1
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SEBAGAI PENYELUNDUPAN HUKUM DALAM PENJUALAN TANAH KAVELING OLEH DEVELOPER Oleh: Fajar Cahyanto – 0906558155
ABSTRAK Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi saya dengan judul yang sama. Skripsi tersebut membahas tentang kekuatan mengikat perjanjian pengikatan jual beli yang digunakan sebagai instrumen penyelundupan hukum dalam kegiatan penjualan tanah kaveling yang dilakukan oleh developer perumahan dalam rangka lingkungan siap bangun. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perjanjian pengikatan jual beli yang digunakan sebagai instrumen penyelundupan hukum dalam kegiatan penjualan tanah kaveling, merupakan penyelundupan hukum oleh karenanya tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Oleh sebab itu perjanjian pengikatan jual beli yang digunakan sebagai instrumen penyelundupan hukum dalam kegiatan penjualan tanah kaveling adalah disarankan untuk tidak dibuat. Kata kunci: Perjanjian pengikatan jual beli, penyelundupan hukum, tanah, kaveling, developer
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
2
PENDAHULUAN Tanah memiliki guna sebagai tempat tinggal dan dan memiliki sifat kelangkaan (scarcity). Hal tersebut menjadikannya barang ekonomi. Barang ekonomi (economic good) adalah barang yang mempunyai kegunaan dan langka, yaitu jumlah yang tersedia lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat1. Keadaan tanah sebagai barang ekonomi ini membuatnya menjadi objek kegiatan ekonomi yang melibatkan berbagai pelaku ekonomi termasuk Badan Hukum (selanjutnya disebut developer) yaitu badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman2, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 26 Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (selanjutnya disebut UU PKP). Hal kegiatan ekonomi dan komersial ini juga semakin jelas jika kemudian developer menyelenggarakan perumahan atau kawasan pemukiman berbentuk Lingkungan Siap Bangun (Pasal 1 angka 16 UU PKP)3dengan jenis rumah berupa Rumah Komersial, yaitu rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan (Pasal 1 angka 8 UU PKP)4. Setiap orang (termasuk developer) dalam memperoleh keuntungan, senantiasa mencari cara yang mudah, cepat, dan memberikan keuntungan maksimal. Bagi developer, tanah yang telah ia kuasai dapat memberikan keuntungan, dan dalam mencapai keuntungan maksimal terkadang tindakan penjualan kaveling tanah matang (selanjutnya disebut tanah kaveling) diperlukan.
1
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi &
Makroekonomi), ed. 3, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008), hal. 4. 2
Indonesia, Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No. 1 Tahun 2011,
LN No. 7 Tahun 2011, TLN No. 5188, Ps. 1. 3
Ibid.
4
Ibid.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
3
Tabel : Matriks Perkembangan Harga Rata-rata Properti Residensial Sekunder Segmen Menengah dan Atas Triwulan IV-2012 di Jakarta5 Dari tabel tersebut di atas, dapat diketahui bahwa di Jakarta, harga tanah memiliki pertumbuhan yang selalu lebih tinggi dari harga bangunan. Hal penjualan tanah kaveling ini sangat masuk akal, karena memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi maka perjualan tanah lebih menguntungkan dari penjualan tanah beserta bangunan. Dengan modal yang sama besar, maka penjualan tanah akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Namun hal penjualan tanah kaveling ini terbentur dengan larangan penjualan kaveling pada Pasal 146 ayat (1) UU PKP yang menyebutkan Badan Hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah6. Pada intinya larangan itu dimaksudkan agar developer tidak melakukan penjualan kaveling saja tanpa adanya development di atas tanah tersebut. Untuk menghindari larangan tersebut, pada penelitian awal berdasarkan keterangan 5
Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Pasar Properti Residensial di Pasar Sekunder
Jakarta - Triwulan IV/2012” http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/EED6C378-81DA-4700-836FB00D238876D3/28236/SHPRsekundertw4.doc, diunduh 3 Maret 2013. 6
Indonesia, Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No. 1 Tahun 2011,
LN No. 7 Tahun 2011, TLN No. 5188, Ps. 146.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
4
melalui wawancara pada tanggal 8 Januari 2013 dari Narasumber, Dr. Wijayanto Setiawan, S.H., M. Hum., seorang Mantan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Surabaya, dapat disimpulkan bahwa developer dapat saja melakukan penyelundupan hukum dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Developer dan pembeli melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB) di hadapan Notaris atas suatu kaveling dan rumah komersial yang akan berdiri di atasnya, namun pembayaran dilakukan hanya untuk tanah saja; 2. Setelah tahap PPJB, pembeli secara kasat mata menggunakan perjanjian pemesanan atau perjanjian pemborongan juga segala perijinan seperti Ijin Mendirikan Bangunan atas nama developer, namun secara fisik pembeli membangun bangunannya sendiri, dengan cara ini terlihat seolah-olah rumah komersial tersebut dibangun oleh developer; 3. Setelah bangunan selesai, baru dilakukan pembuatan Akta Jual Beli yang mencakup kaveling dan rumah komersial di atasnya, sementara harga bangunan tidak perlu dibayarkan secara riil oleh karena yang sesungguhnya melaksanakan pembangunan adalah si pembeli sendiri. Dengan cara seperti ini apa yang dilakukan akan terlihat legal. Dalam hal ini developer memperoleh keuntungan, misalnya: 1. tidak ada gangguan cashflow karena tidak harus menyisihkan uang untuk pembangunan gedung, sehingga modal senantiasa dapat digunakan untuk memperoleh tanah baru atau membangun Lisiba baru; 2. tidak ada ketidakcocokan desain bangunan dengan selera konsumen, sehingga tanah mudah dijual. Mekanisme tersebut di atas menjadikan developer sebagai “penyedia tanah”
atau
“makelar
tanah”
yang
mengambil
keuntungan
dengan
mendistribusikan tanah negara pada masyarakat, dalam keadaan tersebut developer sudah menjadi spekulan dan tidak dapat disebut sebagai investor. Mekanisme yang dilakukan oleh spekulan berpotensi menjelma sebagai penyelundupan hukum, karena tidak sesuai dengan maksud undang-undang sendiri, baik pada Pasal 146 UUPKP maupun Pasal 6 UUPA, dimana Prof. Boedi
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
5
Harsono menyebutkan, “Sungguh bertentangan dengan fungsi sosialnya kalau tanah dijadikan objek spekulasi, yang akan menambah kesulitan dalam melaksanakan pembangunan, yang gejala-gejalanya sudah tampak sekarang ini.”7. Masalah penyelundupan hukum ini kemudian erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian, sebagaimana acuan utama mengenai syarat sahnya perjanjian menurut Subekti8 adalah Pasal 1320 KUHPer yaitu: (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) cakap untuk membuat suatu perjanjian; (3) Mengenai sesuatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal. Adanya penyeludupan hukum ini erat dengan syarat “sebab yang halal”, sebagaimana disebutkan syarat keempat bagi keabsahan kontrak adalah sebab atau causa yang halal. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat indikasi bahwa PPJB yang dilakukan sebagai penyelundupan hukum untuk memperoleh kaveling adalah bersubstansi melawan hukum dan memiliki resiko dinyatakan batal demi hukum.
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, ed. rev, cet. 12, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 301. 8
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 17.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
6
PEMBAHASAN I. Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Tanah Belum banyak tulisan yang membahas mengenai perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB), terutama secara teoretis. Adapun jika dibahas, biasanya tulisan tersebut ditulis mengenai segi praktisnya, misalnya mengenai penggunaannya atau klausula yang terkandung di dalamnya. PPJB merupakan perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPer, oleh karenanya PPJB merupakan perjanjian innominat. Adapun ia sebagai perjanjian innominat, PPJB tetap harus memenuhi ketentuan-ketentuam umum perikatan maupun perjanjian, terutama sebagai perjanjian perlulah PPJB memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1319 KUHPerdata, yang berbunyi9: Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. PPJB merupakan perjanjian yang mandiri, maksudnya ia sendiri adalah sebuah perjanjian yang memiliki isi yaitu untuk melakukan jual beli di masa depan, dan tidak seharusnya dipahami sebagai perjanjian bersyarat tangguh, sebab PPJB telah berlaku pada saat ia selesai dibuat. Oleh karena itu, dalam rangka jual beli tanah, tidak seharusnya PPJB dianggap sebagai tahap obligatoir dari jual beli tanah yang sebenarnya. Batas waktu untuk kemudian melakukan jual-beli yang sebenarnya, bukanlah syarat tangguh maupun batal dari suatu PPJB. Batas waktu untuk melakukan jual-beli tersebut justru merupakan isi dari PPJB itu sendiri, sehingga PPJB merupakan perjanjian dengan ketetapan waktu.
9
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet. 40, (Jakarta:
Pradnya Pramita, 2009), hal. 339.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
7
II. Penerapan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Berobjek Tanah di Indonesia Untuk menjelaskan pengertian mengenai PPJB, dapat dijelaskan melalui Perbedaan antara Jual Beli dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai berikut10: “bahwa disebut jual beli jika obyek yang diperjual belikan sudah dialihkan dari penjual kepada pembeli. Sedangkan Perjanjian jual beli adalah jika obyek yang diperjual belikan belum dialihkan atau akan beralih pada waktu yang akan datang ketika syarat-syarat telah dipenuhi. Perjanjian jual beli ini akan menjadi jual beli jika syarat-syarat telah terpenuhi dan obyek yang diperjualbelikan telah beralih kepada pembeli.” Sebagaimana tersebut di atas, dijelaskan bahwa jual-beli berbeda dengan PPJB. Mengapa kemudian para pihak memilih untuk melaksanakan PPJB daripada
melaksanakan
jual-beli
secara
langsung,
berikut
adalah
latar
belakangnya11: 1. Jual-Beli tersebut dilakukan secara mengangsur/cicilan; 2. Jual-Beli sudah dibayar secara tunai (lunas) akan tetapi dikarenakan pajakpajak yang muncul karena jual-beli tersebut nilainya terlalu besar maka dibuatlah Akta Pengikatan Jual-Beli ini; 3. Objek yang akan diperjualbelikan masih dalam cicilan pihak penjual (selaku debitur) dari suatu Bank (selaku kreditur), akan tetapi sebelum melakukan transaksi perlu dimintakan izin terlebih dahulu dari pihak kreditur tersebut; 4. Obyek yang akan diperjualbelikan ternyata masih menjadi agunan/jaminan utang dari pihak penjual dan baru akan melunasi utang tersebut apabila sudah menerima pelunasan dari pihak pembeli. Hal ini pun diperlukan izin terlebih
dahulu dari pihak Bank (kreditur/penerima jaminan) terlebih
dahulu;
10
Sumaryono, “Jual Beli Tanah yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Penjabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)”, (Tesis Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009), hal. 18. 11
Ibid., hal 46-47.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
8
5. Objek tanah jual-beli tersebut belum bersertipikat dan pihak pembeli menghendaki pelunasan jual-beli baru terlaksana bila tanah tersebut sudah bersertipikat; 6. Tidak tersedianya blanko Akta Jual Beli di Kantor Pos dan Giro. PPJB sebagai perjanjian juga harus tunduk terhadap Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain mengenai sebab yang halal, dalam artian PPJB tidak boleh dibuat berdasarkan sebab yang dilarang undang-undang atau melawan hukum. Ketentuan semacam itu terkait dengan penggunaan PPJB adalah larangan penggunaan “kuasa mutlak”. Berikut penjelasan mengenai kuasa mutlak yang dilarang12: Kuasa mutlak menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tersebut adalah yaitu kuasa yang berdiri sendiri dengan obyek bidang tanah dan yang memberikan kewenangan terhadap penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanah serta melakukan segala perbuatan hukum yang menjadi wewenang pemberi kuasa selaku pemilik dan diakhir kuasa tersebut dicantumkan klausula kuasa ini tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa. Kuasa yang demikian ini pada hakekatnya adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang terselubung yang dilakukan diluar prosedur hukum yang berlaku. Dalam perkembangan praktik hukum, kuasa yang berdiri sendiri dengan obyek bidang tanah dilarang jika memuat klausula: a. Kuasa tersebut tidak akan berakhir karena sebab-sebab apapun menurut hukum termasuk ketentuan Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b. Klausula tersebut tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa. c. Penerima kuasa dibebaskan dari pertanggungjawabannya kepada pemberi kuasa. d. Penerima kuasa diberi kewenangan untuk menjual/mengalihkan bidang tanah tersebut kepada penerima kuasa sendiri. Meskipun telah dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut tetapi dalam prakteknya kuasa tersebut masih sering digunakan tetapi hanya sebatas untuk menghadap dan menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT oleh penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa. Dengan demikian dalam hal ini penerima kuasa bertindak dalam dua kedudukan yaitu sebagai penjual dan sebagai pembeli.
12
Yuli Pramono, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah di Jatinegara Baru”, (Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2005), hal 55-57.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
9
III. Mekanisme Penggunaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Penggunaan PPJB dengan kuasa mutlak adalah terlarang menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 dengan alasan PPJB tersebut pada hakekatnya adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang terselubung yang dilakukan diluar prosedur hukum yang berlaku. Klausula mutlak hanyalah salah satu bentuk pemanfaatan PPJB yang digunakan sebagai penyelundupan hukum, yang sudah diketahui, dan kemudian dilarang. Hanya saja, seperti diketahui bahwa hukum perjanjian adalah bersifat terbuka, maka sangat mungkin memang dilakukan cara-cara tertentu sedemikian rupa hingga hukum yang berlaku dapat diselundupi. Dalam hal penyimpangan PPJB ini, penulis menemukan penggunaan PPJB dengan mekanisme tertentu yang terindikasi juga dilakukan di luar prosedur hukum yang seharusnya sebagaimana PPJB dengan kuasa mutlak. Terdapat tulisan yang membahas suatu mekanisme tertentu yang juga terjadi di Perumahan Pantai Indah Kapuk di Jakarta, hal tersebut dapat ditemui dalam tulisan berikut: Mengingat bahwa pengembang tidak boleh menjual tanah kaveling, maka proses perijinan seperti KRK (keterangan rincian kota), blok plan, IMB dan IPB menggunakan nama PIK, meskipun semua biaya untuk pengurusan perijinan ditanggung oleh pembeli13. Dalam proses pengikatan, semua yang berkaitan dengan hak kepemilikan belum berpindah ke tangan pembeli, jadi yang diikat hanya mengenai komitmennya saja seperti pembayaran, letak tanah, luas tanah, type bangunan, kewajiban pajak-pajak, jangka waktu penyerahan14.
Mekanisme penggunaan PPJB tersebut di atas dapat disebut sebagai “Mekanisme Bangun Mandiri” (dalam artian mekanisme dimana pembeli sendiri membangun rumah yang seharusnya dibangun oleh developer). 13
V. Hargo Mandirahardjo, “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Kaveling Oleh Pengembang Perumahan (Studi Kasus di PIK)”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2002), hal. 45. 14
Ibid., hal. 33
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
10
Penyebutan demikian dilakukan demi memudahkan pengertian terhadap tulisan ini. Mekanisme Bangun Mandiri dapat dibandingkan dengan penggunaan PPJB yang seharusnya (ideal), yaitu sebagai berikut: 1. Oleh karena suatu alasan (sebagaimana telah disebut di atas, misalnya karena kaveling tanah dalam rangka Lisiba yang menjadi objek jualbeli masih menggunakan sertipikat induk dan belum terdapat sertipikat individual sebagai hasil pemecahan sertipikat induk), para pihak yaitu developer dan pembeli menyepakati bahwa terlebih dahulu akan dilakukan PPJB. 2. Berdasarkan PPJB yang telah disepakati para pihak, developer membangun bangunan sesuai dengan yang diminta oleh pembeli. Demikian pula perijinan seperti IMB adalah atas nama developer dan benar-benar digunakan oleh developer sendiri, tanpa dipinjamkan ke pihak lain. 3. Saat bangunan telah selesai dalam waktu yang diperjanjikan, serta segala syaratnya telah dipenuhi (misal: sudah bersertipikat), developer memberikan notifikasi pada pembeli untuk kemudian melaksanakan jual-beli tanah sekaligus bangunan yang telah selesai di hadapan PPAT, sehingga dengan dibuatnya perjanjian jual-beli tersebut, PPJB telah selesai dipenuhi. Mekanisme Bangun Mandiri yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mekanisme penggunaan PPJB yang digunakan dengan sengaja bertujuan menyimpangi larangan bahwa pengembang dilarang untuk menjual tanah kaveling sebagaimana diatur dalam Pasal 146 ayat (1) UU PKP. Seperti yang telah dikemukakan bahwa PPJB rawan digunakan sebagai penyelundupan hukum, maka Mekanisme Bangun Mandiri di atas perlu diteliti ulang apakah penyimpangan terhadap Pasal 146 ayat (1) UU PKP seperti yang dilakukan di atas merupakan terobosan hukum, ataukah justru merupakan penyelundupan hukum yang dilarang.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
11
IV. Praktik Mekanisme Bangun Mandiri Dalam proses penelitian, penulis menemukan contoh PPJB yang terindikasi
menjalankan
Mekanisme
Bangun
Mandiri.
Mekanisme
ini
dipraktikkan menggunakan redaksional klausula yang tersamar dan tersebar dalam dokumen lain yang menyertai PPJB (tidak di dalam PPJB itu sendiri). Pada contoh yang ditemukan, untuk serangkai proses Pra Akta Jual Beli ditemukan beberapa dokumen yaitu: 1.
PPJB,
2.
Tanda Pesanan,
3.
Pedoman Tata Tertib Perumahan, dan
4.
Berita Acara Serah Terima Bangunan Ruman dan Kaveling Tanah Perumahan.
Pada Pasal 2 ayat 2 huruf c, disebutkan klausula sebagai berikut: Harga Jual Beli pada “Tanda Pesanan” sudah termasuk yang tersebut di bawah ini: Pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMBHunian). Dari klausula tersebut, dapat diketahui bahwa IMB-Hunian “diuruskan” oleh developer, namun pembangunan rumah belum dilaksanakan oleh developer. Sebab jika rumah sudah jadi, maka harga gedung itu sendiri yang kemudian menjadi harga jual rumah beserta tanah. Klausula IMB-Hunian dalam PPJB adalah tidak relevan jika pembangunan telah dilaksanakan oleh developer sendiri. Sementara itu dalam dokumen “Pedoman Tata Tertib Perumahan” yaitu pada bagian A, angka 2, nomor a1, disebutkan bahwa: Para pemilik/penghuni wajib menggunakan kaveling tanah sesuai peruntukannya yaitu untuk tempat dibangunnya Rumah yang akan difungsikan sebagai tempat tinggal (hunian/bukan komersial). Berdasarkan dokumen “Pedoman Tata Tertib Perumahan” tersebut di atas, semakin jelas bahwa rumah dibangun oleh pembeli dan bukan oleh developer, dan kewajiban pembangunan rumah dengan fungsi hunian adalah berkaitan dengan IMB-Hunian yang “diuruskan” atas nama developer sementara pembangunan secara nyata adalah oleh pembeli sendiri.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
12
V. Pelanggaran terhadap Pasal 146 ayat (1) UU PKP Pasal 146 ayat (1) UU PKP yang menyebutkan Badan Hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah15. Perkecualiannya adalah pada ayat (2) yaitu khusus untuk pembangunan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dengan kaveling tanah matang ukuran kecil. Pada penjelasan Pasal 146 ayat (1) UU PKP ini kemudian dijelaskan16: Yang dimaksud dengan “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba dan dalam keadaan terjadi krisis moneter nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut. Adapun dalam penjelasan pasal, dijelaskan bahwa “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu; namun hal ini belum merupakan penjelasan yang tuntas, apa yang dimaksud dengan “memasarkan”, untuk itu perlu diketahui apakah arti “memasarkan” tersebut, dan dalam hal ini dapat digunakan penafsiran gramatikal (taatkundige interpretatie). Untuk itu perlu dilihat bahwa “memasarkan” jika diartikan dalam bahasa Inggris akan menjadi market. Kamus Merriam-Webster17 kemudian membedakan pengertian market menjadi noun dan verb. Dalam pengertian sebagai noun, market dijelaskan antara lain sebagai: (a) archaic : the act or an instance of buying and selling, dan (b) the area of economic activity in which buyers and 15
Indonesia, Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No. 1 Tahun
2011, LN No. 7 Tahun 2011, TLN No. 5188, Ps. 146. 16 17
Ibid. Merriam-Webster,
“Market”
http://www.merriam-webster.com/dictionary/market,
diakses 25 Maret 2013.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
13
sellers come together and the forces of supply and demand affect prices <producing goods for market rather than for consumption>. Sementara itu sebagai verb, market diartikan sebagai: to expose for sale in a market. Sementara itu dalam kamus ekonomi, market diartikan sebagai: tempat terjadinya penawaran dan permintaan antara penjual yang ingin menukarkan barang-barangnya dengan uang dan pembeli yang ingin menukarkan uangnya dengan barang dan jasa18. Berkaitan dengan market, perlu juga dilihat beberapa pengertian marketing yaitu: (a) memindahkan barang dan jasa dari pemasok ke konsumen19 dan (b) proses penyaluran barang dari produsen ke konsumen20. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa “memasarkan” dapat diartikan sebagai kegiatan pemasok menunjukkan barang atau jasa dan memastikan jual-beli dengan konsumen melalui proses penawaran dan permintaan agar barang atau jasa tersebut dapat ditukar dengan uang. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa proses kegiatan memasarkan atau menjual itu sudah dimulai sejak pemasok atau penjual tanah kaveling dalam hal ini developer memastikan tanah kavelingnya akan dibeli konsumen atau pertama kali penawaran mengindikasikan pembelian konsumen dan selesai pada saat “jual” tersebut disambut dengan “beli” dari konsumen disertai pembayaran sejumlah uang. Kegiatan pemasaran sudah dilakukan sejak dibuatnya PPJB. Dengan demikian dapat disimpulkan, Mekanisme Bangun Mandiri yang melaksanakan penggunaan PPJB untuk memasarkan saja suatu kaveling tanah tanpa rumah, sudah melanggar semangat/spirit dan hal yang ingin diatur oleh Pasal 146 ayat (1) UU PKP. VI. Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-undangan Lain Terdapat peraturan perundagan-undangan yang juga terkait jika terdapat penggunaan PPJB yang melanggar Pasal 146 ayat (1) UU PKP, Pembahasan peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pasal 6 UUPA 18
Sumadji, et al., Kamus Ekonomi, (S.l.: Wipress, 2006), hal. 465.
19
Ibid., hal. 467.
20
Ibid., hal. 468.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
14
•
Pasal 6 UUPA21, yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Antara lain dijelaskan oleh Boedi Harsono, bahwa tanah tidak boleh dijadikan komoditi atau terlebih objek spekulasi22.
2. Pasal 13 ayat (2) UUPA •
Pasal 13 ayat (2) UUPA melarang adanya monopoli swasta dalam lapangan agraria, dalam hal ini, untuk dapat menjual rumah komersial dalam rangka Lisiba, terlebih dahulu Lisiba harus dibangun. Pembangunan Lisiba tidak boleh dijadikan usaha developer untuk menguasai suatu bidang tanah, sehingga tidak ada pihak lain (developer lain atau individu) yang memohon hak atas tanah negara di suatu lokasi. Untuk itu sejak dari developer memulai
pembangunan
Lisiba
dan
penjualan
unit,
harus
dilaksanakan tanpa usaha monopoli yang dapat dibuktikan dari pembangunan Lisiba yang baik dan penjualan kaveling tanah beserta rumah komersial di atasnya. 3. Pasal 12 ayat (1) UUPA •
Pasal 12 ayat (1) UUPA berbunyi: “Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya”. Jadi menurut pasal ini, apapun bentuk gotong royongnya, pun juga jika developer dilibatkan pemerintah atau pemerintah daerah dalam bentuk suatu gotong royong untuk membangun suatu daerah, harus senantiasa didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi developer (juga bukan kepentingan pribadi pembeli kaveling tanah tanpa rumah yang sepakat untuk melakukan suatu penyimpangan).
21
Indonesia, Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104
Tahun 1960, Ps. 6. 22
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, hal. 301.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
15
4. Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 •
Dalam pemanfaatan sumber daya alam termasuk dalam bidang pertanahan, harus ditekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dapat bertumpu pada efisiensi. Dalam hal ini PPJB yang melanggar semangat dalam Pasal 146 ayat (1) UU PKP dan kemudian dilegitimasi dengan alasan “memajukan perdagangan” tentu melanggar asas efisiensi-berkeadilan, oleh karena efisiensi dalam bidang perdagangan tidak dapat menafikan asas yang disebut sebagai satu kesatuan oleh undang-undang dasar yaitu asas efisiensi-berkeadilan. Pelanggaran terhadap semangat Pasal 146 ayat (1) UU PKP tentu tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang adil.
Penjualan kaveling tanah matang tanpa rumah adalah suatu praktek spekulasi tanah, dalam artian, developer meredistribusikan tanah yang ia kuasai dengan mengambil keuntungan tanpa melakukan suatu usaha pembangunan. Keuntungan hanya diambil murni dari kenaikan harga tanah dengan sengaja. Untuk itulah Pasal 146 ayat (1) UU PKP melarangnya, namun kemudian redaksional Pasal 146 ayat (1) UU PKP ini dicoba untuk diselundupi dengan menggunakan PPJB yang telah dimanipulasi redaksional klausulanya, dengan tujuan developer dapat melaksanakan komersialisasi tanah. Hal ini merupakan kegiatan komodifikasi tanah yaitu ”…, tanah yang semula berfungsi sosial kemudian dikomersialkan.”23. Dan hal komodifikasi tanah ini tentulah hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas.
23
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hal. 42.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
16
VII. Penyelundupan Hukum dan Pelanggaran terhadap Asas Itikad Baik Secara sederhana sesungguhnya, pengertian penyelundupan hukum dapat dipahami sebagai berikut: Penyelundupan hukum adalah proses, cara, perbuatan menyelundup24. Samuel W. Buell juga membahas penyelundupan hukum atau law evasion dengan definisi: “A common understanding of evasion is that it involves something like violating the ‘spirit’ of the law.”25 Dalam memahami penjelasan penyelundupan hukum di atas, dapatlah ditinjau berdasarkan doktrin perbuatan melawan hukum. Rosa Agustina mengutip Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan bagaimana suatu perbuatan dapat ditentukan sebagai perbuatan melawan hukum, syarat-syarat tersebut adalah26: 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat. 2. Perbuatan itu harus melawan hukum. 3. Ada kerugian. 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. 5. Ada kesalahan (schuld). Pembahasan lebih lanjut terkait dengan syarat bahwa “perbuatan itu harus melawan hukum”, melawan hukum saat ini diartikan dalam arti luas sebagai berikut27: a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku. b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau 24
Aditya Wirawan, “Kajian Yuridis Perkawinan Semu sebagai Upaya untuk Memperoleh
Kewarganegaraan Indonesia”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hal. 45. 25
Samuel w. Buell, “Good Faith and Law Evasion”, UCLA Law Review 58, (February
2011), hal. 622. 26 27
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: FHUI, 2003), hal. 36. Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung:
Citra Aditya bakti, 2005), hal. 11.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
17
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed) Sementara itu, mengenai sifat melawan hukum, sering kali ditinjau dari sudut hukum pidana terdapat dua ajaran, yaitu ajaran formal dan ajaran materiel, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Secara singkat ajaran sifat melawan-hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-asalan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang28. 2. Ajaran materiel mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis29. Jadi, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa Penyelundupan Hukum dalam kaitannya dengan Perbuatan Melawan Hukum terjadi apabila suatu perbuatan secara menyelundup bersesuaian dengan (tidak melanggar) ketentuan hukum secara formal, namun secara materiel bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli, terjadinya penyelundupan hukum tersebut selanjutnya dijelaskan. Doktrin membedakan penyerahan dalam dua sistem (stelsel) yaitu sistem kausal (causaal sisteem) dan sistem abstrak (abstract sisteem).
28
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 25. 29
Ibid.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
18
1. Sistem Kausal (Pasal 584 KUH Perdata)30 Dalam sistem ini sifatnya masih obligatoir (perjanjian dasar) artinya perjanjian yang diadakan antara para pihak baru menimbulkan suatu perikatan yang mengikat para pihak. Oleh karena itu hak yang ditimbulkannya adalah hak perorangan. Sifat obligatoir disini menunjukkan bahwa dengan selesainya perjanjian, tujuan pokok dari perjanjian belum tercapai demikian juga hak eigendom belum beralih karena masih harus ada penyerahan. Dengan demikian suatu perbuatan jual beli misalnya, masih bersifat obligatoir dalam arti belum memindahkan hak milik. Hak milik baru beralih jika telah dilakukan levering berdasarkan suatu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Jadi antara perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) dengan perjanjian kebendaan merupakan dua peristiwa yang saling berkaitan. 2. Sistem Abstrak31 Sistem abstrak ini dipraktekkan di Jerman. Menurut sistem di Jerman, levering sebagai suatu zakelijk overeenkomst berdiri sendiri artinya merupakan perbuatan hukum tersendiri yang tidak ada kaitannya lagi dengan perjanjian obligatoir. Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa Indonesia menganut sistem levering dengan sistem kausal dimana tahap obligatoir dan tahap zakelijk adalah berkaitan satu sama lain. Sementara itu, jual-beli tanah menurut UUPA, sebagaimana pula sistem hukum adat, menganut sistem levering yang lain. Menurut Munir Fuady, dapat diketahui bahwa: “…, dapatlah dikatakan bahwa dalam bidang peralihan hak/penyerahan benda, sebenarnya sistem hukum adat lebih menganut teori abstrak sebagaimana yang dianut oleh sistem hukum Jerman.”32. Jadi, menurut Munir Fuady, UUPA dan hukum Adat menggunakan levering dengan sistem abstrak. Hal perbedaan sistem penyerahan yang terjadi antara Sistem KUHPerdata dan Sistem hukum Adat bersama dengan UUPA ini sangat mungkin menjadi celah undang-undang, yang dimanfaatkan berbagai pihak; bahwa kemudian PPJB 30
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Jilid 1, (Jakarta: Ind-Hill Co,
2002), hal. 115-116. 31
Ibid., hal. 116.
32
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005),
hal. 59.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
19
dianggap seolah-olah merupakan tahap obligatoir yang terpisah dengan tahap zakelijk dalam sistem abstrak dimanfaatkan untuk menyelundupi hukum. Dengan menggunakan celah tertentu dalam undang-undang, para pembuat PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri, melakukan perancangan ulang atas perilaku (behavioral redesign) sehingga apa yang sebelumnya dilarang (jual-beli kaveling tanah matang tanpa rumah), menjadi tidak lagi tercakup oleh hukum setelah perilaku ditata-ulang (PPJB kaveling tanah tanpa rumah). Penggunaan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri menjadi penyelundupan hukum, oleh karena: 1. Pemanfaatan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan penerapan behavioral redesign dan opportunistic behavior, yang memanfaatkan celah dalam peraturan perundang-undangan yang ada, demi kepentingan diri sendiri (oportunistis). Hal-hal behavioral redesign dan opportunistic behavior ini dilaksanakan secara menyelundup sehingga sifat melawan hukum secara formal adalah tersamar. 2. Walaupun tidak melanggar redaksional dan tidak melawan hukum yaitu (Pasal 146 ayat (1) UU PKP) secara formal, namun penggunaan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri telah mencederai semangat yang terkandung di dalamnya (yaitu untuk menegakkan fungsi sosial tanah dan mencegah monopoli dan spekulasi swasta atas tanah), sehingga PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri yang melaksanakan komodifikasi tanah mempunyai sifat melawan hukum secara materiel. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan Penyelundupan Hukum karena PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri secara menyelundup bersesuaian dengan (tidak melanggar) ketentuan hukum secara formal (Pasal 146 ayat (1) UU PKP), namun secara materiel bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Untuk mengatasi hal ini, Samuel W. Buell menyatakan bahwa dapat digunakan doktrin itikad baik untuk mencegah penyelundupan hukum itu.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
20
Menurutnya, “…good faith, used in this fashion, is an anti-evasion device.”33. “The duty to act in good faith prevents ‘sharp dealing’ and ‘opportunistic behavior’.”34. Hal itikad baik ini juga diatur dalam perundang-undangan Indonesia, KUHPerdata Indonesia mengenal asas itikad baik dan asas kepatutan. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”35, sementara itu, Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”36. VIII. Pelanggaran terhadap Syarat Perjanjian “Causa yang Halal” Hardjan Rusli menjelaskan beberapa pengertian kausa menurut beberapa sarjana Indonesia. H.F.A. Vollmar dan Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menafsirkan sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian, sementara Prof. Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu sendiri37. Berdasarkan pengertian yang diberikan tersebut, kausa dalam artian substansi maupun tujuan dari suatu perjanjian haruslah halal, dalam artian tidak melawan
hukum
baik
tertulis
maupun
tidak
tertulis.
Rosa
Agustina
38
menjelaskannya secara singkat dengan : Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang. Yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah semua peraturan 33
Samuel W. Buell, “Good Faith and Law Evasion”, UCLA Law Review 58, hal. 630.
34
Ibid., hal. 629.
35
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal. 342.
36
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal. 342.
37
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,
38
Rosa Agustina, et al. Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar: Pustaka
hal. 81. Larasan, 2012), hal. 9.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
21
yang sah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya ikat keluar. Sementara itu penjelasan yang lain dari Hardjan Rusli mengenai kausa yang halal ini adalah39: Suatu sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjiannya menjadi batal bila perjanjian itu menyebabkan timbulnya akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau yang membahayakan kepentingan umum (public interest/policy). Untuk itu dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya perjanjian pengikatan jual beli juga harus memiliki syarat causa yang halal ini, yaitu substansi atau tujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar norma tidak tertulis, dan tidak membahayakan kepentingan umum. Telah dijelaskan pada subbab-subbab
sebelumnya bahwa Mekanisme
Bangun Mandiri telah melanggar: 1.
Penyelundupan hukum dan melanggar asas itikad baik, dengan alasan: bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan Penyelundupan Hukum karena PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri secara menyelundup bersesuaian dengan (tidak melanggar) ketentuan hukum secara formal, namun secara materiel bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
2.
Peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri memiliki substansi dan tujuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya terhadap: Pasal 146 ayat (1) UU PKP, Pasal 6 UUPA, Pasal 12 ayat (1) UUPA, Pasal 13 ayat (2) UUPA, dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Keadaan bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri bahwa ia merupakan penyelundupan hukum. melanggar asas itikad baik, dan bertentangan 39
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,
(Jakarta: NLRP, 2010), hal. 81.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
22
dengan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dapat disimpulkan bahwa PPJB yang dijalankan dengan Mekanisme Bangun Mandiri yang digunakan dengan sengaja bertujuan menyimpangi larangan bahwa pengembang dilarang untuk menjual tanah kaveling sebagaimana diatur dalam Pasal 146 ayat (1) UU PKP; mengakibatkan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata yaitu kausa yang halal. IX. Kekuatan Mengikat PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri Pada subbab sebelumnya telah diketahui bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan penyelundupan hukum dan tidak memenuhi syarat sah perjanjain yaitu kausa yang halal, bahwa PPJB sejenis itu telah bertentangan dengan asas itikad baik dan memiliki substansi atau tujuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kausa atau sebab yang halal merupakan syarat objektif. Subekti menyatakan bahwa40: Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya: Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void. Merujuk pada penjelasan Prof. Subekti tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri adalah batal demi hukum, sejak semula adalah tidak pernah dilahirkan, tidak dilindungi oleh hukum, serta tidak memiliki kekuatan mengikat. X. Jual Beli berdasarkan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri Penulis melihat bahwa jual beli dan PPJB yang mendasarinya adalah hal yang terpisah, bahwa PPJB merupakan perjanjian mandiri dengan ketetapan waktu, yang bukan merupakan tahap obligatoir dari jual beli yang sebenarnya. 40
Subekti, Hukum Perjanjian, hal. 20.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
23
Demikian pula, secara a contrario, jual beli bukan tahap zakelijk dari PPJB. PPJB dan jual beli merupakan hal yang terpisah, pun demikian keduanya memiliki satu tujuan (causa), yaitu untuk menyelundupi undang-undang. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap syarat kausa yang halal (Pasal 1320 angka 4), asas itikad baik (Pasal 1338 ayat (3)), dan asas kepatutan (Pasal 1339) sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Demikian sesungguhnya jual beli yang didasari oleh PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri yang tidak sah, secara materiil juga menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
24
PENUTUP I. Kesimpulan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan mekanisme dimana pembeli sendiri membangun rumah di atas tanah kaveling dalam rangka lingkungan siap bangun, dimana kegiatan tersebut seharusnya dilaksanakan bukan oleh pembeli kaveling melainkan oleh developer. Bersasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan: 1. Perjanjian pengikatan jual beli yang dilaksanakan dengan Mekanisme Bangun Mandiri secara menyelundup tidak melanggar ketentuan hukum formal, namun secara materiel bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan terutama terhadap Pasal 146 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman; sehingga PPJB yang dilaksanakan dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan penyelundupan hukum. 2. Sebagai akibat bahwa PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan penyelundupan hukum, PPJB sejenis itu tidak memenuhi asas itikad baik dan melanggar ketentuan hukum, sehingga ia tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu syarat keempat “kausa yang halal”. Hal tidak dipenuhinya “kausa yang halal” merupakan pelanggaran terhadap syarat objektif perjanjian, sehingga PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. 3. Jual beli yang didasarkan pada PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan perbuatan yang memiliki satu tujuan (causa) dengan PPJB yang menjadi dasarnya yaitu untuk menyelundupi undang-undang, sehingga melanggar syarat sah perjanjian yaitu syarat keempat “kausa yang halal”, juga asas itikad baik dan asas kepatutan. Dengan demikian Jual beli yang didasarkan pada PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri juga batal demi hukum.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
25
II. Saran PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri dan Jual Beli yang dibuat berdasarkan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri merupakan perjanjian yang tidak memiliki kekuatan mengikat dan tidak ada perlindungan hukum atasnya. PPJB seperti ini memiliki resiko yang besar, bahwa ia berpotensi menimbulkan masalah keperdataan dan bahkan diancam dengan sanksi pidana. Oleh sebab itu, penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri dan Jual Beli yang dibuat berdasarkan PPJB dengan Mekanisme Bangun Mandiri tidaklah boleh dilakukan oleh siapapun. 2. Perlu dibentuk pengawasan khusus terhadap developer terkait dengan praktik Mekanisme Bangun Mandiri. Pengawasan ini hendaknya adalah lembaga pengawasan yang berada dalam lingkungan administrasi yang memiliki kewenangan menindak secara perdata (jika berpotensi merugikan publik), pidana, maupun administrasi. 3. Penelitian yang diperlukan secara lebih lanjut adalah penelitian mengenai penegakan hukum dan pembuktian yang dapat dibuat agar praktik Mekanisme Bangun Mandiri dapat dibendung dan diatasi.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
i
DAFTAR REFERENSI Sumber Buku Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: FHUI, 2003. Agustina, Rosa, et al. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Denpasar: Pustaka Larasan, 2012. Erawati, Elly dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Jakarta: NLRP, 2010. Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. ------------------.
Perbuatan
Melawan
Hukum
(Pendekatan
Kontemporer).
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Ed. rev. Cet. 12. Jakarta: Djambatan, 2008. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata. Jilid 1. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002. Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi). Ed. 3, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008. Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Alumni, 2002. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet. 40. Jakarta: Pradnya Pramita, 2009. Syarief, Elza. Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. Sumber Skripsi, Tesis, dan Disertasi Mandirahardjo, V. Hargo. “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Kaveling Oleh Pengembang Perumahan (Studi Kasus di PIK)”.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013
ii
Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2002. Pramono, Yuli. “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah di Jatinegara Baru”. Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2005. Sumaryono. “Jual Beli Tanah yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Penjabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)”. Tesis Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Semarang, 2009. Wirawan, Aditya. “Kajian Yuridis Perkawinan Semu sebagai Upaya untuk Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia”. Tesis Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Semarang, 2008. Sumber Jurnal Buell, Samuel w. “Good Faith and Law Evasion”, UCLA Law Review 58, (February 2011). Hal. 611-666. Sumber Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960. Indonesia, Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. UU No. 1 Tahun 2011, LN No. 7 Tahun 2011, TLN No. 5188. Sumber Internet Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Pasar Properti Residensial di Pasar Sekunder
Jakarta
-
Triwulan
IV/2012”
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/EED6C378-81DA-4700-836FB00D238876D3/28236/SHPRsekundertw4.doc, diunduh 3 Maret 2013. Sumber Kamus Merriam-Webster, “Market” http://www.merriam-webster.com/dictionary/market, diakses 25 Maret 2013. Sumadji, et al. Kamus Ekonomi. S.l.: Wipress, 2006.
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikat..., Fajar Cahyanto, FH UI, 2013