BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A.
SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN Untuk membahas masalah perlindungan konsumen , kita juga perlu
memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal mula berdiri hingga pada perkembangannya saat ini. Dengan melihat sejarah ini, kita akan bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik ketika itu mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik. 11 Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan. 1. Tahapan I Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. 2. Tahapan II (1920-1940)
11
Happy Susanto, Op. Cit, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. 3. Tahapan III (1950-1960) Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasuional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 beridirilah International Organization of Consumer Union. 4. Tahapan IV (pasca-1965) Pasca-1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik ditingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris. 12 Ada dua sejarah gerakan perlindungan konsumen yang akan dibahas dalam skripsi ini, pertama gerakan perlindungan konsumen yang ada diluar negeri dan gerakan yang ada di Indonesia. 12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hal. 36
Universitas Sumatera Utara
A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen di Luar Negeri Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, dimana hal ini ditandai dengan munculnya gerakan perlndungan konsumen (consumers movement) yang terjadi di America Serikat).
Negara Amerika Serikat merupakan suatu negara yang sangat banyak
memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. Secara historis ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan konsumen. Gelombang pertama, yaitu diawal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia, Kemudian pada tahun 1898 di tingkat nasional (The National Consumer’s Leangue). Organisasi i ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian. 13 Pada tahun 1906 lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen dan undang-undang ini sangat mempengaruhi perkembangan berikutnya, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act (pada tahun 1937, undan-undang ini diamandemen menjadi The Food and Drugs, hal dikarenakan adanya tragedi Elixir Sulfanilamide dimana tragedi ini menewaskan 93 konsumen di Amerika Serikat).
13
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
Gelombang yang kedua yaitu pada tahun 1914. Pada tahun ini, terbentuklah sebuah komisi yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, atau disebut dengan FTC (Federal Trade Comission). Pada waktu itu, keberadaan program pendidikan konsumen dirasakan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat konsumen. Selanutnya, pada tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen. Mulailah penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen dengan dilengkapi riset-riset yang mendukungnya. Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumer law). 14 Jika kita lihat, sejarah perlindungan konsumen berawal dari kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Perlindungan ha-hak konsumen ini dapat berjalan seiring dengan perkembangan demokrasi yang ada dalam suatu negara. Dalam suatu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, hak-hak daripada warga negara, termasuk hakhak dari masyarakat konsumen harus dihormati dan juga harus dilindungi. Antara produsen dengan konsumen mempunyai posisi yang seimbang dikarnakan keduanya dimata hukum adalah sama. B. Gerakan Perlindungan Konsumen di Indonesia
14
Happy Susanto, Op. Cit, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
Jika melihat kemajuan perkembangan gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat, tentu kita bertanya tentang bagaimana dengan sejarah awal mula munculnya gagasan hukum konsumen dan beridirinya gerakan-gerakan perlindungan konsumen di Indonesia? Masalah perlindungan konsumen di Indonesia terjadi pada tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Pada waktu itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. YLKI ini merupakan salah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) pertama muncul di Indonesia. Adapun tujuan didirikannya lembaga ini ialah untuk melindungi hak-hak masyarakat konsumen dari peredaran barang-barang yang dibawah standar dan dapat menyebabkan kerugian kepada konsumen. Di samping itu, YLKI juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kiritis kepada konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga konsumen dapat melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Keberadaan YLKI ini sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau
Universitas Sumatera Utara
pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan. 15 Selama ini praktek yang terjadi dilapangan dimana upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen untuk menggugat produsen, baik yang berbentuk swasta maupun pemerintah, tidak banyak membuahkan hasil yang positif kepada konsumen. Sebenarnya, kalau kita melihat kebelakang dimana awal mula berdirinya YLKI ini karna bentuk keprihatinan sekelompok masyarakat pada saat itu yang melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk-produk dari luar negeri dibandingkan dengan produk dalam negeri. Munculnya YLKI tidak lepas dari kampanye “cinta produk dalam negeri” yang saat itu krisis terhadap barang/jasa yang tidak aman atau tidak bagus untuk dikonsumsi. Adapun upaya pertama YLKI ialah mendesak produsen susu kental manis untuk mencantumkan label “Tidak Cocok Untuk Bayi” dalam kemasan susu kental manis, dikarnakan susu tersebut lebih banyak mengandung gula daripada susu. 16 Sejak dekade 1980-an, upaya untuk mewujudkan sebuah peraturan perundang-udangan tentang perlindungan konsumen sangatlah sulit. Dimana langkah tersebut mendapat rintangan yang begitu besar dikarnakan pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget yang begitu besar untuk mewujudkannya, hal ini dapat kita lihat dimana pengesahan Rancangan Undang. 15 16
Shidarta, Op. Cit, hal. 51 Happy Susanto, Op. Cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) itu bisa diterima pada masa pemerintahan Bj Habibie, yaitu pada tanggal 20 April 1999. Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi semua gerakan-gerakan yang menyuarakan perlindungan konsumen dan khususnya bagi para masyarakat konsumen, dikarnakan melalui RUUPK tersebut jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan dapat terpenuhi dengan baik. Seiring perkembangan waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPSKM), sebagai lembaga yang bertugas untuk melindungi hak-hak konsumen, menjamur dimana-mana. Perkembangan tersebut patut disambut secara positif. 17 B.
PENGERTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yaitu di dalam pasal 1 ayat (1) terdapat pengertian perlindungan konsumen. Dalam pasal tersebut dijelaskan, sebagai berikut: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” Dan menurut para ahli memberikan pandangan tentang pengertian hukum perlindungan konsumen yaitu:
17
Ibid hal. 11
Universitas Sumatera Utara
1. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 2. Menurut A. Z Nasution, hukum perlindungan konsumen adalah memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa antara perlindungan konsumen dengan hukum perlindungan konsumen sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengarah kepada untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan konsumen semata. Menurut saya antara hukum perlindungan konsumen dengan perlindungan konsumen mempunyai hubungan yang erat, dalam arti bahwa perlindungan konsumen tersebut adalah bagian dari hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen itu sendiri, sedangkan perlindungan konsumen adalah bentuk pengaflikasian dari peraturan tersebut. C.
TUJUAN DAN MANFAAT PERLINDUNGAN KONSUMEN Dalam undang-undang perlindungan konsumen pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 18 Manfaat Perlindungan Konsumen Ada beberapa manfaat dari perlindungan konsumen tersebut, diantaranya ialah: 18
Ibid hal. 18
Universitas Sumatera Utara
1. Menyeimbangkan Kedudukan (Balancing Position) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen. Dengan diterapkannya perlindungan konsumen, maka keuntungan sebesar-besarnya, kini menjadi subjek yang sejajar dengan pelaku usaha. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen, maka praktekpraktek yang merugikan konsumen tersebut akan dikenakan sanksi. Dengan kondisi demikian, maka kepentingan konsumen dapat terlindungi dari praktek-praktek yang merugikan pihaknya melalui gak gugat yang dimiliki konsumen. Sementara dengan dipatuhinya ketentuan-ketentuan dalam perlindungan konsumen, maka konsumen ditempatkan sebagai subjek di dalam bisnis, yang mempunyai hak-hak yang seimbang dengan pelaku usaha. Dengan posisi yang demikian, maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat dan tentunya saling menguntungkan, baik bagi pihak konsumen karena yang sehat dan tentunya produk-produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan maupun dari pihak konsumen karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang. 2. Memberdayakan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
Faktor utama yang menjadi kelemahan daripada konsumen ialah tingkat kesadaran masyarakat konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Oleh karna itu undang-undang perlindungan konsumen memberikan landasan baru bagi pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Proses pemberdayaan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan secara integral, baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemauan masyarakat konsumen itu sendiri untuk mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik, maka konsumen dapat ditempatkan pada posisinya yang sebenarnya, yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 3. Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha Dengan perkembangan dunia bisnis yang terus berubah dengan cepat di satu sisi dan di sisi lain kesadaran konsumen yang semakin baik, maka pelaku usaha tidak mungkin lagi untuk bertahan dengan cara-cara yang tradisional. Pelaku usaha dituntut untuk menjalankan usahanya secara profesional. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung berorientasi untuk keuntungan jangka pendek yang cenderung
Universitas Sumatera Utara
memperdaya konsumen, yang dalam jangka panjang hal itu justru akan memetikan usahanya. Untuk itu profesionalisme pelaku usaha merupakan tuntutan yang harus dipenuhi untuk saat ini dan tidak dapat ditawar-tawar lagi jika pelaku usaha ingin tetap eksis dalam menjalankan usahanya. 19 Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat asas-asas yang mempunyai hubungan dengan manfaat perlindungan konsumen tersebut. Adapun asas-asas tersebut ialah : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiiil ataupun spiritual.
19
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen (Bandung: Citra Aditya, 2003), hal. 89
Universitas Sumatera Utara
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 20 Asas-asas tersebut merangkul semua kepentingan-kepentingan antara pelaku usaha dengan konsumen, Tidak ada satu asaspun yang memihak kepada kepentingan sepihak semata baik itu konsumen ataupun pelaku usaha. Dengan adanya Undangundang Perlindungan Konsumen ini bukan semata-mata mementingkan kepentingan konsumen saja, akan tetapi undang-undang tersebut juga merangkul semua hak-hak konsumen serta pelaku usaha. D.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan
Konsumen, memberikan pengertian konsumen, sebagai berikut: “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 21
20
M. Sadar dan Moh. Taufik Makarao dan Habloel Mawad, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia (Jakarta: Akademia, 2012), hal. 19
Universitas Sumatera Utara
Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undangundang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepasa konsumen. 22 Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu membentuk perikatan diantara para pihak yang membuatnya. Perikata tersebutlah yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan. 23 Sebenarnya kita semua tahu, bahwa hubungan hukum antara antara pelaku usaha dengan konsumen selama ini sangat sering terjadi hanya sebatas kesepatan lisan mengenai “harga” dan “barang dan/atau jasa”, tanpa diikuti atau ditindaklanjuti
21
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 22 23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 25 22
Universitas Sumatera Utara
dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Pada ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata, suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus diisyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan tertentu. Dalam ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara tegas dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah sah jika: 1. Dibuat berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian, tanpa ada unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan; 2. Dibuat oleh mereka yang sudah cakap untuk bertindak dalam hukum, dalam arti sudah cukup umur, sehat akal dan tidak dibawah pengampuan orang lain; 3. Memiliki objek perjanjian yang jelas; 4. Didasarkan pada suatu klausula yang halal. 24 Selanjutnya, didalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditegaskan setiap perjanjian yang sudah dibuat secara sah, dalam arti telah memenuhi syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 diatas, maka perjanjian tersebut telah mengikat bagi para pihak yang membuatnya, bahkan ketentuan mengikatnya sama dengan mengikatnya suatu undang-undang yang dibuat oleh 24
Ibid hal. 26
Universitas Sumatera Utara
pemerintah. Persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh kedua belah pihak, atau berdasarkan alasan yang dianggap cukup oleh undang-undang. Artinya, selama terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai “harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan/atau jasa” yang wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik untuk konsumen maupun pelaku usaha, kecuali terdapat suatu paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen. 25 Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen A. Hak-hak Konsumen Istilah Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapat perlindungan itu bukan hanya sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hakhaknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:
25
Ibid hal. 27
Universitas Sumatera Utara
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3. hak untuk memilih (the right to choose) 4. hak untuk didengar (the right to be heard) Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi
konsumen
yang
tergabung
dalam
The
International
Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai puncak hak konsumen. 26 Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for consumer protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu untuk dilindungi, meliputi:
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal. 31
Universitas Sumatera Utara
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasa untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan merekan. 27 Berikut ini adalah hak-hak konsumen menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, yaitu terdapat dalam pasal 5 dikatakan bahwa: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan; 27
Gunawan Widjaja dan Ahmat Yani, Op. Cit, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 28 Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin suatu barang dan/atau jasa dalam
28
Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. 29 Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutanurutan sebagai berikut. a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang danjasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang). 29
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 30
Universitas Sumatera Utara
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini: 1. terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya 2. daya beli konsumen makin meningkat 3. lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui oleh semua orang 4. model-model produk lebih cepat berubah 5. kemudahan transfortasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. c. Hak untuk Didengar Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. d. Hak untuk Memilih Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi
Universitas Sumatera Utara
bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi pembeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar yang Diberikan Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai tukar uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi : take it or leave it. Jika setuju silakan beli, jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar uang yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masingmasing pihak.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan hukum antara psodusen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pada tokotoko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu. h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap mahkluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan non fisik.
Universitas Sumatera Utara
i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang Persaingan curang atau dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikat baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hakhaknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dimungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen
Universitas Sumatera Utara
tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. 30 B. Kewajiban Konsumen Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk: 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 31 Hal ini dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan konsumen dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. 32 E.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan
Konsumen, memberikan pengertian pelaku usaha, sebagai berikut:
30
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 33-40 Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen 32 Gunawan Widjaja dan Ahmat Yani, Op. Cit, hal. 31 31
Universitas Sumatera Utara
“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 33 1. Hak Pelaku Usaha Untuk menciptakan kenyamanan barusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK. a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen
tidak
diakibatkan
oleh
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan;
33
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 34 Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar. 2. Kewajiban Pelaku Usaha Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajibankewajiban sebagai berikut: 35 a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
34 35
Ibid Pasal 6 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesepakatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 36 Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan iktikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah yang membuat perjanjian harus mempunyai iktikad baik. Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
36
Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukankegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang drancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan tranksasi dengan proddusen. 37 Disamping hak dan kewajiban pelaku usaha diatas, ada beberapa laranganlarangan bagi pelaku usaha dalam menjalan usahanya. Larangan tersebut diatur dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 13 dan pasal 17 UUPK. Namun, ketentuan pasal 8 merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara genaral bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha di negara Republik Indonesia. Adapun larangan-larangan tersebut ialah: (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-udangan;
37
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalamlabel, etiket atau keterangan barang da/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluwarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasan/dibuat;
Universitas Sumatera Utara
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 38 Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-undang tersebut dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu: 1. larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; 2. larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. 39 Untuk itu, informasi menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha sematamata, melainkan juga dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dapat
38 39
Pasal 8 Ayat (10) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2008), Hal. 41
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan, dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan. 40 Selain ketentuan-ketentuan larangan yang diatur dalam pasal 8 UUPK tersebut, ada beberapa ketentuan lain yang melarang bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Ketentuan tersebut dikhususkan kepada pelaku usaha periklanan, untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen supaya konsumen dapat memilih dengan baik barang dan/atau jasa yang cocok untuk dikonsumsi. Pasal 9 melarang setiap pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan maupun memperdagangkan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau metode tertentu, karakteristik tertentu,sejarah atau guna tertentu; b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; 40
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 40
Universitas Sumatera Utara
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. Barang tersebut tidak mengadung cacat tersembunyi; g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. Barang tersebut berasaldaridaerah tertentu; i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap; k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Dalam pasal 10 UUPK, pelaku usaha yang mewarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa. Pasal 12 berhubungan dengan larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
Universitas Sumatera Utara
dengan harga atau tarif khusus dalam suatu waktu dan dalam jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut sesungguhnya tidak bermaksud untuk melaksanaknnya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diklankan tersebut. Selanjutnya, ketentuan pasal 13 melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan: a. Suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana dijanjikannya; b. Obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat-alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Pasal 17 secara khusus memberlakukan larangan bagi pelaku usaha periklanan untuk memproduksi iklan yang : a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketetapan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. Membuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
Universitas Sumatera Utara
d. Mengeksploitasi kajadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; e. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. 41
41
Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, hal. 43-45
Universitas Sumatera Utara