PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Irfan Islami Berbicara tentang Hukum Internasional tidak lepas dari topik utamanya adalah Negara dan Organisasi-organisasi internasional sebagai subyek hukumnya. Negara menjadi subyek utama dalam teori hukum internasional seperti halnya perorangan (warga) dalam Hukum Nasional atau Hukum Privat. Dengan semakin berkembangnya Negara dewasa ini maka aturan dan disiplin internasional menjadi pilar penting dalam mengatur relasi internasional antar Negara satu dengan yg lainnya. Aturan dan disiplin internasional antar bangsa inilah yg menjadi poin pembahasan dari Hukum Internasional. Hukum internasional telah muncul berabad-abad lamanya, diketahui sejak 2100 SM telah ada Hukum yg mengatur hubungan antar dua negara pada wilayah Mesopotamia. Dengan semakin berkembangnya zaman dan era dari klasik hingga modern, hal ini mempengaruhi semakin berkembangnya teori Hukum Internasional dari para pemikir dan ilmuwan dizaman-zaman tertentu. Kajian Hukum internasional bukanlah kajian hukum yg berumur tua dan bersifat absolut, terhitung sejak berabad-abad sebelum masehi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geografis serta tatanan administratif dan politik antar negara satu dgn yang lainnya. Perumusan hasil kajian atas hubungan antar bangsa-bangsa ini menjadi suatu disiplin keilmuan yg telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional. Hal ini bukan berarti bahwa hukum internasional saat ini belum menemukan sedikitpun konsensus ilmiah di bidang hukum yang mengalasi hamparan pandangan para pakar yang terus dan kian berkembang. Hanya saja prinsip hukum yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar untuk selalu berubah dan bergeser sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu sendiri. Sebelum kita masuk pada tujuan pembahasan, perlu kita jelaskan terlebih dahulu pengertian hukum internasaional itu sendiri. Dewasa ini, pengertian hukum internasional (international law/al-qonun al-dauli) telah mencapai konsensus umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan peraturan dan norma-norma hukum yang diberlakukan untuk mengatur hubungan-hubungan subyek hukum internasional (bangsa-bangsa dan entitas lainnya, seperti lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional), yang menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta batasan-batasan relasi yg tercipta antara para subjek hukum internasional dan perusahaan multinasional atau individu (Warga Negara). Dari devinisi diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian hukum internasional mencakup 3 prinsip: - Prinsip pertama: yang berhak dan tunduk pada hukum internasional adalah subyek hukum internasional (international personality/askhos al-qonun al-dauli) yg terdiri atas
Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional. - Prinsip kedua: hubungan yg berlaku adalah hubungan internasional (international relation/al-‘alaqat al-dauliyah). - Prinsip ketiga : `kaidah-kaidah dan norma-norma hukum internasional merupakan kaidah wajib (obligation rules/al-qowa’id al-mulzimah) . Akar Sejarah Hukum Internasional Publik Hukum internasional publik sangat terkait dengan pemahaman dari segi sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi perkembangan hukum internasional dapat diketahui secara faktual kronologis, melainkan juga seberapa jauh kontribusi setiap masa bagi perkembangan hukum internasioanal. Sejarah merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan/adat istiadat (custom/al-‘urf). Sistem Hukum Internasional merupakan suatu produk, kasarnya dari empat ratus tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa modern dalam hubungan serta komunikasinya dengan negara-negara lain. Tapi kita pun perlu melihat jauh sebelum perkembangan zaman Eropa Modern yaitu pada periode klasik, beberapa Negara telah melaksanakan Hukum Internasional secara tidak langsung, dan adapun para ahli yang lahir sebelum zaman Eropa Modern tersebut dipandang telah memunculkan dasar-dasar dari pemikiran mengenai adat-istiadat yang ditaati oleh masyarakat serta adanya beberapa kasus sejarah, seperti penyelesaian arbitrasi (perwasitan) pada masa Cina Kuno dan awal Dunia Islam yang memberikan sumbangan terhadap evolusi sistem modern Hukum Internasional. Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi yang terbilang berkembang dengan cepat dan menarik. Fase-fase tersebut dapat kita bagi dalam 3 pembahasan; Periode Kuno, Periode Klasik dan Periode Modern: A. Sejarah Hukum Internasional Kuno: Permulaan hukum internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma. Perjanjian tersebut ditulis diatas batu yang didalamnya mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut, yang dirumuskan dalam bahasa Sumeria. Bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional kuno adalah India, Yahudi, Yunani, Romawi, Eropa Barat, Cina dan Islam: a. India Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-
raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum. b. Yahudi Dalam Kitab Perjanjian Lama, bangsa yahudi mengenal ketentuan mengenai perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Perjanjian Lama adalah kitab suci bagi umat Yahudi, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa ibrani. Dalam hukum perang masih dibedakan perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang. c. Yunani yunani kuno dibagi kedalam dua Golongan, yaitu Golongan Orang Yunani dan Luar Yunani yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Mereka juga sudah mengenal arbitration (perwasitan) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan terbesar dari masa ini adalah Hukum Alam, yaitu hukum yang berlaku mutlak dimana saja dan berasal dari rasio/akal manusia. Menurut Profesor Vinogradoff, hal tersebut merupakan embrio awal yang mengkristalisasikan hukum yang berasal dari adat-istiadat, contohnya adalah dengan tidak dapat diganggugugatnya tugas seorang kurir dalam peperangan serta perlunya pernyataan perang terlebih dahulu. Dalam prakteknya dengan hubungan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan yang sangat mengesankan dalam kaitannya dengan permasalahan publik. Akan tetapi, sebuah hal yang sangat aneh bagi sistem arbitrase modern yang dimiliki oleh arbitrase Yunani adalah, kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari pihak yang dimenangkannya. d. Romawi Pada masa ini orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis Hukum, yaitu Ius Ceville (Hukum bagi Masyarakat Romawi) dan Ius Gentium (bagi Orang Asing). Hanya saja, pada zaman ini tidak mengalami perkembangan pesat, karena pada saat itu masyarakat dunia merupakan satu Imperium, yaitu Imperium Roma yang mengakibatkan tidak adanya tempat bagi Hukum Bangsa-Bangsa. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides, juga asas “pacta sunt servanda” (setiap janji harus disepakati) yang merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga. Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa atau yang disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama collegium fetialum yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus dengan upacara-upacara keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan tugas-tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bangsa Romawi atau tidak.
e. Eropa Barat Pada masa ini, Eropa mengalami masa-masa chaotic (kacau-balau) sehingga tidak memungkinkannya kebutuhan perangkat Hukum Internasional. Selain itu, Selain itu, Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani. f. Cina Pencapaian yang menarik dari bangsa Cina adalah upaya pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu, yang dianggap telah sebanding dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa modern. g. Islam Pada periode ini umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa, sehingga tidak dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili semua kelompok yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki anggapan bahwa hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan ekonomi di atas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa sejarawan Eropa diantaranya Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit. Hukum internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional barat ada. Di zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan seadil-adilnya. Rasulullah telah membuat pedoman hubungan antara negara Islam dengan non-Islam dalam perang dan damai. Beliau juga telah mengadakan beberapa perjanjian-perjanjian internasional dengan bangsa-bangsa lain. Pakar Hukum internasional Islam modern Madjid Khaduduri mengakui, Islam memiliki karakter agresif dengan lebih mengarah pada penaklukkan dibandingkan kristen, sebagaimana yg tercantum dalam Wasiat Lama ataupun Baru. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Islam memiliki kelebihan dalam hal pengaturan mengenai hukum perang yang lebih komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian wanita, anak-anak, orang tua, binatang dan lingkungan sebagai kategori non-combatans, sebagaimana dinyatakan dalam pidato Abu Bakar ra, ataupun praktek pertukaran tawanan secara besar-besaran yang diduga bermula dari Khalifah Harun Al-Rasyid. Dar al-islam (Negara Islam) dan Dar al-harb (Negara Non-Islam). Sebuah perbedaan penting dibuat dalam teologi Islam adalah antara dar al-harb dan dar al-islam. Sederhananya, dar al-harb (wilayah perang atau kekacauan) adalah nama untuk daerah di mana Islam tidak mendominasi, dan kehendak Ilahi tidak diamati, dan terjadi perselisihan norma didalamnya. Sebaliknya, dar al-islam (wilayah damai) adalah suatu wilayah di mana Islam mendominasi, dan mayoritas tunduk dan taat pada Ilahi, dan di
mana perdamaian dan ketenangan menjadi tujuan pemerintahannya. Pada awalnya, perbedaan ini tidak muncul secara sederhana, namun pada satu hal, divisi ini dianggap sebagai hukum daripada teologis. Dar al-harb tidak terlepas dari dar alislam, ada hal-hal dimana popularitas muslim bukanlah faktor utama sebagai identitas wilayah, akan tetapi dipengaruhi oleh sistem pemerintah yang memiliki kendali penting dalam Negara. Sebuah bangsa berpenduduk mayoritas Muslim yang tidak diperintah oleh hukum Islam dapat disebut sebagai dar al-harb, sementara bangsa minoritas Muslim yang diperintah oleh hukum Islam dapat memenuhi syarat sebagai bagian dari dar al-islam. Islam adalah agama yang lebih terfokus pada perilaku yang tepat (ortopraksi) daripada keyakinan dan iman (ortodoksi). Dalam islam, iman seseorang bisa bertambah dan bisa berkurang sesuai dengan prilaku dan usaha yg dilakukannya. Keimanan seseorang akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dari sini kita dapat simpulkan ketika dar al-islam benar-benar berdiri, maka hal ini akan berpengaruh pada semakin meningkatnya keimanan seseorang (penduduknya), karena prilaku masyarakat yang baik dan benar menjadi asas terbentuknya kehidupan yg harmonis, aman dan damai. Islam juga merupakan agama yang tidak pernah memiliki ideologi atau tempat teoritis pemisahan antara politik dan bidang agama. Dalam Islam ortodoks, kedua istilah ini merupakan suatu fundamental dan harus dihubungkan. Itu sebabnya dalam divisi ini, antara dar al-harb dan dar al-islam lebih didefinisikan sebagai kontrol politik daripada popularitas agama. Sifat dar al-harb yang secara harfiah berarti "wilayah perang," perlu dijelaskan sedikit lebih detail. Untuk satu hal ini, diidentifikasikan sebagai daerah kekacauan yang didasarkan pada premis (dasar pikiran), bahwa perselisihan dan konflik merupakan konsekuensi dari orang yg gagal mengikuti kehendak Tuhan. Secara teori, setidaknya, ketika semua orang konsisten dalam ketaatan mereka kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah, maka itu akan berdampak pada terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis antara satu dengan yg lainnya. Hubungan Dar al-Islam dan Dar al-harb: Negara islam (Daulah al-Islamiyah) merupakan suatu negara yg berdiri berasaskan pada satu keyakinan (‘aqidah/iman), dan para penduduknya bersatu dalam kesatuan suku bangsa yaitu satu ummat (ummatun wahidah) yang tidak dibedakan atas dasar jenis, bahasa, adat dan budaya ataupun oleh faktor perbedaan lainnya. Mereka adalah saudara sebagaimana dalam firman Allah SWT. “Sesungguhnya Orang-orang mu’min itu adalah saudara” dan dalam ayat yang lainya, “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (AlAnbiya; 92). Hubungan Negara Islam dengan Negara-negara lainnya bisa dibedakan dalam dua kondisi; kondisi perang dan kondisi damai.
Kondisi Perang: Ketika Negara islam berada dalam kondisi diserang oleh Negara-negara musuh, maka perang hukumnya wajib, sebagaimana dalam firman Allah: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S Al Mumtahanah: 8 dan 9) Banyak di temui dalam sejarah: orang-orang kafir yang membantu kaum muslimin dalam perjuangan Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan penaklukan Mesir. Mereka mengusir orang-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula di antara orangorang kafir yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor Pemerintah di masa Umar bin Khattab dan pada masa kerajaan Umawiyah dan `Abbasiah, bahkan ada di antara mereka yang diangkat menjadi duta mewakili pemerintahan Islam. Dari sini menggambarkan bahwa islam menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara penduduk-penduduknya (Muslim dan nonMuslim). Namun, apabila orang-orang kafir memerangi dan mengsusir penduduk Muslim dari negerinya, maka perang menjadi wajib hukumnya. Kondisi Damai: Sedangkan ketika dalam kondisi damai, telah kita jelaskan sebelumnya bahwa islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan tanpa memandang perbedaan ras, suku, jenis, adat dan budaya. Dalam kondisi ini, hubungan antara Negara islam dengan Negara-negara lain (non-islam) sebatas pada menjalin hubungan kerjasama (perdamaian) dan perjanjian-perjanjian baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll. Sesungguhnya Islam cenderung pada kedamaian sesuai dengan makna harfiyahnya ‘Islam=damai’, bukan perang/memusuhi, dan islam melarang seorang muslim untuk membunuh orang lain hanya karena beda keyakinan (agama) atau karena kesalahan yg dilanggar olehnya, tetapi islam memberikan wewenang untuk melawan apabila diserang, dan perang dalam islam memiliki dua tujuan utama, yaitu: menangkis agresi (permusuhan/perlawanan) dan melindungi serta mengokohkan risalah da’wah alislamiyah. Asas dari pendapat ini adalah firman Allah SWT. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S Al Mumtahanah: 8), dan diayat yang lainnya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah; 190-193). Islam melarang (dalam perang) membunuh wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, biarawan, dan orang-orang yang cacat (buta, dll), karena mereka bukan dari golongan prajurit perang. Dewasa ini, dan yang masih hangat-hangatnya saat ini adalah isu terorisme yg ditujukan pada gerakan dan organisasi-organisasi islam oleh dunia internasional khususnya wilayah barat. Pada pembahasan kali ini tidak akan kami jelaskan secara detail, karena akan keluar pada topik kajian kita saat ini. Namun, sedikit kami tambahkan, bahwa ideologi yang menghalalkan segala cara untuk memerangi dan membunuh orang-orang kafir adalah tidak benar. Orang-orang kafir dalam hubungannya dengan islam terbagi menjadi empat golongan: a. Ahlu Dzimmah (penduduk non-muslim yang bermukim di Negara islam), b. al-Musta’min (orang asing yang dapat perlindungan, yang masuk dalam Negara islam untuk keperluan wisata, study, dll dan dengan waktu yg terbatas), c. al-Mu’ahhad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati), d. al-harbi (orang asing yang masuk ke Negara islam dengan tujuan memusuhi dan memerangi dan merampas hak-hak orang-orang muslim). Untuk golongan yang pertama, sebelumnya telah dijelaskan bagaimana islam memberikan tempat dan wilyah kepada orang-orang non-muslim dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai penduduk Negara islam. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yg sama dan adil baik dalam kehidupan pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial. Rasululullah SAW. Bersabdah: “barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah maka akulah lawannya, dan siapa-siapa yang menjadi lawanku maka dihari kiamat dia akan tetap menjadi lawanku” al-khatib al-jami’ 2/269. Sedangkan untuk golongan yang kedua al-musta’min, hubungannya dapat kita jelaskan dengan ‘aqdul amman (akad keamanan), yaitu komitmen masing-masing untuk saling menjaga keamanan dan keselamatan dari gangguan/bahaya, dan komitmen untuk tidak menciptakan kerusakan dan bahaya. Allah SWT. berfirman dalam hal ini: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6) Untuk golongan yang ketiga yaitu Al-Mu’ahhad, Rasulullah SAW bersabdah: “Siapa
yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166) Sedangkan golongan yang terakhir adalah golongan yang wajib untuk diperangi adalah golangan al-harbi, sebagaimana dalam firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah 190193 seperti yang telah tertulis sebelumnya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu….”. Mereka inilah yang menjadi musuh islam yang sesungguhnya, yang hendak memerangi, mengusir dan membuat kerusakan dimuka bumi. Dan masih banyak dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang menganjurkan untuk memerangi orang-orang kafir (al-harbi). B. Permulaan Hukum Internasional Klasik Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci menjadi kota mandiri, kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa untuk pertama kalinya menyatakan kebutuhannya akan aturan perilaku antara masyarakat internasional secara besar-besaran. Sebagian besar Negara-negara Eropa meruju’ pada kode Justinian hukum dari Kekaisaran Romawi dan hukum kanon Gereja Katolik untuk mencari inspirasi. Perdagangan internasional adalah katalis nyata untuk tujuan pengembangan aturan-aturan perilaku antar negara. Tanpa aturan dan kode etik, ada sedikit hal yang menjamin perdagangan dan melindungi para pedagang asing dari tindakan-tindakan yang mengancam. Kepentingan ekonomi inilah yang mendorong terjadinya evolusi kebiasaan internasional untuk mengatur perdagangan luar negeri, dan yang paling penting adalah aturan dan kebiasaan hukum maritim. Seperti halnya dalam perdagangan internasional, eksplorasi dan peperangan menjadi faktor yang menghalang distribusi kebutuhan untuk umum dan terealisasinya praktekpraktek kebiasaan internasional. Di abad ke-13 M, muncul perhimpunan Liga Hanseatik untuk memperkuat kesehatan ekonomi dari kota-kota Jerman Utara yang bersatu. Dari sini perdagangan internasional berkembang pesat, dan Hamburg menjadi pelabuhan utama dalam perdagangan antara Rusia dan Flandria dengan posisinya sebagai penguasa dan penjaga sungai Elbe. Kota di Italia menjadi pengatur diplomatik negara-negara berkembang, ketika mereka mulai mengirim duta besar modal asing. Perjanjianperjanjian antara pemerintah dimaksudkan untuk mengikat dan menjadi alat yang berguna untuk melindungi perdagangan. Kengerian Perang Tiga Puluh Tahun Sementara itu melahirkan kecaman untuk menciptakan peraturan-peraturan tempur yang akan melindungi masyarakat sipil. Permikiran Fransisco Vittoria (1480-1546). Fransisco Vittoria adalah seorang Biarawan Dominikan berkebangsaan Spanyol, menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Ia beranggapan bahwa Negara dalam tingkah lakunya seperti individu, tidak boleh bertindak sesuka hati (Ius Intergentes), akan tetapi Negara memerlukan aturan dalam menjalankan hubungan internasional. Dengan demikian, hukum bangsa-bangsa yang ia
namakan ius intergentes tidak hanya terbatas pada dunia kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat manusia. Pemikiran Hugo Grotius (1583-1645) Praktek internasional, adat-istiadat, peraturan dan perjanjian berkembang biak sampai pada titik kerumitan. Beberapa sarjana mencoba mengkompilasi hingga terlahir risalah yang terorganisir. Yang Paling penting diantaranya adalah Hugo Grotius, risalah De Jure Belli Ac Pacis Libri Tres (hukum perang dan damai) tahun 1625, yang dianggap sebagai titik awal bagi perkembangan hukum internasional modern. Sebelum Hugo Grotius, kebanyakan para pemikir Eropa beranggapan bahwa hukum diperlakukan sebagai sesuatu yang independen dari manusia, dengan bersandarkan pada hukum alam. Pemikiran Grotius tidak begitu berbeda dengan yang lainnya kecuali dalam satu hal penting, Pemikir-pemikir sebelumnya percaya bahwa hukum alam itu diberlakukan oleh dewa, sedangkan Grotius percaya bahwa hukum alam berasal dari universal dan bersifat umum untuk semua orang. Perspektif rasionalis ini memungkinkan Grotius untuk menempatkan beberapa hukum yang mendasari prinsip-prinsip rasional. Hukum tidak dipaksakan dari atas, tetapi berasal dari prinsip-prinsip, termasuk prinsip-prinsip dasar aksioma (yang tetap atau dianggap terbukti dengan sendirinya) dan restitusi (hal yang merugikan diperlukan yang lain). Kedua prinsip ini telah menjadi dasar bagi sebagian besar hukum internasional berikutnya. Selain dari prinsip-prinsip hukum alam, Grotius juga menghubungkannya dengan kebiasaan internasional, peraturan tentang apa yang "seharusnya" dilakukan. Hal ini merupakan pendekatan hukum internasional positif (al-madrosah al-maudu’iyah lil qonun al-dauli) yang diperkuat dari waktu ke waktu. Perjanjian Westphalia 1648 Hukum Internasional modern menjadi suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional, yang lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat Internasional yang didasarkan pada negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, sebabnya adalah : 1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik sebagai dampak perang di Eropa. 2. Perjanjian perdamaian mengakhiri usaha Kaisar Romawi suci untuk berkuasa selamalamanya. 3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing. 4. Kemerdekaan negara Netherland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui
dalam Perjanjian Westphalia. Selain itu, Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan), maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan adalah: 1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. 2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat. 3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja. 4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi. 5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini. 6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional. 7. Lunturnya anggapan perang yang berkaitan dengan segi-segi keagamaan, beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia ini diperteguh dalam Perjanjian Utrech, yaitu perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1713 yang membantu mengakhiri Perang Suksesi Spanyol. C. Hukum Internasional Modern: Dalam Hukum internasional modern, keputusan pengadilan dan perjanjian/traktat lebih berpengaruh dari pada pendapat ahli hukum. Ada beberapa sumber-sumber hukum internasional yang turut mempengaruhi lahirnya hukum internasional tertulis. Secara karakteristik, sumber hukum internasional dapat dibagi menjadi dua; Pertama adalah sumber formil (al-mashadir al-syakliyah / formal source), kedua adalah sumber materil (al-mashodir al-madiyah / material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan sebagai segala proses prosedural yang melegalisi hukum internasional secara nyata. Sedangkan sumber materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional bersumber dari padanya dan menjadi asas. Beberapa sumber valid yang dapat dijadikan sandaran hukum internasional adalah sebagai berikut: a. Adat istiadat/kebiasaan Internasional (al-'urf al-dauli/International Custom) Asas kebiasaan merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati
keabsahannya dalam mendasari peraturan-peraturan antar negara. Para pakar hukum internasional bersepakat bahwa perilaku kebiasaan internasional mempunyai dua elemen. Pertama, adalah elemen psikologikal (al-'unshur al-ma'nawi) yaitu, tercapainya suatu pengakuan dunia internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk menghormatinya. Kedua, adalah elemen materil (al-'unshur al-maadi), elemen kedua ini akan terpenuhi dalam suatu perilaku tertentu bila di dalamnya terdapat dan terpenuhinya beberapa sub elemen sebagai berikut: 1. Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah Mu'ayyanah/Duration of Practice) 2. Generalitis ('Umumiyah al-Suluk/ Extend of Practice) 3. Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform) b. Perjanjian Internasional (Mu'ahadat/Treaties) Perjanjian internasional adalah suatu kesepakatan yang tunduk di bawah peraturan hukum internasional, baik berupa kesepakatan umum ataupun khusus yang melibatkan dua Negara atau lebih. Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah konsep "persetujuan/perjanjian". Sebelum Perang Dunia II, negara tidak akan dipertimbangkan untuk terikat dengan aturan tertentu, kecuali setelah adanya persetujuan resmi atau sudah menjadi hal yang lazim untuk mematuhinya. Perjanjian modern ditafsirkan sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian. Konvensi ini sangat diterima secara luas, bahkan bangsa yang tidak berpihakpun mengikuti konvensi ini. Dalam konvensi ini, aturan yang paling penting dan masuk akal adalah bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan makna polos bahasanya, dengan konteks tujuan dan dengan itikad yg baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pertikaian dan pertengkaran seputar penafsiran perjanjian atau dalam istilahnya nit-picking. Dalam dunia modern, perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang lebih penting dari yang lainnya. Bahkan negara yang paling kuat bergantung padanya dan berusaha untuk memenuhinya. Dan apabila mengabaikannya maka kerugian adalah konsikuensinya. c. Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi' al Ammah Lil Qonun/General Principles of Laws) Meskipun bukan merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaimana dua sumber yang telah disebutkan di atas, sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini belum mencapai kata sepakat, setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam mengartikan sumber hukum ini adalah prinsip-prinsp umum yang diakui legalitas dan kekuatan hukumnya oleh semua bangsa-bangsa masyarakat internasional, sebagai contohnya adalah tentang prinsip tanggungjawab atas tindakan yang merugikan pihak lain dan semacamnya. d. Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al Dauli/ Judicial Decisions)
Sumber ke empat ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat cabang/sub (al mashdar al ihtiyathi / subsidiang source), sehingga meskipun keputusan ini hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang menjadi subyek penghakiman, namun keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa dijadikan sebagai argumentasi pada suatu kasus yang sama pada Negara yang berbeda. D. Hukum Internasional Islam Pakar dan peneliti hukum internasional modern menjadikan buku Grotius sebagai dasar ilmu hukum internasional, padahal buku tersebut baru muncul pada abad ke-17 M atau pada tahun 1625. Sebaliknya, ulama Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan AlHadis telah menulis buku mengenai hukum internasional sekitar 1.000 tahun sebelumnya. Yaitu, dimulai dengan penulisan Zaid bin Ali (wafat tahun 122 H). Diakui bahwa Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H) memberikan ceramah dengan judul Hukum Internasional Islam, Beliau termasuk orang pertama yang menggunakan istilah syiar untuk hukum tersebut, hal ini dilanjutkan oleh sahabat dan muridnya, Muhammad bin Hassan al-Shaibani (wafat tahun 189 H), dengan menulis dua buku Kitab al-Siyar alSaghir dan Kitab al-Siyar al-Kabir. Imam Malik (wafat tahun 189 H) juga mengkhususkan beberapa bab mengenai hukum internasional dalam kitabnya alMuwattha. Dalam konteks internasional, hubungan antara negara diatur oleh satu hukum internasional yang definisinya adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara negara serta menentukan hak dan kewajiban bagi setiap negara dalam keadaan damai atau perang. Maka peraturan yang dijadikan sebagai hukum internasional semestinya diawasi dan dipegang oleh suatu badan pelaksana (eksekutif) yang mempunyai wewenang agar semua negara mematuhinya. Konsep Hukum Internasional Islam adalah berdasarkan kepada nilai (value), bukan kepentingan (interest) seperti yang dipraktekkan oleh Barat sepanjang sejarah. Barat menempatkan kekuatan sebagai fokus hubungan internasional. Hukum internasional, menurut Barat adalah hukum negara kuat dalam memaksakan kehendaknya. Kita lihat saja apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, dan Iran. Semua keputusan yang tidak memihak kepentingan Barat pasti ditolak dan semua keputusan yang memihak kepada kepentingan mereka akan didukung walaupun diperlukan satu adegan diplomatik dalam prosesnya. Islam secara umum, Dr. M. Abu Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin, Yaitu : 1. Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat. Ia sebagai khalifah di muka bumi. 2. Manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori evolusi historis dari satu keturunan Nabi Adam as, melainkan juga oleh sifat kemudian yang universal. 3. Prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran
dan keadilan. 4. Prinsip toleransi (tharsomah) dan tidak merendahkan pihak lain. 5. Adanya kemerdekaan (hurriyah/istiqlal). Kemerdekaan menjadi sangat penting sebab merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia. 6. Akhlak yang mulia dan keadilan. 7. Perlakuan yang sama dan anti diskriminasi. 8. Pemenuhan atas janji. 9. Islam menyeru kepada perdamaian, karena itu harus mematuhi kesepakatan merupakan kewajiban hukum dan agama. 10. Prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan. Ajaran Islam adalah ajaran Ilahi yang adil karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Ajaran Islam bukan untuk kelompok tertentu tetapi untuk semua kelompok (rahmatan lil ‘alamin). Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya dan menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak Baginda. Beliau membuat pedoman hubungan antara negara Islam dan non-Islam dalam perang dan damai (-seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya-). Ketika perang tidak boleh membunuh wanita, orang tua, anakanak, binatang, membakar tanaman, dan merusak lingkungan. Adab dalam perang wajib dipatuhi oleh semua pejuang Islam, jika tidak maka dia termasuk musuh Nabi. Pada masa damai, perjanjian dengan negara non-Islam harus dipatuhi dan dijunjung tinggi dengan menjaga dan melaksanakan semua aturan main. Abu Rafi adalah duta orang Quraisy dalam suatu perjanjian dengan Nabi. Tetapi setelah menandatangani perjanjian, dia ingin memeluk Islam, Nabi pun melarangnya dan memberi saran apabila dia ingin masuk Islam, dia mesti menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu dan kembali ke Makkah, setelah itu baru kembali lagi ke Madinah sebagai orang biasa bukan utusan Quraisy. Wahshy, budak yang membunuh paman Rasulullah, yaitu Hamzah dalam Perang Uhud, adalah tempat Rasulullah pernah bersumpah untuk membalas dendam, tapi kemudian diurungkan niatnya tersebut kerena turun sebuah ayat Alquran mengenainya. Dan ketika Wahsyi diangkat menjadi utusan Habsyah, Beliau menghormatinya sebagai utusan. Nabi juga mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damiri, seorang non-Islam sebagai duta Rasulullah di negara Habsyah. Nabi tidak membunuh utusan Musailamah al-Kazzab yang sudah jelas murtad karena dia dalam kapasitasnya sebagai utusan diplomatik. Semua contoh ini membuktikan betapa mulianya Nabi dan ajaran Islam dalam kaitannya dengan hukum internasional. Penyebaran dan kemuliaan ilmu Islam sampai ke Eropa melalui keagungan pemerintahan Islam di Andalus. Penyebaran Islam ke Eropa mempengaruhi perkembangan hukum internasional. Kenyataan ini terbukti dengan fakta sejarah, ketika raja Eropa berduyunduyun mempelajari ilmu pengetahuan dari orang Islam, diantara mereka adalah Roger I (Raja Sisilia), Raja Alphonse (Raja Castila), dan Raja Philip (Raja Inggris). Raja Federick II, yaitu Raja Jerman yang memanfaatkan ilmu Islam, sehingga mereka berhasil menerapkannya ke dalam kehidupan rakyatnya. Raja Frederick II, orang yang pertama memperkenalkan pemerintah yang dilembagakan di Eropa, contohnya, mendirikan sebuah universitas di Napoli pada tahun 1224, mengikuti bentuk dan susunan universitas di Cordova.
Dalam salah satu surat kabar Indonesia Republika tanggal 27 Juni 2009, memberitakan bahwa ajaran Islam diakui telah memberi pengaruh dan memperkaya hukum-hukum pengungsi internasional modern. Sebuah studi yang dilakukan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) menyebutkan bahwa pengaruh dan sumbangan Islam bagi hukum internasional tentang pengungsi lebih besar dibandingkan sumber-sumber lainnya. Pimpinan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Antonio Guterres, dalam kata sambutan hasil studi yang dilakukan organisasi internasional itu mengatakan; ''Komunitas internasional harus menghargai dan mengakui kontribusi ajaran Islam yang mengajarkan kebaikan dan keramahtamahan bagi hukum modern,'' Kontribusi lain yang lebih praktis, yaitu tumbuhnya negara-negara muslim sekitar pertengahan abad ke-20-an, terutama sejak dideklarasikannya sepuluh Dasasila Bandung, hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Banyak negara di belahan benua Asia dan Afrika yang pada akhirnya melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka. Seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yg memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan negara Mesir beserta Negara-negara Arab lainnya menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia setelah dijajah oleh Belanda. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi Republik Indonesia. Dua puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1973, negara-negara Islam sepakat untuk mendirikan Organisasi dunia yang dinamakan Organisasi Konferensi Islam Internasional atau OKI. Soekarno dan Gamal Abdul Natsir (Presiden Mesir) telah memainkan peranan penting dalam pembentukan OKI tersebut. Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, hukum internasional adalah suatu kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan internasional antara para subyek hukum internasional. Hukum internasional telah muncul sejak berabad-abad lamanya, namun bukan berarti kajian Hukum internasional berumur tua dan bersifat absolut. Hal ini disebabkan karena hukum internasional telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia internasional. Para pakar hukum internasional sepakat bahwa sejarah merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari suatu norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu kebiasaan / adat istiadat (custom/al-‘urf). Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi, yaitu; periode kuno, klasik dan modern. Hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif adalah warisan Eropa, akan tetapi ada pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradabanperadaban lain, yang diantaranya adalah peradaban Islam. Ajaran islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis telah menjadi pedoman penting munculnya kaidah dan prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin. Wallahu A'lam......
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTENNASIONAL 1. Jelaskan penngertian hukum internasional! • Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional • Hukum internasional adalah sekumpulan asaa, kebiasaan internasional dan aturan yang bersifat umum yang di hormati dan dipetuhi serta adanya kewajiban yang mengukat terhadap negara-negara di dunia dan lembaga atau organisasi internasional di dalam hubungan mereka dengan yang lain dalam pergaulan masyarakat internasional. 2. Bandingkan pengertian hukum internasional menurut J.G.Starke dengan Mochtar Kusumaatmadja • Menurut J.G.Starke “hukum internasional mencakup 2 hal, yaitu kaidah hukum yang berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu sama lain. Dan hubungan mereka dengan negara-nbegara dan individu-individu dan kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu dan badan-badan lain negara, sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan tersebut penting bagu masyarakat intenasional.” • Menurut Mochtar Kusumaatmadja “hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antar negara dan negara, negara dan subjek hukum lain bukan negara, atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”. 3. Jelaskan Perbedaan antara hukum publik internasional dan hukum perdata internasional • Hukum publik internasional adalah hukum internasional yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara lainnya dalam hubungan internasional. • Hukum perdata internasional adalah hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antar warga negara dari negara lain. 4. Menurut konsiderans resolusi majelis umum PBB No.2625 tahun 1970 ada 7 asas utama dalam praktek hukum internasional. Sebutkan dan jelaskan! a. Setiap negara tidak melakukan tindakan berupa ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan negara lain. • Asas ini menekankan bahwa dalam hubungan internasional, setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak memberikan ancaman dengan kekuatan militet terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu bangsa, dan tidak melakukan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB. odan agresi terhadap negara lain. b. Setiap negara harus menyelesaikan masalah-masalah internasional dengan cara damai • Setiap negara diharapkan menyelesaikan masalah-masalah internasionalnya
dengan negara/ pihak lain dengan cara damai. Cara menyelesaikan masalah iinternasional dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsilasi, orbutrasi, dan penyelesaian yudisial. c. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain • Berdasarkan asas itu, tidak ada negar/ kelompok yang berhak menintervensi negara lain mengenai urusan dalam dan luar negeri sebuah negara (baik intervensi secara langsung maupun tidak langsing) dengan alasan apapun. Apabila suatu negara melakukan untervensi maka hal itu merupakan kejahatan dalam hukum internasional. d. Negara-negara berkewajiban untuk menjalin kerjasama dengan negara lain berdasar pada piagam PBB. • Negara berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain. Untuk negara harus bekerjasama dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional. Negara harus bekerjasama dalam mewujudkan hak asasi dan kebebasan manusia. Negara harus bekerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, kultural, dan perdagangan. Negara-negara anggota PBB mempunyai kewajiban untuk mengambil bagian dan tindakan untuk bekerjasama dalam organisasi PBB. e. Asas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri • Setiap negara mempunyai hak untuk secara babas menetukan nasibnya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. f. Asas persamaan kedaulatan dari negara • Setiap negara mampunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang sama dalam komunitas inernasional. Persamaan kedaulatan meliputi aspek berikut : 1) Setiap negara mempunyai persamaan yudisial 2) Setiap negara mempunyai hak penuh terhadap kedaukatan 3) Harus menghormati kepribadian negara lain 4) Kemerdekaan politik negara lain tidak dapat diganggu gugat 5) Mempunyai kebebasan untuk memilih g. Setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajiban • Asas ini menegaskan bahwa setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan piagam PBB. 5. Jelaskan apa yang dimaksud subjek hukum internasional • Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. 6. Menurut Starke ada 6 subjek hukum internasional. Sebutkan dan jelaskan! a. Negara Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Hinggan sekarang masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antar negara.
b. Tahta suci Tahta suci merupak suatu subjek hukum dalam arti ang penuh. Karena itu mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara. c. Palamg Merah Internasional Palang Merah Internasional berjedudukan di Jenewa. Kedudukan PMI sebagai subjek hukum internasional lahir karena sejarah masa lalu walaupun dengan ruang lingkup yang terbatas. d. Organisasi Internasional Kedudukannya sebagai subjek hukum internasional sudah tidak duragukan lagi. e. Orang perseorangan (individu) Individudapat dianggap sebagai subjek hukum internasional meskipun dalam artian terbatas. f. Pemberontak dan pihak yang bersengketa Beberapa keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Pengakuan terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional dianut oleh negara-negara dinua ketiga. 7. Istilah sumber hukum internasional memiliki makna formil dan material. Jelaskan kedua makna tersebut! • Sumber hukum dalam arti formil adalah dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan –ketentuan hukum internasional • Dalam arti material adalah sumber hukum yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. 8. Terkait sumberhukum formal ada 4 sumber hukum internasional yang digunakan oleh MJ dalam mengadili perkara yang digunakan kepadanya. Sebutkan dan Jelaskan! a. Perjanjian internasional Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mewujudakan akibat hukum tertentu. Perjanjian itu bisa disebut perjanjian internasional bila perjanjian itu diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. b. kebiasaan internasional kebiasaan internasional merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional bisa menjadi sumber hukum internasional ada 2 unsur yang harus dipenuhi, yaitu unsur material dan psikologis. Unsur material menunjuk kepada adanya kebiasaan yang bersifar umum, unsur psikologis menunjuk pada kenyataan diterimanya kebiasaan internasional sebagai hukum.
c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab prinsip hukum umum adalah asas yang mendasari sistem hukum modern. Menurut pasal 28 ayat 1 deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional, asas hukum merupakan suatu sumber hukum utama yang berdiri sendiri di samping sarjana terkemuka. d. keputusan pengadilan dan pendapat sarjana terkemuka keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka merupakan sumber hukum subsider atau sumber hukum tambahan. 9. Starke membagi sumber hukum internasional menjadi 2 bagian, yaitu sumber hukum utama (primer) dan sumber hukum tambahan (subsider) . sebutkan yang manakah sumber utama dan tambahan! a. Sumber hukum utama (primer) • Perjanjian internasional Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mewujudakan akibat hukum tertentu. Perjanjian itu bisa disebut perjanjian internasional bila perjanjian itu diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. • Kebiasaan internasional kebiasaan internasional merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional bisa menjadi sumber hukum internasional ada 2 unsur yang harus dipenuhi, yaitu unsur material dan psikologis. Unsur material menunjuk kepada adanya kebiasaan yang bersifar umum, unsur psikologis menunjuk pada kenyataan diterimanya kebiasaan internasional sebagai hukum. • Prinsip hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab. prinsip hukum umum adalah asas yang mendasari sistem hukum modern. Menurut pasal 28 ayat 1 deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional, asas hukum merupakan suatu sumber hukum utama yang berdiri sendiri di samping sarjana terkemuka.
b. Sumber hukum tambahan (subsider) • Keputusan pengadilan dan pendapat para saarjana terkemuka dari berbagai negara 10. Kapankah MI dibentuk dan berkedudukan di mana? • Pada tahun 1945 di Den Haag Belanda berdasarkan piagam PBB. 11. Sebutkan jumlah hakim MI masa jabatannya dan cara pemilihannya.
• Jumlah hakim MI, terdiri dari 15 hakimdua diantaranya merangkap ketua dan wakil ketua. MI juga memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc. • Masa jabatannya 7 tahun • Cara pemilihan, Hakim MI direkrut dari warga negara naggota yang dinilai cakap dalam bidang hukum internasional. 12. Jelaskan fungsi MI • Fungsi Mahkamah Internasional adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan yang subjeknya adalah negara. 13. Dalam menyelesaikan sengketa internasional MI hanya menyelesaikan kasus sengketa yang subjeknya berupa negara. Negara manakah yang dimaksud (ada 3 negara). Sebutkan! a. Negara Anggota PBB Menurut pasal 35 ayat 1 statuta MI dan pasal 93 ayat 1 piagam PBB, negara anggota PBB otomatis mempunyai hak untuk beracara di MI. Saat ini kurang lebih ada 189 negara anggota PBB. b. Negara Bukan Anggota PBB yang menjadi anggota statuta MI. Negara Bukan Anggota PBB yang menjadi anggota statuta MI dapat beraccara di MI. Asalkan memenuhi persyaratan yang diberikan oleh dewan keamanan PBB atas dasar pertimbangan majelis umum PBB c. Negara Bukan Anggota Statuta Mi Negara yang masuk dalam kategori ini diharuskan mambuat deklarasi bahwa tunduk pada semua ketentuan mahkamah internasional dan piagam PBB (pasal 94) 14. Apa yang dimaksud yurisdiksi MI • Yurisdiksi MI adalah kewenangan yang dimiliki oleh MI yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. 15. Ada beberapa kemungkinan cara penerimaan MI dalam menyelesaikan sengketa para pihak yang beracara di MI. Sebutkan dan jelaskan! a. Perjanjian khusus Para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus berisi subjek sengeta dan pihak yang bersengketa b. Penundukan diri pada perjanjian internasional Para pihak telah menundukkan diri pada yurisdiksi MI sebagaimana terdapat dalam isi perjanjian internasional di antara mereka. Kini setidaknya ada 300-an perja jian internasional yang menerima yurisdiksi MI mana kala terjadi sengketa diantara peserta perjanjian. c. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta MI Negara yang menjadi anggota statuta MI yang akan beracara di MI menyatakan
tunduk pada MI. Di sini mereka tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu. d. Keputusan mahkamah internasional mengenai yurisdiksinya Jika ada sengketa mengenai yurisdiksi Mi, maka sengketa dapat diselesaikan dengan keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan keberatan awal terhadap yurisdiksi MI. e. Penafsiran putusan Yang mengharuskan MI untuk memberikan penafsiran jika diminta salah satu ataupun kedua belah pihak yang beracara, yang sidasarkan pada pasal 60 statuta MI. Permintaan penafsiran dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antara pihak yang bersengketa/permintaan salah satu pihak yang bersengketa. f. Perbaikan putusan Penundukan diri pada yurisdiksi MI dilakukan melalui pengajuan permintaan. Syarat pegajuan permintaan tersebut adalah adanya fakta baru yang belum diketahui MI ketika putusan tersebut dibuat. 16. Apa yang dimaksud ICC dan apa tujuannya? • ICC merupakan mahkamah pidana internasional yang berdiri permanen berdasarkan traktat multilateral. ICC bertujuan untuk mewujudkan supermasi hukum internasional dan memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana. 17. Sebutkan jumlah hakim ICC, masa jabatan dan proses pemilihan hakimnya? • ICC terdiri dari 18 orang hakim • Masa jabatannya 9 tahun tanpa dipilih kembali • Para hakim dipilih berdasarkan 2/3 (dua per tiga) suara majelis negara pihak yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta MI pasal 36 ayat 6 dan 9 18. Jelaskan bagaimana yurisdiksi yang dimiliki oleh MPI/ICC? • Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh MPI untuk menegakkan aturan hukum internasional memutus perkata terbatas terhadap pelaku kejahatn berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah internasional.