16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian pada Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwasanya “Tidak menggunakan kata perjanjian melainkan persetujuan, persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Setiawan,rumusan pada Pasal 1313 KUHPerdata, di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. 7 Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, ialah: 1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum 2. Menambah perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga perumusannya menjadi “Perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
7
Setiawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan,(Jakarta:Bina Cipta,1987) , hal 49
16
17
Demikian
halnya
menurut
Suryodiningratbahwa
defenisi
Pasal
1313KUHPerdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut: 8 a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan. b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan misalnya perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum. c. Defenisi Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi misalnya schenking atau hibah. Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi. d. Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya perjanjian liberatoir atau membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian) Terhadap
defenisi
Pasal
1313
KUHPerdata
ini
Purwahid
Patrikmenyatakan beberapa kelemahan yaitu : 1) Defenisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang
8
R.M. Suryodiningrat,Azas-azas Hukum Perikatan,(Bandung:Tarsito,1985),hal 72
18
maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangan yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri” 2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum 3) Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht). 9 Terhadap pengertian perjanjian terdapat beberapa pendapat sarjana, antara lain: a) Sri Soedewi Masychoen Sofwan “Bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”. 10 b) R.Wirjono Prodjodikoro “Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 11
9
Purwahid Patrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan, (Bandung:Mandar Maju,1994), hal 45 AQirom Syamsudin Meliala,Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,(Yogyakarta:Liberty,1985),hal 7 11 R Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Hukum Perjanjian Cetakan VII,(Bandung:Mandar Maju,2000), hal 4 10
19
c) R. Subekti “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Beliau juga mengatakan bahwa suatu perjanjian itu dinamakan juga oersetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”. 12 d) KRMT Tirtodiningrat “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-undang”. 13 e) M.Yahya Harahap “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih. Yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan juga sekaligus mewajibkan para pihak yang lain untuk menunaikan prestasinya”. 14 Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertianperjanjian diatas dapat dikatakan bahwa perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 15Dan sesuatu hal tersebut dapat menimbulkan atau meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada yang bersangkutan atau yang terlibat dalam perjanjian tadi, yaitu satu pihak menerima 12
R.Subekti (1),Hukum Perjanjian Cetakan XIII,(Jakarta:Intermasa,1990),hal 1 AQirom Syamsudin Meliala,Loc.cit 14 M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,(Bandung:Alumni,1986),hal 6 15 R.Subekti (1),Op.cit,hal 1 13
20
atau menuntut prestasi dari pihak yang lainnya.Sedangkan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sehingga menjadi jelaslah apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, karena mereka telah melakukan perjanjian sebelumnya. 16
B. Syarat Sahnya Perjanjian Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 17 Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam KUHPerdata (Hukum Perjanjian) kebebasan ini adalah merupakan pancaran hak azasi manusia.Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham individualisme, yang secara embrional lahir pada zaman Yunani, kemudian diteruskan oleh kaum Epicursten dengan perantara ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, dan John Locke,puncak perkembangannya tercapai pada periode setelah revolusi Perancis. 18 Pada Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu
16
M.Yahya Harahap,Op.cit,hal 6 R.Subekti(1),Op.cit, hal 13 18 Mariam Darus Badrulzaman(1),Kompilasi Hukum Perikatan,(Bandung:Citra Aditya Bakti,2001), hal 84 17
21
perjanjian itu berlaku sah. Adapun keempat syarat itu dapat dibagi ke dalam dua kelompokmeliput i: 19 1. Syarat subjektif Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian dimana hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. a. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya Kata sepakat disini ialah bila kedua belah pihak mengadakan perjanjian telah tercapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak lainnya juga. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan sesuai dengan Pasal 1321,1322,1328KUHPerdata Pada Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa, tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat manakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu. Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting
19
Ibid, hal 98
22
barang yang menjadi obyek perjanjian atau dengan siapa diadakannya perjanjian itu. Pada Pasal 1328 KUHPerdatadinyatakan bahwa, tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu.Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui atau sepakat.Apabila syarat pertama ini tidak dipenuhi maka suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada.Karena sesuai dengan asas konsensualisme itu sendiri, berasal dari perkataan konsensus yang berarti kesepakatan, yang telah menjiwai hukum perjanjian dalam KUHPerdata. Walaupun syarat kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah dipenuhi, mungkin terdapat suatu kehilafan dimana suatu perjanjian yang telah terjadi itu, pada dasarnya ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki sesuatu yang sama akan tetapi tidak. Keadaan ini kita jumpai bilamana terjadi kehilafan.Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat dibatalkan.Kata sepakat mungkin pula diberikan karena penipuan, paksaan, atau kekerasan.Dalam keadaan inipun mungkin diadakan pembatalan oleh Pengadilan atau tuntutan dari orang-orang yang berkepentingan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Cakap merupakan suatu syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan
23
tertentu.20 Pada umumnya seorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa. Di dalam KUHPerdataPasal 330 dinyatakan bahwasanya “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin.” 21. Di dalam KUHPerdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang di taruh dibawah pengampuan, dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tersebut.Jika terjadi salah satu pihak seperti diatas, salah satu pihak tidak cakap untuk membuat perjanjian.Maka perjanjian itu bercacat, karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian itu.Sebaliknya orang yang berhak meminta pembatalan perjanjian
itu
juga
dapat
dilakukan
dengan
menguatkan
perjanjian
tersebut.Perjanjian itu dapat dilakukan dengan tegas ataupun secara diam-diam tergantung dari keadaan. Hal ini diatur sesuai Pasal 1330 KUHPerdata. Orang yang cakap adalah yang telah berumur 21 Tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin.Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.Mengenai hal ini dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat
20
H.Riduan Syahrani,Seluk beluk dan Azas-azas Hukum Perdata,(Bandung:Alumni,2006), hal 208 21 R.Subekti & R.Tjitrosudibio (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata Cetakan 31, (Jakarta:Gramedia,2001), hal 90
24
bertindak bebas dalam melakkan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka Pengadilan tanpa seiji suami. Maka sejak saat itu juga beberapa
pasal
dalam
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
sudah
dinyatakantidak berlaku lagi, antara lain Pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan Pasal 1238 KUHPerdata.22 2. Syarat objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, dimana hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kalau dengan syarat subjektif, jika suatu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPerdata) artinya dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. 23 Sedangkan apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain batal dengan sendirinya. Kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai diadakannya pembatalan itu.Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum ini berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian memang ada tetapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.
22 23
A Qirom Syamsudin Meliala(1),Op.cit, hal 9 R.Subekti(1),Op.cit,hal20
25
a. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu maksudnya adalah sedikit-dikitnya macam atau jenis benda
atau
disebut
sebagai
objek
dalam
perjanjian
itu
yang
sudah
ditentukan.Barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barangbarang yang dapat diperdagangkan.Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan sehingga tidak bisa dijadikan objek perjanjian dikarenakan barang-barang tersebut merupakan milik Negara dan peruntukannya bagi masyarakat atau kepentingan umum.Hal ini diatur dalam Pasal 1332 KUHPerdata. Barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan, selanjutnya bahwa ditentukan barang-barang yang baruakan kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.Misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan. Perjanjian mengenai suatu barang yang akan diterima kelak (hasil panenan) diperkenankan.Hal ini diatur dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata.
b. Suatu sebab yang halal Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri, sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.Tiap-tiap perjanjian yang dibuat adalah sah apabila telah
26
memenuhi syarat ini.Apabila salah satu syarat atau lebih syarat itu tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut tidak sah sehingga akibat-akibat hukumnya pun sebagaimana dimaskudkan tidak terjadi pula.Pada Pasal 1337 KUHPerdata dinyatakan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata)
C. Azas-azas Perjanjian 1. Azas konsensualitas Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak.Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil tetapi cukup melalui konsensus belaka. 2. Azas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst) Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang akan mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat 3. Azas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid) Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut
27
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan. 24 Mariam Darus Badrulzaman memberikan penjelasan mengenai azas kebebasan berkontrak mengatakan: “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas essential dari hukum perjanjian. Azas ini dinamakan juga dengan azas ekonomi “konsensualisme” yang menentukan adanya (raison d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian. 25 Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang dari faham individualisme, yaitu setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Paham individualisme memberikan perluang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan yang lemah (ekonomi).Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah.Pihak yang lemah berada dalam cengkraman pihak yang kuat. Pada akhir abad XIX, akibat desakan faham-faham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan, akhirnya kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relative dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Karena hukum perjanjian itu mengikuti azas kebebasan mengadakan suatu perjanjian, oleh karena itu maka disebut pula menganut sistem terbuka. Pada Pasal 1338 (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa: “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Azas kebebasan seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat 24
Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi (Bandung:Citra Aditya Bakti,2006), hal 95 25 Mariam Darus Badrulzaman (1),Op.cit, hal 83
Hukum
Perjanjian
Indonesia,
28
perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang sebagaimana disebut dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
4. Azas iktikad baik Pasal 1338 (3) KUHPerdatadinyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad baik(te goerder trouw; god faith) perundang-undangan tidak memberikan defenisi yang tegas dan jelas. iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik). 26Pengaturan pada Pasal 1338 (3) KUHPerdataini menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya
perjanjian
itu
dilaksanakan
menurut
kepatutan
dan
keadilan.Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari.Menurut Hoge Raad 27memberikan rumusan bahwa perjanjian harus dilaksanakan “volgen de eisen van redelijkheid en billijkheid” artinya iktikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. P.L.Werry menerjemahkan “redelijkheid en billijkheid” dengan istilah budi dan kepatutan beberapa terjemahan lain menggunakan istilah kewajaran dan keadilan atau kepatutan dan keadilan. 28 Iktikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi (relatif-subjektif) dan mutlak (absolut-objektif).Pada iktikad baik yang nisbi (relatif-subjektif), 26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 369 P.L.Werry,Perkembangan Hukum Tentang Iktikad Baik,(Jakarta:Percetakan Negara RI,1990), hal 9 28 R Subekti(2),Pokok-pokok Hukum Perdata,(Jakarta:Intermasa,1982), hal 139 27
29
orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek.Pada iktikad baik yang absolut (absolut-objektif) atau hal yang sesuai dengan akal sehat dankeadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif). 29 Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu: a) Iktikad baik pada mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang bagi pihak yang tidak beritikad baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 (1) dan Pasal 1963 KUHPerdatadimana terkait dengan salah satu syarat untuk memproleh hak milikatas barang melalui daluwarsa. Iktikad bak ini bersifat subjektif dan statis. b) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana di atur dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata adalah bersifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak,yaitu tindakan sebagai pelaksana sesuatu hal. 30 Beranjak dari pendapat Wirjono Prodjodikoro maka pengertian iktikad baik menurut Pasal 1338 (3) KUHPerdatahendaknya dibedakan dengan pengertian 29 30
Agus Yudha Hernoko,Op.cit, hal 137 R Wirjono prodjodikoro, Op.cit, hal 56
30
iktikad baik menurut Pasal 1963 KUHPerdatadan Pasal 1977 (1) KUHPerdata. Pengertian ktikad baik menurut Pasal 1338 (3) KUHPerdatadiberikan batasan dalam arti objektif-dinamis, sedangkan pengertian iktikad baik menurut Pasal 1963 KUHPerdatadan 1977 (1) KUHPerdatadiberikan batasan arti subjektif-statis. Pengertian iktikad baik menurut Pasal 1963 KUHPerdataadalah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Iktikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan iktikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan sifat statis. Demikian pula dengan pengertian iktikad baik dalam Pasal 1977 (1) KUHPerdataterkait dengan cara pihak ketiga memperoleh suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat kepemilikan tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Dalam
kaitan
dengan
penerapan
iktikad
baik
menurut
Pasal
1977
(1)KUHPerdatasering iktikad baik tersebut diartikan tidak tahu dan tidak harus tahu 31, maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini dapat dimaafkan menurut kepatutan dan kelayakan. Misalnya apabila seseorang membeli sayur di pasar sayur atau membeli buah di kios buah-buahan, maka ketidaktahuan akan adanya cacat kepemilikan yang dilakukan pembeli dapat dimaafkan dan sebagai konsekuensinya kepemilikan terhadap benda yang dibeli tersebut dilindungi oleh hukum. Mengapa demikian, karena seseorang yang membeli sayur atau buah di tempat yang lazim dimana barang tersebut
31
P.L.Werry,Op.cit, hal 10
31
diperjualbelikan, akan senantiasa beranggapan bahwa ia berhadapan dnegan orang yang berhak berbuat bebas untuk memperjualbelikan barang tersebut (meskipun hal ini ternyata tidak selalu terbukti benar). Sementara
itu
perngetian
iktikad
baik
dalam
Pasal
1338
(3)
KUHPerdatayang berarti melaksanakan perjalanan dengan iktikad baik adalah bersifat dinamis artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seoarang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. Fungsi iktikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdataantara lain: a) Fungsi yang mengajarkan bahwa kontrak harus ditafsirkan menurut iktikad baik (iktidak baik sebagai azas hukum umum) artinya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar. 32 b) Fungsi menambah atau melengkapi artinya iktikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. Dalam perkara pelaksanaan kontrak penanggungan yang mewajibkan kreditor untuk memerhatikan iktikad baik dalam pelasanaan kontrak. 33
32
Ibid, hal 230 Ridwan Khairandy,Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,(Jakarta:FH UI Pascasarjana,2003), hal 216 33
32
c) Fungsi membatasi atau meniadakan artinya fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting. 34 Beranjak dari pemahaman mengenai iktikad baik, kiranya dalam menjalankan aktivitasnya pelaku bisnis tidak boleh merugikan pihak lain, serta tidak memanfaaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian kontrak tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak, namun hakim dapat melakukan intervensi terhadap kebebasan berkontrak parapihak dengan mendasarkan pada azas iktikad baik, menafsirkan isi kontrak di luar kata-kata yang telah tercantum (boleh ditambah,diperluas), bahkan isinya dapat ditetapkan secara bertetangan dengan kata-kata itu. Oleh karenanya, kontrak tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak, melainkan juga oleh keadilan dan iktikad baik. Dalam dunia bisnis, iktikad baik yang berkolerasi dengan keadilan akan menjadi keniscayaan apabila diterapkan secara proporsional. 35
5. Azas PACTA SUN SERVANDA Azas pacta sun servandaini merupakan azas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti undangundang maksudnya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka seperti undang-undang. Jadi dengan demikian maka pihak
34 35
J.Satrio,Hukum Perjanjian,(Bandung:Citra Aditya Bakti,1992), hal 189 R.M. Suryodiningrat,Op.cit, hal 12
33
ketiga tidak bisa mendapatkan kerugian karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaskudkan untuk pihak ketiga. Maksud azas pacta sun servanda ini dalam suatu perjanjian tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Azas pacta sun servanda dalam suatu perjanjian yang mereka buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Menurut Subekti, bahwa tujuan azas pacta sun servanda ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada pera pembeli bahwa mereka tidak perlu khawatir akan hakhaknya karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 36
6. Azas konsensuil Azas konsensuil ini adalah dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formil. Syarat sahnya suatu perjanjian bahwa harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu.Azas ini penting sekali dalam suatu perjanjian, sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak detik tercapainya kata sepakat.Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat itu.Sebagai contoh apabila saya ingin membeli barang, bila saya dan pemilik barang itu sudah tercapai kata sepakat, baik mengenai barang dan harga barang, maka perjanjian jual beli itu sudah lahir dengan segala akibat hukumnya.
36
A Qirom Syamsudin Meliala,Op.cit, hal 20
34
Azas konsensuil dapat kita lihat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwasanyauntuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Jadi karena dalam Pasal 1329 KUHPerdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulakn bahwa setiap perjanjian itu adalah sah dalam arti mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan itu. Terhadap azas konsesualitas ini ada pengecualiannya yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut seperti misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis.Perjanjian ini dinamakan perjanjian formal.
7. Azas berlakunya suatu perjanjian Maksud dari azas ini adalah bahwa suatu perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Jadi pada azasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga dan pihak ketiga pun tidak bida mendapatkan keuntungan karena adanya
35
suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang misalnya perjanjian garandi dan perjanjian untuk pihak ketiga. Azas ini diatur dalam Pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata yang dinyatakan bahwasanya: “pada ummnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Jadi para prinsipnya bahwa perjanjian itu hanya berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan saja, selain perjanjian garansi atau perjanjian untuk pihak ketiga, yang dimaksud dengan perjanjian garansi dan perjanjian untuk pihak ketiga ini dapat kita lihat dalam Pasal 1317 dan 1316 KUHPerdata. Pasal 1317 dinyatakan
bahwa,
“lagipun diperbolehkan juga untuk
meminta untuk
ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya, atas suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain,membuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.” 37 Sebagai contoh perjanjian untuk pihak ketiga: misalnya saya menjual satu unit mobil kepada si A dengan perjanjian bahwa selama satu bulan mobil itu boleh dipakai lebih dahulu oleh si B. Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata itu merupakan perkecualian dari azas berlakunya suatu perjanjian.
37
Ibid, hal 22
36
Disamping pasal ini, masih ada lagi yang merupakan pengecualian dari azas tersebut yaitu 1316 KUHPerdata dinyatakan bahwa, “ meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seseorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti kerugian terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau orang yang telah berjanji untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak itu menolak memenuhi perikatannya.” Contoh lain: A sebagai penerbit wesel mengadakan perjanjian dengan B sebagai pengambil wesel, dalam perjanjian ini A berjanji kepada B bahwa orang ketiga dalam hal ini yaitu si C sebagai si tersangkut akan mengakseptasi dan membayar wesel tersebut pada hari gugur. Dalam hubungan ini tampak bahwa si C tidak akan memikul kewajiban apa-apa terhadap B. andaikata C tidak melakukan kewajibannya. Jadi perjanjian yang diadakan oleh si A dan B tidak menimbulkan kewajiban bagi si C.
D. Jenis-jenis Perjanjian Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Apabila ditinjau dari segi prestasinya, maka perjanjian dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: 1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang Misalnya jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, penghibahan (pemberian).
37
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu Misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garasi rumah, dan sebagainya 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain 38 Selain perjanjian diatas, perjanjian dapat lagi apabila ditinjau dari segi isi dan subjek daripada prestasinya perjanjian tersebut dibuat. Beberapa jenis perjanjian tersebut adalah: 1. Perjanjian positif dan negatif Perjanjian positif dan negatif adalah pembagian perjanjian ditinjau dari segi isi prestasi yang harus dilaksanakan. Suatu perjanjian disebut positif apabila pelaksanaan prestasi yang dimaksudkan dalam isi perjanjian merupakan tindakan positif, baik berupa memberi/menyerahkan sesuatu barang atau melaksanakan sesuatu perbuatan (te doen). Sedangkan sesuatu perjanjian disebut negatif apabila prestasi yang menjadi maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan negatif atau persetujuan yang berupa tidak melakukan sesuatu (niet te doen)39
2. Perjanjian sepintas lalu dan yang berlangsung terus Disebut perjanjian sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung sekaligus dalam waktu yang singkat dan dengan demikian perjanjian pun berakhir, yang paling jelas dalam contoh perjanjian itu adalah perjanjian jual beli, yaitu 38 39
R Subekti(3), Aneka Perjanjian,(Bandung:Citra Aditya Bakti,1995), hal36 M Yahya Harahap, Op.cit, hal 34
38
perjanjian akan berakhir sekejap setelah barang yang dibeli diserahkan dan harga disetujui telah dibayar. Lain halnya dengan perjanjian yang berlangsung terus, dimana kewajiban pemenuhan dan pelaksanaan prestasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama.Sebagai contoh misalnya perjanjian kerja.Kewajiban prestasi yang berlangsung lama sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. 40
3. Perjanjian alternatif Penggolongan perjanjian alternatif ini didasarkan pada segi isi dan maksud perjanjian maupun dari segi subjek.Dalam perjanjian alternatif, debitur dalam memenuhi kewajibannya melaksanakan prestasi, dapat memilih salah satu di antara prestasi yang telah ditentukan. Hal yang memudahkan kita mengetahui apakah suatu perjanjian bersifat alternatif,apabila dalam perjanjian itu terselip pengertian “atau”. Dalam perjanjian ini, debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima prestasi dari satu bahagian dan selebihnya dari bahagian lain, jika hal itu tidak ditentukan secara tegas dalam perjanjian.
4. Perjanjian kumultatif atau konjungtif Kalau dalam alternatif debitur diberi kebebasan memilih prestasi maka yang akan dipenuhinya, maka di dalam perjanjian kumultatif, prestasi yang dibebankan terhadap debitur terdiri dari bermacam-macam jenis dan prestasi tersebut dibebankan sekaligus. Oleh karena itu perjanjian kumultatif berbeda
40
Ibid
39
dengan perjanjian alternatif. Memang di dalam perjanjian alternatif ditentukan beberapa prestasi, tetapi debitur dapat memilih atau terserah satu saja yang dilaksanakannya
5. Perjanjian Fakultatif Perjanjian fakultatif berbeda dengan perjanjian alternatif dan perjanjian kumultatif.Kalau dalam perjanjian alternatif debitur diberi hak bebas memilih prestasi yang
hendak
dilaksanakannya.Maka
perjanjian
fakultatif hanya
mempunyai satu objek prestasi.Di dalam perjanjian fakultatif, debitur mempunyai hak untuk mengganti prestasi yang telah ditentukan dengan prestasi lain, apabila debitur tidak mungkin menyerahkan prestasi yang telah ditentukan semula. Dengan demikian dalam perjanjian ini seolah-olah ada prestasi “primair” dan “subsidair”, jika yang primair tidak mungkin dilaksanakan debitur, dia dapat menggantinya dengan prestasi subsidair. Sebagai contoh debitur diwajibkan menyerahkan rumah.Akan tetapi bila penyerahan tidak mungkin, prestasi itu dapat digantinya dengan sejumlah uang.Dengan penyerahan uang sebagai pengganti debitur telah melaksanakan prestasi dengan sempurna.
6. Perjanjian generik dan perjanjian spesifik Perjanjian genetik adalah perjanjian yang hanya menentukan jenis dan jumlah atau benda/barang yang harus diserahkan sebitur seperti yang diatur dalam Pasal 1392 KUHPerdata.Sesuai dengan ketentua pasal tersebut, pada perjanjian generik debitur dalam memenuhi kewajibannya guna membebaskan dirinya atas
40
pemenuhan prestasi, tidak berkewajiban untuk menyerahkan yang terbaik.Tetapi sebalinya, debitur tak boleh pula menyerahkan jenis yang terburuk. Lainnya dengan spesifik (Pasal 1391) yang ditentukan ialah hanya ciri-ciri khusus yang menjadi objek perjanjian sehingga jelaslah perbedaan yang dapat dilihat dari perjanjian genetikyang lebih cenderung ke jenis benda objek perjanjian dan perjanjian spesifik yang lebih mengarah ke ciri-ciri khusus dari bendanya.
7. Perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi Suatu perjanjian dapat dibagi adalah perjanjian yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu.Sedangkan perjanjian yang tidak dapat dibagi adalah perjanjian yang prestasinya tidak dapat dibagi.Soal dapat tidak dapat dibaginya prestasi itu tergantung pada sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perjanjian itu.Atau kriteria untuk membedakannya ialah apakah suatu perikatan itu ditinjau dari segi pengertian hukum dapat dibagi atau tidak. 41
8. Perjanjian tanggung-menanggung Perjanjian tanggung menanggung merupakan perjanjian yang lazim disebut dengan perjanjian tanggung renteng.Perjanjian tanggung menanggung adalah suatu perjanjian dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa
41
Mariam Darus Badrulzaman,Op.cit, hal 70
41
orang.Perjanjian tanggung menanggung diatur dalam Pasal 1749 dan 1836 KUHPerdata, serta Pasal 18 KUHDagang. Jika debiturnya terdiri dari beberapa orang maka tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi.Sedangkan jika krediturnya terdiri dari beberapa orang, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi.Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur, perjanjian menjadi hapus. 42
9. Perjanjian pokok dan tambahan Perjanjian pokok adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain, misalnya perjanjian peminjaman uang. Sedangkan perjanjian tambahan adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan daripada perjanjian pokok, misalnya perjanjian gadai dan hipotik. Perjanjian tambahan ini tidak akan dapat berdiri sendiri, tetapi bergantung pada perjanjian pokok, sehingga apabila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian tambahan ikut berakhir pula. 43
10. Perjanjian bersyarat Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan kepada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Apabila suatu perjanjian yang lahirnya digantungkan pada terjadi peristiwa itu 42 43
H.Riduan Syahrani,Op.cit, hal 216 Ibid
42
dinamakan perjanjian dengan syarat tangguh. Misalnya A berjanji memberikan buku-bukunya kepada si B kalau ia lulus ujian. Sedangkan apabila suatu perjanjian yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan pada peristiwa itu dinamakan perjanjian dengan syarat batal. Misalnya perjanjian sewa menyewa rumah antara A dan B yang sekarang sudah ada dijanjikan akan berakhir kalau A dipindahkan ke kota lain.
11. Perjanjian dengan ancaman hukuman Menurut Pasal 1304 Kitab Undang-undang Hukum PerdataAncaman hukuman adalah suatu ketentuan yang sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perjanjian diwajibkan melakukan sesuatu manakala perjanjian itu tidak dipenuhi.Maksudnya adalah untuk memastikan agar perjanjian itu benar-benar dipenuhi dan untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi, serta untuk menghindari pertengkaran tentang hal itu.Janji ancaman hukuman bersifat accesoir karena tergantung pada perjanjian pokoknya. Menurut Mariam Darus BadrulZaman, perjanjian dapat dibedakan menurut perbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut: 44 1.
Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.Misalnya perjanjian jual beli.
44
Mariam Barus Badrulzaman,Op.cit, hal 90
43
2.
Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian atas Beban Perjanjian dengan Cuma-cuma adalah perjanjian yang
memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja.Misalnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3.
Perjanjian Khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd) Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari, perjanjian khusus ini terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata. Diluar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat didalam masyarakat.Jumlah perjanjian ini tidak terbatas.Lahirnya perjanjian ini didalam praktek adalah azas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum perjanjian.Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4.
Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).
44
Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan masih diperlukan satu lembaga lain yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya sendiri itu dinmakan perjanjian obligatoir, karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.Penyerahannya sendiri adalah merupakan perjanjian perjanjian kebendaan.Dalam hal perjanjian jual beli benda-benda yang tidak bergerak, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara.Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir atau perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan. 5.
Perjanjian konsensual dan perjanjian riil Menurut Pasal 1338 KUHPerdata Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.Namun demikian di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.Misalnya perjanjian penitipan barang pada Pasal 1694 dan pinjam pakaipada Pasal 1740 KUHPerdata.Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.Perbedaan antara perjanjian konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum romawi yang untuk perjanjian-perjanjian tertentu diambil alih oleh Hukum Perdata kita.
6.
Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya
45
a) Perjanjian libertoir yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutan pada Pasal 1438 KUHPerdata
b) Perjanjian pembuktian yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c) Perjanjian untung-untungan yaitu perjanjian asuransi padaPasal 1744 KUHPerdata d) Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau keseluruhan dikuasai oelh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
E. Unsur-unsur Perjanjian Di dalam perkembangan, doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur didalam perjanjian, yaitu:45 1.
Unsur esensialia Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lahirnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, defenisi atau pengertian dari suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli dibedakan dari perjanjian tukar-menukar, karena jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah “suatu perjanjian dengan mana pihka 45
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaya,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2003), hal 84
46
yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”. Sedangkan tukar menukar menurut Pasal 1541 KUHPerdata adalah “suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain”. Dengan rumusan Pasal 1457 dan 1541 KUHPerdata dinyatakan bahwa jual beli dibedakan dari tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Selain itu dapat dikatakan bahwa seluruh ketentuan mengenai jual beli yang berhubungan dengan penyerahan kebendaan yang dijual atau dipertukarkan adalah sama. Jadi jelas bahwa unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur ini maka perjanjian yang dimaksud untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak.
2.
Unsur Naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli menghendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual beli dimana kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339
KUHPerdata yang dinyatakan bahwa
47
“perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”
3.
Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.Dengan demikian maka unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak misalnya dalam jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Menurut Mariam Darus BadrulZaman menambahkan bahwa Prestasi termasuklah kedalamunsur-unsur perjanjian.Jika isi perjanjian telah memenuhi keinginan dari para pihak yang mengikatkan diri, maka selanjutnya kedua belah pihak hanya menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing sesuai dengan isi perjanjian.Hal ini dinamakan dengan prestasi.Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam menjalankan suatu perjanjian.Prestasi atau yang dalam Bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum perjanjian dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan
48
dalam perjanjian yang bersangkutan. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdataadalah: 1.
Memberikan sesuatu;
2.
Berbuat sesuatu;
3.
Tidak berbuat sesuatu; 46
Sedangkan prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdatadapat berupa: 1. Benda Dapat diartikan dengan sesuatu barang yang merupakan kesepakatan para pihak di dalam melakukan suatu perjanjian misalnya perjanjian membeli barang 2. Tenaga/keahlian Dapat diartikan dengan perjanjian jasa, dimana salah satu pihak diwajibkan untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan keahliannya sebagaimana yang tertera dalam kontrak misalnya reparasi rumah atau mobil 47 3. Tidak berbuat sesuatu Dapat diartikan dengan menuntut sikap pasif salah satu pihak atau para pihak karena dia tidak diperbolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang telah diperjanjikan
46
Mariam Barus(1),Op.cit, hal 1 Ahmadi Miru(1),Hukum Kontrak dan Perancangan Hukum Kontrak,(Jakarta:Rajawali Pers,2010), hal 68 47
49
F. Hapusnya Perjanjian Kemungkinan suatu perjanjian yang sudah dibuat tapi tidak dapat dilaksanakan bahkan dihapuskan karena beberapa hal yaitu: 1. Keadaan memaksa (overmacht) Keadaan memaksa (overmacht) adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Dari batasan diatas dapat kita lihat adanya beberapa unsur dari overmacht atau keadaan memaksa ini, antara lain: a. Tidak dapat diduga-duga sebelumnya b. Di luar kesalahan debitur c. Menghalangi debitur untuk berprestasi d. Debitur belum lalai 48 Overmacht ada yang mutlak dan ada yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga sebaliknya dalam overmacht yang tidak mutlak pelaksanaannya masih dimungkinkan, hanya memerlukan pengorbanan yang besar dari debitur. Dengan demikian maka overmacht itu dapat kita bedakan antara: a. Overmacht yang sifatnya mutlak yaitu apabila prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. b. Overmacht yang sifatnya tidak mutlak yaitu apabila pemenuhan prestasi masih dimungkinkan namun dnegan pengorbanan yang besar dan tidak seimbang.
48
Qirom Syamsudin Meliala(1),Op.cit, hal 25
50
Sampai dimanakah pengorbanan ini sehingga dapat dipergunakan sebagai alasan pembebasan dari pihak debitur terhadap kewajiban membayar ganti rugi, dalam hal ini terdapat dua macam ukuran: a. Ukuran objektif, yaitu didasarkan kepada ukuran yang normal dalam keadaan demikian apakah orang itu dapat melakukan kewajibannya atau tidak b. Ukuran subjektif, yaitu didasarkan kepada keadaan dari debitur dengan menghubungkan pengorbanan yang harus diderita oleh debitur apabila harus melakukan prestasi itu.
2. Wanprestasi Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namum pada kondidi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata(untuk
prestasi
memberikan
sesuatu)
dan
Pasal
1239
KUHPerdata(untuk prestasi berbuat sesuatu), selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut Pasal 1243 KUHPerdatadinyatakan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
51
tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.” Debitur dinyatakan lalai apabila: a. Tidak memenuhi prestasi b. Terlambat berprestasi c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya 49 Namun demikian pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) dari pihak kreditur kepada debitur.Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur. Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai ialah: a. Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn) b. Debitur menolak pemenuhan c. Debitur mengakui kelalaiannya d. Pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht) e. Pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos) f. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya 50 Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur itu tidak dapat membuktikan, bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah di luar kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya 49 50
Agus Yudha Hernoko(1),Op.cit, hal 260 Ibid, hal 262
52
overmacht, jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Sejak kapankah debitur itu telah wanprestasi, di dalam praktek dianggap bahwa wanprestasi itu tidak secara otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak, bahwa wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan. Sehingga oleh karena itu untuk memastikan sejak kapan adanya wanprestasi, diadakan upaya hukum yang dinamakan “ingebreke stelling” yakni penentuan mulai terjadinya wanprestasi, atau istilah lain disebut dengan sommasi yang dilakukan tanpa juru sita, jadi boleh lewat telegram ataupun surat. Kalau hanya meminta pelaksanaan perikatan, kreditur tidak perlu dengan ingebreke stelling, sebab hak terhadap pelaksanaan perjanjian pada hakekatnya sudah terjalin pada perjanjian itu sendiri. Kalau debitur tidak melakukan prestasi sama sekali, maka ingebreke stelling tidak perlu dan tidak dapat dilakukan karena pada hakekatnya ingebreke stelling adalah upaya hukum untuk mendorong supaya debitur melakukan prestasi. Sedangkan apabila debitur sama sekali tidak melakukan prestasi baik dalam pengertian obyektif maupun subyektif, maka memaksa melakukan yang tidak akan terwujud adalah perbuatan yang sia-sia. Ingebreke stelling adalah sangat tepat dilakukan apabila debitur sangat lambat melakukan prestasi. Wanprestasi dapat timbul dari dua hal: a. Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur b. Kelalaian, maksudnya si debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul
53
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi.Sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan selama wanprestasi tersebut.Berbeda dengan hukum Pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum perjanjian tidak begitu membedakan apakah suatu perjanjian tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan force mejeure yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya). 51 Suatu perjanjian ada karena adanya suatu kesepakatan diantara pihakpihak yang mempunyai kepentingan atas perjanjian itu.Begitu juga dengan hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian karena adanya suatu perbuatan atau kesepakatan diantara para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut. Di dalam ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata telah dinyatakan bahwa ada beberapa cara hapusnya perikatan yaitu : 1. Karena Pembayaran Bahwa yang harus membayar suatu utang bukan hanya debitur saja melainkan diperbolehkan juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung utang. Pembayaran yang dilakukan oleh seorang kawan berhutang untuk melunasi utang dan bertindak atas nama si berhutang, asal ia tidak menggantikan hak-hak 51
Munir Fuady,Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis Buku 1, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2001), hal 88
54
dari si berpiutang. Sedangkan yang dimaksud dengan si penanggung utang ialah pihak ketiga yang menjamin pelaksanaan suatu perjanjian apabila si berwajib lalai maka ia akan menanggungnya. Tetapi apabila prestasi itu sangat erat dengan pribadi si debitur maka pihak ketiga yang membayar dapat dibedakan menjadi pihak
ketiga
yang
berkepentingan.Jika
berkepentingan pembayaran
dan
pihak
ketiga
oleh
pihak
dilakukan
yang
tidak
ketiga
yang
berkepentingan maka disini terjadi subrogasi yaitu penggantian hak-hak atau menggantikan kedudukan kreditur terhadap debitur.
2. Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan Cara ini biasanya dilakukan apabila kreditur menolak menerima pembayaran, ini dimaksudkan untuk menolong atau melindungi si debitur yang ingin membayar tetapi kreditur tidak mau menerimanya dan caranya adalah sebagai berikut: tawaran uang yang dibayarkan itu harus melalui seorang perantara yaitu juru sita atau notaris dengan dihadiri dua orang saksi. Kemudian juru sita atau notaris tersebut akan pergi ke rumah atau tempat tinggal kreditur dengan membawa uangnya atau barang, kemudian ia memberitahukan bahwa ia tetap atas perintah debitur datang untuk membayar utang debitur. Apabila kreditur menolak pembayaran tadi maka dibuatkan suatu proses verbal, tetapi apabila kreditur suka menerimanya, maka selesailah pambayaran itu. Tetapi biasanya kreditur menolak karenanya, sudah disediakan proses verbal dan kreditur tinggal menandatangani saja. Dengan penawaran tadi tidak membebaskan debitur dari kewajiban berprestasi.
55
Tetapi penawaran itu sendiri sudah mempunyai akibat hukum yaitu bahwa sejak penawaran debitur tidak dapat dikatakan lalai.Kalau kreditur masih tidak mau menerima maka penawaran itu diikuti oleh penyimpanan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Negeri.Dan sesudah penyimpanan itu maka debitur bebas dan dianggap telah memenuhi prestasi.Sejak saat itu pula resiko beralih kepada kreditur beserta ongkos penyimpanan menjadi beban kreditur.Tetapi semua biaya penyelenggaraan hal-hal tersebut di atas adalah dipikul oleh debitur.
3. Pembaharuan utang Pembaruan utang atau novasi adalah suatu perjanjian baru dengan maksud untuk menggantikan atau menghapus perjanjian lama.Untuk terjadinya suatu pembaharuan utang maka kehendak untuk mengadakan harus dinyatakan dengan tegas dan tidak diperlukan bentuk tertentu, cukup dengan tercapainya kata sepakat saja. Bentuk pembaharuan utang ada 3 macam: a. Pembaharuan utang obyektif yaitu apabila diantara para pihak yang sama mengadakan suatu perikatan baru untuk menggantikan perikatan lama yang harus karenanya, dinamakan pembaharuan utang obyektif karena yang diperbaharui adalah obyek perjanjiannya. b. Pembaharuan utang subyektif yaitu apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama yang
oleh
si
berpiutang
dibebaskan
dari
perikatannya,
dinamakan
pembaharuan utang subyektif karena yang diperbaharui adalah subyeknya dalam perjanjian
56
c. Pembaharuan utang subyektif-pasif yaitu terjadi apabila penggantian debitur yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya, ini dinamakan pembaharuan utang subyektif pasif, karena yang diperbaharui adalah debiturnya. 4. Kompensasi atau Perjumpaan utang Kompensasi
atau
perjumpaan
utang
adalah
suatu
cara
untuk
menghapuskan utang dengan memperhitungkan utang piutang masing-masing pihak, sehingga salah satu perikatan menjadi hapus, misalnya A mempunyai piutang atas B sebanyak Rp. 200.000,- dan sebaliknya B mempunyai piutang atas A sebanyak Rp. 100.000,- maka antara A dan B dilakukan perjumpaan utang, sehingga piutang B menjadi hapus sebaliknya piutang A menjadi sisa sebanyak Rp. 100.000,- jadi antara uatang piutang mereka diperhitungkan (Pasal 1425 KUHPerdata). Selanjutnya oleh Pasal 1426 KUHPerdata dikatakan bahwa perjumpaan ini terjadi demi hukum bahwa tidak setahunya orang-orang yang berhutang dan kedua utang itu yang satu mengahapuskan yang lain dan sebaliknya, pada saat utang-utang itu bersamaan ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Dengan adanya perkataan “demi hukum” di atas menimblkan kesan bahwa kompensasi terjadi dengan sendirinya, padahal realitanya tidak demikian karena untuk perjumpaan utan harus dimajukan atau dimintakan oleh pihak yang berkepentingan (Pasal 1431 dan 1433 KUHPerdata), karena tanpa adanya syarat ini maka hakim tidak akan mengetahui adanya utang piutang antara kreditur dengan debitur.
57
Dan agar dua utang dapat diperjumpakan maka perlulah bahwa dua utang itu seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lain tidak atau baru dapat ditagih satu minggu kemudian, maka teranglah dua utang itu tidak dapat diperjumpakan. 5. Percampuran utang Percampuran utang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur pada satu orang, maka terjadilah secara otomatis percampuran utang, misalnya: a. Bila debitur menjadi ahli waris tunggal dari kreditur b. Bila seorang wanita seorang debitur kemudian kawin dengan kreditur dalam suatu percampuran harta
6. Pembebasan utang Pembebasan utang terjadi apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan sudah tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan suatu perjanjian. Dan pembebasan hutang dari kreditur dapat dibuktikan, misalnya dengan pengembalian surat tanda piutang asli secara sukarela.
7. Musnahnya benda yang terutang Jika barang yang menjadi obyek suatu perjanjian musnah maka perjanjian itu menjadi hapus asal musnahnya barang itu bukan karena kesalahan si berhutang dan dalam hal ini si debitur harus membuktikannya.
58
8. Kebatalan/pembatalan Dikatakan suatu perjanjian batal demi hukum yaitu apabila perjanjian itu tidak memenuhi syarat obyektif sedangkan terjadinya suatu pembatalan apabila perjanjian–perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif, misalnya seorang anak yang belum dewasa mengadakan suatu perjanjian jual beli dengan seorang yang sudah dewasa maka perjanjian itu dapat dibatalkan oleh orang tua anak tersebut dengan alasan karena anaknya belum dewasa. Pembatalan itu dapat pula dilakukan oleh anak itu sendiri setelah ia menjadi dewasa dan kedewasaannya tidak leboh dari lima tahun (Pasal 1446 dan 1454 KUHPerdata).
9. Berlakunya syarat batal Syarat batal maksudnya adalah suatu syarat yang apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal atau perjanjian itu seolah-olah tidak pernah ada. Dan ini biasanya digantungkan pada suatu peristiwa terjadinya tidak tentu,misalnya saya akan memberikan suatu sepada motor kepadamu apabila kamu lulus menjadi seorang sarjana. Berlakunya suatu syarat batal yang merupakan salah satu cara untuk menghapuskan suatu perikatan, ini dapat diperlakukan pada perjanjian bersyarat.
10. Kadaluarsa atau lewat waktu Kadaluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.Suatu yang diperoleh karena daluwarsa disebut
59
dengan “aquisitive verjaring”.Sedangkan dibebaskan dari satu kewajiban karena daluwarsa disebut dengan“extentive verjaring”. Selanjutnya dalam Pasal 1967 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Segala tuntutan hukum, baik bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan alas hak, lagi pula tidak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan itikadnya yang buruk.” Jadi dengan lewatnya waktu 30 tahun hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu perikatan bebas, artinya pembayaran tidak dihapuskan lagi tapi kalau mau membayar diperbolehkan dan sebaliknya apabila si debitur tidak mau membayar maka dia tidak dapat digugat di muka hakim