BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUHPerdata) Pasal 1313 yaitu perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatana dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dari ketentuan pasal ini jelaslah untuk didapatkan adanya suatu perjanjian paling sedikitnya harus ada dua pihak sebagai subyek hukum, dimana masing-masing pihak sepakat untuk mengikat dirinya dalam suatu hal tertentu. Para Sarjana pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan KUHPerdata tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena hanya mengenai hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan didalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku dan mencakup perbuatan melawan hukum sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan. Beberapa para sarjana memiliki pendapat berbeda mengenai pengertian perjanjian seperti halnya Menurut Subekti suatu perjanjian merupakan peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.1
1
Subekti, 2001, Op.Cit, h. 36.
Menurut R. Setiawan perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dengan diadakannya suatu perjanjian maka para pihak yang berjanji harus tunduk kepada hal-hal yang telah diperjanjikan. Semua perjanjian harus dilakukan dengan etikad baik dan tidak boleh dilakukan secara bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan. Lain halnya dengan perjanjian yang diberikan oleh Yahya Harahap dikatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu orang untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.2 Dari pengertian ini unsur perjanjian harus adanya hubungan hukum menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada suatu pihak yang meletakan kewajiban dipihak lain. Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui adanya beberapa kesamaan bahwa perjanjian mengandung pengertian suatu pernyataan kesepakatan antara dua pihak atau bersama-sama melakukan dan untuk tidak melakukan sesuatu yang mengandung hak dan kewajiban diantara mereka serta sepakat untuk menerima akibat bila mereka tidak memenuhi persyaratan masingmasing. Dari uraian diatas, maka pernyataan dalam perjanjian pada hakekatnya terdapat tiga hal pokok yaitu : a. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban pihak lain yaitu pihak yang mempunyai hak, adalah menerima hasil dari kewajiban pihak lainnya misalnya dalam perjanjian perbankan, kewajiban pihak perbankan adalah menyiapkan sejumlah uang untuk diserahkan kepada
2
M. Yahya Harahap, Loc.Cit.
debitur sebagai uang pinjamannya. Dan jumlah yang dipinjam sesuai dengan perjanjian, adalah hak debitur untuk mendapatkan pelayanan menerima pinjaman dari perbankan. b. Kewajiban pihak lainya merupakan hak pihak yang satu yaitu kewajiban debitur untuk membayar hutangnya dan penerimaan kembali angsuran pinjaman merupakan hak perbankan sebagai debitur termasuk didalamnya hak perbankan terhadap barang yang dijadikan jaminan terhadap sejumlah uang yang dipinjam. c. Kesepakatan yang dimaksud dalam hal ini adalah dimaksudkan bahwa materi perjanjian yang menetapkan bahwa bila terjadi situasi yang menyebabkan timbul perselisihan antara para pihak, dapat ditempuh jalan damai dan jalan lain malalui prosedur hukum dan peraturan – peraturan perundang-undangan. Dikatakan mereka telah menyepakati pula akibat sebagai sanksi yang harus diterima. Contohnya ganti kerugian, besar bunga tunggakan, akibat wanprestasi dan lainnya sebagainya.
2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian Buku III KUHPerdata selain mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian juga mengetur perikatan yang timbul dari Undan-Undang. Dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu yang namanya sudah diberikan undang-undang.3 Untuk sahnya perjanjian harus memenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan didalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
3
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni Bandung, h. 98. (selanjutnya disebut Subekti II)
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.4 J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.5 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: 1. Orang yang belum dewasa 2. Orang yang berada dalam pengampuan atau perwalian 3. Orang perempuan atau istri yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
4 5
Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h. 14. (Selanjutnya disebut Subekti III) J.Satrio, 1993, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h. 129.
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.6 3.
Suatu hal tertentu Perjanjian ini harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan, Suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan dengan saling menguntungkan dan dalam perjanjian kedua belah pihak menganggap baik sehinggga tidak ada yang dirugikan. Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
4.
Suatu sebab yang halal Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
6
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h.78. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II).
umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Syarat kesepakatan dan kecapakan disebut sebagai syarat subjektif karena syarat tersebut harus dipenuhi oleh subjek hukum. Adanya kesepakatan atau consensus dimaksudkan bahwa para pihak sepakat atau setuju untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Syarat subjektif kedua adalah cakap hukum yang artinya para pihak memilki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila tidak terpenuhi syarat pertama dan kedua tersebut yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan jika ada yang memohonkan pembatalan. Mengenai ketentuan atau syarat ketiga dan keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, syarat yang harus dipenuhi oleh objek atau benda yang diperjanjikan. Yang dimaksud syarat ketiga adalah dalam suatu perjanjian haruslah ada objek atau sesuatu hal yang diperjanjikan dan syarat keempat menegaskan hal yang diperjanjikan haruslah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Apabila persyaratan ketiga dan keempat yang tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.
2.1.3 Berakhirnya Perjanjian Hapusnya perjanjian atau berakhirnya suatu perjanjian dan sering disebut hapusnya persetujuan, berarti menghapus semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dengan debitur.
Sesuai dengan pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya perjanjian disebabkan karena : a. Karena pembayaran, Perjanjian hapus karena pembayaran apabila pihak debitur telah melunasi pinjamannya seluruhnya baik yang sudah jatuh tempo maupun pinjaman yang masih berjalan. b. Karena pembaharuan hutang, Diakibatkan karena pihak debitur melakukan pembaharuan hutangnya dengan melunasi pinjaman terdahulu untuk membuat perjanjian baru apakah pinjaman debitur masih tersisa atau sudah lunas dengan membuat perjanjian baru. c. Karena kompensasi, Perjanjian hapus karena pihak debitur melakukan konvensasi dari sisa hutangnya untuk membuat hutang yang baru. Akibat dari hutang yang barupihak debitur membuat perjanjian baru, sedangkan perjanjian yang lama tidak berlaku lagi. d. Karena konfusi atau percampuran hutang, Percampuran hutang terjadi akibat dari debitur dan kreditur mempunyai kedudukan yang sama, dimana debitur menjadi ahli waris dari kreditur jika kreditur meninggal dunia e. Karena penghapusan hutang, Perjanjian hapus karena penghapusan hutang oleh pihak kreditur disebabkan debitur tidak mampu membayar hutang-hutangnya meskipun telah memperhitungkan barang-barang yang dimiliki oleh debitur tidak cukup untuk melunasi pinjamannya. f. Karena pernyataan tidak sah atau terhapus, Hal ini disebabkan karena pernyataan yang dibuat oleh pihak debitur maupun kreditur tidak sesuai dengan perjanjian. g. Karena daluwarsa, Salah satu sebab hapusnya perjanjian ialah dengan lampau waktu atau kadaluwarsa atau perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak sudah habis masa berlakunya.7
7
M.Yahya Harahap, Op.Cit, h.107
2.2 Wanprestasi 2.2.1 Pengertian Wanprestasi Kata wanprestasi berasal dari bahasa belanda “wanprestatie” yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian. Menurut Subekti wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.8 Menurut A. Ridwan Halim, yang dimaksud dengan “Wanprestasi adalah kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah dibuat”.9 Menurut Abdulkadir Muhammad wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 kemungkinan alasan, yaitu : a. Karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. b. Karena keadaan memaksa (force majeure) jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.10 Sedangkan R. Subekti membagi wanprestasi menjadi 4 yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
8
9
Subekti II, Op.Cit, h. 40.
Ridwan Halim A, 1982, Hukum Dalam Tanya Jawab, Gahlia Indonesia, Jakarta, h.158 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h.20 (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II) 10
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
2.2.2 Macam-Macam Wanprestasi Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut maka muncul kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian (prestasi). Prestasi tersebut dapat dituntut apabila tidak dipenuhi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi terbagi dalam 3 macam: 1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu. 2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu. 3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu. R. Subekti, dalam bukunya tentang hukum perjanjian menguraikan bahwa wanprestasi (Kelalaian dan kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu : a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh diakukannya.11 Mariam Darus Badrulzaman, menyebutkan bahwa ada tiga bentuk wanprestasi yaitu : a. Debitur sama sekali tidak berprestasi Dalam hal ini debitur tidak perlu dinyatakan lalai oleh kreditur, karena dalam hal ini diharapkan debitur dapat berprestasi percumalah memberi dorongan kepada debitur agar
11
Subekti II, Loc.Cit.
melaksanakan perikatan yang ia tidak mampu melaksanakannya. Jadi dalam debitur sama sekali tidak berprestasi, pernyataan lalai tidak diperlukan karena disini debitur memang betul-betul sudah tidak berkemampuan sekali untuk melaksanakan prestasinya. b. Debitur salah berprestasi Dalam hal debitur berprestasi salah, apakah debitur dinyatakan lalai lebih dahulu oleh kreditur agar nantinya iada dapat menuntut pembatalan perikatan dengan tambahan ganti rugi, biaya atau bunga. c. Debitur terlambat berprestasi Disini berarti tidak berprestasinya debitur tepat pada waktunya yang disepakati dengan kreditur akan tetapi debitur berprestasi lebih dari waktunya.12
2.2.3 Akibat Wanprestasi Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : 1. Membayar kerugian ( ganti rugi ) Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni : a. Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
12
Mariam Darus Badrulzaman II, Op. Cit, h.19
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor. Dalam ketentuan Pasal 1247 KUHPerdata disebutkan bahwa orang yang berhutang hanya diwajibkan mengganti biaya kerugian dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tersebut tidak dipenuhi perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya. 2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian Pembatal perjanjian karena kelalaian diatur dalam ketentuan pasal 1266 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat bata mengenai tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dinyatakan dalam perjanjian. Apabila syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan pemohon, untuk memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajibannya, dimana jangka waktu yang dimaksud tidak boleh lebih dari satu bulan. 3. Peralihan resiko Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata yaitu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan oleh salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
2.3 Lembaga Pembiayaan Konsumen 2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen Pembiayaan konsumen dalam bahasa inggris disebut dengan istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit konsumen (consumer credit). Yang membedakan adalah pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen adalah biaya yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen diberikan oleh bank.13 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan, memberikan pengertian lembaga pembiayaan konsumen sebagai suatu kegiatan pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembiayaan Konsumen, Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Selain itu pengertian lainnya, pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan jasa yang akan langsung dikonsumsikan oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi atau distribusi. Perusahaan yang memberikan pembiayaan diatas, disebut perusahaan pembiayaan konsumen (Customer Finance Company). Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.14 Mengacu pada ketentuan Undang-Undang
13 14
Sunaryo, 2007, Hukum Lembga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 96 Sentosa Sembiring, 2001, Hukum Dagang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.114.
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2.3.2 Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di dalam prakteknya pembiayan konsumen menggunakan perjanjian pembiayaan yang pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar. Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris yaitu standart contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Penyusunan perjanjian baku telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian, tetapi apabila menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Dari subyek yang akan melakukan perjanjian, dalam membuat asas kebebasan berkontrak para pihak bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan ”apa” dan ”dengan siapa” perjanjian itu diadakan dan bebas menentukan isi dari perjanjian. perjanjian. Bentuk perjanjian baku yang telah baku dapat mengurangi implementasi kebebasan berkontrak, karena isi perjanjian telah disusun oleh perusahaan. Apabila permintaan pembiayaan disetujui oleh perusahaan maka pihak konsumen tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memahami isi perjanjian. Ini disebabkan setelah permohonan disetujui pihak perusahaan langsung menyodorkan berkas perjanjian baku dan konsumen tidak disediakan waktu untuk memahami isi perjanjian.
Munir Fuady mengartikan kontrak baku yaitu suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak dalam bentuk formulirformulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak, sehingga kontrak baku sangat berat sebelah.15 Penggunaan perjanjian baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan perjanjian yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersebut sangat ideal jika para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak posisi tawarnya seimbang antara satu dengan yang lain.
2.3.3 Hubungan Para Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen a. Pihak perusahaan pembiayaan dengan konsumen Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak perusahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran (cicilan) kepada pihak
15
Munir Fuady, 1999, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), hal. 209
perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis perjanjian kredit. Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut sudah ditandatangani oleh para pihak dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen, meskipun harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda dengan kontrak leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor, terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki barang tersebut pada akhir kontrak. b. Pihak supplier dengan konsumen Antara pihak konsumen dengan supplier terdapat hubungan jual beli (bersyarat), di mana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada konsumen selaku pembeli dengan syarat, bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi biaya.16 Syarat tersebut memiliki arti, bahwa apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara supplier dengan konsumen sebagai pembeli akan batal. c. Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier Antara pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan supplier tidak ada hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan untuk menyediakan dana dan digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak pemasok dengan konsumen. Oleh karena itu apabila pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya, sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilakukan, maka jual beli bersyarat antara pemasok dengan konsumen akan batal, sehingga konsumen dapat menggugat pihak pemberi dana atas wanprestasinya
16
Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Muniarti. Op.Cit. Hal. 249