BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, PERJANJIAN KERJASAMA, dan DEVELOPER
2.1 Wanprestasi 2.1.1 Pengertian Wanprestasi Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undangundang. Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”. Untuk mengetahui wanprestasi lebih mendalam ada baiknya dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debidur dalam setiap perikatan.1 Pada Pasal 1234 KUHPerdata menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Dalam literature, hal tersebut lazim disebut prestasi. Jadi, prestasi bukanlah objek perjanjian, akan tetapi cara pelaksanaan perjanjian. Seperti dijelaskan diatas, objek perjanjian adalah barang, maka cara pelaksanaanya adalah dengan menyerahkan barang. Apabila objek perjanjian adalah jasa, maka cara pelaksanaanya adalah dengan memberikan jasa. Disamping cara pelaksanaan perjanjian berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan juga bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik”. Etikad
1
h. 201.
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,
baik menurut pasal 531 KUHPerdata adalah bahwa “ siberkedudukan berkuasa memperoleh suatu kebendaan dengan cara memperoleh hak milik”.2 Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suaru perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni : 1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan 2. Harus mungkin 3. Harus diperbolehkan (halal) 4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur 5. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.3 Namun apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya yang merupakan suatu kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian yang dibuat. Wanprestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau demi perikatannya sendiri,
2
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Puta, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali, h. 34. 3 Abdulkadir Muhammad , op.cit. h. 203.
ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” Wanprestasi merupakan tidak dapat memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian. b. Karena keadaan memaksa (overmarcht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.4 2.1.2 Bentuk-Bentuk dan Syarat Terjadinya Wanprestasi Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi, yaitu: 1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang melaksanakan prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
4
Abdulkadir Muhammad, loc.cit.
3. Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan perstasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.5 Dalam hal bentuk prestasi para pihak dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan pihak tersebut melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat salah satu pihak berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi para pihak yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUHPerdata para pihak dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis.
5
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 204.
Debitor dapat dikatakan dalam keadaan wanprestasi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi yaitu: 1. Syarat meteriil, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki
dan diketahui
serta disadari
oleh pelaku
sehingga
menimbulkan kerugian pada pihak lain b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tabu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian. 2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitor harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitor, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitor, supaya debitor melakukan prestasi dengan mencantumkan tanggal terakhir debitor harus berprestasi dan disertai dengan sanki atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitor wanprestasi atau lalai. Beberapa kemungkinan yang dapat dipilih oleh seorang debitor yang melakukan wanprestasi; 1.
Kreditor dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun perjanjian pelaksanaan ini sudah terlambat
2.
Kreditor dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya. karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya
3.
Kreditor dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai penggantian
kerugian
yang
disertai
olehnya
sebagai
dengan akibat
terlambatnya pelaksanaan perjanjian Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian saru pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan pengganti kerugian. 2.2 Perjanjian Kerjasama 2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “ovreenkomst” dalam bahasa belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa inggris. Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUHPerdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian.6 Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. 6
Munir Fuandy, 2014, Konsep Hukum Perdata, PT. Rajagrafindo, Jakarta, h. 179.
Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang". Perikatan dan perjanjian mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan lahir dari perjanjian. Pasal 1233 KUHPerdata mengatur bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Perjanjian secara umum diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata buku III perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam buku III asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pasal 1313 KUHPerdata mencoba untuk memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu “arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata”.
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa :
Definisi perjanjian yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan Itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang. Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang di berikan Pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain : Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.7 Perjanjian adalah suatu kesepakatan di antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum (Hendry Campbell Black, 1968 : 394).8 7
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 1.
Menurut Wirjono Prodjodikoro “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.9 Abdul Kadir Muhammad menyatakan “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.10 Sedangkan Setiawan, mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadeap satu orang atau lebih.11 Hampir seperti perjanjian biasanya, Perjanjian kerjasama secara umum diatur dan dasarnya adalah buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian kerjasama tidak dijelaskan dalam buku III KUHPerdata, akan tetapi secara umum perjanjian kerjasama merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus. Yang mana dalam perjanjian tersebut kedua pihak atau lebih memiliki tujuan yang sama dan tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.
8
Munir Fuandy, op.cit. h. 181. Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, h. 9. 10 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225. 11 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 243. 9
2.2.2 Asas-Asas dan Ketentuan Umum Perjanjian Kerjasama Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai diuraikan berikut ini : Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan.12 Asas kebebasan berkontrak (feedom of contract) ini mengajarkan bahwa ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada keadaan bebas untuk melakukan hal-hal apa saja yang mereka ingin uraikan dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Akan tetapi sekali mereka sudah membuat/menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak sudah terikat (tidak lagi bebas ) keadaa apa-apa saja yang telah mereka telah sebutkan dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Suatu kontrak merupakan tindakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu akan menerimanya. 13 Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai konsekuensi dari “system terbuka” (open system) dari hukum kontrak atau hukum perjanjian tersebut. Jadi siapapun bebas 12
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 225. Sultan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Pokok Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, h. 20. 13
membuat sebuah kontrak atau perjanjian, asal saja dilakukan dalam koridor-koridor hukum sebagai berikut : a. Memenuhi syarat-syarat sassh perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata. b. Tidak dilanggar oleh undang-undang c. Tidak melanggar kebiasaan yang berlaku d. Dilaksanakan sesuai dengan unsur itikad baik.14 Asas
kebebasan berkontrak tidak disebutkan secara khusus
dalam
KUHPerdata, namun hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak yang merupakan pilar hukum perjanjian dalam sejarahnya merupakan produk individualism, liberalisme dan kolonialisme. Dalam system hukum nasional Indonesia sekarang, asas hukum perjanjian secara umum dan kebebasan berkontrak secara khususnya berakar pada Pancasila, UUD 1945, maka asas kebebasan berkontrak tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Palsafah Pancasila mengatur keseimbangan antara pelaksanaan hak asasi dan kewajiban asasi. Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan asas hukum khususnya hukum perdata yang menyatakan bahwa pada asasnya orang bebas untuk
14
Munir Fuandy, op.cit. h. 181.
melakukan sesuatu selama hal tersebut tidak dilarang. KUHPerdata mengatur pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Selanjutnya Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. Asas konsensual dalam suatu perjanjian adalah bahwa suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat sah perjanjian sudah dipenuhi.15 Asas konsensual ini mengadung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.16 Dalam hal ini, dengan tercapainya kata sepakat, maka pada prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), perjanjian tersebut sudah sah, mengikat dan sudah 15 16
Munir Fuandy, op.cit. h. 182. Abdulkadir Muhammad, op.cit. h. 226.
mempunyai akibat hukum yang penuh, meskipun perjanjian tersebut belum atau tidak ditulis. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa sejak saat itu sudah terbut hak dan kewajiban sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian tersebut. Karena itu, suatu perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Jadi pada prinsipnya suatu perjanjian lisanpun sebenarnya sudah sah secara hukum dan sudah mengikat secara penuh.17 Asas konsensualisme disimpulkan dan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.18 Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, artinya dengan adanya kesepakatan maka perjanjian telah lahir. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya perjanjian bersifat konsensuil, sehinggga apabila undang-undang mengatur formalitas tertentu maka hal tersebut merupakan pengecualian. Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Secara harfiah pacta sunt servanda berarti bahwa “perjanjian itu mengikat”. Dalam hal ini, kalau sebelum 17
Munir Fuandy, op.cit. h. 183. I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, h. 60. 18
berlakunya perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak, dalam arti bahwa para pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa yang ingin mereka masukan dalam perjanjian maka setelah perjanjian ditandatangani atau setelah berlakunya suatu perjanjian, maka para pihak sudah tidak lagi bebas, tetati sudah terikat terhadap apaapa yang mereka telah tentukan dalam perjanjian tersebut.19 Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Asas itikad baik. Dalam hal ini undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “perbuatan”) dari suatu perjanjian harus beritikad baik.20 Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
19 20
Munir Fuandy, op.cit. h. 182. Munir Fuandy, loc.cit. h. 203.
pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. 2. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. Asas Kepribadian (personality) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Dari semua pengertian perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah : 1. Ada pihak yang saling berjanji; 2. Ada Persetujuan; 3. Ada tujuan yang hendak di capai; 4. Ada Prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan objek perjanjian; 5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis); 6. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap.
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis, ketentuan ini dapat dibuat lisan atau tertulis lebih kepada bersifat sebagai alat bukti semata apabila dikemudian hari terjadi perselisihan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian 2.3 Developer 2.3.1 Pengertian Developer Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa inggris artinya adalah pembangun/pengembang. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer, yaitu : “Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya” Selain itu pengertian developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan. Developer juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku
2.3.2 Hak dan Kewajiban Developer a. Hak Hak Developer Seperti yang telah disebutkan bahwa developer dapat disebut sebagai pelaku usaha. Maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak pelaku usaha antara lain: 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
niali
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Kewajiban Developer Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat pada Pasal 7 Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yakni: 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.