BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERJANJIAN
A.
Pengertian dan Lahirnya Perjanjian Setiap manusia akan selalu terikat antara satu dengan yang lain untuk
dapat melangsungkan hidupnnya sehingga dengan adanya hubungan antarsesama manusia itu dapat memberikan solusi dari masalah yang akan muncul.Manusia sebagai makhluk sosial yang bertujuan untuk mempertahankan hidup dan kepentingannya tersebut membuat manusia mengatur hubungan usaha atau bisnis dalam sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum” atau rechtshandeling. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi. Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut overeenkomst dan hukum perjanjian adalah overeenkomstenrecht.11 Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1313, yakni bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian 11
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2000), hal. 204.
18
Universitas Sumatera Utara
19
yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya jika hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka seolah-olah yang dimaksud hanya perjanjian sepihak, tetapi jika disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun dua pihak.12 Berdasarkan pendapat para sarjana dapat diketahui bahwa menurut Subekti suatu perjanjian adalahperistiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjianperjanjian itu dibagi dalam tiga macam yaitu : 1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (misalnya jual beli, tukar, sewa, hibah, dan lain-lain). 2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (misalnya perjanjian perburuhan dan lainlain). 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (misalnya tidak membuat tembok yang tinggi). Dari peristiwa ini maka timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.Perjanjian merupakan bagian dari perikatan, oleh
karena
itu
perikatan
lebih
luas
dari
pada
perjanjian.Dalam
12
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, hal. 63-64.
Universitas Sumatera Utara
20
bentuknya,perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.13 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.14 Menurut R.Wirjono perjanjian merupakan hubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.15 Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu merupakan hubungan hukum dengan adanya kesepakatan antara para pihak dimana kesepakatan yang dimaksud yakni adanya persesuaian kehendak antara para pihak yaitu dengan bertemunya antara penawaran dan penerimaan sehingga perjanjian ini bersifat konkret. Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan, dan andaikata dibuat tertulis maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.16Untuk beberapa perjanjian, undang-undang menentukan bentuk-bentuk apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidak sah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat adanya perjanjian. 13
R. Subekti(2), Hukum Perjanjian cetakan XI, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hal. 1. R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hal. 49. 15 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: PT Bale, 1989), hal. 7. 16 Hasim Purba, Modul Kuliah Hukum Perikatan, (Medan: Perpustakaan USU, 2010), hal. 34. 14
Universitas Sumatera Utara
21
Perjanjian tertentu atau khusus dalam prakteknya memiliki beragam bentuk misalnya tukar-menukar, pinjam, hibah atau pemberian, penanggungan hutang, jual beli, sewa-menyewa maupun leasing dan masih banyak lagi ragamnya. Di dalam masyarakat ada 2 kemungkinan lahirnya perjanjian itu yaitu : 1. Sejak terjadinya kata sepakat para pihak. Yakni kesepakatan itu sebenarnya sudah cukup secara lisan, hanya saja supaya lebih kuat mengikat bagi pihakpihak itu dapat dilakukan secara tertulis, baik dengan akta ataupun tanpa akta.17 2. Sejak pernyataan sebelah-menyebelah bertemu yang kemudian diikuti sepakat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian itu timbul karena : 1. Persetujuan (Overeenkomst). 2. Dari Undang-Undang. a. Perjanjian yang lahir dari persetujuan. Persetujuan atau overeenkomstdapat juga disebut “Contract”. Yang berarti suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Tindakan atau perbuatan (handeling) yang menciptakan persetujuan, berisi “pernyataan kehendak” (wils verklaring) antara para pihak.Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada “persesuaian kehendak” antara para pihak. Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan, dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan “usul” serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut.Jadi dalam persetujuan terjadi acceptance atau 17
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil,Op.Cit., hal. 228.
Universitas Sumatera Utara
22
penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya penawaran atau usul serta persetujuan oleh pihak lain atas usul, maka lahirlah “persetujuan” atau “kontrak” yang “mengakibatkan ikatan hukum” bagi para pihak.18 Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling “memberatkan” atau “pembebanan” kepada para pihak kreditur dan debitur seperti yang jumpai dalam persetujuan jual-beli, sewa-menyewa, pengangkutan, dan lain-lain. Akan tetapi sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya menjadi ciri persetujuan.Pembebanan terkadang hanya diletakkan kepada keuntungan sepihak, seperti dalam pemberian hibah (schenking).Namun ciri umum dari setiap kontrak ialah bersifat partai yang saling memberatkan (jual-beli, sewa-menyewa, persetujuan kerja, dan lain-lain).Dan sepanjang tinjauan dari sudut persoon yang menjadi pelaku persetujuan, bisa saja terjadi tindakan hukum sepihak, dua pihak atau banyak pihak.Hal ini terjadi karena pernyataan keinginan tadi tidak hanya berupa satu pernyataan saja tetapi mungkin beberapa pernyataan kehendak. b. Perjanjian yang lahir dari undang-undang. Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 KUH Perdata : 1). Semata-mata dari undang-undang. 2). Dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena undangundang tidak terlalu dibahas dikarenakan pada umumnya persetujuan telah diatur tersendiri dalam ketentuan yang jelas. Sedangkan persetujuan atau perjanjian yang 18
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
23
lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia dapat dibedakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1353 KUH Perdatayaitu ; 1).Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatig. 2). Karena perbuatan dursila atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad). Ketetapan mengenai kapan perjanjian timbul mempunyai arti yang pentingbagi : 1. Penentuan risiko. 2. Kesempatan penarikan kembali penawaran. 3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa. 4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian. Penetapan
mengenai
lahirnya
atau
timbulnya
perjanjian
telah
menimbulkan beberapa teori yakni : a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie). Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat atas suatu penawaran atau telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu.19 b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie). Dengan menetapkan bahwa saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian, maka orang mempunyai pegangan yang relatif pasti mengenai saat terjadinya perjanjian.Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan, sebab sejak saat surat dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi atas surat 19
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
24
jawaban tersebut. Teori ini merupakan perbaikan atas keberatan teori pernyataan.20 c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie). Teori ini adalah teori yang paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak), dan kedua pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.21 d. Teori Pitlo Perjanjian itu lahir pada saat dimana orang yang mengirimkan jawaban secara patut boleh mempersangkakan (beranggapan), bahwa orang yang diberikan jawaban mengetahui jawaban itu.Dengan demikian jawaban itu harus sudah sampai pada orang yang dituju dan terlepas dari apakah si penerima jawaban secara riil sudah mengetahui isi jawaban atau belum sesudah lewat jangka waktu tertentu yang dengan melihat kepada keadaan kiranya patut dipersangkakan bahwa orang itu mengetahui jawaban itu maka perjanjian itu lahir.22 e. Teori Penerimaan (Ontvangsttheorie). Didalam teori ini pada saat diterimanya jawaban, tidak diperdulikan apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, untuk menentukan saat lahirnya sepakat. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat.23
20
Ibid., hal. 258. Ibid., hal. 259. 22 Ibid., hal. 260. 23 Ibid., hal. 262. 21
Universitas Sumatera Utara
25
B. Asas – Asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian Asas hukum merupakan suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. Asas-asas hukum bukan merupakan hukum konkrit tetapi merupakan pikiran dasar umum dan abstrak atau latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.Asas hukum dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima asas penting dalam hukum perjanjian. Asas-asas penting dalam hukum perjanjian itu antara lain sebagai berikut : 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang.24 Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab).Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka
24
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
26
tidakmengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang yang dalam hal ini Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuanPasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Walaupun berlaku asas ini kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.25 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi : “ Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau. Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang 25
Ibid., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
27
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”.26 Asas kebebasan berkontrak melalui perkembangannya mengalami beragam pembatasan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu : 1. Munculnya aliran didalam masyarakat menuju kepada keadilan sosial yang merupakan terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. 2. Munculnya bentuk persekutuan dalam lapangan lalu lintas perekonomian menjadi sebuah perseroan yang semakin besar sehingga kebebasan pribadi menjadi terbatas. 3. Munculnya keformalitasan yang diciptakan oleh pihak sendiri. 2. Asas Konsensualisme Kata konsensualisme berasal dari bahasa latinconsensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak.Asas konsensualisme artinya perjanjian itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Perjanjian menurut KUH Perdata secara umum bersifat konsensual, kecuali beberapa perjanjian tertentu yang merupakan perjanjian riil atau formal.27
26
27
Salim H.S,Op.Cit., hal. 9. Budiman N.P.D. Sinaga, Op.Cit., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
28
Asas konsensualisme muncul dari hukum Romawi dan hukum Jerman.Di dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formil.Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat) atau perjanjian yang baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.Contoh dari perjanjian riil adalah utang piutang, pinjam pakai, dan penitipan barang.Sedangkan yang disebut perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan).28 Dalam hukum Romawi dikenal dengan istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus Innominaat yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.Asas konsensualisme yang dikenal di dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu dapat dibuat secara lisan saja dan juga dapat dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti.Perjanjian yang dibuat secara lisan saja didasarkan pada asas bahwa “manusia itu dapat dipegang perkataannya”, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya.Namun demikian ada beberapa perjanjian tertentu yang harus dibuat secara tertulis misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibahan, perjanjian pertanggungan.Tujuannya tidak lain sebagai alat bukti lengkap dari apa yang mereka perjanjikan.29Perjanjian dengan bentuk formalitas tertentu semacam ini disebut perjanjian formal.
28
Salim H.S, Op.Cit., hal. 10. Komariah, Hukum Perdata, cetakan ketiga, (Malang: Penerbitan Universitas Muhamadiyah, 2004), hal. 228. 29
Universitas Sumatera Utara
29
3. AsasMengikatnya Suatu Perjanjian (Pacta Sunt Servanda) Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang.Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.30 Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas pacta sunt servanda pada awalnya dikenal di dalam hukum gereja.Yakni disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah.Namun dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.31 4. Asas Itikad Baik Menurut R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian karena itikad baik merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.
30
Salim H.S., Loc.Cit. Ibid., hal. 11.
31
Universitas Sumatera Utara
30
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Dalam Pasal 1338 ayat (3) hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan.32 Jika di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dapat di pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka pada ayat ketiga ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang akan diperjanjikan harus dipenuhi. Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu tidak boleh meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. 5. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para 32
R. Subekti(2),Op.Cit., hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
31
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.Namun ketentuan itu ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian orang lain mengandung suatu syarat semacam itu.”Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan diantara kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.33
C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, tetapi juga telah dikemukakan kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan oleh seseorang agar para pihak dapat secara sah melahirkan hak 33
Salim H.S, Op.Cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
32
hak dan kewajibannya bagi mereka atau pihak ketiga yang jika diperlukan dapat dimintakan bantuan pihak pengadilan dalam pemenuhannya, dengan kata lain akan diatur apakah syaratnya agar para pihak yang saling mengadakan janji dikatakan telah mengadakan perjanjian.34 Menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :35 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Pasal 1320 KUH Perdata ini merupakan pasal yang sangat popular karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian.Dalam hal ini syarat sahnya perjanjian dibagi dalam dua bagian, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. 1. Syarat Subjektif Dikatakan sebagai syarat subjektif yaitu karena syarat dari perjanjian itu berkaitan dengan pihak yang membuat perjanjian (subjek perjanjian). Syarat subjektif ini terdiri atas : a. Adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yaitu dengan bertemunya antara penawaran
(offer)
dan
penerimaan
(acceptence)
sebagai
unsur
dari
34 35
Hasim Purba, Op.Cit., hal. 41. Ahmadi Miru, Sakka Pati., Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
33
kesepakatanyang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.36 Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Para pihak tidak mendapatkan suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.37 Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain : 1. Kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya. 2. Paksaan atau dwang(Pasal 1323-1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya atau bukan karena kehendaknya sendiri namun dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan itu berwujud kekerasan jasmani atau ancaman (akanmembuka
36 37
Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 205. Hasim Purba, Op.Cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
34
rahasia) yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaandengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia.38Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan dari orang-orang yang bersangkutan (ayat 2 dari Pasal 1324 KUH Perdata).Ancaman ini juga dapat dilakukan oleh orang ketiga atau terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis lurus keatas atau kebawah dari pihak yang bersangkutan (Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUH Perdata). Jika suatu pihak, untuk menyetujui suatu perjanjian didorong oleh ketakutan saja karena hormat ayah, ibu, atau lain sanak keluarga dalam garis lurus keatas maka menurut Pasal 1326 KUH Perdata ini tidak merupakan alasan pembatalan persetujuan. Pasal 1327 KUH Perdata mengenaipengesahan atau penguatan secara tegas atau secara diam-diam dari suatu persetujuan yang diadakan dengan paksaan. 3. Penipuan atau bedraq (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati. Orang yang menyetujui membuat perjanjian karena ditipu dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut, apabila orang itu tidak akan membuat perjanjianseandainya orang tersebut tidak ditipu. Hal ini dapat dilakukan apabila memang penipuan itu terbukti secara hukum.
38
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
35
Cara yang paling tepat untuk membuktikan adanya penipuan tersebut adalah adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana yang menghukum pihak yang dinyatakan menipu tersebut. 4. Penyalahgunaan keadaan atau undue influence( Tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada kedua hal berikut yakni :39 1. Penyalahgunaan keunggulan ekonomi. 2. Penyalahgunaan
keunggulan
kejiwaan
termasuk
tentang
psikologi,
pengetahuan, dan pengalaman. Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya terkadang salah satu pihak mempunyai rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak berpengalaman, atautidak tahu.Konsekuensi apabila ada penyalahgunaan keadaan maka perjanjian itu dapat dibatalkan. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.40Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.Khusus untuk orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Jadi janda ataupun duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. 39 40
Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 51. Riduan Syahrani,Op.Cit., hal. 208.
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang berada dibawah pengampuan, dan wanita bersuami. Apabila mereka melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi isteri ada izin suaminya.Menurut hukum nasional Indonesia saat ini, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya. Hal ini diaturdalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA No. 3 Tahun 1963.41 Selain kecakapan, ada juga disebut dengan kewenangan melakukan perbuatan hukum atau kewenangan membuat perjanjian.42Dikatakan ada kewenangan apabila seseorang mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan
perbuatan
hukum
tertentu,
dalam
hal
ini
membuat
perjanjian.Dikatakan tidak ada kewenangan apabila tidak membuat kuasa untuk itu. Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.Apabila syarat kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Artinya yakni salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati.Namun jika para pihak tidak keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.
41 42
Salim H.S, Op.Cit., hal. 24. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Syarat Objektif Dikatakan sebagai syarat objektif yaitu karena syarat dari perjanjian itu berkaitan dengan objek dari perjanjian. Syarat objektif ini terdiri atas : a. Suatu Hal Tertentu Sebagai syarat ketiga dari sahnya perjanjian hal ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas dan merupakan prestasi yang yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian.Hal yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asalkan dapat dihitung atau dijelaskan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.43Jika prestasi itu kabur sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan maka dianggap tidak ada objek perjanjian. b. Suatu sebab yang halal Causa yang halal yakni bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihakpihak.Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, isi perjanjian ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang diserahkan. Dalam perjanjian sewa menyewa isi perjanjian ialah pihak yang satu menginginkan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya 43
Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
38
menghendaki sejumlah uang.Tujuannya ialah penguasaan barang itu diserahkan dan sejumlah uang dibayar.Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum,dan
kesusilaan
(Pasal
1337
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata).Apabila syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal tidak dapat terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.Artinya yakni bahwa dari awal perjanjian itu dianggap tidak ada.44
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian Masalah hapusnya perjanjian dapat juga disebut hapusnya persetujuan, berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.Berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin masih tetap ada.Seperti pada perjanjian sewa menyewa, dimana dalam perjanjian sewa menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk membayar uang sewa belum berakhir karena belum dibayar.Walaupun pada umumnya jika perjanjian hapus maka perikatannya pun hapus, begitu juga sebaliknya. Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :45 a. Pembayaran (Betaling) Pengertian pembayaran dalam hal ini harus difahami secara luas, tidak hanya mengartikan bahwa pembayaran itu hanya terbatas pada pelunasan 44 45
Salim H.S, Op.Cit., hal. 25. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
39
hutang.Karena dari segi yuridis teknis tidak selamanya pembayaran harus berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu dapat juga dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dengan bentuk tak berwujud atau yang immaterial. Dalam pasal 1382 KUH Perdata pada asasnya hanya orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah, seperti seorang yang turut berhutang atau seorang penanggung (borg). Namun pasal ini selanjutnya menerangkan juga bahwa seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat membayar secara sah, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama si berhutang atau bilamana ia bertindak atas namanya sendiri, asalkan ia tidak menggantikan hak-haknya si berpiutang.46 Pemenuhan suatu prestasi dalam perjanjian seharusnya dilakukan sesuai dengan hal yang telah diperjanjikan.Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditentukan dalam perjanjian.Misalnya dalam hal tiada ketentuan tempat dan pembayaran yang berupa uang, pembayaran itu harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang. Jadi tiap pembayaran yang berupa uang, jika tidak ada ketentuan lain harus diantarkan kerumah si berpiutang. Akan tetapi di dalam prakteknya, peraturan ini sudah terdesak oleh kebiasaan yaitu pembayarannya diambil di rumah si berhutang.47 b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan adalah suatu cara hapusnya perjanjian dimana debitur hendak membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat menitipkan
46
R. Subekti(3), Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2001), hal. 153. Ibid., hal. 154.
47
Universitas Sumatera Utara
40
pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1404 sampai 1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebelum dilakukan penitipan uang atau barang di pengadilan sebelumnya pihak si berutang melakukan dahulu penawaran pembayaran tunai kepada si berpiutang.Apabila pihak si berpiutang menolak pembayaran maka barulah si berutang melakukan penitipan uang atau barang di panitera pengadilan.48 Dengan dilakukannya penitipan di panitera pengadilan itu, maka akan membebaskan si berutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai pembayaran, asalkan penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undangundang dan uang atau barang yang dititipkan di panitera pengadilan tetap akan menjadi tanggungan si berpiutang. c. Pembaruan Utang atau Novasi (Pasal 1413-1424 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Novasi adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Novasi berdasarkan Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari tiga bentuk yaitu :49 1.
Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru sedangkan perjanjian yang lama dihapuskan, hal ini disebut novasi objektif.
2.
Penggantian debitur dari debitur baru menggantikan debitur lama dan debitur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang pasif.
48 49
C.S.T. Kansil, Christine S.T.Kansil,Op.Cit., hal. 232. Handri Raharjo(1), Op. Cit., hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
41
3.
Penggantian kreditur dari kreditur baru menggantikan kreditur lama dan kreditur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang aktif.
d. Perjumpaan Utang (kompensasi) Perjumpaan Hutang adalah penghapusan masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan hutang yang sudah dapat ditagih antara debitur dengan kreditur.Hal ini diatur dalam Pasal 1425-1435 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjumpaan hutang terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahu orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang saling menghapuskan pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Dalam hal ini seolah-olah perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi secara otomatis tanpa suatu usaha dari pihak yang berkepentingan.50 e. Percampuran Utang atau Konfisio Mengenai percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 dan Pasal 1437 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Percampuran utang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu orang.Misalnya kreditur meninggal dunia sedangkan debitur merupakan satu-satunya ahli waris atau debitur kawin dengan kreditur dalam persatuan harta perkawinan.51Hapusnya perikatan karena percampuran utang ini adalah demi hukum artinya secara otomatis (Pasal 1436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).Sedangkan pada Pasal 1437 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut bahwa percampuran utang yang terjadi pada diri si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya. 50
Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 278. Ibid., hal. 279.
51
Universitas Sumatera Utara
42
Hal-hal yang menyebabkan adanya percampuran utang ini yakni :52 1. Apabila terjadi perkawinan dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berutang. 2. Apabila si berutang menggantikan hak si berpiutang karena warisan. f. Pembebasan Utang Pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur.A. Pitlo berpendapat bahwa kreditur hanya berhak membebaskan debitur secara sepihak jika ini tidak merugikan debitur.Jika debitur mempunyai kepentingan terhadap adanya perikatan itu, pembebasan sepihak tidak dapat dilakukan.Menurut Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adanya pembebasan utang tidak boleh dengan persangkaan tetapi harus dibuktikan.Didalam Pasal 1439 Kitab UndangUndang Hukum Perdata diatur tentang apabila pihak si berpiutang dengan sukarela mengembalikan surat utang asli kepada pihak si berutang secara sukarela maka dianggap sebagai pembebasan utangnya.53 g. Musnahnya Barang Yang Terutang Musnahnya barang yang terutang diatur dalam Pasal 1444 dan 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa dengan musnahnya barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian sehingga tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang atau tidak diketahui lagi apakah masih ada barang itu diluar kesalahan si berutang dan sebelumnya lalai menyerahkan maka perjanjian itu hapus.54Bahkan pengertian tersebut dapat diperluas walaupun barang sudah berada di tangan si berpiutang 52
C.S.T. Kansil, Op.Cit., hal. 234. Ibid., hal. 235. 54 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 70. 53
Universitas Sumatera Utara
43
dan kejadian itu diluar kesalahan si berutang.Biasanya di dalam kehidupan seharihari untuk mengatasi hal itu suatu barang akan diasuransikan pada pihak ketiga yakni perusahaan asuransi. h. Pembatalan Perjanjian Hal ini diatur dalam Pasal 1446 sampai Pasal 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya pembatalan perjanjian yaitu : 1. Pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum, yaitu yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, berada di bawah pengampuan (curatele) dan seorang wanita yang berada dalam perkawinan atau berstatus sebagai istri. 2. Apabila perjanjian itu bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 3. Apabila perjanjian itu mempunyai unsur paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) atau penipuan (bedrog). Penuntutan pembatalan tidak akan diterima oleh hakim jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan. Karena orang yang telah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan padanya dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan. i. Berlakunya Suatu Syarat Batal Berlakunya suatu syarat batal ini diatur di dalam Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang artinya suatu syarat yang bila dipenuhi
Universitas Sumatera Utara
44
akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Berlakunya syarat batal ini diatur dalam perikatan-perikatan bersyarat.55 Ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata didalam praktek tidak selamanya dapat dilaksanakan.Oleh karena itu berlaku surutnya pembatalan tersebut hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika mungkin dilaksanakan.56 Hal-hal lain mengenai berakhirnya suatu perjanjian diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni : 1. Lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam perjanjiannya. 2. Hilangnya atau meninggalnya seorang anggota dalam perjanjian, contohnya karena perjanjian perseroan (maatschap) dan dalam perjanjian pemberian kuasa (lastgeving). 3. Meninggalnya orang yang memberikan perintah. 4. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap. 5. Di dalam isi perjanjian ditegaskan hal-hal yang menghapuskan perjanjian itu. 6. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi.57 7. Adanya pemutusan pengadilan.
55
Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 99-100. Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 284. 57 Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 101. 56
Universitas Sumatera Utara