PERLINDUNGAN TERHADAP TENAGA KERJA DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Oleh: Inggrit Fernandes Dosen Hukum Internasional Universitas Islam Indragiri Alamat: Jln. Subrantas No 18. Tembilahan, Indragii Hilir Riau Email:
[email protected]
Abstrak Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri berdampak terhadap martabat dan harga diri suatu bangsa serta kebijakan politik luar negeri suatu negara. Konsekuensi yang bersifat makro ini seringkali terabaikan oleh suatu negara manakala desakan-desakan ekonomi menjadi prioritas utama pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Kesulitan mendapatkan kebutuhan hidupan semakin meningkatnya pencari kerja yang tidak memiliki pekerjaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Seharusnya menjadi perhatian pengambil kebijakan di bidang ketenagakerjaan agar mencari solusi cepat mengatasi masalah ini. Selama ini, salah satu solusi yang dipertahankan Pemerintah adalah pengiriman tenaga kerja. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah harus proaktif memberikan perlindungan terhadap TKI yang berada di luar negeri. Jika fenomena pengiriman TKI tidak dapat dihindari maka penempatan TKI perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI. Di samping itu, perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional untuk memberikan perlindungan kepada TKI agar terwujud kepastian hukum yang diinginkan oleh semua pihak dan terciptanya hubungan yang harmonis antara negara pengirim dan penerima. Oleh karena itu, beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah, antara lain mengadakan diplomasi dan membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima TKI secara timbal balik, selanjutnya mengevaluasi regulasi nasional tentang ketenagakerjaan agar terwujud harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional yang mengakomodir hak-hak TKI di luar negeri. Kata kunci: perlindungan tenaga kerja, hukum nasional, hukum internasional
Abstract The delivery of Indonesian workers abroad had concequence of the nation dignity as well as the foreign policy of a country. Macro consequences were overlooked by a country when economic pressures
became a top priority to deliver workers abroad. Difficulty in obtaining the prosperity and increasing the number of job seekers from developing countries, including Indonesia should be a concern of policy makers in the field of employment in order to find quick solutions to overcome this problem. During this time, one of the solutions is that Indonesian government maintained delivering workers abroad. The results of the study concluded that the government must be proactive in providing protection against Indonesian workers who are abroad. If the phenomenon of sending workers could not be avoided, the placement of migrant workers sholud be integrated in national and local government policy in order to guarantee the protection. Community ought to be participate tosupervise the hold a legal system of worker protection. In addition, the synchronization and harmonization of national laws and international law was required to provide protection for migrant workers in order to create the legal certainty as well as to build a harmonious relationship between Indonesia and the receiving countries. Therefore, several steps must be taken by the government, namely: conducting diplomacy and making bilateral agreements with receiving countries of migrant workers on a reciprocal basis. Besides, government neededto evaluate the national regulations on employment in order to form the harmonization of national laws and international law to accommodate the rights of migrant workers in abroad. Keywords: Labor protection, national law, international law Pendahuluan Fenomena global yang terjadi pada sebagian besar negara di dunia saat ini ialah migrasi internasional, termasuk migrasi tenaga kerja. Fenomena ini terus berkembang seiring pola hubungan yang terjalin antarnegara dalam berbagai dimensi. Meningkatnya hubungan antarnegara pada gilirannya berpengaruh pada identitas atau migrasi ke negara bersangkutan. Era globalisasi yang sedang berproses telah meniupkan angin optimisme yang tinggi dalam bidang ekonomi melebihi masa lalu dalam peradaban manusia. Pada sisi lain, pergerakan modal termasuk mobilitas sumber daya manusia demikian menarik sehingga fenomena migrasi tenaga kerja internasional tidak terelakkan.1 Meningkatnya jumlah pekerja migran dari tahun ke tahun yang bekerja di luar negeri merupakan salah satu indikator dari globalisasi atau integrasi internasional. Indonesia sebagai bagian integral dari ekonomi global tidak dapat melepaskan diri dari dinamika itu sehingga pengiriman pekerja migran ke luar negeri berdampak signifikan pada makro ekonomi. Dalam perkembangannya, negara-negara tujuan Tenaga Kerja Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah. Keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri menyebabkan banyak warga negara Indonesia yang mencari pekerjaan ke luar negeri. Warga negra Indonesia yang bekerja ke luar negeri biasanya disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Upaya terbaik bagi pemerintah Indonesia agar warga negaranya dapat hidup sejahtera, 1
Diyanti, Dampak Positif http://diyanti.wordpress.com, 2011.
dan
Negatif
Pengiriman
TKI
ke Luar
Negeri,
dalam
berkecukupan di dalam negeri dan tidak bekerja di luar negeri dengan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Upaya pemerintah itu merupakan amanah Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kurangnya lapangan pekerjaan yang di sediakan Pemerintah membuat sejumlah orang memutuskan mencari kerja atau nafkah di luar negeri. Pemerintah merespon dengan baik adanya tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri. Oleh karena itu, perlu dibuat undangundang yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri). Undang-undang itu untuk melindungi tenaga kerja Indonesia karena sebagai pemasok devisa negara. Dibentuknya Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri diharapkan agar tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dapat terlindungi. Setiap tahun jumlah tenaga kerja Indonesia semakin bertambah, sebagaimana dilansir Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2008 telah dilakukan pengiriman sebanyak 728.825 orang yang membuat pemerintah harus bekerja lebih exstra lagi. Dalam praktiknya, undang-undang penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri belum mampu memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Buktinya dalam dua tahun terakhir terus terjadi aksi kekerasan dan tindakan yang merugikan TKI bahkan sebagian TKI malah meninggal dunia. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat bahwa dua terakhir kasus penganiayaan terhadap TKI di luar negeri meningkat 39%, kasus kekerasan seksual terhadap TKI meningkat 33%, sedangkan kasus kecelakaan kerja terhadap TKI meningkat 61%, dan kasus TKI yang sakit meningkat 107%. Kasus yang baru terjadi, yaitu kasus Sumiati yang berasal dari nusa tenggara yang di aniaya oleh majikannya sendiri di Arab Saudi. Ia mengalami sobek bibir depan karena di gunting. Kejadian ini karena lemahnya perlindungan tenaga kerja oleh pemerintah Indonesia. Lebih tragis lagi kasus Kikim yang harus kehilangan nyawanya setelah di aniaya oleh sang majikan. Hal ini menunjukkan, hukum Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk melindungi tenaga kerja di luar negeri. Menurut SBMI, selama dua tahun terakhir ini lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tidak mampu memberikan perlindungan kepada TKI. Meskipun pemerintah melakukan banyak hal terkait kasus perlindungan TKI, namun penanganan kasus-kasu tidak berdampak. Berbagai permasalahan kerapkali dialami TKI yang memiliki dokumen resmi dan tidak resmi. Kematian TKI resmi di Malaysia mencapai 87%. Selain itu, perdagangan orang tahun 2005-2009 mencapai 67%. Korbannya dikirim secara resmi oleh perusahaan jasa pengerah tenaga kerja(PJTKI). Masalah demi masalah yang menimpa TKI tidak seharusnya terjadi. Pemerintah wajib mengupayakan jaminan perlindungan terhadap TKI yang sudah jelas menghasilkan devisa untuk negara. TKI yang diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran seolah-olah tidak ada gunanya lagi, mereka mati-matian untuk bisa bertahan hidup di negeri orang yang berharap banyak untuk bisa hidup layak di Indonesia. Tetapi Pemerintah Indonesia seolah-olah tutup mata dengan peristiwa demi peristiwa yang menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Undang undang yang dibuat pemerintah ternyata tidak bisa
menjadi pahlawan untuk melawan siksaan dan penderitaan yang mereka alami di luar negeri. Perhatian yang besar itu penting. Yang lebih penting lagi mencarikan solusi menghentikan prakti-praktik yang menyayat tersebut tidak terjadi lagi. Apalagi masalah ini bukan barang baru dan nyaris setiap hari ada dua TKI di Malaysia berlaku kurang ajar dan biadab terhadap para TKI. Upaya tersebut tampaknya sulit diwujudkan dalam kurun waktu 15 tahun mendatang. Sebab menurut laporan terbaru International Labour Organization (ILO), akibat kondisi sosio-ekonomi yang sangat berbeda dari satu provinsi dengan provinsi lain di Indonesia serta desentralisasi pembuatan kebijakan, maka untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif dan menghasilkan banyak lapangan kerja, membutuhkan adanya intervensi kebijakan yang tepat di tingkat daerah.2 Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan capaian pertumbuhan gross national product (GNP) baik secara keseluruhan maupun perkapita, yang diyakini akan menetes sendiri (trickle down effect) terhadap lapangan pekerjaan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat demi terciptanya distribusi pendapatan. Fakta yang terjadi beberapa negara berkembang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup (kesejahteraan) masyarakatnya. Jumlah penduduk yang besar tidak selalu menjamin keberhasilan pembangunan bahkan dapat menjadi beban bagi keberlangsungan pembangunan tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu besar dan tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja akan menyebabkan sebagian dari penduduk yang berada pada usia kerja tidak memperoleh pekerjaan.3 Meningkatnya jumlah TKI setiap tahun merupakan indikasi kurangnya kesempatan kerja yang ada di dalam negeri. Hal ini menandakan lemahnya kebijakan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Bagi pemerintah, banyaknya TKI yang ke luar negeri mempunyai dampak positif, yaitu berkurangnya jumlah pengangguran dan meningkatnya jumlah devisa bagi negara. Sementara, dampak negatifnya ialah negara dinilai tidak bisa memberikan perlindungan kepada warganegaranya dari ancaman yang setiap saat bisa membahayakan keselamatan nyawa dan kurangnya jaminan kepastian kesejahteraan bagi TKI. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor buruh migran terbesar di dunia. Setiap tahun (antara tahun 2006 – 2009) kurang lebih ada 9 (enam) juta TKI yang bekerja di luar negeri. Mereka tersebar di sejumlah negara, seperti Malaysia, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Singapura, Brunei Darussalam, Kuwait, Oman, Qatar, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan beberapa negara lainnya, seperti Amerika dan Kanada. Dari 6 (enam) juta TKI di luar negeri, sebanyak 4,3 juta diantaranya bekerja disektor informal. Mereka bekerja disektor informal karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, lulusan SD, SLTP, dan tertinggi SLTA. Malaysia merupakan negara tujuan utama TKI, sedikitnya ada 2,2 juta orang TKI yang bekerja di Malaysia. Dari jumlah tersebut,
2
Arief Syafrianto, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah Asal Kalimantan Barat Yang Bekerja Di Malaysia, Jurnal Nestor Magister Hukum, Universitas Tanjung Pura, Vol. 2, No. 4, 2013. 3 Rini Sulistiawati, Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia, Jurnal EKSOS, Vol. 8, No. 3, Oktober 2012, hlm. 1-2.
hanya 1,2 juta orang yang terdaftar resmi di Keimigrasian Malaysia dan 1 juta TKI lainnya tidak terdaftar dan tidak berdokumen.4 Pelanggaran hak-hak TKI oleh pengguna jasa TKI di negara penerima merupakan masalah utama yang belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk pelanggaran hak TKI yang sering dilakukan pengguna jasa TKI adalah penganiayaan, gaji tidak dibayarkan, tindakan asusila, sampai dengan perdagangan orang.5 Berdasarkan ILO No. 88 Pasal 6 huruf b butir IV Pemerintah diwajibkan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mempermudah setiap perpindahan tenaga kerja dari satu negara ke negara yang lain yang mungkin telah disetujui oleh Pemerintah negara penerima Tenaga Kerja Indonesia. Dewasa ini hukum internasional berkembang pesat, hal ini ditandai banyaknya muncul subjek-subjek hukum internasional dan lahirnya berbagai sumber hukum formil dalam hukum internasional. Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting ialah bidang hukum nasional.6 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu. Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme7 yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis8 yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.9 Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualism. Hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. 4
Lihat http://yudicare.wordpress.com/2011/03/17/perlindungan-hukumtenaga+kerja+indonesia+di+malaysia, diakses tanggal 15 November 2012. (Kompas, Senin 15 Juni 2009) 5
Ibid.
6
Pan Muhammad Faiz, Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Menjadi Undang-Undang Di Indonesia, http://panmohamadfaiz.com/2008/01/02/perjanjian-internasional-2/. 7
Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19. 8 Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini. 9 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Alumni, 2003), hlm. 56.
Pada dasarnya pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000, yang diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Globalisasi dalam dimensi ekonomi memiliki hubungan erat dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan masingmasing individu. Selama teknologi yang diciptakan semakin maju dan kebutuhan individu yang makin kompleks maka globalisasi dalam dimensi ini akan terus mengalami perkembangan. Perkembangan yang dapat dilihat salah satunya ialah perkembangan intensitas arus dari faktor produksi, dimana semakin menipisnya batas-batas wilayah suatu negara. Isu ekonomi yang dahulu bersifat domestik menjadi isu global dengan melibakan beberapa aktor lintas negara, salah satu dari aktor tersebut ialah tenaga kerja. Perpindahan tenaga kerja dari satu negara ke negara yang lain di tengah menipisnya batas-batas geografis tersebut tidak dapat dihindari lagi, terlebih adanya harapan kehidupan lebih baik di negara lain yang menjadi tujuan para tenaga kerja tersebut. Perpindahan tenaga kerja yang begitu cepat dan mudah disebabkan oleh faktor perbedaan pertumbuhan perekonomian suatu negara terhadap negara lain, seperti halnya perbedaan pertumbuhan perekonomian di dua kawasan Asia Tenggara. Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam merupakan contoh negara-negara yang kondisi perekonomiannya lebih makmur daripada di Indonesia. Keadaan perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk pasca terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, membuat meningkatnya jumlah pengangguran dikarenakan banyak perusahaan yang melakukan rasionalisasi karyawan. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah kemiskinan dari bulan Agustus 1997 hingga Agustus 1998. Jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan akibat krisis Pemutusan Hubungan Kerja atau biasa di singkat dengan nama PHK, usaha terhenti atau masalah lain yang berhubungan dengan krisis, yaitu sebanyak 4,2 juta orang (data BPS 1998), sedangkan data yang tercatat di Kementerian Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 1998 adalah 7,3 juta. ILO dan UNDP pada tahun 1998 memperkirakan terdapat sebanyak 5,41 juta penganggur karena terkena dampak langsung dari adanya krisis. Dari data yang disajikan di atas, faktor ekonomi menjadi faktor pendorong yang paling dominan dalam mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja asal Indonesia ke negara lain demi mencari kehidupan yang lebih layak. Mereka yang melakukan migrasi biasa disebut dengan istilah TKI. Jumlah TKI pada tahun 2007 adalah 2.700.000 jika dibandingkan dengan negara Kamboja pada tahun 2006 yang mencapai 183.54.10 Malaysia adalah negara di ASEAN yang menjadi rata-rata pilihan pertama para calon TKI di karenakan faktor kedekatan geografis dan proses adaptasi yang tidak terlalu sulit karena banyaknya faktor kesamaan dengan kondisi yang ada di Indonesia. Faktor geografis yang begitu dekat, dengan segala bentuk pembiayaan yang relatif mudah dan murah bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara menjadi penyebab dominan migrasi para TKI. Kemudahan tersebut terkait dengan mudahnya akses transportasi baik lewat jalur darat, air maupun udara. Faktor geografis yang lain kesamaan cuaca, yaitu adanya musim hujan dan musim kemarau saja yang mempermudah untuk proses adaptasi 10
Data International of Migration, 2010.
bagi para calon TKI yang akan berangkat ke Malaysia. Selain faktor geografis tersebut, Malaysia menjadi pilihan utama karena kesamaan budaya. Bahasa yang tidak terlalu jauh berbeda tidak akan mempersulit para calon TKI untuk berkomunikasi dengan calon majikan ataupun dengan penduduk setempat dalam hal adaptasi, sehingga tidak perlu untuk mempelajari bahasa asing yang lain berbeda seperti yang dialami oleh para calon TKI yang akan menuju Arab Saudi. Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional NEH van Esveld sebagaimana dikutip Iman Soepomo menegaskan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.11 Dengan definisi seperti ini berarti yang dimaksudkan dengan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) tidak saja hukum yang bersangkutan dengan hubungan kerja, melainkan juga hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di luar hubungan kerja. Misalnya seorang dokter yang mengobati pasiennya, seorang pengacara yang membela kliennya, atau seorang pelukis yang menerima pesanan lukisan. Sementara itu Molenaar menegaskan bahwa hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.12 Perlindungan Dalam Hukum Nasional Sumber utama dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sumber hukum dapat dibedakan menjadi sumber hukum materiel dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiel atau biasa juga disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat, yaitu kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seharusnya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiel merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber hukum formil adalah tempat dapat menemukan hukum. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.13 Sumber hukum ketenagakerjaan (perburuhan) dalam arti formil ialah perundang-undangan, kebiasaan, keputusan, traktat, perjanjian. Beberapa regulasi perlindungan terhadap tenaga kerja yang pernah berlaku di Indonesia, yakni: Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
11
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Undang-Undang dan Peraturan–Peraturan, (Jakarta: Jambatan, 1972), hlm. 2. 12 Ibid., hlm.1. 13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988), hlm. 63.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP) memakai istilah tenaga warga negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja (melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1). Istilah ini dipandang kurang tepat karena tidak semua warga negara asing yang ada di negara Indonesia merupakan pendatang. Adakalanya warganegara asing berasal dari perpindahan status warganegara melalui ius soli, atau ius sangunis yang sudah lama menetap di Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia kelak mampu belajar belajar dari tenaga kerja asing yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Penggunan tenaga kerja asing di Indonesia dilakukukan secara selektif untuk membantu proses pemberdayaan tenaga kerja Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (UUPTKA) tidak berlaku lagi. Pengaturan mengenai tenaga kerja asing terdapat dalam Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban pemberi kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki rencana penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA; hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah berakhirnya hubungan kerja. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Ketentuan umum Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 menyebutkan maksud Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah pengusaha untuk majikan atau pemberi kerja. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (lihat pula Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004) menjelaskan pengertian pengusaha, yakni: a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dalam Bab VII yang mengatur mengenai penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia. Tenaga kerja asing yang berada dan bekerja di Indonesia wajib untuk tunduk
dan dilindungi dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyangkut perlindungan tenaga kerja asing. Pertama, izin. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud tersebut, tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Alasan diperlukannya izin penggunaan tenaga kerja asing agar penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. Kedua, jangka waktu. Setiap tenaga kerja asing hanya dapat dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Tenaga kerja asing yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. Ketiga, rencana penggunaan tenaga kerja asing. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Rencana penggunaan tenaga kerja asing merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Rencana penggunaan tenaga asing tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan, sebagai berikut: alasan penggunaan tenaga kerja asing; jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga asing.14 Undang-undang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit, yaitu warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam rangka itu, Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari perizinan, jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan. Sejumlah peraturan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain:15 Keputusan Menteri tentang Jabatan Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5)); Keputusan Menteri tentang Tata Cata Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4)); Keputusan Menteri tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2)); Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal 46 ayat (2)); Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)); Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4); dan Keputusan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49). Sejak Undang-undang Ketenagakerjaan diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang tersebut, antara lain: (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 tentang Jabatan14 Lihat http://www.hukumtenagakerja.com/perlindungan-hukum-bagi-tenaga-kerja asing/#sthash.pBBkQibo.dpuf. 15 Lihat http: www.djpp.kemenkumham.go.id.
jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi; (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi Tenaga Kerja Asing. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia menyebutkan maksud Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Dalam ketentuan Pasal 35 butir d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi TKI adalah pendidikan minimal SLTP. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa TKI berhak untuk memperoleh perlindungan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan. Dalam rangka menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, maka dibentuklah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, BNP2TKI merupakan fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Tidak kalah pentingnya ialah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang ketenagakerjaan, yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga. Pertama, perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. Kedua, perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Ketiga, perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Peraturan Menteri ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini, maka beberapa peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Ketenagakerjaan, yakni Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44). Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau Gubernur/Walikota. Kondisi ini melahirkan masalah baru di daerah. Contoh kasus terjadi di Kota Batam, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin tenaga kerja asing di Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya Undang-Undang Ketenagakerjaan, tugas dan kewenangan seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing pun harus menyeberang pulau menuju Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta. Mekanisme baru ini membutuhkan waktu, biaya yang tidak sedikit, birokrasi di Kementerian masih dinilai negatif, dan urusan yang mudah justru dipersulit. Kerumitan yang dipandang oleh para pengusaha yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga kerja asing ini menjadi sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing.16 Perbedaan pemahaman antara Pusat dan Daerah soal tenaga kerja asing dapat menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut seharusnya tidak perlu lagi terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan otonomi di daerahnya. Dalam rangka ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada Lampairan Keputusan Mendagri, khususnya bidang Ketenagakerjaan angka romawi I huruf A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7: Perizinan dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja asing, disebutkan bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota ialah Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA); Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing; Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh Depnaker; Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA); Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan Pemberian rekomendasi IMTA.17 Terkait permohonan IKTA dalam rangka penenaman modal asing didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM 16
Laporan Akhir Penelitian, Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
17
Ibid.
(Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3). Perlindungan Dalam Hukum Internasional Hukum Internasional adalah himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjeksubjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.18 Layaknya di sekolah, kerjasama begitu sangat dibutuhkan dalam menjamin kekompakan antar siswa ataupun sekolah untuk ruang definisi yang lebih luas. Begitu pula dengan negara, perkembangan dan masa depan negara akan menjadi lebih sulit bila tanpa menutup dirinya untuk tidak mengadakan kontak kerja sama dengan negara lain. Itu sudah kodratnya, tidak ada satu pun negara yang akan sanggup menjamin eksistensinya ke depan bila dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dengan sendirian, mereka butuh kerja sama (co-operate), terutama di bidang Ekonomi.19 Salah satu bentuk kerja sama dituangkan dalam perjanjian bilateral. Kerja sama bilateral merupakan kerja sama antar dua negara di bidang tertentu. Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.20 Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara. Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada tanggal 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional. Konvensi Winna tahun 1969 tentang perjanjian internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas, yaitu: good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas kesepakatan dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya, sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek negara dan keputusankeputusan Mahkamah Internasional maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional sebagai perwujudan dari opinion juris. Vienna Convention 1969 dianggap
18
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 1. 19 Lihat http://fullmateri.wordpress.com/2008/02/09/bentuk-bentuk-kerja-sama-internasional, diakses tanggal 15 November 2012. 20 Ibid., hlm. 62.
sebagai induk perjanjian internasional, karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Sementara itu, Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional bahwa An international agreement concluded between states in written form and governed
by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.21 Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa subjek hukum internasional yang utama yang dapat mengadakan perjanjian internasional adalah negara. Meskipun saat ini muncul subjek yang lain dalam membuat perjanjian internasional, namun hal itu tetap dibolehkan karena berkembangnya hukum internasional sejak abad ke-21 ini ditandainya banyaknya muncul negara-negara baru akibat dari dekolonialisasi. Selanjutnya, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.22 Sementara itu, Surat Keputusan Presiden 2826/hk/1960 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa perjanjian internasional menyangkut hal yang penting saja lebih kepada haluan politik luar negeri yang berpengaruh, seperti perjanjian persahabatan, persekutuan, perubhan wilayah, kerjasamaekonomi, kerjasama teknik, kerjasama pinjaman, saja sedangkan perjanjian internasional ada yangkeuntungan bersifat global dan saling menguntungkan. Kewenangan membuat perjanjian internasional dalam konstitusi Indonesia terdapat dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Presiden dapat membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Traktat (treaty) adalah perjanjian internasional mengenai soal perburuhan antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain. Umumnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas pacta sunt servanda, maka masing-masing negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.23 Di dalam hukum internasional ada suatu pranata yang semacam traktat, yaitu convention (konvensi). Pada umum konvensi ini merupakan rencana perjanjian internasional dibidang perburuhan yang ditetapkan oleh ILO (International Labour Organization). Dalam kerangka perdagangan bebas di Indonesia, salah satu ketentuan dasar yang diterapkan ialah pembukaan akses pasar terhadap barang dan jasa dari luar negeri dan sebaliknya. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan khususnya tentang penempatan tenaga kerja asing di Indonesia. Dengan demikian, memiliki persentuhan pada substansi kedua peraturan tersebut.24 Meskipun Indonesia sebagai anggota ILO, namun tidak secara otomatis konvensi tersebut mengikat Indonesia. Agar konvensi internasional tersebut mengikat, maka harus 21
Pasal 2 Konvensi Winna 1969 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 23 I Dewa Rai Astara, Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006), hlm. 44. 24 Frankiano. B. Randang, Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapai Persaingan Dengan Tenaga Kerja Asing, Servanda Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 5, No. 1, Januari 2011, hlm. 67. 22
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Berikut ini Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.25 Pertama, Konvensi Nomor 19 (1925) tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan Asing, dalam hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of
Treatment for National And Foreign Workers as Regards to Workmen’s Compensation for Accident) dibuat pada tahun 1925 dan diratifikasi pada tahun 1927 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1929 Nomor 53. Kedua, Konvensi Nomor 27 (1929) tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut Dengan Kapal (The Marking at The Weight On Heavy Packages Transported By Vessels) dibuat pada tahun 1929 dan diratifikasi pada tahun 1933 Nederland staatsblad 1932 No: 185, Nederland staatblad 1933 Nomor 34 dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia dengan Indonesia staatblad 1933 Nomor 117. Ketiga, Konvensi Nomor 29 (1930) tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced or Compulsory Labour) dibuat pada tahun 1930 dan diratifikasi pada tahun 1933 (Nederland staatsblad 1933 Nomor 26 jo 1933 Nomor 236) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1933 Nomor 261. Keempat, Konvensi Nomor 45 (1935) tentang Memperkerjakan Perempuan di Bawah Tanah dalam Berbagai Macam Pekerjaan Tambang (The Employnment of Women on Underground Work in Mines of All Kind) dibuat pada tahun 1935, diratifikasi pada tahun 1937 (Nederland Staatsblad 1937 Nomor 15) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatsblad 1937 Nomor 219. Kelima, Konvensi Nomor 69 (1946) tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal (Certification of Ship’s Cook) dibuat pada tahun 1946 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1992. Keenam, Konvensi Nomor 81 (1947) tentang Inspeksi Ketenagakerjaan (Labour Inspection) dibuat pada tahun 1947. Ketujuh, Konvensi Nomor 87 (1948) tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize) dibuat pada tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998. Kedelapan, Konvensi Nomor 88 (1948) tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (Institute for Employment Service) dibuat pada tahun 1948. Kesembilan, Konvensi Nomor 98 (1949) tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively) dibuat pada tahun 1949 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari pada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara Nomor 42 tahun 1956). Kesepuluh, Konvensi Nomor 100 (1951) tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value) dibuat pada tahun 1951 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Nomor 171 tahun 1957). Kesebelas, Konvensi Nomor 105 (1957) tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of forced labour) dibuat pada tahun 1957 dan diratifikasi pada tahun 1999. Keduabelas, Konvensi Nomor 106 (1957) tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantorkantor (Weekly Rest In Commerce and Offices) dibuat pada tahun 1957 dan diratifikasi 25
2012.
Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tahun
dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1961 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 106 mengenai Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Lembaran Negara Nomor 14 tahun 1961). Ketigabelas, Konvensi Nomor 111 (1958) tentang Diskriminasi dalam Kerja dan jabatan (Discrimination in Respect of Employment and Occupation) dibuat pada tahun 1958 dan diratifikasi pada tahun 1999. Keempatbelas, Konvensi Nomor 120 (1964) tentang Kebersihan di Tempat Dagang dan Kantor (Hygiene in Commerce and Offices) dibuat pada tahun 1964 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 Mengenai Hygiene dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor (Tambahan Lembaran Negara Nomor 2889 tahun 1969). Kelimabelas, Konvensi Nomor 138 (1973) tentang Batas Usia Minimum untuk Bekerja (Minimum Age for Admission to Employment) dibuat pada tahun 1973 dan diratifikasi pada tahun 1999. Keenambelas, Konvensi Nomor 144 (1976) tentang Konsultasi Tripartit untuk Mempromosikan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (Tripartite Consultations to Promote the Implementation of International Labour Standards) dibuat pada tahun 1976 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 2006. Ketujuhbelas, Konvensi Nomor 182 (1999) tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Elimination of the Worst Forms of Child Labour) dibuat pada tahun 1999 telah diratifikasi pemerintah pada tahun 2000. Kedelapanbelas, Konvensi Nomor 185 (1999) tentang Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers’ Identity Documents/SID) diratifikasi pada tahun 2008. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu, pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang dalam ini diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Penempatan TKI di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI yang ditempatkan di luar negeri; Pasal 33 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Penempatan Tenaga Kerja terdiri atas penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Kemudian Pasal 34 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur dalam Undang-undang. Dalam perkembangannya, pemerintah memberikan kemudahan kepada warga negara dalam memperoleh dan memilih pekerjaan melalui pemanfaatan dan pengaturan pasar kerja luar negeri (supply) yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2002 tentang Ratifikasi Konvensi ILO.26 Diperlukan adanya sinkronisasi harmonisasi hukum internasional dan hukum internasional dalam memberikan perlindungan 26 Djodi M. Butar-Butar, Penempatan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Nestor Magister Hukum, Universitas
Tanjung Pura, Vol. 2, No. 2, 2012. hlm. 1.
kepada tenaga kerja diluar negeri sehingga terciptalah kepastian hukum yang diinginkan oleh semua pihak dan terciptanya hubungan yang harmonis antara Negara pengirim dan Penerima. Penutup Pemerintah harus proaktif dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mengadakan diplomasi dan membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima secara timbal balik. Selain itu, pemerintah juga harus mengevaluasi regulasi nasional tentang ketenagakerjaan, sehingga terwujudlah harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional yang mengakomodir hak-hak para pahlawan devisa negara. Daftar Pustaka Arief Syafrianto, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah Asal Kalimantan Barat Yang Bekerja Di Malaysia, Jurnal Nestor Magister Hukum, Universitas Tanjung Pura, Vol. 2, No. 4, 2013. Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni. Djodi M. Butar-Butar, Penempatan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Nestor Magister Hukum, Universitas Tanjung Pura, Vol. 2, No. 2, 2012. Frankiano. B. Randang, Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapai Persaingan Dengan Tenaga Kerja Asing. Servanda Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 5, No. 1 Januari, 2011. I Dewa Rai Astara, Aspek Perlindungan Hukum Hak-hak Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, 2006. Iman Soepomo. 1972. Hukum Perburuhan Undang-Undang dan Peraturan–Peraturan. Jakarta: Jambatan. Mochtar Kusumaatmadja. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Alumni. Rini Sulistiawati, Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia, Jurnal Eksos, Vol. 8, No. 3, 2012. Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.