16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK
2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrech.7 Perjanjian merupakan sumber yang melahirkan perikatan, oleh sebab itu perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUHPer. Landasan hukum bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1233 KUHPer yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”. Suharnoko berpendapat bahwa perikatan yang berasal dari perjanjian didasarkan atas persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang tidak dikehendaki oleh para pihak sebab hubungan hukumnya ditentukan oleh undang-undang.8 Sehingga perjanjian
terjadi
bersangkutan,
karena
adanya
persetujuan
antara
pihak-pihak
yang
sedangkan perikatan tanpa persetujuan pihak-pihak
yang
bersangkutan pun dapat terjadi.
7
C.S.T. Kansil, 2006, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.10 8 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, hal. 117
16
17
Mengenai pengertian perjanjian dalam KUHPerdata, diatur pada Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. R. Setiawan mengemukakan pendapat mengenai rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer yang tidak lengkap dan juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
dan
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatigedaad).
Sehubungan dengan hal itu, R. Setiawan turut mengusulkan diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian menjadi :9 1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. 2. Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPer.
Atas dasar alasan-alasan seperti yang telah dikemukakan diatas, perlu dirumuskan kembali mengenai pengertian perjanjian. Sehingga beberapa para sarjana turut mengemukakan pendapat mengenai pengertian perjanjian. M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian, sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji
9
R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, hal.49
18
atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal.10 Subekti mengemukakan bahwa perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.11 Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan”.12 Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, maka dapat diketahui bahwa pengertian perjanjian adalalah suatu hubungan hukum dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ialah Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan,yang diatur mulai dari ketentuan Pasal 1313 sampai dengan ketentuan pasal 1864.
2.1.2 Bentuk-bentuk dan Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Mengenai bentuk perjanjian jika ditelaah melalui ketentuan yang tercantum didalam KUH Perdata, perjanjian menurut bentuknya ada dua yakni perjanjian lisan dan perjanjian tertulis.
10 11
M. Yahya Harahap, 2000, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.4 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti
I), hal.9 12
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.78
19
Dilihat dari ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian lisan ialah perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup hanya dengan kata sepakat. Lain hal nya dengan ketentuan pasal 1682 KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian hibah dengan akta notaris yang merupakan perjanjian dalam bentuk tertulis. Salim H.S.
mengemukakan ada tiga
bentuk perjanjian tertulis,
sebagaimana dikemukakan berikut ini.13 1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. 2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaries atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya. 3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka pejabat yang 13
Salim H.S., 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.43
20
berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.
Suatu perjanjian untuk diakui keabsahannya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, yang meliputi empat syarat yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Adanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian yang diadakan tersebut. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas.14 Dengan kata lain, pihak-pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Dengan demikian, kata sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa cacat. Mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiada kesepakatan sah apabila kesepakatan itu diberikan secara kekhilafan (dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Adanya kecakapan yang dimaksud ialah cakap dalam hukum. Cakap dalam hukum menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata ialah apabila telah berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan. Sedangkan
14
Komariah, 2008, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, hal.175
21
yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata ialah sebagai berikut : a. anak yang belum dewasa; b. orang yang ditaruh dibawah pengampuan; c. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Menurut ketentuan pasal 1329 KUHPerdata, tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Sehingga setiap orang dianggap mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, terkecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap. Perjanjian dapat dikatakan cacat apabila orang-orang yang dinyatakan tidak cakap tersebut melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya. Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim, baik secara langsung ataupun melalui orang yang mengawasinya.15
3. Suatu hal tertentu Menurut pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian. Suatu hal tertentu yang dimaksudkan ialah suatu perjanjian harus mengenai suatu objek tertentu sebagai prestasi yang merupakan pokok perjanjian.
15
C.S.T. Kansil, op.cit, hal.226
22
4. Suatu sebab yang halal Sebab atau causa yang dimaksudkan adalah isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Suatu perjanjian harus mengandung isi perjanjian mengenai tujuan yang dibenarkan oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.16 Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena menyangkut orang-orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek dari diadakannya perjanjian. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau dapat batal demi hukum.
2.1.3 Asas-asas Perjanjian Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat hukum dalam peraturan konkrit tersebut.17 M. Isnaeni menyebut beberapa asas sebagai tiang penyangga Hukum Kontrak yaitu asas kebebasan berkontrak yang berdiri sejajar dengan asas-asas lain berdasar proporsi yang berimbang, yaitu : 1. Asas pacta sunt servanda; 2. Asas kesederajatan;
16
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2007, Hukum Dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, hal. 31 17 Sudikno Mertokusumo,1994, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Alumni, Bandung, hal.33
23
3. Asas privity of contract; 4. Asas konsensualisme; dan 5. Asas itikad baik.18
Adapun asas-asas dalam hukum perjanjian dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yaitu : 1. Asas Konsensualisme Menurut asas ini, perjanjian sudah lahir sejak para pihak telah mencapai kata sepakat mengenai isi pokok perjanjian. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. 2. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.19 Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang disebutkan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.
18
M. Isnaeni, 2006, Hukum Perikatan dalam Era Perdagangan Bebas, Universitas Airlangga, hal.5 19 Salim H.S, 2004, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.9 (selanjutnya disingkat salim H.S I)
24
3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda) Maksud dari asas ini dalam suatu perjanjian adalah didapatkannya kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian, dimana para pihak terikat untuk mematuhi isi dari perjanjian yang telah dibuat. Asas ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi yang membuatnya. Kepastian hukum dapat dilihat dari kekuatan mengikat perjanjian tersebut, dimana perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Untuk itu, sudah sepatutnya perjanjian wajib dipatuhi oleh para pihak yang membuatnya. 4. Asas itikad baik Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) yang menentukan bahwa, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik pada waktu dibuatnya perjanjian. Kemudian menurut Munir Fuady, sebenarnya itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak, sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “causua yang legal“. 20
20
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.81
25
5. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Berdasarkan dua ketentuan pasal tersebut didapat kesimpulan bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
2.2 Perjanjian Baku 2.2.1 Pengertian Perjanjian Baku dan Dasar Hukumnya Perjanjian atau kontrak baku berkembang seiring dengan modernisasi kehidupan masyarakat. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standart contract. 21 Munir Fuady mengartikan Kontrak baku adalah : “Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh 21
Salim H.S., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S. II) hal.145
26
salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah”.22
Dengan demikian, perjanjian baku merupakan perjanjian yang klausulklusulnya sudah ditentukan oleh salah satu pihak yang kedudukannya lebih kuat. Untuk itu, dalam perancangan suatu perjanjian baku tidak ada tawar menawar mengenai isi perjanjian antara para pihak yang mengadakan perjanjian, sebab isi perjanjian telah ditentukan sepihak oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.23 Praktik perjanjian baku dengan kedudukan tidak seimbang diantara para pihak yang mengadakan perjanjian, dimana pihak selaku konsumen cenderung berada diposisi lemah dengan isi perjanjian yang memberatkan. Berkaitan dengan hal tersebut mengenai perjanjian baku diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian baku ialah UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diatur dalam ketentuan pasal 18 mengenai ketentuan pencantuman klausula baku. 22
Ibid Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.40 23
27
2.2.2 Karakteristik Perjanjian Baku Perjanjian baku memiliki karakteristik tersendiri yang disesuaikan dengan perkembangan dan juga tuntutan kehidupan masyarakat modern. Oleh sebab itu, terdapat karakteristik yang menjadi ciri-ciri tersendiri yang dimiliki oleh perjanjian baku. Karena lahir dari kebutuhan akan efisiensi serta efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku dibuat salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi perjanjian telah distandarisasi, klausula yang ada dilamnya biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara terus menerus dalam waktu yang lama.24 Selain itu, beberapa ahli juga turut mengemukakan pendapat mengenai karakteristik atau ciri-ciri perjanjian
baku.
Sudaryotmo
mengemukakan
karakteristik perjanjian baku sebagai berikut : 1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen; 2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian; 3. dibuat dalam bentuk tertulis dan massal; 4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.25
24 25
hal.93
Celina Tri S.K., op.cit, hal.140 Sudaryotmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra AdityaBakti, Bandung,
28
Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku. Ciri perjanjian baku, yaitu : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 2. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; 3. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. bentuk tertentu (tertulis); 5. dipersiapkan secara massal dan kolektif.26
2.2.3 Jenis-jenis Perjanjian Baku Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku menjadi empat jenis yaitu : 1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi ) kuat dibandingkan pihak debitur. 2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. 26
Salim H.S. II, op.cit, hal.146
29
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.27
Salim H.S. turut mengemukakan pendapat mengenai jenis-jenis perjanjian baku, yakni : 1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak production sharing ,perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak bantuan teknis, dan lain-lain; 2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktik bisnis, seperti kontrak baku dalam perjanjian leasing , beli sewa, franchise, dan lain-lain; 3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan, seperti perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah; 4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank, seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura, perjanjian pembiayaan konsumen, dan 5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi.28
27 28
Salim H.S. II , ibid, hal. 156 Ibid, hal. 157
30
2.3 Kredit Bank 2.3.1 Pengertian Kredit Bank dan Dasar Hukumnya Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan.29 Seseorang atau badan hukum yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan di masa mendatang. Sehingga, kepercayaan menjadi dasar kuat dari hubungan kredit antara kreditur dengan debitur. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah : “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Selain pengertian kredit yang dirumuskan Pasal 1 angka 11 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, beberapa sarjana turut mengemukakan pendapat mengenai pengertian kredit. Teguh Pudjo Muljono mendefinisikan bahwa kredit adalah : “kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan
29
Suyatno, Chalik dkk, 2007, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 12
31
suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati”.30 Taswan mengemukakan mengenai definisi kredit adalah : sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.31 Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, dapat diketahui pengertian kredit adalah kemampuan untuk mengadakan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain dengan janji pelunasan hutang oleh peminjam dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Mengenai kredit bank diatur dalam hukum positif yaitu Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2.3.2 Pengertian dan Fungsi Perjanjian Kredit Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit32. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang tidak diatur didalam Buku III KUHPerdata. Begitu pula dengan Undang-Undang No.10 Tahun
30
Teguh Pudjo Muljono, 2007, Manajemen Perkreditan bagi Bank Komersiil, BPFE, Yogyakarta, hal.10 31 Taswan, 2003, Manajemen Perbankan Konsep, Teknik, dan Aplikasi, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, hal. 163 32 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.155
32
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit dapat ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet nomor 25/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 Jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia unit 1 No. 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksikan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit. Menurut R. Subekti, perjanjian kredit diidentikkan dengan perjanjian pinjam-meminjam uang yang mempunyai sifat khusus. Maksudnya, perjanjian peminjaman uang terjadi antara bank dengan debitur, di mana debitur akan mengembalikan pinjaman setelah jangka waktu yang telah ditentukan.33 M. Djumhana mengemukakan beberapa fungsi perjanjian kredit, yaitu :34 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Sutarno turut mengemukakan pendapat mengenai fungsi dari perjanjian kredit, yaitu :35
33
Indra Rahmatullah, 2015, Aset Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan dalam Perbankan, Deepublish, hal. 87 34 M. Djumhana, 2003, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.388
33
1. Perjanjian kredit merupakan alat bukti bagi kreditur dan debitur untuk membuktikan adanya hak dan kewajiban yang timbale-balik antara bank sebagai kreditur dan nasabah yang meminjam sebagai debitur. 2. Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat bukti atau sarana pemanfaatan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit. 3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya, yaitu perjanjian pengikatan jaminan. 4. Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti yang membuktikan adanya utang debitur dan perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank (kreditur) untuk mengeksekusi barang jaminan/agunan apabila debitur tidak mampu melunasi utangnya.
2.3.3 Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit Dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditentukan para pihak dalam perjanjian kredit, yaitu kreditor dan debitur. Kreditor adalah bank yang menyediakan kredit kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit. Debitur adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang menerima kredit dari kreditor berdasarkan perjanjian kredit.
35
hal.101
Sutarno, 2005,
Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung,
34
1. Pihak pemberi kredit (kreditor) Kreditor adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank, misalnya, perusahaan leasing; 2. Pihak penerima kredit (debitor) Debitor adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subjek hukum, yakni, suatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari : a. Manusia (person) b. Badan hukum (rechtpersoon), misalnya, Perseroan Terbatas (PT).
Sementara itu, dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditentukan para pihak yang terkait dalam perjanjian kredit bank adalah pihak bank dan nasabah debitur. Bank dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Bank umum; dan 2. Bank perkreditan rakyat.
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha : 1. Secara konvensional; dan/atau 2. Berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
35
Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha : 1. Secara konvensional; dan/atau 2. Berdasarkan prinsip syariah.