18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER DAN SENGKETA BERSENJATA DI PALESTINA
2.1 Sejarah Hukum Humaniter Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian West Phalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) di Eropa.1 Masing-masing Negara memiliki ideologi tersendiri termasuk cara untuk bertahan dari ancaman Negara lain. Tidak jarang suatu sengketa kenegaraan diakhiri dengan peperangan. Peperangan terjadi karena dari kedua belah pihak saling
mempertahankan
ideologi
masing-masing
maupun
untuk
mempertahankan kedaulatan negaranya. Suatu perang bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun dan memakan korban nyawa hingga ratusan bahkan jutaan nyawa.
1
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, h.
24
18
19
Hukum Humaniter Intenasional merupakan bagian Hukum Intenasional Umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu khususnya dalam situasi tertentu (perang) dan akibat perang (perlindungan (korban perang).2 Fokus Hukum Humaniter Internasional adalah untuk melindungi individu-individu musuh saat sengketa bersenjata, sementara fokus Hukum Internasional Hak Asasi Manusia untuk melindungi individu dari kesewenangan dan pelanggaran yang dilakukan negara yang bersangkutan. 3 Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembanganperkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun 1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai konvensi lainnya di bidang hukum. 2.2 Pengertian Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter
2
Masyhur Effendi, 1994, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hakamrata, Usaha Nasional, Surabaya, h. 19 3
Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid, 2008, ICRC, Pengantar Hukum Humaniter Internasional Dalam Islam, Komite Internasional Palang Merah, h.22
20
Di Indonesia, istilah „prinsip hukum‟ seringkali digunakan bersamasama dengan „asas hukum‟. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia „asas‟ memiliki arti suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, sedangkan prinsip didefinisikan sebagai asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir).4 Istilah prinsip merupakan istilah lain yang dikenal dalam Bahasa Inggris yaitu principle. Dalam Black’s Law Dictionary, principle diterjemahkan sebagai basic rule, law, or doctrine. 5 Menurut penulis, kata asas maupun prinsip bisa disepadankan penggunaannya karena dari segi terminologi memiliki definisi yang sama, yaitu suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir. Pasal 38 Ayat (1) Statute of International Court of Justice selain mengatur
mengenai
konvensi
internasional
dan
Hukum
kebiasaan
Internasional, mengatur pula mengenai the general principles of law recognized by civilized nations yang berarti prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
4
Poerwadarminta WJS, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.
63 5
Garner, Brian A, (Ed), Black’s law dictionary, Ninth Edition, West-Thomson Reuters, 2009, h. 1313
21
Selanjutnya, United Nations General Assembly Resolution 2625 tahun 1970 tentang Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States in Accordance With The Charter of The United Nations juga memiliki konsep mengenai prinsip-prinsip Hukum Internasional yaitu: 6 a. The principle that states shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any states, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations; b. The principle that states shall settle their international disputes by peacefull means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered; c. The duty not to intervens in matter within the domestic jurisdiction of any state, accordance with the charter; d. The duty of any states to co-operate with one another in accordance with the charter; e. The principle of equal rights and self-determination of peoples; f. Ther principle of sovereign equality of states 6
UN Documents Gathering a Body of Global Agreements, “2625 (XXV) Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States in Accordance With The Charter of The United Nations”, http://undocuments.net/a25r2625.htm, diakses terakhir tanggal 11 Mei 2014
22
g. The principle that states shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in accordance with the charter. Seperti yang dijelaskan menurut huruf (a) The principle that states shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any states, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations, tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni : a. Segenap anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai dan menggunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam; b. Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Advisory Opinion Mahkamah Internasional juga membahas tentang the principles and rules applicable in armed conflicts. Adapun pendapat mahkamah tersebut dapat dikutip sebagai berikut: The proportionality principle may thus not in itself exclude the use of nuclear weapons in self-defence in al1 circumstances. But at the same time, a use of
23
force that is proportionate under the law of self-defence, must, in order to be lawful, also meet the requirements of the law applicable in armed conflict which comprise in particular the principles and rules of humanitarian law. 7 Ada dua literatur berbahasa Indonesia yang memiliki kualifikasi berbeda
mengenai
prinsip-prinsip
Hukum
Humaniter.
Prof.
KPGH.
Haryomataram, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter mengkualifikasikan tiga prinsip, yaitu : 8 1. Kepentingan Militer (military necessity) 2. Kemanusiaan (humanity) 3. Ksatriaan (chivalry) Sedangkan Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman dalam buku
Hukum
Humaniter,
dalam
Studi
Hubungan
Internasional
mengakualifikasikan prinsip-prinsip Hukum Humaniter menjadi delapan prinsip Hukum Humaniter sebagai bagian dari suatu sistem Hukum Humaniter Internasional, satu sama lainnya saling melengkapi, menjelaskan, dan membantu penafsirannya. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah : 9 1. Kemanusiaan
7
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapon, International Court of Justice, Advisory Opinion of 8 July 1996, para 42, http://www.icj-cij.org/docket/files/131/1671.pdf, diakses terakhir tanggal 26 Februari 2014 8
9
Haryomataram, op.cit, h. 40
Ambarwati, 2010, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h.41
24
2. Necessity (kepentingan) 3. Proporsionalitas (proportionality) 4. Distinction (pembedaan) 5. Prohibition of causing unneccessary suffering (prinsip Hukum Humaniter Internasional tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya) 6. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello 7. Ketentuan minimal Hukum Humaniter Internasional 8. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum Humaniter Internasional Berikut pengertian dari prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional 1. Kemanusiaan Kemanusiaan berasal dari kata manusia yang berarti mahluk yang bearakal budi; Kemanusiaan memiliki arti yaitu sifat-sifat manusia ; secara manusia (2) segala sesuatu yang layak bagi manusia, seperti kasih sesama hidup. 10 Berdasarkan arti kata tersebut prinsip kemanusiaan memperhatikan
berarti
dalam
asas-asas
sengketa kemanusiaan
besenjata sehingga
haruslah tidak
mengakibatkan penderitaan yang berlebih. 10
h. 747
Poerwadarminta WJS, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
25
2. Necessity atau Kepentingan Berasal dari kata penting yang berarti amat perlu ; amat utama; sangat berharga; sangat berguna11 sedangkan kepentingan memiliki arti keperluan : sesuatu yang penting – negara. 12 Jadi kepentingan ini merupakan suatu kepentingan yang menyangkut keperluan negara, yang dalam Hukum Humaniter Internasional menyangkut mengenai kepentingan militer suatu negara. 3. Distinction atau pembedaan Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan obyek kekerasan dan siapa yang dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan sehingga dijadikan obyek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan.13
11
ibid h. 867
12
ibid h. 868
13
Ambarwati, Op.cit, h. 45
26
4. Prohibition of causing unneccessary suffering (prinsip Hukum Humaniter Internasional tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya) Dalam perjanjian-perjanjian internasional dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional, prinsip ini difomulasikan sebagai berikut : a. Dalam setiap sengketa bersenjata, hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih metode atau alat peperangan adalah tidak terbatas. b. Dilarang menggunakan senjata, baik proyektil dan materiil, serta metode peperangan yang sifatnya menyebabkan luka yang berlebihan atau pernderitaan yang tidak seharusnya. Dilarang menggunakan metode atau cara peperangan tertentu yang bisa diharapkan untuk merusak lingkungan yang meluas, berjangka panjang, dan parah.14 5. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan perang). Dengan kata lain, Hukum Humaniter internasional mengikat para 14
Ambarwati, Op.cit, h. 47
27
pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut. 6. Ketentuan minimal Hukum Humaniter Internasional Ketentuan minimal yang dalam Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya, “Dalam semua Konvensi Jenewa I sampai dengan IV”) memang ditetapkan untuk situasi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Namun, karena disebut sebagai ketentuan minimal, ketentuan ini juga harus dihormati dalam sengketa bersenjata internasional. 7. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum Humaniter Internasional Salah satu kewajiban Negara untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional adalah kewajiban untuk menyebarluaskan Hukum Humaniter Internasional, baik di kalangan militer maupun sipil. Di samping itu, cukup banyak tindakantindakan lain yang perlu dipersiapkan di masa damai utuk mengantisipasi kerugian dan penderitaan akibat perang untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional. Termasuk kewajiban Negara untuk membuat peraturan nasional yang memuat sanksi hukum bagi setiap orang atau warga negaranya
28
yang
melakukan
tindakan
pelanggaran
Hukum
Humaniter
Internasional. Karena
itu,
prinsip-prinsip
Hukum
Humaniter
Internasional
memerlukan dukungan, kesadaran negara, organisasi-organisasi internasional yang ada. Tanpa dukungan tersebut, sukar kiranya dapat berjalan dengan baik. Disinilah negara-negara yang berdaulat dalam melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dihargai dengan iktikad baik. 15 2.3 Istilah dan Pengaturan Asas Proporsionalitas Dalam Kamus Bahasa Inggris Umum, proportionality yang memiliki arti perbandingan, yang berasal dari kata proportional artinya sebanding.16 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia proporsional diartikan sebagai sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang.17 Dalam Black’s Law Dictionary, proportionality dimaknai sebagai :“The principle that the use of force should be in proportion to the threat or grievance the use of force”.18
15
prinsip bahwa penggunaan kekuatan harus dilakukan
Masyhur Effendi, op.cit, h. 88
16
John M. Echols dan Hassan Shadily, 2010, Kamus Inggris Indonesia An English Dictionary, Pt Gramedia Jakarta, h. 452 17 18
http://kbbi.web.id/proporsional
Garner, Brian A, (Ed), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West-Thomson Reuters, 2009, h. 1338
29
secara proporsional terhadap ancaman atau penderitaan dalam penggunaan kekuatan. Menurut Dictionary of International Law of Armed Conflicts prinsip proporsionalitas (proportionality principle) diartikan sebagai “prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan”19 Berdasarkan eksplorasi kata di atas maka pinsip proporsionalitas dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang dalam Hukum Humaniter Internasional yang menentukan dalam melakukan suatu penyerangan haruslah sebanding dengan apa yang ingin dicapai, tidak melakukan penyerangan secara membabi buta dan tidak melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil. Prinsip ini juga menjelaskan bahwa suatu penyerangan tidak boleh mengakibatkan dampak yang meluas bagi penduduk sipil, baik itu dari segi wilayah yang diserang maupun dalam hal penggunaan senjata untuk berperang. Ada sejumlah pengaturan mengenai Prinsip Proporsionalitas dalam instrumen-instrumen Hukum Internasional yakni :
19
Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, h. 90 seperti dikutip dalam http://pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf diakses terakhir tanggal 24 Februari 2014
30
1. Pasal 25 Konvensi Den Haag IV Tahun 1907 yakni penyerangan atau pemboman dengan alat apapun terhadap kota-kota, kampung-kampung, pemukiman atau bangunan-bangunan yang tidak dipertahankan adalah dilarang. 2. Pasal 57 Ayat (2) (a) Protokol Tambahan I tahun 1949 yang berbunyi (a) mereka yang merencanakan atau memutuskan dilancarkannya suatu serangan harus : (i) melakukan segala sesuatu yang mungkin dikerjakan untuk meneliti bahwa sasaran-sasaran yang akan diserang bukanlah orang-orang sipil maupun obyek-obyek sipil dan tidak berada dibawah perlindungan khusus, melainkan sasaran militer di dalam pengertian ayat (2) dan Pasal 52 dan bahwa ketentuan-ketentuan dari Protokol ini tidak melarang untuk menyerang; (ii) mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dikerjakan dalam memilih alat-alat dan cara-cara serangan, dengan mengingat untuk menghindarkan, dan dalam keadaan apapun mengurangi, kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, terluka orang-orang sipil dan rusaknya obyek-obyek sipil; (iii) berusaha untuk mengambil keputusan untuk melancarkan suatu serangan dapat diduga akan mengakibatkan kerugian yang tidak perlu
31
berupa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya obyek-obyek sipil. Atau gabungan dan semuanya itu. Yang merupakan hal-hal berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyata dan langsung yang semula diharapkan 3. Pasal 8 Statuta Roma 1998 tentang Kejahatan Perang : 1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan perang pada khususnya ketika dilakukan sebagai bagian dari perencanaan atau kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai 2.
Untuk
dampak tujuan
skala
Statuta
ini,
luas
dari
“kejahatan
kejahatan perang”
berarti
itu. :
(a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa pada 12 Agustus 1949. yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini terhadap orangorang atau kekayaan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan: (b) Pelanggaran-pelanggaran yang berat lainnya terhadap hukum dan hukum adat yang berlaku dalam sengketa bersenjata internasional, dalam kerangka kerja yang ditetapkan dari Hukum Internasional; (c)
Dalam
sengketa
bersenjata
bukan
bersifat
internasional,
pelanggaran-pelanggaran serius Pasal 3 Konvensi Jenewa Keempat tanggal 12 Agustus 1949.
32
(d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan ketegangan-ketegangan seperti krusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadis dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa. (e) Pelanggaran-pelanggaran hukum serius lainnya dan hukum tradisional yang berlaku di dalam sengketa bersenjata yang bukan bersifat internasional. (f)
Ayat 2 (f) berlaku bagi sengketa bersenjata yang bukan bersifat
internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan ketegangan-ketegangan seperti kerusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadis dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa. 4. Dalam Hukum Kebiasaan, Aturan 14 Customary International Humanitarian Law mengenai Proporsionalitas dalam Penyerangan menyatakan sebagai berikut: “Melancarkan penyerangan yang bisa diperkirakan bakal menimbulkan kerugian ikutan berupa korban tewas sipil, korban luka sipil, atau kerusakan obyek sipil, atau gabungan ketiga hal tersebut, yang merupakan hal yang berlebihan, dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkrit dan langsung yang ingin dicapai, adalah dilarang.” 5. Salah satu yurisprudensi yang membahas prinsip proporsionalitas adalah Advisory Opinion Legality of The Threat or Use Of Nuclear
33
Weapon 1996.20 Paragraf 41 dari Advisory Opinion tersebut menyatakan sebagai berikut: “The submission of the exercise of the right of self-defence to the conditions of necessity and proportionality is a rule of customary international law. As the Court stated in the case concerning Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America) : there is a "specific rule whereby selfdefence would warrant only measures which are proportional to the armed attack and necessary to respond to it, a rule well established in customary international law" (I. C. J. Reports 1986, p. 94, para. 176). This dual condition applies equally to Article 51 of the Charter, whatever the means of force employed.” Penggunaan asas proporsionalitas selain digunakan secara internasional juga diterapkan oleh Tentara Nasional Indonesia yang tercantum dalam buku saku Tentara Nasional Internasional. 2.4 Sejarah Sengketa Bersenjata di Palestina Palestina merdeka dari Pemerintah Utsmani setelah perang Dunia Pertama dengan bantuan tentara Inggris. Namun, Palestina tidak pernah mampu mencapai sebuah negara yang damai dan aman yang justru pernah dinikmatinya di bawah Pemerintahan Utsmani. Dalam rentang waktu hampir satu abad, ribuan orang yang tak berdosa telah terbunuh oleh teror, pembantaian, dan penyiksaan bangsa Israel. 21 20
Institute For International Law and Justice New York University School Of Law, http://iilj.org/courses/documents/NuclearWeapons.pdf diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014 21
Harun Yahya, 2005, Palestina 1 Zionisme & Terorisme Israel, Dzikra, Bandung, h.7
34
Sejak 1920-an, perpindahan orang Yahudi yang di organisasi oleh Zionis telah dengan mantap mengubah keadaan demografi Palestina dan telah menjadi sebab terpenting berkepanjangannya sengketa. Statistik yang terkait dengan peningkatan penduduk Yahudi ini secara langsung membuktikan kenyataan ini. Angka-angka ini adalah penduduk penting tentang bagaimana sebuah kekuatan penjajahan, kekuatan tanpa hukum atas tanah tersebut, datang untuk merampok hak-hak penduduk asli. 22 Hingga tahun 1947, terdapat 630.000 orang Yahudi di Palestina dan 1,3 juta orang Palestina. Antara tanggal 29 November 1947 dan tanggal 15 Mei 1948, ketika Palestina diberi dinding pembatas oleh PBB, Israel menganeksasi tiga perempat wilayah Palestina. Selama masa itu, jumlah orang Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun drastis dari 950.000 menjadi 138.000 akibat serangan dan pembantaian. Sebagian terbunuh dan sebagian lainnya terusir.23 Selanjutnya masalah Palestina ditangani oleh PBB. Setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya Majelis Umum PBB menyetujui rencana pembagian Palestina menjadi 3 bagian. Melalui Resolusi Majelis Umum PBB
22
ibid, h.54
23
ibid, h. 55
35
A/RES/181/(II) tanggal 29 Nopember 1947, disebutkan, bahwa Palestina akan menjadi:24 1. Negara Arab dengan wilayah Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramalah, Hebron, Jalur Gaza dan Jaffah; 2. Negara Yahudi dengan wilayah : Soffad, Tiberias, Haifa, Tulkaen, Ramlet, Sahara Negeb dan Jaffa; 3. Yerussalem sebagai wilayah pengawasan Internasional. Pada pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, dengan Yerusalem menjadi kota internasional, Orang-orang Palestina dan Arab merasa bahwa itu adalah ketidakadilan yang mendalam untuk mengabaikan hak-hak mayoritas penduduk Palestina. Liga Arab dan lembaga Palestina menolak rencana partisi, dan membentuk tentara relawan yang menyusup ke Palestina dimulai pada bulan Desember 1947. 25 Dua puluh satu tahun setelah perampasan Israel atas Gaza, Los Angeles Times menguraikan konsekuensinya: Hanya sekitar 2200 penghuni tetap Yahudi yang tinggal di Jalur Gaza, yang telah ditangkap dari Mesir, tetapi mereka menduduki sekitar 30% dari 135 mil persegi area. Lebih dari 650.000
24
25
http://domino.un.org/unispal.nsf/0/7f0af2bd897689b785256c330061d253
BBC News World Edition, “UN Partition Plan”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/in_depth/middle_east/israel_and_the_palestinians/key_documents/1 681322.stm diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014
36
orang Palestina, kebanyakan pengungsi dimasukkan dengan berdesakan sekitar separuh jalur, membuatnya salah satu area yang paling padat penduduk di dunia. Sisa daratan Gaza telah ditunjuk zone perbatasan terlarang oleh tentara.26 2.5 Status Hukum Jalur Gaza Jalur Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur laut tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur. Jalur Gaza memliki panjang sekitar 41 kilometer dan lebar antara 6 sampai 12 kilometer. Populasi di Jalur Gaza berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa. Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi palestina yang melarikan diri ke Gaza setelah meletusnya perang Arab-Israel tahun 1948. Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir tahun 1948, yang ditetapkan melalui perjanjian genjatan senjata IsraelMesir pada tanggal 24 Februari 1949. Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam perang enam hari pada tahun 1967. Berdasarkan Perjanjian Damai Oslo yang disahkan pada tahun 1993 otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan admistratif yang mengelola pusat kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan mesir. Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005. Jalur Gaza merupakan bagian 26
106
Ralph Schoenman, 2007, Sejarah Zionisme Yang Tersembunyi, Sajadah Press,-----, h.
37
dari teritori Palestina sejak bulan Juli 2007, setelah pemilihan umum legislatif Palestina 2006 dan setelah pertempuran Gaza Hamas menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza yang kemudian membentuk Pemerintahan Hamas di Gaza.27 Hamas bukanlah gerakan yang baru mnucul saat didirikan pada tanggal 14 Desember 1987. Hamas adalah hasil metamorfosis dari sebuah gerakan yang telah dilakukan oleh rakyat Palestina yang tergabung dalam wadah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1930. Sehingga gerakan Hamas ini merupakan gerakan yang sudah memiliki akar cukup kuat dan panjang, terhitung sejak dimulainya sengketa di Palestina. 28 Pemerintahan Hamas di Palestina merupakan upaya yang muncul akibat ketidakpuasaan rakyat Palestina atas upaya-upaya pemerintah Palestina sebelumnya yang tidak membuat Palestina mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya.
27
Academia.edu, “Konflik Israel-Palestina: Jalur Gaza Dalam Persengketaan”,
http://www.academia.edu/4607419/Sengketa_Israel-Palestina_Jalur_Gaza_dalam_persengketaan, diakses terakhir tanggal 24 Februari 2014 28
Wahid Prabowo, 2013, Hamas Death or Freedom Sejarah Panjang Para Syahid Palestina Menantang Israel dan Sekutunya, Palapa, Jogjakarta, h.13