28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT
2.1 Pengertian Wanprestasi dan Perjanjian Kredit 2.1.1 Pengertian Wanprestasi Dalam setiap perjanjian yang dibuat para pihak, maka masing-masing pihak diwajibkan untuk memenuhi apa yang menjadi isi dari perjanjian atau para pihak wajib untuk memenuhi prestasinya. Perjanjian melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, maka pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan masing-masing pihak. Apabila dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut ada sesuatu hal yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka hal ini menimbulkan wanprestasi. Menurut A. Ridwan Halim. wanprestasi adalah “kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah dibuat”.1
1
A. Ridwan Halim, 1982. Hukum Dalam Tanya jawab. Gahlia Indonesia. Jakarta, h. I 58.
28
29
Menurut J. Satrio. “Pada wanprestasi kreditur tidak memperoleh apa yang diperjanjikan oleh pihak lawan dan debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya”.2 Menurut Abdulkadir Muhammad, wanprestasi berasal dari istilah aslinya “dalam bahasa Belanda “wamprestatic” yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yakni : a. Kelalaian atau kesalahan debitur baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. b. Karena keadaan memaksa (force majure) jadi keadaan di luar kemampuan debitur. Dalam hal ini debitur tidak bersalah.3 Sesuatu yang menjadi objek dari perikatan yang menjadi kewajiban bagi yang berhutang dan sebaliknya menjadi hak bagi yang berpiutang, hal ini dikatakan sebagai prestasi. Yang dimaksud sesuatu adalah benda yang berwujud maupun benda yang tidak berwujud atau benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Pada Pasal 1234 B W, prestasi dapat berupa : a. Memberikan sesuatu, contoh : penyerahan benda secara nyata dan secara yuridis dalam perjanjian jual beli. b. Berbuat sesuatu, contoh : membuat lukisan atau patung.
2
J. Satrio, 1995. Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari Perjanjian) (Buku 11). PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 314. 3
Abdulkadir Muhammad 1. op.cit. h. 20.
30
c. Tidak berbuat sesuatu, artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang diperjanjikan, misalnya tidak membuat tembok yang lebih tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangga. Apabila salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan (prestasi), maka pihak tersebut dianggap melakukan wanprestasi. Dengan demikian wanprestasi terjadi apabila tidak dilakukannya kewajiban yang seharusnya dilakukan sesuai perikatan yang telah disepakati, termasuk juga lalai dalam memenuhinya. Hal-hal yang termasuk kategori lalai adalah : jika tidak terpenuhi kewajiban sama sekali. jika memenuhi sebagian kewajiban. jika memenuhi kewajiban akan tetapi terlambat memenuhinya. Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak mempunyai akibat hukum bagi pihak lainnya, oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan sejak kapan seseorang itu dikatakan melakukan wanprestasi. Sehingga perlu diperhatikan isi dari perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani bersama, apakah dalam perjanjian tersebut ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Apabila dalam perjanjian telah ditentukan batas waktu pemenuhan prestasi, maka pemenuhan prestasi harus dilakukan sebelum batas waktu tersebut lewat. Tetapi apabila dalam perjanjian tidak dicantumkan tenggang waktu pemenuhan prestasinya, maka perlu dilakukan peringatan pada pihak yang bersangkutan agar memenuhi.
31
2.1.2 Jenis-Jenis Wanprestasi Menurut Mariam Darus Badrulzaman. ada tiga bentuk atau tiga jenis wanprestasi, yakni : a. Debitur sama sekali tidak berprestasi Dalam keadaan ini debitur sama sekali tidak berprestasi, sehingga tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, karena debitur memang betul-betul sudah tidak ada kemampuan sama sekali untuk melaksanakan prestasinya. b. Debitur salah berprestasi Dalam hal debitur berprestasi salah, apakah debitur dinyatakan lalai lebih dahulu oleh kreditur agar nantinya dapat menuntut pembatalan perikatan dengan tambahan ganti rugi, biaya atau bunga. c. Debitur terlambat berprestasi Dalam hal ini berarti tidak berprestasinya debitur tepat pada waktu yang telah disepakati dengan kreditur akan tetapi debitur berprestasi melebihi dari waktu yang telah disepakati bersama.4 Menurut Wiryono Prodjodikoro wanprestasi berarti “ketiadaan suatu prestasi. yang dapat berwujud tiga macam, yakni : a. Pihak berwajib sama sekali tidak melaksanakan janji. b. Pihak berwajib terlambat melaksanakan janji. c. Pihak berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak sebaik-baiknya.5 Untuk menentukan apakah seorang debitur itu bersalah melakukan prestasi, maka ada tiga bentuk wanprestasi, yaitu : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali; Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa disebabkan karena memang debitur secara objektif tidak mungkin berprestasi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. 4
Mariam Darus Badrulzaman, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Alumni Bandung. Jakarta, h. 19. 5
h.45.
Wiryono Prodjodikoro, 1997, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung. Bandung.
32
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi; Pihak debitur memang benar sudah melakukan prestasi dan objek prestasinya benar, namun tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya, seperti kelalaian dalam memenuhi prestasi tepat pada waktunya. c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Disini debitur memang dalam pikirannya telah memberikan prestasinya tetapi dalam kenyataanya yang diterima kreditur lain daripada yang telah diperjanjikan.6 Dari bentuk-bentuk wanprestasi ini, kadang-kadang menimbulkan keraguan untuk menentukan bentuk yang mana debitur yang melakukan wanprestasi. Apabila debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya, maka termasuk pada bentuk pertama, sedangkan apabila debitur masih memenuhi prestasinya, maka dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Apabila debitur memenuhi prestasi tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, maka ada dua kemungkinan yaitu apabila masih dapat diharapkan untuk diperbaiki, maka dianggap terlambat memenuhi prestasi, dan apabila tidak dapat diharapkan lagi maka dianggap debitur tidak dapat memenuhi prestasi sama sekali. 2.1.3 Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang kesemuanya berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris “faith” dan “trust”. Dapat dikatakan dalam 6
Ibid, hal. 21.
33
hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya Bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan. Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan populer, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja denean istilah hutang.7 Secara umum kredit dapat diartikan sebagai penyedia uang atau tagihantagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi ulangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga yang telah ditetapkan sesuai dengan yang diperjanjikan. Dr. Mariam Darus Badrulzaman mengartikan kredit sama dengan hutang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas hutang tersebut dengan kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang artinya “percaya”. Bila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian “bahwa bank selaku kreditur percaya meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan”.8
7
Rachmadi Usman. 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. h. 236 8
Mariam Darus Badrulzaman, 1978. Perjanjian Kredit Bank. Alumni. Bandung, h. 19
34
Drs. OP. Simorangkir meyatakan bahwa kredit adalah “pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan belas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang”.9 Menurut Mgs. Edv Putra Tje’Aman kredit merupakan : “Perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakati akan dikembalikan atau dibayarkan lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini merupakan hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberi dan penerima prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun”.10 Sedangkan dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penyedia uang atau tagihan. Seperti pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada pasal 1 angka 11, yang menyebutkan bahwa kredit adalah “Penyedia uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”. Berdasarkan definisi di atas terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit, yakni :
9
H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan Dilndonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, h.l.
10
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, 1989, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Libery. Yogyakarta, h. 10.
35
a. Kepercayaan, yang merupakan keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang. barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang. b. Kesepakatan, yakni dituangkan dalam suatu perjanjian, dimana masingmasing pihak menandatangani hak dan kewajibannya. c. Jangka Waktu, yakni mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. d. Resiko, yakni tanggungan bank. baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun resiko yang tidak disengaja seperti terjadinya bencana alam atau bangkrutnya usaha debitur. e. Balas jasa, yakni keuntungan atas pemberian kredit atau jasa yang dikenal dengan bunga kredit.11 2.2.4 Jenis-Jenis Kredit Adapun jenis-jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria yaitu dari : 1. Penggolongan Kredit Berdasarkan Tujuan Penggunaannya a. Kredit Produktif adalah kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahausahanya. Untuk kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu :
11
Kasmir, 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi keenam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 94.
36
Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai Kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan. b. Jasa-jasa Dunia Usaha12 2. Penggolongan Kredit menurut Sifat Pengertian sifat disini berhubungan dengan perkembangan baki debet sejak kredit ditarik/dipergunakan sampai dengan kredit dilunasi. Dengan demikian, maksud dan tujuan penentuan sifat kredit adalah untuk memudahkan pengawasan pelaksanaan penarikan dan pelunasan kredit. Pemahaman sifat kredit akan bermanfaat bagi petugas kredit karena dapat menetapkan suatu kebijakan perkreditan bagi bank dan membantu dalam mendiagnosis kebutuhan dana bagi nasabah sehingga akan dapat menetapkan jenis yang tepat.13 3. Penggolongan Kredit Berdasarkan Bentuk yang disalurkan a. Cash Loan adalah pinjaman uang tunai yang diberikan bank kepada nasabahnya sehingga dengan pemberian fasilitas ini, bank telah menyediakan dana yang dapat digunakan oleh nasabah berdasarkan ketentuan yang ada dalam perjanjian kreditnya. b. Non Cash Loan adalah fasilitas yang diberikan bank kepada nasabahnya, tetapi atas fasilitas tersebut bank belum mengeluarkan uang tunai. Dalam hal ini bank baru menyatakan kesanggupan untuk
12 13
Ibid. h. 16 Ihid. h.23
37
menjamin pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak lain/pihak ketiga, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank.14
4. Penggolongan Kredit Menurut Cara Penarikannya a. Kredit Sekali Jadi, yaitu merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara berpindahpindah. b. Kredit Rekening Koran, dalam hal ini baik penyediaan dana maupun penarikannya dilakukan sekaligus, tetapi secara tidak teratur kapan saja dan berulang-ulang. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan selama plafond kredit masih tersedia, dilakukan dengan melalui pemindahbukuan,
penarikan
cek.
bilyet
giro
atau
perintah
pemindahbukan lainnnya. c. Kredit Berulang-ulang, kredit ini biasanya diberikan terhadap debitur yang tidak memerlukan kredit sekaligus, tetapi secara berulang-ulang sesuai kebutuhan, asalkan masih dalam batas maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan. Kredit ini berbeda dengan kredit rekening Koran, karena lebih dibatasi terutama dalam hal penarikan penyetorannya.
14
Ibid. h. 31
38
d. Kredit Bertahap, merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa termin, misalnya tranche I, II, III dan IV. Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan barang
modal
maupun
jasa
yang
dimaksudkan
untuk
menghasilkan suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan. e. Kredit Konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada orang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber pengembaliannya dari fixed inconie debitur).15 5. Penggolongan Berdasarkan Jangka Waktu a. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun. b. Kredit jangka menegah, yaitu kredit yang diberikan, dalam jangka waktu antara I (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. c. Kredit jangka panjang, yaitu kerdit yang diberikan lebih dari 3 (tiga) tahun.16 6. Penggolongan Kredit dilihat Menurut Lembaga yang Menerima Kredit a. Kredit untuk badan usaha pemerintah/daerah, yaitu kredit yang diberikan kepada perusahaan/badan usaha yang dimiliki pemerintah.
15
16
H.R.Daeng Naja, op.cit, h. 125 Ibid, h. 125-126
39
b. Kredit untuk badan usaha swasta, yaitu kredit yang diberikan kepada perusahaan/badan usaha yang dimiliki swasta. c. Kredit perorangan, yaitu kredit yang diberikan bukan kepada perusahaan tetapi kepada perorangan.
d. Kredit untuk bank koresponden, lembaga pembiayaan dan perusahaan asuransi, yaitu kredit yang diberikan kepada bank koresponden, lembaga pembiayaan dan perusahaan asuransi.17
2.2 Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu. Isitilah perjanjian terdapat dalam KUHPerdata buku ke III mengenai perikatan pada umumnya. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Jadi suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana
17
H.Veithzal rivai dan andria Permata Veithzal. 2005, Credit Management Handbook (Teori, Konsep, Prosedur dun Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir dan Nasabah). PT. Raja Gratindo Persada. Jakarta, h. 12
40
masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu yang berupa menyerahkan sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu. Perjanjian juga didefinisiakan sebagai suatu hubungan antar dasar hukum kekayaan antara dua pihak atau lebih dimana pihak satu berkewajiban memberi suatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu.18 Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.19 Pengertian kredit sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Jadi seseorang yang telah menyatakan kepercayaan dari kreditur.20 Kredit juga berarti meminjamkan uang atau pemindahan pembayaran; apabila orang menyatakan membeli secara kredit maka hal ini berarti si pembeli tidak harus membayarnya pada saat itu juga.21 Kredit menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 11 menyatakan : “Kedit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
18
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, 2001. Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Cet. II. CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 35. 19
20
21
R. Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 1. Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 4. Budi Untung.H. 2000, Kredit Perbankan Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 1.
41
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Perjanjian Kredit merupakan perikatan antara dua pihak atau lebih yang menggunakan uang sebagai obyek dari perjanjian, jadi dalam perjanjian kredit ini titik beratnya adalah pemenuhan prestasi antara pihak yang menggunakan uang sebagai obyek atau sesuatu yang dipersamakan dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan antara antara bank dengan nasabah penerima kredit, bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Perjanjian kredit adalah hubungan hukum kontraktual antara bank dan pihak lain berdasarkan atas sepakat, dimana bank meyerahkan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dan mewajibkan pihak lain mengembalikannya dengan jangka waktu tertentu disertai pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor. Perjanjian yang seperti ini bisa berpotensi menimbulkan permasalahan, karena dalam membuat perjanjian tersebut debitur tidak dilibatkan. Menurut Marhainis Abdul Hay, bahwa ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tentang perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam meminjam, dengan menentukan bahwa perjanjian pinjam meminjam adalah : “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
42
pihak yang belakangan ini mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”22 Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah kreditur.23 Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sangsi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.24
2.2 Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal ini merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya sehingga dari perjanjian tersebut nantinya akan menimbulkan suatu perikatan.
22
Marhainis Abdul Hay, 1979, Hukum Perjanjian di Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 147. 23
Hermansyah, 2009, Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 71. 24
Kasmir, 2003, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Keenam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 93.
43
Suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri atau dengan kata lain tidak mengikat pihak lainnya. Perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Para pihak dalam kredit pada dasarnya hanya dua, yaitu pihak kreditur, yaitu bank dan pihak debiturnya adalah nasabah. Menurut UndangUndang /nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Sedangkan “nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank” dan “nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Namun masalahnya akan menjadi lain apabila barang jaminan diberikan oleh pihak ketiga yang turut serta menandatangani perjanjian kredit (hutang-piutang) atau Personal Guarantee diberikan oleh pihak ketiga. Jadi disini pihak ketiga bertindak sebagai penjamin. Hal itu akan berdampak luas apabila debitur wanprestasi.25 Kreditur adalah pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur. Sedangkan debitur adalah pihak yang meminjam atau menerima pinjaman dari kreditur. Sebagai pihak yang aktif, kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya yaitu 25
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000, hal 3.
44
tidak mengembalikam pinjaman uang yang telah dipinjam tepat pada waktunya. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa memberi peringatan-peringatan atau menuntut di muka pengadilan daln lain sebagainya.26 2.3.Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di dalam perjanjian kredit, bank sebagai pihak pemberi kredit memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan jangka waktu perjanjian. Kewajiban ini tidak bersifat mutlak, bank berhak menyimpanginya dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan dalam perjanjian itu. Bank sebagai kreditur berhak secar sepihak dan sewaktuwaktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegur debitur untuk tidak mengijinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh debitur dan mengakhiri jangka waktu kredit tersebut. Posisi bank sebagai pemberi kredit lebih kuat dibandingkan dengan nasabah sebagai penerima kredit. Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak pihak bank lebih menonjol dari pada yang mengatur mengenai kewajibannya. Satu-satunya mengenai kewajiban pihak bank sebagai kreditur adalah menyediakan kredit selama jangka waktu yang ditentukan, dimana masih digantungkan pada berbagai syarat yaitu jika penerima kredit memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hak dari pemberi kredit sebagai kreditur adalah mendapatkan pembayran kembali dari kredit yang telah diberikan beserta dengan bungannya. Sedangkan hak debitur selaku penrima kredit adalah mendapatkan kredit dejumlah yang diajukan dan disetujui oleh pihak kreditur.
26
Purwahid Patrik, Op.cit., hal.2.
45
Dalam pasal 1759-1762 KUHPerdata mengatur mengenai kewajibankewajiban orang yang meminjamkan dalam perjanjian pinjam meminjam yang berlaku pula dalam perjanjian kredit. Pemberi pinjaman (kreditur) tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan dalam pasal 1763-1764 KUHPerdata mengatur tentang kewajiban-kewajiban si peminjam. Kewajiban pokok peminjam (debitur) adalah mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan. Kewajiban melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan adalak kewajiban pokok debitur dan ditentukan lagi secara terperinci dalam model-model perjanjian kredit yaitu kewajiban administrasi dan kewajiban untuk tunduk kepada segala petunjuk dan aturan yang ditentukan oleh pihak kreditur. Debitur memiliki kewajiban untuk membayar utang, biaya dan bunga. Utang disini adalah utang pokok yaitu bunga utang yang disetujui pihak-pihak sebagai jumlah pinjaman yang diberikan kreditur kepada debitur. Biaya adalah sejumlah biaya yang diperlukan guna persiapan perjanjian kredit, antara lain biaya persiapan dan bunga. Sedangkan yang dimaksud dengan bunga sesuai pasal 1264 KUHPerdata adalah keuntungan yang sedianya harus dinikmati. Tetapi dalam perjanjian kredit, pembebanan bunga pada debitur berarti bunga adalah kerugian yang harus dibayar untuk pemakaian pinjaman atau kredit tersebut.
2.4 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
46
yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu: a. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri. Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat akal pikirnya, tidak dilarang oleh Undang-undang. c. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan pasal 1334 KUHPerdata, yaitu yang pertama objek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). d. Suatu sebab yang halal.
47
Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian dan halal adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 27 Perjanjian kredit bank antara pihak bank dengan pihak debitur harus memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Untuk memenuhi syarat sahnya perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : sepakat mereka mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.28
2.5 Bentuk Perjanjian Kredit Mengenai bentuk perjanjian kredit di dalam Undang-Undang tidak diatur secara jelas termasuk pula dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan tidak mengatur juga masalah perjanjian kredit, akan tetapi berdasarkan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1996 tanggal 3 Oktober 1966, Jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I nomor 2/539/UPK/pemberian kredit antara perbankan dengan nasabahnya harus berdasarkan pada suatu akad perjanjian kredit.29 Perjanjian Kredit ini mempunyai 27
Purwahid Patrik, 1986, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian. Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 3. 28
29
R. subekti, 1990, HukumPerjanjian, Cet. XII, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
Sutan Rerny Sjadeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Penerbit Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 2
48
arti yang sangat penting bagi para pihak, sebab perjanjian kredit merupakan landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak dan juga perjanjian kredit merupakan suatu alat bukti tertulis yang diperlukan oleh para pihak apabila terjadi sengketa. Perjanjian kredit yang dibuat selama ini berpedoman pada hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perjanjian kredit perlu memperoleh perhatian yang sangat khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemerian, pegelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak di antara kreditur dan debitur. c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.30 Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu: 1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan.
30
Hermansah, Op.cit, hal. 72.
49
Dinamakan akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah mempesiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standard form) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank termasuk jenis akta dibawah tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan oleh bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon untuk diketahui dan difahami mengenai syarat-syarat dan ketentuanketentuan
dalam
formulir
perjanjian
kredit
tidak
pernah
memperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan debitur. Calon debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau suka rela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang sudah disiapkan oleh bank dalam bentuk standard (standard form), contohnya perjanjian kredit ritail BRI, perjanjian kredit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) dan lain sebagainya. 2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian disiapkan oleh bank
50
kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Perumusan kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi.
2.6 Asas-Asas Perjanjian Kredit Dalam hukum perjanjian, dikenal adanya beberapa asas penting yang merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya juga dalam perjanjian kredit, dimana asas-asas ini merupakan pedoman dan dasar kehendak masing-masing pihak dalam mencapai tujuannya. Menurut Maris Feriyadi, ada 5 asas dalam membuat perjanjian, yaitu: 1. Asas Kebeasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, ataupun menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan ini dapat saja tidak diikuti jika para pihak menghendaki cara-cara tersendiri,
51
tetapi apabila tidak ditentukan lain maka ketentuan Undang-Undang yang tetap berlaku. 2. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Asas ini berasar pada pasal 1320 KUHPerdata yang disebutkan secara tegas dan pada pasal 1338 KUHPerdata ditemukan istilah “semua” yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasa baik untuk menciptakan perjanjian. 3. Asas Pacta Sunt Servanda Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
52
4. Asas Itikad Baik Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. 5. Asas Kepribadian Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.31
31
H.S. Salim, 2006, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan Ketiga. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 78.
53
Dari sejumlah asas tersebut, terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat. 1. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya. 2. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan melalui karakter hukum kepribadian bangsa, bukan karakter hukum liberal. Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable). 3. Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
54
2.7 Akibat Hukum Wanprestasi Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu : a. Menuntut pemenuhan perikatan; b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menurut pembatalan perikatan; c. Menuntut ganti rugi; d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan karena keadaan memaksa (force majoure). Keadaan memaksa (force majoure) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal 1445 KUHPerdata). Menurut UndangUndang ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu: a. Tidak memenuhi prestasi; b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur; c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan kewajiban itu tidak dipenuhi karena terdapat unsur kesalahan padanya, maka sebagimana yang diketahui bahwa akibat-akibat hukum yang dituntut oleh kreditur dapat menimpa pihak debitur. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1236 dan pasal 1243 KUHPerdata, dalam hal debitur lalai untuk memenuhi
55
kewajiban perikatannya, maka kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya dalam pasal 1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Bahwa jika perjanjian trsebut berupa peijanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tidak disertai tuntutan ganti rugi. Demikian halnya pada perjanjian kredit bank, ingkar janji atau wanprestasi dalam hal ini membawa akibat hukum bagi pihak yang melakukan wanprestasi. karena sejak saatnya terjadi wanprestasi debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari ingkar janji atau wanprestasi tersebut. Dalam hal debitur melakukan ingkar janji atau wanprestasi maka pihak kreditur dapat menuntut pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik, dan pembatalan dengan ganti rugi.32 Kalau tidak ada kesalahan debitur, maka terjadi overmacht (force majeure, keadaan memaksa).33 Luasnya kesalahan meliputi kesengajaan, yaitu perbuatan itu memang diketahui dan dikehendaki dan kelalaian yaitu tidak mengetahui tetapi hanya mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibatnya akan terjadi
32
33
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 26.
Sigit Irianto, 2000, Asas-asas Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian). FH Untag, Semarang, hal. 20.
56
kesengajaan. Tidak dipenuhinya kesalahan debitur itu dapat terjadi karena dua hal, yaitu: a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian; b. Karena keadaan memaksa (force majeure), di luar kemampuan debitur. Dalam perjanjian kredit, sebelum kredit diberikan kepada pihak debitur harus terlebih dahulu ada kesepakatan atau persetujuan antara pihak bank yang bertindak sebagai kreditur dengan pihak debitur. Kesepakatan atau persetujuan yang dimaksud di sini adalah hubungan hukum antara kedua belah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kredit yang dibuat para pihak, dimana pihak bank berhak atas prestasi dan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi.