BAB 3 KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI LISTRIK
3.1 PT. PLN (Persero) Sebagai Penyedia Listrik di Indonesia
Dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor apa saja baik yang terdapat dalam PPA maupun faktor lainnya yang bisa mewujudkan keseimbangan hak para pihak.
Jika para pihak berada dalam situasi normal dan melalui janji-janji yang mereka ajukan membentuk perjanjian, pihak-pihak tersebut dalam perundingan dapat menetapkan sendiri prestasi masing-masing pihak. Tentunya perbuatan hukum demikian jangan berbentuk perbuatan hukum yang melawan undang-undang, kesusilaan yang baik, atau ketertiban umum. Para pihak sepenuhnya bebas mencari keuntungan sendiri, asalkan tidak memunculkan situasi yang tidak dapat ditenggang oleh para pihak. Kedudukan yang setara mengakibatkan para pihak berada dalam situasi yang kurang lebih seimbang. Bila keadaannya seimbang, tidak ada seorang pun akan merasa dirugikan. Namun demikian, tentu bisa terjadi situasi abnormal dan muncul ketidakseimbangan. Hal ini dapat terjadi bila salah satu pihak yang lebih kuat mengambil keuntungan dari situasi yang lebih menguntungkannya. Akan tetapi, situasi ini akan dapat diterima sepanjang tidak menimbulkan keadaan dengan klausul yang tidak wajar hanya menguntungkan salah satu pihak, yang oleh pihak lawan, karena Kedudukan yang rendah, terpaksa diterima. Situasi demikian merupakan konsekuensi kebebasan yang dapat memuaskan semua pihak sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan peluang-peluangnya sendiri.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) disusun oleh PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) yang mempunyai konsekuensi berupa penetapan target pertumbuhan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Hal tersebut merupakan perintah dari Undang-Undang Ketenagalistrikan
43
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
44
kepada PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkewajiban untuk menyediakan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia,. Disusunnya RUPTL bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai rencana usaha penyediaan tenaga listrik oleh PLN di seluruh Indonesia untuk kurun waktu sepuluh tahun ke depan yang dapat menjadi acuan dalam menetapkan strategi dan kebijakan jangka panjang serta sebagai pedoman dalam penyusun program kerja tahunan. Sesuai dengan perkembangannya RUPTL akan dimutakhirkan secara berkala agar informasi perencanaan lebih up to date, sehingga dapat dihindarkan pengembangan sarana kelistrikan di luar rencana yang dapat mempengaruhi efisiensi perusahaan. RUPTL mengindikasikan proyekproyek pengembangan sistem yang akan dilakukan oleh PLN, dan proyek-proyek pembangkit swasta/IPP1.
Dari RUPTL, kemudian PLN otomatis wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut 2:
1. Masuk
dalam
daftar
RUPTL
baik
untuk
proyek
PLN
maupun
Swasta/Independent Power Producers (IPP). 2. PLN akan mengundang swasta melalui tender. (Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 37 tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Listrik Oleh Swasta karena pertumbuhan kebutuhan listrik nasional yang tinggi tidak bisa diimbangi oleh kemampuan anggaran PT. PLN untuk membangun pembangkit baru). 3. Pembelian tenaga listrik dapat dilakukan melalui penunjukan langsung dalam hal (Pasal 11 ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2005):
1 Ir. Bambang Priyambodo, MM, “Aspek Bisnis dan Teknis Proyek Pembangkit Listrik,” (makalah disampaikan pada 2 days Power Plant Workshop tentang Power Plant Financing from Finance, Legal & Commercial Analysis, Jakarta 27-28 Juli 2010), hlm. 20. 2
Ibid, hlm, 26.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
45
a. Pembelian tenaga listrik dari pembangkit yang menggunakan enerji terbarukan, gas marjinal, batubara mulut tambang & enerji setempat lainnya. b. Pembelian kelebihan tenaga listrik atau sistem setempat dalam kondisi krisis. 4. Menetapkan jenis pembangkit listrik sesuai dengan RUPTL. 5. Memilih lokasi pembangkit berdasarkan kriteria: a. Dekat dengan sumber bahan bakar/enerji primer (batubara, gas). b. Dekat dengan sumber air pendingin. c. Dekat dengan Transmisi atau Gardu Induk PLN. d. Access Road tersedia untuk transportasi peralatan untuk pembangunan proyek dan untuk transportasi batubara. e. Memenuhi AMDAL. 6. Memilih peralatan dan teknologi pembangkit listrik yang sudah terbukti berkualitas. 7. Memenuhi kriteria investasi dan rate of return dari pemilik proyek maupun pihak perbankan. 8. Memilih Manajemen Proyek yang sudah berpengalaman di pembangunan pembangkit listrik. 9. Memilih Konsultan yang sudah berpengalaman (Feasibility Study, Bid Doc, Engineering Design Review dan Construction Supervision). 10. Memilih Engineering Procurement Construction (EPC) Contractor yang sudah berpengalaman. 11. Pengendalian Proyek (Lingkup Pekerjaan, Organisasi, Mutu dan Biaya, Jadwal Proyek).
Hal-hal di atas merupakan kewajiban PLN secara umum dan timbul sebelum ditandatanganinya PPA maupun setelah PPA ditandatangani.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
46
Produsen listrik swasta (penjual) akan menanggung biaya proyek pembangkit tenaga listrik sebagai berikut 3:
1. Biaya
Engineering
Procurement
Construction
(EPC),
pada
proyek
pembangkit listrik biaya EPC dibagi dalam beberapa kelompok yaitu: a. Main Equipment (Boiler & Turbine Auxiliaries). b. Balance of Plant Equipment c. Electrical Equipment d. Civil Work e. Engineering Design f. Erection and Commissioning g. Special maintenance tool and testing equipment h. Consumables during warrant period i. Mandatory Spare parts j. Training of Owner’s personnel k. Transportation l. CAR/EAR Insurance
2. Biaya Pengembangan (Development Cost), pada proyek pembangkit listrik biaya pengembangan dibagi dalam beberapa kelompok yaitu: a. Company Pre Operational Cost b. Biaya pembebasan tanah c. Biaya perijinan d. Biaya konsultan yang terdiri dari:
3
i.
Konsultan Pembuatan Feasibility Study
ii.
Konsultan Pembuatan Bid Document
iii.
Konsultan Amdal / UKL & UPL
iv.
Konsultan untuk penyiapan kontrak EPC
v.
Konsultan untuk Engineering Design Review
Ibid, hlm, 42.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
47
vi.
Konsultan untuk Construction Supervision
vii.
Konsultan untuk Legal Aspect dan Pajak
3. Financing cost, terdiri dari: a. Interest during construction. b. Project financing cost: i.
Arranger fee
ii.
Provision fee
iii.
Participation fee
iv.
Legal fee
v.
Interest payment
4. Working Capital, terdiri dari: a. Fuel cost dan consumables selama commissioning. b. Opex selama menunggu pembayaran dari PLN.
Hal-hal di atas merupakan kewajiban IPP pada saat akan menjadi peserta tender dan setelah menjadi pihak Penjual dalam PPA. Komponen-komponen biaya tersebut merupakan salah satu penjelasan terperinci dari kewajiban-kewajiban Penjual dalam PPA yaitu resiko financial.
3.2. Kewajiban dan Resiko Investor Dalam Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
Selain kewajiban yang harus ditanggung oleh PLN sebagai pembeli dan produsen listrik swasta sebagai penjual, maka ada pula kewajiban dan resiko yang harus diperhatikan oleh investor sebagai pihak yang –walau secara tidak langsung merupakan pihak dalam perjanjian- melakukan investasi berupa pembiayaan pembangunan proyek pembangkit listrik tergantung pula pada modal investor. Resiko yang akan dihadapi oleh investor juga merupakan ketentuan yang harus diperhatikan
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
48
karena berpengaruh pada kedudukan PLN dan penjual sekaligus. Jika penjual memiliki investor yang padat modal, maka posisi penjual dalam perjanjian menjadi kuat karena PLN percaya bahwa penjual mampu berkomitmen untuk waktu yang cukup lama.
Investasi pada proyek pembangkit listrik merupakan investasi padat modal dan teknologi oleh karena itu investor harus memiliki modal yang kuat serta pengetahuan teknis yang baik pada perencanaan, pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik 4.
Mengingat project life pembangkit listrik sangat panjang maka bisnis investasi di proyek pembangkit listrik sustainable sehingga rate of return tidak besar.
Berikut ini project life untuk masing-masing jenis pembangkit: 1. PLTU / CFSPP
: 30 tahun
2. PLTG / OCGTPP : 15 tahun 3. PLTGU / CCPP
: 25 tahun
4. PLTA / HEPP
: lebih dari 40 tahun
5. PLTD / DPP
: 15 tahun
6. PLTP / GPP
: lebih dari 30 tahun
3.3. Ketentuan Yang Mempengaruhi Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian
Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan yang mempengaruhi kedudukan para pihak dalam sebuah perjanjian, yaitu:
4
Ir. Bambang Priyambodo, MM, “Analisa Investasi Proyek Pembangkit Listrik,” (makalah disampaikan pada 2 days Power Plant Workshop tentang Power Plant Financing from Finance, Legal & Commercial Analysis, Jakarta 27-28 Juli 2010), hlm. 3.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
49
3.3.1. Perbuatan para pihak 5
Perbuatan yang mengejawantahkan diri sebagai kehendak yang telah dinyatakan dalam bentuk penawaran-penawaran merujuk pada perbuatan individu yang setiap kali dapat dikenali karena cara pengungkapan yang sama, yakni, baik secara lisan, tertulis, maupun diungkapkan dalam pertanda lainnya. Perilaku individual di dalam khazanah ilmu hukum didefinisikan sebagai perbuatan yang ditujukan pada suatu akibat hukum. Agar suatu perbuatan dapat memunculkan akibat hukum maka perbuatan hukum dimunculkan dalam dua kategori perbuatan, yakni pernyataan kehendak dan kewenangan bertindak. Di samping itu, dengan perbuatan hukum dimaksudkan adalah pernyataan kehendak dari orang (-orang) yang berbuat atau bertindak yang ditujukan untuk menciptakan, mengubah atau membatalkan, dan mengakhiri suatu hubungan hukum tertentu.
Suatu perbuatan hukum tidak boleh besumber dari ketidaksempurnaan keadaan jiwa seseorang. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dengan cara terduga dapat menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang. Yang dimaksud di sini adalah keadaan yang
berlangsung
lama,
seperti
ketidakcakapan
bertindak
(handelings-
onbekwaamheid). Juga, tercakup ke dalam itu ialah perbuatan (-perbuatan) sebagai akibat dari cacatnya kehendak pelaku, misalnya karena ancaman (bedreiging), penipuan (bedrog), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Penyalahgunaan keadaan dikatakan ada bila seseorang yang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa orang lain karena keadaan atau kondisi khusus, misalnya, keadaan kejiwaan (kondisi kejiwaan yang menyebabkan seseorang tidak mampu untuk mengambil keputusan yang telah dipertimbangkan dengan matang), atau dalam
5
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 335.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
50
hal ada ketergantungan psikis atau praktikal lainnya 6, kurang pengalaman atau karena keadaan terpaksa (noodtoestand), ternyata telah tergerak untuk melakukan atau mendorong (atau melanjutkan) suatu perbuatan hukum tertentu 7. Terhadap aspek ini dapat ditambahkan satu faktor lainnya, yakni berkenaan dengan pembebanan atau resiko yang berada bukan pada pihak pengambil keputusan, melainkan pada pihak lainnya. Perbuatan itu haruslah sedemikian rupa sehingga oleh kontrak yang bersangkutan dimunculkan kekeliruan perihal suatu keadaan tertentu (wantoestand) yang pada gilirannya dapat mengakibatkan situasi dan kondisi tidak seimbang. Ilustrasi dari itu misalnya muncul dalam hal salah satu pihak, sebagai akibat pernyataan kehendak yang mengandung cacat, menjadi diuntungkan, sebaliknya pihak lawan justru dirugikan. Dalam situasi konkret, bisa saja dilakukan penafsiran analogikal terhadap norma-norma yang sudah ada berkenaan dengan ketiadaan atau cacatnya kehendak. Dapat disebutkan di sini dari keadaan-keadaan khusus (bijzondere omstandigheden) yang membuat orang tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, misalnya kedudukan yang lebih kuat atau penguasaan pasar secara monopolistik atau kurangnya pengalaman atau sangat bergantung pada orang lain karena mengalami depresi berat. Jika suatu keadaan atau situasi tidak seimbang
6
Ketergantungan praktikal: pihak yang lebih kuat juga berbagi resiko bahaya, sedangkan dalam keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand), pihak penolong harus melakukan suatu tindakan melepaskan seseorang dari ancaman bahaya, keadaan yang berada di luar kemampuannya dan sepenuhnya berada di luar dirinya sendiri., dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 336. 7 Berkenaan dengan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), Cahen berpendapat bahwa ada bentuk-bentuk penyalahgunaan (misbruik) yang tidak perlu ditelaah lebih lanjut, tetapi hanya memunculkan persoalan bagaimana merumuskannya lebih lanjut. Pertanyaannya ialah bagaimana merumuskannya sedemikian sehingga perkaitan tersebut dapat dimunculkan. Dari perbedaan yang ada harus ditelusuri terlebih dahulu apakah pemahaman lebih baik tentang hal itu tidak akan sekaligus memuat indikasi perihal persoalan tolok ukur. Hal ini merupakan suatu bentuk pengakuan pada penyalahgunaan keadaan sebagai pengertian yang berdiri sendiri yang walaupun di dalam BW baru diberikan secara formal, de facto sudah lama ada. Sejumlah hal menarik disebut yang secara umum dipandang merupakan tanggung jawab masing-masing pihak. Cahen menelaah apakah sejumlah hal (persoalan) yang disinggung oleh ketentuan Pasal 3:44 (4) BW dapat dipahami sebagai kemungkinan indikasi adanya cacat dalam kehendak. Sikap acuh tak acuh (lichtzinnigheid), kurangnya pengalaman, dan keadaan kejiwaan abnormal kiranya merupakan “pecahan” dari penipuan (bedrog), ketergantungan, keadaan, atau ancaman bahaya yang dapat dianggap sebagai paksaan (dwang dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 336.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
51
telah dikonstatasi, semua teori berkenaan dengan cacatnya kehendak dapat diterapkan terhadap kasus-kasus lain yang kurang lebih menunjukkan kemiripan dengannya. 3.3.2. Isi dari kontrak 8
Isi kontrak ditentukan oleh apa yang para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam disepakati, terkecuali perbuatan hukum yang bersangkutan bertentangan dengan aturan-aturan yang dikategorikan sebagai hukum yang bersifat memaksa. Hal ini pertama-tama berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak, yakni bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas untuk menentukan sendiri isi suatu kontrak. Isi kontrak berkenaan dengan apa yang telah dinyatakan para pihak, ataupun maksud dan tujuan yang menjadi sasaran pencapaian kontrak sebagaimana betul dikehendaki para pihak melalui perbuatan hukum tersebut. Sekalipun kebebasan untuk menentukan sendiri isi kontrak tidak dicantumkan secara tegas di dalam undang-undang, cakupan asas tersebut dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan yang baik, atau ketertiban umum, bisa jadi absah, batal demi hukum, atau kadang dapat dibatalkan. Suatu perjanjian dengan isi seperti itu, yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, mengakibatkan keadaan tidak seimbang. Perjanjian tersebut berdasarkan asas keseimbangan menyebabkan keabsahan perjanjian menjadi terganggu. 3.3.3. Pelaksanaan kontrak 9
Sudah selayaknya suatu kontrak harus dipenuhi oleh kedua belah pihak dengan itikad baik. Faktor-faktor pelengkap lainnya – yang menjadi dasar bila pihakpihak terkait tidak melengkapinya sendiri – adalah ketentuan-ketentuan dari aturan pelengkap (aanvullend recht), yaitu kepatutan dan kelayakan. Penting bahwa itikad baik (goeder trouw) diprioritaskan, bahwa juga dalam hal perjanjian dengan aturan8 9
Ibid, hlm. 337. Ibid,hlm. 338.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
52
aturan memaksa (dwingend recht). Selain itu, juga harus turut diperhitungkan perubahan
keadaan
yang berpengaruh terhadap
pemenuhan
prestasi
yang
diperjanjikan.
Setelah perjanjian ditutup, namun sebelum penuntasan pelaksanaan perjanjian, bisa saja muncul suatu keadaan khusus (bijzondere omstandigheden), baik untuk sebagian maupun seluruhnya tidak terduga sebelumnya, satu kejadian yang menyimpang dari kejadian normal. Keadaan khusus tersebut dapat memunculkan kondisi tidak seimbang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan sekaligus menjadi syarat berkenaan dengan pengujian keabsahan perjanjian. Secara umum keadaan demikian dapat dirujuk sebagai “situasi yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian (uitvoeringsomstandigheden)”. Bila situasi yang meliputi pelaksanaan perjanjian berdasarkan mana perjanjian telah ditutup ternyata mengalami perubahan mendasar, pertanyaannya ialah apakah hubungan hukum yang tercipta atas dasar perjanjian tersebut harus dipertahankan keberadaannya seperti semula? Setidaktidaknya di Belanda, untuk kejadian-kejadian seperti ini, “keadaan tidak terduga (onvoorziene omstandigheden)” diberi pengaturan dalam ketentuan Pasal 6: 258 BW. Suatu keadaan, misalnya, dapat dikualifikasikan sebagai tidak dapat diperhitungkan atau diduga sebelumnya sehingga di luar apa yang disepakati salah satu pihak mendapat keuntungan dengan kerugian pada pihak lainnya atau maksud dan tujuan yang hendak dicapai karena munculnya keadaan tidak terduga demikian tidak lagi mungkin terjangkau. Situasi yang meliputi pelaksanaan perjanjian mungkin merupakan kejadian-kejadian dalam skala nasional atau internasional (perang, krisis ekonomi), namun juga dapat berbentuk kejadian-kejadian yang sifatnya insidental.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
53
3.4. Ketentuan Dalam Perjanjian Jual Beli Listrik Agar Para Pihak Mempunyai Kedudukan Sama Kuat
Kemudian ketentuan-ketentuan lainnya yang juga harus diperhatikan oleh para pihak PPA agar kedudukan para pihak sama kuat adalah pasal-pasal dalam PPA itu sendiri, sebagai berikut:
Pasal The Project (Proyek)
10
mengatur maksud dan tujuan PPA antara PLN
dengan Penjual. Maksud dan tujuan PPA adalah guna memenuhi kebutuhan tenaga listrik di pulau atau propinsi tertentu di Indonesia, PLN bermaksud membeli tenaga listrik dari Penjual. Kemudian, Penjual berkeinginan untuk menyediakan PLN pasokan tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik milik Penjual (produsen listrik swasta) yang terdiri dari dua unit (biasanya 2 unit untuk setiap pembangkit) yang masing-masing unit memiliki desain kapasitas dalam satuan ukur MegaWatt yang terletak di suatu daerah di propinsi di Indonesia, yang akan didesain, dibangun dan dikonstruksi menurut kontrak Engineering, Procurement and Construction yang telah ditandangani dan dilaksanakan antara Penjual dan Kontraktor. Berdasarkan kompetensi masing-masing, para pihak sepakat untuk membuat PPA berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian ini. PLN dan Penjual bermaksud untuk menuangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing Pihak. Jangka waktu PPA adalah tiga puluh (30) tahun sejak Tanggal Operasi Komersial. Jangka waktu perjanjian dapat berakhir lebih awal dan dapat pula diperpanjang sesuai kesepakatan para pihak. Pasal ini merupakan gambaran umum dari maksud keseluruhan PPA yang diringkas dalam satu pasal.
Pasal Definitions (Definisi) mengatur istilah dan batasan yang digunakan dalam PPA sehingga tidak ada penafsiran yang berbeda atas suatu pengertian atau atas suatu hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pasal definisi ini juga akan 10
PPA Executed Copy, hlm. 12.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
54
memudahkan kerja expert (ahli independent) saat memberikan pendapat sesuai bidang keahliannya dan arbiter saat memutuskan suatu sengketa antara para pihak karena tidak ada peluang untuk menafsirkan suatu istilah selain daripada yang telah didefinisikan dalam Pasal Definitions (Definisi) ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Azas-azas Hukum Perjanjian” bahwa dalam ilmu pengetahuan hukum soal istilah adalah sangat penting11. Pasal ini meskipun nampak sederhana namun memiliki peran yang sangat penting karena menjadi acuan atas suatu istilah atau memberikan petunjuk kepada pembaca dalam pasal mana suatu pengertian dapat ditemukan. Definisi juga berfungsi sebagai petunjuk terhadap pelaksanaan PPA apakah sudah seimbang atau belum.
Pasal Conditions Precedent (Syarat Tangguh) merupakan pasal berikutnya yang harus diperhatikan karena mempengaruhi kedudukan para pihak dalam PPA. Dalam pasal ini, Penjual harus menanggung resiko pembiayaan yaitu modal dari investor harus mencukupi modal minimum yang disyaratkan kreditur pada saat Penjual akan mengajukan permohonan pinjaman kepadanya, juga harus memastikan bahwa Penjual mempunyai jaminan yang memenuhi syarat untuk diserahkan kepada Bank pemberi pinjaman dan resiko konstruksi di mana pada saat konstruksi, Penjual harus mengeluarkan biaya sangat besar sedangkan pada saat itu belum ada uang yang bisa diterima karena belum terjadi jual beli listrik. Setelah PPA ditandatangani, maka masuk ke periode Conditions Precedent (Syarat Tangguh) di mana Penjual wajib menyerahkan Bank Garansi Stage I kepada PLN untuk menjamin bahwa Penjual akan melakukan prestasinya sesuai isi PPA. Jika semua kewajiban bisa dipenuhi sesuai yang ditentukan dalam PPA, PLN akan mengembalikan Bank Garansi Stage I kepada Penjual.
11
Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cetakan keduabelas, Penerbit Sumur, Bandung, 1993, hlm. 7.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
55
Pasal Implementation of the Project (Pelaksanaan Proyek) merupakan pelaksanaan isi Perjanjian yaitu Penjual listrik swasta memberitahukan itikadnya untuk melakukan pembangunan konstruksi pembangkit listrik tenaga batubara di suatu area yang telah ditentukan dan telah memperoleh ijin untuk melakukan konstruksi tersebut. Pada tahap konstruksi, Seller wajib menyerahkan Bank Garansi Stase II sebagai jaminan terpenuhinya prestasi pada tahap ini. PLN memiliki tanggung jawab untuk membantu Penjual dalam melakukan kewajiban-kewajibannya seperti membantu mengurus ijin-ijin kepada instansi pemerintah yang mensyaratkan harus ada rekomendasi dari PLN.
Pasal Construction of the Project (Konstruksi Proyek) merupakan pasal yang mengatur bahwa Penjual bertanggung jawab terhadap engineer, design and construct Proyek pembangkit. Pasal ini menjelaskan kewajiban Penjual pada tahap konstruksi.
Pasal Start-Up and Commissioning (Start-Up dan Komisioning) merupakan pasal yang mengatur hak PLN yang sewaktu-waktu dapat menginstruksikan kepada Penjual untuk melakukan start-up terhadap Pembangkit untuk mengetahui apakah Pembangkit sudah bisa beroperasi dan menghantarkan listrik sesuai jadwal yang telah diatur dalam PPA.
Pasal Operation and Maintenance of the Plant (Operasi dan Pemeliharaan Pembangkit). Penjual sebagai pemilik pembangkit tenaga listrik bertanggung jawab terhadap kelancaran berlangsungnya operasi pembangkit dalam menghasilkan listrik dengan tujuan agar bisa terus mengirimkan listrik kepada PLN seperti menjamin pasokan batubara dan keamanan di Lokasi dan Pembangkit. Penjual dapat melakukan perjanjian operasi dan pemeliharaan dengan operator atas persetujuan PLN.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
56
Pasal Sale and Purchase of Energy (Jual Beli Tenaga Listrik)
12
merupakan
tahap di mana jual beli listrik sudah dimulai. Jika pasal-pasal sebelumnya mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak pada tahap pra-sale and purchase of energy maka dalam pasal ini diatur mengenai kewajiban PLN untuk membayar listrik yang telah dihantarkan oleh Penjual termasuk mengatur mengenai pengaturan beban listrik sesuai pemberitahuan dari PLN kepada Penjual.
Pasal Billing and Payment (Penagihan dan Pembayaran)
13
merupakan pasal
yang berhubungan dengan cara apa dan dengan jumlah berapa PLN sebagai pembeli harus membayar listrik yang dibelinya. Termasuk mengatur denda keterlambatan pembayaran listrik.
Pasal Metering (Pengukuran)
14
merupakan pasal yang mengatur mengenai
besar jumlah listrik yang dikirim oleh Penjual kepada PLN, metering merupakan dasar bagi Penjual untuk menagih dan PLN untuk membayar listrik yang telah dikirimkan.
Pasal Covenants (Kesepakatan-Kesepakatan) merupakan pasal yang mengatur mengenai kewajiban Penjual untuk tidak mengadakan PPA dengan pihak ketiga, Penjual wajib mengadakan koordinasi dan komunikasi dengan PLN mengenai segala modifikasi, amandemen, perubahan dan sebagainya dalam perjanjian-perjanjian dengan pihak Kontraktor/sub-kontraktor.
Pasal Insurance (Asuransi) merupakan pasal yang mengatur kewajiban penjual untuk mengasuransikan Proyek termasuk mengikutsertakan PLN dan pegawai-pegawainya sebagai pihak tertanggung tambahan pada polis-polis asuransi tersebut. 12 13 14
Ibid, hlm. 25. Ibid, hlm. 38. Ibid, hlm. 39.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
57
Pasal Indemnification and Liabililty (Ganti Kerugian dan Tanggung Jawab) merupakan pasal yang mengatur kewajiban penjual untuk bertanggung jawab selama masa PPA untuk melindungi PLN dari gugatan pihak ketiga sehubungan dengan pekerjaan konstruksi atau hasil desain yang dibuat Penjual jika terjadi kehilangan, kerugian, kematian, luka-luka yang diderita oleh pihak ketiga (dalam hal ini adalah masyarakat).
Pasal Force Majeure (Kejadian Force Majeure) adalah pasal yang mengatur mengenai keadaan memaksa yang membuat para pihak tidak dapat melakukan kewajibannya dengan baik, padahal segala cara pencegahan dan upaya lainnya telah dilakukan agar para pihak dapat melaksanakan kewajibannya, kejadian tersebut di luar kendali para pihak.
Pasal PLN Project Purchase Option (Opsi PLN Untuk Membeli Proyek) adalah pasal yang mengatur hak PLN untuk membeli Proyek setiap saat, maksudnya adalah PLN dapat mengeksekusi haknya tersebut kapan saja dan Penjual tidak dapat menolak keinginan PLN tersebut.
3.5. Hal-Hal Lain Yang Turut Mempengaruhi Kedudukan Para Pihak
Hal lain yang mempengaruhi kedudukan para pihak adalah bentuk pembiayaan atas proyek yang lazim disebut project financing, dimana bentuk pembiayaan ini mensyaratkan adanya pasal-pasal dalam PPA yang lebih memudahkan (dan bahkan menguntungkan pihak Penjual qq. Kreditur) dalam hal terjadinya wan prestasi oleh PLN/Pembeli sehingga proses pemutusan (Termination) PPA dan penuntutan ganti rugi menjadi lebih mudah dari sudut pandang kreditur. Pasal yang biasanya disyaratkan oleh Kreditur pada PPA adalah pasal Penyelesain Perselisihan (Settlement of Dispute) yang menetapkan forum penyelesaian diserahkan kepada forum/badan arbitrase ad hoc (UNCITRAL Arbitration Rules) maupun permanen (International Chamber of Commerce Arbitration Rules). Adanya
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
58
pemilihan BANI sebagai forum penyelesaian perselisihan dalam draft PPA yang disiapkan oleh PLN dipandang oleh pihak Penjual dan Kreditur sebagai non-bankable atau PPA tersebut tidak layak untuk diberikan pembiayaan karena penyelesaian perselisihan di BANI dianggap oleh Penjual dan Kreditur tidak akan menghadirkan proses yang impartial sehingga berpotensi merugikan Penjual dan Kreditur.
Demikian juga dengan sub-pasal 15.3 Consequences of Termination yang mewajibkan PLN membeli proyek (baik dalam tahap konstruksi maupun operasional) apabila PLN gagal melakukan kewajibannya yang masuk dalam kategori PLN’s NonRemedial Events, merupakan pasal yang disyaratkan oleh Kreditur. Tanpa pasal ini, tidak akan ada Kreditur yang mau membiayai pembangunan proyek pembangkit listrik karena bila PLN wan prestasi, tidak ada jaminan uang yang mereka pinjamkan untuk membiayai pembangunan proyek akan dapat kembali.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.