BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK MILIK ATAS TANAH, HAK PAKAI ATAS TANAH, PERJANJIAN DAN NOMINEE 2.1. Hak Milik Atas Tanah 2.1.1. Pengertian hak milik atas tanah. Hak milik berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah denan dengan mengingat Pasal 6. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tana yang lain, tidak memiliki batas waktu tertentu, mdah dipertahankan dari ganguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah member wewenang kepada pemiliknya paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.17
17
Urip Sanoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Surabaya, h. 90.
25
26
2.1.2. Subyek hak milik atas tanah. Subyek hak milik atas tanah menurut UUPA : 1. Perseorangan. Hanya warga Negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah. 2. Badan-badan hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA). Badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah, yaitu bank yang didirikian oleh Negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial. Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai hak milik, maka dalam jangka waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik atas tanah. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasi oleh Negara. (Pasal 21 ayat 3 dan ayat (4) UUPA).18
18
Ibid, h. 93.
27
2.1.3. Beralihnya hak milik atas tanah. Peralihan hak milik atas tanah dirumuskan pada Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu hak milik dapat beralih kepada pihak lain. Dua bentuk peralihan hak milik atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Beralih. Beralih artinya berpindahnya hak milik atas datah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Dengan meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah. 2. Dialihkan atau pemindahan hak. Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum yaitu jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan dan lelang.19 2.1.4. Pembebanan hak milik dengan hak tanggungan. Menurut rumusan Pasal 25 UUPA, hak milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
19
Ibid, h. 91
28
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996). Syarat sah terjadinya hak tanggungan harus memenuhi tiga unsur yang bersifat kumulatif yaitu : 1. Adanya perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya; 2. Adanya akta pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan atau tambahan; 3. Adanya pendaftaran terhadap akta pemberian hak tanggungan.20 2.1.5. Hapusnya hak milik atas tanah. Pasal 27 UUPA merumuskan faktor-faktor penyebab hapusnya hak milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara yaitu : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya; 3. Karena diterlantarkan; 4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah; 5. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tenahnya berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subek hak milik atas tanah.21
20 21
Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Palu, h. 176. Urip Santoso, op. cit, h. 98.
29
2.2. Hak Pakai Atas Tanah. 2.2.1. Pengertian hak pakai atas tanah. Berdasarkan rumusan Pasal 41 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan menggunakan dalam hak pakai menunjuk kepada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan memungut hasil dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.22 2.2.2. Subyek hak pakai atas tanah. Pasal 42 UUPA merumuskan bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah : 1. Warga negara Indonesia; 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
22
Urip Santoso, op. cit, h. 144.
30
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih merinci yang dapat mempunyai hak milik yaitu : 1. Warga negara Indonesia; 2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 3. Badan-badan keagamaan dan sosial; 4. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 5. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; 6. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Khusus subyek yang pakai yang berupa orang asing yang berkedudukan di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Bagi pemegang hak pakai yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai, maka dalam jangka waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak pakainya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai. Apabila hal ini tidak dilakukan maka hak pakainya hapus karena hukum dan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait dengan hak pakai tetap diperhatikan. (Pasal 40 PP No. 40 Tahun 1996).
31
2.2.3. Jangka waktu hak pakai atas tanah. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak merumuskan secara tegas berapa lama jangka waktu hak pakai. Pasal ini hanya merumuskan bahwa hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu selama tanah yang dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, jangka waktu hak pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu hak pakai ini berbedabeda sesuai dengan asal tanahnya yaitu : 1. Hak pakai atas tanah negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. 2. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan. Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak pakai ini dilakukan atas usul pemegang hak pengelolaan. 3. Hak pakai atas tanah hak milik. Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak pakai dapat diperbaharui dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
32
didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. 2.2.4. Hapusnya hak pakai atas tanah. Berdasarkan rumusan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, faktor-faktor penyebab hapusnya hak pakai antara lain : 1. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya; 2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir karena : 1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang ha pakai atau dilanggarnya ketentuan-ketetuan dalam hak pakai; 2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antaa pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan; atau 3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; 4. Hak pakainya dicabut; 5. Diterlantarkan; 6. Tanahnya musnah; 7. Pemagang hak pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai.
33
2.3. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian. 2.3.1. Pengertian perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan “overeekomst” dalam bahasa Belanda. Kata “overeekomst” tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Menurut Subekti, “suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.23 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.24 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.25 Selanjutnya pengertian perjanjian yang dirumuskan pada Pasal 1313 KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan
23
Subekti I, loc. cit. R. Setiawan, loc. cit. 25 Sri Soedewi Machun Sofwan, loc. cit.
24
34
berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : 1. Perbuatan. Penggunaan kata perbuatan pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; 2. Terdapat 2 (dua) pihak atau lebih. Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3. Mengikatkan dirinya. Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
35
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.26 Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati 2.3.2
Jenis-jenis perjanjian. Dalam perjanjian atau kontrak (contract of law) dikenal adanya dua golongan
perjanjian berdasarkan namanya, yaitu perjanjian nominaat dan perjanjian innominaat. Perjanjian nominaat merupakan perjanjian yang dikenal di dalam hukum Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah, pinjam pakai, persekutuan Perdata dan lain-lain. Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian-perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat secara praktik. Yang termasuk kontrak innominaat antara lain, leasing, joint venture, production sharing, kontrak karya, keagenan, beli sewa dan lain-lain. Timbulnya perjanjian innominaat tersebut adalah sebagai akibat dari adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
26
Salim H.S I, loc. cit.
36
dirumuskan bahwa “semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam KUHPerdata tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk-bentuk kontrak. Namun apabila ditelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibedakan menjadi dua yaitu kontrak tertulis dan kontrak lisan. Kontrak tertulis adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta Notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini juga dapat dibagi menjadi dua macam yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta Notaris. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. Sedangkan kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian tersebut telah terjadi.27 2.3.3
Asas-asas perjanjian. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dirumuskan semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
27
Salim H.S, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Mataram, (Selanjutnya disingkat Salim H.S II), h. 18.
37
Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 1. Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang merumuskan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya: 1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; 2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; 4) Bebas menentukan bentuk perjanjian dan; 5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III
38
KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.28 2. Asas konsensualisme. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (konsensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang
28
Ahmadi Miru, loc. cit.
39
dirumuskan Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaries. 3. Asas pacta sunt servanda. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dari kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.29 4. Asas itikad baik. Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang merumuskan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).30
29 30
M. Yahya Harahap, op. cit, h. 11. Subekti IV, loc.cit.
40
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. 5. Asas kepribadian (personality). Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pada Pasal 1315 dirumuskan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 merumuskan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 2.3.4 Syarat sahnya perjanjian. Syarat sahya suatu perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu : 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak; 2. Kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. Adanya obyek dan 4. Adanya causa yang halal.
41
Keempat hal tersebut dikemukakan sebagai berikut ini : 1. Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak. Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau consensus para pihak. Kesepakatan ini dirumuskan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih kepada pihak yang lain. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karenya kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui oleh orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan : 1) Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2) Bahasa yang sempurna secara lisan; 3) Bahasa yang tidak sempurna asalkan dapat diterima oleh pihak lawan; 4) Bahasa isyarat asalkan dapat diterima oleh pihak lawan; 5) Diam atau membisu asalkan dapat dipahami oleh pihak lawan.31 Pada dasarnya, cara yang paling sering digunakan adalah dengan bahasa yang sempurna baik secara lisan maupun tulisan. Tujuan dibuatnya perjanjian secara tertulis adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagi alat bukti yang sempurna dikala timbul sengketa di kemudian hari. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang
31
Sudikno Mertokosumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h. 7.
42
sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya sepakat saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya.32 Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti, yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik/ physics). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu
32
Subekti II, loc.cit.
43
muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.33 2. Kecakapan dalam bertindak. Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dirumuskan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian”. Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: 1) Orang yang belum dewasa; 2) Orang yang masih berada dibawah pengampuan; 3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
33
Subekti III, loc.cit.
44
2. Adanya hal tertentu (onderwerp der overeenskomst).
Adapun yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negative. Prestasi terdiri atas : 1) Memberikan sesuatu; 2) Berbuat sesuatu; 3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Misalnya, jual beli rumah, yang menjadi prestasi/ pokok perjanjian adalah mnyerahkan hak milik atas rumah tersebut dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu.34 Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) merumuskan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2). 3. Adanya sebab / causa yang halal (geoorloofde oorzaak).
Adapun yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,35 sedangkan
34 35
M. Yahya Harahap, op. cit, h. 13. Sri Soedewi Masjchon, loc.cit.
45
sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan
46
tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suatu perjanjian batal demi hukum.36 2.4. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Nominee. 2.4.1. Pengertian perjanjian nominee Dalam sistem hukum Indonesia, perjanjian nominee merupakan salah satu bentuk perjanjian innominaat tidak diatur secara tegas dan khusus. Namun dalam praktiknya banyak pihak yang menggunakan perjanjian nominee untuk membeli properti atau berinvestasi di Indonesia. Pada dasarnya perjanjian nominee di Indonesia bukanlah bentuk perjanjian yang melanggar hukum meskipun belum diatur secara tegas dan khusus. Namun apabila objek yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum. Khususnya apabila terjadi sengketa diantara para pihak. Perjanjian nominee merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan atas unsur kepercayaan antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia untuk mengikatkan dirinya atas dasar kesepakatan dan tanpa unsur paksaan. Dalam hal ini warga negara asing membeli sebidang tanah dengan mengatasnamakan warga negara Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa nominee merupakan perjanjian yang dilakukan oleh warga negara asing dengan warga negara Indonesia dalam melakukan
36
Diana Kusumasari, loc. cit.
47
perbuatan hukum yaitu melakukan kegiatan jual beli atas objek tanah yang ada di wilayah Indonesia dengan meminjam nama warga negara Indonesia yang untuk selanjutnya warga negara Indonesia tersebut melakukan tindakan hukum dalam proses transaksi jual beli berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan selanjutnya melakukan pendaftaran di kantor pertanahan sesuai hak milik atas tanah yang tertera atas nama warga negara Indonesia. Mengingat Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) merumuskan “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik”. Dengan demikian, dalam hal pemilikan tanah dengan titel hak milik hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan UUPA telah menutup kemungkinan bagi warga negara asing untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Oleh Warga Negara Asing.37 Tampaknya kondisi tersebut di atas membuat warga negara asing yang berkeinginan selain hanya untuk memiliki tanah atau rumah tempat tinggal di atas tanah hak milik juga yang berkeinginan untuk menanamkan modalnya yang berhubungan dengan penggunaan tanah di Indonesia. Adapun upaya untuk memilikinya adalah dengan melakukan terobosan di bidang hukum dalam bentuk perjanjian yang lazimnya disebut dengan perjanjian nominee. 37
A.P Perlindungan, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset Alumni Kotak Pos 272, Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan I), h. 44.
48
Karena terbentur undang-undang yang tidak mengijinkan warga negara asing untuk memiliki hak milik atas tanah, maka orang asing cenderung bertindak sebagai pemberi kuasa kepada nominee dalam melakukan transaksi jual beli tanah. Pemberian kuasa yang diberikan orang asing kepada nominee tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Suatu
perjanjian
nominee
dibuat
dengan
maksud
untuk
memberi
kesempatan/celah kepada warga negara asing untuk menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dimana warga negara asing membeli sebidang tanah hak milik dengan menggunakan nama warga negara Indonesia, yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli oleh warga negara asing tersebut namun didaftarkan menjadi/ke atas nama warga negara Indonesia, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang dibelinya tersebut antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia dibuatkan dalam suatu perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya bahwa warga negara Indonesia adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik (sertifikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah warga negara asing tersebut dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut dengan perjanjian nominee. Upaya lain yang sering digunakan warga negara asing untuk memiliki hak milik atass tanah adalah dengan menggunakan kedok jual beli atas nama warga negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak melanggar aturan. Namun disamping itu dilakukan pembuatan perjanjian antara warga negara asing dengan
49
warga negara Indonesia dengan cara pemberian kuasa yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa untuk melakukan segala sesuatu yang berkenan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak sehingga pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.38
38
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W. Sumardjono I), h. 166.