BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku ke III dengan judul “Tentang Perikatan”. Kata perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian. Sebab dalam Buku ke III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan, akan tetapi sebagian besar dari buku ke III di tunjukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.24 1. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai berikut:25 “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
24 25
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 122 Pasal 1313, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Terhadap rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya dikemukakan oleh: R. Subekti, yang memberi pengertian perjanjian: 26 “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, bahwa dalam bentuknya perjanjian merupakan serangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkannya atau ditulisnya.” M. Yahya Harahap, memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut: 27 “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi hak kekuatan kepada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. Abdulkadir Muhammad, mengatakan: 28 “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan hukum harta kekayaan”.
26 27
R. Subekti , Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hlm. 1 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hlm.
6 28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Alumni, 1980), hlm.77
Universitas Sumatera Utara
R. Setiawan, memberikan pendapat: 29 “Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari pengertian yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan, bahwa perjanjian merupakan perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang melakukan janji tersebut, untuk saling melakukan prestasi dan kontra prestasi dalam lapangan hukum kekayaan.30 Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya peraturan-peraturan hukum perjanjian yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya merupakan peraturan pelengkap saja. Jadi kepada masyarakat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat suatu perjanjian sesuai dengan syarat-syarat yang mereka tentukan dan sepakati bersama. Sistem terbuka dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1338 yang berbunyi:31 “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Jadi setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja sesuai dengan yang diangan-angankan, dikehendaki serta disepakati, asal perjanjian yang mereka buat
29
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 2 Ibid 31 Pasal 1338, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 30
Universitas Sumatera Utara
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum pada Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.32 Disamping manganut sistem terbuka, Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas konsensualitas. Asas konsensualitas itu penting untuk menentukan saat lahirnya suatu perjanjian. Adapun dari asas konsensualitas ini menurut R. Subekti, adalah: 33 “Bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul yaitu sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian antara para pihak”. Jadi suatu perjanjian dikatakan sah jika kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian itu telah mencapai kata sepakat. 2. Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian berisi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan pada syarat-syarat itu perjanjian dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak-pihak karena dari syaratsyarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak dan cara melaksanakannya.34 Perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan empat syarat sahnya suatu perjanjian:35
32
Pasal 1337, Kitab Undang-undang Hukum Perdata R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Alumni, 1982), hlm. 15 34 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 293 35 Pasal 1320, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 33
Universitas Sumatera Utara
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. b. Kecakapan untuk membuat perikatan Yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Menurut Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.36 c. Suatu hal tertentu Hal tertentu maksudnya objek yang diatur dalam perjanjian tersebut haruslah jelas, dan dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. d. Suatu sebab yang halal Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.
36
Pasal 330, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Dua syarat yang pertama (a dan b) dinamakan syarat subjektif, karena menyangkut orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian tersebut. Sedangkan dua syarat yang terakhir (c dan d) dinamakan syarat objektif, karena mengenai objek perjanjian itu sendiri.37 Sedangkan Abdul R. Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:38 a. Syarat subjektif Syarat subjektif adalah syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yag membuat perjanjian, meliputi: 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.39
37
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 36 Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Perdana, 2014), hlm. 12-13 39 Ibid 38
Universitas Sumatera Utara
b. Syarat objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu sendiri, yang meliputi: 1) Suatu hal tertentu, 2) Suatu sebab yang halal. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 3. Asas-asas Hukum Perjanjian Di dalam membuat suatu perjanjian tentunya harus memperhatikan asasasas yang ada pada perjanjian tersebut. Hukum perjanjian Indonesia mengenal asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan, beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:40 a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.41 Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:42
40
Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: CV. Utomo, 2003), hlm. 37 41 Pasal 1338, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 42 Johannes Ibrahim, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun. 3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, serta 4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. b. Asas konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan secara lisan saja, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya.43 c. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda) Asas kepastian hukum dapat dilihat pada Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.44 Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas kepastian hukum ini adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat 43 44
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 296 Pasal 1338 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.45 d. Asas itikad baik (good faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 Ayat 3 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.46 Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:47 1) Itikad baik dalam arti subjektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subjektif ini diatur dalam Pasal 531 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatakan “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung didalamnya”.48
45
Pasal 1338 Ayat (2), Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1338 Ayat (3), Kitab Undang-undang Hukum Perdata 47 Johanes Ibrahim, Op.Cit, hlm. 38 48 Pasal 531, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 46
Universitas Sumatera Utara
2) Itikad baik dalam arti objektif, yaitu penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif. e. Asas kepribadian (personality) Asas kepribadian ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian ini diatur dalam Pasal 1340 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.49 pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. 4. Berakhirnya perjanjian Suatu perjanjian berakhir apabila perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut telah dilaksanakan, yaitu masing-masing telah memenuhi prestasinya. Menurut R. Setiawan ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian, yaitu:50 a. Ditentukan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, misalnya perjanjian berlaku untuk waktu tertentu. b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan dengan terjadinya peristiwa tertentu suatu perjanjian akan berakhir. d. Pernyataan penghentian perjanjian (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Apabila para pihak telah merasa bahwa tujuan perjanjian sudah tercapai. 49 50
Pasal 1340 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata Johanes Ibrahim, Op.Cit, hlm. 96
Universitas Sumatera Utara
g. Dengan persetujuan para pihak, untuk mengakhiri perjanjian tersebut. Sedangkan berakhirnya dari suatu perikatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyebutkan sepuluh hapusnya suatu perikatan, yaitu:51 a. Pembayaran, pengertian pembayaran dalam hal ini harus dipahami secara luas tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu diartikan oleh masyarakat hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata-mata. Karena ditinjau dari segi teknis, tidak selamanya mesti berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu bisa saja dengan pemenuhan jasa, atau pembayaran dengan bentuk berwujud atau dengan immaterial. Pembayaran prestasi dapat dilakukan dengan melakukan suatu prestasi. b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
barang,
sepatutnya
dilaksanakan
sesuai
hal
yang
diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
51
Pasal 1381, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
c. Pembaharuan menyebabkan
hutang
(Novasi),
berakhirnya
suatu
pembaharuan perjanjian,
hutang
sebab
dapat
munculnya
perjanjian baru yang menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur. d. Kompensasi atau perhitungan timbal balik, dengan cara ini adalah suatu cara penghapusan dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan debitur. e. Percampuran hutang, pencampuran hutang terjadi jika kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu, maka terjadilah secara otomatis pencampuran hutang, misalnya bila debitur menjadi ahli waris tunggal dari debitur, dan bila seorang wanita juga seorang debitur kemudian menikah dengan kreditur dalam suatu percampuran hutang.52 f. Pembebasan hutang, pembebasan hutang ini dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakatai dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada, dengan demikian berakhirlah suatu perjanjian. Namun pembebasan hutang pada masa sekarang sungguh sangat sulit, hal ini disebabkan karena ketatnya persaingan ekonomi.
52
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 144
Universitas Sumatera Utara
g. Hapusnya barang yang diperjanjikan, jika barang yang menajadi objek suatu perjanjian musnah, maka perjanjian itu menjadi hapus asal musnahnya barang itu bukan karena kesalahan pihak debitur dan dalam hal ini pihak debitur harus membuktikannya. h. Pembatalan perjanjian, tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memnuhi syarat kecakapan hukum. i. Berlakunya suatu syarat batal, yang dimaksud dengan syarat batal adalah suatu syarat yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal atau perjanjian itu tidak pernah ada. Biasanya digantungkan pada suatu peristiwa yang terjadinya tidak tentu. j. Lewat waktu (daluwarsa), daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, maka para pihak kembali kepada keadaan semula seperti sebelum perjanjian itu dibuat, dan para pihak terlepas dari hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian tersebut. B. Wanprestasi Dalam Perjanjian Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek hukum yaitu pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi. Di dalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tidak jarang pula debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya atau
Universitas Sumatera Utara
tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal inilah yang disebut dengan keadaan wanprestasi.53 1. Pengertian Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi yang buruk dan bila dibandingkan dengan perkataan wanbeheer yang berarti pengurusan yang buruk, demikian juga perkataan wandaad yang berarti perbuatan yang buruk.54 Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana tentang pengertian wanprestasi tersebut, yaitu: Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa:55 “Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian”. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa:56 “Wanprestasi
terjadi
apabila
debitur
“karena
salahnya”
tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji”.
53
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 50 Ibid 55 Wirjono Prodjidikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 17 56 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank,(Bandung, Alumni, 1978), hlm. 54
59
Universitas Sumatera Utara
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa:57 “Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya. Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka buat maka pihak yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi”. Dari uraian tersebut dapat diketahui maksud dari wanprestasi yaitu seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi bilamana tidak memberikan prestasi sama sekali, terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tetapi tidak menurut ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian.58 Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian, prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian tersebut makan dikatakan wanprestasi.59 2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:60 a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dapat dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak tepat waktunya, apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru, debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. 57
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60 Achmad Ichsan, Hukum Perdata-IB, (Bandung: Pembimbing Masa, 1969), hlm. 38 59 Ibid 60 Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, (Medan: USU Press, 1992), hlm. 7 58
Universitas Sumatera Utara
Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya, maka untuk menentukan seseorang itu wanprestasi tergantung kepada waktu yang diperjanjikan. Dalam kenyataannya, untuk menentukan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian tidaklah mudah karena sering sekali terjadi di dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus sudah dilaksanakan. Yang mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu pada saat seseorang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian tersebut dan debitur tidak memenuhi perikatan maka dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Jika dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan atau ditentukan kapan suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata, penetuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari pihak kreditur kepada pihak debitur yang biasanya dalam bentuk somasi atau teguran. Pada Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.61 Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah menerima surat somasi.
61
Pasal 1238, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
3. Akibat Terjadinya Wanprestasi Seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika pihak debitur tetap tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikannya, pihak debitur itu berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap debitur yang lalai dapat dikenakan empat sanksi yaitu:62 a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, Adapun ganti rugi yang dikenalkan dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:63 1) Biaya, biaya merupakan segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh pihak kreditur. 2) Rugi, rugi merupakan setiap kerugian yang disebabkan karena kerusakan barang yang merupakan kepunyaan kreditur yang timbul sebagai akibat kelalaian debitur.64 3) Bunga, bunga merupakan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan dan dihitung oleh kreditur. Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam Pasal 1248 sampai dengan Pasal 1251 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, oleh undang-undang diberikan ketentuan tentang apa yang dapat dimasukan dalam ganti rugi tersebut. Dapat dikatakan ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian seorang debitur yang lalai, masih dilindungi oleh undang-undang terhadap kewenangan si kreditur.65
62
Wan Sadjaruddin Baros, Op.Cit, hlm. 8 Pasal 1243, Kitab Undang-undang Hukum Perdata 64 R Subekti , Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 49 65 Nasrani, “Tinjauan Hukum Mengenai Penyelesaian Wanprestasi Yang Timbul Pada Perjanjian Kredit Bank”, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2005), hlm. 45 63
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1248 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan:66 “Bahkan hal jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.” b. Pembatalan perjanjian, pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau pihak kreditur sudah menerima prestasi dari pihak debitur, baik uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena adanya kelalaian pihak debitur ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang antara lain menganggap bahwa syarat batal selamanya dianggap tercantum dalam perjanjian dalam timbal balik. Meskipun pembatalannya harus dimintakan kepada hakim, jadi pembatalan suatu perikatan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi itu, melainkan harus dimintakan kepada hakim dan hakimlah yang membatalkan perjanjian itu dengan keputusannya.67 Dengan demikian wanprestasi hanyalah sebagai alasan hakim untuk menjatuhkan keputusannya yang membatalkan perjanjian itu. Karenanya hakim menurut keadaan berwenang untuk memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam 66 67
Pasal 1248, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Nasrani, Op.Cit, hlm. 46
Universitas Sumatera Utara
memberikan waktu tersebut hakim harus mempertimbangkan apakah debitur dapat memenuhi prestasinya, dan apakah prestasi itu ada manfaatnya bagi kreditur. Tenggang waktu yang diberikan untuk memenuhi prestasinya ini disebut dengan terme de grace (jangka waktu pengampunan). Apabila tenggang waktu yang ditentukan dalam mana pihak debitur harus memenuhi kewajibannya telah lampau dan debitur masih dalam keadaan wanprestasi, maka hal ini berakibat harta benda milik debitur akan dieksekusi atau dilelang untuk memenuhi tuntutan dari krediturnya, dalam hal ini apabila ternyata pihak debitur ada meminjam sebagian harta bendanya dalam bentuk gadai, fidusia maupun hipotik maka ekseskusinya dilakukan terhadap barang jaminan tersebut. c. Peralihan risiko, peralihan risiko atas kelalaian seorang debitur disebut dalam Pasal 1237 Ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Yang mengatakan “Jika si berutang lalai akan meyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.”68 d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim, tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi ke empat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya
68
Pasal 1237 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
perkara terdapat pada Pasal 181 Ayat (1) HIR. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi perkara dimuka hakim.
Universitas Sumatera Utara