PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
SKRIPSI
OLEH : NOFIYANTI NPM : 11120011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH : NOFIYANTI NPM : 11120011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
1
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
NAMA
: NOFIYANTI
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 11120011
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : PEMBIMBING
Dr. H. TAUFIQURRAHMAN, SH., M.Hum
2
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 31 Agustus 2015 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, M.H.
(…………...……)
(Dekan)
2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman, SH., MHum
(…….………….)
(Pembimbing)
3. Anggota
: 1. Andy Usmina Wijaya, SH,, MH
(……………..…)
(Dosen Penguji I)
2. Febria Nur Kasimon, SH, MH. (Dosen Penguji II)
3
(………………..)
KATA PENGANTAR Alhamdulillahhirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat, hidayat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH”. Skripsi ini disusun sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra guna memenuhi persyaratan untuk kelulusan tingkat Srjana, untuk membandingkan dan menerapkan teori hukum yang diterima dengan keadaan sebenarnya di masyarakat, serta untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembaca. Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H, CN, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan mengarahkan penulis. 4. Suamiku, yang selalu memberikan do’a dan dukungan di setiap langkah yang penulis kerjakan. 5. Kedua Orang tuaku sayang, yang selalu memberikan bantuan dan do’a. 6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya, yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya.
4
7. Semua teman-temanku yang selalu ada di hati, yang selalu memberikan semangat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat dihadapan untuk penelitian lanjutan di masa mendatang. Akhir kata, semoga ini bisa memberikan manfaat nagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Surabaya, 31 Agustus 2015
Penulis
5
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang ……………………………………………...
1
1.2.
Rumusan Masalah …………………………………………..
7
1.3.
Penjelasan Judul …………………………………………….
8
1.4.
Alasan Pemilihan Judul ……………………………………..
9
1.5.
Tujuan Penelitian ……………………………………………
9
1.6.
Manfaat Penelitian ………………………………………….
10
1.7.
Metode Penelitian …………………………………………..
10
1.8.
Sistematika Pertanggung Jawaban ………………………….
12
BAB II KARAKTERISTIK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH 1.
Definisi Perjanjian Pengikatan Jual Beli ……………………
14
2.
Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ………………...
17
2.1.
Syarat-syarat sah perjanjian pengikatan jual beli …………..
18
2.2.
Klausula-klausula dalam perjanjian pengikatan jual beli …..
27
3.
Sifat dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli ………………….
31
2.1.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Perjanjian Obligatoir …………………………………………………..
6
31
3.2.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Sumber Perikatan Bersyarat ……………………………………………………
3.3.
33
Adanya Pemberian Kuasa dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli ………………………………………………….. ..
37
BAB III UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI 1.
Upaya Hukum bagi Para Pihak jika Wanprestasi …………
2.
Analisa Kasus Wanprestasi pada Perjanjian Pengikatan
44
Jual Beli Hak atas Tanah ……………………………………
51
2.1. Analisa Putusan Tanah …………………………………
51
2.1.1. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 65/Pdt/G/2013/PN.Sda …………………..
51
2.1.2. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 497/Pdt/G/2013/PN.Sby …………………
55
2.2. Analisa Permasalahan …………………………………
58
2.2.1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintahan nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ..
58
2.2.2. Peralihan ha katas tanah pada perjanjian pengikatan jual beli tanah ………………………..
61
2.2.3. Gugatan Wanprestasi …..………………………..
63
BAB IV PENUTUP 1.
Kesimpulan ………………………………………………..
71
2.
Saran ………………………………………………………
72
7
BAB V 1.
DAFTAR BACAAN ………………………………………
LAMPIRAN
8
75
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya karena saling membutuhkan dan
ingin
selalu
hidup
dalam
kebersamaan
dengan
sesamanya.
Kebersamaannya akan berlangsung baik seandainya ada persesuaian kehendak diantara pihak-pihak ketika mengadakan interaksi, sehingga dari interaksi ini timbulah suatu hubungan antara para pihak tersebut yang dapat menghasilkan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang yang lainnya untuk melakukan suatu hal. Hal ini dapat berupa kebebasan untuk berbuat sesuatu, untuk menuntut sesuatu, untuk tidak berbuat sesuatu dan dapat berarti keharusan untuk tidak berbuat sesuatu dan dapat keharusan untuk menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu hal atau untuk tidak berbuat sesuatu. Interaksi dalam masyarakat tersebut yang menimbulkan perjanjian yang beragam. Suatu perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dua orang itu saling berjanji kepada seseorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedangkan perjanjian itu sendiri merupakan salah satu sumber perikatan selain undang-undang. Sudikno mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau
1
1
2
lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding). Pengaturan mengenai perjanjian yang ada menurut undang-undang termuat dalam buku III BW (Burgerlijk Wetboek). Perjanjian dalam BW menganut sistem terbuka (open system), artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, dengan siapapun
atau
pihak
manapun,
dengan
syarat-syarat
apapun,
dengan
pelaksanaan dan bentuk apapun, baik yang terdapat dalam BW ataupun diluar BW asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem terbuka mengandung pengertian kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam Pasal 1338 ayat (1) BW disebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini lebih dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Perbuatan hukum jual beli sering dilakukan karena salah satu cara untuk mendapatkan suatu barang yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam jual beli ini terjadi suatu hubungan hukum antara penjual dengan pembeli yang saling mengikatkan diri satu sama lain. Penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga barang dengan jumlah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jual beli adalah dianggap telah selesai pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Hal demikian dalam hukum adat disebut terang dan tunai. Sedangkan dalam pasal 1457 BW disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
3
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayarharga yang telah dijanjikan. Jual beli dalam BW adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) saat tercapainya kesepakatan atara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok (esentialia) yaitu barang dan harga. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Selain bersifat konsensuil, perjanjian jual beli juga bersifat obligtaoir yang berarti jual beli belum memindahkan hak milik.Jual beli baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan hak kepada pembeli untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang
dijual.Sifat obligator terlihat jelas pada 1459 BW yang
menerangkan hak milik atas barang dari penjual tidaklah berpindah ke pembeli selama penyerahan belum dilakukan. Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan berahlinya hak milik atas barang dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan atau levering. Penjual harus menyerahkan hak milik atas barangnya kepada pembeli bukan hanya kekuasaan atas barang yang dijual dan penyerahan tersebut harus dilakukan secara yuridis. Jual beli dianggap telah terjadi setelah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak dan kepemilikan atas barang beralih setelah terjadi penyerahan barang atau levering dari penjual kepada pembeli.
4
Dapat disimpulkan bahwa jual beli terjadi setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dan kepemilikan atas barang beralih setelah adanya penyerahan dari penjual kepada pembeli.Pada hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat dan kedua, tahap penyerahan benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut. Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik atas barangnya, bukan hanya kekuasaan atas barang yang dijual dan penyerahan tersebut harus dilakukan secara yuridis. Dengan melihat macam-macamnya barang ada tiga macam penyerahan yuridis menurut hukum perdata, yaitu : 1. Penyerahan barang bergerak, dilakukan dengan penyerahan yang nyata(feitelijk levering) atau menyerahkan kekuasaan atas
barangnya
(Pasal 612 BW); 2. Penyerahan
benda
tidak
bergerak,
dalam hal ini adalah
tanah/bangunan, diatur dalampasal 616 BW dan 620 BW, dalam jual beli tanah/bangunan harus dibuktikandengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T)
3. Penyerahan bendabergerak tidak berwujud, dalam hal ini adalah piutang, diatur dalam pasal 613 BW. Berdasarkan dari uraian diatas terkait dengan objek jual beli, bahwa untuk benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan harus dilakukan dihadapan pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ada kalanya dalam praktek khususnya untuk jual beli tanah dan bangunan sebelum dilakukannya jual beli tanah dihadapan PPAT, para pihak yaitu pembeli
5
dan penjual terlebih dahulu melakukan suatu perbuatan hukum dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual beli antara pihak itu sendiri ataupun di hadapan Notaris. Meskipun isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli sebenarnya yang diatur dalam perundang-undangan. Perjanjian pengikatan jual beli yaitu suatu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak. Alasan yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli ini umumnya karena harga belum dibayar seluruhnya atau harga dibayar secara mengangsur (harga belum lunas) atau bukti tanda hak/sertifikat dalam proses penerbitan di Kantor Badan Pertanahan Nasional). Dalam pelaksanaanya, perjanjian tersebut senantiasa tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi tertentu dapat timbul masalah yang mengakibatkan terjadinya ingkar janji/wanprestasi. Beberapa diantaranya bentuk ingkar janji yang terjadi dalam pelaksaan perjanjian pengikatan jual beli mengenai keterlambatan pembayaran dari pihak pembeli, pihak penjual yang menjual objek jual beli kepada pihak lain, pihak penjual yang tidak melakukan kewajibannya seperti tidak menyerahkan bukti tanda milik tanah tersebut juga sertifikat kepada pihak pembeli, tidak menyerahkan objek jual beli kepada pembeli, dan menjadikan objek jual beli sebagai jaminan di bank, menjual ataupun menyewakan kepada orang lain.
6
Hal ini terjadi antara Suyitno sebagai pembeli dan Suhartini, Sujiono dan Suharminingsih sebagai penjual. Suyitno hendak membeli tanah hak milik nomor 173/Desa Pabean seluas 2479 M2 yang terletak Sedati, Sidoarjo (objek perkara) milik KARNALI Pak MUKHAMAD KUSAIRI yangdiwakili oleh ahli warisnya yaitu para penjual. Namun karena adanya beberapa surat dan hal guna keperluan jual beli untuk dapat dilakukan dihadapan PPAT belum terpenuhi maka dibuatlah perjanjian pengikatan jual beli atas tanah secara dibawah tangan pada tanggal 17 November 2011 dengan di waarmerking oleh Notaris. Dalam perjanjian tersebut disepakati harga jual beli adalah Rp.1.239.500.000,- dan dilakukan pembayaran mengangsur. Namun ketika para penjual sampai dengan waktu yang ditentukan sejak ditanda tanganinya perjanjian ini belum menyelesaikan salah satu prestasinya yaitu menyelesaikan pengosongan/pemberesan sebagian tanah yang ditempati oleh pihak ketiga. Dan saat hendak melakukan pelunasan atas harga jual beli pihak penjual juga menolak pembayaran. Atas dasar tersebut maka pihak pembeli mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi pada Pengadilan
Negeri
Sidoarjo
dengan
nomor
register
perkara
65/Pdt/G/2013/PN.Sidoarjo. Hal serupa juga terjadi pada kasus antara Esther Subijanto sebagai pembeli dan Fadhul Bari sebagai penjual telah sepakat membuat perjanjian pengikatan jual beli atas sebidang tanah Yasan dengan luas kurang lebih 90 M2 yang terletak di jalan Medayu Utara, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut Surabaya dihadapan Notaris pada tanggal 11 Maret 2010. Harga jual beli yang disepakati
oleh
kedua
belah
pihak
sebesar
Rp.
110.000.000,-
yang
pembayarannya dilakukan secara bertahap. Dengan maksud pihak pembeli ingin melunasi sisa pembayaran, pihak penjual tanpa alasan yang jelas tidak mau
7
menerima pelunasan pembayaran, dan tidak mau melakukan jual beli dihadapan PPAT. Atas dasar tersebut pembeli mengajukan gugatan wanprestasi pada Pengadilan
Negeri
Surabaya
dengan
nomor
register
perkara
497/Pdt.G/2012/PN.Sby
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan atas penjabaran yang dilakukan di atas maka terdapat beberapa hal yang kemudian akan dijadikan penyusun sebagai rumusan masalah, yaitu ; 1. Bagaimana Karakteristik Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan ? 2. Bagaimana Upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah terjadi Wanprestasi ?
1.3. Penjelasan Judul Perjanjian
pengikatan jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh
calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Biasanya perjanjian pengikatan jual beli akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak sebelum melakukan akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Dengan demikian perjanjian pengikatan jual beli tidak dapat disamakan dengan akta jual beli yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli. Hal mana ada pihak yang menggunakan perjanjian pengikatan jual beli tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun perjanjian pengikatan jual beli tersebut dibuat, hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada
8
hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut: “Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.” Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belumlah melebihi masa daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.” perjanjian konsensuil, mengikat atau mempunyai kekuatan hukum pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga. Dalam pengalihan Hak Atas Tanah
9
dan Bangunan dilakukan perbuatan hukum di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Tugas dan wewenang pejabat pembuat akta tanah (PPAT) bertugas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum ketentuan mengenai hak atas tanah atas hak milik”.
1.4. Alasan Pemilihan Judul Memperhatikan karena perjanjian ini yang dilakukan di dalam kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan tanah yang berurusan dengan Notaris. Misalnya jual beli tanah dan bangunan. Maka penulis mengambil judul “PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PARA PIHAK DALAM
PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN”
1.5. Tujuan Penelitian Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu : a. Tujuan akademis Dalam tujuan akademis penyusunan skripsi ini salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada fakultas hukum Universitas Wijaya Putra. b. Bagi masyarakat
10
Sebagai bukti tertulis adanya kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan kesepekatan masyarakat akan sadar hukum. Dan melindungi kedua belah pihak yang bersepakat di mata hukum. c. Bagi pemerintah Sarana atau alat bagi pemerintah untuk melakukan pendataan atas hak suatu tanah. 1.6. Manfaat Penelitian Didalam penyusunan skripsi ini, penulis berharap ada manfaat yang nantinya dapat diperoleh melalui tulisan ini, antara lain 1. Memberikan gambaran secara umum mengenai karakteristik perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan 2. Memahami upaya hukum yang dapat dilakukan dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan 1.7. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian : Normatif Dalam penelitian normatif ini dilakukan dengan meninjau fakta-fakta berdasarkan penelitian. Penelitian ini adalah penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Yang dilakukan oleh penulis menggunakan tipe penelitian normative
yang didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-
undangan dalam kaitannya dengan hukum perjanjian. b. Pendekatan penelitian
11
Pendekatan masalah yang digunakan dalam skipsi iniadalah patung pendekatan (Statue Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan kasus pendekatan (Case Approach). Patung pendekatan (Statue Approach) yaitu pendekatan melalui perundang-undangan yang terkait
dengan
perjanjian.
Sedangkan
pendekatan
konseptual
(Conceptual Approach) yaitu pendekatan terhadap konsep-konsepyang didasarkan dari pendapat ahli hukum mengenai teori perjanjian pengikatan jual beli. Dan kasus pendekatan (Case Approach) yaitu pendekatan dengan melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan. c. Langkah penelitian Adapun langkah penelitian yaitu dengan studi perpustakaan. Studi perpustakaan dilakukan dengan memperoleh bahan-bahan hukum yang relevan. Bahan-bahan hukum tersebut memiliki : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif dan mengikat. Karena mempunyai otoritas. Terdiri
dari
perundang-
undangan Burgerlijk Wetboek (kitab Undang-undang hukum perdata), Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria dan peraturan perintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. 2. Bahan hukum sekunder yaitu hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil penelitian jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah hasil seminar dan lain-lain.
12
1.8. Sistematika Pertanggung Jawaban Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan, mengenailatar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Dalam bab ini akan dibahas mengenai karakteristik perjanjian pengikatan jual beli yang memuat definisi pengikatan jual beli, alasan-alasan dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli, syarat sah perjanjian pengikatan jual beli, klausalklausal dalam perjanjian pengikatan jual beli dan sifat dari perjanjian pengikatan jual beli. Bab III. Dalam bab ini akan dibahas menganai upaya hukum yang dapat dilakukan bila terjadi wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli yang memuat upaya perlindungan yang dapat dilakukan pihak pembeli dan pihak penjual, analisa putusan pengadilan nomor 65/Pdt/G/2013/PN.Sda dan putusan pengadilan nomor 497/Pdt.G/2012/PN.Sby dengan pembahasan kedudukan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dikaitkan dengan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peralihan Hak atas Tanah dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Analisa Gugatan Wanprestasi. Bab IV. Penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan ringkasan dari bab kedua dan ketiga. Sedangkan saran merupakan pemecahan masalah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadi masalah yang saat dikemudian hari.
13
BAB II
KARAKTERISTIK PERJANJIAN JUAL BELI TANAH PENGIKATAN
1. Definisi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari buku III BW dan asas
14
kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Istilah tersebut banyak kita jumpai adanya dalam praktek terutama timbul dalam praktek Notaris. Perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan perjanjian timbal balik (bilateral contrat), perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Selain itu perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan perjanjian tidak bernama (onbenoede overeenkomst) yaitu suatu perjanjian yang tidak diatur dalam BW tetapi terdapat dalam masyarakat. Pengertian perjanjian pengikatan jual beli menurut beberapa sarjana antara lain menurut Subekti, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. sedangkan menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Dari pengertian yang diterangkan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian pokoknya dan memuat janji-jani yang akan dipenuhi untuk mencapai perjanjian pokoknya. Perjanjian pengikat jual beli lahir sebagai terobosan hukum akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh
15
Undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah akibat berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang, seperti untuk membuat akta jual beli yang merupakan salah satu persyaratan untuk melakukan balik nama, maka jual beli harus telah lunas, baru akta jual beli dapat dibuat dihadapat PPAT. Sebelum jual beli dilakukan antara pembeli dan penjual tentunya telah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu, obyek tanah yang akan dijual dan harga penjualnya, bilamana jual beli akan dilakukan. Kata sepakat itu menimbulkan perjanjian yang dinamakan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Perjanjian pengikatan jual beli tidak termasuk dalam hukum agraria, melainkan termasuk ke dalam hukum perjanjian, yaitu perjanjian untuk melakukan sesuatu yang mana berlaku pasal 1239 BW yang berbunyi “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.” Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan maka perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono yang menyatakan perjanjian bantuan berfungsi
dan
mempunyai
tujuan
untuk
mempersiapkan,
menegaskan,
memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum. Dengan demikian jelas bahwa perjanjian pengikatan jual beli berfungsi sebagai
16
perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu hubungan hukum bila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli telah dilaksanakan seutuhnya. Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi BW yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan pasal 1320 jo pasal 1338 BW sehingga dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan salah satu bentuk perikatan yang lahir karena kebutuhan masyarakat, hal karena belum dapatnya dipenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya. Adapun alasan-alasan mengapa para pihak dalam hal ini memilih untuk membuat perjanjian pengikatan jual beli antara lain: a. Harga untuk dapat melakukan jual beli disepakati belum dibayarkan secara lunas. b. Bukti tanda hak milik atas tanah dan/atau bangunan yaitu sertifikat belum ada sehingga masih dalam proses penerbitan di kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN). c. Objek jual beli dalam penguasaan orang lain misalnya disewakan. d. Pembayaran pajak-pajak atas jual beli tanah yang belum dapat dibayarkan oleh pihak penjual atau pihak pembeli. e. Developor pada suatu perumahan masih dalam proses pembangunan bangunan rumah (bangunan belum ada).
17
f.
Obyek berupa tanah terkadang masih dijaminkan ke bank dan harus mengunggu proses roya dari Bank.
g. Tanah yang menjadi obyek jual beli belum dikonversi semula berupa tanah bekas hak-hak barat.
2. Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Pada dasarnya perjanjian pengikatan jual beli merupakan derivasi dari berbagai bentuk perjanjian, oleh karena itu prinsip pembuatan perjanjian pengikatan jual beli sama halnya sebagaimana diatur dalam buku III BW. Suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dibuatnya perjanjian jual beli oleh karena itu syarat-syarat pembuatan perjanjian pengikatan jual beli serupa dengan perjanjian jual beli yang di atur dalam BW.
a. Syarat Sah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Menurut Subekti, suatu perjanjian untuk bisa dianggap sah, harus memenuhi empat syarat yang bersifat kumulatif sebagaimana dirumuskan pada pasal 1320 BW yang terdiri dari: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. (toestemming) 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. (bevoged) 3. Mengenai sesuatu hal tertentu. (bepaald) 4. Suatu sebab yang halal. (oorzaak)
Kata sepakat merupakan unsur yang paling penting dalam terbentuknya suatu perjanjian. Dalam beberapa kasus yang terjadi, Penggugat dan Tergugat telah membuat perjanjian pengikatan jual beli atas sebidang tanah.Perjanjian
18
pengikatan jual beli dibuat karena sudah jelas disepakati oleh kedua belah pihak bahwa pembeli yang mengingkan tanah hak milik tersebut dan sebagai timbal balik
penjual
menginginkan
uang
pembayaran.
Namun
karena
belum
terpenuhinya syarat-syarat perjanjian jual beli, maka pembuatan akta jual beli di hadapan
PPAT
belum
dapat
dilakukan.
Terdapat
unsur-unsur
yang
menyebabkan tidak terpenuhinya syarat kesepakatan, antara lain: a. Paksaan (dwang) Adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul rasa takut baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap kekayaan dengan suatu kerugian yang nyata (pasal 1323 BW) b. Penipuan (bedrog) Penipuan dianggap terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan cara memberikan keterangan palsu atau tidak benar supaya pihak lainnya menyetujuinya. Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan perjanjian apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak telah menyebabkan pihak lain merasa tidak membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut (pasal 1328 ayat (1) BW)
Syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan penipuan adalah: a. Harus mengenai fakta b. Harus terhadap fakta yang substansial c. Pihak yang dirugikan berpegang pada fakta yang tipu tersebut
19
d. Termasuk juga non diselousure atau hanya merahasiakan terhadap informasi yang substansial e. Termasuk juga kebenaran sebagaian (half truth) f.
Termasuk juga dalam bentuk tindakan (positivie action)
g. Kekhilafan (dwaling)
Seseorang dikatakan telah berbuat kekhilafan manakala ketika membuat perjanjian dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang benar. Kekhilafan bisa terjadi mengenai orang atau error in personaan mengenai barang atau error in substansia (pasal 1321 BW dan 1322 BW). Cakap atau kecakapan berbuat para pihak sebagai syarat yang kedua maksudnya adalah para pihak haruslah dalam keadaan cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian.Para pihak yang membuat perjanjian itu sendiri, terbagi menjadi 2 (dua) yaitu perorangan (natuuralijk persoon) dan/atau badan hukum (recth persoon). Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 BW disebutkan orang-orang yang tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa menurut BW yang termasuk dewasa adalah genap berumur 21 tahun atau sudah kawin meskipun belum genap 21 tahun atau sudah kawin kemudian bercerai meskipun belum genap berusia 21 tahun, sedangkan menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, usia dewasa adalah 18 tahun atau sudah pernah kawin. b. Orang yang ditempatkan dibawah pengampuan
20
Menurut pasal 433 BW yang termasuk orang-orang yang berada dibawah pengampuan adalah orang yang dungu (onnoozelheid), orang gila atau tidak waras pikiran, orang yang mata gelap (razernij), dan orang yang boros. c. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Contohnya antara suami istri dilarang melakukan kontrak jual beli, kemudian hakim, jaksa, pengacara, juru sita, notaris, dilarang menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara. Pada perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak dalam berbagai kasus yang terjadi, keduanya merupakan subyek hukum yang cakap untuk membuat suatu perjanjian. Kedua pihak jelas adalah seorang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya sebagaimana pasal 1330 jo 330 BW sehingga syarat cakap dalam bertindak hukum telah terpenuhi. Hal tertentu atau perihal tertentu adalah perihal yang merupakan obyek atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya dari suatu perjanjian. Objek perjanjian pengikatan Jual Beli adalah berupa sebidang tanah sebagai benda tidak bergerak adalah salah satu benda yang dapat diperdagangkan. Hal ini terlihat dalam rumusan umum ketentuan pasal 1332 BW yang menyatakan bahwa hanya kebendaan yang dapat dipergadangkan saja, sedangkan ketentuan pasal 1333 BW menyatakan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
21
Dengan demikian jelaslah bahwa kebendaan yang merupakan obyek perjanjian yang diperjual belikan merupakan satu hal yang mutlak dan sudah ditentukan. Hal ini dipertegas dalam pasal 1458 BW yang menyatakan : “jual beli itu dianggap telah terjadi sudah terjadi antara dua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Dalam tulisan ini perjanjian yang dibuat adalah pengikatan jual beli atas sebidang tanah sehingga hal tertentu yang dimaksud disini adalah harga dan barang dimana keduanya telah secara jelas diperjanjikan. Dengan harga yang dimaksud adalah harga atas tanah yang disepakati untuk dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.Sementara itu yang dimaksud dengan barang adalah barang yang diperjanjikan, yang dalam hal ini adalah benda tidak bergerak berupa tanah. Sebab atau kausa yang diperbolehkan, adalah sebab mengapa perjanjian dibuat, bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, bukan sebab yang terlarang,Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undangundang disini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum. Apabila syarat sebab atau kausa yang diperbolehkan dan perihal tertentu tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat obyektif yang mana perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang berarti batal demi hukum (nietig atau null and void). Berkaitan dengan sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 sampai dengan 1337 BW.
22
Karena syarat-syarat sah dalam suatu perjanjian dalam beberapa kasus pada tulisan ini telah terpenuhi maka perjanjian pengikatan jual beli atas tanah hak milik seluas adalah sah dan mengikat secara hukum. Kata sepakat dan cakap merupakan syarat subyektif dari suatu perjanjian apabila salah satu syarat tidak terpenuhi dapat mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigebaar atau voidable). Suatu kesepakatan dalam perjanjian dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lain. Sedangkan syarat sah hal tertentu dan sebab yang halal tergolong sebagai syarat objektif. Dalam hal syarat subjektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjiannya menjadi batal demi hukum. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Selain syarat yang terdapat dalam pasal 1320 BW juga terdapat syarat lain yang terdapat diluar pasal 1320 BW, yaitu: a. harus dilaksanakan dengan itikad baik. b. harus sesuai dengan asas kepatutan. c. tidak melanggar kepentingan umum. d. harus sesuai dengan kebiasaan.
Selain syarat umum, juga terdapat syarat khusus, yaitu: a. tertulis, dalam praktek kebanyakan suatu perjanjian memang dibuat tertulis namun bukan berarti perjanjian yang dibuat lisan tidak sah,
23
perjanjian yang dibuat secara lisan juga sah secara yuridis, hanya sah apabila perjanjian dibuat secara tertulis akan lebih mudah untuk pembuktian dan untuk kepastian hukum bagi para pihak. b. dibuat
dihadapan
pejabat
berwenang,
misalnya
dalam
jual
beli
tanah/bangunan harus dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam hal ini perjanjian pengikatan jual beli dapat dibuat di hadapan Notaris. c. harus mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang.
Seperti yang telah disebutkan bahwa syarat khusus dari suatu perjanjian yaitu dalam bentuk tertulis, Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis yang dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang terdapat didalamnya, biasanya perjanjian dibuat dengan pembubuhan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan dan kesepakatan atas apa yang terurai pada perjanjian dimaksud, perjanjian yang dibuat tertulis dengan membubuhkan tanda tangan merupakan suatu akta. Sehingga untuk dapat dikatakan sebagai suatu akta maka akta tersebut harus ditanda tangani, memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atas perikatan dan peruntukkan untuk alat bukti. Menurut Ilmu hukum, akta dibedakan menjadi dua yaitu: a. Akta Otentik, yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa, dalam bentuk menurut undang-undang dimana akta dibuatnya (pasal 1868 BW). Pegawai umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita, pengadilan, pejabat kantor catatan sipil dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan ini adalah perjanjian yang dibuat dihadapan notaris, mengenai apa yang diperjanjikan, dinyatakan
24
oleh para pihak sebagaimana yang dilihat dan didengar oleh notaris, terutama benar tanggal akta, tanda tangan dalam akta, identitas para pihak dan tempat akta itu dibuat merupakan bukti formal, sedangkan dalam kekuatan pembuktian materil mengenai kebenaran isi atau materi dari akta tersebut. Dengan demikian akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna jika kebenarannya dibantah, maka pihak yang menyangkal yang harus membuktikan ketidak benarannya. b. Akta dibawah tangan, menurut pasal 1869 BW suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas (notaris, juru sita pengadilan, pegawai kantor catatan sipil) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak. Dalam akta dibawah tangan jika ia ditanda tangan tidak dihadapan pejabat yang berwenang, maka akta tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak yang membuat akta tersebut (pasal 1338 BW). Dalam tulisan ini perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan antara Suyitno dan Suhartini, Sujiono, Suharminingsih dibuat secara dibawah tangan. Sedangkan perjanjian pengikatan jual beli antara Esther Subijato melawan Fadhul Bari dibuat hadapan Notaris sehingga merupakan akta otentik. Perjanjian dalam BW menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjianyang berisi apa saja, dengan siapa pun atau pihak mana pun, dengan syarat-syarat apapun dengan pelaksanaan dan bentuk apapun, baik yang terdapat dalam BW maupun diluar BW asalkan tidak melanggar ketertiban umum
25
dan kesusilaan. Sistem terbuka mengandung pengertian kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam pasal 1338 ayat (1) BW disebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini lebih dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Asasasas dari hukum perjanjian yang juga berkaitan dengan asas-asas dalam perjanjian, antara lain: a. Asas kebebasan berkontrak, asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian dalam bentuk syarat, pihak dan pelaksanaan apapun selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan dan dilaksanakan dengan itikad baik, hal ini juga merupakan cerminan dari hak asasi manusia. b. Asas
konsensualisme, adalah adanya kesepakatan diantara para pihak
Untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, asas ini terdapat dalam pasal 1320 ayat (1) BW. c. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), dalam asas ini para pihak yang mengadakan perjanjian menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa para pihak akan memegang janjinya dengan memenuhi prestasinya, karena tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian tidak akan diadakan oleh para pihak. d. Asas kekuatan mengikat, bahwa terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga pada beberapa unsur sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan dan moral.
26
e. Asas keseimbangan, asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian tersebut. f.
Asas persamaan hukum, asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan dan menghormati satu dengan yang lainlainnya.
g. Asas kepastian hukum, (pacta sunt servanda), bahwa perjanjian sebagai figur hukum yang harus mengandung kepastian hukum, kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang bagi para pihak, asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) BW. h. Asas kepatutan, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Sedangkan menurut Agus Yudha Hernoko, asas-asas hukum perjanjian dalam BW ada 5 (lima) antara lain asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Dari beberapa asas yang dikemukakan oleh para ahli hukum, yang paling utama adalah asas kebebasan berkontrak dan asas kepastian hukum (pacta sunt servanda). Asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian pengikatan jual beli terlihat jelas bahwa perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dan isi setiap pasal dalam perjanjian telah ditentukan oleh para pihak yang pada akhirnya telah disepakati baik oleh pembeli dan penjual. Hal tersebut yang dimaksud asas konsensualisme dalam perjanjian, adanya kata sepakat dari para pihak.
27
2.2 Klausula-Klausula Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perjanjian pengikatan jual beli memuat janji-janji yang telah disepakati oleh para pihak. Dalam pembuatan perjanjian pengikatan jual beli itu sendiri terdapat unsur-unsur yang harus ada pada perjanjian umumnya yang bersifat universal, unsur tersebut antara lain: a. Bagian pembukaan; b. Ketentuan-ketentuan pokok perjanjian; c. Ketentuan-ketentuan penunjang; d. Bagian penutup
Bagian pembukaan memuat beberapa hal seperti ; a. Waktu dan tempat perjanjian diadakan. Namun hal ini tidak mutlak berada pada pembukaan, terkadang waktu dan tempat perjanjian diadakan dicantunkan pada akhir perjanjian. b. Komparisi, merupakan bagian pendahuluan perjanjian yang memuat identitas para pihak seperti nama, tempat tinggal, pekerjaan, dan lainlain
dan
menunjukkan
para
(bekwaamheid), kewenangan
pihak
mempunyai
kecakapan
(bevoegdheid) untuk melakukan
perbuatan hukum (rehtshandelingen). Apabila salah satu pihak merupakan kuasa dari pihak lain, maka hal tersebut juga harus disebutkan dalam komparisi. c. Recitals, merupakan bagian yang menjelaskan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu perjanjian untuk menjelaskan mengapa terjadi perikatan. Bagian ini berisi klausul yang menerangkan tentang
28
apa yang menjadi obyek perjanjian dan menjelaskan maksud untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Ketentuan pokok perjanjian terbagi dalam 3 (tiga) jenis klausula antara lain: a. Klausula transaksional, berisi tentang hal-hal yang disepakati oleh para pihak tentang obyek dan tata cara pemenuhan prestasi dan kontra prestasi oleh masing-masing pihak yang menjadi kewajibannya. Dalam klausula ini juga berisi tentang harga dari obyek perjanjian dan tata cara pembayaran serta biaya-biaya yang timbul dari perjanjian ini. Biaya-biaya yang dimaksud menitik beratkan pada biaya yang harus dibayar kedua belah pihak diluar harga tanah. Semisal biaya-biaya ppb, bphtb, serta pembuatan akta. b. Klausula
spesifik,
berisi
tentang
hal-hal
khusus
sesuai
dengan
karakteristik jenis perjanjian. Pada klausula ini menjelaskan secara spesifik obyek dari perjanjian seperti nomor sertifikat, jenis hak, serta letak obyek perjanjian. c. Klausula
antisipatif,
berisi
tentang
hal-hal
yang
menyangkut
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama berlangsungnya perjanjian. Pada klausula antisipatif biasanya disebutkan pihak penjual berjanji untuk menjamin bahwa obyek perjanjian tidak dalam sengketa, tidak menjadi tanggungan hutang, penyitaan atau gugatan dari pihak manapun, sanksi bila salah satu pihak telah lalai/wanprestasi malakukan kewajibannya, masa berlakunya perjanjian yang menegaskan bahwa perjanjian tidak berakhir bila salah satu pihak meninggal dunia, selain itu terdapat klausula yang mengatur cara penyelesaian sengketa dengan memilih kedudukan domisili hukum umum dan tetap oleh para pihak,
29
apabila dikemudian hari terdapat sengketa. Bagian ini biasanya terdapat pada bagian akhir dari suatu perjanjian.
Ketentuan penunjang umumnya berisi tentang: a. Condition presedent, klausula yang memuat tentang syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak sebelum pihak lainnya memenuhi kewajibannya. Pada klausula ini biasanya menyebutkan bahwa pihak penjual akan menjual obyek perjanjian apabila harga yang disepakati telah dibayarkan secara lunas oleh pembeli atau pihak pembeli akan membayar secara lunas apabila pihak penjual melakukan kewajibannya untuk mengurus bukti kepemilikan atas tanah (sertipikat) dan lain-lain. b. Affirmatif convenants, klausula yang memuat tentang janji-janji para pihak untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian masih berlangsung atau masih berlaku. Misalnya pihak penjual berjanji untuk mengurus bukti kepemilikan hak atas tanah seperti sertifikat yang belum dibalik nama atau belum bersertifikat, pihak penjual berjanji akan mengosongkan tanah/bangunan yang menjadi obyek perjanjian setelah dilunasinya harga obyek perjanjian. c. Negative convenants, klausula yang memuat tentang janji-janji para pihak untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian masih berlangsung atau masih berlaku. Pada klausula ini pihak penjual apabila
sudah
diperjanjikan menyewakan,
menerima
maka
ia
sejumlah
tidak
mengijinkan
pembayaran
diperbolehkan
orang
lain
dari
untuk
untuk
yang
menjual,
menempati,
30
menggadaikan atau membebaninya dengan hak tanggungan tanpa sepengetahuan pihak pembeli. Bagian penutup, setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu disebutkan pada perjanjian antara lain: a. Penekanan bahwa perjanjian tersebut sebagai alat bukti b. Penyebutan saksi-saksi dalam perjanjian c. Penyebutan tempat pembuatan dan penandatangan perjanjian (jika pada bagian pembuka belum diatur) d. Penempatan tanda tangan bagi para pihak.
3. Sifat dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Rumah 3.1 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Rumah sebagai perjanjian obligatoir Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak tentunya akan menimbulkan konsekuensi bagi mereka. Baik konsekuensi pada pemenuhan kewajiban atau mengenai ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjian itu. Perjanjian berdasarkan pasal 1313 BW adalah sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikat dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Subekti mendefinisikan suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Herlien Budiono mendefinisikan pasal 1313 BW adalah perjanjian yang menciptakan,
mengisi,
mengubah
atau
menghapuskan
perikatan
yang
menimbulkan hubungan-hubungan hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian dibidang harta kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan
31
melaksanakan suatu prestasi, sedangkan pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik. Sedangkan J. Satrio mengatakan bahwa perjanjian yang diatur dalam pasal 1313 BW adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan disebut perjanjian obligatoir. Sedangkan perikatan merupakan hubungan hukum antar pihak atau lebih terkait hukum kekayaan, dimana satu pihak ada hak ada pihak lain ada kewajiban. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian pada pasal 1313 BW menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak secara timbal balik atau dikenal dengan perjanjian obligatoir.Suatu perjanjian bersifat obligator setelah terpenuhinya sahnya suatu perjanjian, dan secara langsung perjanjian pengikatan jual beli telah mengikat para pihak namun tidak mengalihkan hak milik kebendaan.Karena berpindahnya hak milik atas suatu benda harus dilakukan dengan penyerahan (levering) secara yuridis. Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa macam perjanjian sebagai berikut : a. Perjanjian sepihak (unilateral contract) dan perjanjian timbal balik (bilateral contract) perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak. b. Perjanjian konsensuil, formal dan riil. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah
apabila ada kata
sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formal ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk
32
tertulis dan formalitas tertentu, bila perjanjian tersebut tidak dibuat sesuai bentuk yang
ditentukan undang-undang
sah. Perjanjian
riil
sepakat diantara para
ialah
suatu
pihak
maka
perjanjian
belum
perjanjian dimana
melahirkan
tersebut tidak
tercapai
kata
perjanjian bila barang
belum diserahkan. c. Perjanjian bernama (benoemde overeenkomst) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana BW Undang-Undang tertentu telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam bab lV sampai bab XIIl BW ditambah titel VIIA. Sedangkan perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang belum terdapat pengaturan secara khusus dalam BW atau undang-undang. Perjanjian tidak bernama merujuk pada ketentuan pasal 1319 BW.
Melihat dari pembagian jenis perjanjian obligatoir, perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) karena dalam BW maupun Undang-Undang lainnya tidak ada pengaturan secara khusus mengenai perjanjian pengikatan jual beli.
3.2 Perjanjian Pengikatan jual beli sebagai sumber perikatan bersyarat Perjanjian pengikatan jual beli belum melahirkan bentuk hukum jual beli yang sempurna karena masih digantungkan pada syarat tertentu untuk memenuhi kesempurnaan konsep jual beli pada umumnya, sehingga perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang memiliki karakteristik sebagai perikatan yang bersyarat.
33
Perikatan bersyarat diatur dalam pasal 1253 BW sebagai berikut. Secara garis besar dikatakan besyarat karena terdapat persyaratan yang dijadikan gantungan peristiwa untuk menangguhkan pelaksanaan perjanjian yang sempurna manakala syarat penangguh tersebut tidak dipenuhi. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, syarat dalam perikatan bersyarat adalah suatu hal yang disebkan oleh para pihak dalam perjanjian dan berupa suatu peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari dan belum tentu akan terjadi, tidak tergantung dari peristiwa yang telah terjadi. Jadi syarat tersebut harus : a. Disebutkan oleh para pihak, bukan oleh undang-undang b. Peristiwa tersebut masih akan terjadi, tidak dari peristiwa yang telah terjadi c. Peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi, bukan peristiwa yang sudah dapat dikatakan bahwa pasti akan terjadi ada dua bentuk syarat dalam perikatan bersyarat, yaitu: a. Syarat tangguh Adalah syarat yang
menunda atau manangguhkan pelaksanaan perikatan
sampai syarat itu di penuhi. Pasal 1263 ayat (1) BW menentukan suatu perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih akan belum terjadi. Pasal ini menunjukkan adanya dua macam syarat tangguh, pertama peristiwa yang akan datang dan belum tentu terjadi, dan kedua, peristiwa yang sudah terjadi, namun tidak diketahui oleh para pihak. Setiap syarat tangguh memiliki akibat yang berbeda.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan dengan syarat tangguh pertama pemenuhan perikatan hanya dapat dituntut apabila syarat tangguh
34
tersebut telah terpenuhi. Selama syarat tersebut belum terpenuhi maka kewajiban berprestasi oleh debitur belum ada, walaupun hubungan hukum tetap ada. Sedangkan perikatan dengan syarat tangguh kedua perikatan telah mempunyai daya kerja sejak perikatan itu terbentuk.Jadi bukan sejak para pihak mengetahui telah terjadi peristiwa itu. Subekti memberikan pandangan yang hampir sama bahwa perikatan bersyarat dengan syarat manangguhkan/menunda diikatan perikatan tersebut sempurna jika syarat dalam perikatan tersebut dipenuh, yang mana syarat tersebut sebagai syarat penunda. Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat dikatakan bahwa syarat tangguh/tunda merupakan syarat yang menunda kesempurnaan perikatan dalam suatu perjanjian tersebut sampai dengan syarat tersebut dipenuhi oleh para pihak yang melakukan perjanjian.Jika syarat tersebut belum dipenuhi maka perjanjian tersebut belum sempurna terjadi. Perjanjian pengikatan jual beli dengan syarat tangguh baru lahir jika peristiwa yang dimaksud atau disyaratkan itu terjadi. Perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa. Pada perjanjian pengikatan jual beli, perikatan lahir pada saat para pihak yang telah sepakat membuat perjanjian tersebut memenuhi jani-janji yang menjadi syarat untuk dapat dilakukannya perjanjian jual beli dikemudian hari, seperti pelunasan harga jual beli, menunjukkan bukti hak atas tanah berupa sertifikat. Apabila hal-hal tersebut telah dilakukan oleh para pihak maka lahirlah perikatan dengan syarat tangguh pada perjanjian pengikatan jual beli. a. Syarat Bubar Pasal 1265 ayat (1) BW menentukan bahwa syarat bubar adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan perikatan dan mewajibkan kreditur untuk mengembalikan apa yang telah diterima. Dari pasal ini diketahui syarat bubar
35
adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan perikatan dan kewajiban debitur untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya. Pasal 1266 ayat (1) BW menentukan bahwa tidak dipenuhi kewajiban oleh salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik merupakan syarat bubar.Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan prestasi.Oleh karena itu untuk melindungi pihak yang beritikad baik dalam perjanjian timbal balik maka BW menentukan syarat bubar/batal demi hukum dianggap selalu ada.Akan tetapi perjanjian tersebut tidak dengan sendirinya bubar, melainkan harus dimintakan pembubaran/pembatalan di muka Hakim (pasal 1266 ayat 2 BW). Perikatan dengan syarat bubar pada perjanjian pengikatan jual beli lahir apabila dalam perjanjian salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya. Misalnya pihak penjual meminta pembeli untuk melakukan pembayaran dengan jangka waktu tertentu, namun pihak pembeli tidak melakukan pembayaran sesuai jangka waktu yang telah ditentukan, sebaliknya pihak pembeli meminta pihak penjual untuk menyerahkan bukti tanda kepemilikan yaitu sertifikat pada saat pembayaran telah dilunasi tetapi pihak penjual sampai dengan pelunasan harga oleh pembeli tidak dapat menunjukkan sertifikat tersebut. Dari contoh tersebut apabila salah satu pihaktidak memenuhi hal tersebut maka perjanjian tersebut dinyatakan bubar. Perjanjian pengikatan jual beli memberikan persamaan syarat yang berimbang antara penjual dan pembeli, dimana penjual diwajibkan tidak boleh menjual lagi kepada orang lain dan pihak pembeli diwajibkan melunasi harga obyek jual belinya.
36
Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat. Adanya perikatan bersyarat bisa dilihat pada tujuan dan isi perjanjian pengikatan jual beli tersebut.Tujuan para pihak adalah menunda pelaksanaan jual beli. Dalam perjanjian pengikatan jual beli, para pihak saling berjanji untuk melaksanakan jual beli setelah hal-hal tertentu dipenuhi. Hal-hal yang harus dipenuhi akan tergantung pada masing-masing ikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak.
3.3 Adanya Pemberian Kuasa dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Pemberian kuasa (lastgeving)diatur dalam babXVI buku ketiga BW pasal 1792 BW menentukan “pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan nama seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Pemberian kuasa yang dimaksud hanya meliputi tindakan pengurusan saja. Dari pasal tersebut dapat diketahui unsur-unsur pemberian kuasa sebagai berikut : a. Persetujuan. Oleh karena pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan, maka harus tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian. b. Memberikan kuasa pada penerima kuasa. Menunjukkan adanya pihak pemberi dan penerima kuasa yang telah disetujui oleh para pihak. c. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Penerima kuasa melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan untuk atas nama pemberi kuasa. Akibat tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah tindakan hukum pemberi kuasa.
37
Menurut Herlien Budiono, meskipun pada dasarnya pemberian kuasa adalah untuk melakukan perbuatan hukum atas nama pemberi kuasa namun tidak menutup kemungkinan dilakukannya perbuatan hukum untuk kepentingan penerima kuasa. Tujuan pemberian kuasa untuk melindungi kepentingan penerima kuasa contohnya : a. Suatu utang piutang antara debitur dengan bank dengan jaminan hak atas tagihan dari debitor. Dalam hal ini depitor memberi kuasa kepada bank untuk menagih utang tersebut. b. Jual beli saham, penjual memberi kekuasaan sepenuhnya kepada pembeli untuk mengurus saham, agar saham yang dibelinya dapat tertulis dan terdaftar atas nama pembeli, baik dalam surat bukti saham maupun buku daftar saham perseroan c. Pada perjanjian pengikatan jual beli, calon penjual memberi kuasa kepada calon pembeli untuk melakukan jual beli di hadapan PPAT apabila syarat jual beli tanah telah terpenuhi.
Pemberian kuasa terbagi didalam dua jenis, yaitu pemberian kuasa secara tertulis maupun lisan. Dari ketentuan pasal tersebut pemberian kuasa merupakan perjanjian konsensual, yang mana telah sah dan mengikat saat tercapainya kesepakatan antara pemberi dan penerima kuasa. Dalam pemberian kuasa secara tertulis, Undang-Undang tidak membatasi secara khusus pemberian kuasa tersebut diberikan dalam bentuk apa. Selama pemberian kuasa secara tertulis masih berada dalam lingkup umum pasal 1792 BW, yaitu dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat,
38
maka permberian kuasa tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai pemberian kuasa secara tertulis. Pemberian kuasa secara tertulis ini yang disebut sebagai surat kuasa. Surat kuasa digunakan dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administratif. Sementara itu, mengingat hakikat pemberian kuasa yang juga merupakan suatu perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 BW juga berlaku untuk pembuatan atau perbuatan hukum pemberian kuasa. Menurut sifatnya kuasa dapat dibedakan menjdai 2 (dua) jenis yaitu pemberian kuasa umum maupun pemberian kuasa khusus. Yang dimaksud dengan pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan pengurusan. Misalnya untuk memindah tangankan benda atau untuk sesuatu perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik harus dilakukan dengan kata-kata yang tegas (pasal 1796 BW) sedangkan pemberian kuasa khusus adalah pemberian kuasa mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih yang meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. (pasal 1795 BW) untuk melakukan perbuatan tertentu diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan. Penerima khusus tidak boleh bertindak melampaui kuasa yang telah diberikan kepadanya. Jika ia melanggar bahwa ia menyetujui suatu hal yang tidak dikuasakan kepadanya, maka penerima kuasa dianggap mengikatkan diri kepada pihak ketiga untuk dirinya sendiri. Pemberi kuasa tidak diwajibkan untuk memenuhi perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa tersebut, bahkan ia dapat meminta ganti rugi kepada penerima kuasa.
39
Berdasarkan contoh diatas khususnya untuk perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dibuatnya perjanjian jual beli. Pemberian kuasa calon pembeli berlaku sejak terpenuhinya syarat-syarat tangguh (telah dilunasi seluruhnya harga jual beli dan sertifikat hak atas tanah/bangunan telah selesai dibalik nama). Tujuan pemberian kuasa pada perjanjian pengikatan jual beli ialah untuk memberikan perlindungan hukum bagi calon pembeli jika calon penjual ingkar janji untuk melakukan jual beli di hadapan PPAT. Jika syarat-syarat untuk melakukan jual beli telah terpenuhi, maka pihak pembeli mewakili pihak penjual dengan berdasarkan pemberian kuasa tersebut dapat melakukan pemindahan hak walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya dihadapan PPAT. Pemberian kuasa dalam hal ini merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pengikatan jual beli. Namun dimungkinkan pemberian kuasa dilakukan dalam akta yang terpisah dengan perjanjian pokoknya (perjanjian pengikatan jual beli). Berkaitan dengan berakhirnya pemberian kuasa kepentingan penerima perlu diperhatikan mengingat pemberian kuasa berakhir bila ditarik kembali kuasa oleh pemberi kuasa, adanya pemberitahuan penghentian kuasa, meninggalnya para pihak (pasal 1813 BW). Ditegaskan pula pada pasal 1814 BW bahwa pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakalah dikehendakinya. Jika hal itu terjadi tentunya mengakibatkan hak-hak pihak penerima kuasa dalam perjanjian pengikatan jual beli sangat dirugikan. Maka sudah seharusnya pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.
40
Tidak dapat ditariknya kembali pemberian kuasa pada perjanjian pengikatan jual beli tidak identik dengan kuasa yang dilanggar sebagaimana diatur dalam Instruksi Mentri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah yang sekarang telah dimuat dalam pasal 39 huruf (d) PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 BW, berarti pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Sama halnya dengan Buku III BW yang bersifat mengatur dan tidak bersifat memaksa, serta putusan Mahkamah Agung Nomor 731K/Sip/1975 yang menyatakan pasal 1813 BW tidak limitatif dan tidak bersifat memaksa, sehingga para pihak dapat menyimpangi ketentuan pada pasal 1813 jo 1814 BW. Dapat disimpulkan pemberian kuasa tidak dapat ditarik kembali apabila pemberian kuasa tersebut bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perjanjian yang mempunyai titel hukum yang sah dan kuasa yang diberikan untuk kepentingan penerima kuasa. Disamping
menyesampingkan
pasal
1813
BW
para
pihak
lazimnya
mencantukan klausula bahwa penerima kuasa menerima pemberian kuasa tersebut. Untuk menghindari anggapan bahwa pemberian kuasa adalah perbuatan sepihak. Selain itu dalam klausula pemberian kuasa jual tercantum pula bahwa kuasa tersebut berlaku untuk menjual kepada penerima kuasa sendiri. Hal ini berkaitan dengan pasal 1470 BW yang melarang penerima kuasa untuk membeli barang-
41
barang yang ia kuasakan untuk menjualnya. Untuk menyimpangi ketentuan itu pemberi kuasa harus secara eksplisit menyatakan bahwa penerima kuasa diberi kuasa atas nama pemberi kuasa menjual kepada siapapun termasuk kepada penerima kuasa sendiri. Dengan adanya pemberian kuasa ini, ketika syarat-syarat jual beli telah terpenuhi calon pembeli dapat menjual tanah tersebut kepada dirinya sendiri tanpa melibatkan pemegang hak atas tanah dalam hal ini bertindak dalam dua kedudukan yaitu sebagai kuasa penjual dan pembeli.
42
BAB III UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH DAN RUMAH
BAB III UPAYA HUKUM MEMBAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
1. Upaya Hukum Bagi Para Pihak Jika Wanprestasi
43
Perjanjian adalah sumber dari perikatan yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak, maka segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak tersebut harus dilaksanakan oleh mereka. Sebagai suatu bentuk dari perjanjian, perjanjian pengikatan jual beli tanah sebagai perjanjian obligatoir yang mengandung hak dan kewajiban dari para pihak yang membuatnya. Hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian disebut sebagai prestasi. Pada pasal 1234 BW terdapat tiga bentuk prestasi, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan jenis perjanjian dengan prestasi yaitu berbuat sesuatu. Dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu maka prestasi yang dimaksud adalah tindakan debitur dimana debitur diwajibkan untuk melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian antara debitur dan kreditur. Apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Debitur dapat juga dikatakan telah alpa atau lalai atau ingkar janji. Dengan kata lain, wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian dan tanpa kesalahan. Adapun wanprestasi atau ingkar janji atau tidak memenuhi perikatan ada empat macam yaitu: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk memenuhi perikatan; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikan namun terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
44
Dalam pelaksanaannya perjanjian tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi tertentu salah satu pihak dengan tidak memenuhi prestasi mengakibatkan terjadinya ingkar janji/wanprestasi. Bentuk ingkar janji/wanprestasi yang sering terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli antara lain keterlambatan pembayaran dari pihak pembeli; pihak yang menjual, menyewakan atau menjadikan jaminan hutang obyek jual beli kepada pihak lain, tidak menyerahkan bukti tanda milik tanah disebut juga sertifikat kepada pihak pembeli, tidak menyerahkan obyek jual beli kepada pembeli. Dari uraian diatas baik pihak penjual maupun pihak pembeli berpotensi melakukan ingkar janji/wanprestasi. Akibat ingkar janji/wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli yang tentunya membawa kerugian bagi para pihak itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli untuk dapat memberikan kepastian hukum dan menjaga pemenuhan kepentingan serta hak-hak masing-masing pihak. Untuk mengantisipasi terjandinya wanprestasi pada perjanjian pengikatan jual beli maka para pihak harus memperhatikan janji-janji termuat dalam klausulklausul yang telah disepakati dengan menyatakan secara jelas kewajiban dan hak masing-masing pihak. Suatu perjanjian lebih baik untuk dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang. Kaitannya dengan ini disarankan perjanjian pengikatan jual beli dihadapan notaris. Walaupun perjanjian pengikatan jual beli dimungkinkan dibuat diantara para pihak saja dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan itupun mempunyai kekuatan hukum yang sah.Namun bila terjadi
45
perkara dengan pembuat perjanjian pengikatan jual beli dihadapan notaris sebagai penjabat yang berwenang kekuatan hukum dari perjanjian pengikatan jual beli tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Para pihak juga dapat menyatakan dalam kalusul perjanjian pengikatan jual beli mengenai adanya denda setiap keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh pihak pembeli atau keterlambatan penyerahan obyek perjanjian jika pihak pembeli telah memenuhi pembayaran/melunasi harga jual beli. Selain hal-hal diatas baik pihak penjual dan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli dapat melakukan upaya hukum baik secara preventif maupun represif. Adapun upaya perlindungan yang dapat dilakukan oleh masingmasing pihak anatara lain: a) Perlindungan terhadap Pihak Penjual Perlindungan yang memintakan
kepada
dapat
dilakukan
pihak
pembeli
kepada calon penjual
ialah
agar melakukan pembayaran
harga atas obyek perjanjian dengan jangka waktu tertentu yang disertai dengan syarat batal, apabila pihak pembelitidak memenuhi pembayaran sebagaimana telah
dimintakan dan
disepakati maka
perjanjian
pengikatan jual beli hak atas tanah yang telah dibuat dan disepakati menjadi batal dan pihak penjual tidak berkewajiban untuk mengembalikan pembayaran yang telah dibayarkan kecuali
pihak pembeli meminta
pengecualian. b) Perlindungan bagi Pihak Pembeli Perlindungan yang dapat dilakukan pihak pembeli dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli ialah
terlebih
dahulu
memeriksa
keberadaan bukti kepemilikan hak atas tanah/bangunan yang menjadi
46
obyek perjanjian. Pihak pembeli dapat meminta supaya sertifikat atau bukti kepemilikan tanda hak milikatas tanah tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli.
Pihak pembeli meminta kepada pihak penjual untuk menjamin bahwa obyek perjanjian bebas dari tuntutan, gugatan, dan jika diketahui pada obyek perjanjian terdapat tuntutan, gugatan maupun sitaan maka tanggung jawab berada dipihak penjual.Selain itu pihak pembeli juga meminta kepada pihak penjual adanya pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya. Bilamana terjadi perkara selama perjanjian pengikatan jual beli masih berlangsung dapat diselesaikan dengan mengajukan upaya hukum represif antara lain : a. Mengirimkan somasi (surat peringatan) untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan dan dinyatakan telah lalai melaksanakan kewajibannya. Somasi diatur dalam pasal 1238 BW: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dinggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” b. Mengajukan gugatan ke pengadilan yang intinya meminta pengadilan untuk :
47
1) Menyatakan melakukan pihak yang telah wenprestasi benar melakukan wanprestasi 2) Menghukum pihak yang wenprestasi untuk melakukan salah satu dari lima kemungkinan : -
Pembatalan (pemutusan) perjanjian
-
Melaksanakan perjanjian
-
Membayar ganti rugi yang di derita
-
Malaksanakan perjanjian sekaligus membayar ganti rugi ; atau
-
Membatalkan perjanjian disertai pembayaran ganti rugi
3) Meletakkan sita jaminan atas harga benda dalam hal ini adalah penjual atau pemilik hak yang dimiliki dengan alasan-alasan yang jelas
Yang dimaksud dengan ganti rugi pada pasal 1245 dan pasal 1246 BW ialah biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata
sudah
dikeluar
oleh
salah
satu
pihak,
rugi
adalah
berkurangnya/hapusnya harta kekayaan maupun kerusakan barang-barang yang diakibatkan oleh kelalaian salah satu pihak dalam perjanjian, dan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan/dihitung sebelumnya
bilamana
perjanjian
sudah
dilaksanakan
dan
tidak
terjadi
wanprestasi. Adapun besarnya ganti rugi dapat ditentukan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian. Selain itu perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak
para pihak
apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli sangat tergantung kepada kekuatan dari perjanjian pengikatan jual beli yang
48
dibuat. Jika perjanjian pengikatan jual beli dibuat dengan akta dibawah tangan maka perlindungannya sesuai dengan perlindungan terhadap akta dibawah tangan sedangkan apabila dibuat dihadapan notaris, maka dengan sendirinya aktanya menjadi akta notaril sehingga kekuatan perlindungannya sesuai dengan perlindungan terhadap akta otentik. Perjanjian pengikatan jual beli dalam prakteknya sering dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan notaris, sehingga akta pengikatan jual beli merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.Hal ini dimaksudkan oleh para pihak untuk lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Seperti yang telah singkat penulis uraikan pada bab sebelumnya bahwa perjanjian pengikatan jual beli dapat dilakukan secara dibawah tangan dan akta otentik namun memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda. a.) Akta dibawah tangan Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian keluar seperti akta otentik yang dapat membuktikan sendiri keabsahannya dan mempunyai kekuatan pembuktian formal hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tagan itu diakui oleh yang menandatanganinya atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1875 BW “ suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai
diakui,
memberikan
terhadap
orang-orang
yang
menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta
49
otentik, dan dengan demikian berlakulah ketentuan pasal 1871 BW untuk tulisan itu” b.) Akta Otentik Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yaitu: 1. Kekuatan Pembuktian Formal. Segala hal yang tertuang dalam akta otentik adalah ucapan para pihak sendiri dihadapan notaris/pegawai umum. Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa notaris/pegawai umum yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan dalam akta. 2. Kekuatan Pembuktial Material. Dalam kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga diisi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. 3. Kekuatan Pembuktian Keluar. Yaitu membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan, tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tertulis dalam akta itu yang kedua belah pihak telah menghadap pejabat umum dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Dan pihak ketiga atau siapapun wajib mengakui kebenaran akta tersebut sampai dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian, demi kepastian hukum masing-masing pihak, maka bentuk pengikatan jual beli secara tertulis dan dibuat dihadapan pejabat yang berwenang tentu akan mempermudah para pihak untuk menyelesaikan
50
perselisihan jika hal tersebut terjadi di kemudian hari dan dapat dijadikan sebagai alat pembuktian.
2. Analisa Kasus Terhadap Wanprestasi dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli terhadap Hak atas Tanah 2.1. Analisa Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 65/Pdt.G/2013.Pn.Sda a) Para Pihak Berdasarkan
perjanjian
pengikatan
jual
beli
tanah,
Suyitno
sebagai
pembeli/penggugat melawan Suhartini, Sujiono dan Suharminingsih sebagai penjual/pemilik tanah/para Tergugat dalam perkara wanprestasi yang di ajukan penggugat terhadap para tergugat atas perjanjian pengikatan jual beli tanah dengan luas 2479 M2 yang terletak di Jl. Abd Rachman RT 001. RW .01 Pabean, Sedati, Sidoarjo (obyek perkara) KARNALI Pak MUKHAMAD KUSAIRI (Almarhum) yang diwakili oleh ahli warisnya yaitu para tergugat.
b) Duduk Perkara Penggugat berkeinginan membeli sebidang tanah hak milik nomor 173/Desa Pabean seluas 2479 M2 yang terletak di Jl. Abd Rachman RT 001.RW. 01 Pabean, Sedati, Sidoarjo (obyek perkara) milik KARNALI Pak MUKHAMAD KUSAIRI (Almarhum) yang diwakili oleh ahli warisnya yaitu para tergugat. Pada tanggal 17 November 2011 telah terjadi Pengikatan Jual Beli atas tanah dibawah tangan antara Penggugat dengan Tergugat. Dan telah terdapat kesepakatan harga jual beli atas obyek perkara tersebut diatas seharga
51
Rp 1.239.500.000, dengan melakukan pembayaran sebagai secara bertahap sebagai berikut: a. Pembayaran sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) diserahkan kepada TERGUGAT I, II, III pada waktu penandatanganan Perjanjian Ikatan Jual Beli Tanggal 17 November 2011. Atas pembayaran ini perjanjian ini berlaku juga sebagai kwitansi/tanda pembayaran yang sah; b. Pembayaran sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) diserahkan pada tanggal 05 Desember 2011. c. Pembayaran sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) diserahkan berupa Cek Tunai No EV. 403057 Bank Mandiri tertanggal 26 Januari 2012 yang kemudian diberikan tanda Terima Cek Tanggal 06 Februari 2012. d. Dan sisanya sebesar Rp.1.189.500.000 (satu milyar seratus delapan puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah) akan dibayarkan selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan perjanjian pengikatan jual beli atau apabila semua persyaratan untuk jual beli telah lengkap, dan untuk penerimaan uang akan dibuat kwitansi tersendiri.
Bahwa pelunasan pembayaran obyek perjanjian jual beli akan dilunasi dengan syarat bahwa tanah tersebut harus dalam keadaan kosong dan tidak ada pihak ketiga yang menempatinya. Bahwa para tergugat akan berjanji menyelesaikan segala sesuatunya dalam waktu sebelum 3 (tiga) bulan terhitung setelah penandatangan perjanjian ikatan jual beli Tanggal 17 November 2011. Yang dimaksud segala sesuatu ialah mengurus surat keterangan waris dari Ahmad Karnali Pak Mukhamad Kusairi,
52
Penetapan wali Ibu dan ijin jual untuk anak dibawah umur Fitri Robiul Adawiyah dan penyelesaian dan pemberesan atas tanah seluas 150 M2 yang sampai saat ini masih dikuasai pihak ketiga. Bila para tergugat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditanda tanganinya perjanjian ini tidak memenuhi kewajibannya maka secara patut dianggap telah ingkar janji/wanprestasi. Bahwa sebagaimana yang telah dijanjikan, Pihak tergugat telah ingkar janji/wanprestasi dengan tidak memenuhi kewajibannya. Maka Penggugat telah berulang kali menegur/mengingatkan kepada para tergugat untuk segera melaksanakan jual beli dihadapan pejabat yang berwenang, dan penggugat telah siap melakukan pembayaran pembayaran seluruh harga jual beli secara tunai dan sekaligus, namun para tergugat tidak pernah mengindahkan peringatan (somasi) dari Penggugat. Menanggapi gugatan yang diajukan oleh penggugat, dalam gugatan rekopensi tergugat menyatakan bahwa dalam hal ini yang telah melakukan ingkar
janji/wanprestasi
adalah
penggugat
dengan
tidak
melakukan
kewajibannya yaitu tidak melakukan pembayaran atas obyek perkara selambatlambatnya tiga bulansejak ditanda tangani perjanjian tersebut. Sehingga sudah dibenarkan apabila perjanjian pengikatan jual beli dimaksud batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum berlaku.
c) Putusan Pengadilan Bahwa terhadap gugatan tersebut pengadilan Negeri Sidoarjo telah mengambil keputusan, yaitu keputusan No.65/Pdt.G/2013/PN.Sda tanggal 7 November 2013, yang amarnya sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
53
2. Menyatakan tergugat I, II, III (Para Tergugat) melakukan ingkar janji/wanprestasi; 3. Menyatakan sah dan mengikat secara hukum, perjanjian perikatan jual beli tanggal 17 November 2011 antara penggugat dan para tergugat; 4. Menetapkan
harga
tanah
dan
rumah
perkara
disepakati
Rp. 1.239.500.000,- (satu milyar dua ratus tiga puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah); 5. Menyatakan
bahwa
pembayaran
uang
muka
sebesar
Rp. 145.000.000,- (seratus empat puluh lima juta rupiah) diterima dan dinikmati oleh para tergugat; 6. Memerintahkan agar para tergugat harus menerima uang sisa pembayaran harga tanah sejumlah Rp. 1.094.500.000,- (satu milyar sembilan puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) dan segera melakukan transaksi jual beli dengan penggugat sebagaimana seharusnya dihadapan PPAT setempat yakni PPAT di Kabupaten Sidoarjo atas biaya para tergugat secara tanggung renteng; 7. Jika para tergugat tidak memenuhi amar putusan butir 6 tersebut, maka penggugat berdasarkan putusan pengadilan ini diberi kuasa penuh untuk melakukan jual beli tanah dan bangunan obyek perkara dihadapan PPAT kabupaten Sidoarjo untuk melaksanakan jual beli sekaligus untuk melakukan balik nama atas SHM No. 173 / Desa Pabean, Sedati, Sidoarjo tersebut; 8. Menghukum para tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap hari lalai tidak memenuhi
54
amar putusan pengadilan dalam perkara ini terhitung sejak putusan dijatuhkan sampai dengan putusan dilaksanakan oleh pengadilan; 9. Menghukum para tergugat membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini; 10. Menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya; 11. Menolak eksepsi tergugat dalam Rekonpensi; 12. Menghukum para tergugat untuk membayar keseluruhan biaya perkara ini sejumlah Rp. 2.071.000,- (dua juta tujuh puluh satu ribu rupiah);
2.1.2 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 497/Pdt.G/PN.Sby a) Para Pihak Berdasarkan
perjanjian pengikatan jual beli tanah, Esther Subijanto sebagai
Pembeli/Tergugat
melawan
Fadhul
Barisebagai
Penjual/Pemilik
Tanah/Tergugat. Dalam perkara wenprestasi yang diajukan penggugat jual beli tanah Yasan, Letter C nomor 5049 persil 35d II dengan luas 90 M2 yang terletak di Jl. Medayu Utara XXXC Blok B 38A (obyek perkara) tergugat.
b) Duduk Perkara Penggugat berkeinginan membeli sebidang tanah Yasan, Letter c nomor 5049 persil 35.d II dengan luas 90 M2 yang terletak di Jl. Medayu utara XXXC Blok B 38A pada tanggal 11 Maret 2010 telah terjadi pengikatan jual beli atas tanah dihadapan Notaris Joyce Sudarto, SH di Surabaya antara Penggugat dengan Tergugat. Dan telah terdapat kesepakatan harga jual beli obyek perkara
55
tersebut diatas seharga Rp.110.000.000, dengan melakukan pembayaran sebagai secara bertahap sebagai berikut: a. Pembayaran pertama sebesar Rp. 70.000.000.- (tujuh puluh juta rupiah) diserahkan kepada tergugat. Atas pembayaran ini perjanjian ini berlaku juga sebagai kwitansi/tanda pembayaran yang sah; b. Pembayaran
kedua
sebesar
Rp.40.000.000,-
(empat
puluh
juta
rupiah)makan dibayar 8 (delapan) kali angsuran bulanan, masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- mulai 1 April – 1 November 2010.
Bahwa penggugat bermaksud melunasi pembayaran pada bulan angsuran terakhir yaitu 1 November 2010 sebesar Rp. 238.000,- kepada tergugat untuk dapat selanjutnya dilakukan jual beli. Penggugat telah berulang kali meminta kejelasan kepada Tergugat untuk segera memenuhi kewajibannya melakukan jual beli, namun tidak pernah ditanggapi oleh Tergugat. Bahwa karena tidak dipenuhinya kewajiban Tergugat untuk segera melakukan jual beli sampai dengan batas waktu yang ditentukan disepakati yaitu: 1 November 2010, maka pihat tergugat dengan jelas telah ingkar janji/wanspirasi. Dan berdasarkan akta ikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak merujuk pasal 2 akte tersebut yang menyatakan bahwa “Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan pihak pertama/tergugat karena sebab apapun berhalangan untuk menerimanya, maka pihak kedua/penggugat berhak menyerahkan uang tersebut kepada Pengadilan Negeri Surabaya (secara konsinyasi) dan pihak kedua dianggap telah memenuhi kewajiban pembayaran menurut akte ini”
c) Putusan Pengadilan
56
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Surabaya telah mengambil putusan, yaitu putusannya No. 497/Pdt.G/2012/PN.Sby tanggal 18 September 2013, yang amarnya sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Tergugat FADHUL BARI dan Turut Tergugat JOYCE SUDARTO , SH yang telah dipanggil secara patut dipersidangan tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan verstek. 3. Menyatakan Penggugat sebagai calon pembeli yang baik. 4. Menyatakan Akte Ikatan Jual Beli Nomor 4 tanggal 11 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Joyce Sudarto, SH Surabaya adalah sah dan mengikat. 5. Menyatakan
Tergugat
telah
melakukan
perbuatan
ingkar
janji
(wanprestasi) terhadap ikatan jual beli no. 5 tanggal 11 Maret 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Joyce Sudarto, SH Notaris Surabaya. 6. Menghukum Penggugat untuk membayar secara konsinyasi sejumlah uang sebesar Rp. 238.000,- melalui Pengadilan Negeri Surabaya kepada Tergugat. 7. Menghukum
Tergugat
untuk
menerima sisa pembayaran sebesar
Rp. 238.000,- secara konsinyasi di Pengadilan Negeri Surabaya. 8. Menyatakan penggugat sah mewakili Tergugat ke pejabat pembuat akte tanah (PPAT) untuk melakukan jual beli dan balik nama sertifikat obyek sengketa. 9. Memerintahkan BPN Kota Surabaya II untuk melakukan balik nama sertifikat No. 3682 dari Nurhayati menjadi atas nama Penggugat.
57
10. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang hingga sekarang berjumlah Rp. 1.000.000,11. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.
2.2 Analisa Permasalahan 2.2.1 Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah menurut undangUndang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Dalam kasus ini yang menjadi obyek perjanjian ialah sebidang tanah atas hak milik.Suatu hak atas tanah dapat diperoleh dengan peralihan hak atas tanah yang terjadi karena beralih melalui pewarisan tanpa wasiat atau perbuatan hukum disertai pemindahan hak. Peralihan hak atas tanah pada kasus ini bermula dari Karnali sebagai pemegang hak atas tanah meninggal dunia dan mewariskan kepada ahli warisnyapara tergugat, kemudian oleh ahli waris hak atas tanah tersebut hendak dialihkan kepada pihak penggugat dengan cara jual beli. Tanah dengan hak milik dapat dialihkan dengan dilakukan jual beli secara insplisit dimuat dalam pasal 20 ayat 2 jo pasal 26 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria(UUPA). Perjanjian jual beli tanah menurut Boedi Harsono ialah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. Adapun perbuatan hukum jual beli tanah dalam hukum adat bersifat tunai, terang dan riil. Tunai, berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama-
58
lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Dalam pengertian tunai, mancakup dua perbuatan yang dilakukan bersamaan/serentak, yaitu pemindahan hak/pemindahan penguasaan yuridis dari penjual (pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak) dan pembayaran harganya. Dengan dipenuhinya kedua hal tersebut, maka perbuatan hukum jual beli tanah telah selesai. Terang, berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan riil atau secara nyata adalah menunjukkan kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Peralihan hak milik atas tanah bagi pemegang haknya wajib mendaftarkan peralihan haknya tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 23 UUPA yang menetukan: “(1) Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19 (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.”
Kewajiban untuk mendaftarkan peralihan hak tersebut dimaksudkan untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan hak milik karena jual-beli. Ketentuan mengenai peralihan hak diatur di dalam pasal 37 PP No.24 tahun 1997 yang menentukan bahwa:
59
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jualbeli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan purundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat didaftarkannya peralihan peralihan hak atas tanah harus didaftarkan dan dibuktikan dengan dibuatnya akta oleh PPAT.Hal ini dilakukan guna memperoleh kekuatan hukum dan kepemilikannya dapat dikatakan sah dimata hukum.Tanpa adanya akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT), maka peralihan hak atas tanah tersebut dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan peraturan. Jual beli tanah yang terjadi dimasyarakat saat ini tidak dilakukan secara terang dan tunai. Terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan jual beli tanah salah satunya harga jual beli yang pembayarannya dilakukan secara angsuran maupun bukti kepemilikan tanah yang masih dalam proses penerbitan sertifikat atau balik nama serta pembebasan tanah yang dikuasai oleh pihak ketiga. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum terhadap syarat-syarat jual beli yang belum terpenuhi dibuatlah suatu perjanjian Pengikatan Jual Beli. Dalam hal kaitannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah dengan UUPA dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 (PP nomor 24/1997), menurut penulis
dengan
dibuatnya
perjanjian
pengikatan
jual
beli
tanah
tidak
bertentangan dengan UUPA karena perjanjian pengikatan jual beli atas tanah mengacu pada ketentuan perjanjian pada pasal 1320 BW. Adapun fungsi dari
60
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah ini barulah sebagai perjanjian pendahuluan untuk dapat dilakukannya perjanjian pokok yaitu jual beli apabila syarat-syarat untuk melakukan jual beli tanah terpenuhi.
2.2.2 Peralihan Hak Atas Tanah dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Kepemilikan hak atas tanah tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan.Yang dimaksud dengan penyerahan ialah perbuatan hukum memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk dapat dilakukan penyerahan harus memenuhi syarat sahnya levering antara lain : 1. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering 2. Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas terhadap bendanya (beschikkingsbevoegd) Penyerahan (levering) atas benda dibedakan menjadi: 1. Penyerahan barang bergerak, dilakukan dengan penyerahan yang nyata (feitelijk levering) atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya (pasal 612 BW); 2. Penyerahan benda tidak bergerak, dalam hal ini adalah tanah/bangunan, diatur dalam pasal 616 BW, dilakukan dengan penyerahan yuridis (juridische levering) yaitu dalam jual beli tanah/bangunan harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P.A.T.) dan diikuti dengan proses balik nama dari pihak penjual kepada pihak pembeli; 3. Penyerahan benda bergerak tidak berwujud, dalam hal ini adalah piutang diatur dalam pasal 613 BW.
61
Pada prakteknya yang dijumpai pada kantor Notaris, sebelum melakukan jual beli tanah terlebih dahulu dibuat perjanjian pengikatan jual beli dikarenakan adanya syarat-syarat yang belum dapat dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya dibuatnya akta jual beli di hadapan PPAT. Suatu perjanjian pengikatan jual beli terhadap hak atas tanah dimungkinkan adanya klausula mengenai penyerahan tanah sebagai berikut bahwa pada saat penyerahan uang muka dilaksanakan atau pada saat pihak pembeli telah melunasi pembayaran harga jual beli maka pihak penjual/pemilik tanah berkewajiban menyerahkan tanah beserta bangunan yang berdiri diatas tanah, memberikan hak kepada pembeli untuk menggunakan tanah sesuai dengan keperluan yang diperlukan untuk perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah ataupun menyerahkan bukti kepemilikan tanahnya, yaitu sertifikat kepada pihak pembeli. Kalusula penyerahan tanah yang dimaksud pada perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah merupakan perbuatan penyerahan tanah secara fisik (penyerahan nyata) bukan kepemilikan. Peralihan hak atas tanah salah satunya hak milik secara yuridis baru terjadi bila dilakukan dan dibuatnya akta dihadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT sesuai ketentuan pasal 37 ayat 1 PP Nomor 24 tahun 1997.Dengan demikian, apabila yang dibuat adalah perjanjian pengikatan jual beli atas tanah maka perjanjian tersebut tidak menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering) dan dibuatnya akta jual beli dihadapan PPAT.
2.2.3
Gugatan Wanprestasi
62
Telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai syarat sahnya perjanjian pengikatan
jual
beli
yang
pada
perkara
putusan
pengadilan
nomor
65/Pdt/G/2013/PN.Sda serta putusan pengadilan nomor 497/Pdt.G/2012/PN.Sby telah memenuhi syarat-syarat sah perjanjian sesuai pasal 1320 BW; orang-orang yang cakap menurut hukum, sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya dalam hal harga juga terhadap obyek perjanjian yang berupa tanah (suatu hal tertentu) dan suatu sebab yang halal dalam hal ini adalah benar tanah hak milik Tergugat sehingga perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat secara hukum. Perjanjian pengikatan jual beli tanah adalah suatu perikatan yang lahir dari suatu perjanjian dimana perjanjian tersebut menggunakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh satu atau kedua belah pihak. Selain itu, perjanjian pengikatan jual beli tanah memuat janji-janji untuk malakukan jual beli tanah apabila persyaratan yang diperlukan untuk itu telah terpenuhi. Yang menjadi alasan dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli tanah pada kasus
dalam
Putusan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Sidoarjo
nomor
65/Pdt.G/PN.Sda/2013 ini adalah pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjualbelikan belum dilakukan secara lunas oleh pihak pembeli dan terdapat tanah milik penjual masih dikuasai oleh pihak ketiga. Apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi, yang berarti harga jual beli telah dilunasi seluruhnya dan pengurusan surat yang dibutuhkan serta pemberesan atas tanah yang dikuasai pihak ketiga telah selesai, maka para pihak dapat bertemu kembali untuk melaksanakan jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pihak tergugat digugat atas wanprestasi karena tidak melakukan prestasinya secara penuh yaitu salah satunya dengan tidak mengosongkan/menyelesaikan pemberesan atas tanah seluas 150 M2 yang masih dikuasai dan ditempati oleh
63
pihak ketiga.Sedsngkan pihak penggugat yang digugat wanprestasi oleh pihak tergugat karena tidak melakukan pembayaran. Pihak
penjual yang melakukan wanprestasi sudah diperingatkan atau sudah
dengan tegas ditagih janjinya dan tetap tidak melakukan prestasinya, maka tersebut berada dalam keadaan lalai atau alpa, terhadapnya dapat diberikan sanksi-sanksi. Akan tetapi, karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah pihak tersebut melakukan wanprestasi dan kalau hal itu disangkal olehnya, pihak Penggugat harus membuktikannya di muka hakim. Sedangkan pada perkara dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor register 487/Pdt.G/2012/PN.Sby pengikatan jual beli tanah dibuat karena pelunasan harga jual beli yang secara angsuran dan bukti kepemilikan tanah sedang dalam proses permohonan hak yang semula merupakan tanah Yasan menjadi hak milik di kantor Badan Pertahanan Nasional Kota Surabaya. Pihak pembeli berusaha melakukan kewajibannya yaitu melakukan pembayaran hingga lunas. Akan
tetapi pada saat hendak melunasi sisa pembayaran sebesar
Rp. 238.000, pihak penjual menolak menerima pembayaran tersebut dan tidak melakukan jual beli di hadapan PPAT sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan pada tanggal 1 November 2010. Dalam perkara perdata hakim harus mencari kebenaran formil, Penggugat dan Tergugat yang berkepentingan dalam perkara harus mengajukan alat-alat bukti dan sekaligus membuktikan kebenaran alat bukti tersebut. Hakim akanmenyatakan
terbukti
atau
tidaknya
peristiwa
tersebut
dan
menilai
pembuktian, yang merupakan penilaian terhadap kenyataan yang bersifat judex factie.
64
Dalam acara pembuktian baik penggugat dan tergugat mengajukan peristiwa dan fakta-fakta yang menjadi dasar bagi gugatan Penggugat atau jawaban Tergugat. Peristiwa-peristiwa tersebut harus diikuti dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum untuk dapat dipastikan kebenarannya. Pasal 163 HIR menyatakan “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” Dalam hal ini yang harus dibuktikan yaitu peristiwa, kejadian, dan hak tertentu, bukan hukumnya.”
Dalam ketentuan Pasal 164 HIR dinyatakan, yang disebut alat-alat bukti yaitu: 1. Bukti dengan surat/tertulis; 2. Bukti dengan saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan; 5. Sumpah
Dalam HIR, hakim terikat pada alat bukti yang sah sebagaimana yang disebutkan diatas, artinya Hakim hanya dapat mengambil putusan berdasarkan alat-alat bukti yang disebutkan dalam pasal 164 HIR.Dalam kasus tersebut di atas pembuktian yang diajukan oleh para pihak adalah berupa alat bukti surat/tertulis dan bukti dengan saksi. Alat bukti tertulis dari pihak penggugat pada kasus antara yang diajukan sebagai salah satu bukti bahwa telah terjadi kesepakatan ialah perjanjian
65
pengikatan jual beli tanah yang diwaarmeking oleh Notaris.Dan pada kasus antara Esther dan Fadhul Bari bukti bahwa telah terjadi kesepakatan dalam bentuk tertulis adalah perjanjian pengikatan jual beli tanah yang dibuat dihadapan Notaris, sehingga perjanjian itu merupakan akta otentik.Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibawah tangan merupakan salah satu dari alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 164 HIR, mempunyai kekuatan pembuktian sempurna selama diakui oleh para pihak yang membuat perjanjian.Dan selama pemeriksaan perkara baik pihak penggugat maupun pihak tergugat tidak membantah atas kebenaran tanda tangan pada perjanjian pengikatan jual beli tanah. Maka sudah tentu perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak. Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, Terkait dalil gugatan yang diajukan oleh pihak tergugat yaitu pihak pembeli tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran fakta yang terjadi ialah pihak pembeli telah melakukan sejumlah pembayaran sebesar Rp. 50.000.000,sebelum perjanjian pengikatan jual beli tanah dibuat yaitu pada tanggal 16 November 2011. Dan pada tanggal 17 Noxvember 2011 para pihak membuat perjanjian pengikatan jual beli tanah dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak dan dikatakan pula perjanjian tersebut berlaku juga sebagai kwitansi pembayaran yang sah. Dan pada pembayaran selanjutnya diberikan dengan bukti tertulis yaitu kwitansi pembayaran yang sah. Diketahui pada fakta persidangan dalam perjanjian pengikatan jual beli atas tanah tersebut terdapat klausula mengenai denda jika pihak penjual ingkar janji melakukan kewajibannya. Namun tidak didapati kalusula yang mengatur apabila pihak penggugat yang melakukan ingkar/wanprestasi. Sehingga hal ini
66
menunjukkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut lebih menguntungkan pihak penggugat terutama soal saksi bila pihak tergugat lalai/ingkar janji (wanprestasi). Menurut hukum perjanjian bahwa harus ada keseimbangan antara para pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan tidak adanya klausula yang memuat bagaimana bila pihak penggugat telah ingkar janji/wanprestasi. Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak memiliki ketidak seimbangan dengan ditunjukkan tidak adanya perlindungan hukum bagi pihak tergugat jika pihak penggugat telah lalai/ingkar janji dengan kewajibannya. Berdasarkan fakta yang dibenarkan oleh saksi yang diajukan oleh pihak penggugat bahwa pihak pembeli telah beritikad baik melakukan yaitu melakukan pelunasan pembayaran terhadap harga obyek perkara sebagaimana yang telah disepakati namun pihak penjual menolak untuk menerima pelunasan tersebut. Sedangkan dalil tergugat yang menyatakan bahwa pihak penggugat telah melakukan wanprestasi tidak dibenarkan karena terdapat bukti-bukti tulis berupa kwitansi yang menunjukkan bahwa pihak tergugat telah menerima pembayaran atas harga jual tersebut. Maka dalam hal ini yang melakukan wanprestasi pada kasus ini adalah pihak tergugat dengan tidak memenuhi prestasinya dan melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan apa yang disanggupi memenuhi perikatan yaitu dengan tidak melakukan pengosongan terhadap tanah seluas 150 M2 yang masih dikuasai oleh pihak ketiga. Pada perkara ini perjanjian pengikatan jual beli atas tanah secara dibawah tangan yang dibuat oleh penggugat dan para Tergugat telah dilakukan Waarmeking di Notaris Ilman Nizamiar, S.H. seorang notaris memiliki kewenangan untuk melakukan waarmerking terhadap suatu perjanjian dibawah tangan. Perjanjian dibawah tangan yang telah memperoleh waarmeking dari
67
notaris kekuatan pembuktiannya tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sebab akta otentik hanyalah akta yang dibuat oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang dalam hal ini adalah notaris. Waarrmerking diatur dalam pasal 1880 BW yang berbunyi: “Akta-akta dibawah tangan, sekedar tidak dibubuhi suatu pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat kedua dari pasal 1874 dan dalam pasal 1874a, tidak mempunyai kekuatan terhadap orang-orang pihak ketiga, mengenai tanggalnya selainnya sejak hari dibubuhkannya pernyataan oleh seorang Notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan dibubuhkannya dalam menurut Aturan-aturan yang diadakan oleh UndangUndang;atau sejak hari dibuktikannya tentang adanya akta-akta dibawah tangan dari akta-akta yang dibuat oleh Pegawai Umum, ataupula sejak hari diakuinya akta-akta dibawah tangan itu secara tertulis oleh orang-orang Pihak Ketiga terhadap siapa akta-akta itu dipergunakan”. Waarmerking ialah pengesahan tanggal dari perjanjian/akta dibawah tangan oleh Notaris atau pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh undang-undang dengan dilakukannya pendaftaran tanggal surat-surat yang dibuat dibawah tangan dalam buku register. Pada waarmeking tidak ada kepastian tanda tangan para pihak yang membuat perjanjian, sebelum disampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Maka dimungkinkan tanggal ditandatanganinya suatu perjanjian tidaklah sama saat didaftarkan kepada notaris. Waarmerking hanya memberi pembuktian kepada Pihak Ketiga mengenai kebenaran tanggal pendaftaran tapi tidak memberikan pembuktian mengenai tanda tangan para pihak dalam perjanjian.
68
BAB IV
69
PENUTUP
BAB IV PENUTUP 1. KESIMPULAN a. Perjanjian Pengikatan jual beli adalah perjanjian yang muncul akibat adanya kebebasan
berkontrak.
Perjanjian
ini
berfungsi
sebagai
perjanjian
pendahuluan yang bentuknya bebas. Karena terdapat syarat-syarat yang belum dapat dipenuhi untuk dilakukan jual beli sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan maka dibuatlah perjanjian pengikatan jual beli tanah. Adapun karakteristik perjanjian ini antara lainpertama, perjanjian pengikatan jual beli bersifat obligator yang berarti perjanjian ini menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Kedua, perjanjian pengikatan jual beli sebagai sumber perikatan bersyarat, diketahui dalam perjanjian pengikatan jual beli terdapat 2 syarat yaitu syarat tangguh dan syarat batal. Dan ketiga adanya pemberian kuasa kepada pihak pembeli hal ini ditujukan apabila syaratsyarat untuk melakukan jual beli telah terpenuhi oleh kedua belah pihak
70
maka apabila pihak penjual berhalangan hadir maupun tidak mau melaksanakan jual beli di hadapan PPAT maka pihak pembeli dapat melakukan jual beli di hadapan PPAT dengan berdasarkan pemberian kuasa tersebut. b. Upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian pengikatan jual jika terjadi wanprestasi antara lain dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Gugatan wanprestasi yang diajukan oleh pihak yang dirugikan dapat meminta untuk pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan pembatalan (pemutusan) perjanjian, melaksanakan perjanjian, membayar ganti rugi yang diderita, melaksanakan perjanjian sekaligus membayar ganti rugi, atau membatalkan perjanjian disertai pembayaran ganti rugi. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli bergantung pada kekuatan pembuktian dari suatu akta. Apabila perjanjian itu dibuat dihadapan Notaris maka perjanjian tersebut sebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dibanding dengan perjanjian yang dibuat secara dibawah tangan yang mana perjanjian dibawah tangan memiliki kakuatan pembuktian sama halnya dengan akta otentik selama kebenaran tanda tangan dan keberadaan perjanjian pengikatan jual beli tersebut diakui oleh para pihak yang membuat perjanjian.
2. SARAN a. Diperlukan adanya peraturan perundang-undangan mengenai pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli terutama dengan obyek perjanjian berupa tanah. Hal ini untuk menghindari ketidak seimbangan hak
71
dan kewajiban dari para pihak yang membuat perjanjian secara dibawah tangan maupun otentik. b. Untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli lebih baik untuk dalam akta otentik dihadapan pejabat yang telah ditunjuk oleh undang-undang hal ini juga memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna apabila terjadi sengketa. Untuk menghindari adanya gugatan wanprestasi atas perjanjian pengikatan jual beli, para pihak dalam membuat perjanjian harus berlandaskan dengan itikad baik dan juga memperhatikan jani-janji termuat dalam klausul-klausul yang telah disepakati secara jelas kewajiban dan hak masing-masing pihak. Sehingga pihak penjual dan pihak pembeli memperoleh perlindungan hukum yang seimbang.
72
73
DAFTAR BACAAN
DAFTAR BACAAN BUKU : Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Jakarta, CV. Gitama Jaya,2008 Badrulzaman, Mariam Darus, Komplikasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Baswedan, Ismet, Hukum Acara Perdata “Peradilan Umum”, Surabaya, Airlangga University press, 2004 Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009 _____________, Herlien, Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak, Media Notariat, Th. XIX, Januari-Maret 2004 _________________, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2008
74
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (dari sudut pandang bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung 2001 Harson, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan, 2002 Kartini Muljadi dan Gunawan, Seri Hukum Perikatan: Jual Beli,Cet I, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003 Martokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2007 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982 Prodjodikiro, R. Wirjono, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000 Rahman, Hassanudin, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2006 Satrio,J., Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1995 _________, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1985 ___________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005 Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, 1985 Tresna, R., Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2011 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
75
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya paramita, Cetakan kedua puluh delapan (edisi revisi), Jakarta, 1996 SITUS INTERNET irmadevita.com putusan.mahkamahagung.go.id