BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
2.1. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak 2.1.1. Dasar Hukum Upaya Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Payung hukum dari upaya hukum keberatan adalah UU KUP, yang kemudian diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268, selanjutnya disebut PP Nomor 74 Tahun 2011). Selain itu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/Pmk.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, selanjutnya disebut PMK Nomor 9 Tahun 2013) juga mengatur secara khusus mengenai upaya hukum keberatan serta cara penyelesaiannya. Dalam UU KUP, terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai upaya hukum keberatan, yaitu Pasal 25 yang menjelaskan
28
29
mengenai ruang lingkup dari upaya hukum keberatan dan tata cara pengajuan upaya hukum keberatan, Pasal 26 yang menjelaskan mengenai keputusan keberatan, dan Pasal 26A yang menjelaskan bahwa tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan yang kemudian diatur berdasarkan PMK Nomor 9 Tahun 2013, antara lain mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan haknya, proses keberatan tetap dapat diselesaikan. Selain melalui PMK Nomor 9 Tahun 2013, dasar hukum dari upaya keberatan dalam penyelesaian sengketa pajak juga diatur secara khusus melalui PP Nomor 74 Tahun 2011, khususnya dalam Bab IV tentang Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, Pembatalan dan Gugatan. Tetapi mengenai upaya hukum keberatan dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 33. 2.1.2. Pengertian Upaya Hukum Keberatan Perihal keberatan perlu dipahami karena proses awal yang harus ditempuh jika terjadi persengketaan di bidang pajak untuk pengajuan banding adalah upaya keberatan. Artinya, sebelum seseorang wajib pajak atau penanggung pajak ke Pengadilan Pajak
30
untuk mengajukan upaya hukum banding, ia terlebih dahulu melakukan upaya keberatan ini.31 Kemudian, apabila putusan upaya keberatan ini ternyata tidak memuaskan wajib pajak atau penanggung pajak, pengajuan banding ke Pengadilan Pajak perlu dilakukan. Upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum di bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu.32 Perbedaan ini terjadi antara wajib pajak atau penanggung pajak dan Direktur Jenderal Pajak dan jajarannya atas penetapan utang pajak untuk jenis Pajak Pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak. Perbedaan persepsi juga dapat terjadi antara wajib pajak dan Kepada Daerah/Kepada Dinas Pendapatan Daerah dan jajarannya di daerah (baik propinsi maupun kebupaten/kota) atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah. Atau dapat pula terjadi perbedaan penafsiran antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan jajarannya atas penerapan bea masuk, bea keluar, cukai, dan sanksi administrasi. Pada hakikatnya, keberatan merupakan upaya hukum biasa yang berada diluar Pengadilan Pajak yang diperuntukkan untuk
31 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT Gramedia, Jakarta, h. 27. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko I) 32
Ibid., h. 27.
31
memohon keadilan terhadap kerugian bagi wajib pajak.33 Oleh karena wajib pajak tidak melakukan perbuatan hukum atau melakukan perbuatan, tetapi terjadi pelanggaran hukum pajak. Demikian pula terhadap pemotongan pajak atau pemungut pajak dalam kerangka menegakkan hukum pajak ternyata melakukan pelanggaran hukum pajak, karena tidak memenuhi kewajiban hukum yang melekat pada dirinya sebagai pemotong pajak atau pemungut pajak. Sebaliknya, pemotong pajak atau pemungut pajak berhak mengajukan keberatan tatkala mengalami kerugian atas tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam bentuk keberatan. Keberatan bukan merupakan kewajiban melainkan hak yang diberikan oleh hukum pajak kepada wajib pajak sebagai upaya untuk mendapatkan atau memperoleh perlindungan hukum melalui lembaga keberatan.34 Sebagai suatu hak, penggunaan keberatan tergantung pada kehendak atau kemauan wajib pajak untuk menggunakan atau tidak hak tersebut karena tidak ada sanksi hukum yang boleh dikenakan bilamana tidak menggunakan upaya keberatan. Keberatan tidak boleh disalahgunakan oleh wajib pajak dalam kaitannya untuk memperoleh keadilan atas kerugian yang dialaminya. Hal ini didasarkan bahwa penggunaan hak untuk mengajukan keberatan, terlebih dahulu wajib diataati persyaratan yang ditentukan oleh UU KUP karena undang-undang ini mengatur 33
Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 43.
34
Ibid., h. 44.
32
tentang substansi keberatan.35 Tujuannya agar penggunaan keberatan oleh wajib pajak tepat pada sasarannya berupa memperoleh keadilan dalam penyelesaian sengketa pajak, baik terhadap pajak negara maupun pajak daerah. Dengan demikian, wajib diperhatikan dan dipenuhi persyaratan pengajuan keberatan sehingga dapat dikabulkan substansi tuntutan yang terkandung dalam keberatan yang dimaksud. Ketika terjadi pelanggaran hukum pajak di bidang pajak negara yang meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah, keberatan diajukan kepada direktur jenderal pajak. Dalam arti, direktur jenderal pajak memiliki kewengan untuk memeriksa dan memutuskan keberatan tersebut.36 Akan tetapi, kewenangan direktur jenderal pajak telah dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, misalnya kepala kantor wilayah atau kepala kantor pelayanan pajak. Kemudian yang berhak mengajukan keberatan adalah wajib pajak. Hal ini secara tegas diatur pada Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang menegaskan bahwa, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan sebagai upaya hukum biasa dalam hukum acara peradilan pajak, tidak boleh diajukan kepada lembaga keberatan ketika tidak mempunyai objek yang diperselisihkan. Keberadaan 35
Ibid.
36
Ibid.
33
objek keberatan memberikan legalitas terhadap pihak-pihak yang bersengketa untuk dapat digunakan dalam kerangka memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum.37 Dasar hukum objek sengketa bagi pajak negara diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang meliputi atas suatu, a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan. Pasal 25 ayat (1) UU KUP menegaskan, apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada direktur jenderal pajak. keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi ketetapan pajak, yaitu: a. Jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan b. Jumlah besarnya pajak c. Pemotongan pajak, atau
37
Ibid., h. 60.
34
d. Pemungutan pajak. Hukum pajak memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum lainnya, misalnya hukum administrasi maupun hukum perdata. Walaupun berada dalam kapasitas sebagai hukum positif yang mengikat para pihak yang bersengketa, baik diluar maupun didalam lembaga peradilan berdasarkan kompetensi absolut masingmasing. Karakteristik yang dimiliki hukum pajak tertuju pada pihak yang bersengketa, baik pada lembaga keberatan maupun pada pengadilan pajak. Hal ini didasarkan pada peraturan perundangundangan di bidang perpajakan yang memungkinkan terjadinya karakteristik tersebut, tetapi tidak boleh dikategorikan sebagai penyimpangan di bidang hukum pajak.38 Oleh karena itu, pihak yang bersengketa kadangkala berada dalam identitas yang sama dalam suatu sengketa pajak pada salah satu lembaga peradilan pajak, seperti yang terjadi di lembaga keberatan. 2.1.3. Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Upaya Hukum Keberatan Sistem Perpajakan yang dianut oleh Indonesia dan telah diundangkan adalah Self Asessment System, yang berarti suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Dengan demikian penentuan besarnya pajak
38
Ibid., h. 52.
35
yang terutang berada pada wajib pajak sendiri, sedangkan tugas aparatur perpajakan adalah melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan, penelitian, pengawasan dan penetapan sanksi.39 Y. Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa sistem self assessment ini umumnya diterapkan pada jenis pajak yang memandang wajib pajaknya cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri.40 Dalam rangka penerimaan negara melalui pajak tentu saja self assessment system harus diawasi agar wajib pajak menghitung dan/atau melaporkan pajak yang terutang dengan benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu ada instumen berupa berkas yang digunakan untuk menghitung dan menetapkan pajak tersebut. Intrumen yang dimaksud adalah Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.41 Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan menandatangani serta menyampaikan ke
39
Djamaludidin Gede, 2002, Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 32. 40
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, Lembaga Penerbit Andi, Yogyakarta, h. 145. (Selanjutnya disebut Sri Pudyatmoko II). 41
Ibid., h. 133.
36
kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan. Sebagai salah satu bentuk diterapkannya self assement system, dimana wajib pajak tidak lagi dilayani dan bersifat pasif, melainkan sudah harus bersikap aktif, yang dalam hal ini bahkan mengambil sendiri blanko SPT tersebut di tempat yang ditetapkan. Blanko SPT yang telah diambil oleh wajib pajak itu harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar. Setelah SPT diisi, wajib pajak menandatangani SPT tersebut untuk kemudian menyampaikannya kembali ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan. SPT yang sudah diisi dapat dikembalikan secara langsung oleh wajib pajak atau disampaikan kembali melalui pos. kebenaran ini SPT sangat penting karena merupakan dasar penetapan utang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. oleh karena itu kesalahan dalam pengisian SPT yang menimbulkan kerugian negara di dalam undangundang dianggap sebagai sebuah tindakan pidana.42 Untuk kepentingan tax compliance tersebut pemerintah melakukan evaluasi SPT, setidaknya dalam hal: a. Terdapat data dari pihak luar tentang ketidakbenaran SPT; b. System score pengisian SPT mengindikasikan SPT tidak benar;
42
Ibid., h. 136.
37
c. Berdasarkan bank data pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) menimbulkan pertanyaan bahwa SPT tidak benar; d. SPT menetapkan lebih bayar. Terhadap SPT yang akan dilakukan penetapan jumlah pajak yang terutang tersebut maka outputnya adalah surat ketetapan pajak yang terdiri dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Tagihan Pajak. Ketatapan pajak sebagai suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak selaku pejabat administrasi negara dapat menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan aparatur pajak, dan salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ini adalah upaya hukum keberatan. 2.1.4. Prosedur
Upaya
Hukum
Keberatan
dalam
Penyelesaian
Sengketa Pajak Berikut adalah prosedur penyelesaian sengketa pajak melalui upaya hukum keberatan sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 9 Tahun 2013. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau
38
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak. Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.
Keberatan
diajukan
oleh
Wajib
Pajak
dengan
menyampaikan Surat Keberatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 9 Tahun 2013, pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; 2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan; 3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
39
4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak diterbitkan; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga; 5. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan 6. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP. Pengajuan
keberatan
untuk
Tahun
Pajak
2008
dan
sesudahnya, memiliki ketentuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), namun terdapat tambahan dimana Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP. Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan tersebut, Wajib Pajak dapat melakukan
perbaikan
atas
Surat
Keberatan
tersebut
dan
menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7, Surat Keberatan yang tidak
40
memenuhi persyaratan tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Wajib Pajak kemudian menyampaikan Surat Keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang dapat dilakukan: 1. Secara langsung 2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau 3. Melalui cara lain. Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang dilampiri dengan pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan dan formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan. Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan haknya untuk hadir maka sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4), Wajib Pajak dibuat berita acara ketidakhadiran dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan atas keberatan yang diajukan diterbitkan berdasarkan laporan penelitian
41
keberatan,
yang
dapat
berupa
mengabulkan
seluruhnya,
mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar yang dituangkan dalam Surat Keputusan Keberatan.
2.2. Tinjauan Umum tentang Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak 2.2.1. Dasar Hukum Pengadilan Pajak Pengadilan pajak berbeda dengan pengadilan lainnya. Banyak perbedaan yang mendasar, misalnya administrasinya masih berada dibawah kewenangan Departemen Keuangan, serta hakimnya pun masih bersifat hakim ad hoc.43 Pengadilan pajak merupakan pengadilan yang khusus bertugas menyelesaikan sengketa pajak yang timbul dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, dengan mengutamakan proses penyelesaian yang adil. Dalam melaksanakan operasionalnya, pembentukan pengadilan pajak yaitu berdasar pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. UU Pengadilan Pajak mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
43
Ibid., h. 99.
42
UU Pengadilan Pajak dibentuk dan disusun berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, diantaranya:44 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang KetentuanKetentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
berarti
keberadaan Pengadilan Pajak tidak bisa keluar dari kerangka pelaksanaan kehakiman bagi pencari keadilan di bidang perpajakan termasuk bea dan cukai. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Digunakannya UU Mahkamah Agung sebagai landasan pembentukkan Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak termasuk badan peradilan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung sebagai instansi tertinggi jajaran peradilan di Indonesia. 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada Pasal 27 UU KUP ini mengamanatkan dibentuknya Badan Peradilan Pajak. UU KUP adalan undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan formal dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU PPh dan UU PPn.
44
Ibid.
43
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. 7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan adanya landasan dari berbagai undang-undang tersebut, maka tentunya cakupan operasional pekerjaan yang dilakukan di Pengadilan Pajak bukan hanya masalah perpajakan saja, namun juga dalam hal pajak pusat, pajak daerah, bea dan cukai dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan demikian masyarakat yang menginginkan keadilan terkait dapat bersidang di Pengadilan Pajak.
44
2.2.2. Pengertian Sengketa Pajak dan Peradilan Pajak Dalam menjalankan kegiatan usaha (bisnis) sehari-hari, para pengusaha tentu tidak terlepas dan pengawasan aparatur pemerintah sesuai bidang usaha atau pekerjaannya masing-masing. Demikian juga aparatur pajak (fiskus) tentu akan mengawasi semua pengusaha (termasuk orang pribadi) khususnya pengawasan dalam rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP. Sebagai produk akhir dari pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Dari ketiga kondisi ketetapan pajak tersebut yang paling tidak disukai oleh wajib Pajak adalah kondisi kurang bayar, karena Wajib Pajak harus membayar kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah merasa benar ketika menyampaikan laporan perpajakannya setiap bulan atau setiap tahun ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Surat ketetapan pajak yang kurang bayar inilah yang sering kali menimbulkan sengketa atau perselisihan antara Wajib Pajak
45
dengan fiskus (aparatur pajak pemeriksa pajak). Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak. Dengan demikian, maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan oleh wajib Pajak adalah keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal pajak. Sedangkan upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke Pengadilan Pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung. Pengertian sengketa pajak diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak bukan dalam UU KUP yang sebenarnya merupakan payung hukum (kaderwet) bagi peraturan perundangundangan di bidang perpajakan. Adapun pengertian sengketa pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Peradilan Pajak adalah, “Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
46
Berdasarkan pengertian sengketa pajak tersebut, ternyata hanya tertuju kepada upaya hukum banding dan upaya hukum gugatan sebagai kewenangan absolut pengadilan pajak. Sengketa pajak dalam bentuk banding dan gugatan hanya merupakan sengketa pajak dalam arti sempit karena masih ada sengketa pajak yang tidak termasuk
didalamnya.45
Misalnya,
sengketa
pajak
yang
penyelesaiannya melalui keberatan sebagai upaya hukum biasa. Dengan demikian, sengketa pajak dalam arti luas meliputi sengketa pajak yang diajukan dalam bentuk keberatan, banding, dan gugatan pada lembaga peradilan pajak. Muhammad Djafar Saidi memberi pengertian sengketa pajak
sebagai perselisihan antara pembayar pajak, pemotong pajak, atau pemungut pajak dengan pejabat pajak, ataukah pembayar pajak dengan pemotong pajak atau pemungut pajak.46 Sementara yang menjadi objek sengketa pajak adalah penerapan undang-undang pajak yang tidak sesuai dengan kaidah hukum pajak sehingga menimbulkan kerugian, baik terhadap pembayar pajak, pemotong pajak, atau pemungut pajak. Mengenai timbulnya sengketa pajak, berintikan pada dua hal yang sangat prinsipil.47 Pertama, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh kaidah hukum pajak. Kedua, 45
Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 28.
46
Ibid., h. 29.
47
Ibid., h. 30.
47
melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan kaidah hukum pajak. Pihak-phak yang terkait dengan timbulnya sengketa pajak adalah wajib pajak, pemotong pajak atau pemungut pajak, penanggung pajak, dan pejabat pajak. Pihak-pihak tersebut adalah sumber timbulnya sengketa pajak karena kurangnya kesadaran hukum dalam pelaksanaan atau penegakan hukum pajak. Waktu berakhirnya sengketa pajak merupakan kajian hukum pajak sebagai hukum positif. Sebenarnya sengketa pajak berakhir ditentukan oleh instrumen hukum yang terdapat dalam hukum pajak.48 Inisiatif untuk menyelesaikan sengketa pajak lebih besar datang dari pejabat pajak dibandingkan dengan wajib pajak. Dalam arti, wajib pajak hanya bersifat pasif sehingga pejabat pajak harus berinisiatif melakukan penagihan pajak dengan menggunakan instrumen hukum yang disediakan. Instrumen hukum pajak yang dapat digunakan bagi pejabat pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak adalah: 1. Surat ketetapan pajak; 2. Surat ketetapan pajak kurang bayar; 3. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan; 4. Surat ketetapan pajak lebih bayar; 5. Surat ketetapan pajak nihil; 6. Surat tagihan pajak;
48
Ibid., h. 37.
48
7. Surat paksa; 8. Surat keputusan keberatan; 9. Putusan banding; 10. Putusan gugatan; dan 11. Putusan peninjauan kembali. Sengketa pajak tidak hanya boleh diselesaikan di luar lembaga peradilan pajak, tetapi dapat pula dilakukan pada saat berlangsungnya pemeriksaan sengketa pajak dalam lembaga peradilan pajak.49 Hal ini disebabkan karena terdapat kaidah hukum pajak yang membuka peluang untuk itu, tetapi bukan merupakan perbuatan melanggar hukum pajak. Berakhirnya sengketa pajak selama dalam pemeriksaan sebelum diputuskan melalui lembaga peradilan pajak bukan merupakan pelanggaran hukum pajak, bahkan menguntungkan dari aspek penegakkan hukum pajak. Oleh karena tujuan penegakkan hukum pajak adalah menyelesaikan sengketa pajak tanpa melakukan pelanggaran hukum pajak dan memberikan perlindungan hukum kepada wajib pajak.50 Sengketa pajak mengenal adanya sengketa yang terjadi karena menurut fiskus apa yang diberitahukan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau perhitungannya berseberangan dengan ketentuan seperti yang telah diatur dalam akuntansi perpajakan. Pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat dibagi 49
Ibid., h. 39.
50
Ibid., h. 40.
49
menjadi dua kategori, sengketa yang terjadi karena pelanggaan atau kesalahan formal, yaitu sengketa yang bersifat formal dan berkisar kepada tidak dipatuhinya (sifat complience) tata laksana dan/ atau adanya perbedaan penafsiran atas penerapan ketentuan-ketentuan perundang-undang perjakan/kepabean atau cukai misalnya kesalahan dasar hukum yang ditetapkan oleh Wajib Pajak atau pejabat perpajakan, jangka waktu, belum dipenuhinya jumlah pembayaran yang telah ditentukan atau wajib dibayar, hal ini sepanjang tidak ada kerugian yang diderita negara. Sengketa karena kesalah atau pelanggaran material, berkisar kepada materi yang disengketakan dan atas pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan kemungkinan atas pelanggaran yang dilakukan terjadi kerugian
negara.
Misalnya,
perbedaan
antara
jumlah
yang
diberitahukan dan koreksi pajak atas dasar perhitungan fiskus atau terbit nota pembetulan atas Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang harus dibayar, pengenaan nilai pabean yang terlalu tinggi/rendah, dan kesalahan penrapan klasifikasi barang yang menyebabkan bea masuk yang hams dibayar masih kurang. Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan definisi tentang peradilan. Menurut Apeldoorn, peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh
50
suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.51 Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya.52 Berdasarkan pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau tempat yang bernama pengadilan;53 2. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak; 3. Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
51
Rochmat Soemitro, 1964, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung, h. 6. 52
Bahari U, 2001, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.165.
53
Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Cetakan I, Rineka Cipta, Jakarta, h. 349.
51
peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang
penagihan
berdasarkan
Undang-Undang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; 4. Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak melawan Direktur Jenderal Pajak mengenai pajakpajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah. 5. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan peradilan pajak yang mempunyai wewenang
memutus
perselisihan-perselisihan
di
bidang
perpajakan. Sedangkan dalam arti sempit, peradilan pajak adalah proses penyelesaian sengketa pajak oleh badan peradilan pajak yang independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selama ini badan peradilan pajak telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan bentuk dan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu: 1. Majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997), yang mempunyai kewenangan dalam hal banding pajak; 2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), yang mempunyai kewenangan banding pajak dan gugatan pelaksanaan penagihan pajak;
52
3. Pengadilan Pajak (2002), yang mempunyai kewenangan banding pajak, gugatan pelaksanaan penagihan pajak, dan gugatan pelaksanaan keputusan perpajakan. Kemudian Rochmat soemitro merumuskan bahwa peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberi keadilan dalam sengketa pajak baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah) sesuai ketentuan undang-undang, dimana proses itu merupakan rangkaian perbuatan yang harus dilakukan oleh wajib pajak atau pemungut pajak dihadapan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa.54 Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.55 Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak
54 Dewi Kania Sugiharti, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Cetakan1, Refika Aditama, Bandung, h. 4. 55
Bachasan Mustafa, 1979, Pokok-pokok Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h. 114.
53
di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu: 1. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002). 2. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan). Seperti umumnya diketahui, sebuah institusi pengadilan mempunyai kompetensi (kewenangan mengadili) absolut. Dalam kaitannya dengan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, UU Pengadilan Pajak mengatur hal ini dalam dua pasal, yakni Pasal 31 dan Pasal 32. Disamping menangani banding dan gugatan seperti diatas, yang juga menjadi kewenangan absolut Pengadilan Pajak adalah melakukan pengawasan terhadap kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak. Hal yang seperti ini tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 dan juga tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Inilah yang menjadi kekhususan dari Pengadilan Pajak.
54
Berbeda dengan kompetensi absolut yang menghadapkan kewenangan mengadili dari suatu pengadilan dengan kewenangan mengadili dari pengadilan dari lingkungan peradilan lain, maka kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili suatu lembagaa pengadilan terhadap kewenangan mengadili pengadilan dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang berbeda. Dalam kaitan dengan hal tersebut, kedudukan dan wilayah hukum dari sebuah lembaga pengadilan memegang peranan yang sangat penting. Untuk pengadilan pajak sendiri mengenai hal ini diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Pengadilan Pajak. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan Pengadilan Pajak adalah di ibukota Negara (Jakarta). Dengan demikian tidak ada Pengadilan Pajak di daerah. Pengadilan Pajak tidak mengenal sistem pengadilan tingkat I dan pengadilan banding. Hal tersebut secara eksplisit diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang menjelaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lainnya, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Hanya saja memang ada
55
kemungkinan bagi sengketa pajak tertentu untuk diajukan upaya hukum luar biasa untuk upaya peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. 2.2.3. Fungsi dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak Pasal 2 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung jawab yang mencari keadilan dalam sengketa pajak. Pengadilan Pajak juga merupakan suatu badan peradilan tingkat banding yang berfungsi khusus menyelesaikan perkara atau sengketa di bidang perpajakan dalam kerangka pelaksaan kekuasaan kehakiman.56 Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, namun administrasinya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Keterkaitan operasional dengan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 5 UU Pengadilan Pajak, dimana pembinaan teknis bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak adalah sebuah peradilan di bidang perpajakan yang telah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai peradilan murni tidak seperti badan peradilan pajak yang sebelumnya. Fungsi yang dilakukan Pengadilan Pajak adalah untuk bertindak sebagai institusi yang dapat melindungi kepentingan wajib
56
Fidel, Op.cit., h. 100.
56
pajak terhadap kesewenangan Direktorat Jenderal Pajak khususnya dan pihak pemerintah pada umumnya.57 Dengan demikian pengertian pelaksanaan pekerjaan yang di emban Pengadilan Pajak sangatlah luas. Di Indonesia tempat kedudukan Pengadilan Pajak berada di Jakarta. Namun, dikarenakan banding masalah perpajakan, bea cukai begitu banyak, maka pelaksanaan persidangan Pengadilan Pajak itu dapat dilakukan di daerah, misalnya di Yogyakarta maupun di Makassar. 2.2.4. Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak Pengadilan
Pajak
mempunya
tugas
dan
wewenang
memeriksa dan memutus sengketa pajak yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding kepada pengadilan pajak berdasarkan undang-undang perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagih berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat pajak. Dalam sengketa pajak yang dijadikan objek pemeriksaan adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam permohonan
keberatan
yang
seharusnya
diperhitungkan
dan
diputuskan dalam keputusan keberatan. Selain itu pengadilan pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atau
57
Ibid.
57
keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait, dengan demikian dalam hal banding, pengadilan pajak hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Disisi lain yaitu mengenai gugatan, pengadilan pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang mengatur masalah diajukannya gugatan antara lain yaitu gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP) atau pengumuman lelang, keputusan pembetulan yang berkaitan dengan surat tagihan pajak (Pasal 16 UU KUP) dan lain sebagainya, dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Kewenangan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan Pajak, yaitu: 1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan Pengadilan
perundang-undangan Pajak
dapat
pula
yang
berlaku.
memeriksa
Selain
dan
itu,
memutus
permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan
58
oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundangundangan
yang
terkait
mengatur
demikian,
sebagaimana
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU Pengadilan Pajak; 2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU KUP; dan 3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan
bantuan
hukum
kepada
pihak-pihak
yang
bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pengadilan Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak (yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak. Selanjutnya dalam hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat (3) UU Pengadilan Pajak disebutkan bahwa Pengadilan Pajak berwenang
untuk
memeriksa
dan
memutus
sengketa
atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2)
59
UU KUP dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU KUP yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal gugatan, yaitu: 1. Pelaksanaan
Surat
Paksa,
Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; 2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; 3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; dan 4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.