BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA
A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai Kata perdamaian artinya penghentian permusuhan, tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan. 7 Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace, tranquility. Berdamai dipadankan dengan kata be peaceful, be on good terms. Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve, peacefully. 8 Dalam bahasa Belanda, kata dading diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata vergelijk dipadankan dengan kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara. 9 Perdamaian merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Dalam
7
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Diolah Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 259 8 John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, Jakarta: PT.Gramedia, 1994, hlm. 129 9 Fockema Andrea, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1983, hlm. 87, hlm. 616
persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak menyelesaikanya sendiri tanpa melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula terjadi dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati, untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian. Pengertian perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Dalam perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan sebagian tuntutan mereka, demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta, karena perjanjian tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Akta perdamaian dapat di bagi dua sebagai berikut: 1.
Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk. Pasal 130 HIR menghendaki penyelesaian sengketa secara damai, pasal
tersebut berbunyi “jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka
pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka.” Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, bahwa segala perdamaian di antara pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 10 Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mentaati atau tidak melaksanakan isi yang tertuang dalam akta perjanjian perdamaian tersebut tersebut secara sukarela maka dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri, sehingga ketua pengadilan negeri memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Putusan tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, akta perdamaian adalah akta yang memuat isi 10
279-280
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.
kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 2.
Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim atau acta van dading. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “dading” adalah suatu perjanjian
(overeenkomst) yang tunduk pada Buku III KUH Perdata, dan oleh karenanya sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, alinea pertama, dading sebagai suatu perjanjian, asalkan dibuat secara sah (wettiglijk) mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang (strekken degenen die dezelven hebben aangegaan tot wet). Jadi, asalkan dading tersebut, sebagai suatu perjanjian, dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, dading hanya dapat dibatalkan atau ditarik kembali bilamana: a. Para pihak yang terikat oleh dading menyepakati pembatalan atau penarikan
kembali
kesepakatannya
tersebut
(met
wederzijdsche
toestemming). b. Atas dasar suatu alasan yang sah yang menurut undang-undang dinyatakan cukup untuk pembatalan atau penarikan kembali tersebut (uit hoofde der redenen welke de wet daartoe voldoende verklaart) (Pasal 1338 KUH Perdata, alinea kedua). Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah acta van dading dan acta van vergelijk. Kalangan para hakim lebih cenderung menggunakan acta van dading untuk akta perdamaian yang dibuat para pihak tanpa atau belum mendapat
pengukuhan dari hakim, sedangkan acta van vergelijk adalah akta yang telah memperoleh pengukuhan dari hakim. Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi subyek dari perjanjian perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1852, yang berbunyi “untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam perdamaian itu. Wali-wali dan pengampu-pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari bab ke lima belas dan tujuh belas dari buku ke satu kitab undang-undang ini. Kepala-kepala daerah yang bertindak sebagai demikian begitu pula lembaga-lembaga umum tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan acara-acara yang ditetapkam dalam perundang-undangan yang mengenai mereka.” Obyek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Adapun obyek perjanjian perdamaian adalah: 1) Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan. 2) Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. Pasal 1851 KUH Perdata, perdamaian yang diadakan di antara para pihak harus dibuatkan dalam bentuk tertulis, sehingga dapat di simpulkan bahwa bentuk
tertulis dari perjanjian perdamaian yang dimaksudkan undang-undang adalah bentuk tertulis yang otentik yaitu yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, yang dalam hal ini adalah notaris. Perjanjian perdamaian secara tertulis ini dapat dijadikan alat bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim (pengadilan), karena isi perdamaian telah mempunya kekuatan hukum yang tetap. Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak. Perdamaian yang tidak diperbolehkan adalah: a) Perdamaian tentang telah terjadinya kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perkara. b) Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan atau paksaan. c) Perdamaian mengenai kekeliruan duduknya perkara tentang suatu alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas. d) Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. e) Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akan tetapi, jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.
f) Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hak itu. Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. 11 Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu memorandum of understanding yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. Perjanjian perdamaian tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam Pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”, dan meskipun tidak menyebut kata adat, Pasal 1.1.7 tentang pembentukannya lembaga wali nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses, revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk meng implementasikan memorandum of understanding helsinki, pemerintah indonesia
11
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 94
telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang lembaga wali nanggroe dan memposisikan wali nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di aceh. Bab XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan 12 Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus di bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat agar tersedianya mekanisme perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara, proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah proses damai. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun jika penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan 12
Juniarti, Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal, Badan Litbang Pusat Analisis Perubahan Sosial (PASPAS) Aceh, hlm. 2451
anak dalam proses penyelesaian perkara tersebut merupakan suatu keharusan sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan untuk menerima sebuah keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut mesti berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang dituangkan dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan agar pelaku tidak lagi melakukan tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara berulang maka pemangku adat harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk melaporkan perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut. Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau korbannya adalah perempuan, seperti perkelahian antar perempuan atau pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga maka laporan tersebut dapat saja disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh perempuan setempat, dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat bahwa penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan, namun jika langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua lakilaki, maka pemangku adat harus menyerahkan perkara tersebut kepada istriistrinya atau tokoh perempuan agar melakukan penanganan awal. Upaya ini menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan untuk perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat membantu untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan persoalan yang bersifat sangat pribadi akan lebih nyaman dilakukan sesama
perempuan. Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian perkara, maka keterlibatan perempuan di dalamnya proses persidangan dan keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas. Jika tidak ada perempuan dalam struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan yang menjadi korban pada saat persidangan di lakukan. 13 Jadi dapat disimpulkan perjanjian damai menurut adat dan kebiasaan adalah perjanjian persetujuan damai antara para pihak yang bersengketa yang didamaikan oleh pemangku adat setempat, dimana pihak yang bersengketa berjanji didepan pemangku adat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan mereka yang merugikan masing-masing pihak dan jika perbuatan tersebut di ulangi maka pemangku adat akan mengambil jalur hukum untuk menyelesaiakan perselisihan para pihak.
C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perdata. Perdamaian adalah suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 KUH Perdata). 14 Definisi lain dari perdamaian adalah persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya 13
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam, hlm. 21 14 Salim, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan, Cetakan Ke-8, Jakarta: Sinar Gragika,2008, hlm. 92
suatu sengketa. Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut perjanjian formal dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat menurut suatu formalitas tertentu. 15 Oleh karena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara. Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya. 16 Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Dari rumusan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perdamaian merupakan suatu perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan tujuan mengakhiri suatu perkara yang sedang dalam proses, atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Menurut Subekti, perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah. 17 Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam KUH Perdata Pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut empat unsur, yaitu: 1.
Adanya persetujuan kedua belah pihak.
15
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 177 Victor M. Situmorang, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 3 17 Subekti, Loc. Cit., hlm. 177-178 16
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama menyetujui dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam Pasal1320 KUH Perdata: a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming). b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid). c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp). d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah). Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap unsur, seperti kekeliruan/kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog). Sedangkan dalam Pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat dibatalkan jika terjadi kekhilafan mengenai orangnya, dan mengenai pokok yang diperselisihkan. Kemudian dalam Pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalah pahaman perdamaian, seperti kesalahpahaman tentang duduknya perkara, dan kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal. 2.
Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa. Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang
sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan. 3.
Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang dalam bentuk tertulis.
Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus bersifat tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan perjanjian perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian, yakni putusan perdamaian dan akta perdamaian. 4.
Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara (sengketa). Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa,
karena menurut Pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan dan sudah nyata wujud dari persengketaan perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan. Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perdamaian, namun dalam Pasal 1852 KUH Perdata telah ditentukan orang yang berwenang untuk melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk melakukannya adalah para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam buku kesatu KUH Perdata, dan kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga hukum. Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Objek perjanjian perdamaian adalah mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian sekali-
kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya, sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. 18 Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah “dading” dalam praktik hukum acara perdata, yakni persetujuan dalam perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan kepada Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG dan Pasal 1851 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini hanya memuat kewajiban bagi hakim untuk mengadakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memulai memeriksa pokok perkara. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak dijelaskan secara rinci tentang mekanisme perdamaian yang harus dilaksanakan oleh hakim, hanya disebutkan bahwa dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak, terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara. Sebenarnya kata-kata ini kurang tepat sebab pada permulaan sidang umumnya para hakim belum mengetahui secara pasti bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya dan baru diketahuinya apabila pemeriksaan sudah berjalan, disinilah hakim baru mempunyai gambaran yang jelas tentang duduknya 18
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 92
perkara dalam sengketa yang disidangkan. Pada saat itulah, waktu yang tepat untuk mendamaikan kedua belah pihak, hal ini dapat dilaksanakan secara terus menerus sebelum perkara itu diputus sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 31 RV. Oleh karena mekanisme dan teknik usaha perdamaian tersebut diserahkan kepada hakim yang bersangkutan, maka berhasil atau tidaknya usaha perdamaian tersebut dengan sendirinya akan tergantung pada usaha maksimal dari hakim yang bersangkutan. Hakim yang menyidangkan perkara itu harus berusaha semaksimal mungkin agar para pihak mau berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung. Tidaklah cukup bila hakim yang menyediakan perkara itu hanya sekedar menanyakan kesediaan berdamai kepada masing-masing pihak. Bila hakim tersebut aktif memberikan motivasi kepada para pihak yang berperkara, maka besar kemungkinan usaha perdamaian itu akan berhasil mencapai kesepakatan. Jika damai berhasil dilaksanakan maka dibuat akta damai yang selanjutnya bila para pihak memerlukannya dapat ditetapkan sebagai putusan perdamaian yang mengikat para pihak seperti putusan yang telah inkrah. Dalam melaksanakan usaha damai persidangan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan oleh hakim dalam melaksanakannya antara lain: 1.
Harus ada persetujuan kedua belah pihak Kedua belah pihak yang bersengketa hendaknya menyetujui secara
sukarela untuk mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan. Persetujuan sukarela itu timbul dari kehendak yang murni kedua belah pihak yang bersengketa bukan kehendak sepihak atau karena kehendak hakim. Dalam kaitan
ini berlaku sepenuhnya Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kata sepakat secara sukarela antara kedua belah pihak, cara membuat persetujuan itu objek persetujuan mengenai hal tertentu dan didasarkan alasan yang diperbolehkan atau causa yang halal. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam persetujuan damai yang dibuat itu tidak boleh ada cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Dalam persetujuan itu tidak boleh terkandung unsur-unsur kekeliruan, paksaan dan penipuan. Apabila suatu persetujuan yang dibuat itu mengandung cacat formil, maka berdasarkan Pasal 1859 KUH Perdata, persetujuan damai yang dibuat itu dapat dibatalkan apabila terjadi kekhilafan mengenai orangnya atau pokok yang diperselisihkan. Demikian juga tentang faktor kesalahfahaman sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1860 KUH Perdata, yaitu salah paham mengenai duduknya perkara atau kesalahan dalam menentukan atas hak yang batal dapat merupakan alasan yang membatalkan putusan perdamaian. 2.
Putusan perdamaian harus mengakhiri sengketa Apabila perdamaian terjadi, maka perdamaian yang sudah terjadi itu harus
mengakhiri semua sengketa menyeluruh dan tuntas. Bila tidak tuntas dan tidak menyeluruh semua objek yang disengketakan maka persetujuan damai itu tidak memenuhi syarat formil sahnya suatu putusan perdamaian. Apabila pelaksanaan damai dilaksanakan secara menyeluruh dan tuntas, dikhawatirkan di kemudian hari di antara kedua belah pihak yang berperkara akan mengalami sengketa yang sama untuk diselesaikan di pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum. Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan majelis hakim itu harus betul-
betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara para pihak yang berperkara secara tuntas dan harus betul-betul mengakhiri sengketa secara keseluruhan. Agar putusan perdamaian itu sah dan mengikat para pihak yang berperkara, maka putusan perdamaian itu dibuat dengan sukarela dan formulasi perdamaian itu bagi para pihak. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik maka peranan hakim sangatlah menentukan dalam mengajak para pihak untuk berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan. 3.
Perdamaian atas sengketa yang telah ada Dalam Pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa syarat untuk dapat
dijadikan dasar suatu putusan perdamaian adalah sengketa para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa isi Pasal 1851 KUH Perdata, bahwa perdamamain itu dapat lahir dari suatu sengketa perdata yang sedang diperiksa di pengadilan maupun yang belum diajukan ke pengadilan, atau perkara yang sedang tergantung di pengadilan sehingga persetujuan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara di pengadilan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan perdamaian itu hanya terjadi dalam sengketa perdata dan persengketaannya secara nyata telah terwujud secara resmi. Format perdamaian yang diajukan kepada pengadilan dapat dibuat bentuk akta notaris atau juga akta di bawah tangan.
4.
Bentuk perdamaian harus tertulis Dalam Pasal 1851 KUH Perdata juga dikemukakan bahwa persetujuan
perdamaian itu sah jika dibuat secara tertulis. Syaratnya adalah imperatif tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan di hadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian harus dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Sesuai tahap dibuatnya persetujuan perdamaian, dikenal 2 (dua) macam bentuk persetujuan: a.
Bentuk putusan perdamaian Dikatakan persetujuan perdamaian berbentuk putusan perdamaian apabila terhadap persetujuan dituangkan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini perselisihan antara kedua belah pihak sudah diajukan ke pengadilan berupa gugatan perdata. Apabila para pihak sepakat berdamai, persetujuan perdamaian yang dibuat dimintakan kepada hakim untuk menjadi acuan putusan pengadilan. Tidak menjadi soal apakah persetujuan itu tercapai sebelum atau sesudah perkara itu diperiksa pengadilan di persidangan. Pada dasarnya para pihak boleh meminta putusan perdamaian pada saat permulaan pemeriksaan, pertengahan atau pada akhir pemeriksaan. Hakim yang dimintakan untuk menjatuhkan putusan perdamaian haruslah terlebih dahulu memperhatikan adanya persetujuan perdamaian yang dirumuskan dalam suatu akta, dan persetujuan perdamaian itu tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari pokok perkaranya. Meskipun yang merumuskan materi isi persetujuan perdamaian adalah inisiatif para pihak, namun tidaklah mengurangi peran hakim untuk memberikan bantuannya. Hakim dapat
memberikan petunjuk dan dapat berperan sebagai pendamping ketika isi persetujuan dirumuskan. Adalah penting untuk diperhatikan hakim ada tidaknya tanda tangan kedua belah pihak dibubuhkan dalam akta persetujuan yang
dibuat.
Sekiranya
didapati
salah
satu
pihak
enggan
untuk
menandatangani, hakim haruslah menolak permintaan putusan perdamaian, dan melanjutkan pemeriksaan perkaranya. Apabila ternyata para pihak telah bersama-sama menandatangani akta persetujuan dan isi persetujuan perdamaian itu tidak menyimpang dari pokok perkara yang dipersengketakan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan perdamaian dengan mengambilalih sepenuhnya isi persetujuan dan dictum atau amar putusan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian. b.
Berbentuk akta perdamaian Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. 19 Jika persetujuan perdamaian terjadi tanpa campur tangan hakim disebut persetujuan dalam bentuk akta perdamaian. Apabila yang disengketakan para pihak sudah atau belum diajukan sebagai gugatan kepengadilan. Misalnya sengketa sudah diajukan sebagai gugatan ke pengadilan, lalu campur tangan hakim para pihak menghadap notaris membuat persetujuan damai dalam bentuk akta perdamaian dan dengan adanya akta perdamaian itu para pihak mencabut perkaranya dari pengadilan dan tidak meminta persetujuan itu dikukuhkan dengan putusan pengadilan.
19
Ibid.
Putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan eksekutorial, dan sewaktu-waktu masih terbuka hak para pihak untuk mengajukan sebagai gugatan perkara. Seperti telah dikemukakan terdahulu pada putusan perdamaian melekat kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Dari bunyi Pasal 1858 KUH Perdata demikian pun dari isi Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBG dapat ditarik kesimpulan: 1) Putusan perdamaian disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya hukum baik banding maupun kasasi dan peninjauan kembali, hal ini sejalan dengan pengertian yang melekat pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Suatu putusan disebut sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat diajukan banding atau kasasi. 3) Dalam putusan perdamaian melekat kekuatan hukum mengikat para pihak atau kepada orang yang memperoleh hak dari mereka. Para pihak tidak dapat membatalkan putusan perdamaian secara sepihak, dan para pihak wajib mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi putusan perdamaian. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Nopember 1976 No. 1245.K/Sip/1974 bahwa ”pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta
tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Uraian tersebut di atas menunjukkan apabila ternyata salah satu pihak mengingkari isi putusan perdamaian, maka pihak yang lain dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri, supaya pihak yang inkar itu dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, dan jika perlu dapat diminta bantuan alat negara. Dalam hal ini semua ketentuan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian. 20
D. Perjanjian Damai Dalam HIR/RBG Hukum acara perdata yang berlaku dalam perjanjian damai diatur baik dalam Pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. Dalam ketentuan Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak, meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta perdamaian yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, dan perdamaian diluar persidangan dengan terlebih dahulu mencabut gugatan (tidak mengikat karena hanya sebagai persetujuan dan dapat diajukan gugatan kembali). Jika pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka. Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR/ RBg. Untuk keperluan 20
Mahyuni, Lembaga Damai Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 16 Oktober 2009, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkuran Banjarmasin, 2009, hlm. 543
perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan dan usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan. Dalam hal perdamaian gagal, maka hakim akan melanjutan proses pemeriksaan perkara dengan pemeriksaan perkara biasa, namun hakim dalam setiap lanjutan persidangan harus tetap mengupayakan proses perdamaian.
E. Perjanjian Damai Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 21 Tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum, yang dimana hakim dalam 21
Pasal 1Ayat 6 Dan 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara tersebut telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator yang bersangkutan. 22 Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak pengggugat melalui uang panjar biaya perkara. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan. Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah. 23 Tahapan pra mediasi dalam hukum acara perdata menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dimana terdapat kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum, yakni: 1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. 2. Ketidak hadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. 3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
22 23
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa. 7. Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut. 24 Setelah adanya tahap pra mediasi ini, maka akan dilakukan tahap selanjutnya adalah mediasi antara kedua belah pihak yang dimediatori oleh hakim maupun non hakim. Tahapan mediasi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. b. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. c. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6). d. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.
24
Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
e. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. f. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. 25 Setelah dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut berhasil maka dibuatlah akta atau putusan perdamaian untuk bukti perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/ Pasal 155 RBg). Khusus untuk gugatan perceraian, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut, apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang tertutup untuk umum.
25
Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008