36
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA
2.1
Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli
yang satu dengan yang lain. Secara umum, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu. 14 Subekti mengatakan bahwa, Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.15
14
Wiryono Projodikoro, 1993, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.9.
15
Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1.
37
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 16 Adapun pengertian perjanjian diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dengan judul perikatan. Pengertian perjanjian ini tertuang dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Abdulkadir Muhammad ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahankelemahan tersebut adalah sebagai berikut:17 (1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. (2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaaneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. (3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). (4) Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tifak jelas untuk apa.
16
Salim H.S, op.cit, h.26.
17
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.224.
38
Berdasarkan kelemahan-kelemahan, maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.18 Selanjutnya oleh Salim H.S menyebutkan bahwa kontrak atau perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. 19 Dalam pengertiannya ini disampaikan bahwa bukan hanya orang perorang yang membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum. Sedangkan Perjanjian Kerjasama sendiri tidak dikenal di dalam KUH Perdata sehingga digolongkan sebagai perjanjian tidak bernama (innominaat), sebagaimana diatur di dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa perjanjian tak bernama juga tunduk pada ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam KUH Perdata. Sehingga, KUH Perdata berlaku juga dalam perjanjian kerjasama, disamping peraturan lain, agar perjanjian kerjasama tetap sah berlaku.
18
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.225.
19
Salim H.S., op.cit, h.27.
39
Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi tumbuh di masyarakat. Lahirnya perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku. Perjanjian Kerjasama antara Parigata Resort N Villas Group dengan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar merupakan perjanjian dalam hal memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawannya. Menurut Subekti bahwa, “Perjanjian kerjasama hanya mempunyai daya hukum intern (ke dalam) dan tidak mempunyai daya hukum ke luar”. Yang bertindak ke luar dan bertanggung jawab kepada pihak ketiga adalah kerugian di antara para sekutu diatur dalam perjanjiannya, yang tidak perlu diketahui masyarakat.20
2.2
Asas-asas Hukum Perjanjian Kerjasama Sama halnya dengan bidang-bidang hukum lain, hukum perjanjian
mempunyai asas-asas yang merupakan prinsip atau pemikiran dasar yang bersifat umum yang melatar belakangi terbentuknya ketentuan-ketentuan hukum yang
20
Subekti, 1976, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, h.53.
40
konkrit dalam hukum positif. Jadi asas-asas hukum tersebut pada umumnya tidak langsung tersurat di dalam peraturan hukum yang tertuang dalam bunyi pasalpasal di dalam Buku III KUH Perdata, namun hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai atau melatar belakangi terbentuknya hukum positif. Hal ini dikarenakan sifat dari asas tersebut adalah umum dan abstrak. Di dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas-asas hukum perjanjian. Beberapa asas tersebut termasuk kedalam asas-asas hukum perjanjian kerjasama adalah sebagai berikut ini : 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak erat dengan isi, bentuk serta jenis perjanjian. Menurut asas ini, setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam Undang-Undang. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang membuatnya”. Jadi
dari
pasal
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
masyarakat
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undangundang. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:21
21
Salim H.S., op.cit, h.9.
41
a. membuat atau tidak membuat perjanjian, b. mengadakan perjanjian dengan siapapun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Kebebasan yang diberikan tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan ada pembatasan yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 2. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Asas ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan sematamata.22 Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.
22
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.34-35.
42
3. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asan pacta sunt servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan pada Pasal 1338 Ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa: “persetujuanpersetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cakap untuk itu”. Dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut diatas, dapat diketahui betapa pentingnya hal janji seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat. Wiryono Prodjodikoro mengemukakan sebagai berikut: “Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, oleh karena itu Hukum
Perdata
banyak
mengandung
peraturan-peraturan
hukum
yang
berdasarkan atas janji seseorang”.23 Dari pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa sudah seharusnya jika perjanjan yang disepakati itu dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh para pihak. Jadi para pihak haruslah melaksanakan apa yang telah mereka sepakati bersama, sehingga apabila terjadi pelanggaran maka pihak yang lain dapat
23 Wirjono Prodjodikoro, 1983, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cetakan Kesebelas, Sumur, Bandung, h.7.
43
menuntutnya. Dengan demikian asas ini akan memberikan kepastian hukum bagi mereka yang mengadakan suatu perjanjian. 4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, yaitu bahwa: “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dibedakan menjadi dua, yaitu itikad baik dalam arti subyektif dan itikad baik dalam arti obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Dengan asas itikad baik maka akan timbul kepercayaan satu sama lain yang saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Dengan demikian suatu perjanjian telah dilaksanakan dengan asas itikad baik apabila para pihak bersikap jujur serta mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan untuk mencapai satu sisi tujuan hukum, yaitu sisi keadilan mencapai kepastian hukum.
2.3
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Kerjasama dan Akibat Hukumnya Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Undang-Undang begitu pula dengan perjanjian kerjasama.
44
Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sah perjanjian:24 (1) ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus), (2) ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity), (3) ada suatu hal tertentu (objek), (4) ada suatu sebab yang halal (causa). Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Pernyataan persetujuan kehendak mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian. Sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan suatu kebulatan yang harus dipenuhi secara keseluruhan. Artinya, tidak dipenuhinya secara keseluruhan keempat syarat tersebut akan mengakibatkan suatu perjanjian batal atau dapat dibatalkan. Untuk memberikan gambaran lebih lanjut, maka akan diuraikan keempat syarat sahnya suatu perjanjian sebagai berikut : (1) Persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus)
24
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.228.
45
Sebelum
adanya
persetujuan,
biasanya
pihak-pihak
mengadakan
perundingan (negotiation) yang dimaksudkan untuk menawarkan kehendak bagi pihak yang satu dengan pihak yang lain. Apabila pihak lain itu sepakat, maka ia akan menyampaikan persetujuannya kepada pihak yang menawarkan kehendak, dengan demikian telah tercapai suatu kesepakatan. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian maksudnya bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Dalam kesepakatan ini tidak boleh terdapat pemaksaan, jika terdapat pemaksaan kepada salah satu pihak maka perjanjian menjadi batal. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti. Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekeliruan atau kesesatan apabila salah satu pihak tidak hilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa mengadakan perjanjian itu. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang. Penipuan menurut arti undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat itu
46
memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui. Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (venietigbaar, voidable). Menurut ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.
(2) Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, maksudnya bahwa pihakpihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum. Dalam KUH Perdata pengaturan tentang kecakapan dinyatakan dalam Pasal 1329, yaitu: “tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Dengan demikian ada orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang memberikan batasan orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak membuat perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
47
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata, juga memandang bahwa seseorang wanita yang telah bersuami tidak cakap melakukan perjanjian. Akan tetapi sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedudukan wanita yang telah kawin tersebut diangkat ke dalam posisi yang sama dengan kedudukan seorang suami. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2), yang menentukan bahwa hak dan kedudukan istri dalam rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, point 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi. Sehingga yang termasuk ke dalam orang-orang yang tidak cakap adalah orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak. (3) Suatu hal tertentu (objek) Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian yang memuat prestasi yang perlu dipenuhi dalam perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai pokok perjanjian
48
atau objek perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum, yaitu sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. (4) Suatu sebab yang halal (causa) Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi menurut Pasal 1320 KUH Perdata, causa yang dimaksud bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi dari perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. 25 Perjanjian tanpa sebab apabila perjanjian itu dibuat dengan tujuan yang tidak pasti atau kabur. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu, tujuannya untuk menutupi apa yang sebenarnya hendak dicapai dalam perjanjian tersebut. Suatu sebab dikatakan terlarang apabila bertentangan dengan batasan yang ditetapkan pada Pasal 1337 KUH Perdata yaitu: “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”. Semua perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas diakui oleh hukum, akan tetapi apabila tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
25
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.232.
49
pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif). Dengan demikian perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 26
2.4
Bentuk Perjanjian Kerjasama dan Jenis-jenis Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pada dasarnya suatu perjanjian tidak harus dibuat dalam suatu bentuk
tetentu, artinya dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan dapat juga dalam bentuk yang tidak tertulis. Akan tetapi ada beberapa jenis perjanjian yang oleh undangundang diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis. Mengenai bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat berbentuk akta notaris dan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan dapat berupa perjanjian baku (Perjanjian Standar) dan bentuk perjanjian bukan standar. Khusus untuk perjanjian yang tidak termasuk dalam perjanjian yang diisyaratkan undang-undang seperti halnya perjanjian kerjasmaa untuk dibuat dalam bentuk tertulis, jika dibuat dalam bentuk tertulis (akta) hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Secara garis besar KUH Perdata mengklasifikasi jenis-jenis perjanjian sebagai berikut berdasarkan kriteria masing-masing:27 (1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. Perjanjian jenis ini berdasarkan kewajiban berprestasi. Perjanjian timbal balik adalah
26
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.94.
27
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.227-228.
50
perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah, hadiah. (2) Perjanjian bernama dan tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian‐perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan pekerjaan, dan lain-lain. Dalam KUH Perdata diatur dalam title V s/d XVIII dan diatur dalam KUHD. Perjanjian tak benama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas yang tumbuh di masyarakat. Lahirnya perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. (3) Perjanjian perjanjian obligatoir dan kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi consensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli, hibah, tukar-menukar. Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya memindahkan penguasaan atas benda (bezit), misalnya dalam sewamenyewa, pinjam pakai, gadai. (4) Perjanjian konsensual dan real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
2.5
Wanprestasi dan Resiko dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Pada umumnya setiap pihak yang mengadakan suatu perjanjian kerjasama
menghendaki agar perjanjian yang telah dibuat dapat dilaksanakan sesuai dengan isi yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain bahwa salah satu pihak menghendaki dapat dipenuhinya prestasi dari pihak lainnya sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi dalam praktik tidak semua perjanjian dapat dilaksanakan dengan sempurna. Hal ini dimungkinkan prestasi yang diharapkan tidak dapat
51
dipenuhi pihak lain sehingga pelaksanaan perjanjian itu mengalami hambatan. Adapun
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
perjanjian
kerjasama
diantaranya, yakni: 1) Wanprestasi 2) Resiko Pelaksanaan Perjanjian
1) Wanprestasi Dalam suatu perjanjian, setidaknya ada dua subyek yaitu pihak debitur dan pihak kreditur. Pihak debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, sedangkan pihak kreditur adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi dari debitur. Keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi prestasinya inilah yang dinamakan wanprestasi. Menurut Salim H.S. mengatakan wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. 28 Sedangkan Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. 29 Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :
28
Salim H.S., 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta,
29
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.203.
h.180.
52
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian. 2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemapuan debitur. Debitur tidak bersalah. Untuk mengetahui sejak kapan debitur melakukan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian tersebut telah ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan tidak ditentukan, maka perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Adapun dalam hal telah ditentukannya tenggang waktu dalam perjanjian tersebut, seorang debitur telah melakukan tindakan wanprestasi atau melalaikan kewajibannya dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yaitu : “si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Menurut Pasal 1238 KUH Perdata tersebut diatas, seorang debitur baru dapat dinyatakan lalai setelah ia ditagih atau ditegur oleh kreditur. Cara ini disebut dengan istilah somasi. Jadi yang dimaksud dengan somasi adalah peringatan yang disampaikan oleh kreditur yang ditujukan kepada debitur yang berisikan ketentuan agar debitur memenuhi prestasinya dengan seketika atau dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam peringatan itu. Peringatan atau somasi biasanya dilakukan oleh seorang juru sita dari pengadilan atau cukup dengan surat
53
tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur dengan tanda terima. Apabila seorang debitur diberikan peringatan atau ditegur, tetapi ia tidak mau melakukan kewajibannya, maka terhadapnya akan dikenakan sanksisanksi yang berupa pembayaran ganti rugi, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko. Berdasarkan akibat wanprestasi tersebut, menurut Abdulkadir Muhammad akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berikut ini : 30 (1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1234 KUH Perdata). (2) Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (Pasal 1266 KUH Perdata). (3) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 Ayat (2) KUH Perdata). (4) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). (5) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkirakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.
Selanjutnya sebagai akibat adanya wanprestasi dilihat dari pihak kreditur, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yaitu : 1. Kreditur dapat menuntut pemenuhan perjanjian; 2. Kreditur dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3. Kreditur dapat menuntut ganti rugi saja; 4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian;
30
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.204.
54
5. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
2) Resiko Pelaksanaan Perjanjian Sering terjadi bahwa debitur tidak memenuhi prestasinya dalam suatu perjanjian bukan karena lalai atau wanprestasi, tetapi karena dalam keadaan memaksa. Keadaan ini adalah suatu keadaan yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya sutau prestasi dalam perjanjian yang disebabkan oleh suatu keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya dan berada di luar kesalahan debitur. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:31 (1) Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan/memusnahkan benda objek perikatan, atau (2) Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, (3) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Keadaan memaksa ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keadaan memaksa yang bersifat absolut dan keadaan memaksa yang bersifat relatif. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa yang bersifat absolut adalah suatu keadaan yang mengakibatkan suatu prestasi dalam suatu perjanjian tidak dapat dipenuhi sama sekali oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimanpun juga. Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat relatif adalah suatu keadaan dimana masih
31
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.205.
55
dimungkinkan dipenuhinya prestasi dalam suatu perjanjian, akan tetapi memerlukan pengorbanan yang besar. Dalam hal ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit memenuhi prestasi, bahkan jika dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Berbeda halnya dengan wanprestasi yang mengakibatkan debitur dapat dikenai
sanksi,
dalam
hal
terjadinya
keadaan
memaksa
tidak
dapat
dipermasalahkan dan dipertanggungjawabkan kepada debitur. Maka sudah sewajarnya
bahwa
tidak
dipenuhinya
suatu
perutangan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur jika ia tidak mempunyai kesalahan, melainkan karena adanya overmacht. Pertimbangan yang demikian terdapat dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menentukan : “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikannya, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Sedangkan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan : “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berhutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran halhal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Kedua pasal ini dimaksudkan untuk membebaskan debitur dari kewajibannya mengganti kerugian akibat dari suatu persitiwa yang tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan sehingga akan menimbulkan resiko yaitu siapa yang
56
harus menanggung kerugian yang terjadi di luar kesalahan debitur. Persoalan resiko sebagai akibat overmacht ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu resiko pada perjanjian sepihak dan resiko pada perjanjian timbal balik. Ketentuan yang mengatur persoalan resiko dapat ditemukan dalam bagian umum Buku III KUH Perdata. Namun dalam bagian umum Buku III KUH Perdata tersebut hanya mengatur mengenai resiko perjanjian sepihak saja, yaitu yang telah diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata yang berbunyi, “bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu tersebut semenjak perikatan
dilahirkan,
adalah
atas
tanggungan
si
berpiutang.
(tanggungan=resiko)”.32 Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu jika barang ini sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh si berpiutang yaitu kreditur, yakni pihak yang menerima barang itu atau berhak atas penyerahan barang. Pasal 1237 KUH Perdata ini hanya dapat dipakai untuk perjanjian sepihak, misalkan : perjanjian penghibahan, perjanjian pinjam pakai. Untuk penyelesaian persoalan resiko pada perjanjian timbal balik harus dicari dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus. Dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata ini, ternyata dapat ditemukan beberapa pasal yang mengatur persoalan resiko, yaitu Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Pasal 1545 KUH Perdata adalah mengatur persoalan resiko dalam
32
Lukman Santoso, op.cit, h.18.
57
perjanjian tukar menukar, yang menentukan : “jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siap yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”. Jadi dalam perjanjian tukar menukar apabila salah satu pihak tidak dapat menyerahkan barang yang diperjanjikan untuk ditukar, maka pihak yang telah menyerahkan barangnya dapat menuntut kembali barang yang semula dijanjikan untuk ditukar. Sedangkan Pasal 1553 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian sewa menyewa menentukan : “jika selama waktu sewa barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum”. Perkataan gugur demi hukum mengandung pengertian bahwa masing-masing pihak tidak dapat menuntut apa-apa dari pihak lainnya. Jadi ketentuan yang mengatur persoalan resiko yang terdapat pada Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 Ayat (1) KUH Perdata, pada prinsipnya membebankan resiko pada pemilik barang atau pihak debitur.
2.6
Tanggungjawab Pihak-Pihak Akibat Wanprestasi dalam Perjanjian Kerjasama Tanggungjawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya, berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
58
Tanggungjawab pihak-pihak akibat wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian kerjasama tersebut pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Maka model tanggungjawab hukum, yaitu sebagai berikut : a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. b. Tanggung
jawab
dengan
unsur
kesalahan
khususnya
kelalaian
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata yaitu: “setiap orang bertanggungjawab
tidak
saja
untuk
kerugian
yang
disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”. c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUH Perdata yaitu: (1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugain yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya;
59
(2) Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua dan wali; (3) Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya; (4) Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka; (5) Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua, wali, guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
Selanjutnya sebagai akibat adanya wanprestasi dilihat dari pihak kreditur, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yaitu : 1. Kreditur dapat menuntut pemenuhan perjanjian; 2. Kreditur dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3. Kreditur dapat menuntut ganti rugi saja; 4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian; 5. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti;