EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Oleh: Sapto Handoyo DP, S.H., M.H.
ABSTRAK Dalam era globalisasi masyarakat internasional yang didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, timbulnya tindak pidana atau kejahatan yang berdimensi internasional semakin sulit dibendung. Tindak pidana internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak pidana. Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena tindak pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Salah satu lembaga yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Eksistensi lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dapat ditemukan dalam bentuk konvensi-konvensi internasional.
A. Pendahuluan Masalah ekstradisi akhir-akhir ini muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendirisendiri, tetapi diperlukan kerjasama terpadu baik secara bilateral maupun multilateral mengadakan hubungan-hubungan, pada gilirannya timbullah hasrat dan kepentingan untuk menjaga, memelihara dan mengatur hubunganhubungan yang sudah terjalin.1 Tindak pidana internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak pidana. Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena tindak pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Dengan demikian, terhadap tindak pidana ini tidak hanya tunduk pada yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi dapat tunduk pada yurisdiksi semua negara atau dapat diterapkan yurisdiksi universal.2 Tegasnya jika ditinjau dari segi hukum internasional, hukum internasional memberikan hak, kekuasaan atau kewenangan kepada negaranegara untuk membuat, melaksanakan, atau memaksakan perundang-
1
H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasional I, (Jakarta: Restu Agung, 2006), Hal. 6. Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), Hal. 27. 2
1
undangan pidana nasionalnya terhadap tindak pidana internasional dimaksud. 3 Tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, hal ini sesuai dengan asas perlindungan kepentingan universal.4 Salah satu lembaga yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang berdimensi internasional ini adalah Ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya. B. Pengaturan Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral regional, maupun berbentuk peraturan perundangundangan nasional Negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang Model Treaty on Extradition, meskipun hanya berupa model hukum saja, dan belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai acuan oleh Negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua Negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.5 Meskipun terdapat banyak perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan di dalam prakteknya, ada Negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua Negara tersebut belum terikat pada perjanjian ekstradisi, atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asasasas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar Negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui atau diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (International Customary Law). Hal ini memang bisa dipahami, karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Raja Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang salah satu isinya adalah berupa kesediaan para pihak untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lainnya, dipandang sebagai embrio dari lembaga hukum ekstradisi ini. Akan tetapi, perjanjian ekstradisi dalam 3
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: CV Yrama Widya, 2006), Hal.
109.
4
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal. 49. I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: CV Yrama Widya, 2004), Hal. 128. 5
2
pengertian modern seperti dikenal sekarang ini, barulah muncul pada abad ke17, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Ekstradisi Nasional (disingkat: UUEN) dengan diterima dan disahkannya RUU Ekstradisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Desember 1978 dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (LNRI Nomor 2 Tahun 1979). Jauh sebelumnya, yakni pada tanggal 7 Januari 1974, telah ditandatangani Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia (disingkat: PEIM), dan pada tanggal 10 Februari 1976, juga telah ditandatangani Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina (disingkat: PEIP). Kedua perjanjian ini telah diratifikasi dan diundangkan masing-masing dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1974, dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1976.6 C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat dan pasti (terhukum, terpidana), oleh Negara tempatnya berada (Negara-diminta) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (Negara-peminta), atas permintaan dari Negara-peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.7 Pengekstradisian terhadap tersangka pada umumnya dilakukan di antara pemerintah-pemerintah yang bersahabat dan yang telah mengadakan perjanjian ekstradisi atas dasar prinsip imbal balik (het beginsel van reciprociteit), artinya masing-masing pemerintah hanya akan memenuhi kewajibannya (untuk menyerahkan) apabila pihak lainnya menghormati hakhak pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan yang diperjanjikan.8 Berdasarkan rumusan ekstradisi di atas, maka dapatlah ditarik beberapa unsurnya, yaitu: 1. Unsur subyek, yaitu Negara-diminta dan Negara/Negara-negara peminta; 2. Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, atau terhukum/terpidana; 3. Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu; dan 4. Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya (pelaksanaan hukuman).9 6
Ibid., Hal. 231. Ibid., Hal. 129. 8 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), Hal. 119. 9 I Wayan Parthiana, Op.Cit., Hal 129. 7
3
Di antara keempat unsur tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah unsur nomor 3 yaitu mengenai prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu. Seperti diketahui, bahwa untuk dapat dilakukan suatu penyerahan atau ekstradisi atas orang yang diminta, maka terlebih dahulu harus ada permintaan untuk menyerahkan orang yang bersangkutan dari Negara-peminta kepada Negara-diminta. Tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari Negara-peminta kepada Negara tempat orang yang bersangkutan berada (Negara-diminta), maka Negara yang belakangan ini tidak boleh menyerahkan orang yang bersangkutan. Remmelink mengartikan ekstradisi sebagai penyerahan seorang tersangka atau terdakwa atau terpidana oleh Negara tempat di mana orang tersebut berada kepada Negara lain yang hendak mengadili orang yang diminta atau melaksanakan putusan pengadilan Negara dari Negara yang diminta.10 Sedangkan ekstradisi internasional adalah permintaan pemerintah suatu Negara terhadap Negara lain.11 Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika Negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan Negara-peminta, maka harus memberitahukan kepada Negarapeminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan atau menolak permintaan dari Negara-peminta, pejabat tinggi dari Negara-diminta, seperti; Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan, dan pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari Negara-diminta. Sangat boleh jadi, dalam kasus ekstradisi, jauh sebelumnya juga sudah melibatkan penegak-penegak hukum dalam tingkatan yang lebih rendah, misalnya; pada saat penangkapan, penahanan, pengawalan atas keamanannya, dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa masalah ekstradisi merupakan masalah Negara dan antar Negara. Sebagai masalah internal dari Negara, maka pelaksanaannya harus menurut hukum atau perundangundangan nasional Negara tentang ekstradisi maupun perundang-undangan lainnya yang terkait, seperti hukum acara pidana. Sedangkan sebagai masalah antar Negara, maka pelaksanaannya harus berdasarkan pada perjanjianperjanjian internasional atau hukum kebiasaan internasional tentang ekstradisi.
D. Asas-asas Ekstradisi
10
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 398. 11 Brian A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, 1999, Page 605, dalam Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), Hal. 40.
4
Untuk memahami lebih jauh tentang ekstradisi, berikut akan diuraikan secara singkat tentang asas-asas dalam ekstradisi. Asas ini merupakan asas pokok yang harus ditaati dan harus selalu dicantumkan dalam perjanjianperjanjian ekstradisi serta ditaati oleh para pihak dalam setiap kasus yang menyangkut ekstradisi. Asas-asas tersebut antara lain:12 1. Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu bahwa kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum Negara-peminta maupun hukum Negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing Negara berbeda-beda. Sudah cukup apabila hukum kedua Negara sama-sama mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Setidaknya ada tiga puluh dua jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.13 2. Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. 3. Asas ne bis in idem atau non bis in idem, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti, maka permintaan Negara-peminta harus ditolak oleh Negaradiminta.14 4. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal). Jika Negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh Negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka Negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek Negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subyektif. Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, Negara-negara baik dalam perjanjian ataupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu 12
Ibid., Hal. 130. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), Hal. 229-230. 14 Untuk mengetahui pengecualian asas ini dalam praktek Hukum Pidana Internasional, lihat ketentuan Pasal 20 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. 13
5
dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. 5. Asas tidak menyerahkan warga Negara (non extradition of nationals). Jika orang yang diminta ternyata adalah warga Negara dari Negara-diminta, maka Negara-diminta “dapat” menolak permintaan dari Negara peminta. Asas ini berlandaskan pada suatu pemikiran, bahwa Negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga Negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika Negaradiminta menolak permintaan Negara-peminta, Negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. 6. Asas daluwarsa, yaitu bahwa permintaan Negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua belah pihak. Di dalam ekstradisi, juga diakui asas resiprositas atau prinsip timbal balik. Jika suatu Negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari Negara lain, maka Negara tersebut juga harus memberikan perlakuan yang baik terhadap Negara yang bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan Negara lain akan menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara kita, maka harus ada jaminan yang seimbang bahwa Negara kita pada suatu saat diminta oleh Negara tersebut untuk menyerahkan tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara tersebut.15 Selain daripada asas-asas tersebut di atas, terdapat juga ketentuanketentuan yang belum atau tidak merupakan asas-asas dalam ekstradisi, tetapi secara umum (meskipun ada pengecualiannya) dicantumkan di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan ekstradisi nasional Negaranegara. Ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya: 1. Tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Di dalam perjanjian ekstradisi internasional ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, terdapat suatu pasal yang mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dengan menyatakan, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum Negara-peminta, tetapi tidak diancam hukuman mati menurut hukum Negara-diminta, atau hukuman mati itu dapat ditolak, kecuali jika Negara-peminta memberikan jaminan yang di- pandang cukup, bahwa hukuman mati tidak akan 15
Jan Remmelink, Op.Cit., Hal. 401.
6
diancamkan ataupun tidak akan dilaksanakan. Dengan adanya ketentuan seperti ini, maka orang yang diminta benar-benar menikmati keuntungan yang tak ternilai, karena jiwanya terselamatkan dari ancaman ataupun pelaksanaan hukuman mati. Adanya ketentuan ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya praktek Negara-negara yang berbeda-beda tentang hukuman mati ini, baik antara Negara-negara yang menganut hukuman mati pada satu pihak dengan Negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di lain pihak, maupun antara sesama Negara-negara yang masih menganut hukuman mati, khususnya dalam pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Sudah tentu pula masuknya ketentuan ini di dalam perjanjian ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, disebabkan karena gencarnya pengaruh dari paham penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang memandang hukuman mati sebagai tidak manusiawi atau bertentangan dengan hak asasi manusia. 2. Tentang permintaan dari dua Negara atau lebih. Dalam praktek kadang-kadang terjadi dua Negara atau lebih mengajukan permintaan ekstradisi atas diri seseorang yang diminta kepada Negaradiminta. Dalam hal seperti ini, Negara-diminta dalam mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan dari salah satu Negara-peminta tersebut, dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain; a. Tentang waktu pengajuan permintaan (permintaan Negara manakah yang diterima terlebih dahulu); b. Berat ringannya kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi; c. Kewarganegaraan dari orang yang diminta; d. Tempat dilakukannya kejahatan; e. Ada atau tidaknya perjanjian ekstradisi antara Negara-diminta dengan Negara-negara peminta, dan ketentuan-ketentuan lain dari peraturan perundang-undangan maupun perjanjian ekstradisi tersebut. 3. Tentang permohonan untuk menahan sementara Apabila Negara-peminta mengajukan permohonan untuk melakukan penahanan sementara atas diri orang yang diminta, permohonan itu harus diajukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi itu sendiri (kalau ada), atau diajukan sesuai dengan praktek yang sudah umum berlaku (jika antara para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi). Demikian pula jika Negara-peminta dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan tersebut, harus berdasarkan pada ketentuan yang sama dan di samping itu juga dengan tetap berdasarkan pada ketentuan hukum nasionalnya sendiri. 4. Tentang tempat dilakukannya kejahatan Dalam beberapa perjanjian ekstradisi, ada ketentuan yang menegaskan tentang tempat atau wilayah dilakukannya kejahatan, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan atas diri orang yang diminta, ternyata dilakukan diwilayahnya atau di suatu tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, maka Negara-diminta “dapat” menolak permintaan Negara-
7
peminta tersebut. Hal ini berkaitan dengan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu Negara yang memang diakui dalam hukum internasional atau berkaitan dengan asas atau prinsip tertorialitas dalam hukum pidana nasional. Jika Negara yang bersangkutan menolak permintaan ekstradisi dari Negara-peminta, Negara-diminta berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum sendiri orang yang diminta itu berdasarkan hukum nasionalnya. E. Ekstradisi dan Perkembangan Kejahatan yang Berdimensi Internasional Eksistensi lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuhpuluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-konvensi tersebut diantaranya: 1. Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya); 2. Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi (Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of The Exploitation of The Prostitution of Others, 1949); 3. Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and The Punishment of the Crime of Genocide, 1948); 4. Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu:16 a. Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention of Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft); b. Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atau Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ); c. Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil / Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation). 5. Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara Internasional (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973); 6. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan (Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987);
16
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), Hal. 64-65.
8
Perlu dikemukakan, bahwa konvensi-konvensi yang mengatur atau berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, barulah akan efektif apabila telah diimplementasikan di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional masing-masing Negara pesertanya (Negara-negara yang telah meratifikasinya). Dengan perkataan lain, hanyalah dengan mentransformasikan substansi konvensi tersebut ke dalam bentuk undang-undang pidana nasionallah, maka konvensi itu bisa efektif. Tanpa ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang pidana nasional, maka konvensi itu tetap tidak akan efektif, meskipun suatu Negara itu telah meratifikasinya. Timbul suatu pertanyaan, apa hubungan antara konvensi-konvensi yang disebutkan di atas dengan ekstradisi? Yaitu bahwa dengan beralih bentuk menjadi undang-undang pidana nasional, maka Negara yang bersangkutan akan dapat menjadikan atau memasukkan kejahatan tersebut sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengekstradisikan si pelakunya, dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara Negara-negara peserta dari konvensi tersebut. F. Ekstradisi Dalam Praktek Negara-Negara Ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum yang eksistensinya sudah mapan dan terhormat, di lain pihak telah memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap individu si pelaku kejahatan dengan hak-hak asasinya, serta dengan prosedur atau formalitas yang panjang dan birokratis, dan tentu saja membutuhkan waktu, biaya, serta tenaga yang cukup besar. Hal ini menjadi dilematis, karena di satu pihak untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional yang seringkali amat canggih, dibutuhkan kecepatan bertindak, sedangkan pada lain pihak dihadapkan dengan lembaga hukum ekstradisi yang sangat formalitas dan birokratis. Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (tepatnya Sembilan tahun, tahun 1986-1995), ternyata hanya beberapa kasus saja yang diselesaikan melalui ekstradisi, seperti kasus Andrija Artukovic, seorang penjahat perang Nazi Jerman pada waktu Perang Dunia II, yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Yugoslavia pada tanggal 13 Februari 1986; kasus John Demjanjuk yang juga seorang penjahat perang Nazi Jerman yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Israel pada tanggal 28 Februari 1986; kasus Sobhraj, seorang warga Negara India yang dituduh telah membunuh banyak orang dari berbagai kewarganegaraan di Thailand pada tahun 1986, yang dimintakan ekstradisinya kepada India oleh Negara-negara yang berkepentingan.17 Pada tahun 1995, muncul kasus Oki, seorang warga Negara Indonesia yang dituduh telah membunuh dua orang warga Negara Indonesia dan seorang warga Negara Amerika Serikat keturunan India di Los Angeles, Amerika Serikat; dan kasus Nick Leeson yang dituduh oleh pemerintah Singapura melakukan kejahatan sehingga merugikan Bank Baring Pcl, yang ternyata 17
I Wayan Parthiana, Op.Cit.
9
kemudian melarikan diri ke Jerman, dan kasusnya telah diselesaikan melalui proses ekstradisi antara Jerman dan Singapura.18 Data di atas, tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai indikasi, bahwa hanya sejumlah inilah terjadinya kasus-kasus kejahatan yang berdimensi internasional yang terjadi kurun waktu tersebut. Meskipun tidak didukung oleh data statistik yang valid, kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang berdimensi internasional yang tidak diselesaikan melalui lembaga ekstradisi. Jika demikian, timbul pertanyaan, melalui prosedur apa penyelesaian kasus-kasus tersebut? Ternyata dalam praktek Negara-negara, berkembang pula suatu cara baru dalam penyerahan pelaku kejahatan yang berskala internasional, yaitu melalui cara “pengusiran atau deportasi” dan “penyerahan di bawah tangan”. Cara ini dianggap jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui lembaga ekstradisi. G. Pengusiran dan Penyerahan Di Bawah Tangan Pengusiran (deportasi) dalam hukum internasional adalah bahwa pemerintah suatu Negara menyuruh keluar seseorang dari wilayahnya karena kehadirannya di Negara itu tidak dikehendaki. Tentang kemanapun dia pergi, merupakan urusannya sendiri. Akan tetapi dalam praktek Negara-negara, adalah seseorang diusir ke Negara asalnya atau Negara dimana dia berkewarganegaraan (yang sebenarnya dihindari), yang justru menantikan kedatangannya untuk ditangkap, ditahan, dituntut, diadili dan atau dihukum atas kejahatannya yang menjadi yurisdiksi dari Negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal penyerahan di bawah tangan, penyerahan itu dilakukan oleh badan yang berwenang dari suatu Negara kepada badan yang berwenang dari Negara lain atas diri seseorang yang sedang dicari karena tersangkut dalam suatu kejahatan. Badan yang berwenang itu misalnya; kepolisian. Penyerahan semacam ini dilakukan berdasarkan atas kerjasama antara kepolisian Negara-negara yang bersangkutan, ataupun kerjasama melalui International Criminal Police Organization (ICPO/Interpol). Sebagai contoh kasus fiktif, misalnya seorang yang sedang dicari-cari oleh kepolisian Amerika Serikat, ternyata akhirnya ditemukan di Australia. Kepolisan Amerika Serikat menghubungi kepolisian Australia dan meminta bantuannya untuk menangkap dan menahan orang tersebut. Setelah berhasil ditangkap dan ditahan, kepolisian Australia memberitahukan kepada kepolisian Amerika Serikat supaya menjemputnya di suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan di Australia. Dengan dibelikan tiket pesawat sebelumnya, maka orang yang bersangkutan dengan penjagaan dan pengawalan yang ketat dari si penjemput kemudian diterbangkan ke Amerika Serikat. Dengan cara tersebut, maka dalam tempo yang singkat dan biaya ringan serta tidak birokratis, justru usaha pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional menjadi sangat efektif dan efisien jika dibandingkan melalui cara ekstradisi. Akan tetapi di sisi lain, cara-cara seperti ini dinilai sangat 18
Ibid.
10
mengurangi hak asasi dari individu pelaku kejahatan yang diserahkan secara di bawah tangan tersebut. H. Ekstradisi dan Pendapat Umum (Public Opinion) Masyarakat Nasional dan atau Internasional Belakangan ini trend atau kecenderungan untuk melakukan penyerahan di bawah tangan atas pelaku kejahatan internasional seperti dikemukakan di atas, tampaknya semakin meningkat, karena memang lebih efektif dan efisien. Namun demikian, penyerahan si pelaku kejahatan melalui lembaga ekstradisipun masih tetap berjalan terus. Hingga kini secara formal memang belum terdapat garis pembeda yang tegas dan pasti mengenai pelaku kejahatan yang bagaimanakah yang diserahkan melalui lembaga ekstradisi atau yang diserahkan secara di bawah tangan. Jika diamati, ternyata praktek-praktek penyerahan di bawah tangan tersebut ada kaitannya dengan belum atau sudah terbentuknya pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang/pelaku kejahatan dan atau kejahatannya. Semakin sedikit orang mengetahui si pelaku kejahatan dan atau kejahatannya tersebut, berarti semakin kurangnya sorotan masyarakat terhadapnya. Jadi, terlewatkan dari pengamatan masyarakat. Apalagi jika orang dan atau kejahatannya itu luput dari perhatian dan liputan media massa. Dengan perkataan lain, belum terbentuk pendapat umum (opini publik) atas orang dan atau kejahatannya itu. Dalam hal inilah, kesempatan untuk melakukan penyerahan secara di bawah tangan akan sangat besar. Sebaliknya, jika atas orang dan atau kejahatannya itu telah melahirkan pendapat umum yang luas, tidak saja dalam tingkat nasional, tetapi sudah tingkat internasional, misalnya berkat liputan dan publikasi yang gencar dari media massa, ditambah lagi dengan komentar-komentar dari masyarakat luas, para ahli, pejabat Negara, maka penyerahan di bawah tangan cenderung untuk dihindari. Dalam hal inilah, akan timbul kerinduan atas lembaga hukum yang bernama “ekstradisi” untuk menjembatani Negara-negara yang berkepentingan atas kasus tersebut. Dengan demikian, pendapat umum masyarakat nasional dan atau internsional atas orang dan atau kejahatannya, cukup berpengaruh terhadap praktek Negara-negara dalam melakukan penyerahan pelaku kejahatan internsional, apakah akan dilakukan melalui penyerahan di bawah tangan atau melalui lembaga ekstradisi. Sehingga kedepan perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai kemungkinan untuk memadukan cara penyerahan pelaku kejahatan internasional melalui lembaga ekstradisi dan melalui penyerahan di bawah tangan, agar tidak bertentangan dengan asas-asas ekstradisi yang berlaku secara umum serta tidak melanggar hak asasi manusia dari individu si pelaku kejahatan internasional tersebut. DAFTAR PUSTAKA
11
Abdussalam, H.R. Hukum Pidana Internasional I. Jakarta: Restu Agung, 2006. ___________. Hukum Pidana Internasional II. Jakarta: Restu Agung, 2006. Atmasasmita, Romli. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika Aditama, 2000. Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 19822. Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, 1983. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Parthiana, I. Wayan. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung: CV. Yrama Widya, 2004. ___________. Hukum Pidana Internasional. Bandung: CV. Yrama Widya, 2006. Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Wahjoe, Oentoeng. Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya). Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
12