BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari Hukum Internasional Publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masingmasing agama seperti Buddha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan juga Islam memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada. Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).8 Jean Jacques Rosseau mengatakan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam buku nya yang berjudul The Social Contract. Inilah yang kemudian menjadi konsep dari Hukum Humaniter Internasional. Lalu pada abad ke 19, landasan yang diberikan oleh J.J Rosseau ini kemudian diikuti oleh Henry Dunant yang tak lain adalah initiator organisasi Palang Merah. Pada akhirnya, negara-negara membuat suatu kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional yang bertujuan untuk menghindari penderitaan
8
Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 1.
14 Universitas Sumatera Utara
15
sebagai akibat dari perang. Peraturan-peraturan yang diciptakan dibuat dalam suatu Konvensi, dan disetujui untuk dipatuhi bersama. Sejak saat itu, terjadi perubahan dari sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak yang disebabkan dari penggunaan senjata modern. Pada akhirnya menyadarkan perlunya suatu perbaikan serta perluasan Hukum Humaniter. Sangat tidak mungkin untuk menemukan bukti dokumenter, kapan dan dimana aturanaturan hukum humaniter itu timbul, dan bahkan lebih sulitnya lagi adalah menyebutkan “pencipta” dari hukum humaniter tersebut.9 Dikatakan diawal bahwa hukum humaniter berusia sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut, hambatan, dan kesulitan.
Upaya-upaya
tersebut
dapat
dibagi
dalam
tahapan-tahapan
perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas: 1. Zaman Kuno Pada masa ini perang tidak memberi kesan yang mengerikan bagi para pihak yang berperang serta orang-orang yang berada di daerah peperangan. Karena di masa ini, seluruh pemimpin militer memberi perintah kepada para 9
Hans-Peter Gasser, International Humanitarian Law, An Introduction, Paul Haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
16
pasukan untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan setiap mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil dari pihak musuh. Saat waktu penghentian konflik, para pihak yang bersengketa membuat suatu kesepakatan yang mengharuskan mereka untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.10 Pada masa ini juga membiasakan untuk memberi peringatan terlebih dahulu kepada pihak musuk sebelum perang dimulai. Untuk menghindari luka yang yang berlebihan maka ujung panah dilarang untuk diarahkan ke hati. Bila ada yang terbunuh atau terluka, maka peperangan wajib diberhentikan selama 15 hari. Seiring berjalannya waktu, upaya-upaya tersebut tetap berkembang dan tentunya mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Hal ini dikemukakan oleh Jean Pictet, antara lain: a. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang telah menjadi suatu lembaga yang terorganisir. Hal ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, arbitrasi, kekebalan utusan musuh serta perjanjian perdamaian. b. Dalam kebudayaan Mesir Kuno, tergambar adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh. Juga perintah untuk merawat setiap orang yang sakit dan menguburkan yang mati. c. Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan sangat manusiawi karena hukum yang mereka miliki didasarkan keadilan serta integritas. Para penduduk yang menyerah tidak akan diganggu, 10
Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
17
serta apabila terdapat penduduk yang melakukan perlawanan akan ditindak tegas. d. Dalam kebudayaan India, para satria dilarang keras untuk membunuh musuh yang cacat atau yang menyerah. Apabila ada yang luka, maka mereka harus dipulangkan ke tempat tinggal mereka setelah sebelumnya diobati. Pemakaian senjata yang dapat menusuk hati ataupun senjata yang beracun dan panah api sangat dilarang. 2. Abad Pertengahan Pada abad pertengahan, ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatria sudah mulai mempengaruhi eksistensi dari hukum humaniter. Oleh agama Kristen, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa konsep “perang yang adil” atau just war. Sedangkan oleh agama Islam, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa pandangan bahwa perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Ajaran Islam tentang tentang perang dapat dilihat dalam Al Qur’an surah al Baqarah: 190, 191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39.11 Prinsip ksatria juga turut memberi pengaruhnya kepada hukum humaniter. Bentuk pengaruh yang diberikan oleh prinsip ini ialah mengajarkan pentingnya pengumuman perang serta larangan penggunaan senjata tertentu. 3. Zaman Modern Melihat uraian yang sebelumnya, jelas sekali bahwa dari waktu ke waktu hukum humaniter mengalami pasang surut dengan waktu yang terkesan singkat. Zaman modern ditandai dengan praktek-praktek dari berbagai negara yang 11
Masjur Effendi,, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang, Malang, 1995, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
18
kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang. Keadaan ini terjadi di abad ke 18 setelah berakhirnya perang Napoleon sampai kepada pecahnya Perang Dunia I. Yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah lahirnya serta perkembangan hukum humaniter ialah berdirinya suatu organisasi kemanusiaan, yaitu Palang Merah yang di promotori oleh Henry Dunant. Selain berdirinya organisasi ini, penandatanganan Konvensi Jenewa 1864 juga menjadi tonggak penting terhadap perkembangan hukum humaniter. Konvensi Jenewa 1864 merupakan Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat. Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali Konvensikonvensi Jenewa yang berikutnya, yang berhubungan tentang Perlindungan terhadap Korban Perang. Pada dasar nya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian(kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil).12 Melihat dari apa yang menjadi tujuan dari salah satu cabang Hukum Internasional ini adalah menegaskan bahwa setiap terjadi pertikaian bersenjata; baik yang sifatnya internasional ataupun non internasional, jatuhnya korban jiwa serta keadaan yang porak poranda tidak dapat dihindarkan. Hukum Humaniter diciptakan hanya untuk mengatur konflik bersenjata saja. Tidak untuk mengatur
12
Prof. KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3.
Universitas Sumatera Utara
19
bentuk-bentuk lain dari konflik atau perang, misalnya konflik ekonomi (economical warfare). Salah satu cabang dari Hukum Internasional yang bersifat publik ini dulu nya sempat menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena namanya. Banyak kalangan yang mengira bahwa Hukum Humaniter merupakan nama baru dari Hukum Perang. Untuk menghilangkan keragu-raguan terhadap istilah dari hukum ini, maka secara tegas istilah yang sesungguhnya dari hukum ini adalah Hukum Humaniter (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict). Istilah yang muncul sebelum adanya penegasan akan hal ini adalah dahulu disebut Hukum Perang (Laws of War), kemudian berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict), dan kemudian diubah untuk terakhir kali nya menjadi Hukum Humaniter. Munculnya istilah sah dari hukum ini diharapkan tidak lagi menimbulkan suatu kebingungan di tengah masyarakat. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, terdapat berbagai rumusan atau defenisi tentang hukum humaniter serta ruang lingkupnya yang berasal dari para sarjana. Rumusan serta ruang lingkup ini ditujukan untuk mempermudah pemahaman terhadap salah satu cabang hukum internasional yang bersifat publik ini. Sebagai pemahaman lebih jauh, Geza Herzegh memberikan rumusan tentang hukum humaniter yaitu: “…. Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the
Universitas Sumatera Utara
20
norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its pupose and spirit being different”13 Bagian dari aturan-aturan hukum internasional publik yang berfungsi sebagai perlindungan individu dalam masa konflik bersenjata. Tempatnya adalah disamping norma peperangan itu terkait erat dengan mereka, tetapi harus jelas membedakan dari ini tujuan dan semangat yang berbeda. Pengertian yang diberikannya lebih memfokuskan pada tujuan dari hukum humaniter, yaitu memberikan perlindungan individu sepanjang tejadinya konflik bersenjata. Lebih berdasarkan pada wujud dari implementasi hukum humaniter tersebut. Hal senada juga dijelaskan Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.14
Hampir
sama
dengan
Herzegh,
bahwa
pendapat
Mochtar
Kusumaatmadja bertitik pada perlindungan terhadap korban konflik bersenjata. Sedangkan Jean Pictet menjelaskan: “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”15
13
Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law, Hlm 17 dalam Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 9. 14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, 1980, Hlm 5 dalam Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 9. 15 Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Op Cit., Hlm 15.
Universitas Sumatera Utara
21
Hukum humaniter internasional dalam arti luas adalah ketentuan hukum yang konstitusional, baik yang tertulis dan adat, yang menjamin penghormatan terhadap individu dan kesejahteraannya. Pengertian yang diberikannya lebih ditujukan kepada sifat dari hukum humaniter itu sendiri serta tujuan utama nya. Dalam rumusan yang diberikan oleh Sarjana ini, terdapat unsur HAM di dalam nya, yaitu mengenai penghormatan terhadap individu serta kesejahteraannya. HAM menjadi salah satu materi penting dalam penyusunan atau pembentukan dari hukum humaniter. Salah satu pembahasan yang terdapat dalam hukum internasional adalah mengenai ajaran “just war”. Melalui ajaran ini, maka hukum humaniter dibagi dalam dua bagian, yaitu: 1. Jus ad bellum yang berarti hukum tentang perang; 2. Jus in bello yang berarti hukum yang berlaku dalam perang. Jus ad bellum membahas mengenai tentang waktu pelaksanaan perang atau mengatur tentang hal bagaimana suatu Negara dibenarkan untuk melakukan kekerasan bersenjata atau berperang. Sedangkan Jus in bello membahas mengenai ketentuan-ketentuan atau hukum yang berlaku dalam perang, yang diatur dalam sumber-sumber hukum humaniter. Ketentuan dalam Jus in bello dijabarkan lagi dalam 2 (dua) ketentuan lagi, yakni: a. Ketentuan megenai tata cara dilakukannya perang (conduct of war) dan alat-alat yang dibenarkan dipakai untuk berperang. Ketentuan ini
Universitas Sumatera Utara
22
secara umum disebut sebagai Hukum Den Haag atau The Hague Laws yang terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 b. Ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap orang-orang yang menjadi korban perang baik itu yang tergolong kombatan dan penduduk sipil. Ketentuan ini lazimnya dikenal sebagai Hukum Jenewa atau The Geneva Laws yang tercantum dalam Konvensikonvensi Jenewa tahun 1949. Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini ialah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap pihak yang jatuh ke tangan musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya perdamaian antara pihak yang bertikai serta membatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh satu pihak di dalam suatu wilayah pertikaian. Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas penting dalam Hukum Humaniter. Asas-asas tersebut antara lain: 1. Asas Kepentingan Militer Asas ini memaparkan bahwa setiap pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menaklukan lawan atau musuh demi tercapainya keberhasilan perang. Dalam istilah asing, asas ini disebut juga military necessity.
Universitas Sumatera Utara
23
2. Asas Perikemanusiaan Asas ini menjelaskan bahwasannya para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk memperhatikan perikemanusiaan. Maksudnya adalah bahwa setiap pihak yang bertikai dilarang menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak diinginkan. Dalam istilah asing asas ini disebut humanity. 3. Asas Kesatria Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran merupakan suatu hal yang sifat nya sangatlah penting. Kejujuran harus diutamakan. Kejujuran yang dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang tidak diperkenankan untuk digunakan, tidak dibenarkan melakukan berbagai ragam tipu muislihat dan tidak dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. Dalam istilah asing asas ini disebut chilvary. Suatu hukum diciptakan tidak hanya dengan mempertimbangkan tujuan apa yang hendak dicapai oleh hukum tersebut. Sumber daripada hukum tersebut juga harus menjadi salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan. Suatu hukum harus memiliki sumber yang jelas. Jika suatu hukum tidak memiliki sumber hukum yang jelas, dikhawatirkan hukum tersebut menjadi tidak sah atau tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Universitas Sumatera Utara
24
Bagi hukum internasional, sumber hukum nya mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Pasal ini menyebutkan bahwa sumber hukum yang dapat diterapkan antara lain: 1. Perjanjian yang bersifat internasional. Baik itu yang sifatnya umum ataupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum dan ditetapkan sebagai suatu aturan hukum yang tegas serta diakui oleh tiap-tiap negara peserta; 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum; 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang oleh diakui bangsa-bangsa yang beradab; 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang sifatnya paling terkemuka dari berbagai negara, yang dijadikan sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum internasional. Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter, maka dapat diketahui bahwasannya hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai tata cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan Hukum Jenewa mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter. Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenankan untuk dipakai
Universitas Sumatera Utara
25
selama masa perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konferensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907. Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum den Haag”. Ada 2 prinsip penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip pertama berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”16. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang. Prinsip terpenting kedua dalam Hukum den Haag ini ialah dikenal dengan “Martens Clause”, yang dapat ditemukan dalam Pembukaan Konvensi den Haag. Klausula Marten ini merupakan suatu klausula yang memberi ketentuan apabila hukum humaniter belum member suatu aturan terhadap hal-hal tertentu, maka ketentuan yang dapat dipergunakan adalah ketentuan yang harus mengacu dan berpedoman kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang dibentuk dari kebiasaan yang ada di antara negara-negara, hukum kemanusiaan serta yang berasal dari hati nurani masyarakat. Konferensi den Haag yang berlangsung dari 18 Mei – 29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta dan tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut antara lain17: 1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat 3. Konvensi III mengenai Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. 16 17
Prof. KGPH. Haryomataram, Op Cit., hlm 46. Arlina Permanasari, Op Cit., hlm 23.
Universitas Sumatera Utara
26
Telah disebutkan diatas bahwa konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi, tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut terdiri dari18: 1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia). 2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. Konferensi Den Haag yang terjadi pada tahun 1899 yang silam kemudian disempurnakan lagi dengan diselenggarakannya Konferensi II Den Haag pada tahun 1907. Pada konferensi ini, konvensi yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah konvensi yang lahir dari konferensi pertama di tahun 1899. Meningkatnya jumlah konvensi yang dilahirkan menandakan bahwa pada saat itu dunia memang sudah selayaknya memiliki suatu aturan-aturan yang tegas yang mencakup segala aspek kepentingan hidup masyarakat dunia. Konvensikonvensi dari konferensi kedua yang dilaksanakan di Den Haag pada tahun 1907 yang lalu, antara lain terdiri dari19: 1. Konvensi
I
mengenai
Penyelesaian
Damai
Persengketaan
Internasional; 18 19
Ibid. hlm 23. Ibid. hlm 24.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Konvensi II mengenai Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata; 3. Konvensi III mengenai Cara Memulai Peperangan; 4. Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; 5. Konvensi V mengenai Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; 6. Konvensi VI mengenai Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan; 7. Konvensi VII mengenai Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; 8. Konvensi VIII mengenai Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut; 9. Konvensi IX mengenai Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang; 10. Konvensi X mengenai Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11. Konvensi XI mengenai Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12. Konvensi XII mengenai Mahkamah Barang-barang Sitaan; 13. Konvensi XIII mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Sumber lain dari hukum humaniter adalah Hukum Jenewa. Atau dalam bahasa asing, disebut The Geneva Laws. Hukum ini merupakan seperangkat aturan yang berisikan materi-materi mengenai perlindungan terhadap orang-orang
Universitas Sumatera Utara
28
yang menjadi korban perang. Hukum Jenewa lahir setelah adanya konferensi internasional yang diselenggarakan di Swiss, Jenewa pada tahun 1949. Melalui konferensi itu lahirlah empat perjanjian pokok, yang masing-masing adalah: 1. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat; 2. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam; 3. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan Tawanan Perang; 4. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang. Selain melahirkan empat buah konvensi tersebut diatas, Hukum Jenewa juga memiliki beberapa protokol tambahan. Keberadaan dari protokol tambahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kinerja dari empat konvensi yang telah dibentuk lebih dulu, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam keempat Konvensi Jenewa 1949. Protokol tambahan ini disusun sekitar tahun 1977 dan dibagi ke dalam 2 buku, yakni: 1. Protokol I, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata yang bersifat lintas negara (internasional). 2. Protokol II, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pemberontak yang ada di wilayah tersebut. Dengan kata lain, sifat nya non-internasional. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa.
Universitas Sumatera Utara
29
Pembahasan lebih lanjut mengenai Konvensi Jenewa ini, akan penulis ulas lebih dalam lagi pada sub bab selanjutnya. Pada dasarnya, sumber utama dari hukum humaniter adalah Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Akan tetapi, hukum humaniter juga mengenal beberapa sumber hukum lainnya seperti Protokol Tambahan 1977 atau yang sering dikenal dengan sebutan “hukum campuran” karena sifatnya yang mengatur masingmasing sifat dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Selain Protokol Tambahan 1977, ada 7 hukum yang turut dijadikan sumber dari hukum humaniter. Ketujuh hukum tersebut ialah: 1. Deklarasi Paris (16 April 1856), yang mengatur tentang Perang di Laut. 2. Deklarasi St. Petersburg (29 November – 11 Desember 1868), tentang pelarangan penggunaan senjata yang permukaannya keras sehingga tutupnya dapat meledak. 3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923), yang digunakan sebagai pedoman dalam pertempuran di udara. 4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-macam Gas Lain dalam Peperangan 5. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan suatu penegasan dari Deklarasi Hukum Perang yang dibentuk di London.
Universitas Sumatera Utara
30
6. Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-benda Budaya pada waktu Pertikaian Bersenjata.20
B. Konvensi Jenewa 1949 dan Hal-hal yang Diatur di Dalamnya Sejarah kelahiran dari Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa dilepaskan dari suatu peristiwa besar dunia, yaitu Perang Dunia II yang berakhir pada tahun 1945. Dampak yang begitu besar dari peperangan yang keji ini yang pada akhirnya membuat tiap-tiap negara sepakat untuk membuat beberapa aturan, guna meminimalisirkan dampak negatif dari Perang Dunia II pada waktu silam. Keempat konvensi ini dirumuskan secara ekstensif, yakni berisikan klausula-klausula yang memberikan penetapan tentang hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, klusula-klausula yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, serta klausula-klausula yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat konvensi ini telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan sedikit perubahan oleh negara-negara yang total nya mencapai 194 negara. Pada dasar nya, tujuan utama dari dibentuknya keempat konvensi ini ialah untuk memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban selama peperangan, baik yang berasal dari kombatan dan warga sipil nya. Artinya adalah bahwa perlindungan harus diberikan secara merata dan adil bagi seluruh pihak tanpa melihat golongan nya. Hal ini sungguh jelas tertuang dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa1949. Dengan kata lain, orang-orang yang dilindugi oleh 20
Anne-Sophie Gindroz, “Sejarah dan Sumber-sumber Hukum Humaniter Internasional”,Makalah, Penataran Hukum Humaniter, PSSH – Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Cipayung, 1966, hlm. 16, dalam Arlina Permanasari, Ibid, hlm 45.
Universitas Sumatera Utara
31
konvensi ini haruslah "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria.". Menurut apa yang menjadi materi dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 jelas bertentangan dengan keadaan sebelum tahun 1949, dimana perlindungan hukum hanya diberikan kepada personel militer. Dalam keempat konvensi yang telah disebutkan pada halaman sebelumnya, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum. Selain ketentuan umum, keempat konvensi tersebut memuat prinsip fundamental yang dirumuskan sama. Ketentuan-ketentuan inilah yang pada akhirnya disebut “Article coomon to all four Conventions; common articles’ atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Ketentuan-ketentuan yang bersamaan. Ketentuan-ketentuan yang bersamaan ini dibagi dalam tiga golongan, diantaranya21: 1. ketentuan umum; 2. ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan; 3. ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup. Seluruh ketentuan ini pada umum nya diletakkan di awal atau di akhir setiap konvensi. Dalam setiap Konvensi Jenewa, terdapat sejumlah klausula yang materi nya mengandung aturan mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Ketentuan-ketentuan umum ini merupakan suatu ketentuan yang berisikan penghormatan terhadap setiap konvensi, tentang waktu berlaku nya konvensi, ketentuan tentang perang yang sifat nya tidak internasional, serta ketentuan yang 21
Prof. KGPH. Haryomataram, Op Cit., hlm 54.
Universitas Sumatera Utara
32
berisikan materi tentang Negara Pelindung. Ketentuan umum dari setiap konvensi biasanya dapat kita lihat dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 sampai ke Pasal 11. Pasal 1 yang terdapat dalam common articles berisikan sebuah “janji” dari Pihak Peserta Agung pada Konvensi-konvensi Jenewa. Pihak Peserta Agung harus “berjanji” untuk selalu menghormati serta menjamin penghormatan dalam segala keadaan. Dengan kata lain Pihak Peserta Agung haruslah menghormati konvensi tersebut dan harus memberi jaminan bahwa penghormatan terhadap konvensi tidak akan hilang. Hal ini memiliki arti bahwa tiap negara tidak cukup apabila hanya sekedar memberi perintah kepada para petugas militer atau sipil untuk menaati konvensi, tetapi pemerintah harus mengawasi bahwa perintahnya telah benar dilaksanakan.22 Bila diketahui ada petugas yang tidak menaati konvensi atau melanggar konvensi, maka negara harus mengambil tindakan yang tegas terhadap hal tersebut. Maksud pernyataan tersebut ialah bahwa tanggung jawab Pihak Peserta Agung menjadi semakin berat. Draper menyatakan bahwa kewajiban pemerintah
dalam konteks ini adalah bersifat uniteral dan reciprocal (tidak
bersifat timbale-balik). Ketentuan umum lainnya yang tidak kalah penting adalah ketentuan yang terkandung dalam Pasal 2. Pasal 2 ini berisikan aturan mengenai waktu berlakunya Konvensi Jenewa. Suatu aturan dikatakan baik apabila dapat diketahui
22
Ibid. hlm 55.
Universitas Sumatera Utara
33
pada situasi yang seperti apa aturan tersebut diberlakukan. Pasal 2 ini berbunyi sebagai berikut23: “Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu diantara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah pihak Peserta Agung sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan senjata. Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua pihak atau lebih pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu diantara mereka.” Melihat materi yang terkandung dalam Pasal 2 diatas, dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan perang yang diumumkan sekalipun tidak diakui. Konvensi ini turut berlaku pula dalam hal pendudukan sebagian ataupun seluruhnya sekalipun hal pendudukan ini tidak mendapat suatu perlawanan. Pasal ini menjadi salah satu pasal yang sifatnya sangat penting karena peran dari pasal ini adalah untuk menjalankan kondisi serta syarat yang harus dipenuhi agar konvensi berlaku. Selanjutnya alasan mengapa pasal ini bersifat penting adalah karena pasal ini memiliki tujuan untuk memperluas kondisi dan syarat yang terdapat dalam konvensi yang terdahulu, bahwa konvensi ini berlaku untuk semua kasus perang yang di deklarasikan sebagai konflik bersenjata. Salah satu frasa yang terkandung dalam Pasal 2 ini meberi suatu perubahan penting dalam hukum humaniter. Frasa “sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu diantara mereka”, memberi gambaran bahwa para 23
Arlina Permanasari, Op. Cit., hlm 34.
Universitas Sumatera Utara
34
pihak yang bertikai tidak lagi secara bersamaan terikat oleh suatu perjanjian. Apa yang menjadi gambaran dalam frasa ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi sebelum tahun 1949, dimana untuk melaksanakan suatu perjanjian internasional dalam suatu pertikaian, para pihak yang terlibat harus menjadi peserta dari perjanjian itu. Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 telah menghapus ketentuan Pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907. Konvensi Jenewa tetap berlaku bagi setiap pihak yang bersengketa. Hal penting yang juga harus diperhatikan dalam Pasal 2 ini ialah mengenai pendudukan yang tidak mendapatkan perlawanan. Hal ini harus diperhatikan karena dalam suatu peperangan biasanya terjadi bahwa setlah melakukan perlawanan, maka pihak yang bertahan dengan terpaksa harus mundur. Sehingga sebagian wilayah akan diduduki oleh pihak lawan. Dalam hal yang seperti itulah Konvensi 1949 mengenai perlindungan korban perang mulai diberlakukan. Tetapi bila memang pendudukan tidak didahului oleh sebuah perlawanan, anggota-anggota militer yang tertawan oleh musuh tidak memiliki hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Ketentuan umum juga terdapat dalam Pasal 3, yaitu pasal yang mengatur mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Kehadiran pasal ini juga turut memberikan suatu penyegaran bagi hukum humaniter internasional, karena dalam Konvensi Jenewa 1949-lah terdapat suatu ketentuan mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Pasal 3 ini berisikan aturan mengenai pertikaian bersenjata dalam negeri, dimana penerapan dari pasal ini tidak mempengaruhi legal position atau
Universitas Sumatera Utara
35
kedudukan hukum dari masing-masing pihak. Tidak ada satupun hak pemerintah yang berkurang, terutama dalam hak untuk melakukan tindakan terhadap pihak pemberontak. Pasal ini hanya menghimbau agar setiap korban pemberontakan dapat diperlakukan seturut dengan asas kemanusiaan. Tiap pihak dalam pertikaian tersebut diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:24 1. Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, lukaluka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus tetap diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. 2. Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Ada berbagai macam bentuk tindakan yang sangat dilarang untuk dilakukan terhadap tiap-tiap orang yang menjadi korban selama masa peperangan. Baik itu yang berasal dari hors de combat dan penduduk sipil nya. Bentuk-bentuk tindakan yang dilarang tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perbuatan kekerasan yang dilakukan terhadap jiwa dan raga seseorang, baik itu dalam bentuk pembunuhan, pengurungan dan penganiayaan; 2. Penyanderaan; 24
Prof. KGPH. Haryomataram, S.H., Op. Cit., hlm 59.
Universitas Sumatera Utara
36
3. Pemerkosaan serta perlakuan yang mencemarkan harkat dan martabat seseorang; 4. Melaksanakan hukuman dan menjalankan hukuman mati tanpa adanya putusan yang diberikan oleh pengadilan yang dibentuk secara sah di mata hukum yang member segala jaminan peradilan yang diakui oleh segala bangsa yang beradab. Segala materi yang terkandung dalam Pasal 3 ini adalah mengenai perlakuan kemanusiaan terhadap para korban perang. Dapat disimpulkan bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 disebut dengan “convention in miniature” atau “mini convention”.25 Hal terakhir yang menjadi ketentuan umum dari konvensi ini ialah ketentuan tentang Negara Pelindung (Protecting Power). Ketentuan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 8 – Pasal 11. Istilah dari Negara Pelindung untuk pertama kali dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang perlakuan terhadap tawanan perang (Convention Relative to The Treatment of War). Pasal 86 dari Konvensi Jenewa tahun 1929 menyebutkan bahwa lembaga negara pelindung memiliki sifat sukarela, tidak bersifat wajib dalam memberikan perlindungan. Selain itu, pasal ini juga menerangkan bahwa tidak ada kejelasan tentang pihak yang menjalankan fungsi sebagai negara pelindung, karena dalam konvensi ini tugas negara pelindung hanya berhubungan dengan tawanan perang. Aturan mengenai negara pelindung terus mengalami perubahan. Pembahasan mengenai hal pertama sekali diangkat dalam Konvensi Den Haag mengenai 25
Arlina Permanasari, Op. Cit., hlm 37.
Universitas Sumatera Utara
37
Tawanan Perang pada tahun 1929. Sampai pada akhirnya dilakukan suatu penyempurnaan terhadap negara pelindung, yang terkandung dalam Konvensi Jenewa 1949. Pengaturan mengenai negara pelindung dalam lingkup sengketa bersenjata internasional, diatur dalam Pasal 8 Konvensi Jenewa I 1949, Konvensi Jenewa II 1949, Konvensi Jenewa III 1949 dan Pasal 9 Konvensi Jenewa IV 1949. Namun ketentuan ini tidak menutup kemungkinan bagi orgnisasi kemanusiaan apabia ingin memberikan sumbangsihnya untuk melaksanakan tugas-tugas sosialnya, asalkan mendapat pesetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa itu sendiri.26 Para wakil utusan dari negara pelindung harus memperhatikan kepentingan keamanan yang mendesak daripada negara di mana mereka melaksanakan kewajiban mereka. Mengenai pembatasan-pembatasan bagi kegiatan mereka, hanya boleh dilakukan sebagai suatu tindakan pengecualian dan apabila ternyata hal ini perlu karena adanya kepentingan militer yang mungkin sangat mendesak. Pengaturan mengenai Negara Pelindung tidak hanya terdapat di dalam Konvensi Jenewa, melainkan turut diatur dalam Protokol Tambahan I tahun 1977. Common articles juga mengatur mengenai ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 49, 50, 51, dan 52 dari Konvensi Jenewa. Pasal 49 menjadi pasal pokok mengenai ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan konvensi. Pasal 49 menjadi landasan bagi suatu sistem yang digunakan untuk menindak setiap 26
Hal ini diatur dalam Pasal 9 (I,II,III) dan Pasal 10 (IV) Konvensi Jenewa.
Universitas Sumatera Utara
38
pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi. Dengan kata lain, Pihak Peserta Agung menjadikan pasal ini sebagai suatu pegangan yang mewajibkan mereka melakukan tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi. Dalam pasal ini terdapat beberapa kewajiban yang berkaitan dengan pelanggaran berat (grave branches). Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain adalah: 1. Kewajiban untuk membuat dan menetapkan perundang-undangan di tingkat nasional yang tujuannya adalah untuk mengatur tentang pelanggaran berat. 2. Kewajiban untuk mencari pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap konvensi ini. 3. Kewajiban untuk mengadili pelaku yang melanggar ketentuan konvensi serta menyerahkannya kepada negara lain yang memiliki kepentingan untuk mengadili pelaku pelanggaran berat tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa yurisdiksi perkara pidana merupakan tugas dari Mahkamah Internasional. Yurisdiksi yang dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional sifat nya universal, sama hal nya dengan bentuk kejahatan perang lainnya. Dalam hal ini yang menjadi pihak penandatangan memiliki kewajiban untuk melakukan pencarian terhadap semua orang yang menjadi pelaku pelanggaran berat untuk kemudian diadili. Pasal 49 ini juga memberi suatu rumusan bahwa kewajiban menyerahkan pihak tertuduh kepada negara lain, seolah-seolah bukan merupakan hal yang berarti. Sebab penyerahan tersebut akan menjadi mungkin bila tidak bertentangan dengan perundang-undangan dari negara yang akan menyerahkannya. Perlu
Universitas Sumatera Utara
39
diketahui bahwa pada umum nya suatu negara tidak akan mungkin menyerahkan warga negara nya kepada negara lain. Selain hal diatas, adanya pasal 49 dari Konvensi Jenewa memberi suatu penjelasan secara tidak langsung bahwa penindakan terhadap pelanggaranpelanggaran yang tidak tergolong pelanggaran berat, tidak membutuhkan suatu perundang-undangan yang baru, cukup melakukan suatu tindakan sebagaimana lazim nya. Pasal 49 ini juga merupakan klausula yang materinya tidak mengatur tentang pertanggungjawaban atas perbuatan melaksanakan pelanggaran berat yang berdasarkan perintah dari atasan. Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa apa yang terkandung dalam Pasal 49 ini, haruslah dihubungkan dengan segala ketentuan yang terkandung dalam Pasal 11 yang menjelaskan bahwa setiap pihak penanda tangan tidak hanya menaati apa yang menjadi ketentuan dari konvensi ini. Dapat disimpulkan
bahwa
ketentuan-ketentuan
mengenai
pelanggaran
dan
penyalahgunaan terhadap konvensi ini sepenuhnya tergantung kepada Pihak Peserta Agung. Pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam konvensi ini dapatlah dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran yang sifatnya berat. Hukum Jenewa juga memiliki 2 “hukum turunan” yang fungsi nya sebagai penyempurna konvensi. Penyempurna dari Konvensi Jenewa 1949 kita kenal dengan Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol tambahan ini terdiri dari 2 protokol tambahan, yaitu Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Protokol Tambahan I merupakan protokol yang membahas tentang sengketa bersenjata internasional.
Universitas Sumatera Utara
40
Sedangkan Protokol Tambahan II adalah protokol yang berisikan pembahasan tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. a. Protokol Tambahan I 1977 Beberapa hal yang menjadi ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977 antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut:27 1. Melarang : serangan yang membabi-buta dan reprisal terhadap : -
Penduduk sipil dan orang-orang sipil;
-
Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil;
-
Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat religius;
-
Bangunan dan instalansi berbahaya;
-
Lingkungan alam.
2. Memperluas : perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat-alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer. 3. Menentukan : kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari orangorang yang hilang (missing persons). 4. Menegaskan : ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief supplies) yang ditujukan pada penduduk sipil. 5. Memberikan : perlindungan terhadap seluruh kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan sipil.
27
Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC (International Committee of Red Cross), PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima, 1999, hlm 45.
Universitas Sumatera Utara
41
6. Mengkhususkan : adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam subbab (1) di atas, maka pelanggaran tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter dan dikategorikan ke dalam bentuk kejahatan perang (war crimes). b. Protokol Tambahan II 1977 Tidak hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalam nya. Ketentuan-ketentuan dalam Protokol II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut:28 1. Mengatur : jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah mereka yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. 2. Menentukan : hal-hal bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil. 3. Memberikan : perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan 4. Melarang : dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja. Mengenai ruang lingkup nya, Pasal 1 Ayat (1) Protokol Tambahan II yang tidak lain sebagai pelengkap Konvensi Jenewa tahun 1949, menetapkan bahwa Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku dalam konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negera-negara peserta 28
Ibid. hlm 45.
Universitas Sumatera Utara
42
konvensi. Konflik yang terjadi antara angkatan perangnya dan angkatan perang pemberontak atau milisi bersenjata pemberontak lainnya yang sifatnya terorganisir. Dalam artian bahwa milisi bersenjata pemberontak tersebut berada di bawah komando yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kekuasaan atas suatu bagian dari wilayahnya, yang memungkinkan mereka untuk melaksankan operasioperasi militer secara terus menerus. Keberadaan Protokol II ini menyatakan bahwa setiap pihak yang menjadi korban dari konflik bersenjata non internasional, dapat menerima perlindungan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan ini diberikan secara menyeluruh tanpa adanya diskriminasi seperti yang berlaku pada ketentuan mengenai konflik bersenjata internasional.29 Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri suatu negara.30 Sebagaimana tidak ada satu pun dari ketentuan Protokol ini yang boleh dipergunakan untuk dijadikan peluang untuk mempengaruhi kedaulatan suatu negara atau tanggungjawab pemerintah yang berupaya dengan segala cara yang sah untuk mempertahankan dan memulihkan kembali hukum dan ketertiban atau 29 30
Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 2 Ayat (1). Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
43
untuk mempertahankan persatuan nasional dan keutuhan wilayah negara itu.31 Hal ini semakin menegaskan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara tanpa terkecuali. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai bentuk penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949. Bukan sebagai pengganti dari Konvensi Jenewa tahun 1949. Oleh sebab itu, segala ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung di dalam Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II adalah merupakan refleksi yang tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan dasar Hukum Humaniter Internasional.
C. Perlindungan Tehadap Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional Perlindungan
yang
seharusnya
diterima
oleh
warga
sipil
yang
menjadi korban dalam suatu konflik bersenjata non-internasional seperti yang terjadi di Filipina Selatan dapat ditemukan pada Konvensi Jenewa IV 1949 beserta Protokol Tambahan II dan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Pada Konvensi Jenewa IV 1949, terdapat pengaturan yang umum mengenai perlindungan terhadap warga sipil yaitu dalam Pasal 27-39, dan Pasal 47, 48, 50, 55, dan 58.
Substansi ini
turut diatur dalam Pasal 7, 13, 14, 17 Protokol
Tambahan II 1977. Sedangkan di dalam Hukum Kebiasaan Internasional Humaniter juga ditegaskan mengenai perlindungan warga sipil ini yaitu terdapat
31
Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
44
dalam aturan 1, 2, 5-7, 9, 10, 12, 13, 20-24, 33-35, 42, 53-55, 70-84, 86-105, dan 131.32 Peperangan tidak hanya berakibat terhadap anggota angkatan bersenjata, tetapi juga berakibat pada penduduk sipil yang berada di wilayah konflik. Penduduk sipil yang selalu dianggap sebagai pihak yang lemah dan menderita, sangat mudah untuk dijadikan sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan dibuat sedemikian rupa. Hukum humaniter telah mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Konvensi IV 1949, yang pengaturannya lebih sempurna jika dibandingkan dengan Konvensi Den Haag. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pihak-pihak yang bertikai dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: 1. Memaksa baik secara jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan. 2. Menimbulkan penderitaan jasmani. 3. Menjatuhkan hukuman kolektif. 4. Mengadakan intimidasi, terorisme, dan perampokan. 5. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil. 6. Menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera. Hukum
humaniter
internasional
mewajibkan
pihak-pihak
yang
bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan.33 Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil. Oleh karena 32
Pande Putu Swarsih Wulandari, Perlindungan Hukum Terhadap Warga Sipil Dalam Konflik Bersenjata (Non-Internasional) Libya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Humaniter Internasional, Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Udayana. 33 Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977.
Universitas Sumatera Utara
45
itu istilah penduduk sipil mencakup orang-orang sipil yang berdomisili di daerah-daerah terjadinhyan konflik bersenjata atau penduduk sipil yang berdomisili di daerah-daerah pendudukan. Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud dengan orang sipil adalah setiap orang yang tidak ikut berperang. Jika terdapat suatu keraguan apakah seseorang tersebut adalah seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang sipil.34 Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup terhadap orangorang yang bekerja sebagai penolong, wartawan maupun anggota organisasi pertahanan sipil. Orang-orang sipil harus diperlakukan dengan perlakuan yang manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau pandangan-pandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan, dan standar-standar pembedaan serupa lainnya. Pada
konflik
bersenjata
non
internasional, perlindungan
terhadap
penduduk sipil telah mendapatkan perhatian yang cukup dalam hukum humaniter internasional. Ketetapan tentang perlindungan bagi penduduk sipil tersebut telah dijelaskan pada Bab IV dalam Protokol Tambahan II tahun 1977. Pasal 13 Protokol Tambahan II menegaskan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil berhak menerima perlindungan umum dari bahaya yang ditimbulkan oleh operasioperasi militer. Untuk menekankan pentingnya perlindungan tersebut, ditegaskan larangan menjadikan penduduk sipil dan orang-orang sipil sebagai sasaran serangan. 34
Pasal 50 Protokol Tambahan I 1977.
Universitas Sumatera Utara
46
Sebagaimana dilarang melakukan ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil. Penduduk sipil dan orang-orang sipil ini berhak menerima jaminan perlindungan yang ada, selama tidak turut serta melakukan aksi-aksi perlawanan secara langsung. Protokol Tambahan II juga melarang bentuk-bentuk pemaksaan agar penduduk sipil meninggalkan tempat tinggal mereka karena alasan-alasan yang berkaitan dengan sengketa. Mereka juga dilarang dipindah tempatkan kecuali jika ada alasan-alasan militer yang sangat mendesak, dengan syarat aspek keselamatan dan keamanan proses pemindahan itu terjamin.35 Protokol Tambahan II tersebut juga telah menetapkan jaminan perlindungan terhadap obyek-obyek yang sangat diperlukan penduduk sipil. Dalam hal ini, turut disebutkan tentang larangan menimbulkan kelaparan pada penduduk sipil sebagai salah satu strategi perang. Oleh karena itu, dilarang menyerang, merusak, memindahkan atau menjadikan tidak berfungsi obyek-obyek yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil. Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional hampir tidak berbeda dengan ketentuan yang harus diterapkan pada konflik bersenjata non internasional. Hal ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan yang harus diterapkan dalam konflik bersenjata jenis apapun.
35
Pasal 17 Protokol Tambahan II 1977
Universitas Sumatera Utara