23
BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT, WANPRESTASI, DAN HAK TANGGUNGAN 2.1
Perjanjian Kredit 2.1.1
Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu pesetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur pada Buku ke III pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jadi suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu yang berupa menyerahkan sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu. Perjanjian juga diartikan sebagai suatu hubungan antar dasar hukum kekayaan antara dua pihak atau lebih dimana pihak satu berkewajiban memberi suatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu.19
19
H.Mashudi dan Moch. Chidir Ali,2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, h.35.
24
Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.20 Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin, Credere, yang berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada debitur adalah kepercayaan. 21 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman hingga batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan bahwa kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. 20
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Alumni,Bandung,(selanjutnya disebut Subekti II),h.1. Hermansyah,op.cit, h. 57.
21
25
Perjanjian kredit merupakan hubungan hukum kontraktual antara bank dan pihak lain berdasarkan atas sepakat, dimana bank menyerahkan uang atau tagihan dan mewajibkan pihak lain untuk mengembalikannya
dengan
jangka
waktu
tertentu
disertai
pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. R. Subekti berpendapat dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769. Ketentuan Pasal 1754 berbunyi : “Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Pendapat yang sama dikemukakan Marhainis Abdul Hay menyatakan bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam mengganti dan dikuasai oleh ketentuan bab XIII Buku III KUHPerdata.22 Berbeda halnya dengan Mariam Darus Badrulzaman yang berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “perjanjian 22
Marhainis Abdul Hay,1975,Hukum Perbankan di Indonesia,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h.67.
26
pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan keduanya. “Penyerahan uangnya” sendiri, adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.23 Jadi dapat dikatakan perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.24 Dilihat
dari
bentuknya,
perjanjian
kredit
perbankan
menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Dalam praktik di perbankan bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.
23
Apabila
menerima
debitur
akan
Mariam Darus Badrulzaman,1991,Perjanjian Kredit Bank,PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,h.32. 24 Hermansyah, loc.cit.
bersedia
27
menandatanganinya dan sebaliknya jika menolak debitur tidak perlu menandatanganinya. Pada perjanjian kredit terdapat hak dan kewajiban masingmasing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan oleh bank, serta diatur mengenai sanksi apabila debitur tidak memenuhi prestasinya dalam perjanjian kredit tersebut.25 2.1.2
Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal ini merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya sehingga dari perjanjian tersebut nantinya akan menimbulkan suatu perikatan. Suatu
perjanjian
hanya
mengikat
pihak-pihak
yang
mengadakan perjanjian itu sendiri atau dengan kata lain tidak mengikat pihak lainnya. Perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Para pihak dalam perjanjian kredit pada dasarnya hanya dua, yaitu pihak kreditur yaitu bank dan pihak debiturnya adalah nasabah. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari 25
Kasmir,2003,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya,Edisi Keenam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.93.
28
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kemudian Nasabah menurut Undang-Undang Perbankan merupakan pihak yang menggunakan jasa bank, nasabah penyimpanan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan,
dan
nasabah
debitur
adalah
nasabah
yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Adapun pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kredit adalah sebagai berikut : a. Kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah Bank atau lembaga pembiayaan yaitu pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur. b. Debitur (penerima kredit) yaitu pihak yang meminjam atau menerima pinjaman dari kredit baik itu individu ataupun badan hukum. 2.1.3
Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Perjanjian yang sah merupakan perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menurut Pasal 1320
29
KUHPerdata syarat sah perjanjian meliputi dua hal, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif yaitu : 1) Syarat Subjektif Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian. Syarat subjektif perjanjian meliputi, antara lain : a.
Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian.
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan disini berarti kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap atau wenang adalah orang dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah).
30
2) Syarat Objektif Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian. Syart objektif perjanjian meliputi, antara lain : a.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang obyek
perjanjian.
Setiap
perjanjian
harus
mempunyai objek tertentu, objek perjanjian yang dimaksud terdapat di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata, yaitu yang pertama adalah tentang objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). b.
Suatu sebab yang halal Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan, dan ketertiban umum dan sebagainya. Undang-undang tidak memberikan pengertian
mengenai
“sebab”
(oorzaak,causa).
31
Menurut Abdulkadir Muhammad, sebab adalah suatu
yang
perjanjian,
menyebabkan
yang
mendorong
orang
membuat
orang
membuat
perjanjian. Tetapi yang dimaksud cauza yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.26 Menurut R. Subekti, menyatakan bahwa berdasarkan undang-undang dan peraturan, syarat suatu perjanjian sangat diperlukan dan ditentukan oleh berbagai keadaan yang ditentukan berdasarkan hukum, seperti syarat sahnya suatu perjanjian kejelasan benda atau perbuatan yang diperjanjikan serta mereka dalam kedaan cakap untuk melakukan persetujuan atau perjanjian menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti keadaan senyatanya dari pihak yang melakukan perjanjian yang merupakan kondisi objek obyektif, bahwa mereka diakui secara hukum dan memenuhi aturan serta norma lainnya sesuai dengan norma agama, norma adat, dan norma susila lainnya yang berlaku dimana perjanjian itu dilakukan.27 Perjanjian kredit bank antara pihak kreditur dan pihak debitur harus memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
26
Abdulkadir Muhammad,1990, Hukum Perikatan,Cet. II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), h.94. 27 Subekti II,op.cit, h.98.
32
2.1.4
Asas-Asas Perjanjian Kredit Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas penting yang merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya juga dalam perjanjian kredit, dimana asas-asas ini merupakan pedoman dari masing-masing pihak dalam mencapai tujuannya, adapun asas yang dijadikan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yaitu : 1. Asas Konsensualisme Asas
konsensualisme,
artinya
bahwa
suatu
perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan.28 Berdasarkan Pasal 1320 Ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang 28
h.78.
Salim H.S,2001,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta,
33
dibuat secara lisan didasarkan pada asas bahwa “manusia itu dapat dipegang multnya”, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. 2. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda,29 berhubungan dengan akibat
dari
perjanjian.
Pasal
1338
KUHPerdata
menyebutkan: Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan dengan iktikad baik.
harus
dilaksanakan
Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah. Pertama istilah “semua perjanjian” berarti bahwa pembentuk
undang-undang
menunjukkan
bahwa
perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama. Kedua, istilah “secara sah”, artinya bahwa pembentuk
undang-undang
menunjukkan
bahwa
pembuatan perjanjian harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undangundang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepasatian hukum. Ketiga, istilah “iktikad baik”, hal ini 29
Ibid,h.158.
34
berarti member perlindungan hukum pada debitur dan kedudukan
antara
seimbang.
Ini
kreditur
merupakan
dan
debitur
realisasi
menjadi
dari
asas
keseimbangan. 3. Asas Kebebasan Berkontrak Kebebasan berkontrak (freedom of making contract), adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran, dan hak asasi manusia. Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk, membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, dan menentukan
isi
perjanjian,
pelaksanaan,
dan
persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.30 Namun demikian menurut Abdulkadir Muhammad, berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal, yaitu : tidak dilarang oleh
undang-undang,
tidak
bertentangan
dengan
kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban
30
Ibid.
35
umum. 31 Dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan ini dapat saja tidak diikuti jika para pihak menghendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak ditentukan lain maka ketentuan undang-undang yang tetap berlaku. 2.1.5
Persetujuan Pemberian Kredit Ketentuan pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan dasar atau landasan bagi bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur. Lebih dari itu, karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari bank, maka dalam dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan menerapkan prinsip kehatia-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Maka dari itu untuk mencegah terjandinya kredit bermasalah dikemudian, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada formula 4P dan Formula 5C. 32
31 32
Abdulkadir Muhammad II,op.cit,h.84. Hermansyah,loc.cit..
36
a. Formula 4 P dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Personality. Dalam hal ini pihak bank mencari data secara lengkap mengenai kepribadian si pemohon kredit, anatara lain mengenai riwayat hidupnya, pengalamannya dalam beruaha, pergaulan dalam masyarakat, dan lain-lain. Hal ini diperlukan untuk menetukan persetujuan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit. 2) Purpose. Selain mengenai kepribadian (personality) dari pemohon kredit, bank juga harus mencari data tentang tujuan atau penggunaan kredit tersebut sesuai line of business kredit bank yang bersangkutan. 3) Prospect. Dalam hal ini bank harus melakukan analisis secara cermat dan mendalam tentang bentuk usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit. Misalnya
apakah
usaha
yang
dijalankanoleh
pemohon kredit mempunyai prospek di kemudian hari ditinjau dari aspek ekonomi dan kebutuhan masyarakat. 4) Payment. Bahwa dalam penyaluran kredit, bank harus
mengetahui
dengan
jelas
mengenai
kemampuan dari pemohon kredit untuk melunasi
37
utang kredit dalam jumlah dan jangka waktu yang ditentukan. b. Mengenai Formula 5 C dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Character. Bahwa calon nasabah debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat
kejujuran,
integritas,
dan
kemauan dari caon nasabah debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang sejenis. 2) Capacity. Yang dimaksud dengan capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan, yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu
yang
telah
ditentukan.
Pengukuran
kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiel, yaitu melakukan pendekatan terhadap keadaan neraca,
38
laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini, tentu dapat
diketahui
pula mengenai
tingkat
solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat riskonya. Pada umumnya yang menilai capacity seseorang didasarkan pada pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah debitur, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan usaha dengan persaingan lainnya. 3) Capital. Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi
modal
ditempatkan
oleh
pengusaha
tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. 4) Collateral. Merupakan jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari,
39
misalnya
terjadi
kredit
macet.
Jaminan
ini
diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik utang pokok maupun bunganya. 5) Condition of economic. Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sector usaha permohonan kredit perlu memperoleh
perhartian
dari
bank
untuk
memperkecul resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Berkaitan dengan prinsip pemberian kredit diatas, pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur berpedoman kepada dua prinsip, yaitu : a. Prinsip kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank mempunyai
kepercayaan
bahwa
kredit
yang
diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi hutang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan. b. Prinsip kehati-hatian (prudential principle). Bank dalam
menjalankan
kegiatan
usahanya,
termasuk
40
pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan. Untuk memperoleh kredit seorang debitur harus melakuan beberapa tahapan, yaitu tahap pengajuan aplikasi kredit sampai dengan
tahap
penerimaan
kredit.
Tahapan-tahapan
tersebut
merupakan suatu proses baku yang berlaku bagi setiap debitur yang membutuhkan kredit bank. Proses pemberian kredit oleh bank secara umum akan dijelaskan sebagai berikut ini. 1. Pengajuan Permohonan/Aplikasi Kredit Bahwa untuk memperoleh kredit dari bank, maka tahap pertama yang dilakukan adalah mengajukan permohonan atau aplikasi kredit kepada bank yang bersangkutan. Permohonan atau aplikasi kredit tersebut harus
dilampiri
dipersyaratkan.
dengan
dokumen-dokumen
yang
41
Dalam pengajuan permohonan atau aplikasi kredit oleh perusahaan sekurang-kurangnya memuat halhal sebagai berikut : a. Profil perusahaan beserta pengurusnya. b. Tujuan dan manfaat kredit. c. Besarnya kredit dan jangka waktu pelunasan kredit. d. Cara pengembalian kreditr e. Agunan atau jaminan kredit. Permohonan/aplikasi dilampirkan
dengan
kredit
tersebut
dokumen-dokumen
pendukung yang dipersyaratkan, yaitu : a. Akta pendirian perusahaan. b. Identitas (KTP) para pengurus. c. Tanda daftar perusahaan (TDP). d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) e. Neraca dan laporan rugi laba tiga tahun terakhir. f. Fotocopy sertifikat yang dijadikan jaminan. Sedangkan untuk permohonan/aplikasi kredit bagi perseorangan adalah sebagai berikut : a. Mengisi aplikasi kredit yang telah disediakan oleh Bank.
42
b. Tujuan dan manfaat kredit. c. Besarnya kredit dan jangka waktu pelunasan kredit. d. Cara pengembalian kredit. e. Agunan
atau
jaminan
kredit
(kalau
diperlukan) Permohonan/aplikasi
kredit
tersebut
dilengkapi dengan melampirkan semua dokumen pendukung yang dipersyaratkan, yaitu : a. Fotocopy identitas (KTP) yang bersangkutan. b. Kartu Keluarga (KK). c. Slip gaji yang bersangkutan. 2. Penelitian Berkas Kredit Setelah
permohonan/aplikasi
kredit
tersebut
diterima oleh bank, maka bank akan melakukan penelitian secara mendalam dan mendetail terhadap berkas aplikasi kredit yang diajukan. Apabila dari hasil penelitian yang dilakukan itu, bank berpendapat bahwa berkas aplikasi tersebut telah lengkap dan memenuhi syarat, maka bank akan melakukan tahap selanjutnya yaitu penilaian kelayakan kredit. Adapun apabila ternyata berkas aplikasi kredit yang diajukan
belum
lengkap
dan
belum
memenuhi
43
persyaratan yang ditentukan, maka bank akan meminta kepada pemohon kredit untuk melengkapinya. 3. Penilaian
Kelayakan
Kredit
(Study
Kelayakan
Kredit) Dalam tahap penilaian kelayakan kredit ini, banyak aspek yang akan dinilai, yaitu : a. Aspek Hukum. Yang dimaksud dengan aspek hukum disini adalah penilaian terhadap keaslian dan
keabsahan
diajukan
oleh
dokumen-dokumen pemohon
kredit.
yang
Penilaian
terhadap dokumen-dokumen tersebut dilakukan peleh pejabat atau lembaga yang berwenang untuk itu. b. Aspek pasar dan pemasaran. Dalam aspek ini yang akan dinilai adalah prospek usaha yang dijalankan oleh pemohon kredit untuk masa sekarang dan akan datang. c. Aspek keuangan. Dalam aspek ini yang dinilai dengan menggunakan analisis keuangan adalah aspek keuangan perusahaan yang dilihat dari laporan keuangan yang termuat dalam neraca dan laporan laba rugi yang dilampirkan dalam aplikasi kredit.
44
d. Aspek teknis/operasional. Selain aspek-aspek sebagaimana telah dikemukakan diatas, aspek lain yang juga dilakukan penilaian adalah aspek teknis atau operasional dari perusahaan yang mengajukan aplikasi kredit, misalnya mengenai lokasi tempat usaha, kondisi gedung, beserta sarana dan prasarana pendukung lainnya. e. Aspek manajemen. Penilaian aspek manajemen ini dalah untuk menilai pengalaman dari perusahaan
yang
memohon
kredit
dalam
mengelola kegiatan usahanya., termasuk sumber daya manusia yang mendukung kegiatan usahan tersebut. f. Aspek
sosial
ekonomi.
Untuk
melakukan
penilaian terhadap dampak dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh perusahaan yang memohon kredit khususnya bagi masyarakat baik secara ekonomis maupun sosial. g. Aspek AMDAL. Penilaian terhadap aspek AMDAL ini sangat penting karena merupakan salah
satu
persyaratan
pokok
untuk
beroperasinya suatu perusahaan. Oleh karena kegiatan usaha yang dijalankan oleh suatu
45
perusahaan pasti mempunyai dampak terhadap lingkungan baik darat, air, dan udara. 4. Keputusan Atas Permohonan Kredit Adanya Keputusan yaitu berarti berkenaan dengan wewenang yang dipegang oleh pejabat bank yang berhak untuk memberikan keputusan berupa menolak atau menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh debitur. Setiap keputusan permohonan kredit harus memperhatikan syarat-syarat berdasarkan analisis kredit. Keputusan atas permohonan kredit terdiri atas : a. Persetujuan Permohonan Kredit Yaitu Keputusan Bank untuk menyetujui atau mengabulkan permohonan kredit dari calon debitur. b. Penolakan Permohonan Kredit Yaitu Keputusan Bank untuk tidak mengabulkan permohonan kredit karena Bank menganggap betdasarkan analisis kredit tidak memenuhi persyaratan. 5. Pencairan Fasilitas Kredit Apabila Bank sudah menyetujui permohonan kredit yang diajukan calon debitur, maka selanjutnya ketahap pencairan kredit, dimana debitur akan melakukan
46
pengikatan kredit terlebih dahulu yang disertai dengan penyerahan jaminan berupa Sertifikat Hak Tanggungan. Jika pengikatan sudah dilakukan, kemudian debitur dapat menarik dana sesuai dengan jumlah kredit yang diberikan oleh Bank. 6. Pembayaran Fasilitas Kredit Pembayaran Fasilitas Kredit adalah dipenuhinya semua kewajiban utang dari debitur terhadap Bank berdasarkan perjanjian kredit yang berakibat hapusnya perikatan perjanjian kredit.
2.2
Wanprestasi 2.2.1
Pengertian Wanprestasi Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, masingmasing pihak diwajibkan untuk memenuhi segala apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut. Dalam perbuatan perjanjian maka akan melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang ikut serta dalam membuat perjanjian. Dengan dibuatnya perjanjian, maka
pihak
yang
mengadakan
perjanjian
secara
sukarela
mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan masing masing pihak. Jika dalam suatu perjanjian yang telah disepakati bersama, tetapi salah
47
satu pihak lalai memenuhi kewajibannya maka dapat menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu dimana debitur tidak dapat memenuhi suatu prestasinya. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga yaitu : 1. Memberikan Sesuatu, pengertian memberikan sesuatu menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda secara yuridis. Contoh : Sewamenyewa, jual-beli, hutang-piutang. 2. Untuk
berbuat
sesuatu,
terdapat
didalam
Pasal
1239
KUHPerdata berarti melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan. Contoh: Membuat patung. 3. Untuk tidak berbuat sesuatu, terdapat didalam Pasal 1239 KUHPerdata berarti tidak melakukan perbuatan seperti apa yang telah diperjanjikan. Jadi Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Dasar Hukum Wanprestasi yaitu : Pasal 1238 KUHPerdata : Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
48
Pasal 1243 KUHPerdata : Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan Pada dasarnya debitur dikatakan wanprestasi apabila : 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Terlambat memenuhi prestasi. 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik. Menurut J. Satrio Wanprestasi adalah dimana kreditur tidak memperoleh apa yang diperjanjikan oleh pihak lawan dan debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya.33 Wanprestasi menurut Handri Raharjo adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipermasalahkan. Tidak dipenuhinya kewajiban debitur tersebut dapat terjadi karena dua hal yaitu: 1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian. 2. Karena keadaan memaksa (force majour), di luar kemampuan debitur.34
33
J.Satrio,1995,Hukum Perikatan (Hukum yang lahir dari Perjanjian),PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h.314. 34 Handry Raharjo,2009,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,h.79.
49
Kemudian
A.
Ridwan
Halim
mengatakan
bahwa
wanprestasi adalah kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah dibuat.35 Dengan
demikian
wanprestasi
terjadi
apabila
tidak
dipenuhinya sesuatu yang telah diwajibkan sebagaimana apa yang telah
ditetapkan
dalam
perjanjian,
termasuk
lalai
dalam
memenuhinya. Sesuatu yang dikategorikan lalai adalah : 1. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali. 2. Terlamat memenuhi kewajibannya. 3. Memenuhinya tetapi tidak seperti apa yang telah diperjanjikan. Wanprestasi yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak mempunyai akibat hukum bagi pihak lainnya, oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan sejak kapan seseorang itu dikatakan wanprestasi. Sehingga perlu diperhatikan isi dari perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani bersama, beserta tenggang waktu yang telah ditentukan untuk pemenuhan prestasi. Jika dalam perjanjian ditentukan batas waktu, maka pemenuhan prestasi harus dilakukan sebelum batas waktu tersebut lewat, jika lewat dari batas waktu yang ditentukan makan pihak bersangkutan akan dilakukan peringatan agar memenuhinya.
35
A. Ridwan Halim,1982,Hukum Dalam Tanya Jawab,Gahlia Indonesia, Jakarta,h.158.
50
2.2.2
Faktor-Faktor Penyebab Wanprestasi Suatu perjanjian dapat berjalan normal sebagaimana apa yang telah diperjanjikan, apabila pihak-pihak yang terlibat didalamnya melaksanakan kewajiban yang sudah ditetapkan dalam perjanjian. Tetapi, pada waktu tertentu yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul suatu keadaan yang tidak diinginkan, sehingga perjanjian yang sudah ditetapkan sebagaimana mestinya tidak dapat berjalan dengan baik. Menurut Abdulkadir Muhammad faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah a.
Faktor dari luar Menurut Abdulkadir Muhammad, faktor dari luar adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat.
b.
Faktor dari dalam diri pihak Abdulkadir Muhammad menerangkan faktor dari dalam diri para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.36 Dalam
ranah
perbankan
debitur
yang tidak
dapat
melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan 36
Abdulkadir Muhammad,1992,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Dagang,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung ,(selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III),h.12.
51
dalam perjanjian kredit dapat dikatakan wanprestasi. Walaupun pihak bank atau kreditur sebelumnya telah menganalisis secara rinci calon debiturnya, tetapi tetap saja wanprestasi bisa terjadi. Adanya hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh pihak kreditur yang menyebabkan debitur tidak dapat membayar tunggakan kredit yang
diwajibkan
padanya.
Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi debitur melakukan wanprestasi antara lain : 1.
Penyalahgunaan kredit. Hal ini terjadi pada debitur yang tidak menggunakan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan utama yang tertera pada perjanjian kredit.
2.
Debitur memiliki itikad tidak baik. Dalam perjanjian kredit debitur yang meminjam kredit kepada pihak bank seharusnya dapat membayar pinjamannya tepat pada waktunya sesuai apa yang telah diperjanjikan dalam akad kredit. Tetapi ada sebagian debitur yang dengan sengaja mencoba menghindar bahkan hal terburuknya mencoba melarikan diri untuk lepas dari tanggung jawabnya untukmembayar kredit.
3.
Kegagalan usaha debitur. Adanya ketidakmampuan debitur dalam mengelola usahanya, sehingga produksi yang dihasilkan mengalami keterlambatan. Jika hal ini terus berlarut-larut pada usaha debitur, maka akan menjurus pada kerugian sehingga akan mempengaruhi pembayaran angsuran. Apabila hal
52
tersebut berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus, maka akan mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi oleh debitur kepada kreditur dan selanjutnya menjadi wanprestasi. 4.
Debitur mendapat musibah. Dalam hal ini terjadi hal yang tidak diduga sama sekali oleh pihak debitur dan kreditur, dimana debitur atau salah satu anggota keluarganya mengalami musibah baik dari faktor alam maupun berasal dari faktor manusia itu sendiri, yang akan membutuhkan biaya yang besar, sehingga debitur akan lebih mengutamakan kepentingan tersebut, daripada membayar angsuran kreditnya.
2.3
Hak Tanggungan 2.3.1. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.37 Pengertian Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 Butir 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah : "Hak Tanggungan atas tanah beserta benda - benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
37
Adrian Sutedi,op.cit,h. 7.
53
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda -benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur - Kreditur lain". Berdasarkan rumusan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, dengan obyek jaminannya berupa Hak hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sandiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agrana berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satukesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kcdudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur yang lain.38 Sedangkan St. Remy Sjahdeni menyatakan bahwa UUHT memberikan definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta 38
E. Liliawati Muljono,2003,Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan.Harwarindo, Jakarta, h.2.
54
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan.39 Dari pengertian tersebut diatas, maka unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian hak tanggungan meliputi antara lain : a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. c. Untuk pelunasan utang tertentu. d. Memberikan kedudukan
yang diutamakan
kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.40 Hak Tanggungan merupakan perjanjian yang accesoir, artinya di samping adanya perjanjian pokok yang berwujud perjanjian pinjam meminjam uang. Karena merupakan perjanjian yang accesoir, maka adanya tergantung perjanjian pokok, dengan cirri-ciri dan sifat antara lain : a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. 39
Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan. Asas-asas. Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, h.10. 40 Salim H.S,op.cit,h.115.
55
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau ditangan siapa pun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanag yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.41 c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas Asas spesialiatas maksudnya benda yang dibebani hak tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan secara jelas dan tegas mengenai benda yang di bebani itu berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya, dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya hal pembebanan hak tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan.
41
Remy Sjahdeni,op.cit, h. 383.
56
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.42 2.3.2. Asas-Asas Hak Tanggungan Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu berdasarkan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mempunyai beberapa asas yaitu sebagai berikut : a. Droit de preference, yaitu memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 Ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan). b. Tidak dapat dibagi-bagi atau ondeelbaarheid (Pasal 2 Ayat 1 UUHT). c. Dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu : -
Hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 Ayat 2 UUHT).
-
Hak atas tanah yang lain berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 Ayat 4 UUHT).
42
Boedi Harsono, 1997,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelakasanaanya, Cet. VII, Djambatan,Jakarta,h.15.
57
-
Hak atas tanah berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang telah ada atau aka nada atau untuk dikemudian hari (Pasal 4 Aayat 4 UUHT).
d. Sifat perjanjian adalah tambahan (accessories). e. Dapat dijadikan jaminan utang yang baru (Pasal 3 Ayat 1 UUHT) dan lebih dari satu utang (Pasal 3 Ayat 2 UUHT). f. Droit de suit, yang selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada (Pasal 7 UUHT). g. Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan. h. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 Ayat 1 UUHT). i. Publisitas, yaitu ada kewajiban untuk mendaftarkan (Pasal 13 UUHT). j. Pelaksanaan eksekusinya mudah dan pasti. k. Dapat dibebankan dengan disertai janji tertentu (Pasal 11 Ayat 2 UUHT). l. Objek
tidak
boleh
diperjanjikan
untuk
dimiliki
pemegang hak tanggungan jika pemberi hak tanggungan cidera janji.
58
2.3.3. Objek Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan Hak Tanggungan. Menurut UUPA, Hak Tanggungan itu dibebankan diatas tanah hak milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39). Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, hal tersebut terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam Pasal 51 UUPA tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan denngan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut : a) Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna Bangunan, d) Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan, e) Hak Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus
59
dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pada prinsipya objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya. 2.3.4. Subjek Hak Tanggungan Dalam Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Didalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut : 1.
Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan.
2.
Pemegang Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas Tanah Negara sebagai objek hak tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan, apabila memenuhi syarat.
60
Jika hak pakai itu oleh Warga Negara Asing yang mana Hak Pakai itu menurut Undang-Undang Hak Tanggungan juga dapat menjadi objek Hak Tanggungan, ada persyaratan untuk menjadi subjek hak pakai yang harus dipenuhi. Demikian juga kalau Warga Negara Asing tersebut mengajukan permohonan kredit dengan Hak Pakai atas Tanah Negara sebagai jaminan harus memenuhi persyaratan antara lain : 2. Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu. 3. Mempunyai usaha di Indonesia. 4. Kredit
itu
dipergunakan
untuk
kepentingan
pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia. 43 Dalam kaitannya dengan kedudukan selaku kreditur, Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa seorang Warga Negara Asing maupun badan hukum asing juga dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan, karena hak tanggungan tidak ada kaitannya dengan pemilikan objeknya secara serta merta. 2.3.5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam penjelasan umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Hanya apabila karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan
43
Adrian Sutedi, op.cit,h. 54.
61
PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasany, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaanya sampai pada wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Isi SKMHT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1.
Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan.
2.
Tidak memuat kuasa substitusi
3.
Mencantumkann secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang, dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.44
Kewenangan PPAT membuat SKMHT selain tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) juga berdasarkan penjelasan umum angka 7 yang antara lain menyatakan bahwa : 1. PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya
44
Ibid,h.61.
ditetapkan,
sebagai
bukti
dilakukannya
62
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak didalam daerah kerjanya masing-masing. Sebagai pejabat umum tersebut akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik 2. Pembuatan
Surat
Kuasa
Membebankan
Hak
Tanggungan selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada PPAT yang keberadaanya sampai pada wilayah kecamatan untuk memudahakan pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan. Dengan demikian, jika Notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah-tanah diseluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang berada di dalam wilayah jabatannya. Surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemeberi hak tanggungan dan wajib memenuhi
persyaratan
mengenai
muatannya
sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut. Jika SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas, maka Surat Kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, artinya Surat Kuasa itu tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan Didalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan terdapat dua aspek yang harus diperhatikan, yakni sebagai berikut. 1. Pembatasan Isi/Muatan dalam SKMHT
63
UUHT secara tegas membatasi isi atau muatan dari SKMHT, yaitu hanya membuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan. Jadi tidak boleh membuat kuasa-kuasa memlakukan perbuatan hukum lain yang bermaksud mendukung tercapainya maksud pemberian jaminan yang bersangkutan misalnya, tidak memuat kuasa menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, memperpanjang hak atas tanah atau untuk mengurus
perpanjangan sertifikat, mengurus balik
naman dan sebagainya. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak boleh memuat kuasa substitusi yaitu penggantian penerima kuasa melalui pengadilan. Namun jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain
dalam
rangka
penugasan
untuk
bertindak
mewakilinya misalnya, Direksi Bank menugaskan pelakasanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain, maka ini bukan merupakan substitusi (Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b). 2. Pembatasan Jangka Waktu Guna mencegah berlarut-larutnya pemeberian kuasa dan terjadinya penyalahgunaan serta demi tercapainya kepastian hukum, maka berlakunya SKMHT
64
dibatasi jangka waktunya Untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar, wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, sedangkan terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan.