BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN PERJANJIAN KREDIT, PENGIKATAN AGUNAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BESERTA BANGUNAN, HUBUNGAN ANTARA PERJANJIAN KREDIT DENGAN PENGIKATAN AGUNANNYA
2.1.
Tinjauan Umum tentang Bank dan Perjanjian Kredit
2.1.1. Pengertian Bank, Perjanjian Kredit beserta Dasar Hukumnya Umumnya, masyarakatmengenal bank sebagai lembaga keuangan yang menerima simpanan, kemudian dikenal sebagai tempat meminjam uang, tempat untuk menukar uang, memindahkan uang, atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran.19 Kata “bank” berasal dari bahasa Italia “banca” yang memiliki arti “bence”, yaitu suatu bangku tempat duduk, atau uang. Pengertian ini berasal dari perilaku pihak bankir Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar.20 Pengertian bank di Indonesia telah mengalami evolusi sejak perubahan pemerintahan pada zaman penjajahan Hindia Belanda pada abad ke-18.Pengertian bank berubah mengikuti perkembangan undang-undang yang berlaku.21Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah lembaga keuangan yang usaha
19
Kasmir, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Baru), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23. 20 A. Abdurrahman, 1993, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 80. 21 Soetanto Hadinoto, op.cit., h. 1.
28
29
pokoknya memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Perbankan, “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyrakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Pengertian tersebut menyatakan fungsi bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, hal ini disebutkan dalam Pasal 3 UU Perbankan. Bank menghimpun dana masyarakat dalam berbagai bentuk simpanan seperti giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan. Sedangkan salah satu penyaluran dana oleh bank adalah melalui pemberian kredit kepada masyarakat. Kredit berasal dari bahasa Latin yaitu “creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata credere, dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata trust yang artinya kepercayaan.22 Sehingga dasar pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur dilandaskan oleh rasa percaya antara satu dengan yang lainnya. Namun posisi bank dalam mempercayai debiturnya lebih beresiko apabila dibandingkan dengan debitur yang mempercayai kreditur untuk memberikan sejumlah kredit. Penyaluran dana melalui pemberian kredit merupakan tindakan yang beresiko bagi bank, karena kredit yang diberikan kepada nasabah bank memiliki kemungkinan untuk tidak kembali. Hal ini dapat terjadi apabila nasabah bank
22
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 263.
30
tidak melakukan prestasi yang telah disetujui bersama pihak bank, yaitu untuk membayar angsuran kredit yang telah diterima beserta dengan bunganya. Untuk menghindari adanya resiko terhadap bank, nasabah debitur, dan masyarakat penyimpan dana, dalam pemberian kredit diperlukan adanya perjanjian kredit. Pengertian perjanjian kredit sendiri tidak terdapat dalam UU Perbankan. Namun, pengertian kredit dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan terdapat kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam. Kata tersebut mencerminkan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam-meminjam. Dasar hukum perjanjian kredit dapat ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya.23 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank
23
Ibid., h. 320.
31
Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.24 Penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan menegaskan bahwa “pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.”Hal ini mengindikasikan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian secara tertulis. Dilihat dari sudut administrasi dan hukum, pembuatan perjanjian kredit secara tertulis sangatlah menguntungkan baik bagi bank maupun calon nasabah bank. Dengan pencatatan administrasi yang baik, bank akan dengan mudah memeriksa keadaan kredit yang diberikan kepada nasabah bank. Dan apabila terjadi masalah atau sengketa hukum diantara kedua belah pihak, bukti surat atau tertulis akan sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian di pengadilan.
2.1.2. Subyek dan Obyek Hukum dalam Perjanjian Kredit Subyek hukum adalah sesuatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak.Pada dasarnya, subyek hukum terdiri dari manusia (natuurlijke person) dan badan hukum (rechtspersoon).25 Subyek hukum dalam perjanjian kredit terdiri dari kreditur dan debitur, dimana pihak bank merupakan kreditur, dan pihak nasabah bank sebagai debitur.
24 25
Ibid. H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 25.
32
Yang menjadi pihak bank dan pihak nasabah bank dalam perjanjian kredit dapat diuraikan kembali sebagai berikut: 1.
Pihak Bank Menurut Pasal 5 UU Perbankan, bank dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a.
Bank Umum: bank yang melaksanakan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan
Prinsip
Syariah
yang
dalam
kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. b.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR): bank yang melaksanakan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
c.
Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu tersebut dapat berupa kegiatan pembiayaan jangka
panjang,
pembiayaan
untuk
pengembangan
koperasi,
pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembangan ekspor nonmigas, dan pengembangan pembangunan perumahan.26 Selain tiga jenis bank di atas yang dibagi menurut fungsinya, bank juga dibedakan menurut bentuk badan usahanya sebagai berikut: a.
Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perusahaan Daerah.
26
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit., h. 149.
33
b.
Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan Terbatas, atau bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.27 Menurut kegiatan usaha, jenis kelembagaan bank dapat dibedakan atas:
a.
Bank Konvensional: bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. 1) Bank Umum Konvensional adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum Konvensional menjalankan dual banking system dalam kegiatannya yaitu sistem konvensional dan sistem syariah. 2) Bank Perkreditan Rakyat adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b.
Bank Syariah: bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 1) Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas.28
27 28
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit.,h. 150. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit.,h. 151.
34
Pembagian jenis-jenis bank ini penting karena setiap jenis bank memiliki kegiatan usahanya masing-masing yang telah diatur oleh peraturan perundangundangan dan juga memiliki kegiatan usaha yang dilarang untuk dilakukan.
2.
Pihak Nasabah Bank Menurut Pasal 1 angka 16 UU Perbankan, “nasabah adalah pihak yang
menggunakan jasa bank”. Nasabah ini dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Pasal 1 angka 17 UU Perbankan menyatakan, “nasabah penyimpanadalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. Dan dalam Pasal 1 angka 18 UU Perbankan berisikan pengertian nasabah debitur, yaitu “nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. Dilihat dari dua jenis nasabah tersebut, nasabah debitur adalah pihak yang dapat menjadi debitur dalam perjanjian kredit. Yang dapat menjadi nasabah debitur adalah perorangan dan perusahaan perorangan; badan usaha dan badan hukum. a. Perorangan dan Perusahaan Perorangangan Perorangan dan perusahaan perorangan memiliki perbedaan dimana perorangan adalah orang yang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan perusahaan perorangan dalam melakukan
35
perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya untuk dan atas namanya sendiri maupun untuk dan atas nama perusahaannya.29 1) Perorangan Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan beberapa golongan yang tidak cakap dalam membuat persetujuan, termasuk juga untuk perjanjian kredit. Golongan-golongan ini diwakili atau dalam melakukan perbuatan hukum dibantu oleh orang lain. Mereka adalah: a.
Orang yang masih di bawah umur: Pasal 330 KUH Perdata menyebutkan orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin dianggap sebagai orang yang belum dewasa.
b.
Orang yang tidak sehat pikirannya/gila, pemabuk, dan pemboros: Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap, ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang
cakap
menggunakan
pikirannya.
Seorang
dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan. c.
Orang perempuan dalam status pernikahan: pada Pasal 105, 108, 110 KUH Perdata dinyatakan bahwa seorang istri tidak boleh hadir di muka hakim tanpa bantuan suaminya. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk memberi bantuan kepada istrinya atau menghadap untuknya di muka hakim. Seorang istri
29
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 26.
36
juga
tidak
boleh
menghibahkan
barang
sesuatu,
atau
memindahtangankan, atau memperolehnya, baik dengan cumacuma maupun atas beban tanpa akta atau dengan izin tertulis dari suaminya.30
2) Perusahaan Perorangan Perusahaan Perorangan adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perorangan yang bukan berbadan hukum, dapat berbentuk perusahaan dagang, perusahaan jasa, dan perusahaan industri.31 Secara resmi, perusahaan perorangan ini tidak ada, namun dalam praktiknya bentuk perusahaan perorangan yang ada di dalam masyarakat adalah perusahaan dagang.32 Tata cara pendirian perusahaan dagang secara resmi belum ada, tapi dalam praktiknya, apabila ingin mendirikan perusahaan dagang dapat mengajukan permohonan dengan Surat Izin Usaha (SIU) kepada kantor wilayah perdagangan dan mengajukan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) kepada pemerintah daerah setempat. Kedua surat izin tersebut akan menjadi bukti hukum sahnya usaha yang dijalankan oleh pengusaha dagang. Sebagai perusahaan, pengusaha dagang memiliki kewajiban
30
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 27. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2007, Hukum dalam Ekonomi, Edisi II, Grasindo, Jakarta, h. 50. 32 Ibid. 31
37
untuk membuat catatan keuangan dan membayar pajak restribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b.
Badan Usaha dan Badan Hukum Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha atau kegiatan
perusahaan. Dilihat dari sudut hukumnya, badan usaha itu dibagi menjadi badan usaha berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut “Rechtsperson”, berarti person (orang) yang diciptakan oleh recht (hukum). Badan hukum dapat memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia, bahkan juga dapat memiliki kekayaan sendiri.33 1) Badan Usaha yang Berbadan Hukum Badan usaha yang berbadan hukum yang paling sering menjadi debitur bank, adalah: Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan. a.
Perseroan Terbatas (PT) Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas), “perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.”
33
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 35.
38
Untuk melakukan perjanjian kredit, perlu diketahui siapa perwakilan dari Perseroan Terbatas yang bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas yang bersangkutan.Menurut Pasal 98 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, “direksi mewakili perseoran baik di dalam maupun di luar pengadilan.”Direksi mewakili segala hal dan dalam segala kejadian, mengikat perseroan dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan, serta menjalankan segala tindakan, baik yang mengenai pengurusan maupun pemilikan, akan tetapi dengan pembatasan bahwa untuk: 1.
Meminjam atau meminjamkan uang atas nama perseroan (tidak termasuk mengambil uang perseroan di bank-bank);
2.
Membeli, menjual, atau dengan cara lain apa pun melepas hak-hak atas harta tetap dan perusahaan-perusahaan atau memberati harta kekayaan perseroan;
3.
Mengikat perseroan sebagai penjamin;
4.
Mendirikan suatu usaha baru.34
Direksi yang melakukan hal-hal yang disebut di atas memerlukan persetujuan atau surat-surat yang bersangkutan yang ditandatangani oleh seorang anggota komisaris. Begitu juga dalam hal berhutang kepada bank, direksi perlu mendapat persetujuan dari komisaris untuk melakukan perbuatan hukum tersebut.
34
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 46.
39
b.
Koperasi Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (selanjutnya disebut UU Perkoperasian), “koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.” Koperasi yang menjadi debitur dalam perjanjian kredit, untuk persyaratan legalitasnya tidak perlu menunggu pengumuman di Berita Negara Republik Indonesia, karena menurut Pasal 9 UU Perkoperasian, “koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannyadisahkan oleh pemerintah.” Apabila koperasi yang menjadi debitur dalam perjanjian kredit dibubarkan, baik karena keputusan rapat anggota atau keputusan pemerintah, perlu ada pemberitahuan secara tertulis kepada seluruh kreditur yang menyebutkan: nama dan alamat penyelesai, serta ketentuan pengajuan tagihan oleh kreditur. Selama kreditur belum menerima pemberitahuan pembubaran tersebut, maka pembubaran koperasi belum berlaku baginya.35
35
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 88-89.
40
c.
Yayasan Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan), “yayasan adalah badan hukum
yang
terdiri
atas
kekayaan
yang
dipisahkan
dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.” Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan bahwa “pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan.” Walaupun disebutkan seperti itu,wewenang pengurus yayasan timbul dari anggaran dasar. Pasal 37 ayat (2) UU Yayasan menegaskan, “anggaran dasar dapat membatasi wewenang pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan.” Pembatasan tersebut dilakukan dengan persyaratan apabila pengurus akan melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan, diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari pembina dan/atau pengawas.36 Bank perlu meneliti kewenangan pengurus untuk bertindak keluar mewakili yayasan di dalam akta pendirian atau anggaran dasar yayasan yang bersangkutan.
36
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 102.
41
2) Badan Usaha yang Tidak Berbadan Hukum Badan usaha yang tidak berbadan hukum yang pada umumnya menjadi debitur dalam perjanjian kredit adalah Perseroan Firma atau Fa dan Perseroan Komanditer atau CV. a.
Perseroan Firma Menurut Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(selanjutnya disebut KUH Dagang), “perseroan firma adalah suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah satu nama bersama.” Mengenai tanggung jawab terhadap perwakilan perseroan firma, menurut Pasal 17 dan Pasal 18KUH Dagang, setiap persero berhak melakukan perbuatan hukum ke luar, sehingga suatu perikatan yang dilakukan oleh seorang persero akan mengikat seluruh persero lainnya secara tanggung renteng.Apabila suatu perseroan firma bubar, perlu diketahui bagaimana penyelesaian hutangnya dan siapa yang bertanggung jawab, berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui: 1.
Bila perseroan firma bubar, penyelesaian hutangnya akan diselesaikan oleh tim pemberes perseroan.
2.
Bila perseroan firma bubar, tidak akan menghilangkan tanggung jawab setiap persero secara pribadi dan secara tanggung renteng bila kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi hutang.
42
3.
Bila
perseroan
firma
bubar,
perlu
didaftarkan
di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, jika belum didaftarkan, pembubaran tersebut tidak akan berlaku bagi pihak ketiga.37
b.
Perseroan Komanditer Pengertian Perseroan Komanditer yang dikemukakan oleh Prof.
Subekti adalah suatu perseroan, di mana seseorang atau beberapa orang persero tidak turut campur dalam pengurusan atau pimpinan perseroan, tetapi hanya memberikan suatu modal saja. Perseroan komanditer memiliki dua macam persero, yaitu sekutu komplementer dan sekutu komanditer.Sekutu komplementer adalah orang yang bersedia memimpin pengaturan perusahaan dan bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya. Sedangkan sekutu komanditer adalah sekutu yang mempercayakan uangnya dan bertanggung jawab terbatas pada kekayaan yang diikutsertakan dalam perusahaan tersebut.38 Sekutu komanditer mendapat keuntungan dan juga menanggung kerugian perseroan, namun tanggung jawabnya terbatas, hanya sejumlah modal yang ia berikan di dalam perjanjian. Sekutu komanditer tidak diperbolehkan untuk menjalankan perusahaan.
37 38
h. 66-67.
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 115. M. Fuad et. al., 2006, Pengantar Bisnis, Cet. V, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
43
Dilihat dari larangan sekutu komanditer untuk menjalankan perusahaan, maka sekutu komplementer bertindak sebagai pengurus perseroan yang bertanggung jawab melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama perseroan.
3.
Obyek Hukum dalam Perjanjian Kredit Obyek dalam suatu perjanjian merupakan salah satu syarat sahnya
perjanjian. Obyek atau yang disebut juga dengan prestasi merupakan sesuatu yang disepakati di dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban dari debitur yang akan menjadi hak kreditur. Prestasi ini dapat berupa perbuatan yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Menurut Pasal 499 KUH Perdata, obyek hukum adalah benda. Benda yang dimaksud sebagai obyek hukum adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.Benda dapat dibagi menjadi dua, yaitu benda yang bersifat kebendaan dan benda yang bersifat tidak kebendaan.39 Dilihat dari rumusan pengertian kredit yang disebutkan pada Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, perjanjian kredit memiliki dasar yang sama dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga memiliki arti luas dimana obyeknya adalah benda yang dapat habis dipakai yang dalam perjanjian kredit berupa uang.40
39 40
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, op.cit., h. 10. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit., h. 314.
44
Pihak pertama dalam perjanjian pinjam meminjam akan menyerahkan sejumlah benda yang dapat habis dipakai kepada pihak kedua dan pihak kedua akan mengembalikan benda sejenis kepada pihak pertama dengan jumlah dan keadaan yang sama. Hal ini sesuai dengan perjanjian kredit dimana kreditur menyerahkan sejumlah kredit kepada debitur, dan debitur akan mengembalikan hutangnya bersama bunga.
2.1.3. Bentuk dan Fungsi Perjanjian Kredit KUH Perdata menyebutkan bahwa untuk membuat suatu perjanjian wajib ada kata sepakat kedua belah pihak yang dapat berbentuk isyarat, lisan, dan tertulis. Perjanjian bentuk tertulis dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta autentik. Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit dapat dilakukan baik dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.41 a.
akta di bawah tangan: adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Akta di bawah tangan juga tidak memerlukan saksi.42
b.
akta autentik: adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.43
Perjanjian kredit berfungsi sebagai pedoman bank untuk perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dalam pemberian kredit yang
41
Tan Kamello, op.cit., h. 18. H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 184. 43 H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 185. 42
45
dilakukan oleh bank, agar menghindari kerugian untuk bank dan menjamin kepentingan nasabah penyimpan dana. Menurut Ch. Gatot Wardoyo dalam tulisannya “Sekitar Klausula-Klausula Perjanjian Kredit Bank”, fungsi perjanjian kredit adalah meliputi sebagai berikut: a.
perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai perjanjian pokok, dimana perjanjian kredit mempengaruhi batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, seperti perjanjian pengikatan agunan.
b.
perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai tolak ukur hak dan kewajiban bagi kreditur dan debitur.
c.
perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai sarana untuk memonitoring penggunaan kredit.44
2.1.4. Pengertian Kredit Macet dan Wanprestasi Kegiatan penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank rentan mengalami resiko yang akan merugikan bank apabila kredit yang telah disalurkan tidak dikembalikan sesuai dengan jumlahnya oleh debitur. Resiko penyaluran kredit ini dapat disebabkan oleh kredit macet dan wanprestasi. 1.
Kredit Macet Kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya memiliki kemungkinan
untuk tidak berjalan lancar. Keadaan inilah yang sering disebut dengan kredit bermasalah. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai
44
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit.,h. 321.
46
potensi menjadi macet. Kredit macet adalah kredit bermasalah, tetapi kredit bermasalah belum atau tidak seluruhnya menjadi kredit macet.45 Keadaan kredit bermasalah dan kredit macet dapat dilihat dari kolektibilitas kreditnya. Kolektibilitas adalah ketepatan pembayaran kembali angsuran kredit dan bunga kredit oleh debitur beserta perkiraan kapan diterimanya dana tersebut. Cara menentukan kolektibilitas kredit ini dengan melakukan penilaian terhadap Kualitas Aktiva Produktif (KAP). Seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kredit macet, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa keadaan internal dari usaha debitur yang bersangkutan, sedangkan faktor ekstrernal adalah kondisi ekonomi secara keseluruhan yang di luar kendali debitur. Pengamanan terhadap resiko kredit macet yang dapat dilakukan oleh bank adalah dengan mewajibkan pemberian jaminan dari debitur baik jaminan utama maupun jaminan tambahan. Dengan jaminan ini, bank memiliki posisi yang lebih menguntungkan dimana bank dapat meminta jaminan yang memiliki nilai yang cukup untuk menutup jumlah kredit yang diberikan. Bank juga mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pengikatan jaminan secara sempurna untuk mengamankan kredit yang disalurkan karena pada umumnya kredit tidak akan cair apabila persyaratan mengenai jaminan dan pengikatannya belum selesai.
45
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 329.
47
2.
Wanprestasi Perjanjian kredit merupakan dasar hukum bagi kreditur dan debitur dalam
kegiatan penyaluran dan penerimaan kredit. Prestasi di dalam perjajian kredit adalah pembayaran hutang debitur beserta bunganya kepada kreditur, dimana sebelumnya kreditur telah menyerahkan sejumlah dana kepada debitur. Dalam pemenuhan prestasi tersebut, ada kemungkinan debitur tidak membayar angsuran yang semestinya dia bayarkan pada waktu yang ditentukan, dan hal inilah yang disebut wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.46Wujud wanprestasi dapat berupa tidak melakukan hal yang disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan hal tidak sebagaimana yang diperjanjikan, terlambat melakukan hal yang diperjanjikan, dan melakukan sesuatu yangmenurut perjanjian tidak boleh dilakukan.47Debitur dinyatakan wanprestasi apabila telah disomasi/ditegur oleh kreditur. Langkah awal pemberian somasi, kreditur akan mengirimkan surat teguran kepada debitur yang berisikan batas waktu untuk pemenuhan prestasi yang telah diperjanjikan. Apabila sampai lewat batas waktu yang ditentukan, debitur tidak mengindahkan somasi dari kreditur, pada saat itu debitur dinyatakan wanprestasi.Apabila debitur telah ditetapkan melakukan wanprestasi, hal ini akan menimbulkan akibat hukum terhadap debitur.
46
Salim H.S., op.cit., h. 98. Much. Nurachmad, 2010, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cet. I, Visimedia, Jakarta, h. 20-21. 47
48
Pasal 1236 KUH Perdata menyebutkan, “debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaikbaiknya untuk menyelamatkannya.” Dan Pasal 1239 KUH Perdata mengaskan, “tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, apabila debitur telah dinyatakan wanprestasi, debitur dapat dituntut untuk memenuhi prestasinya beserta ganti biaya, ganti rugi, dan bunga. Bila debitur tetap tidak mau atau tidak mampu untuk memenuhi perjanjian kredit tersebut, kredit debitur akan digolongkan menjadi kredit macet, dan bank dapat menggugat debitur melalui Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi.
2.2.
Tinjauan Umum tentang Pengikatan Agunan terhadap Hak atas Tanah beserta Bangunan
2.2.1. Pengertian Pengikatan Agunan terhadap Hak atas Tanah dan Bangunan beserta Dasar Hukumnya Tanah dan bangunan merupakan benda yang lazim digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit. Pasal 1 angka 23 UU Perbankan menyebutkan bahwa, “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.” Tanah dan bangunan termasuk ke dalam jaminan
49
benda berwujud yang tidak bergerak yang dapat dijadikan agunan, bersama dengan kapal berukuran 20 m3 dan mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pengikatan agunan adalah pembebanan hak jaminan yang diberikan oleh nasabah debitur kepada bank sebagai penjamin dari kredit yang telah diterima debitur. Pengikatan terhadap hak atas tanah beserta bangunan sebagai agunan kredit dapat dilakukan dengan melalui lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan. Hak tanggungan merupakan pengganti dari lembaga hipotik dan credietverband. Dahulu, ketentuan pembebanan hak atas tanah terdapat pada Bab 21 Buku II KUH Perdata untuk hipotik dan Staatsblad 1908-542 yang telah diubah menjadi Staatsblad 1937-190 untuk credietverband.Namun kedua peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi sekarang. Hak tanggungan memiliki undang-undang khusus yang mengaturnya yaitu UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Terbentuknya undang-undang ini berasal dari Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UU Pokok Agraria) yang berbunyi, “hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 dengan Undang-Undang.” Berdasarkan Pasal 1 UU Hak Tanggungan, “hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
50
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang terterntu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” Arti dari hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah adalah hak penguasaan terhadap tanah yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, dan kreditur memiliki wewenang untuk menjual lelang tanah yang secara khusus telah ditunjuk untuk menjadi agunan piutang kreditur apabila debitur cedera janji atau wanprestasi. Keseluruhan atau setengah hasil dari penjualan tanah tersebut akan digunakan kreditur untuk menutupi hutang debitur yang tidak terbayarkan. 48
2.2.2. Asas-asas Hak Tanggungan Hak tanggungan memiliki asas-asas yang dapat dilihat dari isi pasal-pasal UU Hak Tanggungan. a.
Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur pemegang hak tanggungan, terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
b.
Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
c.
Hak tanggungan dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada, terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan.
d.
Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan
48
Salim H.S., 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Edisi I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S. II), h. 96.
51
dengan tanah tersebut, terdapat dalam Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan. e.
Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda lain yang bersangkutan dengan tanah yang akan ada di kemudian hari dengan syarat dinyatakan secara tegas di dalam akta pemberian hak tanggungan, terdapat dalam Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan.
f.
Perjanjian hak tanggungan bersifat tambahan atau accessoir, terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
g.
Hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang baru akan ada, terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
h.
Hak tanggungan dapat diberikan untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum, terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) UU Hak Tanggungan.
i.
Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada, terdapat dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan.
j.
Hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.
k.
Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu, terdapat dalam Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
l.
Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, terdapat dalam Pasal 13 UU Hak Tanggungan.
52
m. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan bersifat mudah dan pasti yang dapat meringankan beban kreditur untuk segera mendapatkan dana untuk menutupi hutang debitur. n.
Pembebabanan hak tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu, terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan.49
2.2.3. Subyek dan Obyek Hukum Hak Tanggungan 1.
Subyek Hukum Hak Tanggungan Subyek hukum hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan
pemegang hak tanggungan.Menurut Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan, “pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.”Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) UU Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat melakukan pendaftaran hak tanggungan. Pengertian pemegang hak tanggungan terdapat pada Pasal 9 UU Hak Tanggungan, “pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.”Sama seperti dengan pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dapat berupa perseorangan atau badan hukum.
49
Ibid., h. 102-103.
53
Selain Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing memungkinkan untuk menjadi subyek hak tanggungan apabila telah memenuhi syarat. Warga Negara Asing atau badan hukum asing ini tidak diharuskan untuk berkedudukan di Indonesia. Perjanjian kredit yang menimbulkan hubungan hutang-piutang ini dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri selama kredit yang bersangkutan digunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia, hal ini dinyatakan pada Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan.Dalam perjanjian kredit dan pengikatan agunannya, pemberi hak tanggungan adalah debitur yang berhutang atau yang meminjam kredit di bank, sedangkan penerima hak tanggungan adalah bank sebagai kreditur, sebagai pihak yang berpiutang yang meminjamkan dana kepada debitur.
2.
Obyek Hukum Hak Tanggungan Hak tanggungan merupakan pembebanan hak jaminan terhadap hak atas
tanah.Hal
ini
menjadikan hak atas tanah
sebagai
obyek dalam
hak
tanggungan.Hak atas tanah ini diatur dalam Pasal 4 UU Pokok Agraria. Pasal 4 ayat (2) UU Pokok Agraria menyebutkan, “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.” Dan untuk obyek hak tanggungan diatur dari Pasal 4 sampai Pasal 7 UU Hak Tanggungan.
54
Menurut UU Hak Tanggungan, jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggunggang adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, danhak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Jenis-jenis hak tanah yang dapat dibebankan hak tanggungan: a.
Hak milik: hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
b.
Hak guna usaha: hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan, dan diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit lima hektar, hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
c.
Hak guna bangunan: hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang kemudian dapat diperpanjang atas permintaan pemegang hak dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
d.
Hak pakai: hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemiliknya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
55
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UU Pokok Agraria. e.
Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan
yang
merupakan
milik
pemegang
hak
atas
tanah
yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.50 Suatu obyek hak tanggungan dapat digunakan untuk menjamin lebih dari satu hutang.Jika suatu obyek hak tanggungan dibebankan pada lebih dari satu hutang, maka peringkat hak tanggungan dilihat dari tanggal pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Apabila ada hak tanggungan yang didaftarkan di tanggal yang sama di Kantor Pertanahan, peringkat hak tanggungannya akan ditentukan dari pembuatan akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Pemegang hak tanggungan pertama memiliki hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum apabila debitur wanprestasi, dan kemudian mengambil pelunasan hutang debitur dari hasil penjualan obyek hak tanggungan tersebut.
2.2.4. Ciri-ciri Hak Tanggungan Hak tanggungan memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk ikatan jaminan kebendaan lainnya. Berikut adalah ciri-ciri dari hak tanggungan:
50
H.R. Daeng Naja, op.cit., h. 216.
56
a.
Pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atau didahulukan yang sering disebut dengan droit de preference.
b.
Hak tanggungan selalu mengikuti obyek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau dikenal dengan droit de suit. Ciri ini disebutkan dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan. Walaupun obyek hak tanggungan telah berpindah ke tangan pihak ketiga, pemegang hak tanggungan masih memilik hak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum apabila pemberi hak tanggungan melakukan wanprestasi.
c.
Hak tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas yang dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
d.
Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti.
e.
Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, obyek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan,
sebelum
pemegang
hak
tanggungan
mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan obyek hak tanggungan.51
51
Salim H.S. II, op.cit., h. 98.
57
2.3.
Tinjauan Umum tentang Hubungan antara Perjanjian Kredit dan Pengikatan Agunannya
2.3.1. Pengertian Perjanjian pada Umumnya Pengertian perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lain.” Menurut Prof. Subekti, S.H., suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.52 Di Indonesia, mengenal asas kebebasan berkontrak untuk siapa saja yang ingin membuat perjanjian, menentukan sendiri isi ketentuan-ketentuan dari perjanjian selama perjanjian yang dibuatnya tersebut tidak melanggar undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dan apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian yang dibuat tersebut, akan digunakan pasal-pasal tentang perjanjian yang terdapat pada KUH Perdata.53 Perjanjian mengikat kedua belah pihak yang bersangkutan. Menimbulkan hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan menimbulkan kewajiban bagi pihak yang lain untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut disebut dengan kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan adalah debitur. Perjanjian akan berlaku selayaknya undangundang bagi para pembuatnya, hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
52
H.R. Daeng Naja, op.cit., h.175. Yuniman Rijan dan Ira Koesoemawati, 2009, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak dan Surat Penting Lainnya, Cet. I, Raih Asa Suskes, Jakarta, h. 6. 53
58
Perjanjian memiliki beberapa jenis, ada perjanjian menurut sumber hukumnya; perjanjian menurut namanya; perjanjian menurut bentuknya; perjanjian timbal balik; perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani; perjanjian berdasarkan sifatnya; dan perjanjian dari aspek larangannya.54 Dilihat dari perjanjian menurut bentuknya, dibagi lagi menjadi perjanjian lisan dan perjanjian tertulis. Perjanjian lisan dibagi menjadi perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Sedangkan perjanjian tertulis dibagi menjadi bentuk akta di bawah tangan dan akta notaris. Di samping itu, dikenal juga perjanjian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar adalah perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian standar atau yang juga disebut dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainya dan mengikat pihak lain. Pihak lain ini tidak dapat mengubah ketentuan-ketentuan yang terdapat pada perjanjian baku ini.55 Kaitannya dengan perjanjian kredit bank, perjajian kredit bank dapat dikategorikan sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Ini terlihat dari klausul-klausul perjanjian kredit bank yang telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir, namun tidak terikat dalam bentuk tertentu. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat perjanjian kredit telah dibakukan oleh pihak bank. Calon debitur
54 55
Salim H.S. I, op.cit., h. 27-30. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit., h. 322.
59
hanya perlu menyetujui isi perjanjian kredit tersebut, debitur tidak dapat melakukan tawar-menawar terhadap syarat-syarat yang diberikan dalam perjanjian kredit. Ada hal yang dapat dinegosiasikan oleh calon debitur yang menyangkut jumlah, jangka waktu, bunga, dan cara pembayaran kredit.
2.3.2. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir Perjanjian memiliki berbagai macam jenis. Dikenal perjanjian berdasarkan sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang utama, perjanjian pinjam-meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan.Sedangkan perjanjian accessoir adalah perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan.56 Pemberian kredit oleh bank selalu diikuti dengan pemberian agunan oleh debitur. Agunan ini merupakan jaminan dari pihak debitur apabila di hari mendatang ia tidak mampu untuk membayar hutangnya. Pemberian agunan oleh debitur ini dilakukan dengan perjanjian yang disebut dengan perjanjian pengikatan agunan. Perjanjian pengikatan agunan ini bersifat tambahan atau accessoir, artinya perjanjian pengikatan agunan tergantung pada keberadaan perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian kredit dibuat terlebih dahulu baru kemudian diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan. Untuk mengamankan agunan yang dijaminkan, penting untuk melakukan pengikatan agunan. Walaupun pengikatan agunan merupakan perjanjian
56
Salim H.S. I, loc.cit.
60
tambahan, namun pengikatan agunan itu dilaksanakan sekuat dan sesempurna mungkin.57 Karena dengan mengikat agunan secara kuat dan melalui proses sesuai yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, harga agunan tersebut akan lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh harga likuidasi yang biasanya lebih rendah. Dan juga akan menimbulkan rasa aman untuk pihak ketiga yang membeli obyek agunan.58 Hal-hal yang membuat perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok memiliki hubungan dengan perjanjian pengikatan agunan sebagai perjanjian accessoir: a. Tidak ada perjanjian accessoir tanpa didahului dengan perjanjian pokok. b. Bila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian accessoir juga berakhir. c. Perjanjian accessoir mengikuti peralihan perjanjian pokok apabila perjanjian pokok dialihkan. d. Bila perutangan pokok karena cessi, subrogasi, maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus. e. Bila perjanjian pokok batal, maka perjanjian accessoir juga batal.59 Perjanjian pokok yang berakhir karena hutang telah dilunasi atau karena alasan lainnya, menyebabkan perjanjian accessoirnya juga berakhir. Namun apabila perjanjian pengikatan agunannya cacat atau batal karena suatu sebab
57
Gunarto Suhadi, 2007, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Cet. V, Kanisius, Yogyakarta, h. 89. 58 Ibid., h. 94. 59 Ashibly, 2011, “Hukum Jaminan: Jaminan dan Golongannya”, URL: http://ashibly.blogspot.com/2011/11/hukum-jaminan.html, diakses tanggal 17 Pebruari 2015.
61
hukum, atau seperti obyek agunan musnah, atau ternyata pemberi agunan tidak mempunyai hak untuk menjaminkan obyek agunan, maka perjanjian pokok tetap ada, dan debitur tetap membayar hutangnya.60
60
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 140.