BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN HUKUM, ITIKAD BAIK, DAN AKIBAT HUKUM
2.1
Pengertian Perjanjian
2.1.1 Definisi Perjanjian Pengertian perjanjian pada umumnya, ada berbagai macam pendapat di kalangan para ahli hukum, yang masing-masing menggunakan pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pengertian tersebut perlu diketahui agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam menafsirkannya. Disamping itu pengertian perjanjian sering dikaburkan atau dikacaukan dengan pengertian perikatan, persetujuan dan kontrak itu sendiri. Hal ini terjadi karena di dalam sehari-hari masyarakat sering menggunakan pengertian yang sama. Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka terdapat beberapa pendapat sarjana. Abdulkadir Muhammad, dalam bukunya hukum perikatan menyatakan bahwa: “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dengan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan dimana keseluruhan aturan hukum yang mengatur hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan ini disebut hukum harta kekayaan”.18 Sedangkan mengenai perjanjian diberikan pengertian sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
18
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 9.
18
19
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.19 Selanjutnya dikatakan bahwa: antara perikatan, perjanjian dan persetujuan kesemuanya itu saling berhubungan sebagaimana pendapat beliau yang mengatakan bahwa perikatan itu tidak akan timbul kalau tidak ada perbuatan berjanji (perundingan). Perjanjian tidak akan ada kalau tidak ada persetujuan (kesepakatan) antara pihak-pihak. 20 Mengenai pengertian perjanjian menurut Subekti adalah Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Lebih lanjut dikatakan mengenai persetujuan, Subekti memberikan pengertian sebagai berikut: “suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan juga bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Sedangkan mengenai perkataan kontrak, lebih sempit lagi karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis”.21 Sedangkan Menurut R. Setiawan, menyatakan bahwa : persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan
19
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 78 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 13 21 R. Subekti, 1980, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XVI, PT. Intermasa, Jakarta (Selanjutnya disebut R Subekti II), h. 1 20
20
perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu : a. perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b. menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam pasal 1313 KUH Perdata sehingga perumusannya menjadi persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.22 Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau dua pihak yakni kreditur dan debitur yang terletak dalam bidang kekayaan dimana pihak yang satu atau kreditur berhak menuntut suatu hal dari pihak debitur untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perjanjian disebut juga persetujuan karena kedua pihak setuju untuk melakukan sesuatu hal dimana sesuatu hal tersebut terletak dalam lapangan harta kekayaan, sedangkan persetujuan adalah sama artinya dengan perjanjian dimana perjanjian menerbitkan perikatan sehingga perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-sumber yang lain yakni undang-undang. Pengertian kontrak lebih sempit lagi karena hanya ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Hubungan antara perikatan, perjanjian, persetujuan dan kontrak pada dasarnya para sarjana tidak membedakan, sebab satu dengan yang lain saling berhubungan. 2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian Untuk syarat sahnya suatu perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan empat syarat: 1.
Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian;
2.
Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (perikatan); 22
R. Setiawan, 1997, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h. 49
21
3.
Perjanjian yang diadakan harus mempunyai obyek tertentu;
4.
Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.23
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu secara timbal balik. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Kesepakatan itu artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena: 1) kekhilafan atau kekeliruan (dwaling); 2) pemerasan / paksaan (dwang); 3) penipuan (bedrog). Unsur kekhilafan/ kekeliruan dibagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan barangnya dinamakan error in substansia. Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai obyek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata). Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar
23
R.Subekti, Op.cit, h.16.
22
menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian (Pasal 1324 KUH Perdata). Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu penipuan, maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu. R. Subekti mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi perizinan.24 Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya, perbuatan memperjualbelikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan surat-suratnya.25 b. Kecakapan para pihak pembuat perjanjian Subjek untuk melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundangundangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. 24 25
R.Subekti, Op.cit, h.135. Achmad Iksan, 1999, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, h.20.
23
Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “ setiap orang adalah cakap untuk mebuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu.26 Apabila dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya.27 Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya. c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata “ barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat dihitung 26 27
R.Subekti, Op.cit, h.13. Achmad Iksan, Op.cit, h.13.
24
atau ditentukan”. Sebelumnya dalam Pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan. Dengan demikian barang-barang di luar perdagangan tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya, barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan udara. Dengan demikian perjanjian yang obyeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Obyek atau jenis obyek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian. d. Suatu sebab yang halal Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya perjanjian tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa maksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi dimaksud dengan sebab atau causa dari sesuatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Sesuatu yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Akibat
25
hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim. Hal syarat sahnya suatu perjanjian dibedakan antara syarat obyektif dan syarat subyektif, bahwa di dalam syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan perjanjian. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk menuntut di muka hakim. Hal syarat subyektif, maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan. Dalam hal ini yang berhak meminta pembatalan adalah yang merasa dirinya tertipu oleh suatu hal. Keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu di samping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis. 2.1.3 Akibat Hukum Perjanjian Akibat adalah pengaruh terhadap para pihak dan juga mengandung arti sebagai sanksi bagi pihak yang lalai melaksanakan kewajibannya. Suatu hal dari
26
pada ketidakjujuran dalam suatu perjanjian akan membawa akibat terhadap perjanjian itu sendiri. Sebagaimana diketahui, bahwa hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata menganut asas konsensualisme, artinya suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya bahwa pernyataan kedua belah pihak bertemu dalam sepakat. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian perjanjian mulai mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, terhitung sejak tercapainya kesepakatan para pihak. Ada pula bentuk perjanjian lainnya seperti bentuk perjanjian kontekstual yaitu perjanjian formal dan perjanjian riil. Untuk kedua perjanjian itu tidak cukup hanya dengan kata sepakat tapi diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata. Suatu perjanjian disebut formal akan menjadi sah apabila harus dilaksanakan dengan suatu tindakan tertentu, apabila tidak dilakukan maka perjanjian tersebut tidak sah. Untuk perjanjian perdamaian yang harus dilaksanakan secara tertulis, kalau tidak maka ia tidak sah. Demikian pula terhadap perjanjian riil, perjanjian itu menjadi atau mulai sah apabila telah dilaksanakan suatu penyerahan. Akibat dari perjanjian diatur dengan tegas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang mengatakan : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
27
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dari sepakat kedua belah pihak atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.28 Dengan istilah lain, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum mempunyai kekuatan yang mengikat bagi mereka yang membuatnya. Jadi di sini para pihak yang mengadakan perjanjian itu diberi kesempatan untuk mengadakan atau menetapkan sendiri ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi mereka. Namun demikian seperti Pasal 1338 KUH Perdata telah menentukan bahwa perjanjian haruslah dilakukan dengan itikad baik. Pasal 1341 KUH Perdata mengatakan bahwa pihak kreditur dapat mengajukan tuntutan pembatalan atas segala perbuatan debitur yang bersifat tidak wajar dan merugikan. Secara tidak langsung pasal ini dapat merupakan reaksi dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, artinya apabila si debitur tetap memperlakukan kekayaannya dengan sewenang-wenang dalam arti tidak jujur atau tidak beritikad baik. Adapun mengenai akibat dari suatu perjanjian adalah sesuai dengan apa yang para pihak perjanjikan. Bila perjanjian untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu, para pihak harus melaksanakannya, sedangkan bila
28
Harahap, M.Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, h.35.
28
perjanjian untuk berbuat sesuatu, maka para pihak baru berbuat sesuai dengan yang diperjanjikan.29
2.2
Pengertian Perlindungan Hukum
2.2.1 Definisi Perlindungan Hukum Perlindungan Hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya. Pengertian diatas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum diantaranya: 1. Satjipto
Raharjo,
mendefinisikan
perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 2. Philipus M. Hadjon, berpendapat perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hakhak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
29
Ibid, h.37.
29
3. CST Kansil, berpendapat perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami sebagai berikut : a.
Sarana perlindungan hukum preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa.
b.
Sarana perlindungan hukum yang represif Perlindungan
hukum
yang
represif
yang
bertujuan
untuk
menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul. Perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.30 30
h. 205
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
30
Perlindungan hukum memperoleh landasan idiil (filosofis) pada sila kelima Pancasila, yaitu : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didalamnya terkandung suatu “hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama didepan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum, oleh karena itu hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan atau ancaman dari pihak manapun juga.31 2.2.2 Fungsi Perlindungan Hukum Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Perlindungan hukum dalam konteks penegakan hukum harus diperhatikan ada tiga unsur utama sebagaimana dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu kepastian hukum
(Rechtssicherheit),
kemanfaatan
(Zweckmassigkeit)
dan
keadilan
(Gerechtigkeit), secara rinci ketiga unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Kepastian hukum Hukum
harus
dilaksanakan
dan
ditegakkan.
Setiap
orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa 31
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Nusamedia, Bandung, h.152.
31
yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. b.
Kemanfaatan Masyarakat
mengharapkan
manfaat
dalam
pelaksanaan
atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat. c.
Keadilan Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. 32
32
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, h.130.
32
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. 33
2.3 Pengertian Asas Itikad Baik 2.3.1 Definisi dan Dasar Hukum Asas Itikad Baik Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “ persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subyektif dan obyektif. Itikad baik dalam segi subyektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin
33
Ibid.
33
seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan. Itikad baik dalam segi obyektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan. 2.3.2 Konsep Itikad Baik Dalam Hukum Perjanjian KUHPerdata memakai istilah itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) mengenai pelaksanaan perjanjian yang berbunyi: “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh itikad baik. Perkembangan itikad baik dalam hukum kontrak Romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu sendiri. Itikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak tegas diperjanjikan.34 Itikad baik artinya bahwa kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya,
34
Ridwan Khairandy, Op.Cit, h.131-133.
34
tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain.35 Baldus
membedakan
beberapa
jenis
itikad
baik.
Hakim
dapat
menggunakan itikad baik untuk dua tujuan yakni untuk mengetahui apakah kontrak mengikat atau tidak dan untuk mengetahui kewajiban para pihak.36 Hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi. Itikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah. Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan.37 Dengan fungsinya yang kedua, itikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan perundangundangan mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak secara tegas dinyatakan dalam kontrak.38 Fungsi itikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa pakar hukum sebelum perang berpendapat bahwa itikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam yang keadaan 35
P.L.Wery, 2002, Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Nederland, Jakarta: Percetakan Negara RI, h. 9. 36 Ridwan Khairandy, Op.cit, h.146. 37 Ridwan Khairandy, Op.cit, h. 216. 38 Ridwan Khairandy, Op.cit, h. 229.
35
demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik.39 Perhubungan hukum yang terjalin sebagai akibat perbuatan hukum, di samping diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagian lagi diatur atau dibentuk atas perjanjian atau persetujuan diantara pihak yang berkepentingan. Peraturan perundang-undangan ciptaan manusia, tidak ada yang dapat mencapai kesempurnaan secara utuh seluruhnya masih terdapat ketimpangan serta kekurangan di sana sini. Demikian juga dalam suatu perjanjian, tidak mungkin dimuat aturan-aturan yang dapat meliputi segala kemungkinankemungkinan yang akan timbul di belakang hari, selalu ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia ketika ia melakukan perjanjian seperti inilah peranan kejujuran atau itikad baik sangat dibutuhkan, sehingga akan tercapai perjanjian yang benar-benar sesuai dengan kemauan serta perasaan hukum para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Oleh karena jual beli adalah salah satu bentuk perikatan yang bersumber pada persetujuan, dimana para pihak yang melaksanakan perjanjian jual beli tersebut diberikan kesempatan untuk mengadakan kesepakatan (konsensus) tentang isi dari perjanjian yang sesuai dengan keinginan para pihak, akan tetapi tidak selamanya perjanjian yang dibuat dengan persetujuan berjalan di atas nilainilai kejujuran dan kepatutan yang hidup di tengah-tengah masyarakat kadangkala ada pihak yang mencari keuntungan sendiri dalam melaksankan suatu perjanjian dengan mencari kelemahan dan kekurangan dari perjanjian tersebut.
39
Ridwan Khairandy, Op.cit, h. 231.
36
2.4 Pengertian Akibat Hukum 2.4.1 Pengertian dan Penyebab Munculnya Akibat Hukum Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan karena adanya suatu hubungan hukum. Penyebab munculnya akibat hukum adalah akibat hukum muncul karena adanya suatu perbuatan yang tidak memenuhi syarat baik formal maupun materiil. Misalnya dalam suatu sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, apabila tidak dipenuhinya syarat subyektif maka akibat hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan. Apabila syarat obyektifnya tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum. Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jual beli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar barang tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi disamping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelaslah
37
bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum. 2.4.2 Jenis-Jenis Akibat Hukum Dalam Perjanjian Jenis-jenis akibat hukum dalam perjanjian dapat dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu: A. Pengertian Kebatalan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ada banyak peristilahan menyangkut kebatalan misalnya : -
Pasal 412 KUHPerdata memakai kata „batal dan tak berdaya‟
-
Pasal 879 KUHPerdata memakai kata „batal dan tak berhargalah‟
-
Pasal 1335 KUHPerdata memakai kata „tidak mempunyai kekuatan‟
-
Pasal 1446 KUHPerdata memakai kata „batal demi hukum dan harus dinyatakan batal‟.
-
Pasal 1449 KUHPerdata memakai kata „membatalkannya‟
-
Pasal 1450 KUHPerdata memakai kata „pembatalan‟
-
Pasal 1545 KUHPerdata memakai kata „gugur‟
-
Pasal 1553 KUHPerdata memakai kata „gugur demi hukum‟
-
Pasal 1334 KUHPerdata memakai kata „tidak diperkenankan‟
-
Pasal 1154 KUHPerdata memakai kata „tidak diperkenankan dan batal‟.
38
Namun demikian, istilah apapun yang dipakai oleh undang-undang kesemuanya mengandung arti batal (netig). Kebatalan dapat dibagi dua, yaitu : -
Pertama, melanggar syarat-syarat subjektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 ayat 1 dan 2 KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaarheid)
-
Kedua, melanggar syarat-syarat objektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ayat 3 dan 4 KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietigbaarheid). Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, amar putusan hakim akan
berbunyi „membatalkan‟ sifatnya constitutip (membuat hukum). sedangkan untuk perjanjian batal demi hukum, amar putusan hakim akan berbunyi „menyatakan batal‟ sifatnya deklaratoir (menunjuk kepada hukum). B. Dapat Dibatalkan Perjanjian dapat dibatalkan apabila, 1. Melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian, yaitu melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata (sepakat mereka yang mengikatkan diri). Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata menyatakan perjanjian adalah sah apabila diantara para pihak sepakat mengikatkan diri. Tidak sepakat yang sah (cacat kehendak/wilsgbrek) apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan dan penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Perikatan-perikatan yang dibuat dengan kekhilafan, paksaan dan penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkan (Pasal 1449 KUHPerdata).
39
2. Melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian, yaitu melanggar Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata (kecakapan membuat perjanjian). Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian adalah sah apabila para pihak cakap dalam membuat suatu perjanjian. Orang yang belum dewasa dan orang yang berada dibawah pengampunan adalah tidak cakap bertindak menurut hukum. 3. Melanggar ketentuan lainnya. a. Penyalahgunaan keadaan (undue influence). Definisi penyalahgunaan keadaan adalah keadaan dimana dalam suatu perjanjian salah satu pihak mengambil kesempatan yang tidak wajar terhadap pihak yang posisinya lemah. Atau dalam suatu perjanjian salah satu pihak posisinya kuat, posisi mana disalahgunakan oleh pihak tersebut. Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan hal yang sifatnya kasuistis situasional
tidak
berkaitan
dengan
yang
sifatnya
permanen
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 433 KUHPerdata yaitu: orang dungu, orang sakit otak, mata gelap, pemboros. b. Perjanjian timbal balik Pasal 1266 KUHPerdata menentukan bahwa syarat batal, selalu dianggap
dicantumkan
dalam
perjanjian
timbal
balik,
dan
pembatalannya harus dimintakan kepada hakim, dengan syarat yang meminta pembatalan telah memenuhi kewajibannya, sedangkan pihak lawannya
tidak.
Permintaan
pembatalannya
dapat
diajukan
berdasarkan eksepsi. Perjanjian pembatalan ke pengadilan berdasarkan
40
ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata ini, tidak memerlukan persyaratan “debitur dinyatakan lalai memenuhi perjanjian terlebih dahulu seperti diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata”. c. Actio Pauliana Keterangan si berpiutang dapat meminta pembatalan atas perjanjian yang dibuat oleh orang yang berutang dengan pihak lain, sejauh perjanjian itu merugikan dirinya. C. Batal Demi Hukum Perjanjian batal demi hukum apabila perjanjian itu melanggar syaratsyarat obyektif sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat 3 KUHPerdata (Suatu hal tertentu). Suatu hal tertentu dimaksudkan adalah bahwa perjanjian itu obyeknya harus tertentu, dapat ditentukan yaitu suatu barang yang dapat diperdagangkan, dan dapat ditentukan jenisnya, jelas, tidak kabur. 2. Melanggar Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata (suatu sebab yang halal). Suatu sebab yang halal apabila perjanjian itu dibuat berdasarkan kepada sebab yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang. Dan tidak melanggar ketentuan tentang isi dari perjanjian, misalnya : -
Dilarang mencantumkan dalam suatu perjanjian suatu syarat yang tidak mungkin dilaksanakan (Pasal 1254 KUHPerdata)
-
Dilarang membuat perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu, melanggar
undang-undang,
bertentangan
dengan
kesusilaan,
41
bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata). D. Perjanjian Non Existent Perjanjian yang tidak memenuhi unsur esensialia (unsur mutlak) dari suatu perjanjian. Perjanjian nonexistent juga disebut perjanjian yang telah tiada, misalnya : -
Perjanjian jual beli, unsur esensialianya adalah barang dan harga, dimana dalam perjanjian itu misalnya unsur esensialia harga tidak dicantumkan, sehingga perjanjian itu menjadi nonexistent, dan karenanya batal demi hukum.
- Perjanjian sewa, unsur esensialianya adalah lamanya sewa dan harga sewa, misalnya lama sewa tidak dicantumkan, sehingga perjanjian menjadi nonexistent, karenanya batal demi hukum.40 Selain apa yang disebutkan diatas yakni akibat hukum dapat dibatalkan dan batal demi hukum, ada jenis-jenis akibat hukum lainnya dalam perjanjian diantaranya suatu akibat hukum yang menyatakan perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan akibat hukum yang menyatakan sah atau tidak sah suatu perjanjian.
40
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 71.