Studi komparasi antara hukum humaniter internasional dan hukum islam mengenai perlakuan tawanan perang
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: Rizki Bima Anggara NIM:E.0004267
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dosen Pembimbing Skripsi
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S NIP. 131 568 284
Agus Rianto,S.H,MHum NIP. 131 842 682
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN TAWANAN PERANG
Disusun oleh : RIZKI BIMA ANGGARA NIM : E.0004267
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 5 februari 2008
TIM PENGUJI
1. Sri Lestari Rahayu,S.H. Ketua
:.......................................................
2. Agus Rianto,S.H.M.Hum. Sekretaris
:…………………………………..
3. Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S Anggota
:…………………………………..
Mengetahui, Dekan
(Moh.Jamin, S.H,. M.Hum) NIP. 131 570 154
MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.(Al-Quran surat Al-Baqarah [2] ayat 172).
Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan (Al-Quran surat Al-Infithar [82] ayat 13).
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diilhami oleh cinta dan dibimbing oleh pengetahuan. (Bertrand Russel)
Tidak ada terang pemahaman lebih banyak dalam diri seorang jenius dibandingkan manusia-manusia jujur lainnya-hanya saja dia memiliki semacam lensa khusus untuk memusatkan terang pemahaman ini pada sebuah titik bakar. (Ludwing Wittgenstein)
Jadilah kamu sumber ilmu, lampu petunjuk, balkon rumah, penjaga malam, hati yang baru, baju yang pantas, yang diketahui dari langit dan tidak diketahui oleh penduduk bumi. (Abdullah Ibnu Mas’ud RA)
Tidak ada sesuatu pun pada hamba yang lebih bermanfaat daripada kepercayaannya kepada Tuhannya dalam segala perkara dengan kepercayaan yang kuat, sehingga dia mempercayainya dalam cita-cita dan perbuatannya. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. (Hassan Al Banna)
Cukuplah Allah SWT menjadi Penolong kami. (Al-Quran surat Ali-Imran [3] ayat 173)
PERSEMBAHAN
Kepada pembawa Risalah Peradaban, Nabi Muhammad Saw.
Untuk ayahanda dan bundaku Mas dodi, Mas olfa, Mbak Andan, Mbak nanda, Mbak dita Ikhwah fillah dalam barisan perjuangan
KATA PENGANTAR
Segala kesyukuran hanya pantas terlantunkan untuk Allah, Rabb penggenggam segala cinta yang senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada qudwah kita yang telah membawa risalah peradaban, Rasulullah Saw beserta para keluarga, sahabat, serta orang-orang yang selalu ber ittiba’ kepadanya. Amin. Alhamdulillah atas terselesaikannya penulisan hukum (Skripsi) dengan judul ”STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN TAWANAN PERANG ” Keberhasilan dan kesuksesan bukan hanya berasal dari kerja keras semata, melainkan kekuatan do’a serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1.
Bapak Moh.Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
2.
Bapak Sutedjo, S.H selaku pembimbing akademik.
3.
Bapak Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S., selaku pembimbing Skripsi I yang telah memberikan waktu dan bimbingannya.
4.
Bapak Agus Rianto,S.H.,M.Hum., selaku pembimbing II Skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingannya.
5.
Bapak dan Ibu yang sangat aku sayangi yang telah menjadikanku seorang hamba-Nya.
6.
Semua kakakku, mas dodi, mas olfa, mbak andan, mbak nanda, mbak dita, mbak riris, mbak titik, dan mas arif yang telah mendukung dan mendoakan.
7.
Keponakanku tersayang tia, tata dan noufal yang kusayangi.
8.
Mas Imam Mas Arum yang telah membimbing dan mengajarkan berbagai hal yang sangat bermanfaat dalam hidup ini.
9.
Saudaraku
tersayang,
almarhum
Bambang
Pamungkas
yang
memberikan berbagai nasehat dan ukhuwah yang sangat berarti bagiku.
telah
10. Saudara-saudaraku dalam lingkaran spiritual yang telah memberikan berbagai ilmunya kepadaku. 11. Ustadz Ahmad Yani Al-Hafidz beserta keluarga besar Pesantren Mahasiswa Ar-Royyan yang telah banyak memberi nasehat, dukungan, dan do’a. 12. Saudara-saudaraku seperjuangan Fakultas Hukum UNS, FOSMI FH UNS, Just One, KAMMI Sholahuddin Al-Ayyubi, dan semua pejuang dakwah di berbagai Lembaga Dakwah Fakultas di UNS yang telah bersama-sama berjuang menuaikan amanah yang mulia ini. 13. Semua pihak yang telah banyak membantu sampai penulisan hukum (skripsi) ini terselesaikan dengan baik. Penulisan hukum (skripsi) ini masih belum sempurna namun demikian mudahmudahan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Surakarta, 30 Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman HALMAN JUDUL………………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN MOTTO....................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... v KATA PENGANTAR....................................................................................... vi DAFTAR ISI.....................................................................................................viii DAFTAR BAGAN DAN TABEL.................................................................... xi ABSTRAK......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1 A.
Latar Belakang Maslah........................................................................1
B.
Perumusan Masalah.............................................................................5
C.
Tujuan Penelitian.................................................................................5
D.
Manfaat Penelitian...............................................................................6
E.
Metode Penelitian................................................................................7
F.
Sistematika Penulisan Hukum...........................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................14 A.
Kerangka Teori..................................................................................14 1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum.....................................14 a) Pengertian Tentang Perbandingan........................................14 b) Manfaat Perbandingan Hukum.............................................17 2. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional..................................20 a) Tijauan Tentang Perang……………………………………20 b) Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional…………………………………………….... 23 c) Pengertian Hukum Humaniter Internasional…………...... 28
d) Sumber Hukum Humaniter Internasional………………... 31 e) Tujuan Hukum Humaniter Internasional…………………. 38 f) Asas-asas Hukum Humaniter Internasional………………. 38 g) Distinction Principle……………………………………… 39 3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam…………………….... 41 a) Sejarah Hukum Islam……………………………………… 41 b) Definisi Hukum Islam…………………………………...... 64 c) Tujuan dan Sumber Hukum Islam………………………… 64 d) Asas-asas Hukum Islam…………………………………… 66 4. Kajian Perang dalam Hukum Islam……………………….........70 B.
Kerangka Pemikiran………………………………………………. 90
BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................................91 A.
Hasil Penelitian……………………………………………………. 91 1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam………………….. 91 a) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Hukum Humaniter Internasional…………………………. 91 b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam……………………………………………..182 2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam………………….198 a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam……..198 b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………....202
B.
Pembahasan Penelitian…………………………………………... 211 1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam…………..............211 a) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional………………………………….211
b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam.......................................................................219 2.
Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam…………………222 a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………...222 b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………...225
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A.
Simpulan.........................................................................................238
B.
Saran-saran.....................................................................................239
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................240
DAFTAR BAGAN DAN TABEL Halaman Bagan 1. Kerangka Pemikiran Penelitian...................................................90 Tabel I. Tabel Persamaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang...............233 Tabel II. Tabel Perbedaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang...............235
ABSTRAK
Rizki Bima Anggara, 2008, STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN TAWANAN PERANG. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai pengaturan dan perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data komparatif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa, pertama dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, pengaturan perlakuan tawanan perang dalam diatur dalam Annex Konvenasi IV Den Haag 1907, Bab III Konvensi Jenewa 1949 pasal 4-121, Pasal 1-20, Pasal 11, 43, dan 44 Protokol Tambahan I 1977, Pasal 165 San Remo Manual. Selanjutnya, dalam konsep Hukum Islam diatur dalam Al-Quran, dan As-Sunah. Kedua, ternyata antara kedua konsep hukum tersebut terdapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan.Persamaan kedua konsep hukum tersebut yaitu mengenai perlindungan umum tawanan perang, mematuhi peraturan negara penahan, sarana dan prasarana yang memadai, penempatan tawanan perang, berbagai kegiatan yang diperlukan tawanan,sanksi, proses peradilan, dan berakhirnya penawanan. Perbedaan kedua konsep hukum tersebut yaitu tentang pengertian dan kriteria tawanan perang, keputusan untuk melakukan penawanan, pangkat tawanan perang, penerapan peraturan disiplin, tenaga kerja tawanan perang, wakil tawanan perang,proses peradilan dan berakhirnya penawanan. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perang bukanlah sebuah kata yang asing bagi setiap manusia di muka bumi ini.Tragedi pemboman WTC ( World Trade Center ) pada tanggal 11 September 2001 lalu, membangkitkan kembali ketegangan antara Amerika dengan negara-negara timur tengah. Dunia mulai diguncangkan kembali dengan berbagai perang yang sampai saat ini perang-perang tersebut belum
selesai dan telah menelan banyak korban, khususnya warga sipil yang tidak bersalah sama sekali. Perang baik dalam hukum Islam maupun Hukum Humaniter Internasional, merupakan Ultimum Remedium (jalan terakhir) yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan setelah kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa atau permasalahan mereka dengan jalur damai. Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana perang pertama kali dimulai. Geoffrey Best menyatakan “ No one can tell how war began among men but there is evidence of it from earliest times;evidence not just in the form of weapons meant for fighting and of humans remains broken by weapons, which cannot of themselves signify anything as serious as war, but of fighting by organized groups for collectives purposes“ (Geoffrey Best, 1994:14). Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas daripada perperangan. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang hanya salah satu bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa. Sehingga, perang merupakan salah satu hal yang sama tuanya dengan sejarah umat manusia (Mochtar Kusumaatmadja, 1980 : 7). Sedemikian tuanya sejarah perang, bahkan sebuah studi mengenai perang yang pernah dilakukan oleh Quincy Wright, tidak dapat menemukan dengan pasti kapan sebenarnya perang pertama kali itu ada. Dalam hal ini Quincy Wright mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang yaitu (Fadillah Agus, 1997:1) : 1. Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals). 2. Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men). 3. Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men). 4. Perang yang menggunakan teknologi modern (by men using modern technology).
Satu hal yang sudah pasti bahwa perang merupakan sesuatu yang mau tidak mau diterima sebagai fakta yang mewarnai sejarah manusia. Dengan demikian mau tidak mau, harus diterima bahwa perang itu adalah suatu fakta dalam bentuk hubungan antara manusia. Pengaruh atau dampak yang ditimbulkan perang tidak hanya dirasakan oleh pemerintah negara yang berperang, namun pengaruhnya sangat berpengaruh bagi warga sipil kedua negara tersebut yang tidak tahu-menahu. Dampak tersebut terdiri atas berbagai penderitaan seperti pembunuhan membabi buta, penghancuran sarana dan prasarana publik maupun pribadi, perampasan harta benda, ditawannya prajurit oleh pihak musuh, dan lain-lain. Selain penduduk sipil, pihak yang sangat rentan terhadap berbagai kekerasan yang terjadi di dalam perang yaitu para tentara kedua belah pihak. Para tentara yang ikut berperang mempunyai beberapa risiko, yang pertama tentara tersebut dapat menyelesaikan perang dengan selamat karena dia dapat mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Kedua, tentara tersebut tewas karena terkena serangan musuh dan yang ketiga, tentara tersebut tertangkap oleh pihak musuh dan menjadi tawanan yang disebut sebagai tawanan perang. Dari ketiga kemungkinan di atas, kemungkinan ketiga menjadi suatu permasalahan yang urgent. Para tawanan perang tersebut, sering mendapat perlakuan yang melampaui batas-batas kewajaran. Perbuatan-perbuatan yang melanggar HAM sudah menjadi hal biasa yang dialami para tawanan perang, penyiksaan, pemukulan, pelecehan sexsual, pemerkosaan adalah contoh perlakuan yang sering dialami oleh para tawanan perang. Setelah meredanya perang antara Amerika dan pasukan Al-Qaeda, terungkap telah terjadi berbagai perlakuan yang melanggar HAM para tawanan yang ditahan oleh Amerika baik di penjara Abu Ghraib Irak, Guantanamo Kuba dan penjara di Bagram, Afganistan. Hal ini terkuak setelah diketemukannya dokumen-dokumen penyelidikkan militer AS oleh surat kabar The New York Times (TNYT) dan The Washington Post ( http: // www. pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/12/09.htm).
Pada pertengahan 2004, The Washington Post mengungkapan dokumen setebal 3.000 halaman, berisi kasus-kasus penyiksaan tawanan di Guantanamo Kuba, Irak, dan Afganistan. Di situ disebutkan, penyiksaan terhadap para tawanan, sudah berlangsung tiga tahun (sejak invasi militer AS ke Afganistan, Maret 2002). Dilakukan secara sistemik, direstai oleh para pejabat berpangkat tinggi, dan dilaksanakan dalam suasana penuh kerahasiaan. Fakta-fakta yang terdapat dalam dokumen, dikomentari oleh Amrit Singh, pengacara bagi "Unit Kebebasan Sipil Amerika", sebagai amat gegabah. Di situ terdapat uraian tentang batasan orang-orang yang dapat "ditahan secara gegabah" (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/ 12/09.htm.). Seorang warga sipil Irak yang ditemukan di dekat lokasi peledakan bom yang menewaskan tentara AS, ditangkap, dibawa ke markas militer, disuruh memegang senjata oleh tentara AS, agar dapat dijadikan alasan untuk dibunuh. Di bagian lainnya, seorang tahanan remaja dan seorang tahanan dewasa Irak, disuruh berlutut sambil mulutnya diisi peluru, mereka diancam akan dieksekusi jika tidak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh tentara Amerika. Di bagian lainnya lagi, diungkapkan, seorang anak remaja pura-pura dieksekusi di hadapan ayah dan saudara lelakinya, yang ditahan karena diduga terlibat
penjarahan
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/12/09
.htm). Selain itu, surat kabar The New York Times (TNYT) juga mendapat bocoran dokumen laporan penyelidikan militer AS setebal 2.000 halaman yang berisi kasus-kasus penyiksaan tawanan di Bagram, Afganistan. Pada edisi Jumat 20 Mei 2005, surat kabar tersebut memberitakan kepada publik isi dokumen laporan penyelidikan militer AS yang di dalam dokumen tersebut secara jelas diceritakan tentang perlakuan para tawanan perang secara tidak berperikemanusiaan. Bentuk penyiksaan, seperti tertulis dalam dokumen yang dikutip "TNYT", para tahanan ditendangi, dipukul, dan digantung tangannya di langit-langit sel selama empat hari. Jika masih hidup, dengan tangan terikat, tahanan disuruh berguling-guling, mencium sepatu bot pemeriksa, dan
mengambil botol dari drum berisi kotoran dengan mulutnya. Dari beberapa Tahanan ternyata ada dua orang yang menjadi korban, namun, kedua korban tersebut bukan anggota pemberontak bersenjata atau teroris, melainkan sopir taksi bernama Dilawar (22 tahun). Ia lewat ke dekat pangkalan udara Bagram menjelang jam malam, sehingga ditangkap. Satu korban lainnya, Habibullah, juga orang sipil, yang meninggal Desember 2002. Keduanya tewas sangat mengenaskan (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/ 12/09.htm). Dalam laporan tahun 2005, Amnesti Internasional menyebutkan Guantanamo telah menjadi tempat penyiksaan pada zaman modern sekarang ini, ketika para tahanan dapat ditahan tanpa peradilan, dihina dan direndahkan martabatnya serendah-rendahnya. Irene Khan (Sekjen Amnesti Internasional) telah meminta AS menutup Guantanamo dan membebaskan para tahanan (http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/ 0605/07 /02.htm). Perendahan martabat kemanusiaan oleh AS terungkap secara perlahan. Tidak cuma di Guantanamo, tetapi juga di penjara Abu Ghraib Irak maupun Afganistan, di mana para tahanan Muslim ditelanjangi, dihina martabat keagamaannya,
dan
direndahkan
harga
dirinya
sebagai
manusia
(http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/0605/07/02.htm). Dari contoh-contoh di atas, terbukti bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perang mempunyai dampak negatif yang lebih besar dari pada dampak positifnya. Contoh-contoh di atas, menggambarkan bahwa penyiksaan terhadap tawanan perang ibarat fenomena gunung es, hal tersebut membuat peneliti merasa bahwa persoalan ini perlu dikaji secara mendalam walaupun telah ada kajian mengenai hukum perang baik menurut Hukum Humaniter Intenasional dan Hukum Islam. Dalam hal ini penulis mengkaji masalah perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam karena penulis melihat masih adanya perbedaan konsep pengaturan perlakuan tawanan perang dalam kedua peraturan hukum tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengkaji perlakuan tawanan perang menurut Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam yang berlaku pada saat ini dalam bentuk penulisan hukum dengan judul :
“STUDI
KOMPARASI
ANTARA
HUKUM
HUMANITER
INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN TAWANAN PERANG”.
B. Rumusan Masalah Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penulis telah merumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam ? 2. Bagaimana perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam ? Dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi permasalahan pada konflik sengketa bersenjata yang bersifat internasional, sehingga, diantara bahan hukum primer yang peneliti pakai hanya menggunakan Protokol Tambahan I tahun 1977 yang mengatur tentang korban pertikaian bersenjata internasional.
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Tujuan Objektif Tujuan objektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam penulisan ini, tujuan objektif penulisan ini bertujuan sebagai berikut. a. Untuk mengetahui pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam penulisan ini, penulis bertujuan sebagai berikut. a. Untuk menambah pengetahuan peneliti dibidang Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. b. Untuk melengkapi syarat-ayarat guna memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun menfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Dalam penulisan ini, manfaat teoritis dari penulisan ini sebagai berikut. a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitin sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Dalam penulisan ini, manfaat praktis dari penulisan ini sebagai berikut.
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal perlakuan tawanan perang. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman pihak-pihak terkait yang interest terhadap persoalan yang diangkat dalam penulisan hukum ini.
E. Metode Penelitian Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dari masingmasing hukum normatif. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dalam hal kajian perbandingan hukum ini, peneliti akan mengkaji perbandingan hukum sebagai salah satu bentuk dari penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyebutkan bahwa dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan itu mencangkup (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003:12): a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematik hukum. c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. d. Perbandingan hukum. e. Sejarah hukum.
Apabila dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto tersebut, maka penelitian ini termasuk penelitian perbandingan hukum (comparative law) yang pada intinya adalah membandingkan sistem hukum. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, perbandingan hukum adalah “the study of the legal science by the comparison of various system of law”, dari perumusan
tersebut
menunjukkan
adanya
kecenderungan
untuk
mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode (Soejono Soekanto, 1986:258). Pada hakekatnya yang dimaksud dengan perbandingan hukum yaitu penelitian untuk mencari persamaan dan perbedaan antara dua macam hukum yang berbeda yaitu Hukum Islam dan Hukum Humaniter Internasional (Indianto S, 2005:8). Titik tolak penelitian ini adalah perbandingan perlakuan tawanan perang yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam. Dari pengertian di atas, ditegaskan bahwa penelitian perbandingan hukum bersasaran asas-asas hukum dengan metode komparasi (mencari persamaan atau perbedaan serta penjelasan mengapa demikian) (Indianto S, 2005:8). Kegunaan perbandingan hukum antara lain untuk memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara berbagai bidang tata hukum dan pengertian dasar sistem hukum. Dengan demikian lebih mudah dalam mengadakan unifikasi, kepastian hukum maupun penyederhanaan hukum (Soedjono Soekanto,1986:263).
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga tidak memerlukan data lapangan secara langsung, data didapat melalui studi kepustakaan. Lokasi penelitian ini adalah : a. Perpustakaan Pusat UNS Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS. c. Perpustakaan Pribadi.
d. Internet atau Cyber Media. 3. Pendekatan Penelitian Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Karena yang diteliti adalah berbagai aturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut. a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lainnya secara logis; b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum; c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan lainnya, norma-norma hukum tersebut disusun secara hireakis. 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah dan sumbersumber tertulis lainnya. Adapun ciri-ciri umum data sekunder menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (2003 : 24) yaitu: a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready made). b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh penelitipeneliti terdahulu. c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder. Dalam penelitian hukum,data sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga yaitu : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas : 1) Sumber-sumber Hukum Humaniter Internasional a) Perjanjian Internasional. (1) Annex Konvensi IV Den Haag 1907. (2) Konvensi III Jenewa 1949. (3) Protokol Tambahan I 1977 2) Sumber-sumber Hukum Islam a) Al-Quran. b) As-Sunnah (Al-Hadits). (1) Hadits Riwayat Muslim. (2) Hadits Riwayat Bukhari. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam penelitian ini peneliti menggunakan buku teks baik dari buku-buku yang berhubungan dengan Hukum Humaniter Internasional maupun buku-buku yang berhubungan dengan. Hukum Islam dan San Remo Manual 1994. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia muslim (Minhajjul Muslim). 5. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Studi Pustaka dengan cara identifikasi isi. Alat pengumpulan data dengan mengidentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel dari internet, makalah seminar
nasional, jurnal, dokumen, dan data-data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini. 6. Teknik Analisis Data Dalam penelitian hukum normatif, maka pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan kontruksi (Soerjono Soekanto,1986 : 251). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah menggunakan metode komparatif. Metode komparatif adalah cara berfikir yang merupakan penyimpulan dan perbandingan antara ketentuan hukum dengan ketentuan hukum yang lainnya, ketentuan hukum dengan fakta, fakta dengan fakta lainnya sehingga dapat dibandingkan.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, penelitian dan pembahasan, serta penutup dengan menggunakan sistematika sebagai berikut.
Bab I
:
Pendahuluan Bab ini memaparkan latar belakang perlunya dilakukan perbandingan konsep pengaturan perlakuan tawanan perang berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. Bab ini juga memaparkan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian serta metode yang digunakan dalam melakukan penelitian.
Bab II :
Tinjauan Pustaka
Bab ini akan memaparkan bahan kepustakaan yang berupa teori-teori pendukung penelitian dan pembahasan masalah yang menjadi dasar pijakan peneliti untuk meneliti masalah yang diteliti agar penelitian bisa dipastikan validitasnya. Bab ini disajikan menjadi dua bagian yaitu pemaparan dalam kerangka teori dan pemaparan dalam kerangka pemikiran. Teori-teori kepustakaan yang dipakai adalah mengenai : 2. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum. a) Pengertian Perbandingan Hukum. b) Manfaat Perbandingan Hukum. b. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional. 1) Tinjauan Tentang Perang 2) Sejarah
Perkembangan
Hukum
Humaniter
Internasional. 3) Pengertian Hukum Humaniter Internasional. 4) Sumber Hukum Humaniter Internasional. 5) Tujuan Hukum Humaniter Internasional. 6) Asas-asas Hukum Humaniter Internasional. 7) Distinction Principle. c. Tinjauan Umum Hukum Islam. a) Sejarah Hukum Islam. b) Definisi Hukum Islam c) Tujuan dan Sumber Hukum Islam. d) Asas-asas Hukum Islam. d. Kajian Perang dalam Hukum Islam. 2. Kerangka Berpikir. Bab III :
Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini akan memaparkan hasil penelitian berupa pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam dan perbandingan perlakuan
tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Hasil penelitian merupakan jawaban atas masalah yang dirumuskan peneliti pada awal penelitian yaitu pengaturan perlakuan
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter
Internasional dan Hukum Islam dan perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Bab IV :
Simpulan dan Saran Bab ini akan memaparkan kesimpulan dari pengaturan dan perbandingan
perlakuan
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Selain kesimpulan, bab ini juga akan memaparkan saran peneliti atas konsep pengaturan perlakuan tawanan perang yang diharapkan dapat menjadi suatu pertimbangan dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan penerapannya.
Daftar Pustaka Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum a. Pengertian Tentang Perbandingan Hukum Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum antara lain Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (Istilah Inggris), Droit Compare (istilah perancis), Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam Black’s Dictionary, Istilah Perbandingan hukum terdapat di dalam bab mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dimana perbandingan hukum diartikan dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles of legal science by the comparison of various systems of law) (Barda Nawawi Arief, 2003:3).
Apabila diamati istilah asingnya, comparative law dapat diartikan bahwa, titik beratnya adalah pada perbandingannya atau comparative, dalam hal ini kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum dengan demikian menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian istilah perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem hukum (Romli Atmasasmita,2000:7). Berkaitan dengan pengertian perbandingan hukum, ada beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan pengertian perbandingan hukum di antaranya sebagai berikut (Romli Atmasasmita,2000:7-10). 1) Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari satu masalah hukum. 2) Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. 3) Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang ilmu. 4) Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasardasar masyarakatnya. 5) Orucu mengemukakan Comparative law is a legal dicipline aiming at ascertaining similiarities and differences and finding out relationships between various legal systems, their essence and style, looking at comparable, legal intitutions and concepts and trying to determine solutions to certain problems in these system with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc. Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara pelbagai sitem-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum dan konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistemsistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain. Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan perbandingan hukum adalah suatu metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang lain. atau membanding-bandingkan sistem hukum
positif dari bangsa yang satu dengan yang lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1983 : 60). R.Soeroso menyimpulkan perbandingan hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan hukum yang menggunakan metode perbandingan dalam rangka mencari jawaban yang tepat atas problema hukum yang konkret (R.Soeroso, 1999 : 8). Berdasarkan pendapat atau definisi tentang perbandingan hukum yang telah diuraikan di atas dapat dikemukakan bahwa ada dua kelompok definisi perbandingan hukum yaitu 1) Pertama, kelompok yang menganggap perbandingan hukum sebagai metode. 2) Kedua, kelompok yang menganggap perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum (science). Kedua kelompok definisi di atas muncul atau dikemukakan sesuai dengan masanya sehingga kedua model definisi tersebut ada kebenarannya. Namun, demikian model definisi kedua sangat relevan dengan perkembangan masyarakat kini karena perbandingan hukum tidak lagi semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua sistem hukum melainkan sudah merupakan suatu studi tersendiri yang mempergunakan metode dan pendekatan yang khas yaitu metoda perbandingan, sejarah dan sosiologis serta objek pembahasan tersendiri yaitu sistem hukum asing tertentu. Kedudukan perbandingan hukum terakhir ini cocok untuk dapat mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang sedang membangun. Dalam hal ini, Romli Atmasasmita berpendapat bahwa perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metoda perbandingan (Romli Atmasasmita, 2000 : 12). Dalam hal kajian perbandingan hukum ini, peneliti mengkaji perbandingan hukum sebagai salah satu bentuk dari penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan ketika Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyebutkan bahwa dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan itu mencakup (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003:12) : 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum. 2) Penelitian terhadap sistematik hukum. 3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. 4) Perbandingan hukum. 5) Sejarah hukum. b. Manfaat Perbandingan Hukum Manfaat atau kegunaan dari perbandingan sistem hukum yaitu seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut (Ade Maman, 2004:17-19) : 1) Menurut Sudarto Kegunaan bersifat umum :
a)
Memberi kepuasaan bagi orang yang berhasrat ingin tahu yang bersifat ilmiah. b) Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan kebudayaan sendiri. c) Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri. 2) Menurut Rene David dan Brierly a) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis. b) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan hukum nasional kita sendiri . c) Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap bangsa-bangsa lain dan oleh karena itu, memberikan sumbangan untuk menciptakan hubungan atau suasana yang baik bagi perkembangan hubungan internasional. 3) Menurut Tahir Tungadi a) Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional, regional maupun internasional. b) Berguna untuk harmonisasi hukum, antara konvensi internasional dengan peraturan perundangan nasional. c) Untuk pembaharuan hukum yakni dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan dapat secara objektif melihat kebaikkan dan kekurangan hukum nasional. d) Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum (terutama bagi para hakim pengadilan internasional). Hal ini penting dalam menentukan the general principles of law yang merupakan sumber yang penting dari hukum publik internasional. e) Sebagai ilmu pembantu bagi hukum perdata internasional, misalnya dalam hal ketentuan HPI suatu negara menunjuk kepada ketentuan hukum asing yang harus diberlakukan dalam suatu kasus. f) Diperlakukan dalam program pendidikan bagi penasehatpenasehat hukum pada lembaga perdagangan internasional dan kedutaan-kedutaan misalnya untuk dapat melaksanakan traktat-traktat internasional. 4) Menurut Ade Maman Suherman Perbandingan sistem hukum ditujukan untuk memperoleh suatu pemahaman yang comprehensive tentang semua sistem hukum yang eksis secara global dan paling tidak diperoleh manfaat : a) Manfaat internal, dengan mempelajari perbandingan sistem hukum dapat memahami potret budaya hukum negaranya sendiri dan mengabdosi hal-hal yang positif dari sistem hukum asing guna pembangunan hukum nasional.
b)
Manfaat eksternal baik individu, organisasi maupun negara dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara lain yang berlainan sistem hukumnya. c) Untuk kepentingan harmonisasi hukum dalam pembentukan hukum supranasional. Johnny Ibrahim mengemukakan bahwa perbandingan hukum merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (Legal Institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain. Dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur yang persamaan dan perbedaan kedua sistem hukum tersebut. Persamaan-persamaan akan menunjukan inti dari lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaanperbedaan disebabakan oleh adanya perbedaan iklim, suasana, sejarah masingmasing bangsa yang bersangkutan dengan sistem hukum yang berbeda (Johnny Ibrahim, 2005:313). Menurut Sunaryati Hartono, dengan melakukan perbandingan hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa (Sunaryati Hartono,1991:1-2) : 1) Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula, dan 2) Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu akan menimbulkan cara-cara yang berbeda pula. Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah antara lain bahwa penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara pelbagai bidang tata hukum dan pengertian dasar sistem hukum. Dengan pengetahuan tersebut, maka lebih mudah untuk mengadakan unifikasi, kepastian hukum maupun penyederhanaan hukum. hasil-hasil perbandingan hukum akan sangat bermanfaat bagi penerapan hukum disuatu masyarakat majemuk seperti indonesia, terutama untuk mengetahui bidang-bidang mana yang dapat diunifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur dengan hukum antar tata hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 263). Dari uraian di atas tentang definisi dan manfaat dari perbandingan hukum, peneliti berpendapat bahwa perbandingan hukum yaitu salah satu metode yang dipakai untuk mengkaji ilmu hukum yang menitik beratkan pada perbandingan antara dua sistem hukum yang berbeda untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang terbaik dan bermaslahat bagi kepentingan manusia. Dalam hal ini, penulis membandingkan antara Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengenai perlakuan tawanan perang. 2. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional a. Tinjauan Tentang Perang 1) Definisi Perang Perang memiliki berbagai definisi jika dilihat dari berbagai sudut pandang, namun dilihat dari segi hukum, beberapa ahli hukum berpendapat (Haryomataram,1994 : 4-5) :
(a) Francois Perang adalah keadaan hukum antara negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Supaya ada perang dalam arti teknis, harus ada animus belligerendi (niat untuk mengakhiri hubungan damai). (b) Openheim Perang adalah persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang. Ciri khas (kharakteristik) perang : (1) Pertikaian antara negara (contention between states). (2) dengan menggunakan angkatan perang. (3) tujuan adalah menguasai lawan. (c) Mochtar Kusumaatmadja Perang adalah suatu keadaan dimana suatu negara atau lebih terlibat dalam suatu persengketaan bersenjata, disertai dengan pernyataan niat salah satu pihak untuk mengakhiri hubungan damai dengan pihak lain. Menurut Prof.Mochtar yang merupakan pokok esensieel dari perang adalah : adanya animus belligerendi, yaitu niat untuk mengakhiri hubungan damai, jadi bukan penggunaan kekerasan senjata. (d) Mc.Nair war is a state or condition of affairs, not a mere series of acts of force. State of affairs terjadi karena : (1) Apabila suatu negara menyatakan dengan tegas bahwa ada perang. (2) Apabila tanpa pernyataan tegas, suatu negara melakukan tindakan kekerasan (senjata) terhadap negara lain, disertai indikasi-indikasi adanya animus belligerendi. (3) Apabila suatu negara melakukan tindakan kekerasan (senjata), tidak disertai animus belligerendi, tetapi negara yang dimusuhi menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang menimbulkan/menghasilkan state of war (keadaan perang). (e) Field Manual War may be defined as a legal condition of armed hostility between states. (f) Syahmin A K Perang merupakan salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam
pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa (Syahmin A K, 1985:6). Selain itu, definisi perang juga diberikan oleh seorang ahli Hukum Internasional, Quincy Wright di bawah ini. (Fadillah Agus, 1997: 3). “War will be considered the legal condition which equally permits two or more hostile groups to carry out a conflict by armec force.” disamping itu juga Qincy Wright mengemukakan pengertian perang dalam terminologi hukum dan dalam pengertian material. perang dalam arti terminologi yaitu a condition or period of time wich special rules permitting and regulating violence governments are settled. Sedangkan, perang dalam arti material yaitu an act or a series of act of violence by one government against another, or a dispute between governments carried on by violence. Pada perjalanannya, istilah perang tidak disukai semua orang karena akibat yang ditimbulkan membawa trauma yang sangat dalam bagi semua orang. suasana anti perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya pada bidang hukum perang itu sendiri. karena paradigma yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat akan istilah perang maka mereka meninggalkan usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang. Walaupun istilah atau pengertian dan hukum perang tidak disukai, namun pertikaian bersenjata masih tetap ada. sehingga timbulah kebingungan akan penyebutan pertikaian tersebut. Dalam kondisi itu, muncul istilah baru dalam istilah perang yaitu laws of armed conflict (sengketa bersenjata). Menurut Edward Kossoy, seorang ahli Hukum Humaniter Internasional mengatakan “On purely legal consideration the replacement of “war” by “armed conflict” seems more justified and logical.” Sedangkan dalam Commentary dikatakan bahwa: “The Subtitute of this much more general expression for the word “war” was deliberate.” (Haryomataram, 1984: 8-10 dan Fadillah Agus, 1997: 3-4). Menurut Karl Josef partsch, istilah international armed conflict adalah lebih luas daripada istilah war (Rudolf L.Binschelder, Encyclopedia of International Public International Law, dalam Fadillah Agus,1997:4). Setelah itu, istilah armed conflict ini banyak dipergunakan, baik dalam konsepsi-konsepsi internasional maupun dalam resolusi-resolusi. Dari semua defnisi di atas, perang yaitu persengketaan bersenjata antara pihak-pihak bersengketa ketika salah satu pihak tersebut berniat untuk mengakhiri perdamaian antara kedua pihak tersebut. Persengketaan senjata tersebut terlebih dahulu dinyatakan secara tegas di awal persengketaan oleh pihak yang berniat untuk mengakhiri perdamaian antara kedua pihak tersebut dan persengketaan bersenjata tersebut harus menggunakan senjata-
senjata yang diatur dalam hukum perang. Selain itu, istilah yang lebih dapat diterima oleh masyarakat internasional adalah armed conflict daripada war. b. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional Hukum perang merupakan bagian paling tua dari Hukum Internasional dan hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di Bumi. Sampai terbentuknya yang sekarang, Hukum Humaniter Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak upayaupaya yang telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Upaya-upaya tersebut tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan Hukum Humaniter berikut ini (Arlina Permanasari, 1999:13-17) : 1) Zaman Kuno Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk memperlakukan musuh yang tertangkap dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Jean Pictet menjelaskan bahwa upaya-upaya tersebut juga berjalan pada peradaban-peradaban besar selama tahun 3000-1500 SM, antara lain sebagai berikut (Arlina Permanasari, 1999:13-15) : a) Di antara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. d) Di India, peraturan perang yang mereka gunakan telah tertulis dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. salah satu contohnya dapat dilihat pada masa
kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik. 2) Abad Pertengahan Pada abad pertengahan Hukum Humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agam Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war, Ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah [2] ayat 190. “ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.“ Al-Quran surat. Al-Baqarah [2] ayat 191 ”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” Adapun prinsip kesatrian yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengerjakan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senajata tertentu. 3) Zaman Modern Salah satu tonggak penting dalam perkembangan Hukum Humaniter Internasional yaitu didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun 1864. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya, adalah Intructions for Government of Armies of the United States atau disebut Lieber Code. (Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, dalam Arlina, 1999:16) Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasan, maka pada masa ini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi Hukum Humaniter Internasional, dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas-mayoritas negara-negara setelah tahun 1850. Hukum Humaniter Internasional nampak sebagai hukum yang dinamis dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Namun demikian, Menurut Kunz, hukum perang sekarang ini dalam keadaan kacau. Banyak persoalan yang belum diatur, dan ketentuan-ketentuan yang telah ada sudah ketinggalan jaman sehingga perlu direvisi.
Secara umum hukum perang dapat dibagi dua, yaitu : 1) Hukum yang mengatur cara berperang dan alat-alat yang boleh dipakai untuk berperang; dan 2) Hukum yang melindungi kombatan, penduduk sipil dari akibat perang. Bagian pertama pada umumnya diatur dalam The Hague Convention 1907, dan oleh karena itu sering disebut Hague Laws of War. Bagian kedua diatur didalam Geneva Conventions 1949 dan oleh karena itu disebut juga Geneva Laws of War. Hukum yang mengatur cara dan alat berperang dirumuskan sekitar akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. setelah itu peraturan atau ketentuan itu hampir tidak pernah diperbaharui lagi. Mengingat usia peraturanperaturan tersebut, serta memperhatikan kemajuan pesat teknologi-terutama teknologi pembuatan senjata-maka dapat diperkirakan bahwa bagian hukum perang ini sudah sangat ketinggalan jaman atau out-of-date. Hague Law of War belum disesuaikan dengan perubahan ini. Bagian ini memerlukan revisi. Usaha revisi ini menghadapi beberapa kesulitan, antara lain (Haryomataram, 1994:2) : 1) Suasana saat ini- terutama suasana sesudah perang dunia ke-2 kurang menguntungkan. Orang sudah jemu berperang dan oleh karena itu tidak mau diingatkan lagi pada “perang”. Pada tahun 1949 dibentuk Internaional Law Commission. Komisi ini menolak memasukkan hukum perang sebagai salah satu topik antara lain dengan alasan bahwa perang sudah dilarang, jadi tidak perlu lagi membahas hukum perang. Apabila komisi membahas hukum perang, maka seolah-olah komisi tidak percaya kemampuan akan PBB untuk mempertahankan perdamaian. 2) Pembahasan atau revisi bagian hukum perang ini menyangkut penggunaan senjata yang paling mutakhir. Hal ini tidak mungkin dilihat dari segi hukum saja. Faktor politis, terutama politik pertahanan-keamanan, tidak dapat diabaikan. Pandangan bahwa hukum perang sudah tidak perlu karena perang sudah dihapuskan, kurang realistis, berbahaya dan merugikan. Meskipun sudah ada Kellog-Briand dan Charter PBB, namun perang belum dapat dihapuskan. Oleh karena itu, hukum perang yang up-to-date perlu ada. (A regulate war is a lesser evil than a unregullated war). Pada saat ini, terdapat kekurangan dan kelebihan pada hukum Humaniter Internasional. Salah satu contoh kekurangannya yaitu seperti yang telah di jelaskan uraian di atas. Sedangkan, contoh kelebihan yang ada yaitu sudah baiknya peraturan hukum perang yang mengatur perlindungan korban perang, baik kombatan maupun non-kombatan (Haryomataram, 1994 : 1-3). Demikianlah keadaan hukum perang dewasa ini, dimana harus selalu memperbaharui setiap peraturan yang berhubungan dengan perang karena dari hari ke hari perang yang terjadi semakin berkembang baik dengan menggunakan metode atau alat-alat yang digunakannya. c. Pengertian Hukum Humaniter Internasional 1) Pengertian Umum
Istilah hukum humaniter merupakan suatu istilah yang relatif baru sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui tentang hukum humaniter. Bahkan, kebanyakan para ahli hukum juga belum paham apa yang dimaksud dengan hukum humaniter. Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Confict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka istilah laws of war diganti menjadi laws of armed conflict (Hukum Sengketa Bersenjata). Dalam perkembangannya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity pinciple), maka istilah hukum sengketa bersenjata diganti dengan istilah International Humanitarian Law Applicable In Armed Conflict (Hukum Humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional. Maksudnya yaitu untuk mengingatkan para peserta perang supaya mereka melakukan perang secara manusia. Kemudian istilah itu disebut dengan International Humanitarian Law (Hukum Humaniter Internasional) (Arlina Permatasari, 1999 : 6-8). Meskipun istilah Hukum Humaniter Internasional pernah mengalami perubahan, tetapi tetap mempunyai inti dan tujuan yang sama, yaitu mengatur tentang cara berperang serta perlindungan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. 2) Pengertian Hukum Humaniter Internasional Pengertian dari Hukum Humaniter Internasional yaitu seperti yang diberikan oleh para ahli di bawah ini (Haryomataram, 1994 : 7) : a) Menurut Nagendra Singh “ The fundamental basis of the laws of war and their main purpose is to limit the use of forcel violence to that which, an according to all accepted canons, is the submission of the enemy to terms” (page 70). b) Menurut Oppeiheim “Laws of war are the rules of the Law of Nations respecting warfare” (page 226). c) Dari buku : International Law-USSR “Laws and customs of war = regulations governing the relations on the one hand between belligerents, and on the other hand berween bellgerents and neutrals” (page 405).
d) Menurut Starke “Laws of war consists of the limits set by international law within which the force reguird to overpower the enemy may be used” (page.552). Selain itu, definisi Hukum Humaniter Internasional juga diberikan oleh para ahli di bawah ini. (Arlina Permatasari, 1999 : 9). e) Menurut Jean Pictet International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provition, whether written or customary, ensuring respect and individual and his well being. f) Geza Herzegh merumuskan Hukum Humaniter Internasional sebagai berikut Part of the rules of the public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. its place a beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different. g) Menurut Mochtar Kusumaatdja “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perlindungan, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” h) Panitia Tetap Humaniter, Departemen Hukum dan Perundangundangan “ Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.” i) F.Sugeng Istanto “ Keseluruhan ketentuan hukum yang merupakan bagian dari hukum internasional publik yang mengatur tingkah laku manusia dalam pertikaian bersenjata yang di dasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dengan tujuan melindungi manusia.” j) International Committe of the Red Cross (ICRC) “ Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar kemanusian, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan senjata dan metode perang dalam melindungi orang maupun harta benda yang terkena pertikaian bersenjata.
k) Esbjorn Rosenblad Hukum Humaniter mengadakan pembedaan antara the law of armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan Negara netral. Sedangkan law of walfare ini antara lain mencakup metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil. Dari semua definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Hukum Humaniter Internasional yaitu : a) Suatu aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum yang timbul karena adanya kebiasaan-kebiasaan internasional atau perjanjian –perjanjian internasional yang mengatur tentang tata cara dan metode berperang serta perlindungan terhadap korban perang (tawanan perang-orang luka dan sakit-orang yang dilindungi dan sebagianya) baik konflik bersenjata yang bersifat internasional ataupun non internasional. b) Rangkaian ketentuan yang mengatur pemakaian kekuatan bersenjata, yang meliputi pengaturan tentang tata cara dan alat apa yang boleh dipakai. d. Sumber Hukum Humaniter Internasional Hukum perang merupakan bagian hukum internasional. Oleh karena itu sumber hukum perang sama dengan sumber Hukum Internasional. Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sumber hukum Humaniter Internasional adalah (Boer Mauna, 2005 : 7-11) 1) Perjanjian Internasional (International Convention), baik yang bersifat umum maupun khusus Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian Internasional merupakan sumber utama Hukum Internasional. Konvensikonvensi itu dapat berbentuk bilateral, regional dan multilateral. Konvensi-konvensi internasioanal yang merupakan sumber utama Hukum Internasional adalah konvensi yang berbentuk law-making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum. 2) Kebiasaan Internasional (International Custom) Kebiasaan merupakan sumber hukum yang asli bagi hukum internasional. Dan kebiasaan dipandang sebagai sumber yang paling tua. Akan tetapi, pada saat ini kebiasaan tidak lagi dominan sebagaimana pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena makin tingginya aktivitas Komisi Hukum Internasional (ILC) dalam pembentukan traktat multilateral. Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktek-praktek yang telah dilakukan oleh negara-negara.
3)
Prinsip-Prinsip Umum Hukum (General Principles of Law) yang Diakui Oleh Negara-Negara Beradab Sumber ketiga Hukum Internasional adalah prinsipprinsip umum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara. Walaupun hukum nasional berbeda dari satu negara ke negara lain namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip umum yang diambil dari sistem-sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum administrasi dan perdagangan, ganti rugi dan kontrak kerja diambil dari sistem nasional untuk mengatur kegiatan yang sama dalam kerangka Hukum Internasional. 4) Keputusan pengadilan (Judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional. Dari sekian banyak sumber hukum internasional di atas, maka yang sangat penting bagi hukum perang adalah perjanjian internasional. Berikut ini adalah beberapa perjanjian yang penting dalam hukum perang (Haryomataram, 1994:12-13 dan Arlina, 1999:43-49): 1) 1856 Deklarasi Paris mengenai cara berperang di laut. 2) 1864 Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka di medan pertempuran darat. 3) 1868 Deklarasi St. Petersburg yang mengatur tentang pelarangan penggunaan proyektil jenis tertentu pada waktu perang. 4) 1874 Konferensi Diplomatik diselenggarakan di Brussels atas inisiatif Kaisar Alexander II dari Rusia, mengadopsi sebuah Deklarasi Internasional mengenai hukum-hukum dan kebiasaan perang. Naskahnya tidak diratifikasi, bagaimana pun juga, karena beberapa negara yang hadir merasa berat untuk terikat dalam sebuah perjanjian. Walaupun demikian, Rancangan Brussels menandai sebuah tahap penting pengkodifikasian hukum perang. 5) 1899 Konvensi Deen Haag yang mengatur tentang penghormatan terhadap kebiasaan dan hukum perang di darat dan penyesuaian tata cara berperang di laut menurut prinsip Konvensi Jenewa 1864. 6) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru dum-dum. 7) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru dan bahan peledak yang dilemparkan dari balon. 8) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru yang menyebar gas cekik. 9) 1899 Dalam Pembukaan Konvensi Den Haag Ke-II, terdapat Klausula Martens yang menerangkan bahwa apabila
10) 1906 11) 1907 12) 1907 13) 1907 14) 1907 15) 1907
16) 1923 17) 1925
18) 1929 19) 1936 20) 1949
21) 1954
Hukum Humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk di antara negara-negara yang beradab {mengacu pada established custom dalam pasal 1 ayat (2) Protokol I} ;dari hukum kemanusiaan {mengacu kepada principles of humanity dalam Pasal 1 ayat (2)}; serta dari pendapat public (public consience) {mengacu pada ungkapan the dictates of public conscience dalam Pasal I ayat (2)}. Peninjauan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa 1864. Peninjauan kembali Konvensi Den Haag 1899 dan pengapdosian Konvensi baru. Konvensi Den Haag, tentang permulaan perang. Konvensi Den Haag, tentang penembakan oleh angkatan laut dalam waktu perang. Konvensi Den Haag, tentang hak dan kewajiban negara netral dalam perang di darat. Konvensi Den Haag, tentang hukum dan kebiasaan perang di darat, dengan annex : Hage Regulations (Hage Regulations ini sangat penting bagi para prajurit, sehingga disebut : modern soldier’s vademecum). The Hague Airwaves Rules. Protokol Jenewa yang mengatur tentang pelarangan penggunaan gas pencekik, beracun ataupun jenis gas lainnya dan juga cara berperang biologis yang menggunakan bakteri untuk kepentingan perang. Konvensi Jenewa, tentang perlakuan terhadap orang sakit, luka-luka dan tawanan perang. London Protocol, tentang pemakaian kapal selama melawan kapal dagang. Empat Konvensi Jenewa yang mengatur tentang a) Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit. b) Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang terluka, sakit dan korban karam. c) Perlakuan terhadap tawanan perang. d) Perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang. Kovensi Den Haag yang mengatur tentang mengenai perlindungan terhadap benda-benda budaya pada waktu konflik bersenjata.
22) 1972
Konvensi tentang pelanggaran, pengembangan, pembuatan, dan penimbunan senjata biologis atau bakteriologis dan beracun, dan tentang pemusnahannya. 23) 1977 Dua protokol tambahan terhadap empat konvensi Jenewa 1949, yang memperkuat perlindungan bagi korban konflik bersenjata internasional (Protokol I) dan konflik bersenjata non internasional (Protokol II). 24) 1980 Konvensi tentang larangan atau pembatasan penggunaan senjata konvensional tertentu yang dianggap dapat mengakibatkan luka yang berlebihan atau dapat memberikan efek tidak pandang bulu (Konvensi Senjata Konvensional / Certain Conventional Weapons Conventioan / CCW), yang termasuk : a) Protokol (I) tentang fragmen (kepingan logam) yang tidak terdektesi. b) Protokol (II) tentang larangan dan pembatasan penggunaan ranjau darat, booby trap, dan alat-alat lain. c) Protikol (III) tentang larangan dan pembatasan penggunaan senjata-senjata pembakar. 25) 1993 Konvensi tentang larangan dan pembatasan pengembangan, pembuatan, penimbunan dan penggunaan senjata kimia dan tentang pemusnahnya. 26) 1995 Protokol yang berkaitan dengan senjata laser yang dapat menyebabkan kebutaan permanen (Protokol IV untuk Konvensi 1980). 27) 1997 Konvensi tentang larangan penggunaan, penyimapanan, serta pembuatan dan pengiriman ranjau anti personil dan tentang pemusnahannya. 28) 1998 Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Internastional Criminal Court). 29) 1999 Protokol pilihan untuk Konvensi tentang hak anak-anak dalam konflik bersenjata. 30) 2001 Amandemen terhadap Pasal I dari Konvensi Senjata Konvensional / CCW. Menurut Prof. Mochtar, hukum dari Hukum Humaniter Internasional dapat dibagi menjadi dua (Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, dalam Haryomataram, 1984:18) : 1) Jus ad Bellum yaitu Hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan dalam menggunakan senjata. 2) Jus in bello yaitu Hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua, yaitu a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). bagian ini disebut The Hague Laws.
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. bagian ini disebut dengan The Geneva Laws. Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan – aturan pokok, yaitu (Haryomataram, 1994:1) : 1) Hukum perang yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws). 2) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/ The Geneva Laws). Dengan demikian berdasarkan pendapat dua pakar hukum humaniter di atas, maka sumber Hukum Humaniter Internasional terdiri dari konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang, sedangkan Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang dimana salah satunya mengatur perlindungan tawanan perang yang diatur di dalam Konvensi III Jenewa 1949. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensikonvensi lain yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 1977, Konvensi Jenewa dilengkapi dengan dengan dua protocol yang disebut dengan Protokol Tambahan 1977 : 1. Protocol Additional to Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to The Protections of victims of International Armed Conflict (Protocol I). 2. Protocol Additional to Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to The Protections of victims of Non International Armed Conflict (Protocol II). Protokol 1 tahun 1977 mengatur tentang korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II tahun 1977 mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non-internasional. e. Tujuan Hukum Humaniter Internasional Ada beberapa tujuan Hukum Humaniter Internasional, yaitu (Arlina Permanasari,dkk,1999:12 dan Haryomataram, 1994:9) : 1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu. 2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas, di sini yang terpenting yaitu asas perikemanusiaan. Jadi tujuan dari Hukum Humaniter Internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin akan
perlindungan hak asasi manusia dan mencegah dilakukannya perang yang tidak berperikemanusiaan . f. Asas-asas Hukum Humaniter Internasional Dalam Hukum Humaniter Internasional dikenal terdapat tiga asas utama, yaitu (Arlina dkk, 1999:11) : 1) Asas Kepentingan Militer Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. 2) Asas Perikemanusiaan Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3) Asas Kesatriaan Asas ini mengandung arti bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, bebagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara seimbang sehingga perang yang dilakukan tidak menimbulkan penderitaan yang berlebihan bagi pihak yang dikalahkan dan terkhususnya tawanan perang yang ditawan oleh Negara penawan dapat diperlakukan dengan baik dan manusiawi. g. Distinction Prinsiple Prinsip pembedaan atau distinction Principle merupakan salah satu prinsip penting dalam Hukum Humaniter Internasional. Prinsip ini membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombantan (combantant) dan penduduk sipil (civilian). Kombantan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan (Arlina permanasri dkk, 1999:73). Latar belakang belakang diadakan prinsip pembedaan ini yaitu: (Haryomataram, 1984:64-65) 1) Untuk mengetahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan dan siapa tidak. 2) Untuk menentukan siapa yang dapat / boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Pada perkembangan pengaturannya Distinction Prinsiple atau prinsip pembeda diatur dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, dan Protokol Tambahan 1977. Pada Konvensi Den Haag 1907, walaupun prinsip pembeda ini tidak secara eksplisit dapat ditemukan pada Konvensi Den Haag 1907, namun secara implisit prinsip pembeda ini terdapat di dalam Konvensi den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya
3.
dalam lampiran atau Annex-nya yang diberi judul Regulations Respecting Laws and Custom of War. (Haryomataram, 1984:66-67). Pada Konvensi Jenewa1949, pada konvensi ini prinsip pembeda tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombantan dan penduduk sipil, namun isi dari Pasal 13 Konvensi I dan II, serta Pasal IV Konvensi IV pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan sebagai kombantan. di samping itu, ketentuan dalam Konvensi-konvensi juga memasukkan satu kategori baru ke dalam golongan kombantan, yaitu golongan penduduk yang dinamakan Organized Resistance Movement, mereka adalah penduduk yang merupakan bagian dari pihak yang bertikai yang melakukan operasinya baik di dalam maupun di luar wilayah mereka walaupun wilayah mereka telah di duduki. (Arlina, 1999:81) Pada Protokol Tambahan, istilah kombantan dinyatakan secara eksplisit di dalam Bab II yang berjudul Combantant dan Prisoner of War Status. Hal yang terpenting dari pengaturan prinsip pembeda dalam Protokol Tambahan 1 tahun 1977 ini adalah bahwa dalam protokol tambahan ini telah mengalami perkembangan karena dalam protocol ini tidak lagi dibedakan antara regular troops (tentara reguler) dan irregular troops (tentara yang bukan tergolong tentara reguler), sebagaimana dikenal baik dalam konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949. (Haryomataram, 1984:79-80) Dari uraian di atas, diketahui bahwa pembedaan prinsip distinction Principle ini, para pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata dapat mengetahui orang-orang yang termasuk Kombantan dan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam Kombantan. Hal ini berkaitan pula dengan orang-orang mana saja yang dapat ditawan oleh para pihak yang bersengketa. Selain itu, terilihat perkembangan yang sangat signifikan pada prinsip pembeda yang diatur pada sumber hukum Humaniter tersebut. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam a. Sejarah Hukum Islam Pada pembahasan ini, ada dua pandangan mengenai sejarah Hukum Islam, yaitu : 1) Menurut Mohammad Daud Ali, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam, yaitu (untuk lebih lengkapnya baca Mohammad Daud Ali, 1999:139-178) : a) Masa Nabi Muhammad SAW (610M-632M) Pada masa ini, Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT. untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaranajaran agama Islam dimulai di semenanjung Arab yang kemudian menyebar luas ke berbagai belahan dunia. Wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. terdapat ayat-ayat hukum. Ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 dalam Al-Quran, ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan salat, zakat, puasa, dan haji. Sedang ayatayat hukum mengenai muamalah jumlahnya 228, lebih
kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran menurut penelitian Prof. Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut : (1) Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan sebayak 70 ayat. Mengenai hukum perkawinan misalnya (hanya diambil sebagian contoh), terdapat dalam Al-Quran surat AlBaqarah [2] ayat 221,230,dan 235. surat An-Nisa [4] ayat 3,4,22,23,24,25,dan 129; surat An-Nuur [24] ayat 32,dan 33; surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10 dan 11; surat Attalaq [65] ayat 1 dan2. Mengenai hukum kewarisan terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran , misalnya dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 180 dan 240; surat An-Nisa [4] ayat 7 sampai dengan 12,32,33,dan 176; surat Al-Ahzab [33] ayat 6. (2) Mengenai Hukum Perdata lainnya, diantaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat. Contohnya dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 280,282,283; surat Al-Anfaal [8] ayat 56 dan 58. (3) Mengenai Hukum Ekonomi Keuangan termasuk Hukum Dagang terdiri dari 10 ayat antara lain dalam surat AlBaqarah [2] ayat 275,282,284; surat Ali-Imran [3] ayat 130; surat An-Nisa [4] ayat 29; surat Al-Mutaffifiin [83] ayat 1-3. (4) Hukum Pidana terdiri 30 ayat antara lain terdapat dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 178 dan 179; surat An-Nisa [4] ayat 92 dan 93; surat Al-Maidah [5] ayat 33,38,dan 39; surat Asy Syuraa [42] ayat 40. (5) Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat antara lain terdapat dalam surat Ali Imran [3] ayat 104,110,159; surat Annisa [4] ayat 59; surat Asy Syuraa [42] ayat 38. (6) Hukum Internasional terdapat 25 ayat antara lain terdapat dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 190 sampai dengan 193; surat Al-Anfaal [8] ayat 39 dan 41; surat At-Taubah [9] ayat 29 dan 123 ; surat Al-Mukminuun [22] ayat 39 dan 40. (7) Hukum acara dan Peradilan terdapat 13 ayat antara lain terdapat dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 282; surat AnNisa [4] ayat 65 dan 105; surat Al-Maidah [5] ayat 8; surat Shaad [38] ayat 26. Ayat-ayat hukum ini pada umumnya berupa prinsipprinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut. Waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini
terletak pada diri Beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan, dan sikap diam Beliau yang disebut dengan sunnah yang kini terdapat dalam kitab-kitab hadis. Dengan mempergunakan Al-Quran sebagai norma dasar, Nabi Muhammad SAW. memecahkan setiap masalah yang timbul pada masa-masanya dengan sebaik mungkin. b) Masa Khulafa Rasyidin (632 M – 662) Masa pemerintahan khulafa Rasyidin ini sangat penting dilihat bagi perkembangan Hukum Islam karena dapat dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli Hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan Hukum Islam pada waktu itu. (1) Abu Bakar Ash-Siddiq, Beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 M sampai 634 M, banyak tindakannya yang berpengaruh pada perkembangan Hukum Islam, antara lain : (a) Pidato pelantikannya yang intinya menyebutkan bahwa bila Abu Bakar Ash-shiddiq melakukan kebenaran maka ikutilah, namun jika ia melakukan kesalahan, jangan takut untuk menegurnya. Katakata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut Hukum Ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya dapat dijadikan dasar dalam menentukkan hubungan antara rakyat dengan penguasa. (b) Cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat yaitu dicari di dalam Al-Quran, kemudian bila tidak ada, Beliau mencarinya di dalam Hadis. Bila tidak ditemukan juga, Beliau mengumpulkan para sahabat Nabi untuk melakukan ijtihad bersama. (c) atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Quran yang telah ditulis di zaman Nabi pada pelepahpelepah kurma, tulang-tulang unta dan sebagainya dan menghimpunnya ke dalam satu naskah. (2) Umar bin Khattab, pemerintahannya berlangsung dari tahun 634 sampai tahun 644 M. Tindakannya yang berpengaruh pada perkembangan Hukum Islam, antara lain : (a) Beliau turut aktif menyiarkan agama Islam, Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai Palestina, Sirya, Irak, dan Persia di sebelah utara serta ke Mesir di barat daya.
(b) Ia menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah). Penetapan tahun Hijriayah dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung). Dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. (c) Ia menetapkan salat at-tarawih yaitu salat sunnat malam yang dilakukan setelah salat isya, selama bulan Ramadhan. (d) Ia sering melakukan ijtihad demi kemaslahatan umat. (3) Ustman bin Affan, pemerintahannya berlangsung dari tahun 644 sampai tahun 656. Tindakannya yang berpengaruh pada perkembangan Hukum Islam, yaitu ia melakukan standarisasi Al-Quran karena, pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama. (4) Ali bin Abi Thalib, pemerintahannya berlangsung dari tahun 656 sampai 662 M. Semasa pemerintahannya, Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan Hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil bahkan terjadi perpecahan antara umat Islam. c) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII M abad X M) Periode ini berlangsung lebih kurang dua ratus lima puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian awal abad VII sampai dengan abad X Masehi. Dilihat dari kurun waktunya, pembinaan dan pengembangan Hukum Islam dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Ummayah (662-750) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258). Hukum Islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang lima ratus tahun. Di masa inilah (1) lahir para ahli Hukum Islam yang merumuskan garis-garis Hukum Islam serta (2) muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh ummat Islam sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan Hukum Islam pada periode ketiga ini. Di antara faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah : (1) Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India-Tiongkok di Timur sampai ke Spayol (Eropa) di sebelah Barat.
(2)
Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fikih Islam. (3) Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat. Dalam periode inilah timbul para mujtahid atau imam, dulu jumlahnya banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah empat, yakni : (1) Imam Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit):700-767M.
(2)
Ia hidup di Kufah, Irak dimana tempatnya sangat jauh dengan Madinah yang merupakan tempat Nabi Muhammad saw. karena letaknya yang jauh itu menyebabkan beberapa perbedaan antara lain : (a) Tidak banyak orang yang mengetahui sunnah Nabi. (b) Di Madinah penduduknya homogen. Sedangkan, di kufa penduduknya bersifat heterogen, hidup dalam suasana kota yang terdiri dari berbagai suku bangsa, menyebabkan perbedaan masalah yang timbul dalam masyarakat dan penyelesaiannya pun menjadi berbeda. (c) Di kufah, karena mereka tidak banyak mengetahui tentang sunnah Nabi Muhammad, untuk memecah kan masalah masyarakat mereka relatif lebih kompleks dari itu, mereka lebih banyak menggunakan pendapat atau pemikiran sendiri dengan qiyas atau analogi sebagai alatnya. Perbedaan intensitas dalam mempergunakan sumber-sumber Hukum ini, menyebabkan perbedaanperbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan aliran-aliran pemikiran dalam Hukum fiqih Islam. Karena Abu Hanifah (dan kemudian murid-muridnya) banyak mempergunakan pikiran atau ra’yu dalam memecahkan masalah hukum, dalam kepustakaan, mazhab Hanafi dikenal dengan sebutan ahlur ra’yu. Mazhab ini dianut sekarang di turki,Syria,Irak, Afganistan,Pakistan,India,Cina dan Uni Soviet. Di beberapa negeri Islam,seperti Syria,Libanon dan Mesir, Mazhab Hanafi menjadi Mazhab hukum resmi. Sumber hukum yang mereka pergunakan yaitu Al-quran, Sunnah dan Ra’yu. Imam Malik bin Anas: 713-795 Malik bin Anas hidup dan mengembangkan pahamnya di Medinah di mana banyak orang yang mengetahui sunnah Nabi. Oleh karena itu, Malik
(3)
banyak mempergunakan sunnah dalam memecahkan persoalan hukum. Malik sendiri menjadi pengumpul Sunnah Nabi, ia menyusunnya dalam kitab Hadis yang terkenal dengan nama al-Muwaththa’. Namun, walaupun Ia telah mengumpulkan berbagai Sunnah Nabi tetapi ia tetap menghargai keanekaragaman sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi dan kondisi yang berbeda. Mazhab ini sekarang dianut di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait. Sumber hukumnya yaitu Al-Quran, Sunnah Nabi, dengan ijmak penduduk Medinah ,Qiyas dan Masalih al-mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum). Imam Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M
(4)
Ia belajar Hukum Fiqih Islam dari para mujtahid mazhab hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik kedua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum maupun metode yang mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran itu dan merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru). Ia disebut sebagai ahli Hukum Islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber Hukum Fiqih Islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah (Pengantar Dasardasar Hukum Islam). Sumber Hukum Islam yaitu AlQuran, Sunnah Nabi, ijmak dan qiyas. Mazhab Syafi’i sekarang diikuti di Mesir, Palestina, (juga di beberapa tempat di Syria, dan Libanon, Irak dan India), Muangthai, Filiphina, Malaysia dan Indonesia. Sumber hukumnya yaitu AlQuran, Sunnah Nabi, Ijmak, Qiyas, dan Istishab (penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah ada, karena tidak terlihatnya dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut). Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): 781-855 M Ia belajar dari beberapa ahli, termasuk syafi’i, di beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula dalam bidang hadis Nabi. Berdasarkan keahliannya itu, ia menyusun sebuah kitab hadis terkenal dengan nama almusnad atau al-masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi pendapat resmi (negara) di Saudi Arabia (sekarang). Dibandingkan dengan aliran-aliran hukum tersebut di atas Mazhab Hambali ini yang paling sedikit penganutnya. Sumber hukumnya yaitu sama dengan
Syafi’i dengan menekankan atau mengutamakan AlQuran dan Sunnah. Dalam periode ini pulalah lahir teori penilaian mengenai baik-buruknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama alhakam al-khamsah (hukum taklifi). d) Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X M-XIX M) Sejak permulaan abad ke-4 Hijriyah atau abad ke 10-11 Masehi, ilmu Hukum Islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku sebagai mazhab. Yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-soal pokok tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting). Dengan kata lain, yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan AsSunah Nabi Muhammad SAW, tetapi pikirannya di tumpukkan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiranpikiran hukum para imam-imamnya saja. Di antara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan “kemunduran” atau kelesuan pemikiran Hukum Islam di masa itu adalah: (1) Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah dan Asia. Munculnya negara-negara baru itu membawa ketidakstabilan politik. (2) Ketidakstabilan politik menyebabkan pula ketidakstabilan kebebasan berpikir, maksudnya orang tidak bebas mengutarakan pendapatnya. (3) Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan muncul orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang membingungkan masyarakat. (4) Timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana, karena kelesuan berpikir itu, para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran mereka yang merdeka dan bertanggung jawab.
e) Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX sampai dengan sekarang) Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam kembali lagi. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran Hukum Islam. Munculah gerakangerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (= permulaan), generasi awal dahulu. 2) Sejarah Hukum Islam menurut Nurcholis Majid yaitu : (http://www.geocities.com/Pentagon/ Quarters/ 1246/hukum .html) Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidangbidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi. Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf (Klasik). Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaimklaim mereka, seperti Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain menjadi sebab bagi berkecamuk-
nya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat. Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa alSiba'I mengetengahkan keterangan di bawah ini. Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak,dan ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap 'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat. Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahlal-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan,serta meninggalkan keharusan taat pada Dinasti Umayyah. Begitulah,peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan wajarlah bahwa AlQur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi Al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka, setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap Al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya. Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah -dengan perbedaan
berbagai kelompok mereka sebagaimana dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum Syi'ah." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penam pilan kesarjanaan mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang sistimatis. Dari uraian di atas perkembangan Hukum Islam dibagi menjadi tiga masa yaitu : a) Pada Masa Wawasan Hukum Zaman Tabi'in Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar - dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah, Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghor- mati hak milik sah orang lain,kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu. Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban - Arab:al -
Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi sosialpolitik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya.Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelek- tual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu. Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktispragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah. Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa halhal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan;maka tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berba -gai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madani -yyah), urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulual-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makansesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq, Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukumhukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu
Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya.Dan tugas Rasul tidak keluar dari lingkaran tugas menyampai kan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (Al-Quran surat Al-Najm [53] ayat 34). Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi bersifat kehakiman,politik dan perang, maka Rasul saw. diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka.Mereka juga mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman mereka itu,dan kadang-kadang beliau menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu. Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui semua.Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh,yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan.Tapi sejak pertikaian politik pada partengahan kedua kekhalifahan 'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan Siba'I yang telah dikutip di atas, penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada sekitar sesudah 40H. ketika banyak partisan mulai berusaha keras memperebutkan legitimasi untuk klaimklaim mereka. Ini terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" ('Am alJama'ah), sebab "persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. b) Pada Masa Dua Kubu Orientasi Fiqh: Hijaz Dan Irak Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permu-
laan masa "kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rah mah) kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan" yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi golongan Khawarij).Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu).Tapi "koalisi"itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus. Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting:Hijaz (Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak (Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaykh 'Ali alKhafif. Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pembe rian fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya,sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak.Dan aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau "petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nashnash.Tempatnya ialah Hijaz.Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak. Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,menyampaikan seruannya,kemudian para Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sab da beliau dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para
Sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Tabi'in yang bersema- ngat untuk tinggal di sana. Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri,system pemerintahannya,kompleksitas kehidupan – nya, dan tidak mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di Hijaz. Padahal peristiwaperistiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya,adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka itu kepada penalaran,adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada penalaran lebih kuat terasa,dan penggunaannya juga lebih banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak, mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan mereka.Ini masih ditam bah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan ,penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak. Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah ("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran" ,dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"), sesungguhnya itu hanya karak teristik gaya intelektual masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong "Kelom pok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak, kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara keduanya,meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua katagori tersebut.Ini semakin memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in. c) Pada Masa Ijtihad Tabi'in Sebagai Pendahulu Madzhab-Madzhab
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang benar.Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih zaman Tabi'in alTabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi,dan dihadapkan kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan Hadits.Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru,dan merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan, baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan hukum,maupun yang lain. Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan sosialpolitik, berupa semakin beragamnya latar belakang etnis, cultural dan geografi anggota masyarakat Islam, disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,Persi,dan sebagainya) yang masuk Islam. Maka zaman itu kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesar -
janaan dengan bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para pendahulu imam –imam madzhab, bahkan guru-guru para calon imam madzhab itu. Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran (yakni,madzhab,school of thought) dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok: Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diper hatikan.Nuansa-nuansa itu tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang mendominasi suasana intelek tual suatu tempat,seperti dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya, Tarikh al-Tasyri' alIslami. Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain: (1) Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya. Wafat pada tahun 94 H. (2) 'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa kekhali -fahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah, istri Nabi saw. wafat pada 94 H. (3) Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H. (4) 'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi. Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H. (5) 'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.Belajar dari'Aisyah Dari kedua pendapat pakar mengenai sejarah Hukum Islam, menyatakan bahwa dalam perkembangannya banyak bermuculan aliran-aliran yang disebabkan karena perbedaan letak geografis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain sehingga sumber Hukum Islam yang mereka pergunakan juga berbeda. Tetapi hal perbedaan geografis dan faktor-faktor lainnya tidak dapat menyatakan bahwa umat Muslim tidak boleh hanya
menggunakan salah satu sumber yang ada karena hal tersebut akan menimbulkan kesalahan yang fatal. Sehingga, dalam melihat suatu permasalahan harus dilihat dari semua sumber Hukum Islam yang sah yaitu AlQuran, Sunnah, Ra’yu (ijmak, Qiyas, Istidal, Masalih al Mursalah, Istihsan, Istishab dan Urf). b. Definisi Hukum Islam Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fiqih dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu ibadah (mahdah) dan bidang muamalah (ghoiru mahdah). Ibadah (mahdah) adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti menjalankan sholat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi dimana ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh Rosul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara ibadat. Yang mungkin berubah adalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya. Adapun muamalat (ghoiru mahdah) dalam pengertian yang luas yakni ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu (Mohammad Daud Ali, 1999 : 48-49). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah Hukum yang berasal dari Allah yang mengatur setiap sendi-sendi kehidupan manusia baik yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia maupun hubungan manusia dengan Tuhannya. Sumber dari Hukum Islam itu berasal dari Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad. c. Tujuan dan Sumber Hukum Islam Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala manfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan Abu Ishaq as Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang disebut “maqosid al-khomsah” (M.Farkhan M, 2006:56). Adapun sumber huku Islam yaitu : 1) Al-Quran Al-Quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia membuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. 2) As-Sunnah (Al-Hadits) As-Sunnah (Al-Hadits) adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam (sunnah taqririyah
atau sunnah sukutiyah) Rosulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Quran. 3) Akal Pikiran (Ra’yu) Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, beriktiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya, memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam AlQuran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Adapun jalan atau cara yang digunakan di antaranya yaitu (Muhammad Daud Ali, 1999 : 100-111) : a) Ijmak yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. b) Qiyas yaitu menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasan). c) Istidal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. d) Masalih al mursalah yaitu cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. e) Istihsan yaitu cara menemukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. f) Istishab yaitu menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaanyang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. g) Adat istiadat atau Urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. d. Asas-Asas Hukum Islam Saidus Syahar menyatakan bahwa asas-asas Hukum Islam merupakan teori Hukum Islam, yakni dalil-dalil ushulu fiqih (dasar, basis, pondasi Hukum), dasar dan tujuan syariat. (Saidus Syahar, 1994:4). Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas yaitu kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam
penegakkan dan pelaksanaan hukum. Asas Hukum Islam berasal dari sumber Hukum Islam terutama Al-Quran dan Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas Hukum Islam banyak, disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asas-asas sendiri. Berikut merupakan sebagian asas-asas Hukum Islam, yaitu (Mohammad Daud, 1998:115-125) : 1) Asas-asas Umum Asas-asas umum Hukum Islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan Hukum Islam adalah : (a) Asas Keadilan, merupakan asas yang sangat penting dalam Hukum Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebutkan sebagai asas semua asas Hukum Islam. Asas ini terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran, surat Sad [38] ayat 26, surat An-Nisa [4] ayat 135, surat Al-Maidah [5] ayat 8. (b) Asas Kepastian Hukum, menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran surat Al-Isra’ [17] ayat 15, surat AlMaidah [5] ayat 95. (c) Asas Kemanfaatan, yaitu asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut di atas. Asas ini ditarik dari AlQuran surat Al-Baqarah [2] ayat 178. 2) Asas Hukum Pidana Di lapangan Hukum Pidana juga terdapat asas-asas Hukum Islam. Di antaranya adalah: (a) Asas Legalitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undangundang yang mengaturnya. Asas ini terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran, surat Al-Isra’ [17] ayat 5, surat AlAn’am [6] ayat 19). (a) Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, maksudnya yaitu bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Karena pertanggung jawaban pidana itu individual sifatnya, kesalahan orang lain tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.Asas ini terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran, surat Al-An’am [6] ayat 16, surat Faathir [35] ayat 18, surat Az-Zumar [39] ayat 7, surat An Najm [53] ayat 38, surat Al-Muddatsir [74] ayat 38).
(b)
Asas praduga tak bersalah, maksudnya bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah
sebelum
hakim
dengan
bukti-bukti
yang
meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu. 2) Asas-asas Hukum Perdata Di lapangan Hukum Perdata terdapat asas-asas Hukum Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang. Di antaranya adalah: (a) Asas kebolehan atau mubah, asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh AlQuran dan As-Sunah. Asas ini terdapat dalam surat AlBaqarah [2] ayat 185,286. (b)
Asas Kemasalahatan hidup, yaitu asas yang mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu dapat mendatangkan kebaikan, berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah.
(c)
Asas Kebebasan dan Kesukarelaan, maksudnya bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Asas ini bersumber dari Al-Quran surat An-Nisa [4] ayat 29.
(d)
Asas Menolak Mudharat dan Mengambil Manfaat.
(e)
Asas
Kebajikan
(kebaikan),maksudnya
bahwa
setiap
hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan bagi kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat. Asas ini bersumber dari Al-Quran surat A-Maidah [5] ayat 90. (f)
Asas Kekeluargaan atau Asas Kebersamaan yang Sederajat, yaitu asas hubungan perdata yang disandarkan pada hormat menghormati, kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini bersumber dari Al-Quran surat Al-Maidah [5] ayat 2.
(g)
Asas Adil dan Berimbang.
(h)
Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak.
(i)
Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain.
(j)
Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak.
(k)
Asas Kebebasan Berusaha.
(l)
Asas Mendapatkan Hak Karena Usaha dan Jasa.
(m) Asas Perlindungan Hak. (n)
Asas Hak Milik Berfungsi Sosial.
(o)
Asas yang Beritikad Baik harus dilindungi.
(p)
Asas Risiko Dibebankan pada Harta, tidak pada pekerja.
(q)
Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk.
(r)
Asas Tertulis atau Diucapkan di depan saksi.
Selain itu, asas dari Hukum Islam yaitu manusia berhak melakukan sesuatu bagi memenuhi kegemaran dan hajat dirinya, dan berusaha untuk mencapai kemanfaatan bagi peribadinya mengikut cara yang dikehendakinya. Tetapi, serentak dengan itu ia mempunyai kewajiban, bahwa ia tidak boleh menikmati hak ini melainkan tanpa menyinggung hak orang lain kerana kebodohan atau nafsu jahatnya. Bahkan sewajarnya ia menolong mereka, bantu membantu dengan mereka, mengikut kadar kesanggupannya (http://noradila.tripod.com/skimat arbiyyahipij/id136.html). 4. Kajian Perang Dalam Hukum Islam a. Pengertian Perang dalam Hukum Islam Abdul Baqi Ramdhun mendifinisikan Perang atau yang lebih dikenal dengan jihad menjadi dalam dua pengertian, yaitu Jihad menurut bahasanya bersal dari kata Jaahada – Yujaahidu – Mujaahadatun – wa Jihaadan dengan makna mengarahkan dan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perkataan atau perbuatan dalam perang. Dan juga dari kata Al-jahdu dan Al-juhdu : Kekuatan dan kemampuan. Dan dari asal kata ‘Jahada – yajhadu – Juhdan” serta “Ijtahada”, keduanya bermakna Jadda (bersungguh-sungguh) (Abdul Baqi Ramdhun, 2005:15). Menurut istilahnya, apabila kata jihad fi sabilillah disebutkan secara mutlak, maka ia bermakna “Memerangi orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah, mengadakan persiapan untukNya dan bekerja pada jalanNya.” Majid Khadduri menyatakan bahwa jihad dalam arti luas, tidak selalu berkmana perang atau mengorbankan pertempuran, sebab melangkah di jalan Allah bisa dicapai dengan cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad dianggap sebagai suatu bentuk propaganda religius yang dilakukan melakukan persuasif ataupun pedang. Pada awal turunnya wahyu di Mekkah, penekanan
subtansi wahyu tersebut banyak menyinggung tindakan yang bersifat persuasif (Majid Khadduri, 2002:46-47). Muhammad, yang mengemban segenap fungsi kenabiannya, yaitu memperingatkan orang-orang yang menyembah berhala sekaligus mengajak mereka untuk menyembah Allah. Ini ditunjukan oleh ayat AlQur’an berikut ini “ Dia berusaha sekuat tenaga (jahada), berusaha dengan segenap hatinya ” (dalam Al-Quran surat Al-Ankabut [29] ayat 6). Ayat ini mencerminkan jihad ditempatkan sebagai upaya penyelamatan kalbu dari pada berusaha meng-Islamkan orang lain (Syafi’i, kitab al-Umm dalam Majid Khadduri, 2002:47). Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jihad yaitu menegakkan kalimat Allah dimuka bumi ini dimana dalam hal tataran pelaksanaannya, jihad tidak hanya dilakukan dengan perang karena banyak cara yang dapat dilakukan oleh umat Muslim untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Dan cara-cara itu dipergunakan sesuai dengan tempat dan kondisinya yang tepat dimana jihad itu dibutuhkan. b. Tujuan Jihad. Sebenarnya tujuan jihad bukanlah mengalirkan darah, merampas harta dan merusak negeri, tetapi tujuan utamanya adalah demi melindungi orang-orang lemah yang tertindas di muka bumi ini serta melenyapkan kezhaliman dan mengamankan jalannya da’wah Islamiyah. Allah SWT berfirman : “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentu dirobohkanlah biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut asma Allah SWT; sesungguhnya Allah pasti akan menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Quran surat Al-Hajj [22] ayat 40) Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, bahwa Rasulullah saw. apabila mengangkat seseorang panglima perang, maka beliau berpesan (yang isinya): agar bertaqwa kepada Allah SWT. (khususnya pesan itu ditujukan kepada dirinya sendiri dan kaum Muslimin bersamanya) kemudian Beliau bersabda : “Berperanglah di jalan Allah SWT dengan nama Allah (ikhlas). Perangilah orang yang kufur kepada Allah (yang melakukan tindakan kejahatan kepada kaum Muslimin)! Perangilah (mereka), janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu menipu, janganlah kamu mencincang (korban) dan janganlah kamu membunuh anak-anak!” Begitu pula apa yang dilakukan oleh Khulafa Rasyidin; wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. kepada Usamah bin Zaid tatkala ia diutus (menyerbu) ke syam (Syria). (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2003:93): “Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang dan jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua dan jangan membunuh perempuan, dan janganlah menebang pohon-pohon kurma dan jangan pula membakarnya, janganlah kamu menebang pohon yang berbuah dan janganlah menyembelih kambing, lembu atau onta kecuali untuk dimakan! Nanti
kamu akan melewati kaum-kaum yang akan mengabdikan diri di gereja-gereja yaitu para pendeta maka biarkanlah mereka beserta pengabdian mereka itu” c. Kewajiban Jihad Jihad merupakan salah satu ibadah yang memiliki keutamaan disisi Allah SWT. bagi setiap hambanya yang melakukannya dengan niatan hanya untuk mengharap ridha Allah ta’ala. Namun, dalam pelaksanaannya tidak setiap muslim mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jihad. Setiap Muslim wajib mngetahui hal-hal apa saja yang diwajibkan untuk dirinya. Ada beberapa pendapat dari ahli hukum Islam yang menerangkan akan kewajiban jihad, para ahli hukum Islam tersebut adalah sebagai berikut : 1) Majid Khadduri Beliau menyatakan bahwa pembebanan kewajiban Jihad sebagai kewajiban umat pada masing-masing individu sangat tepat dan ini setidaknya menyangkut dua hal penting yaitu (Majid Khadduri,2002:50) : a) Pertama, kewajiban ini berarti dilakukan oleh seluruh umat tanpa kecuali. Ajakan kepada seluruh umat untuk menjadi prajurit, bukan sekedar anjuran semata (dalam Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 123). Sebagian umat diperlukan untuk menyiapkan makanan dan persenjataan, antara lain orang yang cacat, buta dan sakit, atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi prajurit (dalam Al-Quran surat An-Nuur [24] ayat 61). Kaum wanita maupun anak-anak merupakan suatu pengecualian, meskipun banyak kaum wanita yang secara tidak langsung membantu perang (dalam Al-Quran Ali-Imran [3] ayat 163). b) Kedua, pembebanan kewajiban kepada umat daripada kepada individu menjadikan jihad sebagai kewajiban umat dan sebagai konsekuensinya, jihad merupakan instrumen negara, dan sebagai kontrolnya, adalah negara, bukan tanggung jawab individu. Sehingga, kepala negara dapat lebih efektif melayani
kelompok-kelompok
kepentingan
masyarakat
dibanding jika persoalan tersebut dibebankan kepada individu. 2) Abdul Baqi Ramdun
Beliau menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan jihad bagi kaum muslimin turun dalam beberapa fase, fase-fase tersebut yaitu (Abdul baqi Ramdhun, 2005 : 21-40) : a) Jihad Dakwah Tanpa Pedang Jihad pada awal mulanya yaitu mendakwahi manusia untuk menerima Dienul Islam, mendekatkan Islam ke dalam akal dan pemikiran mereka, membuat hati dan dada cinta kepadanya, serta mengokohkannya ke dalam jiwa dan sanubari. Untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui jalan hujjah dan penjelasan, tutur kata yang bijak dan nasehat yang baik, serta bantahan cara yang baik. Mengangkat pedang memiliki bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya, sebab tindakan itu boleh jadi bisa mengakibatkan binasanya kaum Muslimin dan kemusnahan mereka semua, atau boleh jadi bisa mengakibatkan terbunuhnya Rasul dan menggagalkan risalah secara total dan seterusnya. karena pada saat itu, orang-orang yang beriman dengan dakwah Islam masih relatif singkat masa keimanannya, mereka adalah kelompok kecil yang terkurung dalam kota Mekkah, sementara mayoritas di antara mereka adalah kaum kafir dan miskin. Inilah sebagian ayat-ayat dan hadits-hadits serta peristiwa-peristiwa yang menerangkan bentuk jihad yang berlangsung dengan jalan damai. Allah SWT berfirman “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Quran surat An-nahl [16] ayat 125). Allah SWT berfirman “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar” (Al-Quran surat AlMuzzammil [73] ayat 10-11). Allah SWT “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh” (Al-Quran surat Al-A’raf [7] ayat 199). Sering dengan datangnya segala macam bentuknya penindasan, penyiksaan, penimpaan bencana dan cobaan yang menimpa orang-orang yang memeluk agama Islam, wahyu turun memerintahkan agar mereka mencegah diri dari
perang, bersabar terhadap cobaan, teguh dalam memegang iman, mengekang diri dan menabahkan hati, tidak menghunus pedang, tidak melakukan perang dan tidak melakukan pertempuran dengan senjata. (1) Jihad dalam fase ini adalah jihad melawan hawa nafsu : dengan jalan meluruskannya, mensucikannya dan membersihkannya serta memperbaiki hingga ia menjadi kuat dan tetap dalam keadaan beriman, tenang, ridha dan diridhai, kuat imannya dan mantap keyakinannya. (2) Jihad dalam fase ini adalah jihad dakwah dengan jalan mempelajari dan mengajarkannya, menerapkan dan menjelaskannya, menyebarkan dan menyiarkan kepada manusia. (3) Jihad dalam fase ini adalah jihad kesabaran dalam menghadapi bencana, kesempitan, kesusahan dan cobaan. serta berpaling dari mereka dengan cara yang baik, memberikan maaf, tidak membalas dendam, dan tidak menghunus pedang dan menyatakan api perang. (4) Adalah Al-Quranul karim berjihad dengan Mu’jizatnya, kekuatan penjelasan dan dalilnya, sedangkan Rasulullah SAW berjihad dengan budi pekerti, kebijakan dan cara perencanaan dan pengaturan yang baik. Para sahabat berjihad dengan kebenaran, kesabaran dan keteguhan hati mereka. Semuanya itu merupakan tiang-tiang penopang jihad, fondasi, alat dan perlengkapannya pada masa itu. b) Kewajiban Jihad Difa’iy Perang difa’iy (mempertahankan diri) yaitu perang dimana kaum Muslimin bukan yang memulai perang terlebih dahulu, peperangan ini semata-mata hanya untuk mempertahankan diri, menolak serangan dan mematahkan serbuan saja. Jihad difa’iy disyariatkan agar supaya kaum Muslimin tidak dibantai sampai keakar-akarnya, dan tidak dituntas secara total lantaran sedikit dan lemahnya keadaan mereka dan agar supaya orang-orang kafir tidak tambah sewenang-wenang terhadap kaum Muslimin. Rasulullah SAW bersabda : “Aku dipernitah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada illah (yang berhak untuk disembah) kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah.Jika mereka telah mengucapkannya, maka terlindunglah harta dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah” (HR. Al-Bukhari Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-nasa’i dan Ibnu Majah—shahih mutawatir--).
Maka jadi tetaplah perintah yang mewajibkan jihad terhadap orang-orang musyrik, dan ia merupakan kewajiban yang terus berlaku sampai hari kiamat. Nabi bersabda “Jihad itu terus berlangsung sejak Allah SWT mengutusku sampai kelompok yang terakhir umatku memerangi Dajjal” (HR.Ahmad, Abu Ya’la dan Ath-Thabrani). c) Kewajiban Jihad Hujumy Perang Hujumy yaitu perang dimana pasukan muslim sudah diperbolehkan untuk memerangi orang-orang kafir dan melakukan peperangan terhadap mereka. Sama saja apakah mereka yang memulai perang atau tidak. Yang demikian itu ketika orang-orang kafir terus-menerus dalam tindak kezhaliman dan kesewenang-wenangannya, telah memuncak kebengisan dan kekejamannya, dan tidak bergeming dari kekafiran dan kesombongannya, serta telah jauh melampaui batas perbuatan mereka. Ayat tersebut berisi izin dari Allah SWT untuk berperang bukan kewajiban dari-Nya. Allah SWT berfirman : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biarabiara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa “ (Al-Quran surat Al-Hajj [22] ayat 39-40). d) Kewajiban Jihad Secara Mutlak Jihad secara mutlak yaitu perang yang diperbolehkan bagi kaum Muslimin, untuk memerangi orang-orang kafir, baik mempertahankan diri ataupun menyerang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah SWT, menyebarkan dakwah-Nya dan memberlakukan syariat-Nya di seluruh muka bumi dan kepada seluruh manusia. sebagaimana perintah tersebut jelas terlihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui “ (AlQuran surat Al-Baqarah [2] ayat 216).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan hal tersebut sangatlah banyak.Adapun hadits-haditsnya antara lain: Rasulullah SAW bersabda “Dien ini akan senantiasa tegak, akan berperang karenanya segolongan kaum Muslimin hingga datangnya hari kiamat.” (HR.Muslim dan Abu Daud—shahih--). 3) Dr. Ali Abdul Halim Mahmud Beliau berpendapat bahwa jihad fi Sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah itu terkadang berhukum fardu’ain dan terkadang berhukum fardu khifayah. Pembagian hukum ini merupakan hal yang terpenting dalam masalah jihad fi sabilillah. Dengan demikian hukum jihad fi sabilillah terbagi menjadi dua, yaitu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2001 : 109-110) : a) Fardu ‘ain Jihad bersifat Fardu ‘ain yaitu buat setiap orang dari kaum Muslimin yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Kewajiban ini sebatas kemampuan masing-masing, dan bila ada seruan umum (untuk berjihad). Dalilnya adalah firman Allah swt., “ Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 41). Jihad ini tidak disyariatkan mendapat izin dari kedua orang tua, tuan (juragan), dan suami. Sebab jihad merupakan fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk menuaikannya. b) Fardhu kifayah Jihad bersifat Fardhu kifayah yakni apabila sebagian kaum Muslimin telah menunaikannya, maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain, bila maksud dari kewajiban itu telah terpenuhi, yaitu tumbangnya kekuatan musyrikin, kokohnya (jayanya) agama Islam, terusirnya musuh, perang terhadap musuh di kampung halamannya, dan terjaganya perbatasan kaum muslimin. Sebab, bila seluruh kaum Muslimin terlibat dalam jihad fi sabilillah maka tidak akan dapat konsentrasi menunaikan kebutuhan duniawinya. Karena itulah maka jihad berhukum fardhu. Bagian jihad ini disyariatkan mendapatkan izin dari kedua orang tua,juragan khifayah dan suami. d. Jenis-jenis Jihad Jihad yaitu menegakkan kalimat Allah SWT di muka bumi ini sampai nilai-nilai Islam kembali mengakar dalam kehidupan setiap manusia di muka bumi ini. Mengacu pada definisi di atas, jihad tidak hanya dimaknai sebagai perjuangan umat Muslim dengan mengangkat pedang saja, namun jihad memiliki
makna yang luas dalam mewujudkan tujuan utama dari jihad itu sendiri. Terdapat berbagai macam jenis jihad yang dapat dilakukan, ada beberapa pendapat dari para ahli hukum Islam mengenai jenis-jenis jihad tersebut. Pendapat-pendapat itu adalah sebagai berikut. 1) Majid Khadduri. Beliau menyatakan bahwa jenis-jenis jihad yang dapat dilakukan umat Muslim yaitu (Majid Khadduri, 2002 : 61) : a) Jihad Melawan Kaum Musyrikin Musyrikin yaitu orang yang melakukan syirik, sedangkan syirik yaitu suatu perbuatan yang menyekutukan Allah SWT dengan menyembah dan memohon selain kepada Allah SWT. dalam beberapa perintah Al-Qur’an, “ Umat Islam berkewajiban memerangi kaum musyrikin dimanapun mereka berada” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 5). “ Perangilah orangorang yang mendekatkanmu kepada kemusyrikan, dan biarkan mereka mengikutimu” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 125), dan “Ketika engkau bertemu dengan orang-orang kafir, penggal kepala mereka sampai engkau melenyapkan mereka”(Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 59). b) Jihad Melawan Kemurtadan Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam, sesorang keluar dari agama Islam dilator belakangi berbagai factor yang memaksa mereka keluar dari agama Islam. apabila kemurtadan semakin merajalela dan menantang penguasa, Imam bertanggung jawab untuk menyerukan jihad melawan mereka. Para ahli hukum menyarankan negosiasi sebelum berlangsung perang, sebab strategi ini mungkin saja berhasil membujuk mereka kembali kepada ajaran Islam. Baik kedamian, membayar upeti atau jizya bisa diterima mengingat hukum tidak mentolerir orang yang keluar dari Islam. Orangorang murtad harus memilih untuk kembali kepada Islam atau menerima tantangan Jihad. Pada kasus orang kafir, mereka seharusnya diberitahu (tentunya dalam negosiasi) bahwa perang tidak dapat dihindari. Aturan ini merupakan bagian dari deklarasi Jihad. c) Jihad Melawan Baghi Baghi merupakan usaha penolakan. Jika kaum yang menolak tersebut tidak mengakui kekuasaan Imam, mereka tidak bisa diperangi dan diizinkan tinggal dalam dar al-Islam (wilayah dimana hukum Allah dipergunakan). Imam membujuk mereka untuk meninggalkan sikap menentang mereka dan menyesuaikan diri dan tetap menganut paham orthodoks, mereka menolak dan tidak mau tunduk kepada hukum, maka mereka patut diperangi. d) Jihad Melawan Pembangkang dan Perampok (Muharibin Mufsidin)
Perampok adalah orang yang melakukan berbagai tindakan kekerasan yang bertujuan untuk merampas hak seseorang untuk memperoleh keuntungan pribadinya. Perbuatan yang dilakukan kaum pembangkang dan perampok disebut pencurian besar. Hukum menaruh perhatian atas ancaman yang mereka sebar ini sebenarnya terdapat pula dalam Al-Quran surat AlMaa’idah [5] ayat 33. “ Taatilah Allah, Rasul dan kewenangan diantara kamu, jika kaum muslimin berbeda pendapat dengan imam, bawalah dihadapan Allah dan Rasul, jika kamu mempercayai Allah dan hari akhir ” Para pakar hukum sependapat, berdasar ayat Al-Quran di atas dimana kaum pembangkang dan pemberontak seharusnya dihukum oleh Imam, namun mereka tidak sependapat pada tingkatan hukuman yang ditetapkan yang kemudian timbul perbedaan pendapat antar berbagai golongan. Perlawanan kelompok-kelompok seperti ini mendorong imam harus memilih memerangi mereka dengan cara seperti yang mereka perbuat seperti bughat (tunggal:baghi) atau lebih bersikap lunak kepada mereka, bergantung pada tingkat keseriusan perbuatan mereka. Imam Ahmad ra dalam kitabnya yang berjudul Al ‘Uddah Syahrul-‘Umdah membagi perampok berdasarkan sanksinya yaitu : (1) Siapa yang membunuh di antara mereka dan merampas harta mereka maka hukumannya adalah dibunuh dan disalib hingga tersiar luas (beritanya), dan jenazahnya diserahkan kepada keluarganya. (2) Siapa yang membunuh di antara mereka namun tidak mengambil hartanya, maka hukumannya adalah dibunuh tapi tidak disalib. (3) Siapa yang mengambil harta tapi tidak membunuh, maka hukumannya adalah dipotong tangannya yang kanan dan kakinya yang kiri pada satu keadaan waktu, dan tidak dipotong tangan maupun kakinya melainkan siapa yang mengambil harta dengan kadar yang mana seorang pencuri dipotong tangan dia karenannya. (4) Siapa yang menakut-nakuti orang yang melewati orang jalan tidak membunuh dan tidak mengambil harta, maka ia diusir dari dari negeri. (5) Siapa yang bertaubat sebelum tertangkap, maka gugurlah hukum-hukum had Allah SWT yang berlaku atasnya, tetapi ia tetap diminta untuk mempertanggungjawabkan dalam perkara yang berkaitan dengan hak-hak adami,
kecuali orang tersebut memaafkannya dari tuntutan tersebut e) Jihad Melawan Golongan Ahli Kitab Golongan Ahli kitab yaitu (ahl al-Kitab) termasuk di dalamnya umat Yahudi, Kristen, serta Sabian mempercayai Allah, namun menurut kepercayaan Muslim, mereka menyimpang dari kitab suci mereka dan menjauh dari rahmat Allah. Mereka juga menyembunyikan kebenaran kitab yang diturunkan kepada nabi mereka, kitab taurat dan kitab injil. Jadi ahli kitab maksudnya yaitu orang yang bukan ahli dalam kitab. Ketika Allah mengutus rosul terakhir-Nya untuk menyerukan mereka agar kembali ke jalan yang lurus, mereka beriman kepada Allah, namun tidak mempercayai rasul-Nya maupun Al-Quran. Oleh karena itu, golongan ahli kitab, seperti halnya musyrikin yang harus dihukum, tetapi mengingat mereka beriman kepada Allah, mereka pun hanya dikenakan hukuman walaupun tidak sepenuhnya. Jihad memang dikobarkan namun tidak seperti saat memerangi golongan musyirikin. Jika mereka masuk Islam, mereka berhak mendapat perlindungan hukum kewarganegaraan sepenuhnya seperti umat lainnya; jika mereka lebih suka memperingatkan. f) Ribat Ribat yaitu orang-orang yang menjaga perbatasan dar al-Islam dengan meletakkan kekuatan baik di pelabuhan maupun kota-kota di garis perbatasan (thughur) untuk tujuan defensif. 2) Abdul Baqi Ramdhun Beliau menyatakan bahwa jenis-jenis jihad menambahkan satu golongan lagi yang perlu diperangi, yaitu (Abdul Baqi Ramdhan, 2005, 70-81): a) Jihad Terhadap Golongan Munafik Orang munafik yaitu orang-orang yang menyembunyikan kekafiran yang ada di dalam dirinya di depan kaum Muslimin atau dapat dikatakan bahwa orangorang tersebut melahirkan ke-Islaman dan kedekatannya (dengan Islam) tetapi menyembunyikan kekafiran dan permusuhannya (terhadap Islam). Mereka adalah golongan yang paling berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin dari orang-orang kafir lainnya. Itu ketidak nampakkan dan ketersembunyian perihal mereka, dan keberadaan mereka di kalangan dan di tengahtengah umat Islam. Allah SWT juga memerintahkan Nabi-Nya untuk menerangkan kepada mereka pengajaran-pengajaran Islam,
yang diharapkan dengan pengajaran-pengajaran Islam tersebut dapat memperbaiki jiwa mereka, dan semoga hati mereka bisa tegak di atas kebenaran, kembali kepada kesadarannya dan berhenti dari kesalahan dan kesesatannya. Perintah ini berlaku umum, seluruh kaum Muslimin terkena di dalamnya. Allah memerintahkan Nabi-Nya secara khusus di luar umatnya supaya ia berpaling dan berlaku keras terhadap mereka (golongan munafik), dan supaya tidak menshalati jenazah salah seorang pun diantara mereka yang mati, dan agar tidak berdiri di atas kubur Muslim, dan tidak memeritahkan ampunan untuk mereka, dan tidak membawa keluar bersamanya diantara mereka untuk berperang setelah perang Tabuk, itu karena Allah SWT mengetahui hakekat dan pribadi mereka. Allah SWT berfirman “Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk ke luar (pergi berperang), maka katakanlah: "Kamu tidak boleh ke luar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang." Dan janganlah kamu sekali-kali men-shalat-kan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” (Al-Quran surat At-Taubah [9]ayat 83-84). b) Jihad Terhadap Orang-orang Zhalim Makna zhalim dilihat dari bahasa, berasal dari kata zhalama-yazhlimu-zhulman-wa muzhlimatan yang berarti : berlaku aniaya, melewati batas dan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Adapun menurut syar’inya, maka ia adalah menyimpang dari kebenaran yang syar’i kepada yang lain, baik dengan ucapan atau dengan perbuatan atau dengan hukum. Kezhaliman yang berkaitan dengan hukum dan para penguasa dapat dikategorikan menjadi dua macam : (1) Zhalim yang Mengkafirkan Yakni zhalim yang mengkafirkan dan mengeluarkan seseorang dari millah Islam, dan pelakunya telah murtad dan zhalim kafir yang dimaksud adalah mengesampingkan Hukum Islam dan memakai hukum lain yang berlawanan dengannya disertai keyakinan dari si pemberlaku hukum tersebut akan kebenaran hukumnya yang bertentangan dari Hukum Allah swr, dan dia mengetahui perkara itu, menolaknya dan tidak menerimanya. (2) Zhalim Fasik
Adalah kezhaliman yang tidak mengeluarkan seseorang dari millah Islam, sedangkan pelakunya dianggap sebagai orang fasik dan pendosa. Firman Allah swr “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zhalim.” (Al-Quran surat Al-Maidah [5] ayat 45) 3) Menurut para fuqaha (ahli fiqih) jihad terbagi menjadi empat macam, yaiu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2001:47-62) : a) Jihad Terhadap Jiwa Para fuqaha mengatakan bahwa jihad terhadap jiwa itu dapat dilakukan dalam empat medan, yaitu : (1) Jihad terhadap jiwa dengan memaksakannya untuk mempelajari agama dan mengenal Al-Haq. Sebab tiada keberhasilan dan tiada keberuntungan di dunia ini maupun di akhirat nanti, melainkan dengan pengetahuan dan pengertian tersebut. (2) Jihad terhadap jiwa dengan memaksanya untuk mengamalkan apa yang telah diketahui dan dipahami. Amal shalih yang disyariatkan dan diperintahkan oleh Allah swr. (3) Jihad terhadap jiwa dengan memaksanya untuk mengajarkan ilmu dan amal yang telah diketahui dan dipelajari kepada orang lain . (4) Jihad terhadap jiwa untuk bersabar menghadapi kesulitan dalam mengajarkan ilmu, berdakwah, dan melakukan amar ma’ruf dan nahi mun’kar. b) Jihad Terhadap Setan Para ulama generasi pertama mengatakan bahwa jihad kepada setan itu dapat dilakukan dalam dua bidang yaitu, yaitu : (1) Jihad terhadap setan dengan menolak keragu-raguan dan syubhat yang dihembuskan dalam jiwa manusia. Atau dengan kata lain, mengusir bisikan setan yang mengguncangkan keimanan. Sebab bisikan itu dapat membuat manusia ragu-ragu tentang eksistensi Allah swr. dan terkadang membuat manusia ragu akan keadilan dan kekuasaan Allah swr atau membuatnya ragu akan hari kebangkitan, penghabisan, pembalasan, dan penyiksaan terhadap mereka. (2) Jihad terhadap setan dengan meninggalkan segala hal yang menghiasi penyimpangan dari manhaj Allah swr serta pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Juga meninggalkan hal-hal yang menjadikan manusia gemar memperturutkan syahwat.
c) Jihad Terhadap Pelaku Kezhaliman dan kemunkaran Jihad terhadap pelaku kezhaliman dan bid’ah terdiri dari tiga tingkatan yaitu : (1) Jihad kepada mereka dengan menggunakan tangan dan kekuatan Jihad ini dilakukan bila ada kemampuan untuk itu dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih besar, seperti mencegah orang dari memukul seseorang dan lain-lain. (2) Jihad kepada mereka dengan lisan dan pena Terkadang karena kuatnya pelaku kezhaliman dan kemunkaran atau karena kondisi tidak memungkinkan, maka seorang mujahid tidak dapat melakukan jihad dengan tangannya. Dalam kondisi seperti itu, jihad dengan lisan dan pena adalah yang paling mugkin dapat dilakukan. Saat itu jihad dengan lisan dan tulisan menjadi kewajiban bagi orang yang mampu melakukannya. (3) Jihad kepada mereka dengan menggunakan hati Makna jihad ini adalah mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh manusia dengan hati dan tidak ridha terhadapnya. Jihad ini merupakan selemah-lemahnya keimanan. d) Jihad Terhadap Musuh-musuh Allah Musuh-musuh Allah swr. itu bermacam-macam, antara lain : (1) Kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah swr. dengan tuhan-tuhan lain dan menyembah tuhan-tuhan selain Allah swr. tersebut. (2) Kaum kafirin, yaitu orang-orang kufur (ingkar) kepada Allah swr, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan rukun iman lainnya. Kekufuran terbesar adalah mengingkari / kufur terhadap ke-Esa-an Allha swr, syari’at Allah swr, dan kufur pada kenabian. (3) Kaum Munafiqin, yaitu kaum yang menampakkan kecintaan kepada kaum Muslimin dan menyembunyikan kebencian serta permusuhan kepada mereka. Kaum munafiqin ini merupakan kelompok yang lebih berbahaya dibandingkan kaum musyrikin dan kaum kafirin. 4) Para ulama salaf berpendapat, bahwa jihad terhadap mereka terdiri dari empat tingkatan, yaitu : a) Jihad terhadap mereka dengan hati. b) Jihad terhadap mereka dengan lisan. c) Jihad terhadap mereka degan harta. d) Jihad terhadap mereka dengan jiwa.
B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan bagan yang menggambarkan alur berpikir dari peneliti yang dibuat secara ringkas dan langsung pada pokokpokok inti dari penelitian tersebut, sehingga memudahkan peneliti dalam menyusun penelitiannya dan memudahkan pembaca dalam memahami alur penelitian peneliti. Pokok pembahasan utama dari penelitian ini yaitu mengenai perlakuan tawanan perang. Dalam mempermudah penelitian ini, perlakuan tawanan perang tersebut dikerucutkan menjadi tiga pembahasan yang terdiri atas perlindungan umum, penawanan, dan berakhirnya penawanan. Pengaturan ketiga sub pokok pembahasan tersebut dikaji dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dan konsep Hukum Islam. Setelah ketiga sub pokok pembahasan tersebut dikaji, kemudian peneliti membandingkan perlakuan tawanan perang (perlindungan umum, penawanan, dan berakhirnya penawanan) yang diatur di dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Perbandingan tersebut menghasilkan persamaan dan perbedaan perlakuan tawanan perang yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Perlakuan tawanan perang · · ·
Perlindungan Umum Bagi Tawanan Perang. Penawanan. Berakhirnya penawanan.
Hukum Islam
H.Humaniter Internasional
Al-Qur’an, As-sunnah, Ijtihad
Konvensi
Persamaan & Perbedaan Bagan.1. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Perlakuan tawanan perang diatur dalam berbagai peraturan, dalam penerapannya jaman sekarang, hukum yang berlaku yaitu Hukum Humaniter Internasional khususnya yaitu Konvensi III Jenewa 1949 yang mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang.Selain itu,sumber Hukum Humaniter Internasional yang penulis pergunakan yaitu Annex Konvensi IV Den Haag 1907, Protokol Tambahan I 1977 dan San Remo Manual.
Pada penulisan hukum ini, penulis akan membandingkan perlakuan tawanan perang yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam. Sumber aturan Hukum Islam yang akan penulis pakai yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebelum penulis membandingkan kedua konsep peraturan tersebut, penulis akan memaparkan kedua konsep peraturan perlakuan tawanan perang baik yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam sebagai berikut. 1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam a. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional. Pengaturan mengenai masalah perang telah diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen Hukum Humaniter Internasional dengan tegas telah membuat aturanaturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Lebih khusus Konvensi III Jenewa 1949 mengatur prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang. Di samping diatur dalam Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter Internasional (Annex Konvensi
IV Den Haag 1907, Konvensi III
Jenewa 1949, Protokol Tambahan I 1977), perlindungan terhadap tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi AntiPenyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang (No exceptional circumstances whatsoever, whether a state of war or a threat of war, internal political instability or any other public emergency, may be invoked as a justification of torture). Kemudian, pasal 11 konvensi yang sama menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah
menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan. 1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang a) Pengertian Tawanan Perang Definisi
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter
Internasional diatur di dalam Pasal 4 Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag 1907. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 4. Prisoners of war are in the power of the hostile Government, but not of the individuals or corps who capture them. They must be humanely treated. All their personal belongings, except arms, horses, and military papers, remain their property. Pasal 4 Tawanan perang adalah tawanan dari negara musuh, jadi bukan tawanan dari orang atau kesatuan tentara yang menawan mereka.
Tawanan
perang
harus
diperlakukan
dengan
perikemanusiaan. Semua barang milik tawanan untuk keperluan pribadi, kecuali senjata, kuda, perlengkapan militer dan dokumen militer, harus tetap dimiliki tawanan perang.
b) Kriteria Tawanan Perang Orang-orang yang dapat masuk kedalam golongan tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk dalam kriteria yang diatur dalam Pasal 1,2 Bagian I dan Pasal 4 dan 13 Bagian II Annex Hukum IV Den Haag IV 1907, peraturan tersebut adalah sebagai berikut. Article 1. The laws, rights, and duties of war apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the following conditions:
To be commanded by a person responsible for his subordinates; To have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; To carry arms openly; and To conduct their operations in accordance with the laws and customs of war. In countries where militia or volunteer corps constitute the army, or form part of it, they are included under the denomination "army." Pasal 1 Hukum, hak, dan kewajiban perang tidak hanya dberlaku kepada tentara tetapi juga berlaku bagi kelompok milisi dan korps sukarela yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; 2. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh; 3. Membawa senjata secara terbuka; 4. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
Art. 2. The inhabitants of a territory which has not been occupied, who, on the approach of the enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having had time to organize themselves in accordance with Article 1, shall be regarded as belligerents if they carry arms openly and if they respect the laws and customs of war. Pasal 2 Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat
senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai
waktu
untuk
membentuk
kesatuan-kesatuan
bersenjata antara mereka yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang Art. 13. Individuals who follow an army without directly belonging to it, such as newspaper correspondents and reporters, sutlers and contractors, who fall into the enemy's hands and whom the latter thinks expedient to detain, are entitled to be treated as prisoners of war, provided they are in possession of a certificate from the military authorities of the army which they were accompanying. Pasal 13 Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang tersebut, korespondensi surat kabar dan seperti wartawan perang, pemasok pebekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggaung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, yang tertangkap oleh pasukan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang, dibuatkan sebuah sertifikat sebagai tanda penawanan dari angkatan perang yang menawan mereka. Kriteria tawanan perang juga terdapat di dalam Pasal 4 Konvensi III Konvensi Jenewa 1949 sebagai berkut. Article 4 A. Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are persons belonging to one of the following categories, who have fallen into the power of the enemy: 1.
Members of the armed forces of a Party to the conflict as well as members of militias or volunteer corps forming part of such armed forces.
2.
Members of other militias and members of other volunteer corps, including those of organized resistance movements, belonging to a Party to the conflict and operating in or outside their own territory, even if this territory is occupied, provided that such militias or volunteer corps, including such organized resistance movements, fulfil the following conditions: (a) That of being commanded by a person responsible for his subordinates; (b) That of having a fixed distinctive sign recognizable at a distance; (c) That of carrying arms openly; (d) That of conducting their operations in accordance with the laws and customs of war.
3.
Members of regular armed forces who profess allegiance to a government or an authority not recognized by the Detaining Power.
4.
Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model.
5. Members of crews, including masters, pilots and apprentices, of the merchant marine and the crews of civil aircraft of the Parties to the conflict, who do not benefit by more favourable treatment under any other provisions of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of the enemy spontaneously take up arms to resist the invading forces, without having had time to form themselves into regular armed units, provided they carry arms openly and respect the laws and customs of war. B. The following shall likewise be treated as prisoners of war under the present Convention: 1.
Persons belonging, or having belonged, to the armed forces of the occupied country, if the occupying Power considers it necessary by reason of such allegiance to intern them, even though it has originally liberated them while hostilities were going on outside the territory it occupies, in particular where such persons have made an unsuccessful attempt to rejoin the armed forces to which they belong and which are engaged in combat, or where they fail to comply with a summons made to them with a view to internment.
2.
The persons belonging to one of the categories enumerated in the present Article, who have been received by neutral or non-belligerent Powers on their territory and whom these Powers are required to intern under international law, without prejudice to any more favourable treatment which these Powers may choose to give and with the exception of Articles 8, 10, 15, 30, fifth paragraph, 58-67, 92, 126 and, where diplomatic relations exist between the Parties to the conflict and the neutral or non-belligerent Power concerned, those Articles concerning the Protecting Power. Where such diplomatic relations exist, the Parties to a conflict on whom these persons depend shall be allowed to perform
towards them the functions of a Protecting Power as provided in the present Convention, without prejudice to the functions which these Parties normally exercise in conformity with diplomatic and consular usage and treaties. C. This Article shall in no way affect the status of medical personnel and chaplains as provided for in Article 33 of the present Convention. Pasal 4 A. Tawanan perang dalam arti Konvensi ini, adalah orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh : 1.
Anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut.
2.
Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk anggota-anggota gerakan perlawa nan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa beroperasi di dalam atau di luar wilayahnya sendiri, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan sukarela tersebut, termasuk
gerakan
perlawanan
yang
diorganisir,
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a) Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahannya. b) Mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh. c) Membawa senjata secara terang-terangan. d) Melakukan operasi mereka sesuai dengan hukumhukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
3.
Anggota-anggota angkatan perang reguler tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui Negara Penahan.
4.
Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang tersebut, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok pebekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggaung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai.
5.
Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu alut, taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuanketentuan lain apapun dalam hukum internasional.
6.
Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukanpasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
B. Menurut
konvensi
ini,
yang berikut
ini
juga
akan
diperlakukan sebagai tawanan perang. 1.
Orang yang tergolong, atau pernah tergolong, dalam angkatan perang dari wilayah yang diduduki, apabila negara yang menduduki wilayah itu memadang perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu, walaupun negara itu semula telah membebaskan mereka
selagi permusuhan berlangsung di luar wilayah yang diduduki negara itu, terutama jika orang-orang tersebut telah mencoba dengan tidak berhasil untuk bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang terlibat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi panggilan yang ditunjukkan kepada mereka yang berkenaan dengan .penginterniran. 2.
Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negaranegara netral atau negara-negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus harus diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap-tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara itu dan dengan perkecualian Pasal 8,10,15,30 paragraf kelima, Pasal-pasal 58,67,92,126 dan apabila terdapat hubungan diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa dengan negara netral atau negara yang tidak turut berperang bersangkutan, pasal-pasal mengenai Negara Pelindung. Jika terdapat hubungan diplomatic demikian, pihak-pihak dalam sengketa yang ditaati oleh negaranegara itu harus diperkenanakan menyelenggarakan fungsi Negara Pelindung terhadap mereka, sebagaimana ditentukan oleh Konvensi ini, tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi yang biasa dijalankan oleh pihak-pihak itu sesuai
dengan
kebiasaan
diplomatik dan konsuler
dan
perjanjian-perjanjian
C. Pasal ini sekali-kali tidak akan mempengaruhi kedudukan petugas dinas kesehatan dan rohaniawan sebagaimana ditentukan dalamPasal 33 Konvensi ini. Dalam Protokol Tambahan 1 Tahun 1977, juga terdapat pengertian dan kriteria orang-orang yang dapat masuk ke dalam golongan tawanan perang. Pengaturan tersebut, terdapat dalam Pasal 43 dan pasal 44 Protokol Tambahan I Tahun 1977. Isi Pasal tersebut adalah sebgai berikut. Art 43. Armed forces
1.
The armed forces of a Party to a conflict consist of all organized armed forces, groups and units which are under a command responsible to that Party for the conduct or its subordinates, even if that Party is represented by a government or an authority not recognized by an adverse Party. Such armed forces shall be subject to an internal disciplinary
system
which,
inter
alia,
shall
enforce
compliance with the rules of international law applicable in armed conflict. 2.
Members of the armed forces of a Party to a conflict (other than medical personnel and chaplains covered by Article 33 of the Third Convention) are combatants, that is to say, they have the right to participate directly in hostilities.
3.
Whenever a Party to a conflict incorporates a paramilitary or armed law enforcement agency into its armed forces it shall so notify the other Parties to the conflict. Pasal 43 Pasal 43 memberi batasan dari Angkatan Bersenjata sebagai berikut.
1.
Angkatan Bersenjata dari pihak yang bertikai terdiri dari Angkatan Bersenjata yang terorganisir (Organized Armed Forces), group dan unit yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya kepada fihaknya tersebut, sekalipun fihak itu diwakili oleh Pemerintah atau Penguasa (authority) yang tidak diakui oleh pihak lawan (adverse party). Angkatan Bersenjata tersebut harus tunduk kepada sistem disiplin kesatuan (internal disciplinary system) yang antara lain berisi pelaksanaan ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pertikaian bersenjata.
2.
Anggota angkatan Bersenjata dari fihak yang bertikai (kecuali personal medik dan pendeta seperti tersebut dalam Pasal 37 Konvensi III Jenewa 1949) adalah Kombantan, yaitu mereka berhak untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan.
3.
Apabila salah satu pihak yang bertikai memasukkan sebuah kesatuan (agency) para militer atau penegak hukum dalam Angkatan Bersenjata mereka, maka mereka wajib memberi tahukan hal ini kepada pihak-pihak lain yang bertikai.
Art 44. Combatants and prisoners of war
1.
Any combatant, as defined in Article 43, who falls into the power of an adverse Party shall be a prisoner of war.
2.
While all combatants are obliged to comply with the rules of international law applicable in armed conflict, violations of these rules shall not deprive a combatant of his right to be a
combatant or, if he falls into the power of an adverse Party, of his right to be a prisoner of war, except as provided in paragraphs 3 and 4. 3.
In order to promote the protection of the civilian population from the effects of hostilities, combatants are obliged to distinguish themselves from the civilian population while they are engaged in an attack or in a military operation preparatory to an attack. Recognizing, however, that there are situations in armed conflicts where, owing to the nature of the hostilities an armed combatant cannot so distinguish himself, he shall retain his status as a combatant, provided that, in such situations, he carries his arms openly: (a) During each military engagement, and (b) During such time as he is visible to the adversary while he is engaged in a military deployment preceding the launching of an attack in which he is to participate. Acts which comply with the requirements of this paragraph shall not be considered as perfidious within the meaning of Article 37, paragraph 1 (c).
4.
A combatant who falls into the power of an adverse Party while failing to meet the requirements set forth in the second sentence of paragraph 3 shall forfeit his right to be a prisoner of war, but he shall, nevertheless, be given protections equivalent in all respects to those accorded to prisoners of war by the Third Convention and by this Protocol. This protection includes protections equivalent to those accorded to prisoners of war by the Third Convention in the case where such a person is tried and punished for any offences he has committed.
5.
Any combatant who falls into the power of an adverse Party while not engaged in an attack or in a military operation
preparatory to an attack shall not forfeit his rights to be a combatant and a prisoner of war by virtue of his prior activities 6.
This Article is without prejudice to the right of any person to be a prisoner of war pursuant to Article 4 of the Third Convention.
7.
This Article is not intended to change the generally accepted practice of States with respect to the wearing of the uniform by combatants assigned to the regular, uniformed armed units of a Party to the conflict.
8.
In addition to the categories of persons mentioned in Article 13 of the First and Second Conventions, all members of the armed forces of a Party to the conflict, as defined in Article 43 of this Protocol, shall be entitled to protection under those Conventions if they are wounded or sick or, in the case of the Second Convention, shipwrecked at sea or in other waters. Pasal 44 Pasal 44 mengatur tentang Kombantan dan tawanan perang
adalah sebagai berikut. 1.
Setiap Kombantan, seperti ditentukan dalam Pasal 43, yang jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, akan menjadi tawanan perang (prisoner of war).
2.
Sekalipun semua Kombantan harus mentaati ketentuanketentuan hukum Internasional yang berlaku dala pertikaian bersenjata, namun pelanggaran ketentuan tersebut tidak akan menghilangkan haknya untuk menjadi Kombantan, atau apabila ia jatuh dalam kekuasaan pihak lawan, dari haknya menjadi tawanan perang, kecuali apa yang ditentukan dalam paragraph 3-4.
3.
Untuk menambah perlindungan dari penduduk sipil dari akibat (effects)
permusuhan,
Kombantan
diharuskan
untuk
membedakan diri dari penduduk sipil pada waktu mereka sedang menyerang atau di dalam suatu operasi militer yang
mendahului (preparatory) serangan tersebut. tetapi mengingat bahwa dalam suatu pertikaian bersenjata terdapat situasi dimana, mengingat sifat permusuhan tersebut. Kombantan tidak dapat membedakan diri, ia akan tetap memperoleh statusnya sebagai Kombatan asal, dalam keadaan tersebut ia membawa senjata secara terbuka : a.
Selama setiap pertemuan militer dan
b.
Selama ia dapat dilihat atau kelihatan oleh musuh pada waktu ia terlibat dalam suatu persiapan militer mendahului serangan dimana ia turut serta.
Perbuatan yang memenuhi ketentuan ini tidak boleh dianggap sebagai licik dalam arti Pasal 37 Paragraf 1 (c). 4.
Seorang Kombantan yang jatuh dalam kekuasaan musuh sedang ia tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kalimat kedua dari pasal 3, akan kehilangan (forfeit)haknya sebagai tawanan perang, tetapi namun demikian dia akan diberikan perlindungan yang sama (equivalent) dalam segala aspek seperti yang diberikan kepada tawanan perang oleh Konvensi III Jenewa dan Protokol ini.
5.
Setiap Kombantan yang jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan, pada waktu (sedang) tidak terlibat dalam serangan atau dalam suatu operasi militer sebagai persiapan suatu serangan, tidak akan kehilangan haknya (forfeit) sebagai Komabntan dan tawanan perang sebagai akibat kegiatannya sebelumnya.
6.
Artikel ini tidak mengurangi hak setiap orang untuk menjadi tawanan perang sesuai dengan artikel 4 Konvensi Jenewa III.
7.
Artikel ini tidak dimasudkan untuk mengubah kebiasaan yang secara umum telah diterima negara-negara yang berhubungan dengan pemakaian uniform oleh Kombantan yang termasuk kesatuan yang regular yang bersergram serta bersenjata dari pihak yang bertikai.
8.
Sebagai tambahan dari kategori orang tersebut dalam artikel 13 Konvensi Jenewa I-II, maka semua anggota angkatan bersenjata dari pihak bertikai seperti dirumuskan dalam artikel 43 Protokol ini, berhak atas perlindungan yang diatur dalam Konpensi tersebut, apabila mereka luka atau sakit, baik di darat maupun di laut. Kriteria mengenai tawanan perang tidak hanya terdapat di
dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949, definisi tawanan perang juga terdapat di dalam Pasal 165 San Remo Manual tentang Hukum Perang di Laut yang isinya adalah sebagai berikut. Article 165 Nationals of an enemy State, other than those specified in paragraphs 162-164, are entitled to prisoner-of-war status and may be made prisoners of war if they are : (a) members of the enemy's armed forces; (b) persons accompanying the enemy's armed forces; (c) crew members of auxiliary vessels or auxiliary aircraft; (d) crew members of enemy merchant vessels or civil aircraft not exempt from capture, unless they benefit from more favourable treatment under other provisions of international law; or (e) crew members of neutral merchant vessels or civil aircraft that have taken a direct part in the hostilities on the side of the enemy, or served as an auxiliary for the enemy.
Pasal 165 “Warga negara dari suatu negara musuh, selain yang disebutkan secara
khusus
didalam
paragraph
162-164,
berhak
untuk
mendapatkan status tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan perang apabila mereka : 1. Anggota angkatan bersenjata negara musuh. 2. Orang-orang yang menyertai ke angkatan bersenjata musuh.
3. Awak kendaraan air serba guna atau awak pesawat udara serba guna. 4. Awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil musuh tidak dikecualikan dari tindakan penangkapan, kecuali mereka diuntungkan dari perlakuan yang lebih baik berdasarkan ketentuan-ketentuan lain dari hukum internasional, atau 5. Awak kendaraan air niaga netral dan awak pesawat udara sipil netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada musuh.” Dari definisi yang telah diberikan mengenai tawanan perang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi tawanan perang adalah seseorang yang termasuk ke dalam kategori tawanan perang yang berada di bawah kekuasaan negara musuh karena tertangkap oleh tentara musuh ketika berperang. Dari definisi-definisi yang telah diberikan mengenai tawanan perang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria-kriteria seseorang dapat dikatakan sebagai tawanan perang adalah sebagai berikut. 1.
Orang yang termasuk kedalam angkatan perang dari salah satu pihak yang bersengketa.
2.
Orang-orang yang termasuk kedalam anggota-anggota milisi, anggota-anggota dari barisan sukarela, dan anggota-anggota gerakan perlawanan yang diorganisir yang tergolong pada salah satu pihak yang bersengketa.
3. Orang-orang yang menyertai angkatan perang salah satu pihak yang bersengketa. 4.
Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik salah satu pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam Hukum Internasional.
5.
Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik pihak yang netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada musuh.
6. Penduduk sipil yang dengan kemauannya sendiri mengangkat senjata untuk melawan musuh. 7. Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negara-negara netral atau
negara-negara
yang
tidak
turut
berperang
dalam
wilayahnya, dan yang harus harus diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum internasional. 2) Perlindungan Umum Tawanan Perang Dalam Konsep Hukum Humaniter Internasional, tawanan perang dilindungi dari berbagai kekerasan baik fisik maupun mental. Hal ini Hukum seperti tercantum dalam Publik Internasional dan Konvensi Jenewa tahun 1949 yang melarang menganiaya tawanan perang, baik pribadinya, kehormatannya, atau profesinya. Begitu juga melarang membunuh tawanan dalam keadaan apapun, atau menghukum tanpa melalui pengadilan, atau memasukan tawanan dipenjara-penjara atau tempat-tempat yang tidak sehat dan tidak boleh memaksa tawanan untuk mengenakan tanda-tanda tertentu. Selain itu, dalam Keputusan Mahkamah Penjahat Perang Nuremberg menganggap bahwa setiap perlakuan jelek terhadap tawanan atau membunuh tawanan atau sandera, sebagai kejahatan perang yang harus dikenakan sanksi terhadap pelakunya. Dan para pelaku kejahatan itui harus diadili oleh Mahkamah Internasional (Taufiq Ali Wahbah, 1985:172). Dalam Bab III Konvensi Jenewa 1949, perlindungan umum tawananan perang diatur dalam Pasal 12 – Pasal 16. Isi dari pasalpasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 12
Prisoners of war are in the hands of the enemy Power, but not of the individuals or military units who have captured them. Irrespective of the individual responsibilities that may exist, the Detaining Power is responsible for the treatment given them. Prisoners of war may only be transferred by the Detaining Power to a Power which is a party to the Convention and after the Detaining Power has satisfied itself of the willingness and ability of such transferee Power to apply the Convention. When prisoners of war are transferred under such circumstances, responsibility for the application of the Convention rests on the Power accepting them while they are in its custody. Nevertheless if that Power fails to carry out the provisions of the Convention in any important respect, the Power by whom the prisoners of war were transferred shall, upon being notified by the Protecting Power, take effective measures to correct the situation or shall request the return of the prisoners of war. Such requests must be complied with. Pasal 12 Tawanan perang adalah tawanan dari negara musuh, jadi bukan tawanan dari orang atau kesatuan tentara yang menawan mereka. Lepas dari tanggung jawab perseorangan yang mungkin ada. Negara penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka. Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta Konvensi, dan setelah Negara Penahan mendapat kepastian bahwa negara yang disertai tawanan itu berkehendak dan sanggup untuk melaksanakan Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan dalam keadaan tersebut, maka tanggung jawab tentang pelaksanaan Konvensi terletak pada Nagara yang telah menerima mereka, selama mereka dibawah pengawasan.
Walaupun demikian, apabila Negara itu gagal dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi dalam suatu hal yang penting, maka setelah pemberitahuan tentang hal tersebut oleh Negara Pelindung, Negara yang memindahkan tawanan perang itu harus mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memperbaiki keadaan atau harus meminta pengembalian dari tawanan perang itu. Permintaan itu harus dikabulkan. Article 13 Prisoners of war must at all times be humanely treated. Any unlawful act or omission by the Detaining Power causing death or seriously endangering the health of a prisoner of war in its custody is prohibited, and will be regarded as a serious breach of the present Convention. In particular, no prisoner of war may be subjected to physical mutilation or to medical or scientific experiments of any kind which are not justified by the medical, dental or hospital treatment of the prisoner concerned and carried out in his interest. Likewise, prisoners of war must at all times be protected, particularly against acts of violence or intimidation and against insults and public curiosity. Measures of reprisal against prisoners of war are prohibited. Pasal 13 Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan kelalaian negara penahan yang mengakibatkan kematian atau membahayakan kesehatan tawanan perang, adalah terlarang. Perbuatan semacam ini diang gap sebagai pelanggaran berat terhadap konvensi ini. Negara penahan harus melindungi tawanan perang terhadap tindakan kekerasan, ancaman dan penghinaan serta tontonan umum. Tawanan perang terutama tidak boleh dijadikan objek percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah dalam bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau
kesehatan dari tawanan yang bersangkutan dan dilakukan demi kepentingannya. Tindakan-tindakan pembalasan terhadap tawanan perang dilarang dan pembatasan terhadap/kepada tawanan perang juga dilarang. Article 14 Prisoners of war are entitled in all circumstances to respect for their persons and their honour. Women shall be treated with all the regard due to their sex and shall in all cases benefit by treatment as favourable as that granted to men. Prisoners of war shall retain the full civil capacity which they enjoyed at the time of their capture. The Detaining Power may not restrict the exercise, either within or without its own territory, of the rights such capacity confers except in so far as the captivity requires. Pasal 14 Tawanan perang harus dihormati pribadi dan martabatnya. Perlakuan terhadap mereka harus sama, tidak memandang perbedaan bangsa, agama atau pandangan politik mereka. Tawanan perang wanita
harus
mendapat
penghargaan
sesuai
dengan
sifat
kewanitaannya. Perlakuan terhadap mereka harus sama baiknya dengan perlakuan dengan perlakuan terhadap pria. Tawanan
perang
akan
tetap
memiliki
kemampuan
keperdataan penuh yang mereka miliki pada saat penangkapan mereka. Negara rupa Penahan tidak boleh membatasi penggunaan hak-hak yang timbul dari kemampuan tersebut, baik di dalam maupun di luar wilayah sendiri, kecuali sejauh yang diperlakukan oleh penawan yang bersangkutan. Article 15 The Power detaining prisoners of war shall be bound to provide free of charge for their maintenance and for the medical attention required by their state of health.
Pasal 15 Negara yang menahan tawanan perang wajib menjamin pemeliharaan mereka dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh mereka dengan cuma-cuma. Article 16 Taking into consideration the provisions of the present Convention relating to rank and sex, and subject to any privileged treatment which may be accorded to them by reason of their state of health, age or professional qualifications, all prisoners of war shall be treated alike by the Detaining Power, without any adverse distinction based on race, nationality, religious belief or political opinions, or any other distinction founded on similar criteria. Pasal 16 Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Konvensi ini mengenai pangkat dan jenis kelamin, dan dengan tidak mengurangi perlakuan istimewa yang dapat diberikan kepada mereka karena keadaan kesehatan, umur atau keahlian mereka, maka semua tawanan perang harus diperlakukan sama oleh Negara Penahan, tanpa keadaan merugikan yang didasarkan atas suku, kebangsaan, kepercayaan, agama, atau pandangan-pandangan politik, atau perbedaan lainnya yang didasarkan atas kriteria itu. Seorang Komandan (yang menawan musuh) tidak boleh membunuh seorang tawanan perang, walaupun tawanan perang tersebut menghambat gerakannya atau mengurangi kekuatan tempurnya-karena sebagian dari pasukannya harus memberi menjaga tawanan perang-atau mereka menghabiskan banyak persediaan makan. Tawanan perang hanya boleh dibunuh jika mereka melawan atau mencoba melarikan diri (Haryomataram, 1994 : 55-57). 3) Penawanan
Pada masa ini, para tawnan perang berada dalam penawanan Negara penahan. Berbagai perlakuan pada saat penawanan yang diterima oleh tawanan perang diatur Pasal 9 Bagian II Annex Konvensi Den Haag IV 1907 juga diatur mengenai penawanan tawanan perang. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 9. Every prisoner of war is bound to give, if he is questioned on the subject, his true name and rank, and if he infringes this rule, he is liable to have the advantages given to prisoners of his class curtailed. Pasal 9. Setiap tawanan perang apabila ditanyakan mengenai hal itu, hanya wajib memberikan, nama aslinya dan pangkat, dan Jika ia dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya. Pada saat penawanan, perlakuan tawanan perang juga diatur di dalam pasal 17 – 108 Konvensi III Jenewa 1949. pasal-pasal tersebut sebagai berikut. a) Keputusan Penawanan Permulaan penawanan menerangkan perlakuan awal mula yang diterima tawanan perang sebelum tawanan perang tersebut mendapatkan perlakuan yang lain. Permulaan penawanan diatur dalam pasal 17-20. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 17 Every prisoner of war, when questioned on the subject, is bound to give only his surname, first names and rank, date of birth, and army, regimental, personal or serial number, or failing this, equivalent information. If he wilfully infringes this rule, he may render himself liable to a restriction of the privileges accorded to his rank or status.
Each Party to a conflict is required to furnish the persons under its jurisdiction who are liable to become prisoners of war, with an identity card showing the owner's surname, first names, rank, army, regimental, personal or serial number or equivalent information, and date of birth. The identity card may, furthermore, bear the signature or the fingerprints, or both, of the owner, and may bear, as well, any other information the Party to the conflict may wish to add concerning persons belonging to its armed forces. As far as possible the card shall measure 6.5 x 10 cm. and shall be issued in duplicate. The identity card shall be shown by the prisoner of war upon demand, but may in no case be taken away from him. No physical or mental torture, nor any other form of coercion, may be inflicted on prisoners of war to secure from them information of any kind whatever. Prisoners of war who refuse to answer may not be threatened, insulted, or exposed to any unpleasant or disadvantageous treatment of any kind. Prisoners of war who, owing to their physical or mental condition, are unable to state their identity, shall be handed over to the medical service. The identity of such prisoners shall be established by all possible means, subject to the provisions of the preceding paragraph. The questioning of prisoners of war shall be carried out in a language which they understand. Pasal 17 Setiap tawanan perang, apabila dinyatakan mengenai hal itu, hanya wajib memberikan nama keluarga, nama kecil dan pangkat, tanggal lahir, dan nomor tentara, resimen, data personel atau nomor registrasi pokok, atau jika tidak mungkin, keterangan yang serupa.
Jika ia dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya. Setiap pihak dalam sengketa harus melengkapi orangorang dibawah kekuasaannya yang mungkin menjadi tawanan perang musuh, dengan suatu kartu pengenal yang memuat nama keluarga, nama kecil, pangkat, nomor tentara, data personel atau nomor registrasi pokok atau keterangan serupa serta tanggal lahir pemegang. Kartu pengenal itu selanjutnya dapat memuat tanda tangan atau cap jari pemegang atau kedua-duanya, dan dapat juga setiap keterangan lainnya, yang mungkin hendak ditambahkan oleh Pihak peserta sengketa tentang orang-orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata. Kartu itu sedapat mungkin harus berukuran 6,5 X 10 cm serta harus dikeluarkan dalam rangkap dua. Kartu pengenal itu harus diperlihatkan oleh tawanan perang apabila diminta, akan tetapi sekali-kali tidak dapat diambil dari padanya. Penganiayaan jasmani atau rohani atau paksaan lain dalam bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan perang untuk memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis apapun. Tawanan perang yang menolak menjawab, tidak boleh diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan
yang tidak
menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun. Tawanan
perang
yang
tidak
sanggup
menyatakan
identitasnya karena keadaan jasmani atau rohani mereka, harus diserahkan kepada dinas kesehatan. Identitas tawanan tersebut akan ditetapkan dengan segala cara yang memungkinkan dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan paragraf diatas. Pemeriksaan tawanan perang harus dilakukan dalam bahasa yang mereka pahami. Article 18
All effects and articles of personal use, except arms, horses, military equipment and military documents shall remain in the possession of prisoners of war, likewise their metal helmets and gas masks and like articles issued for personal protection. Effects and articles used for their clothing or feeding shall likewise remain in their possession, even if such effects and articles belong to their regulation military equipment. At no time should prisoners of war be without identity documents. The Detaining Power shall supply such documents to prisoners of war who possess none. Badges of rank and nationality, decorations and articles having above all a personal or sentimental value may not be taken from prisoners of war. Sums of money carried by prisoners of war may not be taken away from them except by order of an officer, and after the amount and particulars of the owner have been recorded in a special register and an itemized receipt has been given, legibly inscribed with the name, rank and unit of the person issuing the said receipt. Sums in the currency of the Detaining Power, or which are changed into such currency at the prisoner's request, shall be placed to the credit of the prisoner's account as provided in Article 64. The Detaining Power may withdraw articles of value from prisoners of war only for reasons of security; when such articles are withdrawn, the procedure laid down for sums of money impounded shall apply. Such objects, likewise the sums taken away in any currency other than that of the Detaining Power and the conversion of which has not been asked for by the owners, shall be kept in the custody of the Detaining Power and shall be
returned in their initial shape to prisoners of war at the end of their captivity. Pasal 18 Semua barang milik tawanan untuk keperluan pribadi, kecuali senjata, kuda, perlengkapan militer dan dokumen militer, harus tetap dimiliki tawanan perang, begitu pula topi baja dan kedok gas serta barang-barang serupa itu telah disediakan untuk perlindungan pribadi. Benda dan barangbarang yang digunakan untuk pakaian atau makanan mereka harus juga tetap mereka miliki, sekalipun benda-benda tersebut termasuk dalam perlengkapan militer mereka. Tawanan perang pada waktu apapun juga tidak boleh dibiarkan tanpa dokumen-dokumen identitas. Negara Penahan harus memberikan dokumen-dokumen tersebut kepada tawanan perang yang tidak memilkinya. Tanda-tanda pangkat dan kebangsaan, tanda-tanda jasa satya lencana dan barang-barang yang mempunyai nilai pribadi atau barang kenangan tidak boleh diminta/diambil dari tawanan perang. Uang yang dibawa tawanan perang tidak boleh diambil atau dirampas dari mereka, kecuali atas perintah seorang perwira dan setelah jumlah uang dan keterangan-keterangan tentang pemiliknya dicatat dalam suatu daftar khusus dan setelah diberikan suatu tanda terima yang diperinci, yang dengan jelas memuat nama, pangkat serta kesatuan dari orang yang mengeluarkan tanda terima itu. Jumlah uang dalam mata uang Negara Penahan. Atau yang telah ditukarkan ke dalam mata uang tersebut atas permintaan tawanan, akan dicatat sebagai kredit dalam rekening koran, sebagaimana ditentukan dalam pasal 64.
Negara Penahan hanya dapat mengambil barang-barang berharga dari tawanan perang berdasarkan alasan-alasan keamanan;apabila
barang-barang
tersebut
diambil,
maka
prosedur yang ditetapkan untuk pengambilan jumlah uang akan berlaku. Benda-benda tersebut demikian juga jumlah uang dalam mata uang apapun selain mata uang Negara Penahan yang diambil, dan yang penukarannya tidak diminta oleh pemiliknya, harus ditetapkan dibawah pengawasan Negara Penahan dan harus dikembalikan dalam bentuk semula kepada tawanan perang pada akhir penahanan mereka. Article 19 Prisoners of war shall be evacuated, as soon as possible after their capture, to camps situated in an area far enough from the combat zone for them to be out of danger. Only those prisoners of war who, owing to wounds or sickness, would run greater risks by being evacuated than by remaining where they are, may be temporarily kept back in a danger zone. Prisoners of war shall not be unnecessarily exposed to danger while awaiting evacuation from a fighting zone. Pasal 19 Setelah
ditangkap,
tawanan
perang
harus
segera
dievakuasi ke kamp-kamp tawanan perang yang letaknya dalam suatu daerah yang cukup jauh dari medan pertempuran yang berada diluar bahaya Hanya karena tawanan perang yang karena luka atau sakit akan mengalami bahaya lebih besar bila dievakuasi daripada bila tetap tinggal di mana mereka berada, untuk sementara dapat ditahan dalam daerah yang berbahaya.
Selagi menunggu pengungsian dari medan pertempuran, harus dijaga agar tawanan perang tidak menghadapi bahaya yang tidak perlu. Article 20 The evacuation of prisoners of war shall always be effected humanely and in conditions similar to those for the forces of the Detaining Power in their changes of station. The Detaining Power shall supply prisoners of war who are being evacuated with sufficient food and potable water, and with the necessary clothing and medical attention. The Detaining Power shall take all suitable precautions to ensure their safety during evacuation, and shall establish as soon as possible a list of the prisoners of war who are evacuated. If prisoners of war must, during evacuation, pass through transit camps, their stay in such camps shall be as brief as possible. Pasal 20 Evakuasi tawanan perang selalu harus diselenggarakan dengan perikemanusiaan dan dalam kondisi yang serupa dengan keadaan tentara Negara Penahan dalam penindasannya. Negara Penahan harus memberi makan dan air yang dapat dimakan dan diminum dengan cukup, serta pakaian dan pemeliharaan kesehatan yang diperlukan kepada tawanan pearang yang sedang dievakuasi. Negara Penahan harus mengambil segala tindakan pencegahan yang wajar untuk menjamin kesehatan mereka selama dievakuasi, dan harus segera mungkin membuat daftar dari tawanan perang yang dievakuasi. Apabila tawanan perang selam pengevakuasian harus melalui kamp-kamp tawanan transit, maka keberadaan mereka dalam tempat tawanan tersebut harus sesingkat mungkin.
Dalam Protokol Tambahan 1 Tahun 1977, juga terdapat keputusan penawanan. Pengaturan tersebut, terdapat dalam Pasal pasal 44 ayat 1 Protokol Tambahan I Tahun 1977. Isi Pasal tersebut adalah sebgai berikut. Art 44. Combatants and prisoners of war 1.
Any combatant, as defined in Article 43, who falls into the power of an adverse Party shall be a prisoner of war. Pasal 44 Kombantan dan tawanan perang
1.
Setiap Kombantan, seperti ditentukan dalam Pasal 43, yang jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, akan menjadi tawanan perang (prisoner of war). Selain itu, di dalam
b) Pengasingan Tawanan Perang Pengasingan tawanan dilakukan apabila diperlukan demi menjaga keselamatan para tawanan perang. Pengasingan tawanan ini diatur di dalam Pasal 5 Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag 1907 diatur mengenai tempat tinggal tawanan dalam kondisi darurat. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 5. Prisoners of war may be interned in a town, fortress, camp, or other place, and bound not to go beyond certain fixed limits, but they cannot be confined except as in indispensable measure of safety and only while the circumstances which necessitate the measure continue to exist. Pasal 5 Tawanan perang dapat ditempatkan di suatu kota, benteng, kemah, atau tempat lain, dan diikat supaya tidak pergi ke luar batas yang telah ditetapkan, tetapi mereka tidak boleh dikurung kecuali dalam kondisi dimana keselamatan lebih diutamakan dan
hanya dalam kondisi seperti itu saja tawanan perang dapat dikurung. Pengasingan juga diatur di dalam pasal 21-24 Konvensi Jenewa III 1949. Isi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 21 The Detaining Power may subject prisoners of war to internment. It may impose on them the obligation of not leaving, beyond certain limits, the camp where they are interned, or if the said camp is fenced in, of not going outside its perimeter. Subject to the provisions of the present Convention relative to penal and disciplinary sanctions, prisoners of war may not be held in close confinement except where necessary to safeguard their health and then only during the continuation of the circumstances which make such confinement necessary. Prisoners of war may be partially or wholly released on parole or promise, in so far as is allowed by the laws of the Power on which they depend. Such measures shall be taken particularly in cases where this may contribute to the improvement of their state of health. No prisoner of war shall be compelled to accept liberty on parole or promise. Upon the outbreak of hostilities, each Party to the conflict shall notify the adverse Party of the laws and regulations allowing or forbidding its own nationals to accept liberty on parole or promise. Prisoners of war who are paroled or who have given their promise in conformity with the laws and regulations so notified, are bound on their personal honour scrupulously to fulfil, both towards the Power on which they depend and towards the Power which has captured them, the engagements of their paroles or promises. In such cases, the Power on which they depend is bound neither to require nor to accept from them any service incompatible with the parole or promise given.
Pasal 21 Negara Penahan dapat menempatkan tawanan perang dalam pengasingan. Negara Penahan dapat mewajibkan mereka untuk tidak meninggalkan tempat tawanan dimana mereka diasingkan melewati jarak-jarak tertentu, atau apabila tempat tawanan tersebut dipagari, melarang mereka keluar dari pemagaran itu. Kecuali apabila diatur lain menurut ketentuanketentuan Konvensi ini mengenai sanksi-sanksi pidana dan disiplin, tawanan perang tidak boleh ditahan dalam tutupan, kecuali bila perlu untuk melindungi kesehatan mereka dan juga selama dalam keadaan yang menyebabkan tutupan itu perlu diberlakukan. Tawanan
perang
dapat
dibebaskan
sebagian
atau
seluruhnya dengan syarat atau perjanjian, sejauh hal itu diperkenankan oleh Undang-Undang negara yang mereka taati. Tindakan-tindakan tersebut akan diambil khusus dalam hal-hal yang dapat menambah perbaikan keadaan kesehatan mereka. Tidak ada tawanan perang yang boleh dipaksa untuk menerima pembebasan bersyarat atau dengan perjanjian. Pada waktu pecahnya permusuhan, setiap pihak peserta dalam sengketa bersenjata harus memberitahukan kepada pihak lawan, undang-undang dan peraturannya yang membolehkan atau melarang warga negaranya untuk pembebasan bersyarat atau dengan perjanjian. Tawanan perang yang dibebaskan bersyarat atau yang telah memberikan janji mereka, sesuai dengan Undang-Undang serta peraturan-peraturan yang telah diberitahukan menurut cara tersebut diatas, harus memenuhi dengan seksama kewajiban yang timbul dari pembebasan-pembebasan bersyarat atau dengan perjanjian itu atas dasar kehormatan pribadi baik terhadap Negara yang telah menangkap mereka. Dalam hal tersebut, Negara yang
mereka taati tidak boleh meminta maupun menerima dari para tawanan perang suatu jasa yang tidak sesuai dengan syarat pembebasan atau dengan janji yang diberikan. Article 22 Prisoners of war may be interned only in premises located on land and affording every guarantee of hygiene and healthfulness. Except in particular cases which are justified by the interest of the prisoners themselves, they shall not be interned in penitentiaries. Prisoners of war interned in unhealthy areas, or where the climate is injurious for them, shall be removed as soon as possible to a more favourable climate. The Detaining Power shall assemble prisoners of war in camps or camp compounds according to their nationality, language and customs, provided that such prisoners shall not be separated from prisoners of war belonging to the armed forces with which they were serving at the time of their capture, except with their consent. Pasal 22 Tawanan perang hanya dapat diasingkan dalam bangunanbangunan yang terletak didaratan dan yang memberikan segala jaminan kebersihan dan kesehatan. Kecuali dalam hal-hal khusus yang dibenarkan oleh kepentingan tawanan itu sendiri, tawanan tidak boleh diasingkan dalam penjara. Tawanan perang yang diasingkan di daerah-daerah yang tidak sehat atau di daerah-daerah yang iklimnya merugikan kesehatan mereka, harus dipindahkan selekas mungkin ke daerah yang lebih baik iklimnya. Negara Penahan harus menampung tawanan perang dalam kamp-kamp
tawanan
menurut
kebangsaan,
bahasa
dan
kebiasaannya, dengan syarat-syarat bahwa tawanan-tawanan itu
tdak boleh dipisahkan dari tawanan perang yang tergolong dalam angkatan perang di mana mereka tergabung pada saat penangkapan mereka, kecuali dengan persetujuan mereka. Article 23 No prisoner of war may at any time be sent to or detained in areas where he may be exposed to the fire of the combat zone, nor may his presence be used to render certain points or areas immune from military operations. Prisoners of war shall have shelters against air bombardment and other hazards of war, to the same extent as the local civilian population. With the exception of those engaged in the protection of their quarters against the aforesaid hazards, they may enter such shelters as soon as possible after the giving of the alarm. Any other protective measure taken in favour of the population shall also apply to them. Detaining Powers shall give the Powers concerned, through the intermediary of the Protecting Powers, all useful information regarding the geographical location of prisoner of war camps. Whenever military considerations permit, prisoner of war camps shall be indicated in the day-time by the letters PW or PG, placed so as to be clearly visible from the air. The Powers concerned may, however, agree upon any other system of marking. Only prisoner of war camps shall be marked as such.
Pasal 23 Tawanan perang sekali-kali tidak boleh dikirim ke daerah atau ditahan dalam daerah di mana ia mungkin terkena tembakan dari medan pertempuran;begitupun keberadaan tawanan perang
tidak boleh dipergunakan untuk menjadikan tempat-tempat atau daerah-daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer. Tawanan
perang
harus
mendapatkan
perlindungan
terhadap pemboman dari udara dan bahaya-bahaya perang lainnya, sebagaimana halnya dengan penduduk sipil setempat. Kecuali mereka yang bertugas melindungi tempat tinggal mereka terhadap bahaya-bahaya yang disebutkan diatas, maka tawanan perang boleh memasuki tempat perlindungan segera setelah ada tanda bahaya. Tiap tindakan perlindungan lainnya yang diambil guna manfaat penduduk, berlaku pula bagi tawanan perang. Negara-negara
Penahan
harus
memberikan
kepada
Negara-negara yang bersangkutan, melalui perantara Negaranegara Pelindung, semua keterangan yang berguna mengenai letak geografis tempat-tempat tawanan perang. Bilamana pertimbangan-pertimbangan militer mengizinkan kamp-kamp tawanan perang harus ditandai dengan hurufhuruf PW atau PG pada siang hari, yang ditempatkan sedemikian rupa, sehingga dapat dilihat dengan jelas dari udara. Walaupun demikian negara-negara yang bersang-kutan dapat mengadakan persetujuan untuk mempergunakan sistem pendanaan lainnya. Hanya kamp-kamp tawanan perang yang boleh diberi tanda tersebut. Article 24 Transit or screening camps of a permanent kind shall be fitted out under conditions similar to those described in the present Section, and the prisoners therein shall have the same treatment as in other camps. Pasal 24 Kamp-kamp tawanan transit atau saringan yang bersifat tetap harus dilengkapi menurut syarat-syarat yang sama dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam seksi ini, dan tawanan yang
berada di dalamnya harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan di kamp-kamp tawanan lainnya. c) Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang. Selama masa penawanan, semua kebutuhan para tawanan perang disediakan dengan sebaik mungkin untuk menjaga kondisi mereka. Semua kebutuhan ini diatur dalam Di dalam Pasal 7 Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag 1907 juga diatur mengenai tempat tinggal, makanan, dan pakaian para tawanan perang.Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 7. The Government into whose hands prisoners of war have fallen is charged with their maintenance. In the absence of a special agreement between the belligerents, prisoners of war shall be treated as regards board, lodging, and clothing on the same footing as the troops of the Government who captured them. Pasal 7 Pemerintah yang bertanggung jawab atas pemeliharaan tawanan perang harus memperlakukan belligerents, tawanan perang sama dengan pasukan Negara Penahan dalam hal tempat tinggal, pakaian, dan pakaian. Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang juga diatur didalam pasal 25-28 Konvensi Jenewa III 1949 isi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 25 Prisoners of war shall be quartered under conditions as favourable as those for the forces of the Detaining Power who are billeted in the same area. The said conditions shall make allowance for the habits and customs of the prisoners and shall in no case be prejudicial to their health. The foregoing provisions shall apply in particular to the dormitories of prisoners of war as regards both total surface and
minimum cubic space, and the general installations, bedding and blankets. The premises provided for the use of prisoners of war individually or collectively, shall be entirely protected from dampness and adequately heated and lighted, in particular between dusk and lights out. All precautions must be taken against the danger of fire. In any camps in which women prisoners of war, as well as men, are accommodated, separate dormitories shall be provided for them. Pasal 25 Tawanan perang harus diberi tempat tinggal menurut syarat-syarat sebaik syarat-syarat yang diberikan kepada tentara Negara Penahan yang ditempatkan di daerah yang sama. Syaratsyarat tersebut harus memperhatikan adat-istiadat dan kebiasaankebiasaan tawanan dan sekali-kali tidak boleh merugikan kesehatan mereka. Ketentuan-ketentuan di atas terutama akan berlaku bagi asrama-asrama tawanan perang, mengenai luas keseluruhan dan daya tampung minimum (cubic space), instalasi umum, tempat tidur, dan perlengkapannya serta selimut. Tempat-tempat yang disediakan untuk dipakai oleh tawanan perang secara perseorangan atau kolektif, harus dilindungi dari seluruhnya dari keadaan lembab yang terutama antara senja dan malam hari diberi penghangat dan penerangan yang memadai. Semua tindakan-tindakan pencegahan harus diambil terhadap bahaya kebakaran. Pada setiap kamp tawanan yang menampung tawanan perang wanita dan laki-laki, harus disediakan bagi mereka, asrama yang terpisah.
Article 26 The basic daily food rations shall be sufficient in quantity, quality and variety to keep prisoners of war in good health and to prevent loss of weight or the development of nutritional deficiencies. Account shall also be taken of the habitual diet of the prisoners. The Detaining Power shall supply prisoners of war who work with such additional rations as are necessary for the labour on which they are employed. Sufficient drinking water shall be supplied to prisoners of war. The use of tobacco shall be permitted. Prisoners of war shall, as far as possible, be associated with the preparation of their meals; they may be employed for that purpose in the kitchens. Furthermore, they shall be given the means of preparing, themselves, the additional food in their possession. Adequate premises shall be provided for messing. Collective disciplinary measures affecting food are prohibited. Pasal 26 Rangsum makanan harian pokok harus cukup berkualitas, kuantitas, dan macam-macamnya untuk memelihara kesehatan yang baik dari tawanan perang dan untuk mencegah berkurangnya berat badan atau timbulnya penyakit kekurangan makanan. Juga harus diperhatikan susunan makanan menurut kebiasaan tawanan perang. Negara Penahan harus memberikan kepada tawanan perang yang bekerja, rangsum tambahan yang diperlukan untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Air minum yang cukup harus diberikan kepada tawanan perang. Pemakaian tembakau harus diizinkan.
Tawanan perang sedapat mungkin akan diikut sertakan dalam pengolahan makanan mereka; untuk maksud itu mereka dapat dipekerjakan di dapur. Selanjutnya mereka harus diberikan alat-alat untuk menyiapkan sendiri makanan tambahan yang ada pada mereka. Tempat-tempat yang memadai harus disediakan untuk ruang makan, tawanan perang sedapat mungkin diikut sertakan dalam pengolahan makanan mereka, untuk maksud itu mereka dapat dipekerjakan di dapur. Tindakan-tindakan disiplin yang bersifat kolektif yang berkaitan dengan makanan dilarang. Article 27 Clothing, underwear and footwear shall be supplied to prisoners of war in sufficient quantities by the Detaining Power, which shall make allowance for the climate of the region where the prisoners are detained. Uniforms of enemy armed forces captured by the Detaining Power should, if suitable for the climate, be made available to clothe prisoners of war. The regular replacement and repair of the above articles shall be assured by the Detaining Power. In addition, prisoners of war who work shall receive appropriate clothing, wherever the nature of the work demands. Pasal 27 Pakaian, pakaian dalam dan sepatu harus diberikan kepada tawanan perang dalam jumlah yang cukup oleh Negara Penahan, dengan mengingat iklim daerah di mana mereka ditempatkan. Pakaian seragam angkatan perang musuh yang jatuh ke dalam Negara Penahan harus digunakan untuk pakaian bagi tawanan perang, apabila pakaian itu sesuai dengan iklim. Negara Penahan harus menjamin diadaknnya penggantian dan pembetulan barang-barang di atas seacara teratur, selanjutnya
tawanan perang yang bekerja harus menerima pakaian yang cocok apabila sifat pekerjaan tersebut memerlukannya. d) Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan Kesehatan merupakan factor utama yang perlu dijaga dalam masa penawanan, dalam Konvensi ini, masalah kesehatan diatur dalam Pasal 29-32 Konvensi Jenewa III 1949. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 29 The Detaining Power shall be bound to take all sanitary measures necessary to ensure the cleanliness and healthfulness of camps and to prevent epidemics. Prisoners of war shall have for their use, day and night, conveniences which conform to the rules of hygiene and are maintained in a constant state of cleanliness. In any camps in which women prisoners of war are accommodated, separate conveniences shall be provided for them. Also, apart from the baths and showers with which the camps shall be furnished, prisoners of war shall be provided with sufficient water and soap for their personal toilet and for washing their personal laundry; the necessary installations, facilities and time shall be granted them for that purpose. Pasal 29 Negara penahan harus mengawasi dan mengambil tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan dan kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah menular. Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai siang dan malam tempat-tempat pemandian dan kakus yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan yang terus menerus dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp tawanan dimana
tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka tempat pemandian dan kakus yang terpisah. Selanjutnya di samping tempat-tempat mandi yang tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil dan untuk mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus disediakan instalasi-instalasi, fasilitas-fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk maksud itu. Article 30 Every camp shall have an adequate infirmary where prisoners of war may have the attention they require, as well as appropriate diet. Isolation wards shall, if necessary, be set aside for cases of contagious or mental disease. Prisoners of war suffering from serious disease, or whose condition necessitates special treatment, a surgical operation or hospital care, must be admitted to any military or civilian medical unit where such treatment can be given, even if their repatriation is contemplated in the near future. Special facilities shall be afforded for the care to be given to the disabled, in particular to the blind, and for their rehabilitation, pending repatriation. Prisoners of war shall have the attention, preferably, of medical personnel of the Power on which they depend and, if possible, of their nationality. Prisoners of war may not be prevented from presenting themselves to the medical authorities for examination. The detaining authorities shall, upon request, issue to every prisoner who has undergone treatment, an official certificate indicating the nature of his illness or injury, and the duration and kind of treatment received. A duplicate of this certificate shall be forwarded to the Central Prisoners of War Agency.
The costs of treatment, including those of any apparatus necessary for the maintenance of prisoners of war in good health, particularly dentures and other artificial appliances, and spectacles, shall be borne by the Detaining Power. Pasal 30 Setiap kamp tawanan harus mempunyai rumah sakit yang cukup memenuhi syarat di mana tawanan perang dapat memperoleh pengamatan kesehatan yang mereka perlukan, begitupun dengan makanan yang tepat. Ruangan-ruangan yang terpisah harus disediakan apabila untuk kasus-kasus penyakit menular atau penyakit jiwa. Tawanan perang yang menderita penyakit berat atau yang keadaannya memerlukan pengobatan khusus, pembedahan atau perawatan di rumah sakit, harus diperkenankan memasuki setiap kesatuan kesehatan militer atau sipil di mana pengobatan tersebut
dapat
diberikan,
sekalipun
mereka
itu
sedang
dipertimbangkan untuk dipulangkan dalam waktu yang dekat. Fasilitas
khusus
harus
disediakan
untuk
perawatan
dan
rehabilitasi yang akan diberikan kepada orang-orang yang cacat, terutama orang-orang buta, selama menunggu pengambilan. Tawanan perang harus mendapatkan pengamatan kesehatan sebaik-baiknya dari anggota dians kesehatan Negara yang mereka taati, dan apabila mungkin dari orang yang sebangsa. Tawanan perang tidak boleh dicegah untuk meminta kepada petugas–petugas kesehatan agar diperiksa. Apabila diminta, pejabat-pejabat negara penahan harus memberikan kepada setiap tawanan yang telah mendapatkan pengobatan atau perawatan, suatu sertifikat resmi yang menunjukkan sifat penyakit atau lukanya, dan lamanya serta macam pengobatan atau
perawatan yang telah diperoleh. Salinan dari sertifikat ini harus dikirim kepada Kantor Pusat Tawanan Perang. Biaya pengobatan akan dipikul oleh Negara Penahan, termasuk biaya setiap alat yang diperlukan untuk memelihara tawanan perang dalam keadaan kesehatan yang baik, terutama gigi buatan dan alat-alat buatan lain serta kacamata. Article 31 Medical inspections of prisoners of war shall be held at least once a month. They shall include the checking and the recording of the weight of each prisoner of war. Their purpose shall be, in particular, to supervise the general state of health, nutrition and cleanliness of prisoners and to detect contagious diseases, especially tuberculosis, malaria and venereal disease. For this purpose the most efficient methods available shall be employed, e.g. periodic mass miniature radiography for the early detection of tuberculosis. Pasal 31 Pemeriksaan kesehatan tawanan perang harus diadakan sekurang-kurangnya sekali sebulan. Pemeriksaan itu akan meliputi penelitian dan pencatatan berat badan setiap tawanan perang. Maksud pemeriksaan-pemeriksaan tersebut terutama untuk mengawasi keadaan kesehatan secara umum, pemberian makanan dan kebersihan tawanan perang, serta untuk menemukan penyakit-penyakit menular. Teristimewa penyakit tuberculosis, malaria, dan penyakit kelamin. Untuk maksud ini akan dipergunakan metode-metode yang paling bermanfaat yang tersedia, misalnya radiografi miniatur massal untuk menemukan tuberculosis secara dini Article 32 Prisoners of war who, though not attached to the medical service of their armed forces, are physicians, surgeons,
dentists, nurses or medical orderlies, may be required by the Detaining Power to exercise their medical functions in the interests of prisoners of war dependent on the same Power. In that case they shall continue to be prisoners of war, but shall receive the same treatment as corresponding medical personnel retained by the Detaining Power. They shall be exempted from any other work under Article 49 Pasal 32 Tawanan perang yang berprofesi sebagai dokter, ahli bedah, dokter gigi, perawat atau pembantu tenaga medis, dapat diwajibkan oleh Negara Penahan untuk menjalankan fungsi mereka dibidang kesehatan mereka bagi kepentingan tawanan perang yang menaati Negara yang sama. Walaupun mereka tidak tergolong dalam dinas kesehatan angkatan perangnya. Dalam hal itu mereka tetap merupakan tawanan perang, tetapi mereka akan menerima perlakuan yang sama dengan perlakuan yang diterima anggota dinas kesehatan yang ditahan oleh Negara Penahan. Mereka harus dibebaskan dari pekerjaan lainnya sesuai dengan pasal 49. Selain di dalam Konvensi III Jenewa 1949, pengaturan menngenai kesehatan tawanan perang juga di atur di dalam Protokol Tambahan I yang terdapat pada : Article 11 Protection of persons 1.
The physical or mental health and integrity of persons who are in the power of the adverse Party or who are interned, detained or otherwise deprived of liberty as a result of a situation referred to in Article 1 shall not be endangered by any unjustified act or omission. Accordingly, it is prohibited to subject the persons described in this Article to any medical procedure which is not indicated by the state of health of the
person concerned and which is not consistent with generally accepted medical standards which would be applied under similar medical circumstances to persons who are nationals of the Party conducting the procedure and who are in no way deprived of liberty. 3.
Exceptions to the prohibition in paragraph 2 (c) may be made only in the case of donations of blood for transfusion or of skin for grafting, provided that they are given voluntarily and without any coercion or inducement, and then only for therapeutic purposes, under conditions consistent with generally accepted medical standards and controls designed for the benefit of both the donor and the recipient.
4.
Any wilful act or omission which seriously endangers the physical or mental health or integrity of any person who is in the power of a Party other than the one on which he depends and which either violates any of the prohibitions in paragraphs 1 and 2 or fails to comply with the requirements of paragraph 3 shall be a grave breach of this Protocol.
5.
The persons described in paragraph 1 have the right to refuse any surgical operation. In case of refusal, medical personnel shall endeavour to obtain a written statement to that effect, signed or acknowledged by the patient.
6.
Each Party to the conflict shall keep a medical record for every donation of blood for transfusion or skin for grafting by persons referred to in paragraph 1, if that donation is made under the responsibility of that Party. In addition, each Party to the conflict shall endeavour to keep a record of all medical procedures undertaken with respect to any person who is interned, detained or otherwise deprived of liberty as a result of a situation referred to in Article 1. These records shall be available at all times for inspection by the Protecting Power.
Pasal 11 1.
Kesehatan dan keutuhan jasmani atau rokhani dari orangorang yang berada di bawah kekuasaan Pihak-pihak lawan atau yang diinternir, ditahan tidak boleh dibahayakan.
3. Pengecualian-pengecualian hanya dalam hal pemberian sumbangan darah untuk transfusi atau sumbangan kulit untuk mengenten, asalkan saja diberikan secara sukarela dan tanpa suatu paksaan apapun atau tipu muslihat, dan hanya untuk tujuan pengobatan penyakit, sesuai dengan ukuran-ukuran pengobatan dan pengawasan kesehatan yang diakui secara umum, yang bertujuan bagi kemanfaatan pemberi sumbangan maupun penerima sumbangan. 4.
Setiap tindakan sengaja atau sengaja yang membahayakan kesehatan jasmani atau rokhani merupakan pelanggaran terhadap Protokol ini.
5.
Orang-orang yang disebut dalam ayat (1) berhak menolak suatu operasi pembedahan. Dalam hal penolakan ini, tenaga dinas
kesehatan
harus
berusaha
mendapatkan
sebuat
pernyataan tertulis yang ditanda tangani atau diakui oleh pasien. 6.
Setiap pihak dalam sengketa harus memiliki suatu catatan kesehatan untuk setiap sumbangan darah bagi transfusi atau sumbangan kulit bagi pengentenan.
e) Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan Untuk Membantu Tawanan Perang Peraturan Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan diatur dalam Pasal 33 saja.isinya yaitu:
Article 33 Members of the medical personnel and chaplains while retained by the Detaining Power with a view to assisting
prisoners of war, shall not be considered as prisoners of war. They shall, however, receive as a minimum the benefits and protection of the present Convention, and shall also be granted all facilities necessary to provide for the medical care of, and religious inistration to, prisoners of war. They shall continue to exercise their medical and spiritual functions for the benefit of prisoners of war, preferably those belonging to the armed forces upon which they depend, within the scope of the military laws and regulations of the Detaining Power and under the control of its competent services, in accordance with their professional etiquette. They shall also benefit by the following facilities in the exercise of their medical or spiritual functions: (a) They shall be authorized to visit periodically prisoners of war situated in working detachments or in hospitals outside the camp. For this purpose, the Detaining Power shall place at their disposal the necessary means of transport. (b) The senior medical officer in each camp shall be responsible to the camp military authorities for everything connected with the activities of retained medical personnel. For this purpose, Parties to the conflict shall agree at the outbreak of hostilities on the subject of the corresponding ranks of the medical personnel, including that of societies mentioned in Article 26 of the Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field of August 12, 1949. This senior medical officer, as well as chaplains, shall have the right to deal with the competent authorities of the camp on all questions relating to their duties. Such authorities shall afford them all necessary facilities for correspondence relating to these questions.
(c) Although they shall be subject to the internal discipline of the camp in which they are retained, such personnel may not be compelled to carry out any work other than that concerned with their medical or religious duties. During hostilities, the Parties to the conflict shall agree concerning the possible relief of retained personnel and shall settle the procedure to be followed. None of the preceding provisions shall relieve the Detaining Power of its obligations with regard to prisoners of war from the medical or spiritual point of view. Pasal 33 Anggota dinas kesehatan dan para rokhaniawan, selama ditahan oleh negara penahan dengan maksud untuk membantu tawanan perang tidak akan dianggap sebagai tawanan perang. Tetapi mereka paling sedikit harus menerima manfaaat dan pelindungan dari Konvensi ini, dan harus juga diberikan semua fasilitas yang diperlukan untuk perawatan kesehatan dan bantuan keagamaan kepada tawanan perang. Mereka harus terus menjalankan fungsi kesehatan dan kerohanian
mereka
untuk
kepentingan
tawanan
perang,
diutamakan tawanan yang tergolong dalam angkatan perang yang mereka taati, dalam lingkup undang-undang dan peraturanperaturan Negara penahan dan di bawah pengawasan dari dinasdinas yang berwenang, sesuai dengan etika profesi mereka. Dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan dan kerohanian mereka, mereka juga harsu mendapatkan manfaat fasilitasfasilitas di bawah ini : a) Mereka harus diperkenankan mengunjungi secara berkala tawanan perang yang berada dalam detasemen-detasemen kerja atau rumah sakit di luar tempat tawanan mereka. Untuk
maksud ini, negara penahan harus menyediakan alat-alat pengangkutan yang diperlukan. b) Perwira kesehatan tertua dalam setiap kamp tawanan perang akan bertanggung jawab kepada penguasa-penguasa militer kamp tawanan, atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan anggota dinas kesehatan yang ditawan. Untuk maksud ini maka pada saat pecahnya permusuhan, pihakpihak dalam bersengketa harus bermufakaat mengenai persamaan tingkat pangkat-pangkat dari anggota dinas kesehatan, termasuk perhimpunan yang dibuat daalam pasal 26 dari Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran di darat tanggal 12 agustus 1949. perwira keshatan tertua ini, begitu pula para rohaniawan berhak untuk berhubungan dengan penguasa-penguasa kamp tawanan yang berwenang, mengenai semua soal yang berkenaan dengan tugas mereka. Penguasa-penguasa
tersebut
harus
memberikan
semua
fasilitas yang diperlukan untuk melakukan surat-menyurat mengenai soal itu. c)
Walaupun mereka harus tunduk pada disiplin intern dari tempat tawanan di mana mereka ditahan, mereka tidak dipaksa
untuk
menjalankan
pekerjaan
apapun
selain
pekerjaan yang berhubungan dengan tugas kesehatan dan keagamaan mereka. Selama berlangsungnya permusuhan, pihak-pihak dalam sengketa harus mengadakan persetujuan mengenai kemungkinan pembebasan anggota dinas kesehatan yang ditahan dan harus menetapkan prosedur yang akan diturut. Tidak ada dari ketentuan terdahulu membebaskan Negara Penahan dari kewajiban-keajibannya terhadap tawanan perang dipandang dari sudut kesehatan atau kerohanian.
f) Kegiatan Keagamaan, Intelektual dan Jasmani Kegiatan keagamaan ini diatur dalam pasal 34-38 Konvensi Jenewa III 1949, Isi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 34 Prisoners of war shall enjoy complete latitude in the exercise of their religious duties, including attendance at the service of their faith, on condition that they comply with the disciplinary routine prescribed by the military authorities. Adequate premises shall be provided where religious services may be held. Pasal 34 Tawanan menjalankan
perang ibadah
harus
selalu
menurut
diberi
agama
izin
untuk
masing-masing.
Mengunjungi upacara keagamaan mereka, dengan syarat bahwa mereka memenuhi peraturan disiplin yang ditentukan oleh penguasa-penguasa militer. Tempat-tempat yang memadai harus disediakan untuk melangsungkan upacara-upacara keagamaan. Article 36 Prisoners of war who are ministers of religion, without having officiated as chaplains to their own forces, shall be at liberty, whatever their denomination, to minister freely to the members of their community. For this purpose, they shall receive the same treatment as the chaplains retained by the Detaining Power. They shall not be obliged to do any other work. Pasal 36 Tawanan
perang
yang
menjadi
petugas-petugas
keagamaan, tanpa menjadi rokhaniawan dalam tentara mereka sendiri, harus bebas untuk memberikan bantuan kerohanian kepada anggota-anggota mereka, apapun juga golongannya. Mereka harus menerima perlakuan yang sama seperti perlakuan
rokhaniawan yang ditahan oleh Negara Penahan. Mereka tidak boleh diwajibkan melakukan pekerjaan lain apapun. Article 37 When prisoners of war have not the assistance of a retained chaplain or of a prisoner of war minister of their faith, a minister belonging to the prisoners' or a similar denomination, or in his absence a qualified layman, if such a course is feasible from a confessional point of view, shall be appointed, at the request of the prisoners concerned, to fill this office. This appointment, subject to the approval of the Detaining Power, shall take place with the agreement of the community of prisoners concerned and, wherever necessary, with the approval of the local religious authorities of the same faith. The person thus appointed shall comply with all regulations established by the Detaining Power in the interests of discipline and military security. Pasal 37 Jika tawanan perang tidak mendapat bantuan dari seorang rohaniawan yang ditahan atau dari seorang tawanan perang yang menjadi petugas keagamaan mereka, maka atas permintaan tawanan-tawanan yang bersangkutan, harus diangkat untuk mengisi jabatan itu, seorang petugas keagamaan yang termasuk dalam golongan kepercayaan tawanan atau golongan serupa, atau apabila tidak ada petugas tersebut, seorang biasa yang cakap, apabila jalan tersebut dapat ditempuh dipandang dari sudut keagamaan. Pengangkatan ini harus mendapatkan persetujuan Negara Penahan, harus dilakukan dengan persetujuan kelompok tawanan yang bersangkutan, dan di mana perlu dengan persetujuan pejabat-pejabat keagamaan setempat yang satu kepercayaan. Orang yang diangkat tersebut harus memenuhi
semua peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara penahan demi kepentingan disiplin dan keamanan militer. Article 38 While respecting the individual preferences of every prisoner, the Detaining Power shall encourage the practice of intellectual, educational, and recreational pursuits, sports and games amongst prisoners, and shall take the measures necessary to ensure the exercise thereof by providing them with adequate premises and necessary equipment. Prisoners shall have opportunities for taking physical exercise, including sports and games, and for being out of doors. Sufficient open spaces shall be provided for this purpose in all camps. Pasal 38 Dengan menghormati keinginan para tawanan sebagai individu, negara penahan harus memberikan dorongan pada kegiatan-kegiatan dalam bidang intelektual, pendidikan, hiburan dan olahraga, dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjamin dilakukannya kegiatan itu dengan menyediakan tempat-tempat yang memadai serta perlengkapan yang diperlukan. Tawanan
harus
memperoleh
kesempatan
untuk
menjalankan latihan jasmani, termasuk olah raga dan permainan bersama serta untuk bergerak di udara terbuka. Untuk maksud ini harus disediakan lapangan terbuka yang cukup dalam untuk semua kamp.
g) Disiplin
Tiap-tiap peraturan mengenai tindakan disiplin dalam peraturan ini diatur dalam pasal 39 – 42 Konvensi Jenewa III 1949, yang isinya adalah sebagai berikut. Article 39 Every prisoner of war camp shall be put under the immediate authority of a responsible commissioned officer belonging to the regular armed forces of the Detaining Power. Such officer shall have in his possession a copy of the present Convention; he shall ensure that its provisions are known to the camp staff and the guard and shall be responsible, under the direction of his government, for its application. Prisoners of war, with the exception of officers, must salute and show to all officers of the Detaining Power the external marks of respect provided for by the regulations applying in their own forces. Officer prisoners of war are bound to salute only officers of a higher rank of the Detaining Power; they must, however, salute the camp commander regardless of his rank. Pasal 39 Setiap kamp tawanan harus berada di bawah kekuasaan langsung seorang perwira yang bertanggungjawab, anggota angkatan bersenjata reguler dari Negara Penahan. Perwira tersebut harus mempunyai sebuah naskah dari Konvensi; ia harus harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi diketahui oleh anggota staf kamp tawanan dan penjaga serta akan bertanggung jawab atas pelaksanaan Konvensi ini, di bawah petunjuk pemerintahnya. Tawanan perang, dengan pengecualian para Perwira, harus memberi
hormat
dan
memberikan/menunjukkan
tanda
penghormatan lahir kepada semua Perwira negara penahan
sebagaimana ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berlaku dalam tentara mereka sendiri. Tawanan perang yang berpangkat Perwira hanya memberi hormat hanya kepada perwira-perwira Negara penahan yang lebih tinggi pangkatnya; tetapi mereka harus memberi hormat kepada komandan kamp tawanan, apapun pangkatnya. Article 40 The wearing of badges of rank and nationality, as well as of decorations, shall be permitted. Pasal 40 Pemakaian tanpa pangkat dan tanda kebangsaan serta tanda jasa harus diizinkan. Article 41 In every camp the text of the present Convention and its Annexes and the contents of any special agreement provided for in Article 6, shall be posted, in the prisoners' own language, at places where all may read them. Copies shall be supplied, on request, to the prisoners who cannot have access to the copy which has been posted. Regulations, orders, notices and publications of every kind relating to the conduct of prisoners of war shall be issued to them in a language which they understand. Such regulations, orders and publications shall be posted in the manner described above and copies shall be handed to the prisoners' representative. Every order and command addressed to prisoners of war individually must likewise be given in a language which they understand. Pasal 41 Teks Konvensi ini dan lampiran-lampirannya serta isi tiap persetujuan khusus sebagimana ditentukan dalam pasal 6, harus ditempelkan di tiap kamp tawanan pada tempat-tempat dimana semua dapat membaca dalam bahasa tawanan itu sendiri. Salinan
naskah Konvensi serta lampiran-lampirannya, akan diberikan, atas permintaan, kepada tawanan yang tidak berkesempatan membaca salinan naskah yang telah ditempelkan pada tempat pengumuman. Peraturan-peraturan,
perintah-perintah,
peringatan-
peringatan dan pengumuman dari setiap hal yang berhubungan dengan kelakuan tawanan perang akan dikeluarkan dengan bahasa yang nudah dipahami oleh tawanan perang. Peraturan-peraturan, perintah-perintah,
peringatan-peringatan
dan
pengumuman
tersebut harus ditempelkan menurut cara yang ditentukan di atas dan salinan-salinannya harus disampaikan kepada perwakilan tawanan perang. Setiap perintah dan komando yang diberikan kepada tawanan perang secara perseorangan, juga harus diberikan dalam bahasa yang mereka pahami. Article 42 The use of weapons against prisoners of war, especially against those who are escaping or attempting to escape, shall constitute an extreme measure, which shall always be preceded by warnings appropriate to the circumstances. Pasal 42 Penggunaan senjata terhadap tawanan perang, terutama terhadap mereka yang melarikan diri atau mencoba melarikan diri, akan merupakan tindakan ekstrem, yang harus selalu di dahului oleh suatu peringatan-peringatan yang sesuai dengan keadaan. h) Pangkat Tawanan Perang Pangkat tawanan perang ini diatur dalam pasal 43-45 Konvensi III Jenewa 1949, yang isinya adalah sebagai berikut. Article 43 Upon the outbreak of hostilities, the Parties to the conflict shall communicate to one another the titles and ranks of all the
persons mentioned in Article 4 of the present Convention, in order to ensure equality of treatment between prisoners of equivalent rank. Titles and ranks which are subsequently created shall form the subject of similar communications. The Detaining Power shall recognize promotions in rank which have been accorded to prisoners of war and which have been duly notified by the Power on which these prisoners depend. Pasal 43 Pada saat pecahnya permusuhan, pihak-pihak dalam sengketa harus saling memberitahukan sebutan pangkat semua orang-orang yang disebutkan dalam pasal 4 Konvensi Jenewa ini, unuk menjamin persamaan perlakuan antara tawanan perang dengan pangkat yang sederajat. Sebutan dan pangkat yang diadakan kemudian harus juga dimasukkan dalam pemberitahuan serupa itu. Negara penahan harus mengakui kenaikan pangkat yang diberikan kepada tawanan perang dan yang telah diberitahukan dengan wajar oleh Negara yang ditaati oleh tawanan itu. Article 44 Officers and prisoners of equivalent status shall be treated with the regard due to their rank and age. In order to ensure service in officers' camps, other ranks of the same armed forces who, as far as possible, speak the same language, shall be assigned in sufficient numbers, account being taken of the rank of officers and prisoners of equivalent status. Such orderlies shall not be required to perform any other work. Supervision of the mess by the officers themselves shall be facilitated in every way.
Pasal 44 Perwira-perwira
dan
tawanan
yang
berkedudukan
sederajat harus diperlakukan dengan kehormatan, sesuai dengan pangkat dan usia mereka. Untuk menjamin pelayanan dalam kamp-kamp tawanan perwira, maka prajurit lainnya dari angkatan perang yang sama, yang sedapat mungkin berbahasa sama, harus dipekerjakan dalam jumlah yang cukup, dengan memperhatikan tingkat pangkat perwira-perwira dan tawanan-tawanan dengan kedudukan yang sederajat. Prajurit-prajurit tersebut tidak boleh diwajibkan melakukan pekerjaan lainnya. Segala bantuan harus diberikan untuk memugkinkan pengawasan ruang makan oleh para perwira sendiri. Article 45 Prisoners of war other than officers and prisoners of equivalent status shall be treated with the regard due to their rank and age. Supervision of the mess by the prisoners themselves shall be facilitated in every way. Pasal 45 Tawanan perang selain para perwira dan tawanan dengan kedudukan
yang
sederajat,
harus
diperlakukan
dengan
kehormatan yang sesuai dengan pangkat-pangkat dan usia mereka. Segala bantuan harus diberikan untuk memungkinkan pengawasan ruang makan oleh para tawanan sendiri. i) Tenaga Kerja Tawanan Perang Tenaga kerja tawanan perang ini diatur dalam pasal 49 – 57 Konvensi III Jenewa 1949. Isi dari pasal-pasal terebut adalah sebagai berikut.
Article 49 The Detaining Power may utilize the labour of prisoners of war who are physically fit, taking into account their age, sex, rank and physical aptitude, and with a view particularly to maintaining them in a good state of physical and mental health. Non-commissioned officers who are prisoners of war shall only be required to do supervisory work. Those not so required may ask for other suitable work which shall, so far as possible, be found for them. If officers or persons of equivalent status ask for suitable work, it shall be found for them, so far as possible, but they may in no circumstances be compelled to work. Pasal 49 Negara Penahan dapat menggunakan tenaga kerja tawanan perang yang sehat jasmaninya, dengan memperhatikan umur, jenis kelamin, pangkat dan pembawaan jasmani mereka, dan dengan maksud untuk terutama memelihara mereka dalam keadaan kesehatan jasmani dan rohani yang baik. Tawanan perang yang berpangkat bintara hanya boleh diwajibkan melakukan pekerjaan pengawasan. Mereka yang tidak diwajibkan melakukan pekerjakan tersebut dapat minta pekerjaan lain yang sesuai, yang sedapat mungkin harus diadakan bagi mereka. Apabila perwira atau orang-orang dengan kedudukan sederajat minta pekerjaan yang sesuai, maka pekerjaan itu sedapat mungkin harus diadakan bagi mereka, tetapi mereka sekali-kali tidak boleh dipaksa untuk bekerja. Article 50 Besides work connected with camp administration, installation or maintenance, prisoners of war may be compelled to do only such work as is included in the following classes:
(a) Agriculture; (b) Industries connected with the production or the extraction of raw materials, and manufacturing industries, with the exception
of
metallurgical,
machinery
and
chemical
industries; public works and building operations which have no military character or purpose; (c) Transport and handling of stores which are not military in character or purpose; (d) Commercial business, and arts and crafts; (e) Domestic service; (f) Public utility services having no military character or purpose. Should the above provisions be infringed, prisoners of war shall be allowed to exercise their right of complaint, in conformity with Article 78. Pasal 50 Di
samping
pekerjaan
yang
berhubungan
dengan
administrasi kamp tawanan, instalasi atau pemeliharaan kamp tawanan, tawanan perang hanya dapat dipaksa melakukan pekerjaan yang termasuk golongan-golongan dibawah ini : a. Peranian; b. Industri yang berhubungan dengan produksi atau pengambilan bahan-bahan baku, dan industri-industri pabrik dengan perkecualian industri logam,mesin da kimia; Pekerjaan-pekerjaan biasa dan usaha-usaha bangunan yang tidak mempunyai sifat dan tujuan militer; c. Pengangkutan dan pengurusan gudang-gudang yang tidak mempunyai sifat atau tujuan militer; d. Urusan dagang dan pertukangan serta kerajinan tangan; e. Pelayanan; f. Dinas-dinas umum yang tidak bersifat atau bertujuan militer;
Bilamana ketentuan-ketentuan tersebut di atas dilanggar, maka tawanan perang harus diperkenankan melaksanakan hak mengadu mereka, sesuai dengan pasal 78. Article 51 Prisoners of war must be granted suitable working conditions, especially as regards accommodation, food, clothing and equipment; such conditions shall not be inferior to those enjoyed by nationals of the Detaining Power employed in similar work; account shall also be taken of climatic conditions. The Detaining Power, in utilizing the labour of prisoners of war, shall ensure that in areas in which prisoners are employed, the national legislation concerning the protection of labour, and, more particularly, the regulations for the safety of workers, are duly applied. Prisoners of war shall receive training and be provided with the means of protection suitable to the work they will have to do and similar to those accorded to the nationals of the Detaining Power. Subject to the provisions of Article 52, prisoners may be submitted to the normal risks run by these civilian workers. Conditions of labour shall in no case be rendered more arduous by disciplinary measures. Pasal 51 Tawanan perang harus diberikan kondisi kerja yang pantas, terutama meneganai tempat tinggal, makanan, pakaian dan perlengkapan;kondisi itu tidak akan lebih daripada kondisi yang diberikan
kepada
warga
negara
Negara
Penahan
yang
dipekerjakan dalam pekerjaan serupa;keadaan iklim juga harus diperhatikan. Negara penahan dalam menggunakan tenagakerja tawanan perang harus menjamin bahwa di daerah-daerah dimana tawanan
itu
dipekerjakan,
perundang-undangan
nasional
mengenai
keselamtan para pekerja, dilaksanakan dengan sewajarnya. Tawanan perang harus mendapatkan latihan dan harus diberikan alat-alat perlindungan yang sesuai dengan pekerjaan yang akan mereka lakukan, serupa dengan latihan dan alat-alat pelindung yang diberikan kepada warga negara Negara Penahan. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 52 tawanan dapat dihadapkan pada resiko biasa yang dihadapi oleh pekerja-pekerja sipil. Kondisi kerja tidak boleh dibuat lebih berat dengan tindakan-tindakan disiplin Article 52 Unless he be a volunteer, no prisoner of war may be employed on labour which is of an unhealthy or dangerous nature. No prisoner of war shall be assigned to labour which would be looked upon as humiliating for a member of the Detaining Power's own forces. The removal of mines or similar devices shall be considered as dangerous labour. Pasal 52 Seorang tawanan tidak boleh dipekerjakan pada pekerjaan yang bersifat tidak sehat atau berbahaya, kecuali apabila ia seorang sukarelawan. Seorang
tawanan
perang
tidak
dapat
ditugaskan
melakukan pekerjaan yang akan dipandang sebagai merendahkan bagi seorang anggota tentara Negara Penahan itu sendiri. Pengambilan ranjau-ranjau atau alat-alat sejenisnya harus dianggap sebagai pekerjaan berbahaya.
Article 53 The duration of the daily labour of prisoners of war, including the time of the journey to and fro, shall not be excessive, and must in no case exceed that permitted for civilian workers in the district, who are nationals of the Detaining Power and employed on the same work. Prisoners of war must be allowed, in the middle of the day's work, a rest of not less than one hour. This rest will be the same as that to which workers of the Detaining Power are entitled, if the latter is of longer duration. They shall be allowed in addition a rest of twenty-four consecutive hours every week, preferably on Sunday or the day of rest in their country of origin. Furthermore, every prisoner who has worked for one year shall be granted a rest of eight consecutive days, during which his working pay shall be paid him. If methods of labour such as piece-work are employed, the length of the working period shall not be rendered excessive thereby. Pasal 53 Lamanya pekerjaan sehari-hari tawanan perang, termasuk waktu perjalanan pulang-pergi, tidak boleh berlebihan;dan tidak boleh melebihi waktu kerja yang diizinkan dalam distrik itu bagi pekerja-pekerja sipil yang menjadi warga negara Negara Penahan dan dipekerjakan pada pekerjaan yang sama. Tawanan perang harus diberikan waktu istirahat yang tidak kurang dari satu jam dalam pertengahan pekerjaan seharihari itu. Waktu istirahat ini harus sama seperti istirahat yang diperoleh pekerja-pekerja Negara Penahan, apabila waktu istirahat yang tersebut kemudian itu lebih lama. Mereka harus diberikan sebagai tambahan waktu istirahat duapuluh empat jam berturut-
turut setiap minggu, sebaiknya padahari minggu, atau pada hari istirahat yang berlaku di negara asal mereka. Selanjutnya setiap tawanan perang yang telah bekerja selama satu tahun akan diberikan istirahat delapan hari berturutturut dan selama itu upah kerja mereka harus dibayar. Apabila dipergunakan cara kerja seperti pekerjaan borongan, maka lama waktu bekerja tidak boleh menjadi berlebihan terlalu jauh karenanya. Article 54 The working pay due to prisoners of war shall be fixed in accordance with the provisions of Article 62 of the present Convention. Prisoners of war who sustain accidents in connection with work, or who contract a disease in the course, or in consequence of their work, shall receive all the care their condition may require. The Detaining Power shall furthermore deliver to such prisoners of war a medical certificate enabling them to submit their claims to the Power on which they depend, and shall send a duplicate to the Central Prisoners of War Agency provided for in Article 123. Pasal 54 Upah kerja yang dibayarkan kepada tawanan perang harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 62 dari Konvensi ini. Tawanan perang yang mengalami kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan, atau yang mendapat penyakit selama masa kerja atau sebagai akibat pekerjaan mereka, harus menerima segala perawatan yang dibutuhkan keadaan kesehatan mereka. Negara Penahan selanjutnya harus memberikan kepada tawanan perang tersebut sebuah sertifikat kesehatan yang memungkinkan mereka mengajukan tuntutan-tuntutan mereka
kepada negara yang mereka taati, dan salinan kepada pusat perwakilan tawanan perang yang diatur Pasal 123. Article 55 The fitness of prisoners of war for work shall be periodically verified by medical examinations at least once a month. The examinations shall have particular regard to the nature of the work which prisoners of war are required to do. If any prisoner of war considers himself incapable of working, he shall be permitted to appear before the medical authorities of his camp. Physicians or surgeons may recommend that the prisoners who are, in their opinion, unfit for work, be exempted therefrom. Pasal 55 Kemampuan
tawanan
perang
untuk
bekerja
harus
diperiksa secara berkala dengan jalan pemeriksaan kesehatan paling sedikit sekali sebulan. Pemeriksaan tersebut terutama akan memperhatikan sifat pekerjaan yang harus dilakukan oleh tawanan perang. Apabila terdapat tawanan perang yang menganggap dirinya tidak mampu bekerja, maka orang tersebut
harus
diizinkan menghadap pejabat kesehatan dari tempat tawanannya. Dokter atau ahli bedah dapat menasehatkan supaya tawanan perang yang menurut pendapat mereka tidak sanggup bekerja, dibebaskan dari pekerjaan. Article 57 The treatment of prisoners of war who work for private persons, even if the latter are responsible for guarding and protecting them, shall not be inferior to that which is provided for by the present Convention. The Detaining Power, the military authorities and the commander of the camp to which such prisoners
belong
shall
be
entirely
responsible
for
the
maintenance, care, treatment, and payment of the working pay of such prisoners of war. Such prisoners of war shall have the right to remain in communication with the prisoners' representatives in the camps on which they depend. Pasal 57 Perlakuan tawanan perang yang bekerja untuk orangorang swasta sekalipun orang-orang tersebut bertabggung jawab atas penjagaan dan perlindungan mereka, tidak boleh kurang baik daripada perlakuan yang telah ditentukan oleh Konvensi ini. Negara Penahan, penguasa-penguasa militer dan komandan kamp tawanan
perang yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
pemeliharaan, perawatan, pengobatan dan pembayaran upah kerja tawanan perang tersebut. Tawanan-tawanan perang tersebut berhak untuk tetap berhubungan dengan perwakilan tawanan di dalam kamp tawanan dimana mereka berada. j) Wakil Tawanan Perang Wakil tawanan perang ini diatur dalam Pasal 79-81 Konvensi III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai berikut. Article 79 In all places where there are prisoners of war, except in those where there are officers, the prisoners shall freely elect by secret ballot, every six months, and also in case of vacancies, prisoners' representatives entrusted with representing them before the military authorities, the Protecting Powers, the International Committee of the Red Cross and any other organization
which
may
assist
them.
These
prisoners'
representatives shall be eligible for re-election. In camps for officers and persons of equivalent status or in mixed camps, the senior officer among the prisoners of war shall be recognized as the camp prisoners' representative. In camps for
officers, he shall be assisted by one or more advisers chosen by the officers; in mixed camps, his assistants shall be chosen from among the prisoners of war who are not officers and shall be elected by them. Officer prisoners of war of the same nationality shall be stationed in labour camps for prisoners of war, for the purpose of carrying out the camp administration duties for which the prisoners of war are responsible. These officers may be elected as prisoners' representatives under the first paragraph of this Article. In such a case the assistants to the prisoners' representatives shall be chosen from among those prisoners of war who are not officers. Every representative elected must be approved by the Detaining Power before he has the right to commence his duties. Where the Detaining Power refuses to approve a prisoner of war elected by his fellow prisoners of war, it must inform the Protecting Power of the reason for such refusal. In all cases the prisoners' representative must have the same nationality, language and customs as the prisoners of war whom he represents. Thus, prisoners of war distributed in different sections of a camp, according to their nationality, language or customs, shall have for each section their own prisoners' representative, in accordance with the foregoing paragraphs. Pasal 79 Di semua tempat yang ada tawanan perang, kecuali apabila ada terdapat perwira-perwira, tawanan bebas untuk memilih secara rahasia setiap enam bulan, dan juga waktu libur, wakil-wakil tawanan yang diberi tugas mewakili mereka dihadapan penguasa militer, Negara pelindung, Komite Palang Merah Internasional dan tiap organisasi lainnya yang mungkin
membantu mereka. Wakil-wakil tawanan ini dapat dipilih kembali pada pemilihan berikutnya. Di kamp tawanan perwira dan orang yang kedudukannya sederajat atau kamp tawanan campuran, perwira yang tertinggi pangkatnya di antara para tawanan perang dan dianggap sebagai wakil tawanan. Di kamp tawanan perwira, wakil tawanan akan dibantu oleh seorang atau lebih penasehat yang dipilih oleh para perwira; di kamp tawanan campuran, pembantu-pembantunya akan diambil di antara tawanan perang yang bukan perwira dan akan dipilih oleh mereka. Tawanan perang perwira yang berkebangsaan sama akan ditempatkan
di
tempat
kerja
tawanan
perang
untuk
menyelenggarakan tugas administrasi kamp tawanan yang menjadi tanggung jawab tawanan perang. Perwira-perwira ini boleh dipilih sebagai wakil tawanan menurut paradrap pertama dari Pasal ini. Dalam hal demikian maka pembantu-pembantu wakil tawanan akan dipilih dari antara tawanan perang yang bukan perwira. Setiap wakil yang terpilih harus disetujui oleh Negara Penahan sebelum ia berhak memulai kewajiban-kewajibannya. Jika Negara Penahan menolak untuk menyetujui seorang tawanan perang yang terpilih oleh kawan-kawan sesama tawanan perang, Negara Penahan harus memberitahukan alasan-alasan penolakan itu kepada Negara Pelindung. Seorang wakil tawanan perang selalu harus mempunyai kebangsaan bahasa dan adat-istiadat yang sama dengan tawanan perang yang diwakilinya. Jadi para tawanan perang yang ditempatkan di pelbagai bagian dari kamp tawanan, menurut kebangsaan, bahasa atau adat-istiadat mereka akan mempunyai wakil tawanan sendiri-sendiri untuk setiap bagian, sesuai dengan paragrap-paragrap di atas.
Article 80 Prisoners' representatives shall further the physical, spiritual and intellectual well-being of prisoners of war. In particular, where the prisoners decide to organize amongst themselves a system of mutual assistance, this organization will be within the province of the prisoners' representative, in addition to the special duties entrusted to him by other provisions of the present Convention. Prisoners' representatives shall not be held responsible, simply by reason of their duties, for any offences committed by prisoners of war. Pasal 80 Para perwakilan tawanan perang harus memajukan kesejahteraan jasmani, rohani, dan intelektual tawanan perang. Terutama apabila tawanan telah memutuskan untuk mengorganisir suatu sistem tolong-menolong diantara mereka sendiri, organuisasi ini akan termasuk dalam lingkungan pekerjaan wakil tawanan, disamping tugas-tugas khusus yang dipercayakan kepadanya oleh ketentuan-ketentuan lain dari konvensi ini. Para
perwakilan
tawanan
tidak
akan
dianggap
bertanggung jawab atas pelanggaran apapun yang dilakukan oleh tawanan-tawanan perang, hanya karena tugas dan kewajiban mereka. Article 81 Prisoners' representatives shall not be required to perform any other work, if the accomplishment of their duties is thereby made more difficult. Prisoners' representatives may appoint from amongst the prisoners such assistants as they may require. All material facilities shall be granted them, particularly a certain freedom of
movement necessary for the accomplishment of their duties (inspection of labour detachments, receipt of supplies, etc.). Prisoners' representatives shall be permitted to visit premises where prisoners of war are detained, and every prisoner of war shall have the right to consult freely his prisoners' representative. All facilities shall likewise be accorded to the prisoners' representatives for communication by post and telegraph with the detaining authorities, the Protecting Powers, the International Committee of the Red Cross and their delegates, the Mixed Medical Commissions and with the bodies which give assistance to prisoners of war. Prisoners' representatives of labour detachments shall enjoy the same facilities for communication with the prisoners' representatives of the principal camp. Such communications shall not be restricted, nor considered as forming a part of the quota mentioned in Article 71. Prisoners' representatives who are transferred shall be allowed a reasonable time to acquaint their successors with current affairs. In case of dismissal, the reasons therefor shall be communicated to the Protecting Power. Pasal 81 Para
perwakilan
tawanan
tidak
akan
diharuskan
melakukan pekerjaan lain bila pelaksanaan tugas mereka menjadi lebih sulit karenanya. Para perwakilan tawanan dapat mengangkat dari antara tawanan
pembantu-pembantu yang mereka perlukan. Semua
fasilitas materiil harus diberikan kepada mereka, terutama kebebasan
bergerak
yang
layak
yang
diperlukan
untuk
pelaksanaan tugas mereka (pemeriksaan detasemen kerja, penerimaan bahan-bahan, dan lain-lain).
Perwakilan tawanan harus diperkenankan mengunjungi tempat–tempat, di mana tawanan perang di tahan dan setiap tawanan perang berhak untuk secara bebas meminta nasehat daripadanya. Juga harus diberikan semua fasilitas kepada wakil tawanan untuk berhubungan dengan pos dan telegraf dengan penguasa-penguasa penahan. Negara Pelindung, Komite Palang Merah Internasional, dan utusan-utusannya, dengan Komisi Kesehatan Gabungan dan dengan Badan-badan yang memberikan bantuan kepada tawanan perang. Para perwakilan tawanan dari detasemen-detasemen kerja harus mendapatkan fasilitas-fasilitas komunikasi dengan para perwakilan tawanan dari kamp tawanan utama. Komunikasi tersebut tidak boleh dibatasi, juga tidak boleh dianggap sebagai bagian dari jatah seperti tersebut dalam Pasal 71. Perwakilan tawanan yang dipindahkan harus diberikan waktu
yang
cukup
untuk
memperkenalkan
pengganti-
penggantinya dengan urusan-urusan yang sedang dikerjakan. Apabila seorang wakil tawanan diberhentikan, maka alasan-alasan pemberhentian itu harus diteruskan kepada negara pelindung. k) Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin Sanksi pidana dan sanksi disiplin ini diatur dalam Di dalam Pasal 8 dan 12 Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag 1907 isi pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 8. Prisoners of war shall be subject to the laws, regulations, and orders in force in the army of the State in whose power they are. Any act of insubordination justifies the adoption towards them of such measures of severity as may be considered necessary.
Escaped prisoners who are retaken before being able to rejoin their own army or before leaving the territory occupied by the army which captured them are liable to disciplinary punishment. Prisoners who, after succeeding in escaping, are again taken prisoners, are not liable to any punishment on account of the previous flight. Pasal 8 Tawanan perang harus tunduk pada hukum, peraturan, dan peraturan lain yang berlaku dalam angkatan perang Negara Penahan. Tawanan Perang yang kabur sebelum dapat bergabung dengan
angkatan
perang
mereka
atau
sebelum
mereka
meninggalkan wilayah yang diduduki oleh angkatan perang musuh dapat dikenakan ke hukuman disiplin. Tawanan perang, yang telah berhasil melarikan diri namun ditawan kembali, tidak boleh dikenakan hukuman apapun karena pelarian sebelumnya. Art. 12. Prisoners of war liberated on parole and recaptured bearing arms against the Government to whom they had pledged their honour, or against the allies of that Government, forfeit their right to be treated as prisoners of war, and can be brought before the courts. Pasal 12 Tawanan perang yang dibebaskan dengan jaminan kemudian tawanan tersebut ditangkap kembali karena ikut berperang melawan Negara Penahan atau melawan negara sekutu dari Negara Penahan tersebut, dapat dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya sebagai tawanan perang ,dan dapat diperkarakan ke pengadilan.
Sanksi pidana dan sanksi disipilin juga diatur didalam Pasal 82-88 Konvensi III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai berikut Article 82 A prisoner of war shall be subject to the laws, regulations and orders in force in the armed forces of the Detaining Power; the Detaining Power shall be justified in taking judicial or disciplinary measures in respect of any offence committed by a prisoner of war against such laws, regulations or orders. However, no proceedings or punishments contrary to the provisions of this Chapter shall be allowed. If any law, regulation or order of the Detaining Power shall declare acts committed by a prisoner of war to be punishable, whereas the same acts would not be punishable if committed by a member of the forces of the Detaining Power, such acts shall entail disciplinary punishments only. Pasal 82 Seorang tawanan perang harus tunduk kepada Undangundang dan perintah-perintah yang berlaku dalam Angkatan Perang negara penahan; negara penahan dapat mengambil tindakan-tindakan
hukum
atau
disiplin
terhadap
setiap
pelanggaran yang dilakukan oleh seorang tawanan perang atas undang-undang, aturan-aturan atau perintah-perintah tersebut. Tetapi, cara pemeriksaan atau hukuman yang bertentangan dengan ketentuan Bab ini tidak diperkenankan. Apabila ada undang-undang, peraturan atau perintah Negara Penahan menyatakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang tawanan perang sebagai perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan perbuatan itu tidak dapat dihukum apabila dilakukan seorang tentara Negara Penahan, maka perbuatan tersebut hanya akan mengakibatkan hukuman disiplin saja.
Article 84 A prisoner of war shall be tried only by a military court, unless the existing laws of the Detaining Power expressly permit the civil courts to try a member of the armed forces of the Detaining Power in respect of the particular offence alleged to have been committed by the prisoner of war. In no circumstances whatever shall a prisoner of war be tried by a court of any kind which does not offer the essential guarantees of independence and impartiality as generally recognized, and, in particular, the procedure of which does not afford the accused the rights and means of defence provided for in Article 105. Pasal 84 Seorang tawanan perang hanya boleh diadili oleh suatu pengadilan militer, kecuali bila undang-undang yang berlaku di negara penahan dengan tegas memperkenankan pengadilan sipil mengadili seorang anggota angkatan perang negara penahan berkenaan suatu pelanggaran khusus yang disangka telah dilakukan oleh tawanan perang itu. Seorang tawanan perang sekali-kali tidak boleh diadili oleh suatu pengadilan dari jenis apapun yang tidak memberikan jaminan pokok mengenai kebebasan serta sifat tidak memihak, sebagaimana secara umum diakui, dan terutama prosedur yang tidak memberikan kepada terdakwa hak-hak dan cara pembelaan sebagaimana diatur dalam Pasal 105. Article 86 No prisoner of war may be punished more than once for the same act, or on the same charge. Pasal 86 Tidak ada tawanan perang boleh dihukum lebih dari satu kali untuk perbuatan yang sama atas tuduhan yang sama.
Article 87 Prisoners of war may not be sentenced by the military authorities and courts of the Detaining Power to any penalties except those provided for in respect of members of the armed forces of the said Power who have committed the same acts. When fixing the penalty, the courts or authorities of the Detaining Power shall take into consideration, to the widest extent possible, the fact that the accused, not being a national of the Detaining Power, is not bound to it by any duty of allegiance, and that he is in its power as the result of circumstances independent of his own will. The said courts or authorities shall be at liberty to reduce the penalty provided for the violation of which the prisoner of war is accused, and shall therefore not be bound to apply the minimum penalty prescribed. Collective punishment for individual acts, corporal punishments, imprisonment in premises without daylight and, in general, any form of torture or cruelty, are forbidden. No prisoner of war may be deprived of his rank by the Detaining Power, or prevented from wearing his badges. Pasal 87 Tawanan perang tidak boleh dikenakan hukuman apapun oleh penguasa-penguasa militer dan pengadilan-pengadilan negara penahan, kecuali hukuman yang telah ditentukan bagi anggota-anggota angkatan perang negara tersebut yang telah melakukan perbuatan-perbuatan yang sama. Dalam menetapkan hukuman, pengadilan dan penguasa Negara Penahan harus mempertimbangkan sedapat mungkin sesuai dengan kenyataan bahwa terdakwa, karena ia bukan warga negara Negara Penahan, kepadanya tidak terikat oleh kewajiban atau kesetiaan apapun dan terdakwa berada dalam kekuasaannya sebagai akibat keadaan yang ada diluar kehendaknya sendiri.
Pengadilan dan penguasa tersebut harus bebas untuk mengurangi hukuman yang telah ditentukan untuk pelanggaran yang telah dituduhkan kepada tawanan perang dan karena itu tidak terikat untuk mengenakan hukuman minimum yang telah ditentukan. Hukuman kolektif untuk perbuatan perorangan, hukumanhukuman jasmani, penutupan dalam tempat-tempat tanpa cahaya matahari dan pada umumnya tiap bentuk penyiksaan atau kekejaman, adalah terlarang. Tawanan perang tidak boleh dicabut pangkatnya oleh negara penahan atau dicegah memakai lencana-lencananya. Article 88 Officers, non-commissioned officers and men who are prisoners of war undergoing a disciplinary or judicial punishment, shall not be subjected to more severe treatment than that applied in respect of the same punishment to members of the armed forces of the Detaining Power of equivalent rank. A woman prisoner of war shall not be awarded or sentenced to a punishment more severe, or treated whilst undergoing punishment more severely, than a woman member of the armed forces of the Detaining Power dealt with for a similar offence. In no case may a woman prisoner of war be awarded or sentenced to a punishment more severe, or treated whilst undergoing punishment more severely, than a male member of the armed forces of the Detaining Power dealt with for a similar offence. Prisoners of war who have served disciplinary or judicial sentences may not be treated differently from other prisoners of war.
Pasal 88 Para perwira, bintara dan tamtama tawanan perang yang menjalani hukuman disiplin atau hukuman pengadilan, tidak boleh mendapatkan perlakuan yang lebih keras daripada perlakuan yang diberikan kepada anggota angkatan perang Negara Penahan dengan pangkat sederajat untuk hukuman yang sama. Seorang tawanan perang wanita sekali-kali tidak boleh dijatuhi atau dikenakan hukuman yang lebih berat, atau diperlakukan lebih keras, selama menjalani hukuman daripada anggota wanita dari negara penahan untuk pelanggaran serupa. Tawanan perang yang telah menjalani hukuman disiplin atau pengadilan tidak boleh diperlakukan lain daripada tawanan perang lainnya. l)
Proses Peradilan Proses peradilan ini diatur dalam Pasal 99-108 Konvensi III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai berikut. Article 99 No prisoner of war may be tried or sentenced for an act which is not forbidden by the law of the Detaining Power or by international law, in force at the time the said act was committed. No moral or physical coercion may be exerted on a prisoner of war in order to induce him to admit himself guilty of the act of which he is accused. No prisoner of war may be convicted without having had an opportunity to present his defence and the assistance of a qualified advocate or counsel. Pasal 99 Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dijatuhi hukuman untuk perbuatan yang tidak dilarang oleh Undang-
undang Negara Penahan atau oleh Hukum Internasional yang berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Terhadap tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya mengaku salah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi kesempatan sebelumnya untuk mengajukan pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap. Article 100 Prisoners of war and the Protecting Powers shall be informed as soon as possible of the offences which are punishable by the death sentence under the laws of the Detaining Power. Other offences shall not thereafter be made punishable by the death penalty without the concurrence of the Power upon which the prisoners of war depend. The death sentence cannot be pronounced on a prisoner of war unless the attention of the court has, in accordance with Article 87, second paragraph, been particularly called to the fact that since the accused is not a national of the Detaining Power, he is not bound to it by any duty of allegiance, and that he is in its power as the result of circumstances independent of his own will. Pasal 100 Tawanan perang dan negara-negara pelindung harus diberitahu selekas mungkin tentang jenis pelanggaran yang menurut undang-undang negara penahan dapat dihukum dengan hukuman mati. Pelanggaran-pelanggaran lain berikutnya tidak dapat dikenakan hukuman mati tanpa persetujuan negara yang ditaati oleh tawana perang. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan atas diri seorang tawanan perang, kecuali setelah diminta perhatian khusus sesuai
dengan pasal 87, bahwa karena terdakwa bukan warga negara Negara Penahan ia tidak terikat oleh kewajiban dan ketaatan apapun, dan bahwa ia berada dalam kekuasaanny akibat keadaankeadaan diluar kemauannya sendiri. Article 101 If the death penalty is pronounced on a prisoner of war, the sentence shall not be executed before the expiration of a period of at least six months from the date when the Protecting Power
receives,
at
an
indicated
address,
the
detailed
communication provided for in Article 107. Pasal 101 Apabila hukuman mati dijatuhakan atas diri seorang tawanan perang, keputusan itu tidak boleh dijalankan sebelum lewat waktu sekurang-kurangnya enam bulan mulai dari saat Negara
Pelindung
menerima
pemberitahuan
lengkap.
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 107, pada alamat yang telah ditentukan. Article 102 A prisoner of war can be validly sentenced only if the sentence has been pronounced by the same courts according to the same procedure as in the case of members of the armed forces of the Detaining Power, and if, furthermore, the provisions of the present Chapter have been observed. Pasal 102 Seorang tawanan perang hanya dapat dihukum dengan sah apabila hukuman dijatuhkan oleh pengadilan dan menurut prosedur yang sama dengan apa yang berlaku bagi anggotaanggota angkatan perang Negara Penahan. dan selanjutnya apabila ketentuan-ketentuan dari Bab ini telah diperhatikan.
4) Berakhirnya Penawanan Berakhirnya penawanan seorang tawanan perang dapat disebabkan karena beberapa hal. Berakhirnya penawanan diatur dalam pasal 109-121 Konvensi III Jenewa 1949. Isi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. a) Pemulangan Langsung dan Penempatan di Negara Netral Orang-orang yang termasuk dalam golongan yang dapat langsung dipulangkan diatur dalam Pasal 109-117 Konvensi II Jenewa 1949. Isi dari pasal tersebut yaitu Article 110 The following shall be repatriated direct: 1. Incurably wounded and sick whose mental or physical fitness seems to have been gravely diminished. 2. Wounded and sick who, according to medical opinion, are not likely to recover within one year, whose condition requires treatment and whose mental or physical fitness seems to have been gravely diminished. 3. Wounded and sick who have recovered, but whose mental or physical fitness seems to have been gravely and permanently diminished. The following may be accommodated in a neutral country: 1. Wounded and sick whose recovery may be expected within one year of the date of the wound or the beginning of the illness, if treatment in a neutral country might increase the prospects of a more certain and speedy recovery. 2. Prisoners of war whose mental or physical health, according to medical opinion, is seriously threatened by continued captivity, but whose accommodation in a neutral country might remove such a threat. The conditions which prisoners of war accommodated in a neutral country must fulfil in order to permit their repatriation
shall be fixed, as shall likewise their status, by agreement between the Powers concerned. In general, prisoners of war who have been accommodated in a neutral country, and who belong to the following categories, should be repatriated: 1. Those whose state of health has deteriorated so as to fulfil the conditions laid down for direct repatriation; 2. Those whose mental or physical powers remain, even after treatment, considerably impaired. If no special agreements are concluded between the Parties to the conflict concerned, to determine the cases of disablement or sickness entailing direct repatriation or accommodation in a neutral country, such cases shall be settled in accordance with the principles laid down in the Model Agreement concerning direct repatriation and accommodation in neutral countries of wounded and sick prisoners of war and in the Regulations concerning Mixed Medical Commissions annexed to the present Convention. Pasal 110 Orang-orang ini akan langsung dipulangkan : (1) Yang luka dan sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi dan yang kesehatan rohani dan jasmaninya tampak telah sangat mundur. (2) Yang luka dan sakit yang menurut pendapat kedokteran tidak mungkin sembuh dalam waktu setahun, dan membutuhkan pengobatan, dan yang kesehatan rohani dan jasmaninya tampak telah sangat mundur. (3) Yang luka dan sakit yang telah sembuh, tetapi kesehatan rohani dan jasmaninya tampak telah sangat mundur untuk selamanya. Orang-orang ini boleh ditempatkan di Negara Netral :
(4) Yang luka dan sakit yang dapat diharapkan sembuh dalam waktu setahun dari saat ia luka atau dari saat permulaan sakitnya, apabila pengobatan di negara netral dapat menambah kemungkinan kesembuhan yang lebih pasti dan cepat. (5) Tawanan perang yang kesehatan rohani dan jasmaninya menurut
pendapat
kedokteran,
sangat
terancam
oleh
penawanan yang berlangsung terus-menerus, tetapi dapat terhindar dari ancaman tersebut jika ditempatkan dinegara netral. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tawanan perang yang ditempatkan di negara netral agar dapat memungkinkan pemulangannya, begitupun kedudukannya, harus ditetapkan dengan persetujuan antara negara-negara bersangkutan. Pada umumnya tawanan perang yang telah ditempatkan di negara netral, dan yang termasuk golongan berikut, harus dipulangkan: (1) Mereka yang keadaan kesehatannya sudah memburuk sehingga memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pemulangan langsung. (2) Mereka yang tenaga rohani dan jasmaninya tetap sangat lemah, walaupun telah diobati. Apabila tidak diadakan persetujuan-persetujuan khusus antara
pihak-pihak
dalam
sengketa
bersangkutan
untuk
menemukan hal-hal cacat atau penyakit yang mengakibatkan pemulangan langsung atau penempatan di negara netral, hal-hal tersebut harus diselesaikan menurut azas-azas yang ditetapkan dalam contoh formulir persetujuan mengenai pemulangan langsung dan penempatan tawanan perang yang luka dan sakit di negara netral dalam peraturan-peraturan mengenai Komisi Kesehatan Gabungan yang dilampirkan pada Konvensi ini. Article 113
Besides those who are designated by the medical authorities of the Detaining Power, wounded or sick prisoners of war belonging to the categories listed below shall be entitled to present themselves for examination by the Mixed Medical Commissions provided for in the foregoing Article: 1. Wounded and sick proposed by a physician or surgeon who is of the same nationality, or a national of a Party to the conflict allied with the Power on which the said prisoners depend, and who exercises his functions in the camp. 2. Wounded and sick proposed by their prisoners' representative. 3. Wounded and sick proposed by the Power on which they depend, or by an organization duly recognized by the said Power and giving assistance to the prisoners. Prisoners of war who do not belong to one of the three foregoing categories may nevertheless present themselves for examination by Mixed Medical Commissions, but shall be examined only after those belonging to the said categories. The physician or surgeon of the same nationality as the prisoners who present themselves for examination by the Mixed Medical Commission, likewise the prisoners' representative of the said prisoners, shall have permission to be present at the examination. Pasal 113 Di samping mereka yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat kesehatan Negara Penahan, tawanan perang yang luka atau sakit yang termasuk golongan yang disebutkan di bawah berhak mengajukan diri untuk diperiksa oleh Komisi Kesehatan Gabungan : (1)
Yang luka dan sakit, yang diajukan namanya oleh seorang dokter atau ahli bedah yang sekebangsaan atau seorang warga negara dari suku dari pihak dalam sengketa yang
bersekutu dengan Negara Penahan yang ditaati tawanan tersebut, dan yang menjalankan pekerjaannya di tempat tawanan. (2)
Yang luka dan sakitn yang diajukan namanya oleh wakil tawanan.
(3)
Yang luka dan sakit yang diajukan namanya oleh negara yang mereka taati, atau oleh suatu organisasi yang telah diakui sepatutnya oleh negara tersebut dan yang membantu tawanan. Tawanan perang yang tidak termasuk dalam salah satu dari
ketiga golongan di atas dapat juga mengajukan diri untuk diperiksa oleh Komisi Kesehatan Gabungan tetapi hanya boleh diperiksa sesudah mereka yang termasuk golongan-golongan tersebut selesai diperiksa. Article 116 The costs of repatriating prisoners of war or of transporting them to a neutral country shall be borne, from the frontiers of the Detaining Power, by the Power on which the said prisoners depend. Pasal 116 Biaya pemulangan tawanan perang atau pengangkutannya ke negara netral terhitung mulai dari batas wilayah negara penahan, dipikul oleh negara yang ditaati tawanan-tawanan itu. b) Pembebasan dan Pemulangan Tawanan Perang Pada Akhir Permusuhan Pengaturan pembebasan para tawanan perang setelah perang kedua belah pihak berakhir diatur berakhirnya penawanan juga diatur di dalam Pasal 11 dan Pasal 20 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut. Art. 11.
A prisoner of war cannot be compelled to accept his liberty on parole; similarly the hostile Government is not obliged to accede to the request of the prisoner to be set at liberty on parole. Pasal 11 Seorang tawanan perang tidak boleh dipaksa untuk dibebaskan dengan jaminan; sama halnya, Negara Penahan tidak boleh dipaksa untuk meluluskan permintaan tawanan perang untuk dibebaskan dengan jaminan. Art. 20. After the conclusion of peace, the repatriation of prisoners of war shall be carried out as quickly as possible. Pasal 20 Setelah perang selesai, repatriasi tawanan perang secepat mungkin harus dilaksanakan. Selain itu, Pembebasan dan Pemulangan Tawanan Perang Pada Akhir Permusuhan dalam Pasal 118 dan 119 Konvensi II Jenewa 1949. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 118 Prisoners of war shall be released and repatriated without delay after the cessation of active hostilities. In the absence of stipulations to the above effect in any agreement concluded between the Parties to the conflict with a view to the cessation of hostilities, or failing any such agreement, each of the Detaining Powers shall itself establish and execute without delay a plan of repatriation in conformity with the principle laid down in the foregoing paragraph. In either case, the measures adopted shall be brought to the knowledge of the prisoners of war. The costs of repatriation of prisoners of war shall in all cases be equitably apportioned between the Detaining Power and
the Power on which the prisoners depend. This apportionment shall be carried out on the following basis: (a) If the two Powers are contiguous, the Power on which the prisoners of war depend shall bear the costs of repatriation from the frontiers of the Detaining Power. (b) If the two Powers are not contiguous, the Detaining Power shall bear the costs of transport of prisoners of war over its own territory as far as its frontier or its port of embarkation nearest to the territory of the Power on which the prisoners of war depend. The Parties concerned shall agree between themselves as to the equitable apportionment of the remaining costs of the repatriation. The conclusion of this agreement shall in no circumstances justify any delay in the repatriation of the prisoners of war. Pasal 118 Tawanan perang harus segera dibebaskan dan dipulangkan sesudah penghentian kegiatan permusuhan. Jika tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur hal di atas dalam persetujuan apapun yang diadakan antara pihak-pihak dalam sengketa untuk menghentikan permusuhan, atau jika sama sekali ada persetujuan tersebut, maka setiap negara penahan masing-masing harus mengadakan dan melaksanakan dengan segera suatu cara pemulangan sesuai dengan azas yang ditetapkan dalam pargraf di atas. Biaya pemulangan tawanan perang dalam semua hal dibagi seimbang antara negara penahan dan negara yang ditaati tawanan. pembagian biaya tersebut harus dilaksanakan atas dasar berikut : a. Apabila kedua negara tersebut berbatasan satu dengan lain, negara yang ditaati tawanan perang akan memikul biaya-biaya pemulangan mulai dari batas wilayah negara penahan.
b. Apabila kedua negara tersebut tidak berbatasan satu dengan lain, negara penahan akan memikul biaya-biaya pengangkutan tawanan perang melalui wilayahnya sampai kepada perbatasan atau pelabuhan pemberangkatan yang terdekat pada wilayah negara yang ditaati tawanan perang. Pihak-pihak yang bersangkutan harus menyelesaikan dengan persetujuan antara mereka pembagian yang seimbang dari biaya pemulangan selebihnya. Diadakannya persetujuan-persetujuan ini sekalisekali ini tidak boleh dijadikan alasan untuk suatu penundaan pemulangan tawanan perang. Article 119 Repatriation shall be effected in conditions similar to those laid down in Articles 46 to 48 inclusive of the present Convention for the transfer of prisoners of war, having regard to the provisions of Article 118 and to those of the following paragraphs. On repatriation, any articles of value impounded from prisoners of war under Article 18, and any foreign currency which has not been converted into the currency of the Detaining Power, shall be restored to them. Articles of value and foreign currency which, for any reason whatever, are not restored to prisoners of war on repatriation, shall be despatched to the Information Bureau set up under Article 122. Prisoners of war shall be allowed to take with them their personal effects, and any correspondence and parcels which have arrived for them. The weight of such baggage may be limited, if the conditions of repatriation so require, to what each prisoner can reasonably carry. Each prisoner shall in all cases be authorized to carry at least twenty-five kilograms. The other personal effects of the repatriated prisoner shall be left in the charge of the Detaining Power which shall have
them forwarded to him as soon as it has concluded an agreement to this effect, regulating the conditions of transport and the payment of the costs involved, with the Power on which the prisoner depends. Prisoners of war against whom criminal proceedings for an indictable offence are pending may be detained until the end of such proceedings, and, if necessary, until the completion of the punishment. The same shall apply to prisoners of war already convicted for an indictable offence. Parties to the conflict shall communicate to each other the names of any prisoners of war who are detained until the end of the proceedings or until punishment has been completed. By agreement between the Parties to the conflict, commissions shall be established for the purpose of searching for dispersed prisoners of war and of assuring their repatriation with the least possible delay. Pasal 119 Pemulangan harus diselenggarakan menurut syarat-syarat yang sama dengan apa yang ditetapkan dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 Konvensi ini megenai pemindahan tawanan perang, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 118 dan dalam paragrap-paragrap yang berikut. Tiap barang berharga yang diambil dari tawanan perang menurut Pasal 18, dan tiap mata uang asing yang belum ditukarkan dalam mata uang negara penahan harus dikembalikan kepada tawanan perang pada saat pemulangan. Barang-barang berharga dan mata uang asing yang karena alasan apapun, belum dikembalikan kepada tawanan perang pada saat pemulangan, harus dikirim kepada Biro Penerangan yang dibentuk menurut Pasal 122.
Tawanan perang harus diperkenankan membawa serta barang-barang pribadinya dan surat serta bingkisan apapun yang telah
datang
baginya.
Apabila
keadaan
pemulangan
menghendakinya, berat bagasi tersebut dapat dibatasi hingga berat yang dapat dibawa sendiri oleh tiap tawanan. Bagaimanapun juga, setiap tawanan perang harus diizinkan untuk mengangkut sekurang-kurangnya duapuluh lima kilogram. Barang-barang pribadi lainnya dari tawanan perang yang dipulangkan harus ditinggalkan pada Negara Penahan, yang harus mengirimkan barang-barang itu kepadanya segera setelah negara penahan mengadakan persetujuan mengenai hal itu dengan negara yang
ditaati
tawanan
itu,
yang
mengatur
syarat-syarat
pengangkutan serta pembayaran biaya-biaya yang berkaitan dengan pengiriman itu. Tawanan
perang
terhadap
siapa
sedang
diadakan
pemeriksaan pidana tentang pelanggaran yang dapat dituntut, dapat ditahan sampai akhir pemeriksaan tersebut dan, apabila perlu, sampai hukuman selesai dijalani. Ketentuan yang sama berlaku bagi tawanan perang yang sudah dihukum karena melakukan suatu pelanggaran yang dapat dituntut. Pihak-pihak dalam sengketa harus saling menyampaikan nama-nama
tawanan
perang
yang
ditahan
sampai
akhir
pemeriksaan atau sampai hukuman selesai dijalani. Dengan persetujuan antara pihak-pihak dalam sengketa harus dibentuk komisi-komisi untuk mencari tawanan perang yang terpisah serta menjamin pemulangannya dalam waktu-waktu sesingkat-singkatnya. c) Kematian Tawanan Perang Para tawanan yang meninggal dunia saat berada dalam penawanan Negara penawan wajib dipenuhi semua hak-haknya.
Peraturan yang mengatur hal-hal tersebut diatur di dalam Pasal 120 dan 121 Konvensi III Jenewa 1949. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut. Article 120 Wills of prisoners of war shall be drawn up so as to satisfy the conditions of validity required by the legislation of their country of origin, which will take steps to inform the Detaining Power of its requirements in this respect. At the request of the prisoner of war and, in all cases, after death, the will shall be transmitted without delay to the Protecting Power; a certified copy shall be sent to the Central Agency. Death certificates in the form annexed to the present Convention, or lists certified by a responsible officer, of all persons who die as prisoners of war shall be forwarded as rapidly as possible to the Prisoner of War Information Bureau established in accordance with Article 122. The death certificates or certified lists shall show particulars of identity as set out in the third paragraph of Article 17, and also the date and place of death, the cause of death, the date and place of burial and all particulars necessary to identify the graves. The burial or cremation of a prisoner of war shall be preceded by a medical examination of the body with a view to confirming death and enabling a report to be made and, where necessary, establishing identity. The detaining authorities shall ensure that prisoners of war who have died in captivity are honourably buried, if possible according to the rites of the religion to which they belonged, and that their graves are respected, suitably maintained and marked so as to be found at any time. Wherever possible, deceased prisoners of war who depended on the same Power shall be interred in the same place.
Deceased prisoners of war shall be buried in individual graves unless unavoidable circumstances require the use of collective graves. Bodies may be cremated only for imperative reasons of hygiene, on account of the religion of the deceased or in accordance with his express wish to this effect. In case of cremation, the fact shall be stated and the reasons given in the death certificate of the deceased. In order that graves may always be found, all particulars of burials and graves shall be recorded with a Graves Registration Service established by the Detaining Power. Lists of graves and particulars of the prisoners of war interred in cemeteries and elsewhere shall be transmitted to the Power on which such prisoners of war depended. Responsibility for the care of these graves and for records of any subsequent moves of the bodies shall rest on the Power controlling the territory, if a Party to the present Convention. These provisions shall also apply to the ashes, which shall be kept by the Graves Registration Service until proper disposal thereof in accordance with the wishes of the home country. Pasal 120 Surat wasiat tawanan perang harus dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh perundang-undangan negara asal tawanan perang itu, yang harus berusaha untuk memberitahukan negara penahan tentang syarat-syarat yang berlaku dalam hal ini. Atas permintaan tawanan perang dan setidak-tidaknya sesudah kematian, maka surat wasiat harus diteruskan kepada negara pelindung tanpa ditunda-tunda Surat keterangan kematian, dalam bentuk yang dilampirkan pada Konvensi ini, atau daftar-daftar yang disahkan oleh seorang perwira berwenang, yang dibuat untuk semua orang yang mati sebagai tawanan perang, harus dikirim secepat mungkin kepada
Biro Penerangan Tawanan Perang. Surat keterangan kematian atau daftar-daftar yang disahkan itu memuat keteranganketerangan mengenai identitas sebagaimana ditetapkan dalam pasal 17 dan juga tanggal serta tempat kematian, sebab-sebab kematian, tanggal serta tempat penguburan dan semua keterangan yang diperlukan untuk mengenal kuburan-kuburan itu. Penguburan atau pembakaran jenazah tawanan perang harus didahului oleh pemeriksaan kedokteran atas jenazah itu, untuk
menegaskan
kematian
itu,
serta
memungkinkan
dibuatkannya laporan dan jika perlu untuk menetapkan identitas. Penguasa-penguasa
penahan
harus
menjamin
bahwa
tawanan perang yang meninggal dalam penawanan dimakamkan dengan hormat dan apabila mungkin sesuai dengan upacara keagamaannya, dan bahwa makam mereka dihormati, dipelihara sepatutnya serta ditandai agar dapat diketemukan setiap waktu. Sedapat mungkin tawanan perang yang meninggal harus dikubur pada tempat yang sama dengan jenazah tawanan perang sebangsanya. Tawanan perang yang meninggal harus dimakamkan dalam kuburran-kuburan perorangan, kecuali apabila keadaan-keadaan yang tidak dapat dicegah mengharuskan digunakannya kuburan bersama. Jenazah hanya boleh dibakar karena alasan-alasan yang mendesak, karena agama yang meninggal, atau sesuai dengan keinginan yang meninggal yang jelas tentang hal itu. Dalam hal pembakaran jenazah, maka hal tersebut harus dicatat dan alasanalasannya harus disebutkan dalam surat keterangan kematian yang meninggal. Agar upaya kuburan selalu dapat diketemukan, maka segala keterangan mengenai penguburan dan kuburan harus dicatat pada dinas pendaftaran kuburan yang diadakan oleh negara penahan. Daftar kuburan dan keterangan-keterangan mengenai tawanan
perang yang dimakamkan di pekuburan-pekuburan dan tempattempat lain, harus diteruskan kepada negara yang ditaati tawanan perang tersebut. Tanggung jawab pemeliharaan kuburan ini dan catatan-catatan pemindahan jenazah yang dilakukan kemudian, dipikul oleh negara yang menguasai wilayah itu, apabila negara itu menjadi peserta Konvensi ini. Ketentuan-ketentuan ini juga berlaku untuk abu jenazah yang harus disimpan oleh dinas pendaftaran kuburan hingga abu jenazah itu dapat disampaikan dengan wajar sesuai dengan keinginan-keinginan negara asal tawanan perang. Article 121 Every death or serious injury of a prisoner of war caused or suspected to have been caused by a sentry, another prisoner of war, or any other person, as well as any death the cause of which is unknown, shall be immediately followed by an official enquiry by the Detaining Power. A communication on this subject shall be sent immediately to the Protecting Power. Statements shall be taken from witnesses, especially from those who are prisoners of war, and a report including such statements shall be forwarded to the Protecting Power. If the enquiry indicates the guilt of one or more persons, the Detaining Power shall take all measures for the prosecution of the person or persons responsible Pasal 121 Setiap kematian atau luka parah yang didapat oleh seorang tawanan perang yang disebabkan atau disangka disebabkan oleh seorang penjaga, oleh tawanan perang lain, atau oleh setiap orang lainnya, begitupun setiap kematian yang tidak diketahui-sebabnya, harus segera di susul dengan suatu pemeriksaan resmi oleh negara penahan.
Suatu pemberitahuan mengenai hal ini harus segera dikirim kepada negara pelindung. Pernyataan-pernyataan kesaksian harus diambil dari saksi-saksi, terutama mereka yang menjadi tawanan perang, dan suatu laporan yang berisi pernyataan-pernyataan tersebut harus diteruskan kepada negara pelindung. Apabila pemeriksaan menunjukkan kesalahan terhadap seorang atau lebih, negara penahan harus mengambil segala tindakan untuk menuntut orang atau orang-orang yang bertanggung jawab.
b. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam. 1) Pengertian Tawanan Perang Pengertian dan kriteria tawanan tidak djelaskan secara rinci di dalam Al-Quran karena di dalam Al-Quran hanya disebutkan saja,misalnya dalam Al-Quran surat Al-Anfaal [8] ayat 70 yang isinya sebagai berikut. “Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: "Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” sedangkan pengertian dan kriteria tawanan perang terdapat pada Hadis Nabi dan pendapat ulama. Seorang ulama, Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya yang berjudul Al-Jihad Sabiluna menyatakan bahwa Tawanan perang adalah kaum kafir yang diperangi yang berhasil ditawan oleh kaum muslimin hidup-hidup sesuai perperagan dan mereka masih dikategorikan sebagai bagian dari harta rampasan perang. Selain itu, Abdul Baqi Ramdhun membagi tawanan perang menjadi dua kelompok, yaitu (Abdul Baqi Ramdhun, 2005:318)
a) Kelompok Pertama Mereka adalah golongan wanita dan anak-anak, dan orang-orang yang status hukumnya seperti mereka, seperti : orang-orang gila dan budak. b) Kelompok Kedua Mereka adalah golongan kaum lelaki yang telah akhil baligh, kaum laki-laki ini dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan usianya, yaitu (1) Kaum lelaki yang sudah tua renta di antara mereka Masih menjadi perselisihan pendapat tentang boleh atau tidaknya menawan dan membunuh mereka. Golongan Hambali berpendapat bahwa tidak halal menawan mereka, oleh karena mereka haram dibunuh, dan tidak ada manfaat memiliki mereka. Imam Asy Syafi’i berpendapat : ”Mereka dibunuh semua berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 5) Sementara Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh dibunuh orang yang buta, atau orang yang tidak waras pikirannya, atau penghuni kuil, atau orang tua (laki-laki) yang sudah jompo. Berdasarkan sabda Nabi SAW “ Berangkatlah kalian dengan asma Allah dan atas millah Rasulullah. Janganlah kalian membunuh lelaki yang sudah
tua renta, atau anak kecil, atau perempuan, dan janganlah kalian berbuat ghulul (mengambil sesuatu dari harta rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa izin Imam, sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya), kumpulkanlah ghanimah-ghanimah kalian, dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Abu Dawud) Dari ayat 5 surat At-Taubah di atas, Abdullah Azzam (Abdullah Azzam, 2005:41-43), menafsirkan bahwa yang termasuk ke dalam tawanan perang yaitu kaum musyrikin. Selain itu, setelah dalam waktu empat bulan, kaum musyrikin telah habis maka golongan berikutnya yaitu kaum Nasrani dan Yahudi karena ketika Rasulullah Saw., diambang wafat berwasiat agar membersihkan Jazirah Arab dari dien selain Islam. (Dan intailah di tempat pengintaian) ini merupakan dalil diperbolehkannya ightiyalat (pembunuhan rahasia) terhadap orang kafir tanpa memberi perinagatan terlebih dahulu. Jadi dari surat At-taubah ayat 5 di atas orang-orang yang dapat diperangi dan di tawan yaitu kaum musyrikin, kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir. (2) Tawanan laki-laki yang telah baligh dan bukan termasuk golongan yang tua-renta. Secara umum hukum Islam membedakan dua golongan tawanan perang pertama adalah golongan yang tidak boleh dihukum berat (dibunuh) mereka adalah tawanan perempuan dan anak-anak, mereka sebaiknya ditukar dengan tawanan musuh, dilepaskan atau dijadikan hamba. Kedua golongan tawanan laki-laki dewasa, hukuman terhadap mereka diserahkan pada kebijaksanan panglima utama perang (imam) dengan mempertimbangkan kemaslahatan
umat Islam. (http://www.allbandung.com/abc-view-kat.php?field= 132) Dari definisi tawanan perang di atas, penulis menyimpulkan bahwa tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk kedalam kriteria golongan orang-orang yang dapat ditawan, berada dibawah kekuasaan pasukan Muslimin dalam perperangan. Dari isi surat Al-Quran maupun isi hadis Rasulullah Saw., penulis menyimpulkan bahwa yang termasuk dalam kriteria tawanan perang dalam konsep Hukum Islam adalah sebagai berikut. a) Orang-orang yang termasuk ke dalam anggota militer pihak lawan (kaum musyirikin). b) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang tidak ikut berperang c) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang ikut berperang d) kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir. 2) Perlindungan Umum Bagi Tawanan Perang Islam merupakan agama perdamain yang menuntun kaum muslim untuk bekerja demi terwujudnya perdamain secara hakiki. Di samping Islam mengajarkan jihad dan mensyari’atkan perang sebagai jalan satu-satunya dalam situasi darurat, Islam juga menurunkan ajaran kasih sayang dalam kepada sesama manusia termasuk perlakuan baik terhadap tawanan; Islam mengharamkan menyiksa mereka sebagaimana halnya melarang mencincang korbankorban perang di pihak musuh, demikian juga melarang membunuh wanita dan anak-anak. Islam memerintahkan pemeluknya supaya berbuat baik kepada semua orang termasuk kepada tawanan perang. Baik Imam belum atau sudah mengeluarkan keputusannya, pasukan muslim tetap di amanahkan untuk berbuat baik kepada tawanan perang. Mereka (tawanan.red) tidak boleh dihalangi dari makan dan minum, juga tidak boleh disiksa, bahkan harus diberikan apa yang menjadi
kebutuhannya dan diperlakukan dengan baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin di Badar. “ Perlakukanlah tawanan dengan sebaik-baiknya” 3) Penawanan Pasukan Muslimin diperbolehkan melakukan penawanan terhadap musuh mereka ketika kekuatan internal dari pasukan muslimin sudah mencukupi baik dalam kuantitas maupun dalam hal kualitas. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw pernah ditegur oleh Allah SWT karena melakukan penawanan terhadap tawanan perang Badar ketika pasukan Muslim belum memiliki kekuatan yang cukup baik dalam segi kuantitas maupun kualitas, yaitu “ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”( AlQuran surat Al-Anfal [8] ayat 67). Sebab
diturunkannya
ayat
ini
yaitu
Imam
Ahmad
meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abbas dari Umar r.a., katanya di antara kaum musyirikin yang terbunuh dalam perang Badar sebanyak tujuh puluh orang, sedangkan yang tertawan yaitu sebanyak tujuh puluh orang. Rasulullah bermusyawarah dengan Abu Bakar,Umar, dan Ali. Lalu Abu Bakar berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka itu adalah anak-anak paman keluarga, dan saudara. Saya berpendapat agar engkau pungut tebusan saja dari mereka. Tebusan itu nanti dapat kita pergunakan sebagai bekal untuk memperkuat pasukan kita di dalam menghadapi kaum kafir.’
Rasulullah
bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu wahai putra Khatab?’ Saya berkata, ‘Demi Allah, saya tidak sependapat dengan pendapat Abu Bakar. Saya memandang engkau perlu memberi mandat kepada saya untuk memenggal kepala si fulan (yang masih keluarga Umar sendiri), engkau beri mandate Ali untuk memenggal kepala Aqil (bin
Abi Thalib), dan engkau beri mandat kepada Hamzah untuk memenggal kepala si fulan. Sehingga Allah mengetahui bahwa di dalam hati tidak ada rasa belas kasihan kepada kaum musyirikin. mereka itu adalah tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, dan panglimapanglima kaum musyirikin.’ Maka Rasulullah cenderung kepada pendapat Abu Bakar, dan tidak cenderung kepada pendapat Umar. Lalu Beliau memungut tebusan dari mereka. Keesokan harinya Allah menurunkan Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat 67, maksud dari ayat ini adalah untuk menegur Rasululluh atas pilihan yang lebih memilih uang tebusan. (Sayyid Quthb, 2003: 233-244) Teguran ini merupakan pengarahan yang bijaksana dari Allah SWT., demi kemaslahatan kaum Muslimin, dimana ayat ini diturunkan pada waktu perang Badar yang merupakan perang pertama dalam Islam, sehingga pada saat itu situasi dan kondisi memandang, yang lebih maslahah ialah dengan sikap keras bukan kasih sayang, yaitu dengan membunuh para tawanan dengan melumpuhkan kekuatan kaum musyrikin; Dan kalau mereka mengetahui bagaimana kerasnya tentara Muslim menghadapi mereka, tentu mereka akan tunggang langgang. Tetapi ketika jumlah kaum Muslimin telah menjadi banyak dan kekuatan mereka semakin kokoh serta kekuasaan berada di tangan mereka sepenuhnya, maka turunlah ayat yang membolehkan membebaskan tawanan dan menerima tebusan. Maka melakukan penahanan atau membebaskan tawanan adalah suatu hal yang diperbolehkan yaitu ketika situasi di mana Islam telah kuat bukan dalam keadaan lemah (Muhammad Alim, 2003:90). Dengan demikian, itskhan pertama-tama merupakan tindakan untuk
melumpuhkan
kekuatan
musuh
dan
melemahkan
kekuatannya, selanjutnya, barulah menawan. Hikmahnya sangat jelas, karena penghilangan kekuatan yang memusuhi Islam merupakan sasaran utama perang, terutama tatkala kekuatan jumlah
umat Islam masih sedikit dan terbatas, sedang kekuatan musyrikin sangat besar. Pada saat itu, pembunuhan terhadap orang-orang yang memerangi Islam setara dengan sesuatu yang besar dalam timbangan kekuatan. Keumuman hukum tersebut senantiasa berlaku pada setiap masa dengan bentuk yang menjamin penghancuran kekuatan musuh dan melemahkan serangan serta pertahanannya (Sayyid Quthb, 2003: 345-346). Menawan musuh itu disyariatkan dalam Islam, begitu pun dengan penjelasan hal yang di atas diatur dalam firman Allah SWT (Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 4). “Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai” yang dimaksud dengan pertemuan pada ayat ini yaitu pertemuan untuk berperang dan bertempur, bukan pertemuan biasa. Perintah pemenggalan leher tatkala bertemu dilakukan setelah Islam ditawarkan kepada mereka, lalu mereka menolak dengan pasti. Penggalan ini menggambarkan proses pembunuhan secara aktual dan langsung serta melalui tindakan.” (Sayyid Quthb, 2003: 345) Selain itu, Allah Ta’ala berfirman: “.....dan tangkaplah mereka serta kepunglah mereka....” (Al-Quran surat At Taubah [9] ayat 5).” Berdasarkan usia dan jenis kelaminnya, tawanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (Sulaiman Rasjid, 2006:462) a) Tawanan perempuan dan anak-anak. Dari
pembagian
tawanan
perang
diatas,
Islam
memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang dan manusiawi. Para tawanan perang yang ditawan oleh kaum muslimin, mendapatkan jaminan keamanan dari berbagai macam perlakuan yang dapat melanggar hak-hak mereka sebagai seorang manusia. Haram membunuh Tawanan perempuan dan anak-anak
kecuali apabila mereka ikut berperang. Golongan ini disebut juga dengan istilah “sabiyyun.”
Nabi SAW melarang membunuh
mereka. Para tawanan wanita itu dijadikan budak bila mereka adalah dari golongan Ahli Kitab, namun menurut Asu-Syafi’I, mereka dibunuh jika menolak masuk Islam. b) Sedangkan Tawanan laki-laki dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) Kaum lelaki yang sudah tua renta di antara mereka, maka masih menjadi perselisihan pendapat tentang boleh atau tidaknya menawan dan membunuh mereka. Golongan Hambali berpendapat bahwa tidak halal menawan mereka, oleh karena mereka haram dibunuh, dan tidak ada manfaat memiliki mereka. Sementara Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh dibunuh orang yang buta, atau orang yang tidak waras pikirannya, atau penghuni kuil, atau orang tua (laki-laki) yang sudah jompo. Berdasarkan sabda Nabi SAW “ Berangkatlah kalian dengan asma Allah dan atas millah Rasulullah. Janganlah kalian membunuh lelaki yang sudah tua renta, atau anak kecil, atau perempuan, dan janganlah kalian berbuat ghulul (mengambil sesuatu dari harta rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa izin Imam, sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya), kumpulkanlah ghanimah-ghanimah kalian, dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Abu Dawud) Berkata
Imam
Asy
Syafi’i:”Mereka
dibunuh
semua
berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka
dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 5) (2) Tawanan laki-laki yang telah baligh dan bukan termasuk golongan yang tua-renta, maka jumhur ulama berpendapat bahwa Imam bebas memilih alternatif antara: dibunuh, atau dijadikan tebusan atau dilepas bebas, atau dijadikan budak yang menurutnya dapat membawa kemaslahatan untuk kaum Muslimin. Dari Ibnu “Umar .r.a., bahwasanya Nabi SAW pernah berjalan pada salah satu ghazwah yang diikutinya, lalu beliau menemukan mayat perempuan yang terbunuh. Beliau tidak membenarkan pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak. (HR. Al Bukhari dan Muslim.-shahih-). Hukum terhadap mereka diserahkan pada kebijaksanaan imam atau panglima umum. Keduanya berhak mempertimbangkan diantara empat perkara dengan dasar yang lebih maslahat bagi Islam menurut pendapat keduanya. Sehingga, sebelum ada putusan dari Imam atau panglima umum maka tawanan perang harus diperlakukan dengan baik sampai keputusan itu telah dikeluarkan. Nabi Muhammad Saw, dengan tegas melarang pembunuhan terhadap tawanan perang tanpa adanya suatu alasan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat dan memerintahkan para sahabatnya untuk memperlakukan mereka dengan bermurah hati dan kasih sayang. Islam pun mengajarkan kaum Muslimin untuk tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas terhadap para tawanan yang menyebabkan tawanan tersebut meninggal dunia. Allah Jalla wa ‘Ala (Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi) mengharamkan tindakan melampaui batas dalam firman-Nya
“ Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (AlQuran surat. Al-Baqarah [2] ayat 190). Tafsir ayat ini menjelaskan bahwa kaum Muslimin dilarang lebih dahulu memerangi mereka (orang-orang yang memerangi orang Muslimin) dan janganlah membunuh orang-orang yang tidak boleh dibunuh (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2002:74). Ajaran
Islam
menyeru
kepada
umat
Muslimin
agar
menghormati dan berbuat kepada mereka serta memuji bagi orang yang berbuat baik kepada tawanan perang., firman Allah “ Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu, dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami.” ( Al-Quran surat
Al-
Insaan [76] ayat 8-10). Akhlak kaum Muslimin pun telah diakui oleh para tawanan perang dalam memperlakukan mereka (para tawanan perang) yaitu Abu Aziz, saudara Mush’ab bin umair dan salah seorang tawanan yang berada di tangan Muslimin, meriwayatkan tentang perlakuan baik kaum Muslimin terhadap dirinya, ia berkata : “Aku berada di tengah sejumlah kaum Anshor ketika mereka membawaku dari Badar. Apabila menyuguhkan makanan siang dan malam mereka, mereka mengkhususkan untukku berupa roti, sedangkan mereka hanya makan kurma. Hal ini disebabkan oleh wasiat Rasulullah saw kepada mereka untuk memperlakukan kami (tawanan perang) dengan baik. Tidaklah tangan salah seorang dari mereka memegang sepotong roti kecuali pasti memberikannya kepadaku.”
Abu Aziz berkata:“sampai aku malu lalu aku mengembalikannya kepada salah seorang dari mereka tetapi ia mengembalikannya lagi kepadaku, hingga aku tidak berani menyentuh nya.”(Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 1998:139-140). Tsumaqah bin Atsal tertangkap sebagai tawanan di tangan kaum Muslimin. Kemudian mereka (kaum Muslimin) datang membawanya kepada Rasulullah saw.dan kemudian Rasul bersabda : “Berbuat baiklah kepada tawanan,” dan kemudian bersabda lagi : “ Kumpulkanlah apa yang kalian punya berupa makanan, maka kirimkanlah kepadanya.” Mereka kemudian memberikannya susu unta pagi dan sore milik Rosulullah. Dan Nabi saw. Mengajak masuk Islam, kemudian Tsumaqah bin Atsal tidak menerima. Rasulullah saw akhirnya melepaskannya tanpa tebusan, karena hal inilah, Tsumaqah bin Atsal masuk Islam. (Sayyid Sabiq, 1984:168). Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah SAW., bahwa beliau bersabda : “Lepaskanlah para tawanan, penuhilah panggilan/undangan dan berilah makan orang-orang yang lapar serta jenguk orang sakit.” Dari paparan ayat dan hadis di atas, dengan jelas dan tegas Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Teks suci Al-Quran dan Hadist mengekspresikan, pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu sifat Mu'min yang baik. Kaum Muslimin biasa mendahulukan kepentingan para tawanan daripada kepentingan mereka sendiri dan kaum Muslimin biasa memberikan apa yang paling baik yang mereka miliki
serta
memperlakukan
tawanan-tawanan
dengan
sangat
manusiawi. Rasulullah saw pun melarang memisahkan, pada kaum tawanan, antara ibu dan anaknya. Beliau bersabda :
“Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang yang dicintainya pada hari kiamat.” Allah swt berfirman “ Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Akan tetapi jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka. Dan ALlah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (AlQuran surat Al-Anfaal [8] ayat 70-71). Ayat tersebut menerangkan bahwa semua kebaikan ini berkaitang dengan kebaikan hati, yang terbuka untuk menerima cahaya iman. Sehingga, Allah melihat bahwa di dalamnya terdapat kebaikan. Kebaikan yang dimaksud yaitu adalah iman. Islam membiarkan hidup tawanan-tawanan itu, untuk menyentuh tempattempat kebaikan, harapan, kesalehan. juga agar membangkitkan potensidi dalam jiwanya untuk menyambut dan menerima petunjuk , bukan untuk menghinakan dan merendahkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa romawi dan bangsa-bangsa lainnya dalam penaklukan-penaklukannya. Pada waktu Allah membuka jendela harapan yang memancarkan cahaya dan kasih saying bagi tawanan perang, Dia juga mengancam mereka agar jangan berkhianat kepada Rasulullah saw. sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya. (Sayyid Quthb,2003:26) Para tawanan perang yang tertangkap oleh pasukan Muslim harus mematuhi setiap peraturan yang ada di dalam wilayah Islam, dimana mereka akan mendapat jaminan aman namun tetap ada
pembatasan kebebasan dan aktivitas. Sama halnya dengan para tentara Muslim yang tertangkap dan menjadi tawanan perang, mereka tidak hanya berkewajiban melaksanakan Hukum Islam, kecuali keadaan yang mencegah mereka untuk melaksanakannya, tetapi juga wajib melaksanakan hukum yang berlaku di wilayah musuh (wilayah non-muslim) sebatas tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Para tawanan Muslim yang ditawan oleh musuh, tidak berkewajiban mengambil bagian dalam pertempuran bersama para prajurit musuh, sekalipun dijanjikan hadiah berupa rampasan perang. Dia juga tidak wajib memberikan informasi dan pengetahuannya yang akan digunakan musuh untuk melawan Islam. Apabila tawanan Muslimin dipaksa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Hukum Islam maka mereka tidak dapat dikenai hukuman (Tabari, kitab al-jihad dalam Majid Khadduri, 2002:140). 4) Berakhirnya Penawanan Sesungguhnya hukum (keputusan) tentang para tawanan di dalam Islam diserahkan kepada keputusan Imam untuk memilih salah satu dari empat hukum (keputusan). Pilihan ini diambil dengan berbagai pertimbangan untuk kemaslahatan umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya dengan tidak melupakan prinsip dasar perlakuan terhadap tawanan yaitu memperlakukannya dengan baik. Keempat tindakan itu yaitu: (Tabari, kitab al-jihad dalam Majid Khadduri, 2002: 144-145) (a) Tawanan perang dapat dieksekusi Islam berpendapat bahwa adalah hak imam (pemerintah) buat membunuh para tawanan itu apabila dipandang bahwa keberadaan mereka akan berbahaya terhadap keselamatan negara Islam, dimana tidak mungkin diperoleh kebaikkan bila tawanantawanan tersebut dibiaerkan hidup. Tetapi, sebenarnya Islam tidak beranggapan bahwa membunuh tawanan-tawanan itu
sesuatu yang wajib dilaksanakan (Al-Ustadz Ali Al-Khinani, 1985: 194). Baik Abu Yusuf maupun Syafi’i menekankan bahwa kebijakan ini seharusnya tidak dilakukan kecuali ada alasanalasan tertentu, seperti untuk memperlemah musuh, atau berdasarkan kepentingan kaum muslimin yang bernilai guna (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj dalam Majid Khadduri, 2002: 104). Sedangkan, Awza’i menyarankan, bahwasanya sebelum eksekusi tawanan seharusnya diberi kesempatan memeluk Islam sebagai alternatif daripada memilih mati (Tabari, kitab al-jihad dalam Majid Khadduri, 2002:141-142). Al-Alusi berkata : Tidak boleh seorang tawanan dibunuh tanpa alasan; dan kalau hal itu terjadi maka Imam harus menghukum ta’zir kepada pelakunya, tetapi ia tidak dikenakan denda; Dan jika tawanana itu menyatakan masuk Islam sesudah ditawan, maka tidak boleh dibunuh tetapi boleh dijadikan hamba karena keislamannya tidak menghalangi bolehnya dijadikan hamba sebagai balasan atas kekufurannya selam ini, berbeda kalau masuk Islamnya itu sebelum ditawan karena ia telah masuk Islam sebelum ada unsur (penghambaan) padanya (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2003:84). (b) Tawanan Perang dapat dibebaskan tanpa membayar tebusan atau tanpa syarat Mengampuni atau membebaskan tanpa syarat dengan tebusan apapun, dilakukan bila bermanfaat untuk kepentingan umum, atau karena tawanan tersebut tidak memiliki harta apapun untuk menebusnya. Imam Syafi’i membolehkan membebaskan tawanan perang tanpa memungut suatu imbalan apa pun karena Nabi saw. Pernah membebaskan Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku
yamamah kemusian ia menjadi Islam dan menjadi muslim yang baik. Nabi saw. Bersabda “Kalau sekiranya Muth’am bin Adi masih hidup kemudian ia membicarakan denganku tentang mayat-mayat itu, yakni tawanan
Badr,
niscaya
akan
kuserahkan
mereka
itu
kepadanya.” (HR.Bukhari) Sabda Rasulullah saw, ini menunjukkan bolehnya membebaskan tawanan perang tanpa syarat atau tebusan (Muhammad Ali AshShabuni,2003:89). (c) Tawanan Perang dapat Dibebaskan dengan Membayar Tebusan (Fidyah) Jumhurul mufassisrin berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “fida” yaitu pembebasan dengan imbalan dan kadangkadang imbalan itu berupa tukar-menukar tawanan, berupa uang, peralatan perang, atau jasa sebagaimana tawanan perang Badar, dimana sebagian mereka yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang diperintahkan oleh Nabi saw. agar mengajar membaca dan menulis sepuluh anak-anak kaum muslimin (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2003:82). Firman Allah SWT “maka tawanlah mereka, kemudian kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 4). “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan
Allah, Allah t0idak akan menyia-nyiakan amal mereka ‘(AlQuran surat Muhhamad [47] ayat 4 ) Ayat di atas menegaskan bolehnya menerima tebusan secara mutlak tanpa ikatan dan tanpa syarat. Tebusan kadangkadang dengan berupa kepala, yakni menukar tawanan kaum Muslimin dengan tawanan musuh, atau tawanan ditebus dengan harta sampai ia bebas. Para tawanan perang Badar yang tidak mempunyai uang dan tidak mempunyai kerabat yang dapat menebus mereka maka Rasulullah saw menjadikan tebusan mereka dalam bentuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum Anshar . Setiap satu tawanan diwajibkan mengajari sepuluh anak. Zaid bin Tsabit termasuk orang yang belajar melalui cara tersebut di atas. Hal
ini
jelas
merupakan
penghargaan
terhadap
ilmu
pengetahuan, dorongan untuk pandai membaca dan menulis (Abdul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, 2007:263) (d) Tawanan Perang Bisa Ditukar dengan Tawanan Muslim Khalifah Umar menekankan cara yang lebih serius untuk membebaskan para tawanan Muslimin dengan pembayaran yang diambil dari pembagian harta rampasan perang atau dengan membayar tebusan yang diambil dari kas pembedaharaan negara. Jika tawanan tidak dijadikan budak, Maliki melarang untuk menghukum atau menukar mereka dengan tawanan muslimin. (e) Tawanan Perang Bisa Dihukum dan Dijadikan Budak Islam
tidak
mengharamkan
perbudakkan
dengan
pernyataan tegas dari Al-qur’an dan Sunnah, tetapi pada waktu yang sama mengharamkan semua pintu perbudakkan yang zhalim dan hanya membuka satu pintu yaitu pintu perperangan. Para ulama Islam mensyaratkan pengambilan keputusan ini dengan kemaslahatan kaum Muslimin secara umum dan perlakuan yang setimpal terhadap musuh, agar kewibawaan
kaum Muslimin tidak lemah di mata musuh-musuh mereka, juga agar para tawanan kaum Muslimin tidak diperlakukan dengan buruk bila mereka diperbudak sedangkan para tawanan musuh dibiarkan bersenang-senang (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 1998: 141).
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. a. Persamaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Persamaan perlakuan tawanan perang antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam adalah sebagai berikut. 1) Perlindungan Umum Tawanan Perang Baik dalam konsep Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam, kedua-duanya mempunyai konsep umum yang sama dalam memperlakukan tawanan perang dengan baik dan benar. Dalam hal perlindungan umum tawanan perang, konsep Hukum Humaniter Internasional mengatur untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik dan menghormati hak-hak mereka sebagai tawanan perang.Perlindungan umum tawanan perang dalam konsep Hukum Humaniter Internasional diatur dalam Pasal 13-15 Konvensi III Jenewa 1949. Dalam Hukum Islam, secara umum para tawanan perang diperlakukan dengan sangat baik dan menghargai hak-hak setiap tawanan perang. Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik kepada semua mahluk, termasuk berbuat baik kepada para tawanan perang walaupun telah datang keputusan dari Imam, seorang Muslim wajib berbuat baik kepada para tawanan perang. Mereka (tawanan perang) tidak boleh dihalangi dari makan dan minum, juga tidak boleh disiksa, bahkan harus diberikan apa
yang menjadi kebutuhannya dan diperlakukan dengan baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin di Badar : “ Perlakukanlah tawanan dengan sebaik-baiknya” Allah SWT. Berfirman dalam Al-Quran surat Al-Insaan [76] ayat 810. “ Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi
makan
kepadamu
hanyalah
untuk
mengharapkan
keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu, dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami.” Islam mengharamkan menyiksa mereka sebagaimana halnya melarang mencincang korban-korban perang di pihak musuh, demikian juga melarang membunuh wanita dan anak-anak. 2) Penawanan Pada masa penawanan, terdapat beberapa persamaan antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. Persamaannya yaitu : a) Mematuhi Peraturan Negara Penahan Baik dalam Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam, para tawanan perang diwajibkan untuk mematuhi peraturan-peraturan masing-masing Negara penahan dimana peraturan-peraturan tersebut tetap menjamin rasa aman bagi para tawanan untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing tanpa pernah memaksa para tawanan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agamanya.
b) Sarana dan Prasarana yang Memadai Baik dalam Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam, para tawanan perang mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai. Mulai dari pakaian, tempat tinggal, dan makanan yang semua diatur di dalam kedua konsep hukum tersebut. Para tawanan yang sakit pun menjadi tanggung jawab dari negara penahan untuk menjamin kesehatan para tawanan perang. c) Penempatan tawanan perang pada tempat kondusif yang aman dan jauh dari tempat terjadi perperangan. Baik dalam Hukum Humaniter Internasional maupun dalam konsep Hukum Islam, diatur mengenai tempat yang terbaik bagi tawanan perang. d) Selain prasarana dan sarana yang memadai, kedua konsep tersebut juga mengatur mengenai berbagai kegiatan-kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan para tawanan perang, sehingga, para tawanan perang dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang dibutuhkannya. e) Baik dalam konsep Hukum Humaninter Internasional maupun konsep Hukum Islam, kedua-duanya memberikan sanksi kepada para tawanan perang apabila para tawanan perang tidak mematuhi peraturan yang ada pada negara penahan. f)
Dalam hal pemberian putusan hukuman terdapat persamaan dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam, keduanya mengatur bahwa sebelum tawanan perang
diberikan
hukuman
atas
kesalahan
yang
telah
dilakukannya terlebih dahulu harus adanya proses pengadilan untuk menentukan apakah tawanan tersebut bersalah atau tidak serta memutuskan putusan apa yang tepat untuk tawanan tersebut apabila tawanan tersebut terbukti bersalah. 3) Berakhirnya Penawanan
Dalam Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam terdapat beberapa cara berakhirnya penawanan para tawanan perang. Di antara beberapa cara tersebut, terdapat satu persamaan cara berakhirnya penawanan para tawanan perang. Persamaannya yaitu : a) Hukum Humaniter Internasional Dalam berakhirnya masa penawanan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat beberapa cara berakirnya tawanan perang, di antara beberapa cara tersebut terdapat persamaan cara pembebasan tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dengan cara di dalam Hukum Islam, yaitu pembebasan tawanan perang tanpa syarat setelah perperangan itu telah berakhir. Dalam Hukum Humaniter Internasional, pembebasan tawanan perang tanpa syarat ini dijelaskan dalam Pasal 118 Konvensi III Jenewa yang berbunyi : “Tawanan perang harus segera dibebaskan dan dipulangkan sesudah penghentian kegiatan permusuhan. Jika tidak ada ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
hal
di
atas
dalam
persetujuan apapun yang diadakan antara pihak-pihak dalam sengketa untuk menghentikan permusuhan, atau jika sama sekali ada persetujuan tersebut, maka setiap negara penahan masingmasing harus mengadakan dan melaksanakan dengan segera suatu cara pemulangan sesuai dengan azas yang ditetapkan dalam pargraf di atas. Biaya pemulangan tawanan perang dalam semua hal dibagi seimbang antara negara penahan dan negara yang ditaati tawanan.” b) Hukum Islam Sedangkan dalam Hukum Islam, pembebasan tawanan perang tanpa syarat diterangkan dalam firman Allah SWT. dalam Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 4 :
“Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai” Selain itu, Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Lepaskanlah para tawanan, penuhilah panggilan/undangan dan berilah makan orang-orang yang lapar serta jenguk orang sakit.”
b. Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Perbedaan perlakuan tawanan perang antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam adalah : 1. Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang Terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep Hukum Humaninter Internasional dengan konsep Hukum Islam dalam hal siapa saja yang dapat digolongkan menjadi tawanan perang. Dalam Hukum Humaniter Internasional, penduduk sipil yang tidak ikut berperang maka mereka tidak termasuk kedalam golongan orang yang dapat ditawan. Sedangkan, dalam konsep Hukum Islam, baik penduduk sipil yang tidak ikut berperang maupun yang ikut berperang digolong kedalam orang-orang yang dapat ditawan. 2. Penawanan Pada masa penawanan, terdapat beberapa perbedaan antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. Perbedaannya yaitu : a. Keputusan Penawanan Dalam hal permulaan penawanan, terdapat perbedaan antara konsep Hukum Islam dengan konsep Hukum Humaniter internasional. Perbedaannya yaitu :
1) Hukum Humaniter Internasional Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, apabila pasukan dari salah satu pihak yang bersengketa tertangkap oleh pihak lawannya maka para pasukan tersebut secara otomatis menjadi tawanan perang dari Negara penahan. Hal ini diatur dalam pasal 4 Konvensi III Jenewa 1949, yang menyatakan bahwa “yang dimaksud tawanan perang yaitu orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh.” Dari pasal di atas, dengan jelas menerangkan bahwa penahan terhadap pihak musuh dapat dilakukan ketika pihak musuh tersebut sudah jatuh dalam kekuasaannya. 2) Hukum Islam Dalam konsep hukum Islam, apabila pasukan dari salah satu pihak musuh tertangkap oleh pasukan Muslimin, maka pihak yang tertangkap tersebut tidak secara otomatis ditawan oleh pasukan Muslimin. Sebelum memutuskan melakukan penawanan terhadap pasukan musuh, pasukan Muslimin melihat kondisi internal dari pasukannya. Penawanan diperbolehkan ketika kondisi dari kaum Muslimin sudah mempunyai kekuatan yang kokoh serta kekuasaan berada di tangan kaum Muslimin. Hal ini dikarenakan, apabila kaum Muslimin belum mempunyai kekuatan yang kokoh serta kekuasaan belum berada di tangan mereka maka pihak musuh tidak akan merasa takut terhadap kaum Muslimin. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat 67: “ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” b. Penawanan Dalam
menjalani
masa
tawanan,
para
tawanan
mendapatkan berbagai perlakuan dimana perlakuan yang ada di dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam ketika dilihat lebih dalam ternyata memiliki beberapa perbedaan yang membedakan kedua konsep hukum tersebut. Beberapa perbedaan dalam masa penawanan ini yaitu : 1) Pangkat Tawanan Dalam hal status atau pangkat yang dimiliki oleh tawanan perang, terdapat perbedaan konsep dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam. Perbedaannya yaitu : a) Hukum Humaniter Internasional Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, para tawanan perang yang memiliki pangkat lebih tinggi dibandingkan dengan tawanan perang yang lainnya mendapat perlakuan baik hak dan kewajiban yang berbeda. Tawanan perang yang memiliki pangkat lebih tinggi itu, mendapatkan kewajiban tidak seberat tawanan perang yang lebih rendah. Misalnya Pasal 49 Konvensi III Jenewa 1949, yang pada itinya mengatakan bahwa “….mereka (Tawanan perang berpangkat Perwira) sekali-kali tidak boleh dipaksa untuk bekerja.” Walapun terdapat kemiripan konsep dengan Hukum Islam, yaitu persamaan perlakuan setiap orang. Namun, perbedaannya yaitu dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, persamaan perlakuan antara tawanan perang yang dimaksud
yaitu persamaan
perlakuan para tawanan perang dengan prajurit Negara
Penahan yang memiliki pangkat yang sederajat. Hal ini diatur pada Pasal 43 Konvensi III jenewa 1949. b) Hukum Islam Dalam
konsep
Hukum
Islam,
tidak
ada
pembedaan perlakuan antara tawanan perang yang berpangkat tinggi dengan yang berpangkat rendah, karena kaum Muslimin mengannggap semua manusia memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu, perlakuan yang diberikan juga sama tanpa membedakanbedakan pangkat. Hal ini karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT, sedangkan yang membedakannya antara manusia yang satu dengan manusia yang lain yaitu hanya tigkat keimanannya. Hal ini terdapat dalam Al-Quran surat Al-Hujurat [49] ayat 13 yang berbunyi : “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT adalah orang-orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ” 2) Tenaga Kerja Tawanan Perang Selama menjalani masa tawanan, terdapat perbedaan antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam yaitu dalam hal menjadikan para tawanan perang sebagai tenaga kerja. a) Hukum Humaniter Internasional Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, selama menjalani masa tawanan, seorang tawanan perang dapat dipekerjakan untuk melakukan berbagai kegiatan dengan dalih utamanya yaitu untuk memelihara para tawanan perang dalam keadaan kesehatan jasmani dan
rohani yang baik. Hal ini diatur dalam Pasal 49-57 Konvensi III Jenewa 1949. b) Hukum Islam Dalam konsep Hukum Islam, selama belum adanya putusan dari seorang imam tentang putusan akhir dari para tawanan perang. Maka kaum Muslimin tidak boleh memposisikan para tawanan perang sebagi pekerja. Hal ini, karena Nabi Muhammad SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk memperlakukan para tawanan perang baik sebelum adanya putusan dari seorang Imam. Sehingga, setelah ada putusan dari imam, para tawanan perang tersebut mempunyai kejelasan terkait tindakan apa yang akan diberikan kepadanya. 3) Wakil Tawanan Perang. Terdapat
perbedaan
antara
Hukum
Humaniter
Interbnasional dengan Hukum Islam mengenai wakil tawanan perang. Perbedaannya yaitu : a) Hukum Humaniter Internasional Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, terdapat wakil tawanan perang dengan maksud sebagai perantara antara tawanan perang dengan penguasa Negara penahan. Hal ini diatur dalam Pasal 79-81 Konvensi III Jenewa 1949. b) Hukum Islam Dalam konsep Hukum Islam, seorang tawanan perang
tidak
mempunyai
wakil
yang
selalu
mendampinginya atau menjadi perantara antara tawanan perang dengan penguasa dari negara penahan dalam hal berkomunikasi. Hal ini karena para tawanan perang selalu berhadapan langsung dengan imam dari kaum Muslimin dengan tujuan untuk melihat kondisi mereka, sehingga
para tawanan perang dapat langsung menyampaikan berbagai persoalan atau permintaan yang ia ingin sampaikan. Contohnya yaitu : “ Ketika kaum Muslimin mengiringi para tawanan, seorang dari tawanan itu maju menuju Rasulullah SAW. Ia bernama Syaima’ binti Halimah as-Sa’diyah, saudara perempuan
sesusuan
Rasulullah
SAW.
Mereka
memperlakukannya dengan kasar, sedang mereka tidak mengetahuinya. Lalu Syaima’ berkata kepada kaum Muslimin: ‘Ketauhilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah
saudara
(Rasulullah
perempuan
SAW).’
sesusuan
Kaum
sahabatmu
Muslimin
tidak
mempercayainya sehingga mereka membawa perempuan itu
kehadapan
Rasulullah
SAW.
setelah
sampai
dihadapanku, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah saudara perempuanmu sesusuan.’ Beliau bertanya, ‘apa buktinya?’ Ia berkata, ‘ Gigimu pernah menggigit punggungku ketika aku sedang bersandar kepadamu.’ Rasulullah mengenali tanda itu. lalu Beliau melebarkan kainnya, mempersilakannya duduk pada kain tersebut, dan berbuat baik padanya. Beliau berkata: ‘Jika engkau ingin tempat tinggal, aku memiliki tempat tinggal yang mulia, dan jika engkau ingin pulang kepada kaummu maka aku akan mengantarkanmu.’ Syaima’ berkata :‘ Aku ingin engkau mengantarkanku kembali kepada kaumku.’ ” (Sirah Ibnu Katsir dalam Abul Hasan ‘Ali
al-Hasani
an-Nadwi,
2001:434-435).
Lalu
Rasulullah saw. mengantarkannya dengan selamat. Beliau memberikannya tiga hamba sahaya laki-laki, satu perempuan, dan diterima dengan senang. (Zadul Ma’ad dalam Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, 2001:435).
4) Disipilin Baik dalam konsep Hukum Humaninter Internasional maupun konsep Hukum Islam, kedua-duanya mengatur tentang disiplin yang harus dilaksanakan para tawanan perang selama mereka menjalani masa tawanan.Namun, yang membedakannya yaitu disiplin yang terdapat dalam konsep Hukum Humaniter Internsional belum diberlakukan secara menyeluruh kepada semua tawanan perang karena peraturan disiplin tersebut hanya berlaku kepada tawanan perang yang memiliki pangkat lebih rendah. Sedangkan, dalam konsep Hukum Islam peraturan disiplin yang ada diberlakukan kepada semua tawanan perang tanpa memandang pangkat dan kedudukan para tawanan perang tersebut. 5) Proses Peradilan Peradilan yang diadakan dalam konsep Hukum Islam dan Hukum Humaniter Internasional memiliki tujuan dan makna yang berbeda. Perbedaan yaitu : a) Hukum Humaniter Internasional. Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, peradilan diadakan untuk mengadili setiap perbuatan tawanan perang yang melanggar peraturan Undangundang Negara Penahan atau Hukum Internasional yang berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan, hal ini seperti diatur di dalam pasal 99 Konvensi III Jenewa 1949 yang berbunyi : “Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dijatuhi hukuman untuk perbuatan yang tidak dilarang oleh Undang-undang Negara Penahan atau oleh Hukum Internasional yang berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Terhadap tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya
mengaku
salah
atas
perbuatan
yang
dituduhkan
kepadanya. Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi
kesempatan
sebelumnya
untuk
mengajukan
pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap.” b) Hukum Islam. Dalam Hukum Islam, peradilan yang diadakan selain untuk menghasilkan sebuah keputusan tentang kejelasan hukuman para tawanan, apakah para tawanan tersebut akan dijatuhi sebuah hukuman atau para tawanan tersebut akan dibebaskan baik dengan syarat ataupun tanpa syarat. Dalam mengambil keputusan yang akan dijalankan, seorang imam akan mengambil dengan berbagai pertimbangan dimana salah satunya yaitu berdasarkan tingkah laku dari tawanan perang itu sendiri selama mengadakan permusuhan dengan kaum Muslimin. Setiap keputusan yang diambil didasarkan untuk kemaslahatan umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya dengan tidak melupakan prinsip dasar perlakuan terhadap tawanan. c. Berakhirnya Penawanan Berakhirnya penawanan merupakan salah satu poin yang membedakan antara konsep Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam. Perbedaan berakhirnya penawanan ini juga menjadi salah satu parameter kualitas perlakuan tawanan perang dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dan dalam konsep Hukum Islam. Walau pun dari beberapa cara tersebut terdapat satu persamaan cara berakhirnya penawanan, namun hal tersebut tidak dapat mempengaruhi perbedaan dasar dari cara berakhirnya penawanan dalam kedua konsep hukum tersebut. Perbedaan cara berakhirnya penawanan yaitu :
1) Hukum Humaniter Internasional Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, terdapat tiga cara berakhirnya penawanan para tawanan perang. Ketiga cara tersebut yaitu Pemulangan langsung dan penempatan di Negara netral, pembebasan dan pemulangan tawanan perang pada akhir permusuhan, dan kematian tawanan perang, ketiga cara berakhirnya penawanan ini diatur di dalam Pasal 109-121 Konvensi III Jenewa 1949. Dari ketiga cara tersebut terdapat satu cara yang sama dengan cara yang terdapat di dalam konsep Hukum Islam, yaitu pemulangan tawanan perang pada akhir permusuhan dimana para tawanan perang dibebaskan tanpa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, penetuan berakhirnya penawanan para tawanan perang hanya dilihat dari kondisi para tawanan perang tanpa ada suatu dasar lain yang dijadikan pijakan dalam mengambil putusan. 2) Hukum Islam Dalam konsep Hukum Islam, berakhirnya masa penawanan para tawanan perang setelah imam mengeluarkan putusan. Putusan yang dikeluarkan oleh seorang imam yaitu sebuah keputusan yang didasarkan untuk kemaslahatan umat Muslimin pada khususnya dan manusia pada umumnya. Keputusan itu juga di dasarkan dari perbuatan atau tingkah laku dari para tawanan perang selama mengadakan permusuhan dengan umat Muslimin. Semakin banyak perilaku dari tawanan perang yang menyakiti, menyiksa umat Muslimin dan
menghina serta melecehkan agama Islam,
maka semakin keras pula putusan yang diberikan imam kepada tawanan perang tersebut dan sebaliknya semakin
ringannya perbuatan yang mereka lakukan maka semakin ringan pula putusan yang diberikan imam kepada mereka. Dalam konsep Hukum Islam, terdapat beberapa cara berakhirnya penawanan terhadap para tawanan perang, berbagai cara itu yaitu tawanan perang dapat di eksekusi, tawanan perang dapat dibebaskan tanpa membayar tebusan, tawanan perang dapat dibebaskan dengan menembus suatu tebusan, tawanan perang dapat ditukar dengan tawanan perang Muslim, dan tawanan perang dapat dijadikan budak.
B. Pembahasan Penelitian Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, penulis telah membahas persamaan dan perbedaan kedua konsep hukum tersebut terkait dengan perlakuan terhadap tawanan perang. Pembahasan dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Dari semua peraturan yang telah dipaparkan baik peraturan yang berasal dari Hukum Humaniter Internasional maupun dari Hukum Islam dapat diketahui bagaimana peraturan-peraturan yang ada pada kedua hukum tersebut mengenai perlakuan tawanan perang. Peraturan-peraturan yang
telah
dipaparkan
tersebut
kemudian
dibahas
yang
hasil
pembahasannya adalah sebagai berikut. a) Pengaturan
Perlakuan
Tawanan
Perang
dalam
Hukum
Humaniter Internasional 1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengertian dan kriteria tawanan perang diatur dalam Pasal 1 dan 2 Bagian I serta Pasal 4 dan 13 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907, Pasal IV Konvensi III Jenewa 1949, Pasal 43 dan 44 Protokol Tambahan I 1977, dan Pasal 165 San Remo Manual.
Dari keempat sumber hukum tersebut menyatakan bahwa pengertian tawanan perang adalah seseorang yang termasuk ke dalam kategori tawanan perang yang berada di bawah kekuasaan negara musuh karena tertangkap oleh tentara musuh ketika berperang. Sedangkan, dari keempat sumber hukum tersebut, orang-orang yang termasuk kedalam kriteria tawanan perang adalah sebagai berikut. (a) Orang yang termasuk kedalam angkatan perang dari salah satu pihak yang bersengketa. (b) Orang-orang yang termasuk kedalam anggota-anggota milisi, anggota-anggota dari barisan sukarela, dan anggota-anggota gerakan perlawanan yang diorganisir yang tergolong pada salah satu pihak yang bersengketa. (c) Orang-orang yang menyertai angkatan perang salah satu pihak yang bersengketa. (d) Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik salah satu pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam Hukum Internasional. (e) Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik pihak yang netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada musuh. (f) Penduduk sipil yang dengan kemauannya sendiri mengangkat senjata untuk melawan musuh. (g) Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negaranegara netral atau negara-negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus harus diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum internasional.
Berdasarkan pengertian dan kriteria tawanan perang di atas sudah jelas siapa saja orang-orang yang dapat menjadi tawanan perang. penulis berpendapat bahwa dalam konsep Hukum Humaniter Internasional secara tegas terdapat perbedaan antara orang-orang sipil dengan kombantan, sehingga hal ini sesuai dengan prinsip Distinction Principle yang dianutnya. 2) Perlindungan Umum Tawanan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional, perlindungan umum tawanan perang diatur dalam Pasal 12 – 16 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap tawanan perang harus diperlakukan dengan baik dan dilarang melakukan kekerasan baik jasmani maupun rohani terhadap tawanan perang. Penulis setuju dengan peraturan ini, karena para tawanan perang juga mempunyai hak sehingga hak tersebut harus dihormati dengan baik. 3) Penawanan Pada masa awal penawanan dan selama masa penawanan, terdapat beberapa perlakuan-perlakuan yang diberkan kepada para tawanan perang. perlakuan-perlakuan tersebut adalah sebagai berikut. (a) Keputusan Penawanan. Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, permulaan penawanan ini diatur di dalam Pasal 17-20 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 44 ayat 1 Protokol Tambahan I 1977, serta Pasal 9 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang-orang yang termasuk kedalam golongan tawanan perang apabila jatuh ke tangan musuh maka orangorang tersebut langsung ditawan tanpa ada pertimbangan
terlebih dahulu dalam melakukan penawanan dan. pada awal penangkapan harus di data biodatanya dengan cara baik. Penulis berpendapat bahwa penawanan yang diatur di
dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional
membuktikan bahwa penawanannya hanya penawanan biasa tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu dalam memutuskan penawanan. (b) Pengasingan Tawanan Perang Pengasingan diatur dalam Pasal 21-24 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 5 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907, yang pada intinya bahwa pengasingan ini hanya dilakukan untuk menempatkan para tawanan perang di tempat-tempat yang aman dari sengketa senjata yang terjadi supaya tawanan perang tidak terkena berbagai senjata yang digunakan dalam sengketa senjata tersebut. Penulis berpendapat bahwa menjaga keselamatan tawanan perang merupakan tanggung jawab dari negara penahan, sehingga pengasingan menjadi salah tanggung jawab yang wajib dilaksanakan negara penahan. (c) Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional, peratuan ini di atur di dalam Pasal 25-28 Konvensi III Jenewa 1949, dan Pasal 7 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907, pada intinya isi peraturan tersebut yaitu berbagai kebutuhan tawanan dipenuhi dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan kebutuhan mereka.Penulis berpendapat bahwa peraturan ini sudah sesuai dengan HAM karena pada peraturan ini, semua kebutuhan (sandang, pangan, dan papan) tawanan perang telah diatur dengan baik. (d) Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan
Kesehatan dan pengamatan kesehatan ini diatur di dalam Pasal 29-32 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 11 ayat 1,3,4,5,dan6 Protokol Tambahan I 1977. Isi kedua sumber hukum tersebut yaitu bahwa kesehatan tawanan perang tidak boleh dibahayakan sehingga setiap waktu negara penahan harus senantiasa mengecek kondisi tawanan perang baik dari kondisi kamp mereka atau dari para tawanan itu sendiri. Penulis
berpendapat
bahwa
dengan
adanya
peraturan tersebut membuktikan bahwa kesehatan para tawanan perang benar-benar diperhatikan dengan baik. (e) Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan Untuk Membantu Tawanan Perang Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan Untuk Membantu Tawanan Perang diatur dengan jelas dalam Pasal 33 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya menyatakan bahwa anggota dinas kesehatan dan rokhaniawan yang ditahan diperkerjakan untuk membantu para tawanan perang dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan dan kerohanian para tawanan perang dan mereka Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang termasuk ke dalam tawanan perang tidak hanya para tentara saja namun orang-orang yang secara resmi mengikuti salah satu pasukan perang yang bersebgketa juga dapat menjadi tawanan perang. Penulis sependapat dengan peraturan ini, karena dalam sebuah perperangan, semua pihak yang mengikuti perperangan dapat menjadi tawanan karena dengan mengikuti perang menandakan bahwa mereka mendukung salah satu pihak dan mereka juga mempunyai informasi yang
dapat berguna bagi pihak lawannya. Orang-orang tersebut juga dapat digunakan dalam hal pertukaran tawanan perang. (f) Kegiatan Keagamaan, Intelektual, dan Jasmani Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, hal ini diatur di dalam Pasal 34-38 Konvensi III Jenewa 1949. yang pada intinya menyatakan bahwa setiap tawanan mempunyai hak untuk menjalankan kegiatan keagamaan, intelektual, dan jasmani yang diperlukan bagi dirinya. Penulis
setuju
dengan
peraturan
ini
karena
walaupun mereka ditawan tetapi mereka harus diberikan kesempatan untuk menjalankan hak-hak mereka. Hal ini menandakan bahwa dalam Hukum Humaniter Internasional juga masih menjunjung nilai-nilai HAM. (g) Disiplin Pengaturan Disiplin dalam Hukum Humaniter Internasional diatur dalam Pasal 39 – 42 Konvensi III Jenewa 1949. Inti dari peraturan ini yaitu bahwa tawanan perang kecuali perwira harus memberi hormat kepada semua perwira negara penahan, sedangkan tawanan perang yang berpangkat perwira hanya memberi hormat kepada perwira-perwira negara penahan yang lebih tinggi pangkatnya. Penulis kurang setuju dengan peraturan ini karena peraturan di atas memperlihatkan bahwa adanya perbedaan perlakuan tawanan yang memiliki pangkat yang lebih tinggi dengan tawanan perang yang pangkatnya lebih rendah. Hal ini
tidak
dapat
dikatakan
benar
karena
seharusnya
pemberlakuan sikap disiplin harus diterapkan menyeluruh kepada semua tawanan perang bukan hanya diterapkan berdasarkan pangkat tawanan perang saja.
(h) Pangkat Tawanan Perang Mengenai pangkat tawanan perang, diatur dalam Pasal 43-45 Konvensi III Jenewa 1949 yang intinya yaitu setiap tawanan perang diperlakukan dan dihormati sesuai dengan pangkat mereka. Penulis sangat tidak setuju dengan peraturan ini karena perlakuan tersebut akan menimbulkan ketidak adilan bagi setiap tawanan perang, dan menunjukkan betapa hinanya hal
tersebut
karena
memperlakukan seseorang hanya
berdasarkan pangkatnya saja. Peraturan ini menunjukkan kekurangan
Hukum
Humaniter
Internasional
dalam
menerapkan nilai-nilai HAM. (i) Tenaga Kerja Tawanan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional, Tenaga kerja tawanan perang diatur dalam Pasal 49-57 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa setiap tawanan perang harus dipekerjakan sesuai dengan umur, jenis kelamin, pangkat dan pebawaan jasmani dengan maksud untuk memelihara kesehatan jasmani dan rohani mereka. Penulis kurang setuju dengan peraturan ini karena yang pertama bahwa peraturan ini hanya bersifat eksploitasi para tawanan perang karena bila hanya ingin menjaga kondisi kesehatan jasmani dan rohani, maka hal tersebut sudah dapat digantikan dengan berbagai kegiatan jasmani, rohani dan intelektual yang telah diatur di dalam Pasal Pasal 34-38 Konvensi III Jenewa 1949. Kedua, peraturan ini sekali lagi membedakan perlakuan para tawanan hanya dilihat dari sebuah pangkat, hal ini menunjukkan bahwa Hukum Humaniter
Internasional
masih
menerapkan nilai-nilai HAM.
sangat
kurang
dalam
(j) Wakil Tawanan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional, wakil tawanan perang diatur dalam Pasal 79-81 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya menyebutkan bahwa para tawanan perang mempunyai tawanan perang yang berfungsi sebagai penghubung mereka dengan penguasa-penguasa penahan.
Negara
Internasional, Kesehatan
Pelindung,
dan
Gabungan
Komite
utusan-utusannya. dan
dengan
Palang dengan
Merah Komisi
Badan-badan
yang
memberikan bantuan kepada tawanan perang. Penulis setuju dengan konsep ini, karena dengan adanya perwakilan dari tawanan perang akan mempermudah dalam hal komunikasi antara para tawanan perang yang jumlahnya
banyak
dengan
penguasa-penguasa
negara
penahan. (k) Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, sanksi pidana dan sanksi disiplin diatur dalam Pasal 82-88 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 8 dan 12 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 yang pada intinya pasal-pasal tersebut menerangkan bahwa setiap tawanan perang harus mematuhi setiap peraturan yang ada pada negara penahan atau hukum internasional. apabila seorang tawanan perang melanggar peraturan-peraturan tersebut maka tawanan tersebut dapat dikenakan sanksi namun sebelumnya harus diadakan pengadilan untuk memeriksa dan memutus sanksinya. Penulis setuju dengan hal ini karena layaknya seseorang yang berada di negara lain maka orang tersebut harus mematuhi peraturan dari negara itu. walaupun, keberadaan tawanan perang bukan atas kehendaknya sendiri
namun tawanan perang harus mematuhi peraturan yang terdapat di negara penahan selama peraturan itu tidak melanggar hak-haknya. (l) Proses Peradilan Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, proses peradilan diatur dalam Pasal 99-108 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya menyatakan bahwa apabila seorang
tawanan
perang
dianggap
melakukan
suatu
pelanggaran maka sebelum ia diadili dan dijatuhi hukuman ,terlebih dahulu harus diadakan acara peradilan untuk memberi kesempatan pada tawanan untuk membela dirinya. proses peradilan ini dilakukan bukan untuk memberikan keputusan berakhirnya penawanan. Penulis setuju dengan peraturan tersebut, karena setiap orang mempunyai hak yang sama di depan hukum. Sehingga, dengan diadakannya pengadilan sebelum tawanan dijatuhi hukuman menandakan bahwa Hukum Humaniter Internasional telah memenuhi hak dari para tawanan. 4) Berakhirnya Penawanan Dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional,
berakhirnya penawanan para tawanan perang diatur dalam Pasal 109-121 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 11 dan 20 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907. Inti dari isi pasal-pasal tersebut yaitu berakhirnya tawanan perang menurut konsep Hukum Humaniter Internasional yaitu dengan cara dibebaskan tanpa
syarat
(dipulangkan
langsung
ke
negara
netral),
pembebasan pada akhir permusuhan, dan ketika tawanan meninggal. Penulis berpendapat dilihat dari tiga cara pembebasan tawanan perang tersebut, ketiganya hanya di putuskan dari kondisi tawanan perang. Hal ini menunjukkan bahwa konsep
penawanan yang diatur dalam Hukum Hukum Humaniter hanya penawanan biasa saja tanpa ada target yang dicapai dari penawanan yang telah mereka lakukan.
b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam 1) Pengertian Tawanan Perang Dalam Hukum Islam, pengertian dan kriteria tawanan perang tidak secara detail terdapat di dalam Al-Quran karena di dalam Al-Quran hanya disebutkan saja, pengertian dan kriteria terdapat dalam Tafsir Surat AT-Taubah [9] ayat 5 oleh Syaikh DR.Abdullah Azzam, Hadis Riwayat Abu Dawud dan pendapat seorang ulama yaitu Abdul Baqi Ramdhun. Dari beberapa sumber tersebut, pengertian tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk kedalam kriteria golongan orang-orang yang dapat ditawan, berada dibawah kekuasaan pasukan
Muslimin
dalam
perperangan.Sedangkan,
kriteria
tawanan perang adalah sebagi berikut. a) Orang-orang yang termasuk ke dalam anggota militer pihak lawan (kaum musyirikin). b) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang tidak ikut berperang c) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang ikut berperang d) kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, semua pemeluknya mempunyai kewajiban mengajak orang-orang yang belum memeluk Islam untuk memeluk Islam namun tidak secara paksa. adapun orang-orang nasrani dan yahudi diperangi dan ditawan apabila mereka mengadakan kerusakan dan kehancuran. Karena Hukum Islam bersumber dari nilai-nilai Islam maka hukumnya
bersifat wajib sehingga penulis berpendapat bahwa orang-orang tersebut layak dimasukkan kedalam golongan tawanan perang. 2) Perlindungan Umum Tawanan Perang Perlindungan umum tawanan perang dalam Hukum Islam di terdapat dalam sabda Rasulullah Saw., ”Perlakukanlah tawanan dengan sebaik-baiknya” dan ajaran Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk berbuat baik seperti dalam Al-Quran surat AlBaqarah [2] ayat 83 serta mengajarkan untuk saling menyayangi seperti dalam Al-Quran surat Al-Mumtahanah [60] ayat 7 dan masih banyak ayat-ayat lain yang mengajarkan berbuat baik dan kasih sayang. Selain itu, Hukum Islam tidak
membedakan
perlakukan antara tawanan berdasarkan pangkat, atau hal-hal yang lainnya. Inti dari ayat-ayat tersebut
yaitu Hukum Islam
memperlakukan para tawanan dengan penuh rasa kasih sayang. Penulis sangat setuju dengan perlakuan tehadap tawanan yang diatur dalam Hukum Islam.Perlakuan-perlakuan tersebut menandakan bahwa Hukum Islam adalah hukum yang nilai-nilai kemanusiaan. 3) Penawanan (a) Keputusan Penawanan Dalam Hukum Islam, permlaan penawanan diatur di dalam Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat 67 yang pada intinya penawanan hanya diperbolehkan ketika kondisi internal pasukan Muslimin sudah dapat dikatakan kuat baik secara kuantitas maupun kualitas. Apabila, kondisi pasukan Muslimin belum memenuhi mak sikap yang harus ditunjukkan kepada lawan adalah sikap keras bukan lemah lembut, hal ini supaya pasukan musuh merasa takut. Dari isi surat di atas, penulis berpendapat bahwa dalam konsep Hukum Islam dari awal penawanan sudah memiliki strategi
yang
diperhitungkan
dengan
matang.Hal
ini,
menandakan bahwa setiap gerak-geriknya sangat terkoordinir dengan baik sehingga setiap kegiatan yang akan dilakukan direncanakan dengan matang. (b) Memberi Makanan, Pakaian, dan Tempat Dalam hal pemberian makanan, hal tersebut diatur di dalam Al-Quran surat Al-Insaan [76] ayat 8-10 dan Sabda Rasulullah Saw., yang menyuruh memperlakukan tawanan dengan baik. Inti dari peraturan tersebut yaitu terpenuhinya semua kebutuhan yang dibutuhkan para tawanan. Penulis sangat setuju dengan peraturan ini, Sebagai hukum yang bersumber pada ayat-ayat suci Al-Quran, berbuat baik merupakan kewajiban yang diwajibkan dalam Al-Quran kepada semua pemeluknya. 4) Berakhirnya Penawanan Dalam Hukum Islam, berakhirnya penawanan diatur di dalam Al-Quran surat Muhammad [49] ayat 4,dan pendapat para ulama seperti Majid Khadduri, Al-Ustadz Ali Al-Khinan, Muhammad Ali Ash-Shabunni dan lain-lain. pada intinya berakhirnya penawanan menurut konsep Hukum Islam yaitu terdapat empat cara penawanan dan keempat cara tersebut diambil berdasarkan kemaslahatan umat manusia. Penulis
sangat
setuju
peraturan
ini
karena
setiap
keputusannya diambil berdasarkan kemaslhatan umat manusia sehingga bayak manfaat yang dapat dirasakan umat manusia.
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam. a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Dari persamaan yang telah diuraikan pada hasil penelitian di atas, membuktikan bahwa perlindungan tawanan perang yang diatur
dalam ketentuan pokok konvensi III Jenewa 1949, Protokol Tambahan I 1977, dan San Remo Manual terdapat beberapa hal yang sama dengan konsep Hukum Islam. Alfhia Parma, seorang pengamat perbandingan antara Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengungkapkan bahwa Hukum Islam telah meletakkan dasar-dasar
perlindungan tawanan
perang dari abad ke-7 M. Dilihat dari umur hukum Islam jauh lebih tua dari pada konvensi III Jenewa 1949 maupun dari Hukum Humaniter Internasional modern lainnya. Lebih dari 13 abad yang lalu agama Islam telah dengan sempurna
meletakan
prinsip-prinsip
Hukum
Islam
tentang
perlindungan terhadap para tawanan perang dengan semangat kemanusian, keadilan serta kesetaraan. Oleh karena itu, kaidah hukum Islam memainkan peranan penting sekaligus menjadi inspirasi terbentuknya konvensi III Jenewa 1949, sebenarnya konvensi III Jenewa 1949 banyak mengambil dasar-dasar hukum dari sayri'at Islam. Para pemikir Barat menyatakan hukum Islam lebih manusiawi dalam memberikan
perlindungan
terhadap
para
tawanan
perang.
(http://www.allbandung.com/abc-view-kat.php?field=132). Hal ini dibuktikan oleh Gustav Lebon, seorang pilosof berkebangsan Perancis yang melakukan studi komperatif antara panglima perang Islam Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan Richard The Lion Heart panglima perang Inggris, perbandingan itu ditinjau dari perlakuan yang diberikan oleh kedua panglima tersebut terhadap para tawanan perang yang mereka tawan, Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dalam perang Salibiyah (Salib) menawan tentara Nasrani dalam jumlah yang sangat banyak namun akhirnya semua tawanan tersebut dibebaskan oleh panglima Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan alasan diwaktu tersebut tentara muslim tidak memiliki makanan yang cukup untuk kebutuhan para tawanan perang Salibiyah tersebut, perlakuan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh panglima
Inggris Richard The Lion Heart, dimana Richard telah membunuh tiga ribu tentara Islam yang ditawannya, padahal para tawanan tersebut adalah tentara Islam yang menyerah setelah ada perjanjian bahwa mereka tidak akan dibunuh setelah ditawan, drama tragis ini selanjutnya dilakukan lagi oleh Napoleon Bonaparte yang menawan penduduk kota Syam ketika menduduki kota Akka, Bonaparte yang mengetahui tentaranya tidak mempunyai persiapan makan yang cukup untuk kebutuhan para tawanan dengan kejam justru memenggal semua tawanan perang tersebut. Studi di atas bukan ditujukan untuk membandingkan pribadi Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan Richard The Lion Heart ataupun dengan Napoleon Bonaparte, namun yang akan dijelaskan adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam (hukum positif Islam) telah meletakkan dasar hukum humaniter mengenai pemberian makanan yang baik terhadap tawanan perang jauh sebelum Konvensi III Jenewa 1949 terbentuk. Hukum Islam memberikan perintah untuk memberikan makanan yang baik terhadap tawanan perang jika pihak penahan tidak memiliki makanan yang cukup bagi tawanan perang hukum Islam mengharuskan untuk membebaskan mereka sehingga tawan perang tersebut tidak mati kelaparan. seperti diatur did alam AlQuran surat Al-Insaan[76] ayat 8. "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan". Itulah yang menyebabkan terdapatnya persamaan antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam. Dimana Para pemikir barat banyak yang mengambil dasar-dasar hukum dari syari’at Islam yang kemudian dituangkan kedalam Konvensi III Jenewa 1949 yang mengatur tentang tawanan perang.
b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Walaupun sebenarnya Hukum Humaniter Internasional meniru dan mengambil dasar-dasar Hukum Islam dalam memperlakukan para tawanan perang. Namun, ketika penulis melihat lebih detail mengenai peraturan perlakuan tawanan perang yang ada dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Untuk mempermudah dalam melihat perbedaan antara kedua konsep hukum, maka penulis mengklasifikasikan perlakuan tawanan perang dalam beberapa fase. fase-fase perbedaan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian hasil penelitian, penulis berpendapat bahwa antara konsep Hukum Humaniter Internasional dan konsep Hukum Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai orang-orang yang dimasukkan ke dalam golongan tawanan perang. Namun, dari kedua konsep hukum tersebut yang terlihat lebih bersifat manusiawi yaitu konsep Hukum Islam. Ketika suatu negara dapat dikalahkan oleh pihak lawannya maka suatu hal yang logis bila negara tersebut dikuasai oleh negara pihak yang menang. Begitu pun yang dimaksudkan dalam Hukum Islam dalam memasukkan penduduk sipil yang tidak ikut berperang termasuk ke dalam orang-orang yang dapat menjadi tawanan perang. Hal ini dilakukan supaya penduduk sipil tersebut lebih terjamin keberlansungan hidupnya dan penduduk sipil yang tidak ikut berperang tidak akan mendapatkan hukuman yang sama seperti halnya para tentara militer yang tertawan dan para . 2) Penawanan Fase yang pertama yaitu pada saat tawanan perang mulai ditawan yang kemudian dilanjutkan dengan penawanan terhadap
mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Fase penawanan ini, dibagi ke dalam beberapa point sebagai berikut. (a) Keputusan Penawanan Dari pemaparan perbandingan mengenai “keputusan penahan” pada bagian hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa konsep Hukum Humaniter Internasional tidak seteliti konsep Hukum Islam. Hal ini karena pada konsep Hukum Humaniter Internasional, tidak ada strategi dalam melakukan memutuskan penawanan terhadap pihak musuh. Sedangkan, dalam konsep Hukum Islam, strategi dalam memutuskan penawanan itu terlihat dari pemahaman kaum Muslimin terhadap kondisi yang ada. Sehingga, dalam mengambil keputusan pasukan Muslimin tidak hanya asal menawan. Namun, dengan melihat kondisi terlebih dahulu, baru mereka memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. (b) Penawanan (1)
Pangkat Tawanan Perang Dari pemaparan kedua konsep hukum pada bagian hasil penelitian di atas mengenai “Pangkat Tawanan” dapat memperlihatkan bahwa dalam memperlakukan manusia,
Hukum
Humaniter
Internasional
hanya
didasarkan pada pangkat kedudukan yang dimiliki oleh orang tersebut (para tawanan perang). Sehingga, sikap dan perlakuan yang selalu muncul adalah sikap dan perlakuan yang tidak seimbang kepada setiap orang. Sedangkan, Hukum Islam adalah hukum yang memiliki karakteristik kemanusiaan (Al-Insaniyah). Hal ini
karena,
Hukum
Islam
menghormati
manusia
sebagaimana kapasitasnya sebagai manusia, tidak dari yang lainnya, yaitu asal keturunan,ras,harta,jabatan, dan
asal daerah. Semua unsur kesukuan tidak menjadi pertimbangan dan tidak menjadi unsur pembeda. (2)
Tenaga Kerja Tawanan Perang Dari penjabaran perbedaan kedua konsep hukum pada bagian hasil penelitian di atas, perbedaan di atas memperlihatkan adanya perbedaan mendasar dalam hal memperlakukan tawanan perang. Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, seorang tawanan perang sudah dapat dipekerjakan atau disuruh untuk melakukan perbuatan yang lain. Sebelum adanya putusan yang menerangkan tentang kejelasan hukuman yang akan mereka terima. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan hukuman mereka dalam menjalani masa tawanan tersebut. Dalam konsep Hukum Islam, terlebih dahulu harus ada putusan dari seorang imam tentang kejelasan putusan hukuman yang diterima oleh para tawanan perang. Sehingga, sebelum adanya putusan dari seorang imam maka tawanan perang belum dapat diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan, mereka diperlakukan dengan baik dan dijamin akan kesehatannya.
(3)
Wakil Tawanan Perang Dari pemaparan perbedaan kedua konsep pada bagian
hasil
penelitian
di
atas,
memperlihatkan
bagaimanakah hubungan antara tawanan perang dengan penguasa yang ada pada kedua konsep hukum diatas. Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, terlihat bahwa hubungan tersebut sangatlah tidak fleksibel karena harus ada perantara antara tawanan perang dengan pihak penguasa. Hal ini juga memperlihatkan bagaimanakah sikap dari para penguasa yang ternyata
jarang berhadapan langsung dengan para tawanan yang mengindikasikan bahwa para penguasa tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya dari para tawanan. Hal
ini,
secara
tidak
langsung
juga
dapat
menggambarkan kondisi hubungan penguasa dengan rakyatnya. Banyaknya peraturan dan prosedur yang ada, membuat jarang sekali seorang penguasa berinteraksi langsung dengan rakyatnya yang menyebabkan bahwa para penguasa hanya mengetahui kondisi rakyatnya melalui
data-data
yang
kevalidasiannya
dapat
dimanipulasikan. Sehingga, seorang penguasa tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya. Dalam konsep Hukum Islam, seorang penguasa senantiasa menengok kondisi dari tawanannya sehingga setiap permasalahan yang dialami oleh tawanan perang dapat
langsung
disampaikan
kepada
imam
yang
bersangkutan dan dapat langsung diselesaikan. Hal ini mengindikasikan, bahwa hubungan yang terjalin antara penguasa dengan rakyatnya berjalan dengan baik karena Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan dan keadilan merupakan hal yang utama, sehingga, seorang pemimpin senantiasa berkeliling untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Contohnya yaitu : “ Anas ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW. menjenguk
orang
sakit,
menyaksikan
jenazah,
mengendarai keledai, dan memenuhi undangan hamba. (Zad al-Ma’ad dalam Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an’Nadwi, 2001:540)” (4)
Disiplin Dari pemaparan perbedaan kedua konsep hukum pada bagian hasil penelitian di atas, penulis berpendapat
bahwa perlakuan yang diberikan kepada tawanan perang dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional
membedakan antara tawanan perang yang berpangkat tinggi dengan tawanan perang yang meiliki pangkat lebih rendah. berbeda dengan konsep Hukum Islam yang memberlakukan peraturan disiplin untuk semua tawanan perang
tanpa
membeda-bedakan
tawanan
perang
berdasarkan pangkat atau kedudukannya. Hal ini, menandakan bahwa di dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, konsep keadilan belum dapat diterapkan seutuhnya karena masih memperlakukan seseorang hanya berdasarkan pangkat. (5)
Proses Peradilan Dari pemaparan perbedaan kedua konsep hukum pada bagian hasil penelitian di atas, sangatlah jelas terlihat
bahwa
Internasional,
dalam
konsep
peradilan
yang
Hukum ada
Humaniter
bukan
untuk
memutuskan tentang berakhirnya penawaman. putusan peradilan yang ada dalam konsep Hukum Humaniter Internasional hanya memberikan putusan terhadap pelanggaran yang diperbuat tawanan perang selama mereka berada dalam masa penawanan. Dalam konsep Hukum Islam, proses peradilan yang ada selain memberikan putusan terhadap pelanggaranpelanggaran yang dilakukan selama masa penawanan, peradilan itu juga bertujuan untuk memberikan putusan tentang berakhirnya penawanan. 3) Berakhirnya Penawanan Dari pemaparan kedua konsep hukum pada bagian hasil penelitian di atas, memperlihatkan bahwa Hukum Islam sebagai pelaksana atau penerapan agama Islam lebih bersifat jelas (Al-
Wudhuh), dan bersifat kemanusiaan (Al-Insaniyah) dibandingkan dengan konsep Hukum Humaniter Internasional. Hukum Islam dikatakan bersifat jelas (Al-Wudhuh), hal ini karena Islam adalah risalah yang jelas baik yang berhubungan dengan asas-asasnya, sumber hukumnya, sasaran dan tujuan, maupun kejelasan sistem dan jalan penyelesaiannya (Tim BPA AAI, 2007:93), dalam hal ini Hukum Islam lebih memberi kejelasan dalam hal pemberian putusan akhir kepada para tawanan perang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan umat Muslimin pada khususnya. Sehingga, hal ini lebih memperjelas tujuan dari diadakannya penawanan terhadap para tawanan perang. Hal ini berbeda dengan konsep Hukum Humaniter Internasional yang tidak adanya kejelasan dalam melakukan penawanan kepada para tawanan perang, terbukti dari tidak adanya tujuan yang ingin dicapai dari adanya penawanan dan setelah penawanan tersebut diakhiri. Hukum Islam bersifat kemanusiaan (Al-Insaniyah), hal ini karena Hukum Islam merupakan hukum yang menjujung nilai-nilai hak asasi manusia selain manusia juga melakukan kewajibankewajiban yang diembannya (Tim BPA AAI, 2007:85). Dalam kaitannya dengan hal ini, bahwa setiap putusan yang diambil oleh seorang imam berdasarkan kemaslahatan umat manusia. Sehingga, umat Muslim pada khususnya yang telah dirampas, dihina bahkan dianiaya haknya dapat merasa tenang karena hal-hal tersebut tidak akan menimpa saudara-saudaranya yang lain dengan keputusan yang telah diambil oleh imam. Hukum Islam terkesan merupakan hukum yang tidak bersifat manusiawi karena dengan mudahnya merampas nyawa (qishas), memotong tangan bagi hukuman orang yang mencuri, hukuman cambuk bagi orang yang berjudi dan rajam bagi orang yang berbuat zina. Namun, sebenarnya hal tersebut tidaklah benar ketika
dipandang dari sudut pandang untuk kemaslahatan umat manusia, karena pemberian sanksi dengan menimbulkan efek jera akan membawa dampak positif baik si pelaku maupun bagi masyarakat lainnya. Bagi si pelaku yang mendapat hukuman, maka ia tidak akan mengulangi perbuatannya kembali karena ia akan mendapatkan hukuman yang sama ketika ia ketahuan mengulangi perbuatannya dan rasa malu yang hinggap pada dirinya atas hukuman yang diterimanya karena perbuatan yang telah ia lakukan. Bagi orang lain atau masyarakat, akan berpikir ulang atau berpikir kembali ketika akan melakukan perbuatan yang dilarangnya. Sehingga, dapat mencegah
masyarakat
untuk
melakukan
perbuatan
yang
bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam pemberian putusan hukuman eksekusi bagi tawanan perang, seorang imam tidak boleh asal menjatuhkan putusan tersebut karena sebelum diberikan putusan eksekusi, harus terdapat alas an yang dapat diterima bahwa tawanan perang tersebut telah melakukan perbuatan yang hanya dapat ditembus dengan hukuman eksekusi. Begitupun, dengan hukuman-hukuman yang lain, dimana setiap hukuman-hukuman dalam konsep Hukum Islam memiliki makna tersirat untuk kemaslahatan umat manusia. Muhammad Abdul Qodir Abu Faris menyatakan bahwa seorang tawanan perang yang dihukum menjadi budak, haruslah juga diputuskan dengan dasar akan membawa kemaslahatan kaum Muslimin secara umum dan perlakuan yang setimpal terhadap musuh, agar kewibawaan kaum Muslimin tidak lemah di mata musuh-musuh mereka, juga agar para tawanan kaum Muslimin tidak diperlakukan dengan buruk bila mereka diperbudak sedangkan para tawanan musuh dibiarkan bersenang-senang (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 1998: 141).
Untuk mempermudah dalam melihat dan memahami persamaan dan perbedaan yang terdapat di dalam Konsep Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengenai perlakuan tawanan perang, penulis memasukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tersebut dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Persamaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang
No
Persamaan
Hukum Humaniter
Hukum Islam
Internasional 1.
Perlindungan Umum - memperlakukan tawanan - Memperlakukan tawanan dengan baik. - tidak
boleh
dengan baik. menyakiti - tidak
tawanan perang. 2.
boleh
menyakiti
tawanan perang.
Penawanan a.patuh
terhadap - Para
peraturan
negara
penahan.
b.sarana&prasarana
c.Penempatan tawanan perang
d.Kegiatan Keagamaan,
tawanan
perang - Para
tawanan
perang
mematuhi peraturan yang
mematuhi peraturan yang
ada pada negara penahan
ada pada negara penahan
selama tidak melanggar
selama tidak melanggar
hukum agamanya.
hukum agamanya.
- Para
tawanan
perang - Para
tawanan
perang
mendapakan berbagai fa
mendapakan berbagai fa
silitas sarana & prasa
silitas sarana & prasa
rana yang dibutuh kan.
rana yang dibu tuh kan.
- Menempatkan perang
tawanan - Menempatkan
ditempat
yang
perang
tawanan
ditempat
yang
kondusif dan aman dari
kondusif dan aman dari
daerah terjadinya perang.
daerah terjadinya perang.
- Memberikan keempatan - Memberikan keempatan kepada tawanan perang
kepada tawanan perang
Intelektual,
dan
Jasmani
e. Sanksi-sanksi
untuk
melaksanakan
untuk
melaksanakan
berbagai kegiatan yang
berbagai kegiatan yang
dianggap penting bagi
dianggap penting bagi
dirinya.
dirinya.
- sanksi-sanksi
ini
dibe - sanksi-sanksi
ini
dibe
rikan dimaksudkan apabi
rikan dimaksudkan apabi
la para tawanan perang
la para tawanan perang
melanggar peraturan-per
melanggar peraturan-per
aturan yang terdapat di
aturan yang terdapat di
dalam negara penahan.
dalam negara penahan.
hal
hal
bahwa
ini
menandakan para
tawanan
ini
bahwa
menandakan para
tawanan
perang harus mematuhi
perang harus mematuhi
peraturan yang ada pada
peraturan yang ada pada
negara penahan.
negara
penahan.selama
tidak melanggar ktentuan ajaran Islam. f. Proses Peradilan
- Dalam
hal
pemberian - Dalam
hal
pemberian
putusan dalam konsep
putusan dalam konsep
Hukum Humaniter Inter
Hukum Islam mengatur
nasional mengatur bahwa
bahwa sebelum tawanan
sebelum tawanan perang
perang diberikan huku
diberikan hukuman atas
man atas kesalahan yang
kesalahan yang telah dila
telah dilakukannya terle
kukannya terlebih dahulu
bih dahulu harus ada
harus ada proses pera
proses peradilan untuk
dilan untuk menen tukan
menentukan apakah tawa
apakah tawanan tersebut
nan
bersalah atau tidak serta
atau tidak serta memu
memutuskan putusan apa
tuskan putusan apa yang
tersebut
bersalah
yang
tepat
untuk
tepat
untuk
tawanan
tawanan tersebut apabila
tersebut apabila tawanan
tawanan tersebut terbukti
tersebut terbukti bersalah
bersalah 3.
Berakhirnya
Para tawanan perang dibe Para tawanan perang dibe
penawanan
baskan tanpa syarat ketika baskan tanpa syarat ketika perperangan sudah selesai. perperangan sudah selesai.
Tabel 2.
Perbedaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang
No
Perbedaan
Hukum Humaniter
Hukum Islam
Internasional 1.
Pengertian Kriteria
dan Dalam konsep Hukum Dalam
konsep
Hukum
Humaniter Internasional, Islam, penduduk sipil yang penduduk sipil yang tidak tidak
ikut
ikut berperang tidak dima dimasukkan
berperang ke
dalam
sukkan ke dalam golo golongan tawanan perang. ngan tawanan perang. 2.
Penawanan a.Keputusan untuk Tidak adanya alasan yang Adanya Penawanan
menjadi
acuan
alasan
yang
bagi menjadi acuan bagi kaum
tentara dalam memutus Muslimin dalam memutus kan melakukan
tentara kan
melakukan
penawa
untuk melakukan penawa nan, alasan tersebut yaitu nan terhadap musuh yang melihat kondisi internal tertangkap. apakah harus dari pasukan Muslimin, diatawan
atau
tidak. apakah kondisinya sudah
Sehingga, setiap tawanan kuat baik dari segi kualitas perang yang tertangkap maupun
kuantitas
atau
langsung ditawan. Sehin belum, kalau sudah maka
gga,
dalam
konsep pasukan Muslimin boleh
Hukum Humaniter Inter melakukan
penawanan.
nasional tidak terdapat Sehingga, dalam konsep strategi
dari
awal Hukum
penawanan.
Islam
strategi
dari
terdapat awal
penawanan. b. Penawanan 1.Pangkat Tawa Adanya nan Perang
perbedaan Semua
tawanan
perang
perlakuan antara tawanan mendapatkan perlakuan ya perang dilihat dari pang ng sama (hak dan kewaji katnya. Sehingga hak dan ban yang sama) karena kewajiban yang diberikan semua orang sama diha antara tawanan yang pang dapan Allah yang membe katnya rendah berbeda dakannya hanya tingkat dengan
tawanan
yang ketaqwaannya saja dan itu
pangkatnya lebih tinggi.
hanya Allah yang menge tahuinya.
2.Tenaga Tawanan ng
Kerja Yang menjadi pembeda Dalam konseop Hukum pera yaitu dalam hal waktu Islam, waktu mempeker memperkerjakan
para jakan para tawanan perang
tawanan
Pada setelah
perang.
adanya
putusan
Konsep Hukum Humani dari Imam tentang huku ter Internasional , Para man yang akan diterima tawanan perang dipeker oleh
tawanan
perang,
jakan setiap saat selama sebelum adanya putusan masa penawanan.
dari imam, maka para tawanan
perang
harus
diperlakukan dengan baik dan tidak
diperbolehkan
dipekerjakan.
3.Wakil
Tawanan Terdapat wakil tawanan Tidak
Perang
perang
yang
terdapat
wakil
berfungsi tawanan perang, karena
sebagai perantara antara seorang imam senantiasa tawanan perang dengan melihat
kondisi
dari
penguasa
negara tawanan perang, sehingga
penahan.
tawanan perang langsung dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
4.Disiplin
Dalam konsep Hukum Dalam
konsep
Hukum
Humaniter Internasional, Islam,peraturan disiplin ini peraturan
disiplin
ini diberlakukan bagi semua
hanya diberlakukan bagi tawanan para
tawanan
perang
tanpa
perang membedakan pangkat dan
yang memiliki pangkat jabatan. yang lebih rendah. 5.Proses Peradilan
Peradilan yang dimaksud Peradilan yang dimaksud yaitu
ditujukan
untuk yaitu selain untuk meng
mengadili para tawanan hasilkan sebuah keputusan perang yang melanggar tentang pelanggaran yang peraturan
dari
negara dilakukan tawanan, peradi
penahan
dan
hukum lan itu juga memberikan
internasional.Tidak pengadilan berikan
ada kejelasan berakhirnya pena
yang
mem wanan dengan hukuman
putusan
untuk yang akan dijatuhkan dan
menentukan berakhirnya dilaksanakan penawanan. 3.
Berakhirnya wanan
Pena Berakhirnya
oleh
para
tawanan perang. penawanan Berakhirnya
penawanan
terhadap tawanan perang terhadap tawanan perang hanya di dasarkan dari di dasarkan pada putusan kondisi dari para tawanan hukuman
yang
diambil
perang
dan
keberlang oleh seorang imam, dima
sungan perang tersebut. na setiap keputusan yang saja.
diambil di dasarkan untuk kemaslahatan umat manu sia pada umumnya dan umat Muslimin pada khu susnya. Sehingga, setiap tawanan
perang
menda
patkan hukuman yang ting katannya berbanding lurus dengan kadar kejahatan yang mereka lakukan.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab III, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengaturan perlakuan tawanan perang diatur dalam Bab III Konvensi Jenewa 1949 pasal 4-121, Pasal 1- 20 Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907, Pasal 11, 43, dan 44 Protokol Tambahan I 1977, Pasal 165 San Remo Manual 1994. Pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Islam yaitu terdapat dalam AlQuran dan As-Sunah. 2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam
a. Persamaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Persamaan pengaturan mengenai perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam yaitu terdapat dalam hal perlindungan umum tawanan perang, mematuhi peraturan negara penahan, sarana dan prasarana yang memadai, penempatan tawanan perang, berbagai kegiatan yang diperlukan tawanan,sanksi, proses peradilan dan berakhirnya penawanan. b. Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam Perbedaan pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam yaitu terdapat dalam hal pengertian dan kriteria tawanan perang, keputusan untuk melakukan penawanan, pangkat tawanan perang, penerapan peraturan disiplin, tenaga kerja tawanan perang, wakil tawanan perang, proses peradilan, dan berakhirnya penawanan. Di antara perbedaan-perbedaan peraturan tersebut, ternyata Hukum Islam lebih bersifat universal, kemanusiaan, keadilan, memiliki target atau tujuan yang jelas, dan mengedapankan kemaslahatan umat manusia.
B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut. Untuk para pembaca yang berminat dengan tema ini, diharapkan dapat meneliti lebih lanjut perbandingan antara Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengenai perlakuan tawanan perang baik secara normatif maupun secara empiris DAFTAR PUSTAKA Abu Yusuf, Ya’qub Ibnu Ibrahim al-Anshari.1931. Kitab al-Kharaj. Kairo Abdullah Azzam.2005.Di Bawah Naungan SURAT AT-TAUBAH. edisi terjemahan Ibadurrahman. Solo : Pustaka Al-‘Alaq.
Abdul Baqi Ramdhun.2005. Al-Jihad Sabiluna (Jihad Jalan Perjuangan Kami). edisi terjemahan oleh Abdurrahman.Solo : Pustaka Al‘Alaq. Abdul Hasan Ali Al-Hasani an Nadwi.2007. Sirah Nabawiyah. edisi terjemahan
oleh
Muhammad
Halabi
Hamdi.
Yogyakarta:
Mardhiyah Press. Ade Maman Suherman. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung :PT.Citra Aditya Bakti. Alfhia Parma. Pertemuan Hukum Humaniter Internasional; Hukum Islam.
( 11 Januari 2007 pukul 12.11). Ali Abdul Halim Mahmud. 2001. Fiqih Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan Al-Bana,RUKUN JIHAD, Kajian Tuntas Tentang Konsep Mempertahankan Eksistensi Umat. Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat. Anonim. 2001. Kenalilah ICRC, International Committe of The Red Cross. _______.2003. Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Jakarta : Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta : International Committe of The Red Cross. Barda Nawawi Arief.2003. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Edisi ke-2. bandung : PT. Alumni. Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : PT. Syaamil Cipta Media. Fadillah Agus. 1997. Hukum Humaniter Suatu Prespektif. Jakarta : PT. Massma Sikumbang. Geoffrey Best.1994. WAR & LAW Since 1945. New York : Oxford University Press Inc.
Haryomataram.1994. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter. Surakarta : Sebelas Maret Press. _______.1984. HUKUM HUMANITER. Jakarta : CV.Rajawali. Imam Abu Zakaria Yahya. 1976. Riyadus Solihin I. edisi terjemahan oleh Salim Bahreisy. Bandung : PT Al-Ma’arif. Indianto S. 2005. Skripsi ” Studi Perbandingan Hukum Kartu Kredit Antara Hukum Positiv Indonesia dan Hukum Islam”. Surakarta : FH UNS. Jhonny Ibrahim.2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing. Majid Khadduri.2002. War and Peace In The Law of Islam. edisi terjemahan oleh Kuswanto.Yogyakarta: Tarawang Press. Mochtar Kusumaatmadja. 1980.” Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan
dan
Penerapannya
di
Indonesia”.
Makalah.
Disampaikan pada Simposium tentang Hukum Humaniter, Mohammad Daud Ali. 1999.HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. M. Farkhan M., Moh.Muchtarom dkk. 2006. Pendidikan Agama Islam. Surakarta : UNS Press. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris. 1998. Analisis Aktual Perang Badar dan uhud Di Bawah Naungan Sirah Nabawiyah. edisi terjemahan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tahmid. Jakarta : Rabbani Press. Muhammad Ali Ash-Shabuni.2003. Tafsir Ayat Ahkam I dan II. edisi terjemahan
oleh
Muu’amal
Hamidy
dan
Drs.
Imron
A’Manan.Surabaya : PT. Bina Ilmu. Nurcholish Madjid.Sejarah Awal Penyusunan dan Pembukuan Hukum Islam. (tanggal 19 Desember 2007). Romli Atmasasmita.2000.Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : CV.Mandar Maju. R. Soeroso.1999. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika.
Sayyid Quthb.2003.Al-Quran, Terjemahan Tafsir fi zhilalil-Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an. Jilid 5. edisi terjemahan As’ad Yasin, dkk. Jakarta:Gema Insani Press. _______. 2003. .Al-Quran, Terjemahan Tafsir fi zhilalil-Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an. Jilid 10. edisi terjemahan As’ad Yasin, dkk. Jakarta:Gema Insani Press. Sayyid Sabiq.1984. Fiqh Sunnah 9. edisi terjemahan oleh Kamaluddin A Marzuki. Bandung : PT. Al-Ma’arif. Shafiyyurrahman Al-Mubarak Furry .2005. Sirah Nabawiyah. edisi terjemahan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Timur : Pustaka AlKautsar. Soedjono Dirdjosisworo.2000.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto .1986. Pengantar penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Pt.Raja Grafindo Persada. Sunaryati Hartono. 1991. Kapita Selecta Perbandingan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti. Sulaiman Rasyid. 2006. Fiqih Islam. Bandung : PT. Sinar Baru. Syahmin A.K. 1985. Hukum Humaniter Internasional 1 Bagian Umum. Bandung : CV Armico. Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir.1933.Kitab al-jihad wa Kitab alJizya wa Ahkam al-Muharibin min Kitab Ikhtilaf al-Fuqaha. Leiden :J.Schaht (ed) Taufiq
Ali Wabah. 1985. Jihad Dalam Islam . Jakarta Pusat : Media Dakwah.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.2002.Al BAYAN Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim. Semarang: PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA.
Tim BPA AAI. 2007. Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta : Nurulhuda Press. TMA.
Secara
Catatan Rahasia Militer
Tawanan Guantanamo Disiksa
Seksual.
(6 juni
2007 pukul 21.24). _______Desakan Powell pada Rumsfel
Percepat Proses Tawanan
Guantanamo. (6 juni 2007 pukul 21.24). Usep
Romli H.M. Terungkap Lewat Dokumen-dokumen Penting AS Menyiksa Tawanan Sudah Sering Terjadi.< http://www.pikiranrakyat.com/cetak/ 2005/0605/12/09 .htm> (tanggal 6 Juni 2007 pukul 21.24).
_______.Perlakuan Amerika terhadap Tawanan Perang. (tanggal 6 Juni 2007 pukul 21.24). Yerry
Niko
Borang.
Lagi,
Penjara
Guantanamo
Telan
Korban.
(tanggal 6 Juni 2007).