BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
2.1
Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang pengertian dan konsepsi tentang perjanjian. Pada dasarnya jual beli adalah perjanjian yang melibatkan pembeli dengan penjual. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seperti apa yang disampaikan oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. 16 Dari perjanjian itu muncul hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Rumusan tersebut mengandung konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur), dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi (kreditur). 17
16
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, h. 92. 17
Ibid,
16
17 Pada umumnya seseorang tidaklah berjanji secara sukarela, tanpa ada imbalan dari pihak lawannya, dan oleh karena itu, maka perjanjian-perjanjian yang dijumpai dalam praktek senantiasa terdapat prestasi atau kewajiban yang bertimbal balik antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Mengenai pengertian perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal tersebut menyatakan; Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Berdasarkan pada rumusan yang diatur Pasal 1457 KUH Perdata tersebut dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian
yang
melahirkan
kewajiban
atau
perikatan
untuk
memberikan sesuatu, yang dalam hal ini berbentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 18 Perjanjian jual beli melahirkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran harga jual pada jpihak lainnya. Sedangkan dari sisi perikatan, jual beli merupakan bentuk perjanjian yang melahirkan
18
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Jual Beli, Grafindo Persada, Jakarta, h. 7
PT. Raja
18 kewajiban dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 19
2.2
Kewajiban Penjual dan Pembeli Kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian, khususnya jual beli ini disebut sebagai kewajiban hukum, karena kewajiban itu timbul dari suatu perikatan, baik perikatan yang lahir dari perjanjian maupun perikatan yang lahir dari undang-undang. Kewajiban hukum adalah kewajiban yang harus dipenuhi, sebab apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum, yaitu adanya tuntutan yang berhak agar yang mempunyai kewajiban itu memenuhi kewajibannya, dan melahirkan putusan Hakim Pengadilan dapat memaksa agar kewajibannya itu dipenuhi. 20 Sehubungan dengan kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli dapat dilihat dari ketentuan pasal 1474 KUH Perdata. 21 Ada dua kewajiban utama dari pihak penjual, yaitu; 1. Menyerahkan barang yang diperjual belikan kepada penjual. 2. Member jaminan (pertanggungan) bahwa barang yang dijual tidka mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan. 22
19
Ibid.
20
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukm Indsonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 41. 21
M. Yahya Harahap, Op.Cit, h. 190
22
Ibid.
19 Ad. 1. Menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada penjual. Penyerahan
barang
dalam
jual
beli,k
merupakan
tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Oleh karena KUH Perdata mengenal tiga macam barang, yaitu barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka dari itu ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu. 1. Untuk barang bergerak penyerahannya cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu. Terkait dengan hal itu dapat dilihat ketentuan Pasal 612 KUH Perdata sebagai berikut : Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya. Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barnag-barang yang berada dalam suatu gudang. Hal mana merupakan suatu penyerahan kekuasaan secara simbolik. Sedangkan apabila barangnya sudah berada dalam kekuasaan si pembeli penyerahan cukup dilakukan dengan pernyataan saja. 23
23
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut R. Subekti II), h. 9.
20 2. Untuk barang tetap (tidak bergerak), penyerahannya dilakukan secara yuridis dengan akta balik nama (over schrijving) dari nama penjual kepada nama pembeli. Seperti misalnya dalam jual beli barang tetap yang berupa tanah menurut PP No. 10 Tahun
1961 yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria, yang dalam Pasal 19 nya menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). 24 3. Untuk barang tak bertubuh penyerahannya dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “Cessi” atau dengan kata lain penyerahannya dilakukan secara Cessi. Hal mana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata, yang selengkapnya menyatakan; Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi siberutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui atau diakui. Ad. 2. Memberi jaminian (pertanggungan) bahwa barang yang dijual tidka mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.
24
Ibid. h. 10
21 Kewajiban
menjamin
(menanggung)
barang
yang
dijualnya merupakan kewajiban yang kedua dari penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasl 1491 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan pasal ini, penjual harus menjamin barang yang dijual dalam keadaan ; 1. Tentram dan damai (rusting en vreedezaam) dalam kekuasaan pemilikan pembeli, tanpa ganggu gugat dari siapapun juga. 2. Menjamin, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai cacat tersembunyi dan cacat yang nyata. 25 Bila kedua hal tersebut tidak ditanggung/dijamin penjual, maka pembeli dapat meminta pembatalan. Oleh karena itu, adanya gangguan dan cacat atas barang yang dibeli berakibat sebagai alasan dan alat; 1. Untuk melakukan aksi/tuntutan pembatalan atas dasar salah sangka atau dwaling. 2. Atau merupakan aksi untu menuntut wanprestasi atas dasar tidak melaksanakan prestasi menurut sepatutnya. 26 Sementara kewajiban pembeli dalam perjanjian jual beli adalah membayar harga barang yang dibeli. Pembeli wajib menyelesaikan pelunasan harga barang yang dibeli bersamaan dengan penyerahan barang. Jual beli tidak aka nada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya Pasal 1513 KUH Perdata sebagtai pasal yang
25
M. Yahya Harahap, Op.Cit, h. 195.
26
M. Yahya Harahap, Loc.Cit.
22 menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai pasal pertama yang mengatur kewajiban pembeli membayar harga barang yang dibeli. Apabila pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka hal itu merupakan suatu wanprestasi, yang memberikan alasan kepada si penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelia n menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata.
2.3
Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barnag dan harga. Sesuai dengan azas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian yang diatur KUH Perdata (BW), bahwa perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. 27 Jual
beli
sebagai
perjanjian
konsensual
(sesuai
azas
konsualisme) dapat ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi ; Jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibyar.
27
R. Subekti II. Op.Cit, h. 2
23 Hukum perjanjian yang diatur KUH Perdata menganut azas konsensualisme, artinya hukum perjanjian dari KUH Perdata (BW) menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja. Pada detik sepakat tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat bagi kedua belah pihak. Azas konsualisme dapat dilihat dari rumusan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjnajian. Syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah; 1) Sepakat, 2) Kecakapan, 3) Hal tertentu, 4) Suatu sebab yang halal. Dengan diebut “sepakat” saja, tanpa dituntut suatu bentuk, cara, atau formalitas apapun, maka sahlah perjanjian itu. 28 Disamping sah, maka perjanjian itu mengikat bagi kedua
belah
pihak,
seperti
halnya
undang-undang.
Hal
mana
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sebagai berikut : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.4
Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa semua perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, baik bernama (benoemde), tak bernama (anbenoemde), maupun perjanjian campuran, tunduk pada ketentuan umum perjanjian yang ada pada KUH Perdata, seperti diatur Pasal 1319 KUH Perdata, yang menyatakan ; 28
R. Subekti II, Loc.Cit.
24 Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat pada bab ini dan bab yang lalu. Dengan demikian, tentang syarat sahnya perjanjian jual beli, pada prinsipnya tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang ada pada KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan; Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3) Mengenai suatu hal tertentu, 4) Suatu sebab yang halal. Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan (feosteming) sebagai syarat subyektif kadalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, biak secara lisan maupun tertulis, dimana dalam unsur kesepakatan ini tidak boleh terdapat unsur kekhilafan (mistake), paksaan (duress), dan penipuan (fraud). Sehubungan dengan perjanjian jual beli, maka harus memenuhi unsur kesepakatan, dimana para pihak dalam jual beli yang harus ada persesuaian kehendak diantara mereka. Persesuaian kehendak
itu tidak didasarkan atas paksaan,
penipuan, melainkan harus didasarkan pada hati yang tulus ikhlas.
25 Ad. 2. Cakap untuk membuat perjanjian. Kecakapan
para
pihak
sebagai
syarat
subyektif
maksudnya adalah kecakapan melakukan perbuatan hukum atau
mereka
yang
oleh
hukum
dinyatakan
berwenang
melakukan suatu perjanjian. Seseorang yang dinyatakan cakap menurut hukum adalah mereka sudah dewasa (telah berumur 21 tahun atau sudah kawin) dan tidak berada dibawah pengampuan. Ad. 3. Mengenai suatu hal tertentu Adanya
hal
tertentu
(underwerp)
sebagai
syarat
obyektif sahnya suatu perjanjian, artinya menyangkut apa yang diperjanjikan oleh para pihak, yang meliputi hak dan kewajiban para pihak. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa “hal tertentu” yang dimaksud adalah berupa prestasi (pokok perjanjian), yaitu apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. 29 Terkait dengan “hal tertentu” sebagai salah satu syarat sahnya
perjanjian
artinya
barang
yang
menjadi
obyek
perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan secara pasti. Misalnya, dalam jual beli rumah, harus jelas dan dapat ditentukan rumah milik siapa, letaknya di jalan apa, nomor rumah, berdiri di atas tanah hak milik siapa, dan seterusnya.
29
Salim, 2003, Hukum Kontraksi; Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak , Sinar Grafika, Jakarta, h. 34.
26 Ad. 4. Suatu Sebab Halal. Sebab (causa) yang halal (geooloofde oorzaak) sebagai syarat obyektif, maksudnya bahwa suatu kontrak/ perjanjian harus dibuat dengan maksud atua alasan yang sesuai dengan hukum yang berlaku, norma-norma dan ketertiban umum. Tidka dibenarkan membuat perjanjian yang melanggar hukum (undant-undang) yang berlaku. Sebagai suatu contoh misalnya, dalam perjanjian jual beli, yang belakangan banyak terjadi di masyarakat adanya perjanjian jual beli barang seperti narkoba, seperti diketahui narkoba tidak boleh menjadi obyek jual beli karena dilarang oleh undang-undang.
27