BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN NOMINEE
2.1
Perjanjian Pada Umumnya
2.1.1 Pengertian Perjanjian Perjanjian
sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan pasal 1313
KUHPerdata menentukan, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Definisi perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata ini adalah tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme, dan bersifat dualism. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Perjanjian menurut Van Dunne adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
19
Perjanjian menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka. 20
19 Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, ( Selanjutnya disebut Salim H.S II), h.26. 20 Salim H.S, A. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan MoU, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8
29
Perjanjian menurut R. Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.21 Perrjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan secara tertulis. Perjanjian lisan lazimnya dilakukan di masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana, misalnya perjanjian “pengkadasan ternak”, perjanjian “nyakap tanah”, dll. Perjanjian tertulis, lazimnya dilakukan di masyarakat yang relatif sudah modern, berkaitan dengan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis untuk hubungan bisnis itu lazim disebut dengan kontrak.22 2.1.2 Asas-Asas Perjanjian A.
Asas Kebebasan Berkontrak Dasar hukum asas kebebasan berkontrak adalah pasal 1338 KUHPerdata
ayat (1) menentukan “semua perjanjian yang dibuat secara sah , berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3) menentukan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan etikad baik.”
21
R.Subekti, op.cit, h.1 I Ketut Artadi , I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 22
30
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. B.
Asas Konsensualisme Dasar Hukum asas konsensualisme adalah Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata , menentukan “sepakat mereka yang mengikatkan diri.” Sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan, atau penipuan (pasal 1321 KUHPerdata). Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekilapan dan penipuan, menerbitkan suatu tuntutan pembatalan (pasal 1449 KUHPerdata). Jadi asas konsensualitas dibatasi oleh pasal 1321 KUHPerdata. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan penyesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 23 C.
Asas Kedudukan yang Seimbang Dasar hukum asas kedudukan yang seimbang adalah pasal 1320 ayat 2
KUHPerdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian.” Cakap membuat perjanjian yaitu orang yang sudah dewasa. Dewasa menurut argumentasi secara
23
Salim, H.S I, op.cit, h. 4.
31
kebalikan dari pasal 330 KUH Perdata adalah apabila sudah mencapai umur 21 tahun dan tidak berada di bawah pengampuan. Apabila orang tersebut membuat perjanjian dengan orang yang tidak cakap, berarti terjadi ketidakseimbangan yaitu orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, maka dalam perjanjian seperti itu terdapat kedudukan yang tidak seimbang. Perjanjian yang dibuat dengan orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum adalah dapat dibatalkan. D.
Asas Perjanjian Mengikat Para Pihak Dasar hukum asas perjanjian mengikat para pihak adalah: a. Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian berlaku (mengikat) sebagai UndangUndang. b. Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. c. Pasal 1340 KUHPerdata, Perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. d. Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik (perjanjian)memberikan diantara para pihak dan ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya suatu bukti yang sempurna. e. Pasal 1873 KUHPerdata, perjanjian simulasi, tidak mengikat pihak ketiga. 24
2.1.3 Unsur-Unsur Perjanjian Di dalam perjanjian terdapat 3 (tiga) unsur penting yaitu : a.
Unsur Essensialia Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsure
pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. 25 Perjanjian jual beli misalnya , unsur-unsur essensialianya adalah barang 24
I Ketut Artadi , I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 49. Herlien Boediono, 2008, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian IndonesiaHukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati Indonesia, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 366. 25
32
dan harga, perjanjian sewa menyewa unsur essensialianya adalah barang yang disewakan, harga sewa dan waktu sewa, perjanjian kredit unsur essensialianya adalah jumlah kredit, jangka waktu kredit. Unsur essensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal tersebut tidak dipenuhi maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. b.
Unsur Naturalia Unsur Naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam Undang-Undang
dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya. Seringkali dalam suatu perjanjian para pihaknya hanya mengatur secara sederhana, misalnya dalam perjanjian utang piutang tidak ditentukan bunga sehingga secara naturalia berlaku besarnya bunga menurut Undang-Undang. 26 c.
Unsur Aksidentalia Unsur Aksidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu
perjanjian, yang nantinya peristiwa tersebut terjadi atau tidak terjadi di kemudian hari. Unsur aksidentalia ini juga sebagai unsur yang sangat penting dalam suat perjanjian karena dapat menyebabkan perjanjian tersebut dapat dilaksanakan sesuai perjanjian atau dengan cara lain. Misalnya , dalam perjanjian jual beli barang, dengan pemberian uang panjar, apabila pembeli batal membeli barang maka uang panjarnya menjadi hangus. 2.1.4 Syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: a.
Sepakat mengikatkan diri
26
I Ketut Artadi , I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 35.
33
b.
Kecakapan untuk membuat perjanjian
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal Syarat pertama dan kedua tersebut merupakan syarat subyektif yang
artinya syarat-syarat yang mengatur tentang para pihak dalam perjanjian. Sedangkan kedua syarat yang terakhir merupakan syarat obyektif yaitu syaratsyarat yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian.27 Apabila syarat subyektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subyektif hanya dapat diketahui oleh para pihak, oleh karena itu apabila hal tersebut terjadi Undang-Undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk mengajukan pembatalan perjanjian atau tidak. Apabila mengajukan pembatalan , maka permohonan pembatalan harus disertai dengan bukti-bukti. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi , maka perjanjian menjadi batal demi hukum. Arti batal demi hukum yaitu bahwa secara yurdis dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada dasar dari para pihak untuk saling menuntut di pengadilan. Selanjutnya akan dibahas mengenai syarat sah perjanjian : a.
Sepakat mengikatkan diri Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam sahnya suatu
perjanjian. Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu 27
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit. h. 94
34
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara : tertulis, lisan, diam-diam, simbol-simbol tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Perbedaan khas dari akta otentik dengan akta di bawah tangan terletak pada beban pembuktiannya, sebagaimana diatur dalam pasal 1865 KUH Perdata, yaitu apabila akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan, maka pihak lawan harus membuktikan kepalsuan dari akta tersebut, sedangkan apabila akta di bawah tangan dibantah oleh pihak lawan, maka yang mengajukan akta dibawah tangan sebagai bukti harus membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut. Pembuktian akta otentik dapat disebut pembuktian kepalsuan , sedangkan pembuktian akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian. Tujuan pembuatan perjanjian dengan cara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari. 28 Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat sederhana, seringkali tidak disadari bahwa telah terjadi kesepakatan misalnya dalam kegiatan belanja di pasar antara penjual dan pembeli, kesepakatan secara lisan selesai dengan dilakukannya penyerahan dan penerimaan suatu barang. Kesepakatan secara diam-diam, dapat kita jumpai dalam kehidupan seharihari, misalnya dalam berbelanja di swalayan, mengambil barang, menyerahkan
28
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Ahmadi Miru I) , h.15.
35
kepada kasir, dan membayar harganya, memarkir kendaraan dan membayar parker sesuai tarifnya. Kesepakatan dengan menggunakan symbol dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam membeli bakso di warung, hanya mengacungkan satu jari telunjuk, tukang bakso membawakan satu mangkok bakso. Kesepakatan yang menimbulkan akibat hukum hanyalah kesepakatan yang tidak bercacat, atau tidak terdapat cacat kehendak. Apabila terjadi cacat kehendak dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sebagaiman ditentukan dalam pasal 1449 KUH Perdata yang menyatakan, “ Perikatanperikatan yang dibuat dengan paksaan, kekilapan dan penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkan.” Cacat kehendak sebagaimana ditentukan dalam pasal 1321 KUH Perdata dapat terjadi karena : 1.
Kekilapan (dwaling) , yaitu apabila salah satu pihak dalam membuat perjanjian kilap dalam mengemukakan pernyataan , atau kilap mengenai obyek perjanjian, namun pihak lain yang mengetahui tetap membiarkan.
2.
Paksaan (dwang), yaitu suatu perbuatan ancaman yang dilakukan oleh orang, sehingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan akan dapat memberikan kerugian pada dirinya secara terang dan nyata.
3.
Penipuan (bedrog), sesuai pasal 1328 KUH Perdata ditentukan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, di mana perjanjian dibuat karena adanya daya upaya dari salah satu pihak, baik
36
dengan kata-kata ataupun perbuatan
untuk mengelabuhi pihak lain ,
sehingga akibat dari itu, pihak lain membuat perjanjian. Undang-Undang menentukan bahwa penipuan tidak dipersangkakan tetapi dibuktikan. b.
Kecakapan untuk membuat perjanjian Kecakapan dalam bertindak adalah kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang.29 Orang yang cakap / mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum : 1.
Anak di bawah umur (minderjarigheid)
2.
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan,
3.
Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. SEMA No.3 Tahun 1963. c.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dapat disebut juga adanya obyek perjanjian, dan yang
menjadi obyek perjanjian yaitu prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi
29
Munir Fuadi, 2003, Hukum Kontrak, Citra Aditya Bakti, Jakarta, h. 24.
37
kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini mengandung perbuatan positif dan negative.30 Prestasi terdiri atas : 1.
Memberikan sesuatu;
2.
Berbuat sesuatu;
3.
Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat
dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya, dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. 31 Misalnya, A membeli buah jeruk pada B dengan harga Rp. 25.000,-. Ini berarti bahwa obyeknya adalah buah jeruk, bukan benda lainnya. d.
Suatu sebab yang halal Pada pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai orzaak (suatu
sebab yang halal). Di dalam pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab yang adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. 32 2.2
Perjanjian Nominee
2.2.1 Pengertian Perjanjian Nominee Perjanjian dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian inominaat (tanpa nama).Perjanjian nominaat merupakan ketentuan hukum yang mengkaji berbagai perjanjian atau kontrak yang dikenal di
30
Komariah, 2005, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang , h.
31
Ibid, h. 122. Munir Fuadi, op.cit, h. 25
121. 32
38
dalam KUHPerdata. Perjanjian inominaat merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan. Perjanjian-perjanjian yang muncul dan berkembang di masyarakat antara lain Perjanjian Production Sharing, Joint Venture, Kontrak Karya, Leasing, Pinjam Nama (nominee), dll. Perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan. Perjanjian innominaat adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 33 Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian inominaat adalah sebagi berikut : 1.
Adanya kaidah hukum Kaidah hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu kaidah
hukum kontrak inominaat tertulis dan tidak tertulis. 2.
Adanya subyek hukum Subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek hukum
dalam kontrak inominaat adalah debitur dan kreditur, badan pelaksana dengan badan usaha atau usaha tetap, pengguna jasa dan penyedia jasa, dll 3.
Adanya obyek hukum Obyek hukum erat kaitannya dengan pokok prestasi. Pokok prestasi dalam
kontrak inominaat tergantung pada jenis kontrak yang dibuat oleh para pihak. 33
Salim HS I, op.cit. h. 6
39
Dalam kontrak karya, misalnya yang menjadi pokok prestasinya adalah melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam bidang pertambangan, khususnya emas dan tembaga. 4.
Adanya kata sepakat Kata sepakat lazim disebut dengan konsensus. Kata sepakat ini merupakan
persesuaian pernyataan kehendak para pihak tentang substansi dan objek kontrak. 5.
Akibat hukum Akibat hukum berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban dari para
pihak. Hukum perjanjian inominaat diatur dalam Buku III KUHPerdata. Di dalam buku III KUHPerdata, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang perjanjian inominaat, yaitu pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUHPerdata, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian inominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata. KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat umum sedangkan ketentuan hukum yang mengatur perjanjian inominaat merupakan ketentuan
40
hukum yang bersifat khusus, dengan demikian berlaku asas “Lex specialis derogate lex Generali” artinya undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Pada saat undang-undang yang bersifat khusus tidak mengatur secara rinci maka dapat digunakan undang-undang yang bersifat umum. Nominee menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER62/PJ.2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/ atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/ atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atau penghasilan. Perjanjian nominee tergolong di dalam perjanjian innominaat, karena perjanjian ini tidak diatur di dalam KUHPerdata namun muncul dan berkembang dalam masyarakat. Perjanjian nominee kerap kali digunakan dalam persoalan penguasaan tanah di Indonesia oleh Warga Negara Asing. Telah disebutkan di dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Berdasarkan adanya
ketentuan tersebut, maka Warga
Negara Asing yang ingin menguasai bidang tanah di Indonesia mencari cara dengan membuat perjanjian nominee. Perjanjian nominee tersebut merupakan suatu perjanjian yang dibuat antara seseorang yang ditunjuk sebagai
nominee oleh Warga Negara Asing
kepada Warga Negara Indonesia sebagai yang dipercaya untuk dipakai namanya
41
dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah. Melalui perjanjian nominee, Warga Negara Asing meminjam nama dari seorang Warga Negara Indonesia, untuk dicantumkan namanya dalam suatu sertipikat tanah.34 2.2.2 Perjanjian Nominee dalam Bidang Pertanahan Kepemilikan tanah di Indonesia diatur di dalam UndangUndang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, namun kekuatan dan kepenuhan dari hak milik tersebut dibatasi oleh fungsi social atas tanah sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 6 UUPA, yang berarti bahwa kepemilikan tanah tersebut tidak boleh merugikan kepentingan umum. Perkembangan selanjutnya tidak hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Menurut ketentuan pasal 8 ayat 1 (b) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, hak milik atas suatu tanah pun dapat diberikan kepada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan-badan hukum tersebut adalah Bank pemerintah, Badan keagamaan dan Badan Social yang ditunjuk oleh pemerintah. Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya. 34
Maria, SW, Sumardjono, op.cit, h.163.
42
Berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa Warga Negara Asing tidak boleh memiliki tanah di Indonesia. Apabila terjadi jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat atau perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik kepada warga negara asing, maka perpindahan hak milik kepada warga negara asing tersebut batal karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara, hal tersebut tersirat di dalam pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula apabila Warga Negara Asing tersebut memperoleh Hak Milik karena pewarisan atau percampuran harta karena perkawinan, maka Hak Milik atas tanah tersebut harus dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Jika setelah jangka waktu lampau , hak milik itu tidak dilepaskan maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, ketentuan tersebut tersirat dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Perkembangan dewasa ini banyak Warga Negara Asing yang menguasai tanah di Indonesia, terutama di daerah pariwisata Bali. Bali memiliki daya tarik berupa keindahan alam, adat, seni, dan budaya, yang mengundang warga negara asing untuk tinggal di Bali dan menguasai bidang tanah di Bali. Cara yang ditempuh yaitu
menggunakan perjanjian nominee,
dengan mendaftakan
kepemilikan tanah tersebut atas nama Warga Negara Indonesia yang ditunjuk sebagai nominee. Perjanjian nominee yang dibuat antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia tersebut mengandung upaya pengelakan hukum.
43
Upaya tersebut dikaitkan dengan pengelakan ketentuan larangan pengalihan Hak Atas Tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Pengelakan hukum tersebut tidak dapat dikatakan melanggar ketentuan UndangUndang yang berlaku.
44