20
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
2.1
Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian Konsumen Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya.
Sejalan dengan
perkembangan itu beberapa negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan konsumen Internasional, yaitu International Organization of Cunsumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.1 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
1
Nurmadjito, makalah Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, 2000, Mandar Maju, Bandung, H. 12.
21
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.2 Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis, maupun tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen.
Dalam naskah-naskah
akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundangundangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen.
Dari naskah-naskah
akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain3 : a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kahakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan. b. Batasan Konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi : Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai perbandingan.
Umumnya dibedakan antara konsumen antara dan konsumen
akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikannya dalam ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-sama dengan peraturan sesuatu bentuk hubungan hukum.4
2
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, H. 3. 3
Ibid, H. 9.
4
Ibid.
22
Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni5 : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha6, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Sedangkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian konsumen, yakni : Pasal 1 ayat (2) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam definisi konsumen diatas, diantaranya7 : a. Setiap orang, istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke 5
Ibid, H. 13.
6
Mariam Darus, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku), Binacipta, Jakarta, H. 57. 7
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, H. 4.
23
b.
c.
d.
e.
f.
2.1.2
persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Namun, konsumen juga harus mencakup badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. Pemakai, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Barang dan/atau Jasa, berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa sebagai pengganti terminology tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Yang Tersedia dalam Masyarakat, artinya barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Bagi Kepentingan Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain, transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lian, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakan dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan, Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. Pengertian Produsen atau Pelaku Usaha Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang
dan/atau jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional8, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.9 Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari produsen.
8
Agnes M. Toar, 1988, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, DKIH Belanda-Indonesia, Ujung Padang, H. 2. 9
Harry Duintjer Tebbens, 1980, International Product Liability, Sitjhoff & Noordhoff International Publisher, Netherland, H. 4.
24
Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan secara luas.
Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk
makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industry (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan konsumen.
Mereka itu adalah pabrik (pembuat),
distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian pelaku usaha, yakni : Pasal 1 angka 3 Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari telaah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan Directive, pengertian “produsen” meliputi10 : a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya; 10
Agus Brotosusilo, 1998, Makalah Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia, dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf Shofie, YLKI-USAID, Jakarta, H. 53.
25
b. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk; c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang. 2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha 2.1.3.1 Hak dan Kewajiban Konsumen 1. Hak-Hak Konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum.
Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan
sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identic dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Presiden Jhon F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen yang harus dilindungi, yaitu11 : a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety) Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggungjawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen; b. Hak mendapat infomasi (the right to be informed) Hak ini mempunyai arti yang snagat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai suatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen; 11
Vernon A. Musselman dan Jhon H. Jackson, 1992, Introduction to Modern Business, diterjemahkan Kusma Wiriadisastra, Erlangga, Jakarta, H. 294.
26
c. Hak memilih (the right to choose) Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogratif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen; d. Hak untuk didengar (the right to be heard) Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan produsen. Indonesia melaui UUPK menetapkan hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UUPK, antara lain : a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar,, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya; e. Hak untuk mendapatkan adcokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secraa benar dan jujur secara tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengganti, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Selain hak-hak konsumen tersebut, UUPK juga mengatur hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7 UUPK, yakni tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan
27
antonym dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.12 2. Kewajiban Konsumen Selain
memiliki
hak,
konsumen
juga
mmemiliki
kewajiban.
Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, kewajiban tersebut diantaranya adalahsebagai berikut : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selain itu, hak daripada pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 6 UUPK juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen. Maka dari itu, kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UUPK. 2.1.3.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 1. Hak-Hak Pelaku Usaha Pelaku usaha dan konsumen merupakan bagian penting dari hubungan atau transaksi ekonomi.
Dengan begitu sangatlah penting mengenai
batasan-batasan terhadap hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat dalam hubungan atau transaksi ekonomi tersebut.
Adanya hak dan
kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan dalam
12
H. 51.
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
28
berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.13 Dalam Pasal 6 UUPK Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Kewajiban Pelaku Usaha Sama halnya konsumen yang memiliki kewajiban, pelaku usaha juga mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan dalam memperdagangkan barang dan/atau jasnya. Berdasarkan Pasal 7 UUPK kewajiban pelaku usaha, antara lain : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secraa benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
13
Happy Sutanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, H. 34.
29
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 2.1.4 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan/atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu.14 Dalam berbagai literature ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen.
Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua
istilah tersebut itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah15 : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.
14
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, H. 37. 15
Az. Nasution, op.cit, H. 23.
30
Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai16 : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisi itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut17 : Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang. Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya.
Dengan demikian, hukum perlindungan
konsumen atau hukum dapat diartikan sebagai berikut18 : Kesuluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun
16
Ibid, H. 66.
17
Ibid, H. 67.
18
Janus Sidabalok, op. cit, H. 38.
31
hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari pelaku usaha, meliputi informasi, memilih harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian.
Sedangkan bagi pelaku usaha meliputi kewajiban yang berkaitan
dengan produksi, penyimpanan, peredaran, dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hhak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Dengan memadukan
uraian diatas, hukum perlindungan dapat didefinisikan19 : Keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, dan mengatur upayaupaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 2.1.5 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen, mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturan-peraturan tingkat menteri dan peraturan instansi di bawahnya. Di antara peraturan perundangundnagan itu, ada yang dibuat sejak sebelum masa kemerdekaan dan kini masih 19
Ibid, H. 39.
32
berlaku setelah mengalami penyesuaian, perubahan, atau penambahan sesuai dengan kebutuhan. Dalam Country Report delegasi Indonesia pada ASEAN Consumer Protection Seminar, yang diselenggarakan di Manila pada 30 September sampai 4 Oktober 1980, antara lain, dimuat lampiran perundang-undangan yang ada hubungannya dengan perlindungan konsumen, yaitu yang berhubungan dengan barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan keamanan barang sebanyak 14 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan masalah lingkungan hidup sebanyak 10 buah.20 Sedangkan dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen pada tanggal 16-18 Oktober 1980 di Jakarta, R. Sianturi menyebutkan sebanyak 119 buah peraturan di bidang kesehatan terdiri atas obatobatan sebanyak 56 buah, makanan dan minuman sebanyak 15 buah, bidang kosmetika dan alat kesehatan sebanyak 8 buah, dan jasa pelayanan kesehatan sebanyak 40 buah.21 Setelah tahun 1980 tantu masih banyak lagi peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, terutama peraturan yang lebih rendah dari undangundang, berkaitan dengan program deregulasi di segala bidang yang digalakkan sejak tahun 1988. Namun, membuat peraturan perlindungan konsumen dalam satu undang-undang tersendiri barulah terealisasi melalui Undang-Undang Nomor 20
Permadi, 1986, Penerapan Peraturan Perundang-Undangan dan Manfaat bagi Kegiatan Perlindungan Konsumen, makalah pada Lokakarya Peningkatan Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 28-30 Juni 1986, H. 8. 21
R. Sianturi, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Perundang-Undangan Kesehatan, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, 16-18 Oktober 1980, Binacipta, Jakarta, H. 48.
33
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dalam Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, dan berlaku efektif satu tahun setelah diundangkan, yaitu sejak tanggal 20 April 2000. Sebelum undang-undang ini lahir, sekurang-kurangnya telah ada 2 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen; 1 yang dipersiapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan 1 lagi dipersiapkan oleh Tim Kerja Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
Telah dilangsungkan pula
berbagai pertemuan ilmiah yang membahas dan mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen ini. Di tingkat undang-undang, sebelum berlakunya UUPK tersebut, telah ada beberapa undang-undang yang secara tidak langsung bertujuan untuk melindungi konsumen dapat disebutkan sebagai berikut22 : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, Bagian HUkum Perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3. Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stb. 1949-337; 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang; 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-Usaha Umum; 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung; 7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; 11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 12. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; 22
Janus Sidabalok, op.cit, H. 41.
34
14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; 15. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); 17. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 18. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 19. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan; 20. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta; 21. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten; 22. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek; 23. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; 24. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; 25. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 26. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 27. Dan lain-lain. Peraturan perundang-undangan yang mengandung aspek perlindungan konsumen itu dapat dikelompokkan kedalam empat bagian besar, yaitu bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya masih dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut undang-undang tersebut atau jika tidak bertentangan dengan uindang-undang tersebut. Pasal 64 UUPK menyebutkan :
35
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Dengan demikian, UUPK ini dapat dijadikan sebagai payung (umbrella act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat nanti.
2.2
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum BPSK Penyelesaian suatu perkara atau sengketa di dalam kehidupan masyarakat saat ini dalam praktiknya tidak hanya dilakukan melalui pengadilan tetapi juga dapat diselesaikan di luar jalur pengadilan.
Salah satu sengketa yang dapat
diselesaikan di luar pengadilan adalah sengketa konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang ada di masyarakat, dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pemerintah telah memberikan instrumen baru berupa lembaga hukum yang berbentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) guna menyelesaikan sengketa konsumen.23 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah merupakan badan yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan suatu lembaga khusus yang 23
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, H. 126.
36
telah di atur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang khusus menangani sengketa konsumen. Tugas utama dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada intinya adalah menangani sengketa konsumen melalui jalan mediasi, arbitrase maupun konsiliasi. Peraturan hukum yang mendukung terbentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen24 : a. Undang-Undang Nomor 8 Tentang Perlindungan Konsumen; b. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN); c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; d. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); e. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); f. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 301 MPP/Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); g. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 302 MPP/Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); h. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 301 MPP/Kep/10/2001 Tanggal 10 Desember 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); i. Surat Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tanggal 29 Agustus 2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); j. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Kosumen (BPSK); k. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
24
Hukum Online, 22 November 2010, Dasar Hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc7facb76176/dasarhukum-badan-penyelesaian-sengketa-konsumen (diakses pada Selasa, 6 Oktober 2015 pukul 10:30 WITA).
37
2.2.2 Susunan dan Keanggotaan BPSK Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip dengan Badan Arbitrase. Baddan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah yang berkedudukan di Ibu Kota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lambaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK ini dapat disebut sebagai Peradilan Kuasi. BPSK berkedudukan di Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya dibentuk melalui Keputusan Presiden, dengan susunan25 : 1. 1 orang ketua merangkap anggota; 2. 1 orang wakil ketua merangkap anggota, dan; 3. 9 sampai 15 orang anggota. Anggota BPSK terdiri dari unsur-unsur : pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat dan beberapa Anggota Sekretariat. Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
25
Janus Sidabalok, op. cit., H. 185.
38
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut Pasal 49 ayat (2) UUPK harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Warga negara Republik Indonesia; Berbadan sehat; Berkelakuan baik; Tidak pernah dihukum karena kejahatan; Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan Keppres tersebut telah dibentuk BPSK di 10 Daerah Tingkat III, yaitu di Kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012 sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota. 2.2.3 Tugas dan Wewenang BPSK Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi : a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sabagaimana dimaksud di angka 7 dan 8, yang tidak
39
j. k. l. m.
bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; Memutuskan atau menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Berdasarkan pemaparan tentang tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa tersebut di atas, dapat dilihat bahwa tugas utama dari dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa adalah untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen namun selain itu pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga mempunyai tugas lain yakni untuk lebih mengayomi dan memberikan fasilitas kepada konsumen untuk lebih dapat mengerti tentang apaapa saja hak-hak dari konsumen.