BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Secara umum dapat diketahui bahwa perjanjian adalah kata yang berasal dari kata dasar “janji” yaitu suatu persetujuan atau kesepakatan dari pernyataan kehendak antara kedua belah pihak, kehendak atau putusan dari kedua belah pihak. Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang di mana seorang pihak pertama mengungkapkan kepada pihak lain atau yang di mana kedua pihak itu saling mengungkapkan atau menyesuaikan suatu persetujuan atau kesepakatan bersama. Dari suatu kesepakatan ini dapat menimbulkan suatu hal yang dapat mengikat antara kedua belah pihak tersebut. Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Sedangkan menurut Yahya Harahap perjanjian mengandung pengertian atau suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi. Pasal 1233 BW, perjanjian merupakan salah satu sumber yang bisa menimbulkan perikatan. Adapun pengertian dari perikatan adalah suatu hubungan
1
Subekti, 2011, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h.36
25
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perjanjian atau kontrak menurut doktrin atau teori lama adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang di artikan sebagai perjanjian adalah suatu hubungan hukum antar dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.2 Istilah perjanjian dalam bahasa Belanda overeenskoms, merupakan istilah yang dalam hukum dikenal “kontrak” atau “perjanjian”. BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini dapat dilihat jelas dari judul Bab II Buku III BW adalah “Tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak. Kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak.3 Sedangkan perjanjian dapat berarti social agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.4 Dengan demikian pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya.Tidak tepat jika kontrak
2
Salim HS, 2011, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, h.7 3 Paulus J. Soepratignja, 2007, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h.5. 4 Daeng Naja H. R, 2006, Contract Drafting : Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.2.
26
diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.5 Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal khusus (Contract is agreement between two or more persons which creates an obligation, to do or not a particular thing).6 Hal pokok dalam definisi tersebut adalah bahwa kontrak dipandang sebagai persetujuan dari dua pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tertentu. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.7 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian.8 Pengertian perjanjian terdapat dalam ketentuan pasal 1313 BW, yaitu “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan pasal 1313 BW hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya terjadi jika ada satu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.
5
Sogar Simamora Y, 2005, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.25. 6 Suhardana F.X, op.cit, h.11. 7 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian : Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h.12. 8 Ibid, h.13.
27
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 BW adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas.Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III BW.9 Dari pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah salah satu sumber perikatan dan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum. Dimana perjanjian dapat juga disebut
sebagai
perbuatan yang dapat memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat – akibat hukum yang merupakan konsekwensinya. Perjanjian melibatkan sedikitnya dua belah pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban disebut kreditur. Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian yaitu wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian pada pihak yang lain maka pihak yang dirugikan itu dapat pemenuhan haknya yang dilanggar. Karena dalam perjanjian mempunyai tujuan, layaknya undang-undang yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya Undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihakpihak yang memberikan kesepakatannya. Demikan pula perjanjian, bertujuan 9
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian : Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h.12.
28
mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatny privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaanny menimbulkan sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagaii alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan sebagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar. 2.1.2 Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Mariam Darus Badrulzaman Perjanjian sendiri memiliki beberapa jenis perjanjian, yaitu :10 a) Perjanjian Timbal Balik Perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. b) Perjanjian Cuma–cuma Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. c) Perjanjian Atas Beban Perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
10
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.66
29
d) Perjanjian Bernama (Benoemd) Perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undangundang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. e) Perjanjian
Tidak
Bernama
(OnbenoemdeOvereenkomst)
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya. f) Perjanjian Obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. g) Perjanjian Kebendaan ( Zakelijk ) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). h) Perjanjian Konsensual Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai
persesuaian
kehendak
untuk
mengadakan
perjanjian.Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338). i) Perjanjian Real
30
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak. j) Perjanjian Liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada(Pasal 1438 KUHPerdata). k) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts) Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yangberlaku di antara mereka. l) Perjanjian Untung – untungan Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untunguntungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadianyang belum tentu. m) Perjanjian Publik Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta.Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan Sbawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama(coordinated). n) Perjanjian Campuran Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsurperjanjian di dalamnya.
31
2.1.3
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum.Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu menjadi tidak sah. Bila ada pihak yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian maka ada konsekuensi hukum yang berlaku. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan tentang syarat sah perjanjian yaitu : 1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Maksud
dari
kata
sepakat
adalah,
kedua
belah
pihak
yang
membuatperjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak. 2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi lakilaki,dan 19 th bagi wanita.Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19th bagi laki-laki, 16 th bagi wanita.Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum. 3) Adanya Obyek. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas. 4) Adanya kausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
32
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut maka batal demi hukum. Dan apabila syarat ketiga serta keempat tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan. Adapun beberapa hal yang dapat membatalkan perjanjian yaitu : A. Batal demi hukum yaitu tidak terpenuhinya syarat obyektif (mengenai obyek perjanjian), Syarat obyektif adalah syarat yang berkaitan dengan obyek perjanjian.yang meliputi: 1) Adanya obyek perjanjian (onderwerpderovereenskomst) Benda yang dijadikan obyek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:11
Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan obyek perjanjian,
Dapat ditentukan jenisnya
Barang yang akan datang
2) Adanya sebab yang halal (georloofdeoorzak) Dalam perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebabsebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.
11
IhsanBadroni,2011,HukumPerjanjian,https://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/ hukum-perjanjian.
33
B. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu ini dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.12 Sesuai dengan Pasal 1332 s/d 1335 KUHPerdata yang ,mengatakan bahwa: “Benda-benda itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada di kemudian hari.” Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya sama sekali tidak dapat ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat. Didalam berbagai literature disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok sebuah perjanjian (onderwerp der oveenskomst). Ahmad Miru berpendapat bahwa hal tertentu dalam sebuah kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.13 C. Suatu sebab yang halal Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian.Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan
bukanlah
obyek
yang
terlarang
tapi
diperbolehkan
oleh
hukum.Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Di dalam Pasal 1335 s/d 1337 KUH Perdatamenyebutkan bahwa:
“Untuk sahnya suatu
12 Mariam Darus Badrulzaman II, 1991, Kumpulan Pidato Pengukuhan, Alumni, Bandung,h.79 13 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 158
34
perjanjian, UU mensyaratkan adanya kausa.” Perjanjian adalah tanpa ada kausa, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat perjanjian tidak akan tercapai. D. Dapat dibatalkan syarat Subyektif (mengenai subyek atau para pihak), Syarat subyektif adalah syarat yang berkaitan dengan subyek perjanjian. Syarat subyek perjanjian meliputi: 1.
Adanya
kesepakatan/izin
(toesteming)
kedua
belah
pihak.
Kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya.14 2.
Kedua belah pihak harus cakap bertindak Cakap bertindak adalah kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Beberapa golongan orang yang oleh UndangUndang dinyatakan tidak cakap seperti : orang dibawah umur, orang di bawah pengawasan (curatele).
E. Kata Sepakat Kata sepakat berarti adanya titik temu diantara para pihak tentang kepentingan kepentingan yang berbeda.15 Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup sebuah perjanjian dengan pernyataan salah satu pihak “cocok” dengan pernyataan pihak yang lain.16
14
Ihsan Badroni, Loc.cit Salim H. S. I, op. cit, h. 1. 16 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.94. 15
35
F. Cakap Cakap berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 s/d 1331 KUHPerdata : “setiap orang adalah cakap melakukan perbuatan perikatan, kecuali UU menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. G. Kontrak tidak dapat dilaksanakan Kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Contohnya, yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, kemudian kontrak tersebut ditulis oleh para pihak. H. Sanksi Administratif Bila persyaratan tidak dipenuhi, maka hanya mengakibatkan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua pihak dalamkontak tersebut.17
2.2 Perjanjian Standar Sebagai Suatu Perjanjian 2.2.1. Pengertian Perjanjian Standar (Baku) Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditur, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitur, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak, kreditur mempunyai kedudukan monopoli, tidak ingin mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam 17
Ibid.
36
membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah klusula baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.18 Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap didalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak debitur. Pihak kreditur dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya dipahami oleh pihak kreditur dan ini merupakan kerugian bagi debitur karena sulit atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat. Dalam transaksi bisnis dengan memakai klausula baku, sangat terbuka kemungkinan bagi pihak kreditur untuk melakukan pembatasan atau penghapusan tanggung jawab.19
18
Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h.87. Paulus J. Soepratignja, 2007, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h.5 19
37
Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang diperuntukkan bagi setiap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini. Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur yang satu dengan yang lain. Jika debitur menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitur hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada. Dalam arti, bahwa pelaku usaha dapat menentukan sendiri ketentuan-ketentuan tentang pengalihan tanggung jawab dan/atau resiko, dari pihak kreditur (exonerant) kepada pihak debitur, dalam sebagian dari beberapa syarat baku yang ditetapkan sepihak itu.20 Di dalam perjanjian baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan secara bebas seperti perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak, dalam menegosiasikan klausula perjanjian, maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku dalam hukum perjanjian. Adapun didalam buku yanng berjudul Teknik Pembuatan Akta Kontrak menyebutkan beberapa pendapat dari para sarjana, yaitu : 1) Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti
20
pembentuk
undang-undang
Ibid
38
swasta
(legio
particuliere
wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.21 2) Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.22 3) Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.23 4) Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian,
bertanggung
jawab
pada
isi
dan
apa
yang
ditandatanganinya. Jika ada orang yang membutuhkan tandatangan pada fomulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan
bahwa
yang
bertanda
tangan
mengetahui
dan
menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. Perjanjian
21
Ibid, 151 Ibid 23 Ibid, 152 22
39
baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.24 Berdasarkan berbagai pendapat di atas, perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak pembuat perjanjian klausula baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggungjawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 2.2.2 Karakteristik Pejanjian Baku Karakteristik atau bentuk perjanjian standar (baku) yang dibuat oleh salah satu pihak adalah berbentuk tertulis. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh ekonomi kuat. Isinya dituangkan dalam bentuk klausul baku. Klausul Baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam Pasal 18 UUPK (ayat 1) berbunyi, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang
24
dan
jasa
yang
ditujukan
Ibid
40
untuk
diperdagangkan
dilarang
membuat/mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang untuk dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang, dan jasa yang diberikan oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa atauran baru, tambahan, lanjutan dan/ atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebaskan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dobeli oleh konsumen secara angsuran. “ Perjanjian baku atau perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maju dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat
41
mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”.25 Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :26 a. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. b.
Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihakpihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c.
Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
Aprian Wibowo, 2012, “Perjanjian Baku (standar), http://aprianwibowo.ugm.ac.id/2012/06/02/perjanjian-baku-standar/, diakses 27 okober 2014, jam 13.00 wita. 26 Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan, Alumni,Bandung, 1991, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III), h. 99. 25
42
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.27 Syarat sahnya perjanjian klausula baku sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya, yaitu sebagaimana yang diatur pada pasal 1320 KUHPerdata antara lain: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri (will severeenstemming / Agreement) 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity) 3. Satu hal tertentu (bepaald onderwrep/ certainty o term) 4. Suatu sebab yang halal (geororloofde orzake/ Legality) Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPER disebut sebagai syarat subyektif, dimana jika salah satu syarat tidak tepenuhi maka perjanjian tersebut tidak sah. Adapun konsekuensi dari pada tidak terpenuhinya syarat subyektif yaitu perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat dimintakan pembatalannya, kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan apabila perjanjian yang telah dibuat tidak dibatalkan, maka perjanjian tersebut masih mengikat. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, dimana perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula dan pembatalan ini juga harus dimintakan kepada hakim dimana syaratsyarat yang terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata .
27
Ibid
43
Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. Perjanjian baku biasanya berupa sebuah formulir yang berisi kesepakatan antara Debitur dan Kreditur. Di dalam formulir tersebut pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanya hal-hal yang bersifat subjektif, seperti waktu dan identitas.28 2.2.3 Asas – Asas Perjanjian Baku Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata yang perlu mendapat perhatian dalam membuat perjanjian : Asas itikad baik (good faith/tegoeder trouw), Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract), Asas Konsensualitas, Asas Kepercayaan (vertrou Ivens beginsel), Asas Kekuatan Mengikat, Asas Persamaan Hukum, Asas Keseimbangan, Asas Kepastian Hukum, Asas Moral, dan Asas Kepatutan.29 a. Asas itikad baik (good faith/tegoeder trouw) Pasa1 1338 disebutkan bahwa "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,
28
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996)
hal. 6. 29
Salim H. S. I, Loc. cit.
44
persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik."Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya.Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. b. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”. Semua perjanjian berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi , pornoaksi) dan ketertiban umum. Sepakat mereka mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga dengan asas otonomi konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang paling penting dalam hukum perjanjian.30 c. Asas konsensualitas Asas konsensualitas berarti kesepakatan atau consensus, yaitu pada
30
Ibid
45
dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalnya syarat harus tertulis. Contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tegas yang mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan istilah "semua" yang menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginan (will) yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. d. Asas kepercayaan (vertrou Ivens beginsel) Seseorang
yang
mengadakan
perjanjian
dengan
pihak
lain,
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.31 e. Asas kekuatan mengikat Di dalam perjanjian terdapat suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya
31
Ibid
46
para pihak dalam perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang di perjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki atau kebiasaan dan kepatutan serta moral. f. Asas persamaan hukum Asas ini menetapkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sarna lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.32 g. Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi melalui kekayaan debitur namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu. h. Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memkasa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain
32
Ibid
47
membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum secara pasti memiliki perlindungan hukum.33 i. Asas moral Asas ini terlihat dalam perilaku wajar dari suatu perubahan.Sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk gugat kontra prestasi. Dari pihak debitur hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarheming
atau
sering
disebut
dengan
penyelenggaraan
kepentingan yang dimana di ataur didalam pasal 1359 sampai pasal 1364 KUHPer, dimana seorang yang melakukan suatu perubahan dengan sukarela yaitu yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan merealisasikan perubahan juga. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. j. Asas kepatutan Asas ini ditunjukkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang isinya “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”, asas kepatutan disini berkaitan mengenai isi perjanjian.34 Pentingnya asas perjanjian dalam perjanjian BPR, karena BPR sesuai UU Perbankan merupakan salah satu jenis bank yang kegiatan utamanya adalah 33
Ibid Ibid
34
48
menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Kredit merupakan sumber pendapatan utama bagi BPR guna kesinambungan usahanya, sehingga BPR harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Untuk itu, dalam pemberian kredit, BPR harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat agar kualitas kredit yang diberikan senantiasa lancar. Apabila BPR tidak mampu menjaga kualitas kreditnya dengan baik maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja BPR khususnya kinerja keuangan yang dapat mengakibatkan kemampuan BPR untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan menjadi terganggu. Oleh karena itu agar penerapan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat tersebut dilaksanakan secara konsisten maka BPR harus memiliki Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB). 2.3. Perjanjian Kredit Bank 2.3.1 Pengertian Kredit Kredit adalah pemberian penggunaan suatu uang atau barang kepada orang lain di waktu tertentu dengan jaminan atau tanpa jaminan, dengan pemberian jasa atau bunga atau tanpa bunga. Menurut UU. No. 10 Tahun 1998 pengertian kredit adalah suatu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Istilah Kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere yang berarti kepercayaan, atau credo yang berarti saya percaya, artinya kepercayaan dari kreditor (pemberian pinjaman) bahwa debitornya
49
(penerima pinjaman) akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dari perjanjian kedua belah pihak. Dalam Undang-Undang tersebut, kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pembunga. Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah berjangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.35 2.3.2 Fungsi Kredit Bank Kredit di awal perkembangan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak untuk saling menolong dengan tujuan pencapaian kebutuhan, baik itu dalam bidang usaha atau kebutuhan sehari-hari. Kredit dapat memenuhi fungsinya jika secara sosial ekonomis baik bagi debitur, kreditur, atau masyarakat membawa pengaruh yang lebih baik. Adapun fungsi dari kredit, yaitu : a) Meningkatkan daya guna uang b) Meningkatkan lalu lintas peredaran uang c) Mengingkatkan daya guna peredaran barang d) Salah satu alat stabilitas ekonomi
35Muhammad
Syafreza , Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Klausula Eksonerasi Yang Terdapat Pada Perjanjian Kredit Bank, Medan, 2010, h.40
50
e) Meningkatkan kegairahan berusaha f) Meningkatkan pemerataan pendapatan, dan g) Meningkatkan hubungan internasional36 Menurut Ch. Gatot Wardoyo, secara khusus menjelaskan perjanjian kredit bank memiliki beberapa fungsi yaitu:37 a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan -batasan hak dan kewajiban antara debitur dengan kreditur. b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal tidaknya perjanjian lain yang mengikut inya, misalnya perjanjian jaminan. c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitor –monitor kredit. 2.3.3 Bentuk Perjanjian Kredit Bank Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 tidak pernah dijelaskan secara spesifik mengenai bentuk dari perjanjian kredit. Ini berarti perjanjian dapat dibuat tertulis maupun tidak tertulis (lisan). Namun bila mengacu pada Instruksi Presidium No. 15/IN/10/66 Tentang Pedoman Kebijakan dibidang Perkreditan Juncto Surat Edaran (SE) BNI Unit I No. 2/539/UPK/Pemb, Surat Edaran BNI Unit I No. 2/649/UPK Pemb, dan Instruksi Presidium Kabinet No. 10/EK/2/1967, makperjanjian kredit mutlak harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Kewajiban ini juga masih diatur lagi dalam Surat Keputusan Direksi BI. No. 36
Ibid.41 Muhammad Syafreza, loc.cit
37
51
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran BI No. 27/7 UPBB Masing- Masing tanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bagi Bank Umum yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Adapun mengenai isi dari perjanjian kredit, diserahkan kepada masing -masing bank untuk menetapkannya. Namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :38 a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit.
38 RachmadiUsman, 2007, Hukum Perbankan Di Indonesia, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, hal.261
52