BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1
Wanprestasi
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.1 Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
1
Abdul R Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, h.15.
perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”2 R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:3 1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yangdiperjanjikan. 3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.4 Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.5 Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau 2
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17. R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 1 ), h. 50. 4 R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat, Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 2 ), h. 59. 3
5
http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html,diakses pada tanggal 06 April 2015, pukul 16.43 WITA.
dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.6 Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di atas dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali, terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati. Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi merupakan isi dari suatu perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi. Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Dasar hukum wanprestasi yaitu:
6
Ibid.
Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu,atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi Adapun bentuk – bentuk dari wanprestasi yaitu :7 a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya. c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi Tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:8 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan. 7
J. Satrio,1999, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, ( Selanjutnya di tulis J. Satrio 2 ), h.84.
8
Ibid.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang - kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (ingebrekestelling). Adapun bentuk – bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah: 1. Surat perintah. Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat – lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru Sita”. 2. Akta. Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris. 3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri. Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan Secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut kepengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fataltermijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi. 2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata Pasal 1235 KUHPerdata: “dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak keluarga yang baik, sampai pada saat penyerahan.” Penyerahan menurut Pasal 1235 KUHPerdata dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis. Dalam hal ini debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal1237 KUHPerdata. Pasal 1236 KUHPerdata: “si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang, apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”. Pasal 1243 KUHPerdata:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti: 1. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya. 2. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi. 3. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur. 4. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya. Pasal 1237 KUHPerdata: “dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.” Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi. 2.2 Perjanjian Konsinyasi 2.2.1 Pengertian Perjanjian
Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak, yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang ataupun dua pihak atau lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan demikian berarti suatu perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.9 Pada umumnya didalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, suatu perikatan itu lahir dari suatu bentuk perjanjian yang di buat antara mereka yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut, dan tak dapat dipungkiri pula bahwa suatu perjanjian memiliki peran penting dalam berkegiatan didalammasyarakat baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sekalipun. Eksistensi sebuah perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan landasannya pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) yang menjelaskan bahwa: “ Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Selain ketentuan diatas, juga terdapat Pasal lain yang menjelaskan terkait hal diatas seperti pada Pasal 1313 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Kemudian terdapat pula pengertian perjanjian menurut para sarjana, menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10 Selain dari pengertian dari Subekti tadi, terdapat pengertian dari seorang R.Setiawan yang menyatakan bahwa Persetujuan adalah suatu 9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang lahir Dari Perjanjian, Ed. I, Cet.II, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.2. 10
R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, cet.21, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya di tulis R. Subekti 4), h.15.
perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.11 Melalui beberapa pengertian terkait perjanjian tadi maka jelaslah bahwa memang suatu perikatan lahir dari sebuah perjanjian atau persetujuan. Namun daripengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata diatas masih terdapat ketidakjelasan didalamnya, hal ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untu menimbulkan akibat hukum. Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.
12
Ada
tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu : a. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan. b. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, c. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
11
R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h.49. Salim HS, 2014, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (buku kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 4) h. 15-16. 12
Kemudian muncul kembali pendapat dari para sarjana terkait pengertian perjanjian yaitu menurut Charless L.Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan yaitu, “contract is an agreement between two or more persons- not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them” (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 1993: 2). Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.13 Sesungguhnya banyak sekali pendapat dan sumber yang memberi pengertian tentang perjanjian itu sendiri, seperti dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan “contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing.” Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang mana kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian (Black’s Law Dictionary, 1979: 291). Melalui beberapa penjelasan diatas menjelaskan beberapa pengertian tentang perjanjian serta terkait perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan menegaskan kembali bahwa perjanjian melahirkan sebuah perikatan, sehingga menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.14 Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari
13 14
Ibid. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 91.
sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut. Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor pada sisi yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari suatu perjanjian. Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam perjanjian tersebut antara lain: a. Asas Kebebasan Berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki. b. Asas Konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata). c. Asas Kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak
mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.15 d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang, asas ini dapat dikatakan memiliki dasar hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang cakap dalam membuatsuatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal 1330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 1433 KUH Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut. e. Asas Itikad Baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya. f. Asas Kepastian Hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
15
h.87.
Mariam Darus Badrulzaman,dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
g. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undangundang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat juga
untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan
kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.16 Pada dasarnya asas-asas umum dalam hukum perjanjian tersebut udah sepatutnya digunakan dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian. Selain dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan melihat beberapa asasasas umum dalam hukum perjanjian, juga suatu hal yang wajib di penuhi dalam melaksanakan suatu perjanjian yaitu memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam ilmu hukum kontrak (Law Of Contract) di Amerika ditentukan adanya empat syarat sahnya perjanjian, yaitu : (a).Adanya penawaran (offer) serta penerimaan (acceptance), (b). Adanya penyesuaian kehendak (meeting of minds), (c). Adanya prestasi (konsiderasi), dan (d). Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan pokok persoalan yang sah (legal subjectmatter).
17
Sedangkan dalam hukum eropa kontinental seperti kita, syarat
sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan terkait empat syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :
16
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h.49. 17
Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika Offset, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 5 ), h.161.
a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya, maksud dari kesepakatan itu adalah terjadinya suatu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, maksud dari kecakapan disini adalah kecakapan dalam bertindak yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Jadi orang yang akan mengadakan suatu perjanjian adalah harus orang yang sudah cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana ditegaskan dan ditentukan pada KUH Perdata, disana dijelaskan bahwa orang cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Untuk ukuran kedewasaan seseorang itu sendiri juga dijelaskan yaitu berusia 21 tahun dan atau sudah kawin (dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata). Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum yaitu : (1). Anak dibawah umur, (2). Orang yang masih dibawah pengampuan, (3). Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang - undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (dijelaskan dalam Pasal 1330ca KUH Perdata). c. Adanya suatu persoalan atau obyek tertentu, maksudnya adalah dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian haruslah ditentukan suatu obyek atau persoalan yang jelas yang akan diperjanjiakan di dalam perjanjian itu nantinya, obyek ataupun persoalan tersebut biasanya berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.18
18
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, h.36.
d. Adanya suatu sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal, memang tidaklah terdapat penjelasan terkait suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun Hoge Raad pada tahun 1927 memberi pengertian suatu sebab yang halal (orzaak) sebagai suatu yang menjadi tujuan para pihak. Kemudian pengertian lebih lanjut terkait suatu sebab yang halal dijelaskan pada Pasal 1335 hingga 1337 KUH Perdata, yang mana Pasal 1335 menjelaskan bahwa : “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau terlarang tidaklah mempunyai kekuatan hukum.”19 Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya suatu perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.20 Sedangkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata pun disebutkan hal yang dilarang, Maksudnya suatu sebab yang terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.161
20
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.51
dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian. Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek dan obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut. Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian. 21 Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain: a. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
b. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil
21
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.33
untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian. c. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo. 1337 KUH Perdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek tersebut dilarang oleh undang-undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum. d. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang lingkupnya dalam harta kekayaan. 22 2.2.2. PengertianPerjanjian Konsinyasi Dalam dunia perdagangan memang terdapat bermacam-macam kendala dan cara untuk memperdagangkan sesuatu, pada kesehariannya jumlah calon pelanggan maupun pelanggan pada suatu wilayah adalah berbeda dan terbatas adanya, banyak cara dalam meningkatkan penjualannya, salah satunya dengan memperluas daerah pemasarannya,selain itu ada juga dengan cara meningkatkan volume penjualan dengan sistem penjualan cicilan, konsinyasi, hingga agen ataupun cabang. Pada kali ini akan membahas lebih kepada system konsinyasi khususnya pada perjanjian konsinyasi. Perjanjian konsinyasi adalah suatu bentuk perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki sejumlah barang menyerahkan barang tersebut kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini pihak atau orang yang menyerahkan barang (pemilik barang) disebut sebagai konsinyor, sementara pihak atau
22 Patrik Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h.3-4.
orang yang menerima barang serahan dari pemilik tadi ialah disebut sebagai konsinyi. Dalam proses ini barang yang dititipkan oleh konsinyor kepada konsinyi disebut barang konsinyasi. Dalam kepustakaan hukum perjanjian, terdapat banyak pendapat yang membagi perjanjian kedalam perjanjian bernama (Nominaat) dan perjanjian tidak bernama (Innominaat). Yang dinamakan dengan perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dalam KUH Perdata, mulai dari Bab V tentang Jual Beli sampai dengan Bab XVIII tentang Perdamaian, sedangkan yang disebut dengan perjanjian tidak bernama adalah perjanian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Dalam praktek dunia usaha ini dikenal adanya berbagai macam perjanjian yang tidak dapat kita temukan dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian mengenai sewa guna usaha, hak opsi leasing, perjanjian titip jual (konsinyasi), bangun-pakai-serah, dan masih banyak lagi. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa pembagian perjanjian kedalam perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernaman tidak banyak memberikan banyak arti, oleh karena pembedaan tersebut pada hakekatnya tidak menyentuh pada konsep maupun suatu konsepsi tertentu yang dapat dipergunakan secara konsisten.23 Dalam hal ini, suatu perjanjian konsinyasi termasuk dalam suatu perjanjian tidak bernama, hal ini dikarenakan perjanjian konsinyasi ini muncul, tumbuh serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri dan juga belum dikenal didalam KUH Perdata, dan perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlakunya yaitu asas kebebasan berkontrak.24 Perjanjian konsinyasi ialah termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (tidak bernama) dan jenis perjanjian innominaat ini memiliki pengaturan di dalam Buku III KUH Perdata. Di 23 24
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.83 .
Salim HS, 2009, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet.6, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 6 ),h.28.
dalam buku III KUH Perdata, hanya ada satu Pasal yang mengatur tentang kontrak innominaatini, yaitu pada Pasal1319 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu.”25 Dalam penjelasan ini tegas menjelaskan bahwa suatu perjanjian Innominaat walaupun tidak dikenal atau tak bernama tetaplah harus tundukakan peraturan umum perjanjian dalam KUH Perdata. Pada dasarnya perjanjian titip jual yang dikenal dengan istilah perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlaku dalam KUH Perdata secara terpisah, yang mana perjanjian konsinyasi ini memiliki unsur jual beli yang mengambil dasar pada Pasal1457-1460 KUHPerdata, dan juga disertai dengan suatu bentuk perjanjian penitipan yang menggunakan dasar hukum pada Pasal 1694 -1739 KUHPerdata, dengan demikian suatu perjanjian konsinyasi juga memiliki unsur essensialiayaitu pada perjanjian jual beli yang merupakan suatu persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik dan menjaminnya pembeli mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang diperjanjikan sebelumnnya. 2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran Perjanjian konsinyasi merupakan perjanjian penitipan barang yang disertai dengan pemberian kuasa untuk menjual atas barang yang diserahkan oleh konsinyor kepada konsinyi. Perjanjian yang demikian adalah perjanjian campuran. Definisi mengenai perjanjian campuran
25
Salim HS I, op.cit, h.5.
adalah sebagai berikut, perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian.26 Secara umum sengketa perjanjian campuran dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur lembaga peradilan (litigasi), atau melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan (non-litigasi).27 Dasar hukumnya adalah Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan tidak menutup usaha menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Adapun peraturan yang mempertegas ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2.2.4 Pihak-pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa suatu perjanjian memiliki subyek dan obyek perjanjian, maka dalam hal ini perjanjian konsinyasi juga memiliki pihak-pihak dalam perjanjian konsinyasi itu sendiri, yang mana pada umumnya subyek perjanjian itu ialah dapat berupa manusia dan atau badan hukum, terdapat pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian adalah satu pihak yang berhak atas suatu prestasi dan satu pihak lainnya adalah yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Di dalam perjanjian konsinyasi dalam penjualan minuman beralkohol ini terdapat beberapa pihak-pihak yang menjadi subyek hukum dalam perjanjian yang terdiri dari : 1. Aj Shop Sanur, yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam pendistribusian dan penjualan barang atau produk
26
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet I(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 69. 27
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Cet I(Denpasar: Udayana University Press, 2010), hlm. 1.
2. Supplier yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam hal pengadaan atau penyediaan barang dan juga sebagai pemasok barang atau produk untuk Aj Shop Sanur.