BAB II TINJAUAN UMUM HAK ATAS TANAH DAN TANAH TERLANTAR 2.1. Pengertian Tanah dan Dasar Hukum Hak Atas Tanah Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA menyebutkan tanah sebagai berikut : (1) Atas dasar menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikan dan dimilikinya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya, air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan 39
40 wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Dengan demikian, hak yang dimiliki terkait hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas; 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).1 Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya. Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan. Itulah sebabnya kemudian dikenal istilah tanah 1
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 234.
41 garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. 2 Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman lapisan bumi (tanah) adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. Secara yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai permukaan bumi.3 I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat : 1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan. 2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya. 3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama beberapa generasi sebelumnya.4 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah permukaan bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai tempat tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga secara turun- temurun dan bersifat abadi. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan tanah diartikan dalam dua arti yaitu : 1. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and 2
Sodiki, Achmad, 1997, Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka Penguatan Agenda Landreform, Arena Hukum, Jakarta, h. 19. 3 Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, h.11. 4 I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 224-225
42 everything growing on or permanently affixed to it. (area tiga dimensi yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dihancurkan yang terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang diatasnya dan bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan segala sesuatu yang tumbuh diatasnya dan terikat secara permanen) 2. An estate or interest in real property (sebuah perumahan atau keuntungan dari kepemilikan lahan dan bangunan).5 Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida Nurlinda memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah, yaitu bahwa “land is not only the face of the earth, but everything under it or over it”6 (tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan di bawahnya). Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan pengertian yang luas terhadap tanah yaitu : a. That surface of the earth and all substances forming that surface (Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan tersebut) ; b. The earth below the surface and all substances there in (Bagian bawah permukaan dan segala sesuatu di dalamnya) ; c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the periodical application of labour to their production and whether on or below the surface (Semua vegetasi dan produk alami baik yang memerlukan proses pengerjaan secara periodik maupun yang tidak, di atas maupun di bawah permukaan tanah) ; d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything attached to the earth, whether on or below the surface ; and (Segala sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada apapun yang menempel di bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi; dan) e. Land covered by water (Tanah yang tertutupi oleh air).7 Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan tanah secara luas, yaitu sebagai berikut :
5
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota. Page. 67. 6 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada, h.36. 7 Boedi Harsono, Op.cit., hal.21.
43 The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances thereunder, and so much of the column of air above the surface as is reasonably necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes any estate or interest in land all vegetation growing thereon and structures affixed thereto or any parcel of airspace or sub-terranean space held aparat from the surface of the land as shown in an approved plan subject to any provisios to the contrary the proprietorship of land includes natural rights to air, light, water and support and the right of access to any highway on which the land abuts (Banyak kolom udara di atas permukaan yang penting untuk keperluan dan kenyamanan pemilik dan juga termasuk beberapa lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di atas dan struktur yang disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat udara atau tempat subteranian dibuat terpisah dari permukaan tanah seperti yang terlihat disebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada beberapa penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar pemilik lahan termasuk hak atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang letaknya bersebelahan).8 Berdasarkan pemaparan di atas ada persamaan hakiki tentang pengertian tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan : -
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
-
Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik. Dalam arti fisik secara nyata pemegang hak menguasai tanah. Penguasaan dalam arti yuridis 8
Ibid
44 dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang memberikan kewenangan untuk menguasai tanah haknya secara fisik, namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain, misalnya tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian penguasaan dan menguasai tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata. Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam Pasal 2 UUPA menyatakan : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
45 masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. UUPA menetapkan tata jenjang/hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yaitu : 1. Hak Bangsa, 2. Hak menguasai dari Negara, 3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat, 4. Hak-hak perorangan/individual. 1. Hak Bangsa Hak Bangsa diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUPA yang berbunyi : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung
46 bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan serta penggunaan tanah bersama yang dimilikinya. Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis. Yang menjadi subjek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasigenerasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Tanah Hak Bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan hubungan hukum yang bersifat abadi, artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. 2. Hak Menguasai Negara Pengertian “dikuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal UUD NRI 1945. Hal ini memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang menafsirkan. Mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut di atas, berarti hak menguasai negara meliputi semua tanah, tanpa terkecuali.
47 Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut :9 1. Negara sebagai subjek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privat-rechtelijk. Hak negara terhadap tanah sama dengan hak perseorangan dengan tanah. 2. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek-rechtelijk. Dalam hal ini negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan. 3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subjek perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki akan tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari rakyat seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan dan persatuan rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk, yaitu : a. Memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya. Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah hubungan yang bersifat abadi, dalam arti bahwa selama bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun. Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetikno menyatakan bahwa hak menguasai negara masuk kedalam bentuk hubungan negara sebagai personifikasi seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal itu sesuai dengan sifat mahluk sosial. Dengan demikian negara mempunyai dua hak yaitu :10
9
Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 101. 10 Iman Soetikno, Op.Cit., h. 20
48 1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang kekuasaan atas tanah dan sebagainya. 2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian tanah saja. Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Atas dasar kewenangan tersebut mengatur kedalam tersebut, negara dapat melakukan : a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis, dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat ( Pasal 14 ayat (2) UUPA ). b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun bersamasama) atau badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik privat atas tanah. c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki atau dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap Warga
49
d.
e.
f.
g. h. i.
Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA). Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa perkecualian (Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada tanah absentee; Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA).; Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 UUPA.; Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA) dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47 dan 48 UUPA).; Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA).; Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).11
Sedangkan dalam hal kewenangan ke luar, negara dapat melakukan : a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun. b. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah Indonesia (Pasal 21 UUPA).12
11
Ibid., h. 51 Ibid., h. 52
12
50 Dalam kaitannya dengan kewenangan, negara bukanlah pemilik sumber daya agraria yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia, melainkan hanya sebagai “penguasa”. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai pemilik maka harus dipahami dalam konteks hukum publik (Publiekrechtstelijk), bukan sebagai pemilik (eigenaar) dalam pengertian yang bersifat keperdataan (privaatrechtstelijk). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan pengendali kegiatan-kegiatan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya. Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri oleh masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan masyarakatnya menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut: 1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. 2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuan negara yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu semua aturan agraria harus ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA.13
13
Maria S.W. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta,(Selanjutnya disebut Maria S.W. Soemardjono II), h. 6-7.
51 Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dua aspek kaidah yang terkandung di dalamnya yaitu kaidah “hak menguasai negara” dan kaidah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua aspek kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya istilah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan konsekuensi logis dari adanya istilah “dikuasai negara”. Kewenangan untuk menguasai sumber daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia yang menjadi tujuan negara.14 Keterkaitan antara kaidah “hak menguasai negara” dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut : a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam dan di atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
14
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h. 231.
52 di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Ketiga aspek tersebut di atas harus menjadi arahan atau acuan dalam menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan. Hanya saja dalam Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.15 Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya,
15
Boedi Harsono, Op.Cit., h. 19
53 dengan daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.16 Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat hukum adat, tetapi masyarakat hukum adat tetap membuka peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut, dengan berbagai persyaratan. Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam), persediaan tanah (pembuatan pemukiman/persawahan baru), dan pemeliharaan tanah; b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subjek tertentu); c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.17 Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945. 4. Hak-hak Individual Atas Tanah Hak atas tanah sebagai individual yang memberi kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yaitu berupa : a.
Hak-hak atas tanah
16
Maria S.W. Soemardjono I, Op. Cit., h. 26 Boedi Harsono, Op.Cit. h.286.
17
54 Dalam mendefinisikan mengenai hak atas tanah, mengingat bahwa semua hak atas tanah itu adalah hak untuk memakai tanah, maka semuanya memang dapat dicakup dalam pengertian dan dengan nama sebutan Hak Pakai. Tetapi mengingat bahwa dalam masyarakat modern tanah bermacam-macam, maka untuk memudahkan pengenalannya, Hak Pakai untuk keperluan yang bermacam-macam itu masing-masing diberi nama sebutan yang berbeda, yaitu:18 a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yakni sebagai berikut: 1) Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. 2) Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. 3) Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. 4) Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ketentuan UUPA. b. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan hak penguasaan atas suatu bidang tanah tertentu bekas Hak Milik, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai ajaran agama islam. Perwakafan tanah Hak Milik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai pelaksanaan Pasal 49 UUPA. c. Hak Tanggungan adalah satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam hal debitor cedera janji dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut dengan Hak Mendahulu daripada kreditor yang lain. 18
Urip Santoso, Op.Cit., h. 87
55
Hak-hak perorangan atas tanah (yang meliputi hak-hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah) tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Karena semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik yang berupa tanah hak (tanah tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak atas tanah) maupun tanah negara (tanah yang langsung dikuasai negara) keseluruhannya diliputi oleh Hak Bangsa Indonesia maupun Hak Menguasai Negara tanpa kecuali. Boedi Harsono berpendapat bahwa hak menguasai sebagai Hak Bangsa Indonesia, tanah adalah kepunyaan bersama rakyat Indonesia.19 Berdasarkan hierarki tersebut di atas dapat diketahui bahwa hak menguasai negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan, dan peruntukan tanah, yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/individu atau badan hukum berupa hak-hak atas tanah. Negara mempunyai kewenangan yang penuh atas tanah negara dalam arti dapat mengatur peruntukan dan penggunaan tanah negara yang bersangkutan dan oleh karenanya negara dapat pula memberikan tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dengan sesuatu hak atas tanah, yaitu hakhak atas tanah yang primer seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
19
Boedi Harsono, Op.Cit., h. 24
56 2.3. Pengertian Tanah Terlantar 2.3.1. Tanah Terlantar Menurut Pakar Hukum Agraria Secara filosofi tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan manusia.20 Pemberian hak atas tanah haruslah digunakan sesuai dengan hak yang diperoleh oleh pemegang hak, sehingga tidak dibenarkan tanah tersebut tidak dikelola. Beberapa pakar hukum agraria memberikan pengertian mengenai tanah terlantar. Maria S.W. Sumardjono mengatakan tidak mudah menetapkan tanah sebagai tanah terlantar, hal tersebut dikarenakan untuk menetapkan tanah sebagai tanah terlantar harus melihat beberapa aspek sebagai berikut :21 1.
Subjeknya apakah perorangan atau badan hukum;
2.
Tanah pertanian atau bangunan;
3.
Adanya kesengajaan dari subjek atau tidak;
4.
Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah terlantar.
Asas fungsi sosial hak atas tanah dalam Pasal 6 UUPA meliputi juga kewajiban memeliharan tanah bagi setiap orang dan badan hukum pemegang hak atas tanah. Pengertian pemeliharaan tanah secara a contrario berarti mencegah penelantaran tanah.
20
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono III), h. 9 21 Ibid, h.116
57 Menurut Boedi Harsono penelantaran tanah lebih mengarah kepada terjadinya peristiwa hukum karena perbuatan manusia sehingga hak atas tanah menjadi hapus. Boedi Harsono, memberikan contoh untuk perusahaan diberikan HGU untuk perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah tersebut tidak dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang. AP. Parlindungan menyatakan tanah terlantar lebih menitikberatkan pada hukum adat Indonesia yaitu tanah yang diberikan dasar penguasaan haknya telah berubah bentuk fisiknya akibat ditelantarkan dalam waktu tertentu, sehingga haknya gugur dan tanah tersebut kembali kepada penguasaan hak ulayat masyarakat adat. Sedangkan menurut Achmad Sodiki pengertian tanah terlantar meliputi bagaimana dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Demikian juga tanah yang jatuh ke tangan negara, yang berarti pemiliknya sama sekali kehilangan hak atas tanah. Pengertian tanah ditelantarkan menurut Gouw Giok Siong diartikan keadaan tanah yang tidak dipakai sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya. Dari pendapat para pakar hukum agraria di atas dapat disimpulkan bahwa tanah terlantar merupakan keadaan dimana tanah yang diberikan hak penguasaannya kepada seseorang ataupun badan hukum oleh negara, tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya dalam waktu tertentu sehingga tanahnya kembali dalam penguasaan negara.
58 2.3.2. Pengertian tanah terlantar menurut hukum adat Tanah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter, baik secara individu maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka, tetapi merupakan suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana semua anggota masyarakat pada prinsipnya mempunyai kewajiban untuk mengolah tanah dengan baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar oleh seseorang pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah tidak terpelihara, tidak terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut tanah terlantar. Kalau demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum, dan kemudian hak pengelolaannya diberikan kepada pihak lain. Konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat. Berikut pengertian tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di Indonesia :22 1. Sulawesi Selatan (Bugis) Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona Kabu, Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang dikategorikan sebagai tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu pematang-pematangnya tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya sudah hilang secara keseluruhan.
22
Abdul Malik, 1983, Sejarah Adat Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 54.
59 2. Bengkulu Dalam masyarakat Bengkulu, tanah terlantar disebut dengan Tanah Sakueh Dajurawi. Adapun yang disebut sebagai Tanah Sakueh Dajurawi adalah tanah ladang yang ditinggalkan sesudah menuai. 3. Jambi Dalam masyarakat Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar Toewo, yaitu tanah ladang yang ditinggalkan selama 3 tahun atau lebih. 4. Sumatera Utara Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alangalang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi semak, tanah yang sengaja ditelantarkan untuk penggembalaan ternak masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar. 5. Aceh Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah kembali kepada Hak Ulayat. 6. Maluku Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-15 tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan (ulayat). 7. Kalimantan Selatan (Banjar) Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim atau lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik. Dari perbandingan pengertian tanah terlantar di atas, menunjukkan bahwa terdapat banyak istilah yang digunakan dengan menunjukkan asal daerah di mana mengenal adanya tanah terlantar. Berdasarkan karakter terlantarnya, menurut Hukum Adat sebidang tanah dapat disebut sebagai tanah terlantar apabila:23 1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka dengan ciri-ciri: a. 1 (satu) kali panen; b. belum lama dibuka kemudian ditinggalkan; c. menjadi semak belukar; d. batas-batas tanah garapannya tidak jelas lagi; e. ditinggalkan selama 2 musim/10-15 tahun/3 tahun/beberapa waktu. 23
Ibid, h. 56
60 2. Ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya. 3. Kembali kepada hak ulayatnya/masyarakat adat. 4. Tanah kembali tanpa pemilik. Tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat. Jadi menurut Hukum Adat, tanah terlantar lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena ditinggalkan oleh pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan suatu bidang tanah adalah terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa kembalinya tanah kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya dalam masyarakat Hukum Adat yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya. Sehingga kewenangan ada pada ketua masyarakat adat. Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam sistem hukum adat juga dikenal suatu lembaga hukum adat yang disebut dengan lembaga rechtsverwerking. Rechtsverwerking dalam ranah hukum perdata memiliki makna sebagai pelepasan hak, yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu, tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu haknya tersebut. Dalam hukum tanah adat, rechtsverwerking diartikan sebagai prinsip bahwa dalam hal terdapat seseorang dalam sekian waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain
61 yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan sejalan dengan lembaga ini.24 Lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat ini juga digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di Indonesia. Dalam sistem publikasi negatif, walaupun suatu bidang tanah telah terdaftar atas nama seseorang, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya (dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebelumnya adalah kepunyaannya) maka sertipikat atas tanah yang didaftar tersebut dapat dibatalkan. Dengan diterapkannya lembaga rechtsverwerking, maka walaupun seseorang berhak atas suatu bidang tanah, jika telah ditelantarkan selama lebih dari 20 tahun kemudian dikuasai juga dikelola dengan baik dan berdasarkan itikad baik oleh orang lain, maka hak seseorang tersebut secara hukum telah hapus dan beralih kepada orang lain yang menguasai dan mengelola dengan baik berdasarkan itikad baik tersebut. Dan apabila orang tersebut mensertipikatkan sebidang tanah tersebut dan dalam 5 (lima) tahun setelah disertipikatkan tidak ada gugatan dari pihak manapun, maka hak atas sebidang tanah tersebut tidak dapat diganggugugat lagi oleh siapa pun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.25 Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di Indonesia baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA.
24
Arie S. Hutagalung, 2000, Penerapan Lembaga “Rechverwerking” Untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatip Dalam Pendaftaran Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, h. 82 25 Ibid. h. 90
62 Hal ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah terlantar menurut yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia berdasarkan kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi dan masuk ke pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbanganpertimbangan yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus tanah terlantar. Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi, untuk memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama kurun waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam mengambil
keputusan
banyak
memilih
untuk
menggunakan
lembaga
rechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah melepaskan
haknya
(rechtsverwerking).
Contoh
putusan
mengenai
rechtverwerking : 1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 No. 329/K/Sip/1957. Pelepasan hak (rechtsverwerking) terjadi apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja oleh yang berhak, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang lain. Kalau yang berhak adalah orang yang belum dewasa yang mempunyai ibu, maka ibunya itu tidak boleh membiarkan tanahnya tidak dikerjakan.
63 2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 No. 210/K/ Sip/1055.32 Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena para penggugat dengan mendiamkan tanahnya sampai 25 tahun harus dianggap menghilangkan
haknya
(rechtsverwerking).
Mahkamah
Agung
berpendapat bahwa pembeli sawah patut dilindungi oleh karena dapat dianggap bahwa ia beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dijelaskan bahwa ada anggapan hukum telah terjadi pelepasan hak manakala dalam kurun waktu tertentu secara berturut-turut (dalam kasus tersebut 5 tahun dan 25 tahun), pemegang hak atas tanah membiarkan tanahnya tidak dikerjakan/diusahakan sebagai tanah yang produktif. Perbuatan demikian itu tidak boleh dan akan menyebabkan hak atas tanah berakhir. Perbuatan membiarkan tanah tidak dikerjakan seperti pada kasus di atas dapat dikategorikan ke dalam perbuatan menelantarkan tanah. Jadi, terhadap kondisi tanah hak yang sama-sama tidak dipergunakan dalam kurun waktu tertentu, hakim dapat menggunakan lembaga rechtsverwerking. Hal ini sekaligus dipakai sebagai dasar bagi pejabat tata usaha negara membatalkan hak atas tanah karena ditelantarkan. Tetapi tidak selalu berakhirnya hak atas tanah karena ditelantarkan identik dengan pelepasan hak, karena pelepasan hak yang dimaksud oleh UUPA adalah karena tidak terpenuhinya syarat subjektif untuk mendapatkan hak atas tanah yaitu harus warga negara Indonesia dan badan hukum yang
64 didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UUPA). Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar menurut pendapat hakim merujuk pada ketentuan tanah terlantar menurut Hukum Adat dengan ciri- ciri: -
Keadaan fisik tanah yang pernah dibuka, kemudian dibiarkan tidak terawat oleh pemiliknya sehingga menjadi ditumbuhi alang-alang. Apalagi jika didukung oleh kenyataan tanah tersebut dikelilingi oleh tanah- tanah yang ditanami kepunyaan teman-teman pemegang hak.
-
Untuk kasus orang yang mengerjakan tanah dengan tanpa izin pemilik tanah bukan berarti hendak menimbulkan hak baru tetapi semata-mata agar tanah tersebut produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersamasama keluarganya.
-
Jika terjadi tanah terlantar, harus diikuti tindakan pemberdayaan agar bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi tanah terlantar.
2.3.3. Pengertian Tanah Terlantar Menurut Peraturan Perundang-undangan A). Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA). Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan dan mendapat untung sebanyak-banyaknya, ke Hukum Agraria Nasional yang berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia
65 (rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi, ada kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan tujuannya (kemakmuran) itu. Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA) tersebut, semua pihak, terutama para pemegang hak atas tanah, perlu mengerti dan menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar. Beberapa ketentuan dalam UUPA yang berkaitan tanah terlantar adalah sebagai berikut: 1. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. 2. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan. 3. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha) hapus apabila ditelantarkan. Artinya, ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
66 Keberadaan Pasal-Pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum dapat dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah mengeluarkan Peraturan pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya. Sebelum adanya peraturan pemerintah tersebut terdapat beberapa peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai tanah terlantar, antara lain Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau Ditelantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 sebagai wujud kepedulian atas terlantarnya tanah Hak Guna Bangunan (perkebunan). Hal itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut pendayagunaan tanah terlantar tersebut sehingga lahan Hak Guna Bangunan (perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu perkebunan sebagai terlantar, adalah apabila diketahui bahwa pemegang hak atas tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana mestinya. Dengan demikian, berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial atas tanah.
67 Selain keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, terdapat pula Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan yang Dikuasai Oleh Badan Hukum atau Perorangan yang Tidak Dimanfaatkan atau Ditelantarkan. Dalam instruksi tersebut tugas dibebankan kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badanbadan hukum atau perorangan. Adanya peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat bahwa upaya untuk melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan. Pelaksanaan ketentuan Perundang-undangan tidak hanya bersandar pada “hukum apa adanya” (the law as it), tetapi harus merespon keadaan sosial atau “hukum yang seharusnya” (the law as it ought to be). Hukum itu tidak hanya berkembang dengan logika tertutup, tetapi harus dapat mengambil nilai-nilai baru dari masyarakat dan dengan memperbarui peraturan sedemikian rupa hingga sesuai dengan keadaan dewasa ini.26 Pemahaman mengenai tanah yang ditelantarkan menurut UUPA berangkat dari pemberian hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum, dimana dengan pemberian tersebut maka kewenangan negara yang berasal dari Hak menguasai negara dibatasi dan ini berarti bahwa setiap pemegang hak atas tanah berwenang menggunakan tanahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya baik oleh ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal 20 s.d. Pasal 45 UUPA) maupun peraturan pelaksanaannya, kecuali kalau pemegang hak atas tanah yang 26
George Whitecross Paton, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at te Clarendon Press, London, Page 8
68 bersangkutan
tidak
memenuhi
kewajibannya
(tanah
yang
bersangkutan
ditelantarkan) atau melanggar larangan (pembatasan) yang ditentukan (subjeknya tidak memenuhi syarat), maka sebagai sanksinya hak atas tanahnya menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Selanjutnya, dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah sebagai res nulius, karena jika hak atas tanahnya hapus, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara (tanah kosong). Hal itu artinya tanah tersebut dikuasai secara penuh oleh negara dalam lingkup Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) dan atas tanah tersebut dapat diberikan oleh negara kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Konsepsi ini sangat berbeda dengan Hukum Tanah Barat yang pernah berlaku di Indonesia sebelum 24 September 1960, dimana tanah Hak Eigendom tidak mungkin hapus haknya (selama tidak terkena pencabutan hak atau dihapuskan oleh negara seperti "Penghapusan Tanah Partikelir" dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1958) sekalipun tidak diketahui lagi pemiliknya, namun tanah Hak Eigendom tersebut tetap dikelola oleh Balai Harta Peninggalan sampai jangka waktu tertentu (± 30 tahun). Adanya Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) adalah untuk mencegah terjadinya berlangsungnya res nulius, seperti diatur dalam Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa segala benda (yang bergerak atau tidak bergerak) yang tidak ada pemiliknya menjadi milik negara. Ketentuan Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sepanjang mengenai tanah hak tidak berlaku lagi sejak tanggal 24 September 1960.
69 B). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah dalam Konsideran huruf b menyatakan bahwa : “oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud”. Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa pemerintah ingin menegaskan kembali bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai dalam rangka pembangunan nasional diarahkan untuk terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak diberikan oleh negara kepada subjek hak. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan. Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan dalam Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan.
70 Dalam pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak Pakai. Pasal 55 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa Hak Pakai hapus karena ditelantarkan. Meskipun khusus dalam hal Hak Pakai tidak terdapat ketentuan hapusnya Hak Pakai dalam UUPA. Dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menggunakan istilah ditelantarkan. Pengertian ditelantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA tentang hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, kecuali untuk Hak Pakai yang tidak diatur adanya tanah ditelantarkan dalam UUPA. C). Menurut PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan dengan dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam konsideran huruf b PP No. 36 tahun 1998 disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perseorangan, badan hukum, atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam konsideran huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 menyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang
71 hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian tanah terlantar juga didefinisikan dalam ketentuan yang mengatur kriteria tanah terlantar yaitu dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang menyatakan : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut”. Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang mengatur mengenai Hak Guna Usaha yang menyatakan bahwa tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila diperhatikan, ternyata banyak istilah ataupun pengertian yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 untuk menyatakan bahwa sebidang tanah adalah terlantar. Kalimat-kalimat yang dipilih dalam menyatakan tanah terlantar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dapat dikompilasi sebagai berikut:
72 a. Tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya,
bila
tanah
tersebut
tidak
dipergunakan
sesuai
peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku. b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya. c. Tanah yang tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Tanah yang sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. D). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar merupakan peraturan yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang dianggap memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari PP Nomor 36 Tahun 1998 salah satunya yaitu tidak mencantumkan dalam berapa tahun tanah dapat dikatakan telah ditelantarkan.27 Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 definisi tanah terlantar tidak diuraikan secara jelas. Hanya saja dalam penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa : “Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila 27
Perbandingan Antara PP No. 36 Tahun 1998 Dengan PP No. 11 Tahun 2010 Serta Tantangan Yang Akan Dihadapi Dalam Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Diakses dari http://garasi.in/perbandingan-antara-pp-no-36-tahun-1998-dengan-pp-no11-tahun-2010-serta-tantangan-yang-akan-dihadapi-dalam-pelaksanaan-penertiban-danpendayagunaan-tanah-terlantar.html pada tanggal 19 Januari 2015 pada pukul 09.00 wita
73 tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang”. Dari penjelasan Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010 tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar penguasaannya
yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya. E). Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar pengertian tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. 2.4. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pemanfaatan tanah harus sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak, karena tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak
74 dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya sehingga
bermanfaat,
baik
bagi
kesejahteraan
dan
kebahagian
yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau negara. Diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari 3 (tiga) kewajiban dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada setiap pemegang hak atas tanah, yakni: (a) kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6); (b) kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1)); (c) kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10).28 Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah tersebut, maka hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang ataupun badan hukum tidak hanya mempunyai fungsi bagi pemilik hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak
28
Oloan Sitorus dan H. M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia: Konsep Dasar dan Implementasi, Cetakan Perdana, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h.79
75 saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan berkehidupan bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian hak individu juga tidak boleh diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum. Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian.29 Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai tanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaan tanahnya, serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam penjelasan Pasal 27 UPPA menyatakan jika kewajiban itu sengaja diabaikan maka hal tersebut dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Artinya dalam hal demikian tanah tersebut termasuk golongan yang ditelantarkan. Dapat disimpulkan dalam pemanfaatan hak atas tanah untuk fungsi sosial, wajib diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan, peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka dapat dikatakan terpenuhinya fungsi sosial hak atas tanah tersebut.
29
Adrian Sutedi I, Op.Cit., h. 19