BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional, maupun antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri. Untuk memahaminya, ada baiknya kita berangkat dari pengertiannya terlebih dahulu. Pengertian perjanjian internasional secara definitif sukar dilakukan sebagaimana juga yang dihadapi apabila mencari batasan mengenai
Universitas Sumatera Utara
pengertian hukum itu sendiri. Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional. 26 Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie 27 adalah : “Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”. Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya. Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional dengan rumusan yang lebih luas 28, yaitu : “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibatakibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”. Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu 29 : 26
ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol. III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231. 27 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969. 28 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
a. an international agreement; b. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara); c. in written form; d. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik); e. whatever form. Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional, yaitu : a. An International Agreement Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau permasalahan lintas negara. Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral, multilateral, regional ataupun universal. b. Subject of International Law Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.
29
Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 46.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat dibuat di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah : 1.
Negara;
2.
Organisasi Internasional;
3.
Palang Merah Internasional;
4.
Tahta Suci/Vatican;
5.
Pemberontak/Belligerent.
c. In Written Form Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969. 30 d. Governed by International Law Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan
30
Pasal 3 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa : The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between states and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect : a. The legal force of such agreements; b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention; c. The application of the Convention to the relations of States as between themselves under international law are also parties.
Universitas Sumatera Utara
rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah memenuhi dua elemen, yaitu : 1. Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum (Intended to create obligations and legal relations). There may be agreements whilst concluded between states but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a Joint Statement, or MoU, depends on the subject-matter and the intention of the parties. 2. Tunduk pada rezim hukum internasional (Under international law). There may be agreements between States but subject to the local law of the one of the parties or by a private law system/conflict of law such as agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions. e. Whatever Forms Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain, penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969. Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. 31 Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional yang paling penting mengandung pengertian sebagai perjanjian antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengadakan 31
Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention), kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli. Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
akibat-akibat tertentu. Apabila dijabarkan lebih lanjut, perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh dan diantara : (1) Negara dengan negara; (2) Negara dan kesatuan bukan negara; (3) Kesatuan bukan negara satu sama lain. Perjanjian Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain itu, banyak sumber hukum
internasional
lain
seperti
kebiasaan
internasional
yang
sudah
dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional. Seperti yang terlihat dari definisinya, suatu instrumen dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional tanpa bergantung pada nomenklatur atau penamaannya. Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, pengelompokkan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak relevan dan tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Berikut beberapa istilah Perjanjian Internasional yang sering digunakan 32 : 1. Traktat (Treaty) Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang pada umumnya bersifat multilateral. Meskipun demikian, kebiasaan negara-
32
Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
negara di masa lampau cenderung menggunakan istilah ini untuk perjanjian bilateral. 2. Konvensi (Convention) Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat law making treaty dengan pengertian yang meletakkan normanorma hukum bagi masyarakat internasional. 3. Persetujuan (Agreement) Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral dengan substansi lebih kecil lingkupnya. 4. Piagam (Charter) Istilah ini digunakan untuk instrumen internasional yang dijadikan sebagai dasar pembentukan suatu organisasi internasional. 5. Protokol (Protocol) Protokol merupakan instrumen tunggal yang memberikan amandemen, turunan, atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya. 6. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding/MoU) Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat berlaku segera setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan. 7. Pertukaran Nota Diplomatik (Exchange of Notes) Merupakan suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing negara yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu.
Universitas Sumatera Utara
8. Modus Vivendi Istilah ini digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal. 9. Agreed Minutes atau Summary Records atau Record of Discussion Istilah ini digunakan untuk suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintah tentang hasil akhir atau hasil sementara (seperti draft suatu perjanjian bilateral) dari suatu pertemuan teknis. Secara garis besar, bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi 33 : 1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini, perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara; 2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai untuk perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis; 3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara (inter-states). Perjanjian ini dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negaranegara; 4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing; 5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara wakilwakil departemen pemerintah khusus.
33
J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 585.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara pesertanya dibedakan menjadi Perjanjian Internasional Bilateral yang hanya terdiri dari dua pihak atau dua negara saja serta Perjanjian Internasional Multilateral yang jumlah pesertanya lebih dari dua negara peserta. Suatu penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan isi perjanjian multilateral dalam treaty contract (traite-contract) dan law making treaties (traite-lois). 34 Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh treaty contract demikian misalnya perjanjian mengenai dwi-kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian pemberantasan penyelundupan. Dengan law making treaties atau traitelois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh perjanjian demikian ialah Konvensi Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Konvensi Tahun 1958 mengenai Hukum Laut, Konvensi Vienna Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. 35 Mengutip pendapat Ketut Mandra 36, yang mengatakan bahwa peranan atau fungsi perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum internasional dapat diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni :
34
Pembedaan ini diikuti juga oleh para sarjana hukum Inggris dan Amerika. Misalnya J.G. Starke, Introduction to International Law, 1967. Lihat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja S.H. LLM., Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Bandung, 1977, hlm. 86. 35 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 122. 36 I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
a. Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law); b. Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts); c. Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya. Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melaksanakan tahaptahap pembuatan perjanjian internasional. Tahapan pembuatan pejanjian internasional tersebut terdiri dari : 1. Perundingan (Negotiation) Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut dapat ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahkan. Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan
perundingan
terhadap
masalah
yang
harus
diselesaikan.
Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri ataupun duta besar. Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, negara juga dapat menunjuk seseorang untuk dapat mewakili negara tersebut dalam melakukan tahapan
Universitas Sumatera Utara
pembuatan perjanjian dengan membuat Surat Kuasa Penuh (Full Power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. 2. Penandatanganan (Signature) Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan atau menteri luar negeri. Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila konferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 3. Pengesahan (Ratification) Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.
B. Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional Dua perkembangan pesat dewasa ini telah membuat sistem Indonesia menggeliat.
Pertama
adalah
perkembangan
internal
yaitu
reformasi
ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan proses demokratisasi dalam bidang hukum untuk menuju suatu sistem hukum modern, dan kedua adalah
Universitas Sumatera Utara
faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran instrumen asing seperti perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang sedang bereformasi. 37 Di kalangan pakar hukum Indonesia sendiri, persoalan yang lebih teknisyuridis juga belum mencapai titik kesepakatan. Apakah berlakunya perjanjian internasional di level internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di hukum nasional ? Pro dan kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di perdebatan publik antara para pakar hukum dari berbagai bidang. Kementerian Luar Negeri yang paling terkena dampak akibat ketidakseragaman pemahaman publik tentang perjanjian internasional telah berusaha mempertemukan berbagai kelompok pakar dari berbagai disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion (FGD) 38, guna memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan referensi. Diskusi ini setidaknya berhasil menginventarisasi berbagai pemikiran yang hidup di kalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan 37
Makalah disampaikan oleh Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH, MA pada seminar “Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI – Kajian Kritis terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN”, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm. 1. 38 Sejak tahun 2006, Kementerian Luar Negeri menggelar rangkaian Focussed Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh pakar hukum tata Negara dan hukum internasional guna membahas tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional, yaitu di FH Universitas Andalas, FH UI, FH Unair dan FH Unpad. Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundangundangan yang jelas pula. Pada konteks Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan hanya melihat perjanjian internasional terbatas sebagai perjanjian antara subjek hukum internasional negara dengan negara. Dengan demikian, rumusan awal dari UUD 1945 tersebut tidak mencakup perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional. 39 Hukum, doktrin dan praktik Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia belum berkembang dan acap kali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangka ketidakjelasan. Ini merupakan akibat dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktik dalam menjawab tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum Republik Indonesia. 40 Menurut Damos Dumoli Agusman, dalam tataran praktis, di kalangan pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pemikiran yang dapat dipetakan sebagai berikut :
39
Rumusan Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen dan ayat (1) pasal tersebut setelah amandemen kiranya equivalent dengan pengertian Perjanjian Internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969. 40 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
1. Alur pemikiran yang menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan (diratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional. 2. Alur pemikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan suatu perjanjian internasional yang telah disahkan. Istilah perjanjian internasional dalam UUD 1945 baru muncul setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 pada tahun 2001 yang menambahkan dua ayat baru pada Pasal 11 UUD 1945 dan menjadikan rumusan lama Pasal 11 UUD 1945 sebagai ayat pertama. Rumusan lengkap Pasal 11 UUD 1945 adalah sebagai berikut 41 : 1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; 2. Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; 3. Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-undang. Perumusan Pasal 11 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas, rumusan ayat (2) dan ayat (3) berupaya memberi penjelasan bahwa perjanjian internasional tidak hanya diartikan sebagai perjanjian dengan negara lain, tetapi perjanjian internasional dalam pemahaman perjanjian internasional yang diakui dalam hukum internasional. Negara di satu sisi masih menjadi subjek hukum yang utama namun di sisi lain peningkatan peran subjek-subjek bukan negara tidak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum internasional. 41
Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bukti atas hal tersebut, bisa dilihat definisi hukum internasional yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja 42 yang menyatakan bahwa : “Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara : 1). Negara dengan negara; 2). Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.” Definisi di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional bukan hanya dapat dibentuk oleh negara namun juga dapat dibuat oleh subjek-subjek yang bukan negara. Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki sebuah peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Internasional dalam rangka mendukung penyelenggaran hubungan luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih kuat yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mana memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian internasional, yaitu “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. 43 Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri juga memberikan definisi Perjanjian Internasional, yaitu : “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
42
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997, hlm. 3. 43 Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 LN No. 185 Tahun 2000, TLN 4012, Pasal 1 ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
internasional atau subjek internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”. 44 Kedua perangkat hukum dimaksud merupakan landasan hukum yang mengikat bagi pemerintah pusat dan pelaku hubungan luar negeri lainnya termasuk unsur-unsur daerah dalam melaksanakan hubungan luar negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi praktik, elemen-elemen perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Konvensi Wina telah dipenuhi. Namun, praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia masih menyisakan kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan Governed by International Law, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat Pemerintah RI dengan subjek hukum internasional dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti loan agreements atau perjanjian pinjaman. 45 Dalam tatanan teoritis maupun praktik-praktik termasuk Indonesia, ditemukan pula jenis perjanjian yang bersifat administratif yang dibuat antara lembaga pemerintah/negara Indonesia dengan lembaga pemerintah/negara asing misalnya perjanjian antara Kementerian Indonesia dengan Kementerian negara sahabat, termasuk perjanjian antara Pemerintah Daerah seperti MoU Sister City/Sister Province. Perjanjian ini (pada umumnya dalam bentuk MoU) masih menimbulkan kontraversi terkait statusnya sebagai suatu perjanjian internasional (treaty). 46
44
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 LN No. 156 Tahun 1999, TLN 3882, Pasal 1 ayat 3. 45 Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 94. 46 Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, LPHI FH UI, Vol. 3, No. 4, Juli 2006, hlm. 484-485.
Universitas Sumatera Utara
C. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional Kedudukan hukum internasional sebagai salah satu bagian dari hukum secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian, hukum internasional sebagai suatu hukum yang berlaku efektif dapat berperan dalam kenyataan hidup dan memiliki keterikatan atau hubungan dengan bidang hukum lainnya. Perkembangan hukum internasional yang cepat dewasa ini merupakan konsekuensi dari hubungan internasional yang intensif dan luas antar bangsa telah melahirkan berbagai macam norma hukum internasional dalam format perjanjian internasional seperti traktat, konvensi dan perjanjian internasional lainnya. Sementara
itu,
keberadaan
hukum
kebiasaan
internasional
(customary
international law) menjadi semakin penting mengingat semakin luas upaya untuk mengkodifikasi dan mengunifikasi hukum kebiasaan internasional ke dalam bentuk perjanjian internasional. Keadaan ini menumbuhkan positivisme baru di ranah hukum internasional dan negara sebagai subjek hukum internasional perlu untuk memperhatikan perkembangan tersebut. Dengan perkembangan ini, masyarakat internasional masih merupakan subjek hukum internasional yang utama. Namun, tentunya hal yang perlu diperhatikan adalah peran dan status negara sebagai subjek hukum internasional mengalami penipisan pengaruh. Indonesia sebagai subjek hukum internasional perlu juga memperhatikan perkembangan tersebut dengan baik, mengingat baik secara langsung maupun tidak langsung, norma baru hukum internasional yang menyangkut kepentingan bersama dan diwujudkan dalam perjanjian internasional akan sulit untuk dihindarkan.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan yang terpenting adalah dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam lingkup nasional yang mengatur kehidupan manusia dalam negaranya masing-masing, yang disebut dengan Hukum Nasional. The problem of relationship between international law and municipal law has become the subject of much derate with the protagonist of various being much influenced by a desire to strengthen either municipal law or a state’s sovereignity or a world community. 47 Rebecca M.M. Wallace mengemukakan bahwa persoalan mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional adalah perluasan dimana pengadilan nasional akan memberikan pengakuan dalam sistem hukum setempat terhadap hukum internasional yang bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum nasional. Secara teoritis, persoalannya berakar dari ketidakjelasan aliran yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Di negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam constitutional provisions atau undang-undang nasional yang secara tegas membuat kaidah tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sistem hukum di Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini, sehingga jangankan suatu constitutional legal provision, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai. 48 Dalam teorinya, terdapat beberapa pilihan politik hukum, yaitu : • Aliran Dualisme Menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional, dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua
47
Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction 2nd Ed, Westview Press, Boulder-Colorado, 1991, hlm. 22. 48 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasional ke dalam hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk prosedur konversi ini. Pengikatan-pengikatan diri suatu negara ke suatu perjanjian (misalnya melalui ratifikasi) harus dilanjutkan dengan proses transformasi melalui pembuatan
legislasi
nasional.
Dengan
dikonversikannya
kaidah
hukum
internasional ini ke dalam hukum nasional, maka kaidah tersebut akan berubah karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan perundang-undangan nasional. Karena sistem yang terpisah maka tidak dimungkinkan adanya konflik di antara kedua hukum ini. • Aliran Monisme Menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Pengikat diri suatu negara kepada suatu perjanjian (misalnya dengan ratifikasi) merupakan inkorporasi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional dan tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukannya dalam hukum nasional. Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama, maka legislasi yang dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional. Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional. Mengingat ini merupakan kesatuan sistem maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum nasional dan hukum internasional.
Universitas Sumatera Utara