta otentik yang dibuat “oleh” pegawai umum, inisiatif datang dari pihaknya, pihaknya mengetahui benar tentang hal-hal yang dikemukakan dalam akta (isi akta); sedangkan pada akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum yaitu notaris, notaris tidak pernah memulai inisiatifnya, notaris tidak tahu benar kebenaran dari hal-hal yang dikemukakan oleh kedua belah pihak yang hadir dihadapannya (isi dari akta), ia hanya membantu merumuskan kehendak para pihak. 2. Akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum biasanya disebut juga dengan akta para pihak, dalam hal ini notaris pasif artinya notaris menunggu sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuatkan akta. Jadi tidak ia dengan sendirinya tanpa dipanggil membuat akta. Akta para
42
pihak juga tidak berarti hanya berisikan keterangan dari pihak sematamata saja, melainkan juga berisikan keterangan dari notaris itu sendiri. 3. Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum terhadap ketiadaan tanda tangan
tidak mengakibatkan akta tersebut kehilangan otensitasnya. Sebagai contoh dalam pembuatan cerita acara rapat umum pemegang saham dalam perseroan terbatas, sering kali orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani dan oleh notaris cukup hanya menerangkan dalam akta tersebut bahwa para pihak yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan akta itu tetap merupakan akta otentik. Pada akta yang dibuat “dihadapan” pejabat umum, keharusan adanya tanda tangan para pihak adalah untuk mempertahankan otentisitasnya. Jika akta tersebut tidakditandatangani maka akta tersebut harus diterangkan apa yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh. Keterangan notaries mengenai hal tersebut adalah sebagai ganti tanda tangan (surrogaat). Dengan demikian dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah merupakan suatu keharusan.42 Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat menjadi akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 1. Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum.
42
Teguh Samudera, Op.Cit, hal.42
43
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu. Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo Pasal 16 ayat (8) Undang-undang Jabatan Notaris, bila salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu tidak terpenuhi maka akta yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1
Jenis Penelitian Mengingat adanya norma kabur dalam hal penunjukan camat sebagai
PPAT Sementara, maka penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat. Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.43 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan
43
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.
34.
44
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.44 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.45
1.6.2
Jenis Pendekatan Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:46
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach). 3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 4. Pendekatan Historis (historical approach). 5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). 6. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat.
44
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295. 45 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14. 46 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
45
1.6.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum/data yang diperlukan dalam penelitian ini
merupakan data sekunder. Adapun data sekunder terdiri dari:47 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432) sebagaimana telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491). e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52) 47
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.
46
g. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.48 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,49 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.50
1.6.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
dilakukan
dengan
metode
pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier 48
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 50 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23. 49
47
dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diproleh melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya. Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan
melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.51 1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya 51
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magister Hukum, Universitas Udayana. hal. 14.
48
bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif. 2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder. 3. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat. 4. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 5. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya.