BAB II PEMBERONTAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
A. Jenis-jenis Subjek Hukum Internasional Pada dasarnya defenisi hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas mengenai persoalan-persoalan berskala internasional. Hukum internasional terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Hukum Internasional Publik38 dan Hukum Perdata Internasional.39 Selain istilah hukum internasional, masyarakat juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa atau hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Istilah tersebut sah, mengingat istilah hukum bangsa-bangsa sudah lazim digunakan masyarakat untuk berbagai hal atau peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu negara. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara ditujukan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang dikenal sejak munculnya negara dalam bentuk modern sebagai negara nasional.40 Hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah subjek hukum yang saling memiliki keterkaitan, dalam arti masing-masing subjek hukum berdiri sendiri dengan utuh tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. 38
“Hukum Internasional” sesuai dengan artikel di website http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 21.00 WIB 39Mochtar Kusumaatmadja, “Resume Hukum Internasional”, 1999, hal 1 40Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal 2
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut secara harfiah memberi gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.41 Defenisi subjek hukum, yaitu sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum (Rechtsbevoegdheid). Subjek hukum adalah setiap sistem hukum baik itu sistem hukum nasional maupun sistem hukum internasional.42 Menurut I Wayan Parthiana, subjek hukum pada umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan kemampuan sebagai pemegang hak dan kewajiban tersebut, berarti adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan kewajiban.43 Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah : 1. Manusia, individu atau orang perorangan atau disebut pribadi alam (Natuurlijk Person) yaitu hak yang dimiliki sejak dalam kandungan, dan yang dapat dikatakan sebagai subjek hukum manusia adalah mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum atau sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah).44 41
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal 3 “Hubungan Internasional”, sesuai dengan artikel di website http://gozel.wordpress.com/2007/02/01/hubunganinternasional/ pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 21.10 43 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 58 44 “Subjek dan Objek Hukum di Indonesia”, sesuai artikel di website http://wianalaraswati.blogspot.com/2012/04/subjek-dan-objek-hukum-di-indonesia.html, pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 21.20 WIB 42
Universitas Sumatera Utara
2. Badan hukum, yaitu badan atau lembaga yang sengaja didirikan untuk suatu maksud dan tujuan tertentu yang karena sifat, ciri, dan coraknya yang sedemikian rupa dipandang mampu berkedudukan sebagai subjek hukum (Rechtsperson), seperti Bank Indonesia, perusahaan negara, PT, firma, kooperasi, yayasan, dan sebagainya. Menurut Ian Brownlie, subyek hukum internasional merupakan entitas yang menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional.45 Kemampuan tersebut dapat ditinjau dari dua aspek46 yaitu: 1. Dasar Hukum Berdirinya;
2. Advisory opinion atau berdasarkan Keputusan atau Pendapat “International Court of Justice”47 Hak dan kewajiban dari subjek hukum internasional berasal dari semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari perjanjian internasional ataupun kebiasaan internasional.
48
Subjek hukum internasional
adalah mutlak sebagai pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum 45
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1977, hal 60 46 Ibid 47 The International Court of justice (ICJ) is the principal judicial organ of the United Nation (UN). It was established in June 1945 by the Charter of the United Nations and began work in April 1946. The seat of the Court is at the Peace Palace in the Hague (Netherlands). Of the six principal organs of the United Nations, it is the only one not located in New York (United States of America). The Court’s role is to settle, in accordance with international law, legal disputes submitted to it by States and to give advisory opinions on legal questions reffered to it by authorized United Nations organs and specialized agencies.Composed of 15 judges, who are elected for terms of office of nine years by The United Nations General Assembly and the Security Council. It is assisted by a Registry, its administrative organ. Its official languages are English and French. 48 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal 60
Universitas Sumatera Utara
internasional, pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan Mahkamah Internasional, dan pemilik kepentingan yang diatur secara penuh oleh hukum internasional.49 Syarat sesuatu dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional adalah memiliki personalitas hukum internasional dengan kemampuan dan kecakapan tertentu50, diantaranya adalah: 1. Mampu mendukung hak dan kewajiban internasional (capable of possessing international rights and duties); 2. Mampu melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional (endowed with the capacity to take certain types of action on international plane); 3. Mampu menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional (they have related to capacity to treaties and agreements under international law); 4. Memiliki kemampuan untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional (the capacity to make claims for breaches of international law); 5. Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu negara (the enjoyment of privileges and immunities from national jurisdiction);
49
Ibid Subjek Hukum Internasional , “Pengertian Subjek Hukum Internasional”, Status Hukum, Art in the Science of Law, 2013 sesuai artikel di website http://statushukum.com/subjek-hukuminternasional.html 50
Universitas Sumatera Utara
6. Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional (the question of international legal personality may also arise in regard to membership or participation in international bodies).51 Awal mula dalam pertumbuhan hukum internasional, negara dipandang sebagai satu-satunya subjek hukum internasional. 52 Sejalan dengan pendekatan dari segi praktis 53 , masyarakat internasional mengalami peningkatan ditandai dengan adanya perkembangan sejarah, desakan kebutuhan masyarakat umum internasional, maupun oleh keadaan hukum itu sendiri. 54 Munculnya subyek hukum bukan negara sebagai subyek hukum internasional tidak terlepas dari perkembangan hukum internasional. Semakin berkembangnya keberadaan sebuah institusi organisasi internasional, serta adanya organisasi-organisasi lain bersifat khusus yang keberadaannya secara fungsional kemudian diakui sebagai subyek hukum internasional yang bukan negara, semakin kompleks subjek hukum internasional tersebut.55 Subjek hukum internasional yang memiliki personalitas hukum 56 adalah:
51Ibid 52 Hendra Herawan Huzna, International Relation Blog, diakses pada 25 Februari 2014, pukul 14.00 WIB 53Pendekatan praktis : pendekatan berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, dinamis, tidak secara acak, sesuai website wordpress.com/proposal-penelitian-penerapan-pendekatan, diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pukul 08.00 WIB 54Haryomataram, KGPH, Pengantar Hukum Internasional, RajaGrafindo Persda, Jakarta, 2005, hal 78 55 Komar Kantaatmadja, “Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional”, 1998, hal 1 56 F. Sugeng Istanto, Studi Kasus Hukum Internasional, Penerbit PT Tatannusa, Jakarta, 1998, hal 17
Universitas Sumatera Utara
1. Negara; 2. Organisasi Internasional; 3. Palang Merah Internasional; 4. Tahta Suci Vatikan; 5. Individu; 6. Kaum Pemberontak.
1. Negara Negara adalah sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum (binding by law), yang melalui pemerintahannya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai, serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya57. Negara merupakan konsep hukum teknis berupa organisasi kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan internasional dalam mencapai tujuan bersama (common goals) yang dapat dituntut atau pun melakukan penuntutan, baik alat hubungan dalam negeri maupun luar negeri.58 Brierly mengemukakan keberadaan suatu negara dengan: A new state comes into existence, when a community acquires no momentarily, but with a reasonable probability of permanence, the essentials 57
F. Sugeng Istanto, Op.Cit., hal 18 F. Sugeng Istanto, Op.Cit., hal 19 58
Universitas Sumatera Utara
characteristically of a State, namely an organized government, a defined territory, and such a degree of independence of control by any other state as to capable of conducting its own international relations 59 (suatu negara baru itu menjelma apabila suatu masyarakat memiliki, bukan untuk sementara tetapi dengan kemungkinan tetap yang layak, unsur-unsur esensial dari suatu negara, yaitu suatu pemerintahan yang tersusun, daerah yang tertentu, dan taraf kebebasan dari pengawasan negara lain, sehingga mampu untuk melakukan sendiri hubunganhubungan internasionalnya). Upaya masyarakat internasional mempersoalkan hak dan kewajiban negara telah ada sejak abad ke-17 dengan landasan kontrak sosial60. Kualifikasi sebagai suatu negara tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo (Pan American) Hak dan Kewajiban Negara ; The Convention on Rights and Duties of State of 1933. 1.
The state is a person of international law should phases the following qualifications :
2.
Permanent population (Jus Sanguinis, Jus Soli, Naturalisasi)61;
3.
Defined territory;
4.
Legal government; and
5.
Capacity to enter into international relations with the other states.62
59J.L. Brierly, “The Law of Nations”, Oxford University Press, 1963, hal 129 60 Jean Jacques Rousseau, dalam “Du Contract Social” dilihat juga di artikel http://abstractivesense.blogspot.com/2009/11/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html pada 25 Februari 2014 pukul 10.31 WIB 61Jus sanguinis: penetapan kewarganegaraan melalui keturunan Jus soli : penetapan kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahirannya Naturalisasi: suatu negara memberikan kemungkinan bagi warga negara asing untuk memperoleh kewarganegaraan setempat setelah mendiami suatu wilayah tersebut dalam waktu yang cukup lama atau melalui perkawinan, Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling penting dari segi hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.63 Beberapa literatur dan pernyataan turut menyebutkan bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang utama dikarenakan hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, sehingga yang harus diatur oleh hukum internasional terutama adalah negara. Selain itu, perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang utama dimana negaralah yang paling berperan menciptakannya.64 2. Organisasi Internasional Munculnya organisasi internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang, menjadikan organisasi internasional dianggap sebagai salah satu subyek hukum internasional. Theodore A Couloumbis dan James Wolfe mengemukakan untuk dapat menjadi subjek hukum internasional, maka suatu organisasi internasional harus memenuhi persyaratan sebagaimana berikut:
62Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal 2. 63 Starke, J. G., Pengantar hukum Internasional I-edisi kesepuluh, Sinar Grafika Indonesia, Jakarta, 2008, hal 55 64 Nin Yasmine Lisasih, “Subjek Hukum Internasional”, Ibid
Universitas Sumatera Utara
1.
Memiliki keanggotaan secara global dan memiliki tujuan yang bersifat umum, sebagai contoh adalah organisasi perserikatan bangsa-bangsa (PBB)65;
2.
Memiliki keanggotaan secara global dan memiliki tujuan yang bersifat lebih
spesifik,
sebagai
contoh
adalah
organisasi
perburuhan
(International Labor Organization), organisasi yang bergerak dibidang finansial (International Monetary Fund), World Bank, UNESCO, etc; 3.
Suatu organisasi internasional yang cakupan nya regional, terdiri dari sejumlah kecil (beberapa) negara tetapi maksud dan tujuan pendirian organisasinya bersifat global, sebagai contoh adalah Association of South East Asian Nation yang disingkat ASEAN, Europe Union, etc.66
Dasar hukum yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek hukum internasional adalah pasal 104 piagam PBB.67 3. Palang Merah Internasional Keberadaan palang merah internasional di dalam hubungan dan hukum internasional sangat unik dan strategis, dimana pada mulanya pembentukannya merupakan organisasi dalam lingkup nasional di negara Swiss yang didirikan oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. 65
Dasar hukum dalam sistem PBB : a) Pasal 104: The organization shall enjoy the territory of each of its Members such legal capacity as may be necessary for the exercises and the fulfillment of its purposes. b) Pasal 105 : The fulfillment of its functions, and the meaning of it, what kind of it’s reation with immunities 66 Question and Explanation of International Organization as International Law Subject : a) The Preparation for Injuries Suffered in the Service of The United Nations Case 1949 (ICJ Reports, 1949, p.178- 179) ; b) International Court of Justice Advisory Opinion in Interpretation of the Agreement 1951 between WHO and Egypt of 1980 67 The organization shall enjoy the territory of each of its Members such legal capacity as may be necessary for the exercises and the fulfillment of its purposes ; terjemahannya, organisasi akan menikmati di wilayah masing-masing anggota kapasitas hukum seperti yang diperlukan untuk menjalankan fungsi dan pemenuhan tujuannya.
Universitas Sumatera Utara
Kehadiran Palang Merah Internasional menarik simpati dan meluas di berbagai negara, dan kemudian membentuk palang merah nasional di masing-masing wilayah negaranya. Organisasi palang merah dari seluruh negara dihimpun menjadi suatu organisasi internasional dinamakan Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.68 Palang Merah Internasional selanjutnya menjadi salah satu subjek hukum internasional yang memiliki dasar hukum: 1.
International Committee of the Red Cross (ICRC);
2.
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
4. Tahta Suci Vatikan Tahta Suci Vatikan dipimpin oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katolik di seluruh dunia. Vatikan menjadi subjek hukum internasional dengan mendapatkan pengakuan secara luas di seluruh dunia berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran disisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri. Pengakuan vatikan sebagai subjek hukum internasional berbeda dengan negara lain, oleh karena tugas dan kewenangan kenegaraan yang dimilikinya hanya terbatas pada urusan bidang kerohanian dan kemanusiaan serta berorientasi penuh pada kekuatan moral. Wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katolik sedunia telah dipandang secara luas dan mengglobal. 68
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal 80
Universitas Sumatera Utara
Vatikan telah diakui sebagai subjek hukum internasional dan memiliki perwakilan diplomatik di berbagai negara yang sejajar dengan kedudukan perwakilan diplomatik negara lainnya. Berbagai negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara.69 5. Individu Individu dalam kajian hukum normatif merupakan subjek hukum internasional yang utama (Hans Kelsen, 1881-1973) didasarkan pada kapasitas aktif maupun pasif yang dimilikinya. Kapasitas aktif, berarti ilmu hukum memberikan peran terhadap individu sebagai aktor atau pelaku dari ketentuan normatif yang dihasilkan dari hukum internasional.70 Individu merupakan satu-satunya subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban hukum terhadap aplikasi ketentuan normatif dan prosedural penuntutan kejahatan internasional. Berkenaan dengan kapasitas aktif tersebut, seorang individu dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan atau tindakannya secara hukum.71 Kapasitas pasif berarti individu atau kelompok individu merupakan sasaran atau target dan posisinya sebagai korban dari pelanggaran ketentuan normatif yang ada. Westlake menyatakan, “Kewajiban-kewajiban dan hak-hak negara-negara semata-mata adalah kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjadi isi dari negara-negara itu”.72
69I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal 82 70I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal 83 71 Ibid 72F. Sugeng Istanto, Op.Cit., hal 35
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama pasca Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 mengukuhkan individu sebagai subjek hukum internasional, diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subjek hukum internasional yang mandiri.73 Proses peradilan terhadap penjahat perang dalam Mahkamah Internasional di Nurnberg dan Tokyo, seseorang dianggap langsung bertanggungjawab sebagai individu atas kejahatan perang yang dilakukannya. Selain itu, beberapa hal yang dapat dijadikan dasar hukum invidu sebagai subjek hukum internasional 74 , antara lain: 1.
Perjanjian Versailes pada tahun 1919 pasal 297 dan 304;
2.
Perjanjian Uppersilesia pada tahun 1922;
3.
Court of Justice dalam Keputusan Permanent pada tahun 1928;
4.
Perjanjian London pada tahun 1945 (Inggris, Prancis, Rusia, USA);
5.
Konvensi Genocide pada tahun 1948
73Nin Yasmine Lisasih, “Subjek Hukum Internasional”, 2011, Ibid 74 “Subjek Hukum Internasional”, sesuai artikel di website http://myhepio.blogspot.com/2012/07 diakses pada tanggal 25 Februari 2014, pukul 11.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
6. Kaum Pemberontak Kaum pemberontak pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat, dan oleh karenanya penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan.75 Apabila pemberontakan tersebut memiliki persenjataan dan berkembang sehingga menimbulkan perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan atau bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan akan dipandang sebagai tindakan kurang bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi.76 Pandangan dari segi hukum perang, kaum pemberontak dapat menjadi subjek hukum internasional karena memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu. Personalitas internasional terhadap para pihak dalam suatu sengketa sangat tergantung pada pengakuan. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.77
75
Ibid Ibid 77Nin Yasmine Lisasih, “Subjek Hukum Internasional”, 2011, Ibid 76
Universitas Sumatera Utara
B. Aspek Historis dari Keberadaan Pemberontak Sebagai Salah Satu Subjek Hukum Internasional Keberadaan pemberontak muncul sebagai akibat adanya suatu masalah atau pertentangan dalam negeri suatu negara berdaulat. Bentuk perlawanan, pertikaian, ketimpangan kesepahaman maupun hal-hal yang menjadi titik permasalahan yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak adalah selanjutnya menjadi tanggung jawab sebuah negara. Pemberontakan dapat menimbulkan berbagai akibat maupun dampak bagi keselamatan dari negara yang bersangkutan sehingga menjadi kapasitas sebuah negara untuk menemukan titik tengah dan jalan keluar dari permasalahan tersebut.78 Ada kalanya pemberontakan yang muncul menyebabkan kekacauan (chaos), seperti memiliki perlengkapan persenjataan terlarang, jatuhnya korban jiwa dan pemberontakan tersebut terus-menerus mengalami perkembangan, seperti yang terjadi di beberapa belahan dunia yang berujung kepada perang saudara dengan akibat-akibat diluar perikemanusiaan serta melanggar hak-hak asasi manusia. Gerakan separatis yang terjadi di berbagai belahan dunia sesungguhnya telah
merembet
dan
mengarah
kepada
peperangan
menyangkut
ranah
internasional dan menimbulkan gencatan-gencatan senjata serta konflik yang berkepanjangan. Pihak-pihak pemberontak turut memperhatikan aturan-aturan hukum perang, mengingat kegiatan-kegiatan yang diluncurkan mencapai titik keberhasilan dengan menduduki secara efektif dan membentuk otoritasnya sendiri.79 78
Komar Kantaatmadja, Op.Cit., hal 50 Komar Kantaatmadja, Op.Cit., hal 51 79
Universitas Sumatera Utara
Kekacauan akibat gerakan pemberontakan tidak menutup kemungkinan akan meluas ke negara-negara lain dan menimbulkan kerugian baik secara materil maupun korban jiwa. Masalah kemanusiaan merupakan masalah universal dalam sistem internasional. Perlindungan di balik hukum domestik semata untuk menghindari tekanan internasional tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat dalam sistem internasional, sorotan dari masyarakat internasional tidak dapat dihindari, dan negara yang mengalami gerakan separatis di dalamnya tidak dapat menyelesaikan chaos yang berkepanjangan tanpa adanya turut campur dan bantuan dari dunia internasional.80 Hal ini memunculkan berbagai spekulasi dalam penanganannya, sehingga dunia internasional akan turut mengambil alih dan memberi keputusan. Adapun sikap yang dilakukan adalah dengan mengakui eksistensi keberadaan kaum pemberontak dan menerimanya sebagai pribadi berdaulat yang berdiri sendiri. Langkah ini ditempuh untuk meredam pertikaian-pertikaian. Gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan wilayah atau kelompok manusia (kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari suatu negara terjadi di beberapa tempat di belahan dunia. Basis pemberontakan adalah terkait nasionalisme atau kekuatan religius, maupun kurangnya politis dan ekonomi suatu kelompok. 81 Daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama
berabad-abad
lamanya,
sebagai
bentuk
pemberontakan
dengan
80
Komar Kantaatmadja, Op.Cit., hal 52 Komar Kantaatmadja, Op.Cit., hal 53
81
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi penindasan yang kasar oleh rezim Francisco Franco.82 Selanjutnya hal tersebut juga terjadi di Ethiopia, di mana para pemberontak Eritrea lebih marah terhadap despotisme dan korupsi daripada sebuah negara Eritrea yang tidak mempunyai sejarah yang panjang.83 Sikap
pengakuan
keberadaan
pemberontak
ini
tidak
menutup
kemungkinan akan dipandang sebagai tindakan kurang bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi, namun langkah tersebut diambil adalah semata dengan tujuan peredaman konflik dengan tercapainya hak-hak pemberontak serta kesepakatan perdamaian dunia.84 Pemberontak atau gerakan separatis dapat dianggap sebagai suatu subjek hukum internasional karena memiliki hak yang sama dengan apa yang dimiliki oleh subjek hukum internasional lainnya. Pemberontak dibebankan hak seperti dapat menentukan nasibnya sendiri, dapat memilih sistem ekonomi, politik dan sosial sendiri, dan dapat menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didudukinya. Para pemberontak sebagai kelompok maupun gerakan yang dapat diberikan hak-hak tersebut sebagai pihak yang sedang dalam keadaan berperang dalam perselisihannya dengan pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi kompleks seperti negara.85
82
“Perang Saudara di Spanyol” sesuai artikel di website http://warofweekly.blogspot.com/2010/11/kronologisperang-saudara-di-spanyol.html pada tanggal 27 Februari 2014 pukul 08.00 WIB 83 Ibid 84 Nin Yasmine Lisasih, “Subjek Hukum Internasional”, 2011, Ibid 85 Keputusan House of Lord tahun 1962, sesuai artikel http://duniaesai.com/:gam-dalamperspektif-hukum-internasional&catid=40:hukum&Itemid=93 , pada tanggal 26 Februari 2014, pukul 13.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
Personalitas internasional terhadap para pihak dalam suatu sengketa sangat tergantung pada pengakuan. Dalam hukum perang, kaum pemberontak dapat menjadi subjek hukum internasional karena memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu.86 PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan Palestina, adalah salah satu lembaga politik resmi bangsa Arab Palestina yang telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional, terdiri atas sejumlah organisasi perlawanan seperti Al Fatah, organisasi ahli hukum, mahasiswa, buruh dan guru. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya dan diakuinya Yasser Arafat sebagai Ketua LPO pada Sidang Umum PBB tahun 1974, yang selanjutnya telah diakui sebagai wakil sah rakyat Palestina. Kasus pemberian perlakuan Yasser Arafat sebagai pemimpin dari suatu gerakan pembebasan merupakan suatu hal khusus yang terjadi pada perkembangan hukum internasional. Manuver politik dilakukan untuk mencapai tujuan kemerdekaan Palestina dengan menyebarkan perjuangan rakyat Palestina ke seluruh dunia, mengakui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan No.338 (mengakui eksistensi Israel), serta melakukan gerakan intifada.87 Adapun negara-negara yang turut mengalami gerakan pemberontakan antara lain: 86Ibid 87 Pada 15 November 1988, PLO mengumumkan berdirinya negara Palestina dari markas besar di Aljir,Aljazair dan mendirikan kantor kedutaannya di berbagai negara Timur Tengah dan Indonesia. PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum No.3237). dengan pengakuan terhadap negara palestina, PBB mengubah status peninjau sehingga dimiliki oleh Palestina pada tahun 1988 (Resolusi Sidang Umum No. 43/177) , sesuai artikel di website id.mwikipedia.org/wiki/organisasi_pembebasan_palestina wikipedia Organisasi Pembebasan Palestina, pada 27 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
a.
Cekoslowakia, menjadi Republik Ceko dan Slovakia;
b.
Ethiopia, pemisahan Eritrea;
c.
Timor Leste, pemisahan Indonesia;
d.
Yugoslavia, menjadi Bosnia, Herzegovina, Kroasia, Makedonia, Slovenia, Serbia, Montenegro, dan Kosovo;
e.
UniSoviet, menjadi Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgizia, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.88
C. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Pemberontak Sebagai Salah Satu Subjek Hukum Internasional Aturan hukum internasional menetapkan tahap pemberontakan dibedakan dalam dua tahap, yaitu: 1.
insurgent (insurgency); dan tahap
2.
belligerent (belligerency). Pada prinsipnya insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan dalam
suatu negara namun secara de facto belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan. Dalam hal ini, kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai pribadi internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum internasional.89 Kualifikasinya sebagai insurgent, pemberontak atau gerakan separatis secara de jure internasional dilihat sebagai gerakan yang bertujuan mencapai 88
“Gerakan Pemberontakan”, sesuai artikel di website id.mwikipedia.org/wiki/gerakan_pemberontakan.html pada tanggal 27 Februari 2014 89Bima Ari Putri Wijata, “Insurgency and Belligerency”, Semarang, 2013, hal 25
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan melalui penggunaan senjata. Diartikan bahwa, kualifikasi insurgent belum dapat disebut sebagai perang saudara (civil war) dalam hukum internasional.90 Apabila
pemberontakan
insurgent
semakin
memperlihatkan
perkembangan yang signifikan, meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan kecenderungan pengorganisasian semakin teratur serta telah menduduki beberapa wilayah dalam satu negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan pemberontak telah berkuasa secara de facto atas beberapa wilayah.
91
Menurut hukum internasional tahapan tersebut mengindikasikan
keadaan pemberontakan telah mencapai tahap belligerent. Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi syarat-syarat92 sebagaimana berikut: 1. Pemberontakan telah terorganisasi dalam satu kekuasaan yang benar-benar bertanggungjawab atas tindakan bawahannya dan memiliki organisasi pemerintahan nya sendiri; 2. Pemberontak mempunyai kontrol efektif secara de facto dalam penguasaan atas beberapa wilayah; 3. Pemberontak
menaati
hukum
dan
kebiasaan
perang
(seperti
melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil) serta memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus sebagai peralatan militer yang cukup. 90
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 26 Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 27 92 Ibid 91
Universitas Sumatera Utara
Insurgent merupakan awal mula pembentukan belligerent, namun setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent apabila belum memenuhi ketentuan-ketentuan belligerent.93 Di wilayah di mana terjadi tindakan pemberontakan, pemerintah negara yang berdaulat masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai penguasa yang sah. Sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, dalam hubungannya maka setiap upaya negara asing atau negara lain yang membantu kaum pemberontak, dianggap merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional. Apabila tahap pemberontakan yang terdapat di dalam suatu negara telah mencapai tahap belligerent, memungkinkan adanya negara lain yang mengakui kedudukan pemberontak. Pemberontakan yang telah dianggap memiliki kapasitas untuk
memunculkan
konflik,
menjadikan
beberapa
negara
mengakui
keeksistensiannya, didasarkan pada munculnya pemberontak sebagai dasar mereka untuk berdiri sendiri seiring dengan kehendak sendiri.94 Namun dalam pengertian lain, apabila suatu negara memberikan pengakuan terhadap pemberontak sebagai belligerent, sementara pemberontak tersebut sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, maka pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur tangan terhadap suatu negara yang sedang menangani pemberontakan di dalam wilayahnya, dan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.95
93
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 29 Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 30 95 Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 32 94
Universitas Sumatera Utara
Gerakan taliban sebagai contoh insurgent, yaitu gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak tahun 1996 sampai tahun 2001. Kelompok taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan kelompok Taliban dikarenakan kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afganistan, dimana Taliban melakukan berbagai aksi pelanggaran HAM di Afganistan.96 Kelompok tersebut mendapatkan pengakuan dari tiga negara yaitu Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia.97 Sementara contoh belligerent adalah Palestine Liberation (PLO) adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan pada tahun 1964, dan memiliki tujuan utama untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina dalam jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Libanon.98 Sejak tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka menghancurkan negara Israel, yang ksemudian ditegaskan pada piagam PLO yang diselenggarakan di Kairo pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1968 pada peremuan Dewan Nasional Palestina, yang tertuang dalam Pasal 9 Piagam PLO.99 PLO telah mendapat pengakuan dari dunia internasional dengan mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada tahun 1974. Dengan pengakuan terhadap Palestina, maka diberikan terhadapnya hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan 96
Susilo, Taufik Adi, Ensiklopedia Pengetahuan Dunia Abad 20, Javalitera, Yogyakarta, 2010, hal 391 97 http://id.wikipedia.org/wiki/Taliban diakses pada 29 Februari 2014 98 Pasal 27 Piagam HAMAS 99 http://www.us-Israel.org/jsource/Terrorism/plo.html diakses pada 29 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
dalam setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak untuk mensponsori resolusi khususnya terkait masalah Palestina dan Timur Tengah, sehingga PLO menjadi belligerent yang diakui keberadaannya.100 Keberadaan pemberontak dalam perangkat hukum internasional terdapat dalam Konvensi Wina 1969 yaitu perjanjian yang turut merumuskan atau mengkodifikasikan
hukum-hukum
kebiasaan
internasional
dalam
bidang
kesepakatan maupun perjanjian. Konvensi Wina 1969 mengatur pengembangan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian dan turut mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya persoalan-persoalan yang belum diatur sebelumnya dalam Konvensi Wina.101 Konvensi Wina 1969 diterima dan diakui oleh dunia internasional sebagai norma-norma yang tidak bisa dikurangi atau dibatalkan dengan alasan apapun juga meskipun negara dalam keadaan perang. Hal ini sesuai dengan pengertian jus Cogens terdapat dalam Bagian V Konvensi Wina paa rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut: “.....a premptory norm of general international law is norm accepted and recognized by the international community of states as whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character” (sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan,sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama).102 100
“Profil Terorist Organization, Palestine Liberation Organization (PLO)”, lihat dalam http://www.start.umd.edu diakses pada 29 Februari 2014 101 Konvensi Wina 1969, dalam http://kata-sederhana.blogspot diakses pada 29 Februari 2014 102 Isharyanto, “Jus Cogens”, dalam http://isharyanto.wordpress.com/sekelumit -jus-cogens/ diakses pada 29 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai public policy dalam pengertian hukum nasional. Pemberontak sendiri merupakan gejolak yang terjadi dalam sebuah negara yang penanganan nya diatur secara nasional. Lord McNair menggunakan Jus Cogens sebagai ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang lebih tinggi dan ketentuan-ketentuan mana yang tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh negara-negara yang membuat perjanjian. Selanjutnya diberi ketentuan yang telah diterima baik secara tegas dan aturan yang lebih penting untuk melindungi kepentingan masyarakat umum internasional, seperti ketentuan-ketentuan mengenai perang agresi, hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal), ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan, tindakan-tindakan yang tergolong dalam ranah kriminal terhadap kemanusiaan, juga mengenai ketentuan prinsip untuk menentukan nasib sendiri juga mengenai hak-hak asasi manusia.103 Dengan kata lain, norma-norma dalam instrumen internasional yang masuk dalam kategori Jus Cogens, yaitu kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genocida, dan piracy atau piracies. Selanjutnya premptory norm mewakili prinsip yang paling dasar dari hukum humaniter dalam keadaan berperang. Premptory norm sebagai bagian dari hukum internasional, juga mengikat individu, selain negara, termasuk kaum pemberontak, sehingga implikasinya pemberontak juga merupakan bagian subjek dari Konvensi Wina 1969.104 103
Ibid Sesuai artikel di website www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id…2 , pada tanggal 1 Maret 2014, pukul 23.00 WIB 104
Universitas Sumatera Utara