BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Di atas tanah
manusia mencari nafkah, di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia.1 Secara hakiki makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensi. Dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.2 Sebagai negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting didalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat
1
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I) h. 45. 2 Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, Ternate, h. 6
1
2 dimana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya.3 Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, disebutkan, bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Hak menguasai negara tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, memberikan wewenang kepada negara untuk tiga hal :
3
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.172
3 a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 4 Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah. Hak-hak tersebut antara lain hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan serta hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak yang sifatnya sementara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 16 UUPA. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang hak pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, 4
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi revisi, Djambatan, Jakarta, h. 220
4 serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Fungsi ini pada intinya memberikan pengaturan tentang larangan penggunaan tanah untuk semata-mata kepentingan perseorangan tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat dan negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Perlu ditegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya agraria sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut maka UUPA juga mengatur berakhirnya hak-hak atas tanah yang antara lain karena ditelantarkan. Hak Milik berakhir karena ditelantarkan pada Pasal 27 UUPA, HGU Pasal 34 UUPA dan HGB Pasal 40 UUPA. Artinya, setiap pemberian hak oleh negara kepada perorangan atau badan-badan hukum haruslah bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.5 Dalam perkembangannya hak-hak atas tanah yang telah diberikan untuk berbagai keperluan sebagaimana tersebut di atas, tidak selalu diikuti dengan 5
Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar : Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Penerbit Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, h. 14
5 kegiatan fisik penggunaan tanah tersebut sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau rencana tata ruang dari penggunaan dan peruntukkan tanah, baik karena pemegang hak belum merasa perlu menggunakan tanah tersebut atau pemegang hak belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan pembangunan atau penggunaan tanah atau karena hal-hal lainnya.6 Akibat belum terlaksananya pembangunan atau penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya, maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak.7 Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2012, dari total 7.196 kasus penelantaran tanah sebanyak 4.291 kasus telah diselesaikan yang menyatakan 51.976 Hektar merupakan tanah terlantar.8 Sedangkan menurut menteri pertanian Suswono, tanah yang terindikasi terlantar di Indonesia mencapai 4.8 Juta Hektar.9 Di Bali, dapat diambil contoh dua buah kasus indikasi penelantaran tanah yaitu indikasi penelantaran tanah hak guna bangunan yang dilakukan oleh PT. Citra Tama Selaras seluas 174 Hektar di Jimbaran Kabupaten Badung dan indikasi penelantaran tanah hak guna usaha yang dilakukan oleh PT. Margarana seluas 642 Hektar di Sumberklampok Kabupaten Buleleng. Tanah PT. Citra Tama Selaras terindikasi terlantar karena sejak dikuasainya tanah tersebut tidak dipergunakan, dikelola dan diusahakan sesuai
6
Maria S.W. Sumardjono. 2001, Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan 1, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I) h. 50 7 Ibid, h. 52 8 BPN Nyatakan 51976 hektar tanah di Indonesia sebagai tanah terlantar http://news.detik.com/read/2013/02/16/174657/2171970/10/bpn-nyatakan-51976-hektar-tanah-diindonesia-sebagai-tanah-terlantar diakses pada tanggal 31 agustus 2014 pukul 16.00 wita. 9 Dari 4,8 juta Hektar Lahan Terlantar Baru 13.000 Hektar yang dipakai http://finance.detik.com/read/2013/07/02/210025/2290788/4/dari-48-juta-hektar-lahan-terlantarbaru-13000-hektar-yang-dipakai diakses pada tanggal 31 agustus 2014 pukul 16.10 wita.
6 izin prinsip membangun usaha kawasan pariwisata yang diberikan melalui Surat Gubernur Bali Nomor 556.2/11308/Bina Ek tertanggal 28 agustus 1999. Tanah yang dikuasai oleh PT. Citra Tama Selaras tersebut sama sekali tidak terdapat pembangunan yang menunjukan tanah tersebut dipergunakan sesuai izin prinsipnya.10 Pada tahun 2011 Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali juga telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 0929/1651.100/14/2011 yang menyatakan tanah yang dikuasai oleh PT. Citra Tama Selaras terindikasi terlantar.11 Walaupun sudah ada surat keputusan tersebut, sampai sekarang tanah yang terindikasi ditelantarkan tersebut belum jelas statusnya. Sedangkan tanah PT. Margarana terindikasi terlantar karena Hak Guna Usaha yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Bali tidak dipergunakan sebagaimana mestinya sehingga warga Sumberklampok kabupaten Buleleng menuntut Badan Pertanahan Nasional menetapkan tanah yang selama ini ditempati oleh warga sebagai tanah terlantar. Awalnya Badan Pertanahan Nasional telah menyatakan bahwa tanah di Sumberklampok tersebut terindikasi terlantar sesuai surat keputusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali tertanggal 14 juli 2011. Berdasarkan surat tersebut Badan Pertanahan telah melakukan tindakan sampai tahapannya menuju proses penetapan sebagai tanah terlantar dengan membentuk panitia C hingga mengirimkan surat peringatan kepada perusahaan pemegang hak guna usaha yaitu PT. Margarana. Namun sampai saat ini sama seperti kasus indikasi penelantaran tanah yang dilakukan 10
Walhi Minta DPRD tinjau ulang lahan BIP http://www.balebengong.net/kabaranyar/2011/07/14/walhi-minta-dprd-tinjau-ulang-lahan-bip.html diakses pada tanggal 1 september 2014 pukul 16.30 wita. 11 Pos Bali, 2014, PT Jimbaran Hijau Intimidasi Petani Dompe, http://posbali.com/ptjimbaran-hijau-intimidasi-petani-dompe/ diakses pada tanggal 1 september 2014 pukul 16.20 wita
7 oleh PT. Citra Tamas Selaras, indikasi penelataran tanah oleh PT. Margarana juga tidak jelas kelanjutan kasusnya.12 Pengaturan mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur secara khusus kedalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang selanjutnya disebut PP No. 11 Tahun 2010 menyatakan objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara. Hak-hak tersebut dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Sedangkan Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 menyatakan, tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : a. tanah hak milik atau hak guna bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik
12
Status Tanah Sumberklampok Bali Semakin Kabur, Komitmen BPN RI dan DPRD Bali Dipertanyakan, diakses dari http://www.kpa.or.id/?p=2894 pada tanggal 1 september 2014 pada pukul 16.30 wita
8 Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Menurut penjelasan Pasal 3 huruf a PP No. 11 Tahun 2010 yang dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dalam ketentuan ini adalah karena pemegang hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Sedangkan penjelasan Pasal 3 huruf b menyatakan yang dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dalam ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran
negara/daerah
untuk
mengusahakan,
mempergunakan,
atau
memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam melakukan penertiban tanah terlantar melibatkan berbagai pihak yaitu Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala. Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma yang penulis temukan dalam Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar khususnya huruf a karena tidak mencantumkan secara jelas kualifikasi pengecualian objek tanah dari segi ekonomi. Dengan adanya kekaburan norma
9 tersebut ditakutkan nantinya para pemegang hak atas tanah yang secara nyata tanahnya telah terindikasi terlantar dapat mengelak dengan alasan segi ekonomi tersebut. Selain itu dalam Pasal 5 masih belum jelas siapa saja unsur instansi terkait yang mempunyai kewenangan untuk ikut serta melakukan penertiban tanah terlantar. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk menulis tentang Wewenang Badan Pertanahan Dalam Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dari penelusuran kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan Tanah terlantar yaitu: 1. Tesis atas nama Luh Putu Suryani, NIM 0890561039, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan judul “Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar”. Adapun yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimanakah kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan bagaimanakah Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar. Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana pemerintah (Presiden) mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010.
10 Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah tanah Negara bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur dalam Perda No.10 Tahun 1999. 2. Tesis atas nama Ardi Suryadin, mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Padjajaran dengan judul “Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Terhadap Lahan Berstatus Hak Guna Bangunan Di Kota Bandung Dikaitkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”. Adapun yang menjadi pokok permasalahannya adalah Bagaimanakah pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar berstatus Hak Guna Bangunan Di Kota Bandung serta Kendala-kendala apa yang dihadapi Kantor Pertanahan Kota Bandung dalam menetapkan tanah terlantar berstatus tanah Hak Guna Bangunan di Kota Bandung dan bagaimana upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar berstatus Hak Guna Bangunan di Kota Bandung belum berjalan sepenuhnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Adapun kendala-kendala yang ditemui oleh pihak kantor pertanahan kota Bandung dalam proses identifikasi dan penelitian lapangan adalah pemilik hak guna bangunan tidak mengakui tanahnya sebagai tanah terlantar dan
11 upaya yang dilakukan adalah memberikan peringatan kepada pemegang Hak Guna Bangunan. 3. Tesis atas nama Alifnu Pangripta Damai, NIM B4B004063, mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponogoro dengan judul
“Peranan
Kantor
Pertanahan
Terhadap
Penertiban
Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar Di Kabupaten Pekalongan”. Adapun pokok permasalahannya adalah Mengapa terdapat tanah terlantar dan bagaimana peran Kantor Pertanahan di dalam melaksanakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah Kabupaten Pekalongan serta Kendala apakah yang timbul dan bagaimana penyelesaiannya di dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di wilayah Kabupaten Pekalongan. Hasil penelitian dari tesis tersebut menyimpulkan, faktor-faktor penyebab penelantaran tanah di wilayah Kabupaten Pekalongan disebabkan oleh faktor intern antara lain seperti kondisi manajemen perusahaaan yang kurang baik dan dari faktor ekstern seperti keadaan alam yang tidak memungkinkan,
sedangkan
peran
Kantor
Pertanahan
Kabupaten
Pekalongan terhadap Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di wilayah Kabupaten Pekalongan antara lain adalah melakukan kegiatan sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Kendala-kendala di dalam melaksanakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di wilayah Kabupaten Pekalongan antara lain adalah sulitnya mengetahui
12 domisili ataupun keberadaan dari Pemegang Hak Atas Tanah yang diindikasikan sebagai tanah terlantar. Apabila disimak ketiga hasil penelitian tersebut tidak dijumpai penelitian yang sama dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian ini mengambil permasalahan yang berbeda dari ketiga penelitian tersebut di atas, yang artinya penelitian ini mengangkat sebuah topik permasalahan dengan mengupas sisi lain dari suatu objek penelitian yang memang belum tereksplorasi, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya atau keasliannya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu: 1. Apakah yang menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan? 2. Bagaimanakah kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundangundangan? 1.3. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan tujuan penelitian yang dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum pertanahan yaitu untuk memecahkan permasalahan
13 terkait dengan kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar dan kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. 1.3.2
Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah yakni: a. Untuk mengetahui dan menganalisa yang menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar menurut Peraturan Perundang-undangan. b. Untuk mengetahui dan menganalisa kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau Peraturan Perundang-undangan. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum pertanahan. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu dengan memberikan gambaran atau informasi yang jelas kepada masyarakat, pengusaha, dan pemerintah tentang kriteria, objek dan subjek tanah terlantar serta
14 kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. 1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.5.1. Landasan Teoritis Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta konstruksi data.13 Dengan demikian, landasan teoritis merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Hal itu dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Semakin banyak teori, konsep, asas yang berhasil diidentifikasi semakin tinggi derajat kebenaran (konsensus) yang bisa dicapai. Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu proses tertentu yang terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun
13
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, h.58.
15 secara sistematis.14 Sementara itu, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.15 Oleh karena itu, perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. Otje Salman dan Anton F. Susanto dalam hal ini menyimpulkan teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meskipun hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.16 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.17 Sedangkan dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.18 Landasan teoritis yang dijadikan dasar dalam mengkaji secara teoritis atas permasalahan penelitian ini adalah seperti berikut ini : 1. Teori Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat).19 Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak
14
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 194 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 80 16 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 15
29. 17
Burhan Ashsofa, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 23 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 19 Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di Indonesia,Cetakan Ketiga, Alumni Bandung, h. 2 18
16 asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.20 Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (Welfare State).21 Ada beberapa konsekuensi yang muncul dalam suatu negara hukum material atau negara kesejahteraan, diantaranya adalah :22 a. Semakin banyak tindakan pemerintahan yang dilakukan organ-organ pemerintah; b. Tugas-tugas negara menjadi semakin kompleks; c. Badan pembuat undang-undang mempunyai kecendrungan kurang mampu mempertimbangkan situasi-situasi konkrit yang akan terjadi; d. Badan-badan legislatif akan memberikan lebih banyak kebebasan kepada pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan; e. Dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi rakyat akan memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dan pemerintah sebagai akibat kekosongan aturan hukum. Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan rakyat, negara dan pemerintah Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta secara aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Konsekuensinya, lapangan pemerintahan yang diemban pemerintah menjadi sangat luas. Lemaire mengemukakan Pemerintah mengemban tugas “Bestuurszorg” yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum. 23
20
Adnan Buyung Nasution, 2007, Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan (Tinjauan, Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di Berbagai Negara), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, h. 97. 21 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, h. 21-22. 22 Ibid. h. 28. 23 Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40.
17 Semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat, bagi negara hukum modern seperti Indonesia tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan pemerintah tersebut tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of positive law, consists in it’s imperative character. Law is conceived as a command of the sovereign”.24 Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dimana hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah. Secara normatif, campur tangan pemerintah dimaksud dituangkan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut maka kekuasaan pemerintah menjadi dibatasi didalam bertindak dan sekaligus memberi pedoman bagi masyarakat didalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Fungsi dari peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Sudargo Gautama sebagai berikut : “Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri”. 25 Teori tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke 17 dan 18 untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat, asal dan tujuan negara, khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat 24
H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press Limited, London, Page.14. 25 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 3.
18 kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu Teori Kedaulatan (Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara, yang menghasilkan 2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaat) dan negara hukum (rechstaat).26 Dalam negara hukum, apa yang menjadi dasar pembentukan suatu pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Sampai saat ini ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara hukum, yaitu yang pertama melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh K.C. Wheare yang menyatakan “what should a constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law” (isi minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum)27. Kedua berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum. 28 Philipus M Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum yakni: rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila.29 Secara konseptual ide negara hukum lahir pada abad ke 19 dan abad ke 20 yang ditandai dengan dikemukakannya istilah Recht Staat, oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental atau oleh kalangan ahli Anglo Saxon menyebutnya dengan istilah Rule Of Law (negara berdasarkan kekuasaan hukum). Friedrich Julius Stahl mengemukakan ciri-ciri negara hukum yaitu : 26
Mukthi Fajar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 11. 27
K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.
33-34 28
Juniarto, Op.cit., h. 36 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya h. 69. 29
19 1. Adanya pengakuan akan hak asasi manusia; 2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia berdasarkan trias politika; 3. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kepada Undang-Undang; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.30 Saat yang bersamaan muncul pula teori negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo-saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law yang mencakup: 31 1. Supremasi aturan-aturan hukum, yaitu tidak adanya kekuasaan sewenangwenang dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di depan hukum. Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusankeputusan pengadilan. Teori negara hukum digunakan dalam penelitian ini, karena unsur pertama, kedua, dan ketiga dari teori negara hukum tersebut tepat digunakan sebagai pisau analisa permasalahan pertama dan permasalahan kedua penelitian tesis ini yaitu mensyaratkan setiap tindakan pemerintah dalam hal untuk menetapkan dan menertibkan tanah terlantar harus berdasarkan atas hukum.
30
Mukthi Fajar, Op.Cit. h. 42. Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge, London and New York, h. 52 31
20 2. Teori Kepastian Hukum Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid),
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
kepastian
hukum
(rechtszekerheid).32 Teori kepastian hukum dihubungkan dengan penelitian ini digunakan sebagai pisau analisa permasalahan yang pertama yaitu apakah yang menjadi objek dan seperti apa kriteria tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan sehingga nantinya dapat diketahui secara pasti objek dan kriteria tanah seperti apa yang dapat dikatakan tanah terlantar. Menurut Radbruch sebagaimana dikutip oleh Theo Huijbers Teori kepastian hukum adalah : Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan negara. Hukum positif harus selalu ditaati, walaupun isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Namun terdapat pengecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.33 Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
32
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, h. 85. 33 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h. 163.
21 dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.34 Tujuan utama dari hukum itu ada ialah kepastian hukum, keadilan bagi sebagian besar masyarakat, dan yang terakhir memberi manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Hukum diciptakan bukan untuk memperburuk keadaan, melainkan memberikan ketiga poin dari tujuan hukum di atas. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu : 1. Hukum itu positif yaitu bahwa telah ada peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang suatu hal tertentu; 2. Hukum tersebut harus berdasarkan fakta, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh seseorang; 3. Hukum itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan; dan 4. Hukum Positif tidak boleh sering diubah-ubah.35 3. Teori Kewenangan Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis permasalahan yang kedua yaitu bagaimanakah kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. Istilah kewenangan dan wewenang dalam Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan pandangan dari beberapa literatur yang 34
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 158. 35 Achmad Ali, Op.Cit., h. 180
22 ada. Secara konseptual istilah kewenangan sering disebut authority, gezag atau yuridiksi dan istilah wewenang disebut dengan competence atau bevoegdheid.36 Juanda menyatakan bahwa “kewenangan adalah kekuasaan formal yang berasal dari atau diberikan oleh Undang-Undang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan terdapat kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”.37 Sedangkan menurut pendapat Philipus M. Hadjon memakai istilah wewenang yang dapat dipertukarkan dengan istilah kewenangan, kedua istilah itu sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam bahasa belanda.38 Menurut Atmosudirdjo antara kewenangan (authority) dan wewenang (bevoegheid) perlu dibedakan, walaupun dalam praktik pembedaanya tidak selalu dirasakan perlu.39 Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban dalam suatu hubungan hukum publik. Menurut H.D Stout yang mengatakan bahwa: Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer.40 (wewenang merupakan pengertian yang berasal dari organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagai keseluruhan aturan36
SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet. V, Liberty, Yogyakarta, h. 153 37 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumnni, Bandung, h. 265. 38 Philipus M. Hadjon, dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Cet. Kesepuluh, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, (untuk selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon, dkk I) h. 74. 39 Prajudi Atmosudirjo,1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.78 40 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101.
23 aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik). Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus didasarkan pada hukum yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan sah, maka hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak maupun tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi.41 Senada dengan hal tersebut, menurut pendapat F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek yang dikutip oleh Sajidjono, mengatakan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yakni atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi adalah menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada, untuk wewenang mandat dikatakan tidak terjadi perubahan wewenang apapun, yang ada hanyalah hubungan internal.42 Namun secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: a. Atrtibutie: toekenning van een bestursbevoegheid door een wetgever aan een bestursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah). b. Delegatie:overdracht van een bevoegheid van het ene het bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya). c. Mandaat: een bestuursorgaan ;aat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lainnya).43
41
Philipus M. Hadjon, dkk I, Op.Cit., h. 130. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan ke II, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 65. 43 Ridwan HR, Op.cit, h.104-105. 42
24 Kewenangan
yang
diperoleh
secara
atribusi
menunjukkan
pada
kewenangan asli yaitu bahwa adanya pemberian kewenangan oleh pembuat Undang-Undang kepada suatu organ pemerintah. Suatu atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada suatu
peraturan
Perundang-Undangan.
Delegasi
dapat
diartikan
adanya
penyerahan/ pelimpahan wewenang oleh pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain yang menerima wewenang tersebut (delegatoris). Dan kewenangan yang diperoleh secara mandat tidak terjadi pergeseran kompetensi antara pemberi mandat dengan penerima mandat. Dalam kajian hukum Administrasi Negara, sumber wewenang bagi pemerintah dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena dalam penggunaan wewenang tersebut selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum. Dalam pemberian kewenangan kepada setiap organ atau pejabat pemerintahan tertentu tidak terlepas dari pertanggungjawaban yang ditimbulkan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern ekstern pelaksaanaan wewenang yang distribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).44 Dalam wewenang delegasi sifat wewenanganya adalah penyerahan atau pelimpahan wewenang yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi (delegataris).45 Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi tidak 44
Ibid, h.108 Sadjijono, Op. cit, h. 66.
45
25 sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat) dalam melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi kuasa, karenanya yang bertanggungjawab adalah si pemberi kuasa.46 Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan Lembaga Pemerintahan Nonkementrian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, serta dipimpin oleh seorang Kepala, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 2 menetapkan bahwa “Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut, maka hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional, yang kewenangannya diperoleh dari adanya pendelegasian wewenang dari Presiden. Begitu juga berkaitan dengan produk hukum yang dihasilkan oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dalam bentuk regulasi, yaitu salah satu dalam bentuk Peraturan Kepala Badan. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang; (b) Peraturan kebijaksanaan.47 Dalam kaitannya dengan penertiban tanah terlantar Badan Pertanahan Nasional sebagaimana disebut dalam Pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 mempunyai kewenangan
untuk
mengindentifikasi
serta
menetapkan
tanah
terlantar.
Berdasarkan hal tersebut, Peraturan Kepala Badan merupakan salah satu bentuk
46
Jum Anggriani, 2012, Hukum Adminsitrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 92. Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum campuran (gemeenscapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Yudhi Setiawan I), h. 25. 47
26 Peraturan Kebijakan, dimana dalam hal kewenangan untuk membuat Peraturan Kebijakan berupa Peraturan Kepala Badan diperoleh berdasarkan adanya delegasi wewenang salah satunya dikeluarkanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 yang mengatur tentang tata cara penertiban tanah terlantar 4. Konsep Tanah Terlantar Dasar pijakan merumuskan konsep hukum tanah terlantar adalah menggunakan konsep hukum tanah adat yang mempunyai sifat komunalistik, yang mengenal hak bersama anggota masyarakat adat. A.P. Parlindungan mengemukakan konsep tanah terlantar dengan merujuk pada hukum adat yaitu sesuai dengan karakter tanah terlantar (kondisi fisik) yang telah berubah dalam waktu tertentu (3,5 sampai 10 tahun) maka haknya gugur, tanah kembali pada hak ulayat, istilah ditelantarkan diartikan sebagai keadaan jika tanah yang tak dipakai sesuai dengan keadaannya, sifat atau tujuannya.48 Berdasarkan pendapat tersebut maka tanah terlantar lebih mengarah pada kondisi fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (ditinggalkan oleh pemegang haknya). Melalui penjelasan dalam Pasal 27 UUPA dapat ditemukan pengertian tanah terlantar yaitu tanah yang sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya. Hal tersebut dapat disebut konsep hukum tanah terlantar tetapi berdasarkan kajian atas terbentuknya konsep hukum yang jelas, pengertian tersebut di atas belum menggambarkan makna konsep tanah terlantar, karena secara nyata tanah tidak dikerjakan sesuai dengan peruntukannya. 48
A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah (Menurut Sistem UUPA), Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), h. 7.
27 Menurut PP No. 11 tahun 2010 pasal 2 menyatakan Objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Guna memperoleh kejelasan pengertian dengan menganalisa terhadap persamaan dan perbedaan unsur-unsur tanah terlantar menurut hukum adat dan peraturan perundang-undangan, Suhariningsih memberikan rumusan konsep tanah terlantar, yaitu : Tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan daripada haknya dalam waktu tertentu dan kepada pemegang hak akan kehilangan hak atas tanahnya, karena pencabutan hak atas tanah dan selanjutnya tanah dikuasai kembali oleh negara.49 Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. 50 Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang 49
Suhariningsih, Op.Cit., h. 252. Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah Edisi pertama, Prenada Media, Jakarta, h. 60. 50
28 haknya melainkan menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu. 5. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah.51 Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Serta terdapat juga dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, asas efektivitas dan asas keadilan”. Crince Le Roy mengemukakan sebelas (11) butir asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu :52
51
Amrah Muslimin, 1982, Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, h. 140. 52 SF. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 386
29 1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security) asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi. 2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality) asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada. 3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness) asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga negaranya. 4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation ) asas ini menghendaki setiap keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan. 5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of competence ) dalam asas ini aspek wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas. 6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality) asas ini menghendaki badan pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama 7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play) asas ini menghendaki agar setiap warga diberikan kesempatan seluasluasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan. 8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of arbitrariness) asas ini menghendaki pejabat tata usaha negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang dengan memperhatikan nilainilai yang berlaku ditengah masyarakat. 9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar (Principle of meeting raised expectation ) asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan wargaNegara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the consequences of unneled decision ) asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau pengembalian nama baik.
30 11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the personal way of life ) asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. Selain kesebelas asas yang telah dikemukan oleh Crince Le Roy tersebut, Kuntjoro Purbopranoto menambahkan dua (2) asas lagi yaitu :53 1. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently) asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis. 2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service ) asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum. Tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat atau pihak-pihak yang terkena tindakan tersebut.
53
Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 75.
31 1.5.2. Kerangka Berpikir WEWENANG BPN DALAM PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR Latar Belakang
Kekaburan Norma pada Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 terkait dengan kriteria, objek dan subjek tanah terlantar dan Pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010 terkait dengan kewenangan BPN dalam penertiban tanah terlantar
Rumusan Masalah
Landasan Teoritis
Teori Kepastian Hukum 1. Apakah yang menjadi kriteria, objek dan subjek tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan?
Konsep Tanah Terlantar
Teori Negara Hukum 2. Bagaimanakah kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditijau dari Peraturan Perundangundangan?
Teori Kewenangan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian : Normatif 2. Jenis Pendekatan : Pendekatan Perundangundangan dan Pendekatan Konsep 3. Sumber Bahan Hukum : Bahan Hukum Primer , Bahan Hukum Sekunder, Bahan Hukum Tertier. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum : Studi Dokumen 5. Teknik Analisis Bahan Hukum : Teknik Deskriptif dan Teknik Interpretasi
Kesimpulan
1. Kriteria tanah yang dapat diidentifikasi tanah terlantar adalah pemegang hak atas tanah dengan sengaja tidak memelihara hak atas tanah tersebut dengan baik dalam jangka waktu tertentu sehingga kualitas kesuburan tanahnya menjadi menurun dan tidak produktif lagi. Sedangkan Objek penertiban tanah terlantar adalah Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan atau yang telah memiliki dasar penguasaan atas tanah dan subjeknya adalah Perseorangan, Badan Hukum Privat maupun Badan Hukum Publik. 2. Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah (Presiden), sedangkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang tergabung dalam panitia C adalah memperoleh kewenangan subdelegasi dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia . Adapun mekanisme dalam penertiban tanah terlantar dengan melakukan inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar, melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, memberikan peringatan terhadap pemegang hak, dan terakhir apabila pemegang hak tidak mengindahkan peringatan yang diberikan akan mengeluarkan penetapan tanah terlantar.
32 Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut: Penelitian dengan judul Wewenang Badan Pertanahan Nasional Dalam Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ini beranjak dari kekaburan norma yang penulis temukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 PP Nomor 11 Tahun 2010. Dalam penelitian ini mengambil dua rumusan masalah yaitu apakah yang menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar serta bagaimana kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan tiga teori hukum sebagai pisau analisa untuk menjawab dari dua permasalahan tersebut, yaitu Pertama Teori Negara Hukum dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisa permasalahan pertama dan permasalahan kedua yaitu mensyaratkan setiap tindakan pemerintah dalam hal untuk menetapkan dan menertiban tanah terlantar harus berdasarkan atas hukum; Kedua yaitu Teori Kepastian Hukum dihubungkan dengan penelitian ini digunakan sebagai pisau analisa permasalahan yang pertama yaitu apakah yang menjadi kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar ditinjau dari peraturan perundang-undangan. Ketiga Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis permasalahan yang kedua yaitu tindakan yang dapat dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap tanah yang ditelantarkan, terkait dengan kewenangannya untuk menetapkan dan menertibkan tanah terlantar. Selain menggunakan ketiga teori tersebut, dalam penelitian ini juga memakai konsep tanah terlantar serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
33 1.6. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah.54 Oleh
karena
penelitian
merupakan
suatu
saran
(ilmiah)
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang ditetapkan harus senantiasa di sesuikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmuilmu pengetahuan lainnya. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.55 Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.56 Penelitian hukum normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 11. Bambang Waluyo, 1991, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, h. 6. 56 Ibid. h. 13. 55
34 peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian ataupun studi dokumen, penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Dalam penelitian hukum yang normatif biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber bahan hukum sekunder saja, yaitu buku-buku, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.57 Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.58 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma dalam Pasal 3 PP Nomor 11 Tahun 2010 berkaitan dengan kriteria, objek dan subjek penertiban tanah terlantar serta Pasal 5 PP Nomor 11 Tahun 2010 berkaitan dengan kewenangan Badan Pertanahan Nasional dalam penertiban tanah terlatar. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur.59
57
Ibid. h. 14. Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h. 26. 59 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., h. 93. 58
35 1.6.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan konsep (conseptual approach), (analitical
approach),
pendekatan analisis
pendekatan frasa (words and pharase approach),
pendekatan perbandingan
(comperative approach),
pendekatan
sejarah
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case
approach).60 Dalam membahas permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang berdasar pada pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini digunakan untuk menelaah aspek pengaturan hukum tentang identifikasi, penelitian dan penetapan sebagai tanah terlantar. Sedangkan pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kewenangan dan tindakan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier serta data penunjang. Bahan hukum primer sebagai bahan penelitian dalam penelitian ini antara lain : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
60
Johny Ibrahim, Op.Cit., h. 93-95.
36 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 3. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah; 4. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah; 5. Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; 6. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional; 7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Sedangkan bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku-buku hukum termasuk tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan hukum pertanahan. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini digunakan kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia dalam rangka mencari definisi operasional. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumen yaitu bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder ataupun bahan hukum tertier.
37 1.6.5. Teknik Analisis Bahan hukum Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai berikut : 1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Teknik
interpretasi
(penafsiran)
menurut
Sudikno
Mertokusumo
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.61 Teknik interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi gramatikal dan inteprestasi sistematis. Interpretasi gramatikal yaitu dengan menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Bahasa merupakan sarana yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya, oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. 61
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.
38 Sedangkan interprestasi sistematis adalah dengan melihat hubungan diantara aturan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan karena suatu peraturan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum lain