1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan nasional diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan satu unsur dalam pelaksanaan pembangunan yang tidak bisa dielakkan lagi keberadaannya adalah kebutuhan akan lahan atau tanah. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Tanah atau lahan adalah suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan untuk tempat bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya. Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan. Pengertian ini memberikan makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup membutuhkan tanah atau lahan, baik digunakan sebagai tempat untuk tinggal, tempat untuk bercocok tanam, maupun tempat untuk usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas. Tanah merupakan sumber kesejahteraan bagi manusia. Tingkat kesejahteraan manusia di permukaan bumi sangat berkaitan erat dengan sejauh mana manusia itu mampu memanfaatkan kuallitas tanah secara terus menerus. Karena itu kecenderungan bahwa setiap orang berusaha menguasai dan mempertahankan bidang tanah atau lahan tertentu termasuk mengusahakan status hak kepemilikannya. Begitu pentingnya arti tanah bagi kehidupan masyarakat maka dalam hal ini pemerintah berusaha mengatasi berbagai masalah
2 yang timbul mengenai hak atas tanah, dengan cara mempertegas kepastian hukum atas hak dan kewajibannya, karena masalah tersebut dianggap masalah yang paling strategis. Hal tersebut dilakukan untuk menanggapi perkembangan di masa yang akan datang, dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), menentukan “Bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945 ini menjadi dasar bagi lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) (selanjutnya disebut UUPA). UUPA merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan dan pengendalian pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah, yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum pemilikan tanah. UUPA dibentuk hanya memuat soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dengan tujuan : meletakkan dasar-dasar untuk penyusunan hukum agraria nasional, meletakkan dasar-dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertahanan, meletakkan
dasar-dasar
untuk
memberikan
kepastian
hukum.
Sebagai
3 pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam berbagai Undang-undang, peraturanperaturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya. UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang diberikan mandat sebagaimana disebutkan dalam UUPA dalam Pasal 2 ayat (2) diberi wewenang untuk : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Negara memiliki hak menguasai atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Menurut Soedargo Gautama mengenai pengertian menguasai adalah “mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa (subyek hak) dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”. 1 Negara tidak perlu bertindak sebagai pihak yang memiliki tanah, hanya terbatas sebagai pihak yang menguasai tanah, penguasaan inipun dibatasi, yakni dalam penggunaan wewenang yang berasal dari hak menguasai.2 Adapun dengan negara menguasai tanah, maka kepada masyarakat diberikan kepada mereka hak-hak atas tanah sebagaimana tercantum dalam
1
Soedargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 92. 2 Muchsan, 2000, Hukum Pertanahan Di Indonesia Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta, hal. 3.
4 UUPA, adapun hak-hak atas tanah tersebut disesuaikan dengan subyek haknya. Guna mewujudkan kepastian hukum subyek hak atas tanah maka melalui Pasal 19 UUPA ditetapkan dalam ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi : “a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, b. Pendaftaran hakhak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan di atas pada awalnya di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian sesuai dengan perkembangan yang ada telah disempurnakan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 42) (selanjutnya disebut PP Nomor 24 Tahun 1997).3 Menurut A.P. Parlindungan jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 maka dapat memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena : 1. 2.
3
Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Dengan Informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 168.
5 3.
Dengan Administrasi Pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.4
Pendaftaran tanah merupakan sarana penting mewujudkan kepastian hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan.5 Sistem pendaftaran tanah di Indonesia, yang dikategorikan menganut sistem campuran keduanya, yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, yaitu Negara tidak menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat,namun selama tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat adalah tanda bukti hak yang kuat.6 Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengandung makna bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar. Sedangkan ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah, dimana mengandung beberapa syarat, diantaranya: a. sertipikat tanah diperoleh dengan itikad baik; b. pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama
4
A. P. Parlindungan, 2002, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat A. P. Parlindungan I), hal. 112. 5 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal. 72. 6 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, op.cit, hal. 175.
6 jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut; c. sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan dari pihak ketiga maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi. Dari Pasal 32 terlihat sekilas bahwa apabila sertpikat atas tanah tersebut telah terbit lebih dari 5 (lima) tahun dari sejak tanggal diterbitkannya sertipikat, maka sertipikat tersebut tidak dapat diganggu gugat kembali. Jika ditelaah lebih dalam ternyata maksud dari Pasal 32 ini tidaklah demikian, karena dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) disebutkan bahwa : Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA
7 berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisideve verjaring. Hukum tanah yang berlaku di Indonesia yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya, tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu lembaga rechtverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan yang berasal dari Hukum Adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud telah diadopsi oleh UUPA Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40, dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena ditelantarkan.7 Ketentuan ini tentunya merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam Hukum Adat yang dalam tata hukum sekarang ini yang merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud kongkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA terutama mengenai penelantaran tanah. Penjelasan rechtverwerking ini diuraikan dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang mengaskan bahwa dalam hal atas suatu bidang tanah 7
AP. Parlindungan I, op.cit. hal. 149.
8 sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat atau mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan setipikat tersebut. Menurut hemat penulis Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ingin memberikan penegasan bahwa sertipikat hak atas tanah merupakan alat bukti yang kuat sehingga timbul persepsi bahwa hak atas tanah tersebut bebas dari gugatan. Maka disinilah timbul kekaburan norma pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Dari permasalahan tersebut maka penulis ingin mengetahui sejauh mana kekuatan pembuktian dari suatu sertipikat dengan cara menganalisa proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 serta menganalisa kasus. Kasus tersebut adalah antara Karjono Kusoemo (penggugat) melawan Surahman (tergugat) yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 300/PK/PDT/2009, adapun kasus posisinya adalah sebagai berikut :
Bahwa Penggugat memiliki sebidang tanah seluas 54.000 m2 yang terletak di desa/kelurahan Kerobokan, kecamatan Kuta, kabupaten Badung,
propinsi
Bali
dengan
sertipikat
hak
milik
Nomor
2366/kelurahan Kerobokan, gambar situasi tanggal 19-9-1988 Nomor : 4849/1988 (untuk selanjutnya disebut tanah sengketa) yang didapat
9 penggugat dari membeli dari NS Lima Dewi sesuai dengan akta jual beli Nomor 222/1999 tertanggal 4 agustus 1999 yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah I Putu Chandra, SH.
Selama penggugat membeli tanah tersebut, tidak pernah ada masalah baik penguasaannya maupun dalam pembayaran pajaknya yang penggugat bayar sampai sekarang.
Bahwa pertengahan tahun 2003 tergugat pernah menyatakan kalau dia adalah juga pemilik tanah sengketa tersebut kepada penggugat, dengan dasar kepemilikan membeli dari kantor lelang negara pada tanggal 31 Juli 2003 dari sertipikat asal atas nama I Negah Ridja dengan sertipikat Nomor 312 seluas 55.000 M2. Bahwa kenapa sertipikat atas nama I Negah Ridja ini bisa ada di balai lelang, karena sertipikat ini dijadikan agunan oleh CV. Lia dengan pembebanan hipotik I sebesar Rp.250.000.000,- pada tanggal 25 Februari 1991 dan dibebani hipotik II sebesar Rp. 750.000.000 atas hutang dari perusahaan UD. Sari, UD. Kariani dan CV. Libros yang kesemuanya berkedudukan di Denpasar, di agunkan di Bank Bapindo yang kemudian di tunjuk Bank Mandiri sebagai bank yang menangani likuidasinya.
Bahwa ternyata setelah penggugat menelusuri ternyata tanah yang menjadi obyek sengketa dulunya atas nama I Wayan Swadja yang dulunya diatas namakan I Negah Ridja sesuai dengan kesepakatan bersama sesuai dengan surat pernyataan tanggal 29 oktober 1972 dihadapan seluruh aparat desa Kerobokan yang isinya adalah terdapat
10 beberapa bidang tanah yang harus diserahkan oleh I Negah Ridja kepada I Wayan Suadja termasuk diantaranya tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2.
Bahwa setelah kesepakatan itu dijalankan dan telah dikuasai oleh I Wayan Swadja namun pada saat pensertipikatan tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2 itu seharusnya sertipikat atas nama I Nengah Ridja tersebut diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimusnahkan namun ternyata sertipikat tersebut masih beredar. Kesimpulan dari kasus posisi tersebut terlihat bahwa tanah milik
penggugat adalah bermasalah, karena terdapat 2 (dua) sertipikat untuk 1 (satu) bidang tanah. Dari dua sertipikat hak milik atas tanah milik tergugat telah dijadikan agunan dan telah melalui proses pelelangan, bahwa syarat untuk suatu barang dapat dilelang amatlah ketat, karena lelang menganut asas keterbukaan sehingga semua lapisan8. Berdasarkan
hasil
penelusuran
penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya yang menyangkut masalah pengaturan kemutlakan kepemilikan sertipikat hak milik atas tanah penulis tidak menemukan tesis maupun karya tulis lainnya yang meneliti tentang pengaturan kemutlakan kepemilikan sertipikat hak milik atas tanah, namun penulis membandingan dengan beberapa Tesis yang mirip dengan penelitian ini, antara lain :
8
http://yogawiguna.blogspot.sg/2011/10/jenisdanprosedurlelangdiindonesia. html, diakses tanggal 1 Desember 2013.
11 1. I Gusti Nyoman Budi Setiawan, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya, Malang, 2010, dengan judul “Implementasi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Berkaitan Dengan Kepastian Hukum Sertipikat Hak Milik Sebagai Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Studi Kasus di PTUN Denpasar)”, menggunakan metode yuridis normatif, dengan rumusan masalahan pertama yaitu : a) bagaimanakah
implementasi
Pasal
32
ayat
(2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berkaitan dengan kepastian hukum sertipikat hak milik sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah? b) upaya-upaya hukum apa yang dapat ditempuh bila terjadi sengketa berkaitan dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997? Kesimpulannya adalah Implementasi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak berjalan efektif, karena masih banyak sertipikat hak milik atas tanah yang telah terbit diterima sebagai objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar dan sertipikat tersebut ada yang dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang juga dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya maupun Mahkamah Agung.
12 2. I Gde Eka Putra Martono, Tesis Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya, Malang, 2010, dengan judul “Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Dinamika Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”, menggunakan metode yuridis normatif, dengan rumusan masalah yaitu : a) apakah aspek dinamika dalam penerapan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis berkaitan dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam kerangka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria? b) apakah kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah perseorangan/ badan hukum yang telah terbit sebelum 5 (lima) tahun di dalam dinamika penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sudah mempunyai kekuatan hukum? Kesimpulannya adalah bahwa aspek dinamika dari ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam kerangka Undang-Undang Pokok Agraria yang dikaji secara filosofis, yuridis maupun sosiologis bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam menjamin hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam bentuk sertipikat tanah.
13 3. Sri Wijayanti, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, dengan judul “Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Tanah”, menggunakan metode yuridis empiris, dengan rumusan masalah yaitu : a) bagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 570/k/Pdt/1999 apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional? b) bagaimana kepastian hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat)? c) bagaimana pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan sertipikat tanah yang ternyata bermasalah tersebut? Kesimpulannya adalah Kepastian hukum bagi para pihak yang megang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang telah memperoleh penguatan putusan dari Mahkamah Agung, tampaknya tidak dapat diperoleh secara utuh, karena : a) Beberapa upaya hukum yang lain, seperti verzet maupun peninjauan kembali masih terbuka; b) Sebagian terbesar kalangan di masyarakat mempunyai persepsi berbeda dan menganggap bahwa putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan. Pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan sertipikat tanah yang ternyatabermasalah tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata, dan tuntutan ganti rugi. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang sah.
14 Tesis tersebut diatas berbeda dengan tesis ini dimana dalam penelitian ini lebih menekankan tentang kekuatan pembuktian sertipikat hak milik atas tanah yang telah terbit diatas 5 tahun dengan cara menganalisa proses pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga tesis ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penelitian tentang pengaturan kemutlakan kepemilikan sertipikat hak milik atas tanah merupakan topik yang sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian karena sarat akan permasalahan maka penulis tertarik untuk menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul “Pengaturan Kemutlakan Kepemilikan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi dalam 2 (dua) hal, yaitu : 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian sertipikat hak milik atas tanah yang telah terbit lebih dari 5 (lima) tahun terhadap gugatan dari pihak lain? 2. Apakah akibat hukum terhadap para pihak akibat dibatalkan sertipikat hak milik atas tanah terhadap sertipikat hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 5 (lima) tahun ?
15 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengaturan kemutlakan pemilikan sertipikat hak milik atas tanah. Dengan pemahaman itu dapat diketahui pemahaman terhadap kekuatan pembuktian sertipikat hak milik atas tanah. 1.3.2 Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah disebutkan, juga terdapat tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan pembuktian sertipikat hak milik atas tanah yang telah terbit lebih dari 5 tahun. 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap para pihak akibat dibatalkan sertipikat hak milik atas tanah terhadap sertipikat hak milik atas tanah yang telah terbit lebih dari 5 tahun. 1.4
Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
16 1.4.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Agraria dan Hukum Kenotariatan berakitan dengan pendaftaran sertipikat hak milik atas tanah sebagai kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. 1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat sebagai pemegang hak milik atas tanah, bagi Pemerintah dan bagi penulis sendiri, yaitu : 1.
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria, sehingga di harapkan dapat menciptakan pemahaman yang seragam mengenai hal tersebut.
2.
Bagi Pemerintah, maka diharapkan agar ketentuan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditinjau kembali untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum di bidang pertanahan bagi pemilik hak atas tanah.
3.
Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan juga untuk menambah wawasan di bidang Hukum Agraria mengenai pendaftaran tanah.
17 1.5
Landasan Teoritis Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti
perenungan, dan kata theoria itu sendiri berasal dari kata thea yang dalam bahasa Yunani berarti cara atau hasil pandang.9 Dalam kaitannya dengan penelitian ini teori yang digunakan adalah teori hukum.10 Untuk memperjelas dalam memberikan suatu gambaran mengenai pembahasan permasalahan diatas, maka dalam penulisan tesis ini digunakan teori dan konsep, yaitu Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan, Teori Perlindungan Hukum dan Konsep Pendaftaran Tanah. 1.5.1
Teori Negara Hukum Teori negara hukum menjunjung tinggi adanya kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat dan untuk menjamin kepastian hukum maka teori negara hukum digunakan untuk membahas tentang penyelenggaraan dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang merupakan amanah dari UndangUndang. Kemudian penyelenggaran negara akan melimpahkan kewenangannya kepada perangkat lainnya, termasuk badan pertanahan nasional. Gagasan negara hukum menurut Immanuel Kant, merupakan unsur-unsur negara hukum formal. Kemudian pada abad ke-19, munculnya rechtstaat dari Fredrich Julius Stahl yang menyempurnakan unsur-unsur negara hukum formal 9
Soetandyo Wignyosoebroto, 2001, Hukum-Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, hal. 184. 10 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 260, Teori hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti : Mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya?, Apa yang menjadi tujuan hukum?, Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, Apa hubungannya dengan individu dan dengan masyarakat?, Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum?, Apakah keadilan itu?, Bagaimanakah hukum yang adil itu?
18 dari Immanuel Kant tersebut di atas menjadi unsur-unsur negara materiil.11 Adapun mengenai negara hukum memiliki 4 (empat) unsur sebagaimana dikemukakan oleh Imanuel Kant dan Fredrich Julius Stahl , antara lain : 12 1. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, 2. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montequieu, 3. Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang, 4. Adanya peradilan administrasi negara. Pemerintahan yang berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada kemauan manusianya. Pancasila sebagai Dasar Negara juga memberikan pengaruh besar bagi hukum yang berlaku di Indonesia. Philipus M. Hadjon memberikan pendapat mengenai ciri-ciri dari suatu Negara Hukum Pancasila yaitu : a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara; c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.13 Dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, selalu berlaku tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before law) dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam Negara 11
Ibrahim.R, 2003, Sistim Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif Dan Eksekutif Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, hal. 32-33. 12 Ibid. 13 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. hal. 90.
19 hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Menurut Munir Fuady, mengertikan bahwa “Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, namun perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai Negara, termasuk di Negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.”14 Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan sebutan “The Govermence non by man but by law”.15 Dalam hal negara hukum dianut suatu ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi dalam arti hukum dijadikan guiding principal bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintah, pejabat-pejabat beserta rakyatnya.16 Hal ini sejalan dengan prinsip pemencaran kekuasaan, pembagian kekuasaan pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 yang dimaksud untuk membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara pemerintahan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam Negara hukum, diperlukan keserasian hubungan antara pemerintah dan masyarakat. 1.5.2
Teori Perundang-undangan Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori hierarki
norma yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen 14
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal. 207. 15 Sudikno Mertokusumo, 2000, Upaya Peningkatan Supremasi Hukum, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal.12. 16 Ismail Suny, 2000, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Spabaru, Jakarta, hal. 8.
20 berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki atau tata sususan dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelurusri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar atau Grundnorm. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma dan norma tersebut tidak dibentuk dari norma lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.17 Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada dibawahnya.18 Salah satu murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara, menurut Nawiasky suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.19 Norma yang berada dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pasa suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans 17
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan Jenis , Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41. 18 Ibid, hal. 42. 19 Ibid, hal. 43.
21 Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis, norma itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma menurut Hans Nawiasky terdiri dari empat yaitu “Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana / Aturan Otonom)”.20 Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya hierarki peraturan
perundang-undangan.
Hierarki
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah; dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu : Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas pemerintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
20
Ibid, hal. 44-45.
22 Pancasila adalah norma fundamental Negara Indonesia dan norma ini harus dijadikan pemandu atau pedoman bagi perancang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 1.5.3
Teori Perlindungan Hukum Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari
teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan.21 Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian pada yang 21
116.
Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal.
23 absolut merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.22 Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis).23 Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundangundangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat universal yang bisa disebut Hak Asasi Manusia.24 Berbicara mengenai hak asasi manusia atau HAM menurut UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
22
Ibid. Ibid. 24 Ibid. 23
24 martabat manusia. Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Salah satu penganutnya adalah Locke, menurut Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio dan masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia.25 Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan.26 Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dari luar. Begitulah, hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut. Hak-hak dasar yang biasa disebut sebagai hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya.
Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat
mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant
manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas,
negara
bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya dan kemakmuran dan
25
Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2008, Hukum Progresif, Kanisius, Yogyakarta, hal.72. 26 Ibid
25 kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara.27 Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Menyinggung hak keamanan pada diri setiap individu, pada pasal dalam Hak Asasi Manusia menjelaskan setiap manusia di depan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan dari hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu. Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.28 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh 27 28
Ibid. Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 53.
26 masyarakat. Adapun pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Menurut Satijipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hakhak yang diberikan oleh hukum.29 Menurut Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra berpendapat bahwa “hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.”30 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.31 Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.32 Perlindungan hukum yang bersifat preventif bertujuan mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan
29
Satjipto Rahardjo, loc.cit. Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 31 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni Bandung , hal. 55. 32 Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 2 . 30
27 hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.33 Tujuan hukum sebagaimana yang diatur adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.34 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. 35 1.5.4
Konsep Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah
adalah suatu kegiatan penyelenggaraan pendaftaran
tanah yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum dan kepastian hak. Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Dalam rangka untuk memberikan
33
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal.18. 34 Ibid. 35 http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/ , diakses tanggal 07 Juni 2013.
28 kepastian hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan akan diberikan sertipikat hak atas tanah. Sertipikat berisi data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Esesnsi sertipikat hak atas tanah adalah surat tanda bukti hak atas bidang tanah yang berisi salinan buku tanah yang memuat data fisik dan data yuridis, dan surat ukur yang memuat data fisik.36 Maksud diterbitkan sertipikat dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah agar pemegang hak dengan mudah dapat membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang haknya, memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan. Jaminan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah meliputi kepastian status hak, subjek hak, dan objek hak. Jaminan perlindungan hukum dalam pendaftaran tanah adalah pemilik sertipikat tidak mudah mendapatkan gangguan atau gugatan dari pihak lain, pemilik sertipikat dapat mempertahankan haknya dari gangguan atau gugatan pihak lain.37 Penyelenggaraan tanah dikenal dua sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran positif dan sistem pendaftaran negatif. Sistem pendaftaran positif
36
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal. 62. 37 Ibid hal. 63.
29 selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertipikat hak sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang membuat orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan.38 Maka apa yang tercantum di dalam buku tanah dan sertipikat yang dikelu arkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan beritikad baik yang bertindak atas dasar bukti tersebut mendapat perlindungan multak meskipun kemudian keterangan-keterangan yang didalamnya tidak benar dan pihak ketiga yang merasa dirugikan harus mendapat ganti rugi atau konpensasi dalam bentuk lain. Kemudian sistem pendaftaran negatif, surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.39 Maka jaminan perlindungan yang diberikan oleh sistem pendaftaran negatif ini tidak bersifat mutlak seperti pada sistem pendaftaran positif. Selalu ada kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah sistem negatif, namun mengandung unsur sistem positif, maksud dari sistem negatif bertendensi positif adalah Negara tidak menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam
38 39
hal. 92.
Boedi Harsono I, op.cit hal. 77. Abdurahman, 1983, Beberapa Aspek Hukum Agraria, Alumni, Bandung,
30 sertipikat, namun selama tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan kepengadilan yang merasa lebih berhak. Data yang ada di dalam sertipikat adalah tanda bukti yang kuat sebagaimana berdasar pada UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Karakter positif tersebut dapat terlihat antara lain yaitu dengan adanya panitia pemeriksaan tanah yang bertugas untuk melakukan pengujian. Adapun dari penelitian tersebut akan disimpulkan bahwa lahan atau bidang tanah tersebut layak untuk didaftarkan yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum tanah yang didaftarkan sesuai dengan Pasal 19 UUPA kemudian sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 antara lain PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara material dokumen-dokumen yang akan diserahkan serta berhak melakukan penolakan untuk melakukan pendaftaran jika pemilik tidak wewenang mengalihkan haknya. Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas didalam penjelasan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselengarakan tidak menggunakan sistem positif namun sistem negatif, karakter negatif ini muncul karena tidak adanya konpensasi yang diberikan oleh Negara apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam melakukan penerbitan sertipikat hak atas tanahnya.
1.6
Metode Penelitian
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Jadi penelitian merupakan bagian dari usaha pemecahan masalah.
31 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian hukum normatif yakni suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Menurut L. Morris Cohhen bahwa “Legal research, is process of finding the law that governs activities in human society. It involves locating both the rules which are enforced by the state and commentaries which explain or analysis these rules”.40 Penelitian hukum adalah proses menemukan hukum yang mengatur aktifitas manusia, hal ini melibatkan penempatan yang baik itu aturan yang diselenggarakan oleh negara dan komentar yang menjelaskan atau menganalisa aturan-aturan tersebut.41 Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah terpegang ditangan. Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu Reasearch, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara gramatikal berarti “mencari kembali”. Jadi sesuatu yang dicari dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan ketidaktahuan tertentu.42
40
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 19 41
Ibid. Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 27. 42
32 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) Pendekatan konsep (Conceptual Approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut digunakan dasar bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi hukum terkait permasalahan yang diteliti. b. Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut dengan permasalahan yang dibahas. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu bentuk argument untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Metode yang diterapakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yang diharapkan dapat menghasilkan badan hukum dan konsep hukum yang obyektif, valid dan realibel.43 Obyektif berarti semua orang memberikan penafsiran yang sama. Valid berarti adanya ketepatan antara data yang terkumpul oleh peneliti dengan bahan hukum yang terjadi pada obyek yang sesungguhnya. Realibel berarti adanya ketepatan, konsistensi bahan hukum dan waktu.
43
Sugiyono,1998, Metode Penelitian Administrasi,Alfabeta,Bandung, hal.1.
33 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier (sebagai penunjang bahan hukum primer dan sekunder).44 Adapun sumber bahan hukum tersebut antara lain: a. Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini, terdiri dari Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (sering disebut Undang-undang Pokok Agraria), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan pertanahan. Adapun yang digunakan sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya dari kalangan hukum, hasil penelitian dan seminar. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum ini diperoleh dari ensiklopedia, kamus hukum, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. 44
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 38.
34 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaahan kepustakaan (study document). Telahan kepustakaan dilakukan dengan cara memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.45 1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan klarifikasi pada tahap prosedur pengumpulan bahan hukum, kemudian dilakukan deskripsi dengan penguraian proposisi-proposisi hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji. Berdasarkan deskripsi tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif
terhadap
proposisi-proposisi
yang
dijumpai
untuk
kemudian
disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya (Content Analysis).46 Hasil dari penerapan teknik tersebut kemudian diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas kedua rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
45
I Gede Eka Putra Martono, 2010, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dinamika Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ,Tesis Program Pascasarjana, Universitas BrawijayaUniversitas Udayana, Denpasar. 46 Sumadi Suryabrata,1989, Metodelogi Penelitian,Rajawali, Jakarta, hal. 85.
35 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ATAS TANAH
2.1 Pendaftaran Tanah 2.1.1 Pengertian Pendaftaran Tanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960, yang dikenal dengan UUPA, merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan Pendaftaran Tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kemudian diganti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanh yang berlaku efektif sejak tanggal 8 Oktober 1997.47 Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan bentuk pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam rangka Recht-Kadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.48 Alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa Buku Tanah dan Sertipikat Tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.49 Pendaftaran tanah digunakan dengan alasan bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan hasil dari proses pendaftaran tanah, karena merupakan hasil dari suatu proses maka pelaksanaan proses menentukan kesempurnaan dan kekuatan dari sebuah sertifikat. Hal ini berarti keterangan-keterangan yang tercantum di 47
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi I), hal. 112.. 48 Ibid. 49 Ibid.
36 dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.50 Persoalan penyelenggaraan pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah Indonesia baru mendapat penyelesaian secara prinsipil dengan diundangnya UUPA pada tanggal 24 September 1960, yang menetapkan Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran di Indonesia.51 Dalam penjelasan umum UUPA tujuan pendaftaran tanah untuk kepastian hukum merupakan tujuan yang primer, disamping itu juga dapat dipakai untuk keperluan-keperluan lain seperti untuk pemungutan pajak (fiskal).52 Pendaftaran tanah dilaksanakan atas semua bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia, dengan demikian tidak ada perbedaan perlakuan terhadap obyek bidang tanah yang akan didaftar, dengan kata lain dualisme dalam hak-hak atas tanah dihapuskan, sehingga pendaftaran tanah yang diperintahkan dalam Pasal 19 UUPA itu meliputi semua tanah yang terletak di wilayah Indonesia. 53 Selanjutnya dengan ditetapkannya dalam Pasal 19 ayat (1), bahwa pendaftaran tanah itu harus diatur
dlam
peraturan
pemerintah,
maka
peraturan
yang
mengatur
penyelenggaraan pendaftaran tanah mendapat landasan yang kuat. 54 Pengertian pendaftaran tanah sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi :
50
Arie S. Hutagalung, 2000, Penerapan Lembaga Rechtsverweking untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah, Hukum dan Pembangunan No. 4, Jakarta, hal. 328. 51 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit, hal. 81. 52 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, loc.cit. 53 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit, hal. 82. 54 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, loc.cit.
37 Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Kata-kata “rangkaian kegiatan” menunjuk adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. Kata-kata “terus menerus” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata “teratur” menunjukkan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang sesuai. Berdasarkan rumusan pengertian dari pendaftaran tanah diatas, dapat disebutkan bahwa unsur-unsur dari pendaftaran tanah yaitu:55 a. rangkaian kegiatan, bahwa kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah adalah, kegiatan mengumpulkan baik data fisik, maupun data yuridis dari tanah; b. oleh pemerintah, bahwa dalam kegiatan pendaftaran tanah ini terdapat instansi khusus yang mempunyai wewenang dan berkompeten, BPN (Badan Pertanahan Nasional); c. teratur dan terus menerus, bahwa proses pendaftaran tanah merupakan suatu kegiatan yang didasarkan dari peraturan perundang-undangan, dan kegiatan ini dilakukan secara terns-menerus, tidak berhenti sampai dengan seseorang mendapatkan tanda bukti hak; d. data tanah, bahwa hasil pertama dari proses pendaftaran tanah adalah, dihasilkannya data fisik dan data yuridis. Data fisik memuat data mengenai tanah, antara lain, lokasi, batas-batas, luas bangunan, Berta tanaman yang ada di atasnya. Sedangkan data yuridis meuat data mengenai haknya, antara lain, hak apa, pemegang haknya, dll; e. wilayah, bisa merupakan wilayah kesatuan administrasi pendaftaran, yang meliputi seluruh wilayah Negara; f. tanah-tanah tertentu, berkaitan dengan oyek dari pendaftaran tanah; g. adanya tanda bukti kepernilikan hak yang berupa sertipikat.
55
Suhadi dan Rofi Wahasisa, 2008, Buku Ajar Pendaftaran Tanah, Semarang, Universitas Negeri Semarang, hal.12.
38 Pendaftaran tanah mewajibkan pemegang hak atas tanah melakukan pendaftaran haknya. Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19, yang menyatakan sebagai berikut : (1)
(2)
(3)
(4)
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut.
Dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) pemerintah ditugaskan untuk melakukan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah diatur dalam beberapa pasal dalam UUPA, yaitu Pasal 23 mengenai pendaftaran Hak Milik, Pasal 32 mengenai Pendaftaran Hak Guna Usaha dan Pasal 38 mengenai Pendaftaran Hak Guna Bangunan. Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum sebagaimana yang dimaksud di atas. Pendaftaran tanah kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tetapi karena peraturan ini dianggap belum dapat memberikan hasil yang maksimal maka dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan ini yaitu dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai peraturan pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut berlaku pula Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
39 Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Rincian lebih lanjut tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, menyatakan sebagai berikut : (1)
(2)
(3)
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hakhak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pada dasarnya tujuan Pendaftaran tanah adalah untuk memberikan suatu kepastian hukum di bidang pertanahan, seperti yang ada dalam Pasal 19 UUPA. Menurut J.B. Soesanto, dalam analisanya tentang Hukum Agraria I menyatakan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah :56 (1)
(2)
(3)
56
Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis (kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal ini diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengan pihak yang menyerahkan maupun pihakpihak yang mempunyai tanah. Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan wewenang dan meletakan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah. Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang mempunyai diperlukan untuk mengetahui dengan siapa kita harus berhubungan untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum
J.B. Soesanto, 2000, Hukum Agraria I, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, hal. 90.
40 secara sah mengenai ada atau tidak adanya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga, diperlukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan tertentu untuk menjamin penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan secara efektif dan aman. Pendaftaran tanah merupakan suatu proses dimana terdapat aspek formal dan materiil. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah menghasilkan sertipikat hak atas tanah yang memberikan kepastian hukum, kepastian hak dan kepastian subyek pemilik sertipikat hak atas tanah. 2.1.2
Asas Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.57 Dari penjelasan Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997, disebut sebagai berikut :. a. Asas sederhana dalam pendaftraan tanah dimaksud agar ketentuanketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah. b. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukan, bahwa pendaftaran tanah harus diselengarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. c. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. d. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. e. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan kenyataan nyata dilapangan, dan 57
A. P. Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (berdasarkan PP No,24 Tahun 1997), Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat A. P. Parlindungan II), hal. 76.
41 masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka. Uraian diatas menyatakan bahwa fungsi dari asas itu sendiri yakni sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, maka produk yang dihasilkan dari pendaftaran tanah tersebut menjadi terjamin kepastian hukumnya. 2.1.3
Sistem Pendaftaran Tanah Ada dua macam sistem pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono, yaitu
sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of titles). Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.58 Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun dalam sistem pendaftaran hak, akta merupakan sumber data yuridis. Dalam sistem Pendaftaran akta, akta- akta inilah yang didaftar. Dalam sistem pendaftaran akta, pejabatnya bersikap pasif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Di kantor Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT), salinan akta disimpan dan terbuka untuk umum, sedangkan pemilik hak diberikan tanda bukti berupa asli atau minuta akta tersebut. Dalam sistem pendaftaran akta tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Sehingga dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum dalam suatu akta bisa mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan apa yang disebut “title search”, yang bisa memakan waktu dan biaya karena memerlukan 58
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 76.
42 bantuan ahli. Maka diciptakanlah sistem yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memeperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa harus mengadakan tittle search pada akta-akta yang ada yaitu sistem pendaftaran hak. Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan perbuatanperbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudianlah yang didaftar. Akta hanya merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahannya yang terjadi, kemudian disediakan suatu daftar isian, yang biasa disebut “register” atau di Indonesia disebut buku tanah, sehingga jika terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru, melainkan dicatatkan pada ruang mutasi yang disediakan pada buku tanah yang bersangkutan. Sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam buku tanah dan pencatatan perubahannya kemudian, oleh Pejabat Pendaftaran Tanah dilakukan pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga pejabatnya dapat dikatakan bersikap aktif. Dalam sistem ini buku-buku tanah disimpan di Kantor Pendaftaran Tanah dan terbuka untuk umum. Sebagai tanda bukti hak, diterbitkan sertipikat yang merupakan salinan register, yang di Indonesia sertipikat hak atas tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen. 2.1.4 Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Sistem publikasi pendaftaran tanah dalam suatu Negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh suatu negara dalam mengalihkan hak atas
43 tanahnya.59 Ada beberapa sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah, yakni sistem Torrens, sistem negatif dan sistem positif. 60 2.1.4.1 Sistem Torrens. Sir Robert Richard Torrens seorang pejabat bea cukai terkesan sekali atas sistem pemilikan dan saham atas kapal sebagaimana yang diatur oleh English Merchant’s Shipping Act.61 Ketika dia menjadi anggota First Colonial Ministry dari propinsi South Australia, Torrens mengambil inisiatif untuk mengintroduksi pendaftaran tanah yang di Australia terkenal sebagai Real Property Act Nomor 15 Tahun 1857-1858.62 Dalam detailnya sistem Torrens disempurnakan dengan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan hukum materialnya masing-masing. Pelaksanaan sistem Torrens, setiap pendaftaran hak atas tanah sebelum dicatat dalam buku tanah, maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan yang sangat teliti terhadap data yang disampaikan oleh pemohon. Kelebihan sistem Torrens dibandingkan dengan sistem negatif adalah ketidakpastian diganti dengan kepastian, biaya lebih murah dan waktu yang digunakan lebih singkat, ketidakjelasan dan berbelitnya uraian menjadi singkat dan jelas, persetujuan-persetujuan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga setiap orang akan dapat mengurus sendiri setiap kepentingannya, penipuan sangat dihalangi, banyak hak-hak milik atas tanah yang berkurang nilainya karena
59
Adrian Sutedi I, op. cit. hal. 117. Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Bachtiar Effendi I), hal. 47. 61 A. P. Parlindungan II, op.cit. hal. 24. 62 A. P. Parlindungan II, op.cit. hal. 25. 60
44 ketidakpastian hukum hak atas tanah telah dikembalikan kepada nilai yang sebenarnya. Dalam sistem ini sertipikat tanah merupakan alat yang paling lengkap tentang hak dari pemilik yang tersebut di dalamnya serta tidak dapat diganggu gugat, demikian menurut Torrens. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana asuransi (verzekeringsponds) yang sebelumnya dikenakan pada pemohon hak dalam pendaftaran tanah. Untuk merubah buku tanah adalah tidak dimungkinkan, terkecuali jika memperoleh sertipikat tanah dimaksud melalui cara pemalsuan dengan tulisan atau diperoleh dengan penipuan.63 2.1.4.2 Sistem Positif. Dalam sistem positif, suatu sertipikat tanah yang diberikan berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran tanah/pendaftaran hak atas tanah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata bukan pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat dalam sistem ini bersifat sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu dapat untuk didaftar ataukah tidak, menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya dan apakah formalitas-formalitas yang diisyaratkan untuk itu telah dipenuhi atau tidak. Menurut sistem ini hubungan hukum antara hak dari orang yang namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut didaftar. Kebaikan dari sistem Positif ini adalah adanya kepastian dari
63
A. P. Parlindungan II, op.cit. hal. 26.
45 buku tanah, peranan aktif dari pejabatnya, mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah mudah dimengerti oleh orang awam.64 Asas peralihan hak atas tanah dalam sistem ini adalah asas itikad baik. Asas itikad baik berbunyi : orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum.65 Jadi asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik dan untuk melindungi orang yang beritikad baik inilah perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti.66 Dalam sistem ini pihak ketiga yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut menurut sistem positif ini mendapatkan jaminan mutlak dengan adanya uang pengganti terhadap tanah yang sebenarnya ia haki. Walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak benar.67 Sistem positif ini dapat memberikan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah, kendatipun ternyata bahwa pemegang sertipikat bukanlah pemilik yang sebenarnya. Adapun kelemahan dari sistem positif ini adalah peranan aktif pejabatnya akan memakan waktu yang lama, kemudian pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh karena kepastian dari buku tanah itu sendiri, dan wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif.68
64
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993, (selanjutnya disingkat Bachtiar Effendi II), hal.32. 65 Adrian Sutedi I, op.cit, hal 117. 66 Adrian Sutedi I, loc.cit. 67 Bachtiar Effendi II, op.cit , hal. 33. 68 Bachtiar Effendi I, loc.cit.
46 2.1.4.3 Sistem Negatif. Sistem Negatif adalah segala sesuatu yang tercantum dalam sertipikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya. Asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah asas “nemo plus yuris”.69 dimana asas nemo plus yuris berbunyi orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas nemo plus yuris ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas nemo plus yuris ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.70 Ciri pokok sistem negatif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan mata rantai dari perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah. Ciri pokok lainnya dalam sistem ini adalah Pejabatnya berperan pasif artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat-surat yang diserahkan kepadanya. Kebaikan dari sistem negatif ini adalah adanya perlindungan terhadap pemegang hak sejati sedangkan kelemahannya dari sistem negatif ini adalah peranan pasif pejabatnya yang menyebabkan tumpang tindihnya sertipikat tanah, mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah sedemikian rupa sehingga kurang dimengerti oleh orang awam. 69 70
Bachtiar Effendi I, loc.cit. Adrian Sutedi I, op.cit, hal. 118.
47 Menurut Boedi Harsono, pertanyaan yang timbul berkaitan dengan system publikasi pendaftaran tanah adalah sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yang disajikan? Sejauh mana hukum melindungi kepentingan orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar, berdasarkan data yang disajikan di Kantor Pendaftaran Tanah atau yang tercantum di dalam surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar?71 Menurut Boedi Harsono ada dua sistem publikasi Pendaftaran tanah yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Dalam sistem publikasi positif, data disimpan dalam register atau buku tanah dan sertipikat sebagai surat tanda bukti hak. Dalam sistem ini, orang boleh mempercayai penuh data yang disajikan dalam register karena pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang membuat orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. Sistem publikasi positif, orang yang dengan itikad baik dan pembayaran serta kemudian mendaftarkan dirinya sebagai pemegang hak dalam register memperoleh hak yang tidak dapat diganggu gugat dari orang yang namanya tidak terdaftar sebagai pemegang hak dalam register, hal ini biasa disebut “indefeasible tittle”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang sebenarnya menjadi kehilangan haknya. Ia tidak dapat menuntut
pembatalan
perbuatan
hukum
yang memindahkan
hak
yang
bersangkutan kepada pembeli. Dalam keadaan tertentu ia hanya bisa menuntut
71
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 80.
48 ganti kerugian kepada Negara. Untuk menghadapi tuntutan ganti kerugian tersebut disediakan suatu dana khusus. Sehingga hukum benar-benar melakukan perlindungan terhadap orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar. Sistem publikasi negatif, yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli adalah sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, bukan pendaftaran yang dilakukan. Asas peralihan menurut sistem ini adalah asas “nemo plus yuris”, yaitu orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang ia punyai sendiri. Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya. Data yang disajikan dalam pendaftaran dengan sistem ini tidak boleh begitu saja dipercayai kebenarannya. Negara tidak menjamin data yang disajikan. Biarpun sudah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi kemungkinan gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa ialah pemegang hak yang sebenarnya. Sistem Publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif.72 Pendaftaran tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga sistem Pendaftaran Tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 bukanlah sistem negatif yang murni. Sistem
72
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 477.
49 publikasi yang murni tidak akan menggunakan pendaftaran hak, juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat. Hal tersebut juga terlihat pada ketentuanketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta pemeliharaannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. 2.1.5
Rechtsverwerking dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan
tanah
atau
penerbitan
sertipikat.73
Inilah
yang
disebut
rechtverwerking. Berbagai macam alasan dipergunakan orang tertentu untuk membiarkan begitu saja tanpa dikerjakan dan kemudian tanah tersebut dikerjakan orang lain yang memperoleh dengan itikad baik, maka hak seseorang untuk menuntut tanahnya akan hilang. Dengan kata lain, orang tersebut telah menelantarkan tanahnya dan pencatatan nama orang lain dalam sertipikat
73
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit, hal. 147.
50 dipandang definitip setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut.74 Pasal 32 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 merupakan penerapan dari lembaga hukum adat, yang dikenal dengan nama rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.75 Sebagai ketentuan yang berasal dari Hukum Adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud kelihatannya telah diadopsi oleh UUPA Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena diterlantarkan.76 Ketentuan ini mempertegas bahwa sistem pendaftaran di Indonesia tidak menggunakan sistem publikasi negatif yang murni, tetapi menggunakan sistem publikasi negatif bertendensi positif, yang artinya walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak, namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama tidak ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya maka data yang disajikan dalam bukti hak tersebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin menurut hukum).77 Oleh karena lembaga rechtsverweking tersebut berasal dari ketentuan hukum adat yang tentunya tidak tertulis, maka penerapan dan pertimbangan mengenai terpenuhinya persyaratan yang bersangkutan dalam kasus-kasus konkrit
74
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, loc.cit. Boedi Harsono I, op.cit, hal 67 76 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit.hal. 149. 77 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, loc.cit. 75
51 ada di tangan hakim yang mengadili sengketa.78 Negara-negara yang menggunakan sistem publikasi negatif umumnya dikenal lembaga acquisitieve verjaring (memperoleh hak milik dengan lampaunya waktu) yaitu apabila penerima hak yang beritikad baik bertindak tegas selaku pemilik dan yang bersangkutan menguasai tanah secara nyata dan terbuka selama sekian tahun, tanpa ada pihak lain yang menggugat, maka oleh hukum ia ditetapkan sebagai pemiliknya, yang hak kepemilikannya sudah tidak dapat diganggu gugat lagi, juga tidak oleh pihak yang membuktikan sebagai pemilik hak yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menentukan : “untuk memperoleh Hak Milik atas sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, dimuka umum dan secara tegas sebagai pemilik”. Sedangkan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatur : “Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alasan hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu pitang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun”. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alasan haknya. Keefektivitas dari lembaga rechsverwerking tersebut terletak pada hakim sebagai pemutus perkara para pihak yang bersengketa yang menjadikan tanah yang sudah bersetifikat sebagai obyek perkaranya, sebaliknya hakim juga 78
Boedi Harsono, 2002, Kelemahan Pendaftaran Tanah Dengan Sistem Publikasi Negatif, malakah pasa Seminar Nasional di Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), hal. 2.
52 harus memperhatikan ketentuan tersebut karena sebagai lembaga yang berasal dari Hukum Adat maka lembaga dimaksud diyakini merupakan hukum yang hidup dalam kenyataan kehiduoan dalam masyarakat.79 Lembaga rechtsverwerking telah banyak mendapat pengukuhan dan penerapan dalam berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung. Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Indonesia. Berbagai putusan Hakim baik di Mahkamah Agung maupun di Pengadilan Tinggi menunjukkan adanya lembaga rechtsverwerking dan cara penerapannya, yaitu :
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
329
K/Sip/1957.
Bahwa
berdasarkan kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya.80
Putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
10
Januari
1957
Nomor
210/K/Sip/1955. Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan
haknya
(rechtsverwerking).
Mahkamah
Agung
berpendapat, bahwa pembeli sawah kini patut dilindungi, oleh karena
79 80
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit, hal. 150. Bachtiar Effendi II, loc.cit.
53 dapat dianggap, bahwa ia adalah beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seseorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah.81
Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret 1975 Nomor 1192 K/Sip/1973. Kasus terjadi di Padang Sidempuan, bahwa menurut peraturan adat setempat hak seseorang atas tanah usahanya menjadi gugur apabila ia cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung/Kepala kampung untuk mengerjakannya tetapi teguran itu dihiraukan, dalam hal ini bolehlah tanah tersebut oleh Kepala Persekutuan Kampung. Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.82
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 27 Mei 1958 Nomor 132/1953.Pdt.
Kasus terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Pelepasan hak (“rechtsverwerking”) penggugat dianggap melepaskan haknya atas dua bidang tanah, oleh karena selama 20 tahun membiarkan sawah sengketa digarap orang lain.83
Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1975 Nomor 408 K/Sip/1973. Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung. Karena para penggugat81
Soebekti Tamara, 1961, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal. 31. 82 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, www.kennywiston.com/hukum adat htm, diakses 11 Mei 2007, hal. 31. 83 Toton Suprapto dan Muchsin, 2002, Kepastian dan Perlindungan Hukum pada Landasan Keadilan dan Kebenaran, (Dalam seminar Keefektifan Lembaga Rechtverwerking Mengatasi Kelemahan Pendaftaran Tanah Dengan Sistem Publikasi Negatif), Jakarta, hal. 16.
54 terbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhum nyonya Ratiem dan kemudian oleh anakanaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum At ma untuk
menuntut
tanah
tersebut
telah
sangat
lewat
waktu
(rechtverwerking).84
Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Januari 1974 Nomor 659 K/Sip/1973. Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi
yang
dibenarkan
Mahkamah
Agung.
Bahwa
sekalipun
penghibahan tanah-tanah sengketa oleh tergugat satu adalah tanpa ijin penggugat, namun karena ia membiarkan tanahnya dalam keadaan tersebut sekian lama, yakni mulai 23 Oktober 1962 samapai gugatan diajukan yakni 18 Juni 1971, sikap Penggugat harus dianggap membenarkan keadaan tersebut, mengingat bahwa tergugat saru selaku isteri penggugat berhak pula atas bagian dari gono-gini, maka penghibahan tersebut dan juga penjualan tanah itu dari tergugat dua kepada tergugat tiga karena telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, yakni UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah sah.85 Pasal 32 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa : Dalam hal atas suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tidak dapat menuntut pelaksanaan tanah tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya 84 85
Ibid, hal. 17. Ibid, hal. 18.
55 sertipikat tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun yang tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 ditegaskan cara dalam mengatasi
kelemahan
sistem
publikasi
negatif
yang
digunakan
dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut UUPA, walaupun pada dasarnya UUPA tidak menganut sistem publikasi negatif yang murni karena menggunakan sistem pendaftaran hak dimana salah satu cirinya adalah kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah dilakukan dengan seksama oleh pejabat pendaftaran tanah agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 bertujuan untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya dan pihak yang merasa berhak atas tanah yang bersangkutan juga tidak diabaikan, karena jangka waktu 5 tahun dipandang sudah cukup untuk berusaha mempertahankan haknya, baik langsung maupun melalui pengadilan. Tetapi di satu sisi lain dengan adanya Pasal 32 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 ini tampak ada suatu perubahan dalam pemberian jaminan kekuatan sertipikat yang mengarah pada kekuatan yang mutlak dimana hal ini pada dasarnya bertentangan dengan sistem yang dianut oleh UUPA yaitu pada Pasal 19 ayat (2) huruf c. Hal inilah nantinya yang akan dibahas dalam penulisan ini dengan melibatkan pendapat para teoritisi dan praktisi hukum serta Pejabat Pendaftaran Tanah.
56 2.1.6
Fungsi Sosial Tanah Tanah merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan pembangunan.
Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok dalam kelangsungan hidup manusia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pada tingkatan tertinggi, tanah dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, maka telah dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat”. Lebih lanjut mengenai hak menguasai dari Negara yaitu disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai berikut : Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
57 c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Hal tersebut bertujuan agar segala sesuatu yang telah diatur tersebut dapat mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan tersebut mengenai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.86 Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Isi dari Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara mempunyai wewenang memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum. Pada dasarnya setiap hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, dimana hak bangsa tersebut merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun
86
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 578
58 yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau negara, dan diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.87 Tidaklah dibenarkan hak atas tanah dalam penggunaannnya hanya diorientasikan
untuk
kepentingan
pribadinya
(si
empunya
memperhatikan kepentingan sosial atau lingkungannya.
hak),
tanpa
Dengan kata lain,
menurut Sudjito, semua hak atas tanah harus mempunyai fungsi individu/pribadi, sekaligus fungsi sosial.88 Penerapan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial mengandung suatu maksud, bahwa Pemerintah secara moral mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang bersifat antinomi, yaitu antara kepentingan individu di satu sisi, dan kepentingan masyarakat di sisi yang lain.
87
Dasar-Dasar dari Hukum Agraria Nasional, Kitab Undang-Undang Pokok Agraria Dan Pertanahan Indonesia, 2009, Wacana Intelektual, hal. 10. 88 Sudjito, 2007, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Majalah Ilmiah Widya Bhumi, hal. 2.
59 Maria S.W Sumardjono menekankan bahwa hubungan atau relasi antara orang perorangan dan masyarakat dalam kaitannya dengan tanah, bersifat kedwitunggalan yang tidak dapat dipisahkan.89 Sedangkan untuk memberi isi dan ukuran dari fungsi sosial, menurut Sunaryati Hartono, maka dalam pelaksanaan hak milik atas tanah harus memperhatikan empat azas, yaitu azas manfaat, azas usaha bersama dan kekeluargaan, azas demokrasi dan azas adil dan merata.90 Konsekuensi lebih lanjut, jika secara nyata ditemukan pelanggaran dari prinsip fungsi sosial, yaitu tanah diterlantarkan atau (ada unsur kesengajaan untuk menelantarkan) tanah, maka hak atas tanah tersebut kembali kepada hak menguasai dari Negara. Pernyataan lebih ekstrim lagi dikemukakan oleh Ari Sukanti Hutagalung, yaitu apabila kewajiban ini diabaikan negara berwenang untuk membatalkan hak, sehingga tanahnya menjadi tanah negara.
91
Dengan demikian pemegang hak atas
tanah tidak hanya mempunyai hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai-nya tetapi juga berkewajiban menggunakan tanahnya sedemikian rupa sehingga baik secara langsung dan tidak langsung memenuhi kepentingan umum. Regulasi Kebijakan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara konstitusional telah mengamanatkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketetapan MPR RI 89
Ibid. Ibid. 91 Ari Sukanti Hutagalung, 2001, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. 90
60 Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa : Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula dalam Pasal 4 huruf h, disebutkan bahwa “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekojologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat”. Pasal 6 UUPA, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah. Oleh karena itu, maka hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan.
61 2.2
Tanah Terlantar Sejalan
dengan
adanya
TAP
MPR
No.
IX/MPR/2001
tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah, merupakan hal penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. Menyadari bahwa hukum akan memberikan jaminan kepastian pada setiap penatagunaan tanah, dalam kerangka kebijakan pembaharuan agraria, kajian dari aspek hukum menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan lebih dahulu. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan peraturan-peraturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan. Pemberian hak-hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangungan, dll) kepada perorangan atau individu atau badan hukum oleh negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya dan dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud tidak dibenarkan menelantarkan tanah. Menurut J.J.H. Bruggink arti kata pengertian adalah sebagai berikut “Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada obyek tertentu atau orang tertentu. Jadi bergantung pada baik konteks kebahasaan maupun bukan kebahasaan”.92 Mengenai konsep tanah terlantar yang hendak dijelaskan dalam uraian berikut ini, 92
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, hal. 45.
62 dipilih pengertian konsep sebagaimana yang dijelaskan oleh Radbruch, ia mengemukakan pendapatnya yang berkaitan dengan konsep hukum sebagai berikut: terdapat dua jenis konsep hukum yakni konsep hukum yang yuridis relevan (legally relevant concepts) dan konsep hukum asli (genuine legal concepts).93 Konsep yuridis relevan adalah konsep hukum yang merupakan komponen aturan hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk mendapatkan situasi fakta dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan interpretasi misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi, atau mengambil. Sedangkan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak, kewajiban, hubungan hukum, dan sebagainya.94 Selanjutnya Satjipto Rahardjo mengemukakan pentingnya sebuah konsep digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan itu.95 Berdasar adanya 2 macam konsep hukum dari Radburch itu, dipiiih konsep hukum yang yuridis relevan untuk menjelaskan konsep tanah terlantar, dengan alasan bahwa tanah terlantar merupakan fakta di lapangan adanya tanah hak yang tidak terawat, tidak produktif, dan kualitas kesuburannya menurun. 2.2.1 Tanah Terlantar Menurut Hukum Indonesia Sejalan
dengan
adanya
TAP
MPR
No.
IX/MPR/2001
tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah 93
Ibid. Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 154. 95 Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 305. 94
63 terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah, merupakan hal penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. Menyadari bahwa hukum akan memberikan jaminan kepastian pada setiap penatagunaan tanah, dalam kerangka kebijakan pembaharuan agraria, kajian dari aspek hukum menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan lebih dahulu. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan peraturanperaturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan. Pemberian hak-hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dll) kepada perorangan atau individu atau badan hukum oleh negara untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, dalam pemberian hak itu ada maksud tidak dibenarkan menelantarkan tanah. Lahirnya UUPA adalah dalam rangka menghilangkan dualisme di bidang hukum agraria. Demikian pula bahwa UUPA dibuat mengambil sumber dari hukum adat yang bersifat komunalistik religius yang mempunyai makna bahwa penguasaan tanah bersama memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Ada perubahan paradigma dari hukum agraria kolonial yang berciri tanah dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan dan mendapat untung sebanyak-banyaknya ke hukum agraria nasional yang berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat.
64 Alasan filosofinya bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia (rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi ada kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah sebaikbaiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai dengan tujuannya (kemakmuran) itu. Berdasarkan hakekat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA) tersebut, semua pihak perlu mengerti dan menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada negara karena diterlantarkan yaitu pada Pasal 27 huruf a angka 3 UUPA, pada penjelasan Pasal 27 menyatakan bahwa: “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. 2. Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan yaitu pada Pasal 34 huruf e. 3. Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan yaitu pada Pasal 40 huruf e. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara baik itu hak milik, hak guna bangunan maupun hak usaha, haknya hapus apabila diterlantarkan. Artinya ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya.
Keberadaan pasal-pasal
65 UUPA mengenai tanah terlantar nampaknya tidak cukup serius diterapkan di lapangan, sehingga Pemerintah mengeluarkan peraturan peraturan yang bersifat melaksanakan perintah Undang-Undang. Peraturan-peraturan itu sudah bersifat sektoral, misalnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan atau Diterlantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat.96 Dalam bagian menimbang huruf a keputusan tersebut dinyatakan: bahwa dengan membiarkan tanah-tanah perkebunan dalam keadaan terlantar atau diterlantarkan pemegang haknya atau pengusahanya tidak mempergunakan atau menggunakan sebagaimana mestinya adalah merupakan pelanggaran terhadap fungsi sosial disamping merupakan kelalaian dari pada pengusaha atau pemegang hak yang tidak mengindahkan kewajiban dalam mengusahakan perkebunannya secara baik dan layak. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973, sebagai wujud kepedulian atas terlantarnya tanah hak guna usaha (perkebunan). Hal itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut pendayagunaan tanah terlantar tersebut. Sehingga lahan hak guna usaha (perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu perkebunan sebagai terlantar, ialah apabila diketahui bahwa pemegang hak atas tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana mestinya. Dengan demikian
96
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan atau Diterlantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat , www.bpn.go.id, diakses tanggal 10 April 2014.
66 berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial atas tanah. Selanjutnya terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973 tersebut di atas, penguasaan oleh Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat tersebut berlangsung hanya sampai 17 Januari 1974. Kemudian panitia yang dibentuk oleh Keputusan Gubernur Jawa Barat harus mengajukan usul-usul dan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri mengenai peruntukan atau penggunaan serta penyelesaian terhadap tanah-tanah perkebunan termaksud. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keputusan Menteri tersebut sudah lebih operasional. Karena sudah menyebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang dibiarkan oleh pemegang hak atas tanah (subyek hak guna usaha), tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, dan itu merupakan pelanggaran terhadap kewajibannya dan fungsi sosial hak atas tanah. Sedangkan terhadap obyek haknya, tentu perlu penjelasan tentang gambaran kondisi fisik konkret di lapangan. Artinya perlu data konkret terukur. Pengukuran fisik tanah dapat dilakukan oleh dinas terkait yaitu Dinas Perkebunan. Selanjutnya kriteria-kriteria yang telah ditetapkan secara khusus untuk perkebunan dapat dirumuskan kembali yang lebih umum agar bisa digunakan sebagai pedoman untuk mengambil tindakan menetapkan tanah terlantar. Perlu diketahui juga bahwa setelah itu terdapat catatan adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Di Daerah Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum Atau Perorangan Yang tidak Dimanfaatkan Atau Diterlantarkan. Dalam Instruksi tersebut tugas dibebankan
67 kepada seluruh Gubernur dan semua Bupati atau Walikota seluruh Indonesia untuk menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan-badan hukum atau perorangan. Adapun isi Instruksinya tersebut adalah:97 1. Agar dilakukan penertiban, pemanfaatan tanah sesuai dengan maksud dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. 2. Agar melakukan inventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan atau diterlantarkan, dan apa sebab tidak dipenuhi syarat pencadangan. 3. Mengadakan langkah-langkah pengawasan yang intensif dan memberikan jangka waktu sampai 24 Agustus 1982 kepada badan hukum/perorangan untuk memanfaatkan atau menggunakan tanah sesuai dengan maksud dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pencadangan Tanah. 4. Apabila sampai tanggal 24 September 1982 tidak ada kegiatan, maka pecadangan tanah tersebut dibatalkan dan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Dengan demikian, upaya untuk melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan. Namun nampaknya upaya itu tidak didukung oleh kemauan dan tindakan yang tegas dari pemerintah walaupun aturan-aturan yang mendukung sudah ada. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam menimbang huruf b disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam ketentuan Menimbang huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
97
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Di Daerah Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum/ Perseorangan Yang Tidak Dimanfaatkan/ Diterlantarkan, www.bpn.go.id, diakses tanggal 10 April 2014.
68 Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. 98 Pasal 1 ayat (5) UUPA yang menyatakan bahwa Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pokok yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan Ketentuan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku.” Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali ketika mengatur tentang Kriteria Tanah Terlantar yaitu dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang menyatakan: “Tanah Hak Milik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang mengatur khusus untuk Hak Gunam Usaha yang menyatakan: 1. Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3, apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Jika haknya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1, memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. Beberapa pengertian tanah terlantar di atas, menunjukkan adanya pengertian yang bervariasi, tergantung pada macam hak atas tanah. Hal tersebut bisa menimbulkan persepsi yang beda-beda antara petugas, pejabat dan masyarakat.
98
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, hukum.unsrat.ac, diakses tanggal 10 April 2014.
69 2.2.2 Tanah Terlantar Menurut Hukum Adat Memahami pemikiran masyarakat adat tentang tanah yang dijelaskan oleh para ahli hukum adat, menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat dilepaskan dengan tanah, ia merupakan unsur yang esensi yang paling diperlukan selain untuk kebutuhan hidup yang lainnya. Ditegaskan pula bahwa tanahlah yang merupakan modal satu-satunya bagi manusia. Adapun ciri-ciri hukum adat dalam memandang tanah dapat diketahui dari para pakar dalam mengidentifikasinya yaitu: (1) Menurut I Gede Wiranata:99 a. Tanah mempunyai sifat yang tetap keadaannya tidak pernah berubah. b. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh anggotanya, sekaligus memberikan penghidupan kepada pemiliknya. c. Tanah merupakan suatu kesatuan dimana nantinya pemilik akan dikubur setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur. (2) Menurut Van Dijk:100 a. Membahas tanah tidak dapat dilepaskan dari corak persekutuanpersekutuan hukum. b. Tanah merupakan modal yang terutama dan satusatunya. c. Campur tangan persekutari itu sehingga kesatuan dengan menggunaakan Kepala Persekutuan sebagai alatnya untuk mengutus hak-hak perorangan dalam suatu persekutuan. (3) Menurut B. Ter Haar BZN: “Tanah adalah tempat dimana mereka berdiam, tanah memberikan makan mereka, tanah dimana mereka
99
I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 226. 100 Van Dijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, diterjemahkan oleh A. Soehardi, Sumur, Bandung, hal. 56.
70 dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya.” 101 Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter secara individu, maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka. Tetapi yang utama suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana semua anggota masayarakat pada dasarnya mempunyai kewajiban mengolah tanah yang baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar dari seseorang pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah tidak terpelihara, tidak terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut tanah terlantar. Kalau demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum. Hak pengelolaan diberikan kepada orang lain. Jadi konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3-15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi semak belukar kembali, maka tanah kembali pada hak ulayat. Jadi menurut hukum adat, “tanah terlantar”, lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (ditinggalkan oleh pemegang haknya). Hanya secara yuridis tidak jelas
101
Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K.Ng Soebakti Poesponoto, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hal 71.
71 kedudukannya. Karena tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan suatu atau sebidang tanah adalah terlantar. Apabila memperhatikan kesimpulan berdasar pendapat para peneliti maka dinyatakan “kembali kepada hak ulayat atau masyarakat adat”. Biasanya yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya. Di beberapa daerah yang mengenal ladang berpindah, meninggalkan lahan yang pernah digarap atau diusahakan itu bukan dimaksudkan tidak dikerjakan tetapi justru dalam rangka memulihkan kesuburan tanah kembali. Artinya tidak diserahkan pada warga masyarakat lebih dahulu secara individu. Dalam perpektif ini, masyarakat hukum adat tidak menelantarkan tanah atau tidak mengenal tanah terlantar.
2.3 Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, dan fungsinya itu tidak dapat digantikan dengan benda lain. Pendaftaran tanah bertujuan untuk mewujudkan adanya kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan oleh UUPA yaitu pada Pasal 19. Dengan adanya pasal ini membawa akibat hukum dari pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah dengan diberikannya surat tanda bukti yang lazim disebut sertipikat tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah. Kajian mengenai kekuatan berlakunya sertipikat sangat penting, setidak-tidaknya karena pertama, sertipikat dapat memberikan kepastian
72 hukum pemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertipikat.102 Pemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang oleh siapa pun.103 Kedua, pemberian sertipikat dimaksudkan untuk mencegah sengketa kepemilikan tanah.104 Ketiga, dengan pemilikan sertipikat, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.105 Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah
yang bersangkutan (Pasal 1 angka
20
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, maka yang dimaksudkan dengan sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang terdiri salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul dijilid menjadi satu, yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Secara fisik, sertipikat hak atas tanah terdiri dari sampul luar, sampul dalam, buku tanah, surat ukur.106
102
Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi II), hal. 2. 103 Bachsan Mustafa, 1988, Hukum Agraria dalam Perspektif, Remaja Karya, Bandung, hal. 57. 104 Adrian Sutedi II, loc.cit. 105 Adi Kusnadi, Laporan Teknis Intern tentang Masalah Hukum Perubahan Status, Jakarta, hal. 15. 106 Effendi Perangin, 1996, Praktek Pengurusan Sertipikat Hak Atas Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
73 Jadi salinan buku tanah (berisi data yuridis yang mencakup keterangan mengenai data yuridis mengenai haknya-haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain) dan surat ukur (berisi data fisik mengenai tanahnya lokasinya, batas-batasnya, luasnya bangunan dan tanaman yang ada di atasnya), kemudian dijilid menjadi satu dan diberi sampul disebut sertipikat hak atas tanah, yang kemudian diserahkan kepada pemegang hak sebagai alat bukti yang kuat (Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.107 Secara umum sertipikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah. Kekuatan berlakunya sertipikat telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, yakni sertipikat merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.108 Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang halnya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya, sedangkan data fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas dan luas 107
H. Ali Achmad Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II Sertipikat dan Permasalahannya, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 123 108 Adrian Sutedi II, op.cit, hal. 29.
74 tanah.109 Sehubungan dengan hal tersebut dapat diketahui bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya. Sehingga data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat sebagai tanda bukti yang kuat mengandung arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sebagaimana juga dapat dibuktikan dari data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukurnya. Menurut Pasal 19 UUPA ayat 2 huruf c, bahwa :“Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku alat pembuktian yang kuat”. Kata “kuat” dalam Pasal 19 UUPA berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sehubungan dengan sistem negatif adalah berarti “tidak mutlak” yaitu sertipikat tanah masih dimungkinkan digugurkan sepanjang ada pembuktian sebaliknya yang menyatakan ketidakabsahan sertipikat tanah tersebut. Dengan demikian sertipikat tanah bukanlah satu-satunya surat bukti pemegangan hak atas tanah dan oleh karena itu ada masih ada lagi bukti-bukti lain tentang pemegangan hak atas tanah antara lain surat bukti jual beli tanah adat atau surat keterangan hak
109
Adrian Sutedi II, loc.cit.
75 milik adat.110 Misalnya dengan terbitnya dua atau lebih sertipikat tanah di atas sebidang tanah yang sama, hal ini disebut dengan “overlapping” atau tumpang tindihnya sertipikat yang membawa akibat ketidakpastian hukum pemegang hak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Yang berhak untuk membatalkan atau mencabut sertipikat tanah karena overlapping tersebut adalah instansi yang mengeluarkan sertipikat tanah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Pengadilan Negeri selaku instansi penegak hukum berwenang untuk menilai melalui pemeriksaan yang teliti untuk selanjutnya memutuskan siapakah yang berhak atas tanah yang dipersengketakan. Sesuai dengan sistim negatif yang telah dianut dalam pendaftaran tanah di Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak yang tidak bisa diganggu gugat, justru berarti bahwa sertipikat tanah itu bisa dicabut atau dibatalkan. Oleh karena itu adalah tidak benar bila ada anggapan bahwa dengan memegang sertipikat tanah berarti pemegang sertipikat tersebut adalah mutlak pemilik tanah dan ia pasti akan menang dalam suatu perkara karena sertipikat tanah adalah alat bukti satu satunya yang tidak tergoyahkan. Menurut Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yanag kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan
110
Bachtiar Effendi II, op.cit, hal. 77.
76 yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapatkan persetujuannya. Fungsi sertipikat hak atas tanah tersebut adalah :111 1.
Sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Diapun dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu, misalnya luas, batas-batasnya, bangunan-bangunan yang ada, jenis haknya bebanbeban yang ada pada hak atas tanah itu.dan sebagainya. Semua keterangan yang tercantum dalam sertipikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Kalau ternyata apa yang termuat di dalamnya ada kesalahan, maka diadakan perubahan dan pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak mengadakan pembetulan itu bukan pengadilan, melainkan Badan Pertanahan Nasional sebagai instansi yang membuatnya. Pihak yang merasa dirugikan karena kesalahan dalam sertipikat itu, mengajukan permohonan untuk perubahan atas sertipikat dimaksud, dengan melampirkan Putusan Pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud. Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya.
2.
111
Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi III), hal. 27-28.
77
3.
Dengan demikian, bila pemegang hak atas tanah itu seorang pengusaha misalnya, maka sudah tentu akan memudahkan baginya mengembangkan usahanya itu karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh. Bagi pemerintah, adanya sertipikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung. Adanya sertipikathak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan bila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah diketemukan. Data sangat penting untuk perenencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel tilpon, penarikkan pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya. Sertipikat hak atas tanah merupakan tanda bukti pemilikan dan penguasaan
hak atas tanah yang berisi data fisik mengenai bidang tanah serta data yuridis yang berisi nama pemegang hak serta jenis hak atas tanah yang dikuasai. Sertipikat hak atas tanah ini memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk mengusahakan tanahnya serta mempertahankannya dari siapapun.
2.4 Pembatalan Hak Atas Tanah Pengertian pembatalan hak atas tanah dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, yaitu : “pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
78 Pengertian pembatalan Hak atas Tanah yaitu : “pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Melihat dua rumusan di atas, tampak pada Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 lebih tegas dan luas dari pada rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999. Hal ini karena dalam rumusan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 pembatalan tidak saja dapat dilakukan terhadap keputusan pemberian hak atas tanah, tetapi juga dapat dilakukan terhadap sertipikat hak atas tanah, meskipun dengan batalnya keputusan pemberian hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah serta merta menjadi batal juga. Dari berbagai rumusan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:112 1) pembatalan hak atas tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus suatu hubungan hukum antara subyek hak atas tanah dengan obyek hak atas tanah; 2) jenis/macam kegiatannya meliputi pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertipikat hak atas tanah 3) penyebab pembatalan adalah karena cacad hukum administrasi dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pemegang hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah, serta karena adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian hak bersangkutan.
112
Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, 2005, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah, Tugujogjapustaka, Yogjakarta, hal. 37-38.
79 Pembatalan hak atas tanah merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa hak atas tanah yang disebabkan surat keputusan pemberian hak dan atau sertipikat hak atas tanah yang merupakan beschiking atau keputusan pejabat tata usaha negara yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengandung cacad dan merugikan salah satu pihak tertentu. Dasar hukum pembatalan hak atas, sebagai berikut : 1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1999
tentang
Pelimpahan
Kewenangan
Pemberian
dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; 2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Pejabat yang Berwenang Membatalkan Hak Atas Tanah berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Pada Pasal 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara disebutkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi memberikan Keputusan mengenai: 1) Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang terdapat cacad hukum dalam penerbitannya; 2) Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
80 Pertanahan Nasional Provinsi, untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara menyebutkan bahwa : Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannnya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Pembatalan hak atas tanah atau melaksanakan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang agrarian/pertanahan, dimana Menteri dapat melimpahkan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
81 BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
3.1 Proses Kekuatan Sertipikat Indonesia merupakan Negara hukum, dimana segala perbuatan dan aktifitas harus berdasarkan atas hukum, begitu juga dalam hukum pertanahan khususnya dalam bidang pendaftaran tanah. Dalam hirarki perundang-undangan menyebutkan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, namun terdapat keunikan dalam undang-undang pokok agraria yakni hukum tanah nasional bersumber dari hukum adat yang berasal dan lahir dari masyarakat, namun hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang dijabarkan dalam teori perundang-undangan karena teori itu sendiri mengenal adanya norma dasar yang menjadi panutan dan dasar dari segala peraturan, kaitannya dengan hukum tanah, norma dasar itu sendiri ada dalam hukum adat. Sistem publikasi yang dianut dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif. Sistem ini dipilih karena karakter hukum tanah Indonesia yang bersifat komunal dalam arti tanah selain dapat dimiliki secara perseorangan namun peruntukannya tetap harus berfungsi sosial dalam arti seseorang harus benar-benar mengusahakan tanahnya sesuai dengan peruntukan dan pengusahaan tersebut tidak boleh merugikan orang lain. Indonesia juga memiliki banyak hak-hak adat dengan beraneka ragam ketentuan, sehingga pemerintah menemui kesulitan untuk menyatakan apakah tanah tertentu milik
82 seseorang atau bukan. Hukum tanah nasional bersumber dari hukum adat dan mengenal larangan penelantaran tanah dimana jika tanah ditelantarkan oleh seseorang yang memiliki hak atas tanah, maka hak atas tanah tersebut menjadi hilang dan bisa diambil alih oleh orang lain. Namun bukan berarti hak-hak perorangan akan terdesak oleh kepentingan umum, maka pemerintah melalui Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mulai menerapkan bahwa sertipikat tanah yang telah terbit selama 5 tahun merupakan alat pembuktian yang kuat. Menurut penulis terdapat norma kabur dalam pasal ini, karena terdapat perbedaan penerapan pasal dimana sertipikat yang telah terbit selama 5 tahun masih memungkinkan terjadinya gugatan. Menurut penulis, Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah perlu dijabarkan lebih lanjut unsurunsurnya, karena pasal ini meletakkan syarat-syarat agar suatu sertipikat memiliki kekuatan pembuktian yang kuat. Oleh karena itu penulis dalam bab ini akan membahas mengenai unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah beserta pendapat para ahli dan teoritisi mengenai pasal ini. Bunyi Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah : Pendaftaran Tanah adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang- bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
83 Kata-kata “rangkaian kegiatan” menunjuk adanya berbagai macam kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. Kata-kata “terus menerus” menunjuk kepada adanya pelaksanaan kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata “teratur” menunjukkan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang sesuai. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengumpulkan data fisik dan data yuridis dari bidang-bidang tanah yang akan didaftar. Sehingga dikatakan, bahwa pendaftaran tanah merupakan proses administrasi yang merupakan kewenangan dari kantor pertanahan untuk menghasilkan sebuah sertipikat sebagai suatu tanda bukti hak kepemilikan atas sebidang tanah. Proses pendaftaran tanah meliputi beberapa tahapan seperti pengumpulan data fisik dan yuridis, pendafataran hak serta pengumuman hak yang bersangkutan. Sehubungan dengan pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai subyek maupun obyeknya, maka pemerintah mengharuskan dilakukannya pengumuman mengenai hak-hak atas tanah yang meliputi : Pengumuman mengenai subyek yang menjadi pemegang hak yang dikenal degan sebagai asas publisitas dengan maksud agar masyarakat luas dapat mengetahui tentang subyek dan obyek atas satu bidang tanah. Adapun implementasi dari asas publisitas adalah dengan mendaftarkan hak tersebut kedalam buku tanah yang terbuka untuk umum. Penetapan mengenai letak, batas-batas dan luas bidang-bidang tanah yang dipunyai seseorang atas sesuatu hak atas tanah, dikenal sebagai asas
84 spesialitas dan implementasinya adalah dengan mengadakan kadaster tanah. Dengan demikian maka seseorang yang hendak membeli suatu hak atas tanah tidak perlu melakukan penyelidikan sendiri, karena keterangan mengenai subyek dan obyek atas suatu bidang tanah dapat diperoleh dengan mudah pada instansi pemerintah yang ditugaskan menyelenggarakan pendaftaran tanah. Dari uraian di atas tersebut maka sertipikat hak atas tanah adalah merupakan hasil dari proses pendaftaran tanah yang panjang. Sertipikat hak atas tanah menurut Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c menyatakan bahwa “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku alat pembuktian yang kuat”. Kata “kuat” dalam Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c tersebut mengandung arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertpikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c ini memperoleh pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa : 1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. 2. Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
85 pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Pasal 32 di atas secara tegas menyatakan bahwa hak menuntut pelaksanaan suatu hak atas tanah atau mengajukan suatu gugatan ke pengadilan menjadi gugur apabila tanah tersebut telah disertipikatkan selama 5 tahun. Namun masih banyak terjadi dimana sertipikat yang telah diterbitkan selama 5 tahun masih dimungkinkan adanya gugatan dari pihak yang mengaku berhak atas tanah tersebut. Menurut penulis Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pasal ini dapat dilaksanakan yakni agar sertipikat tanah yang telah diterbitkan mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagaimana tercantum juga dalam Pasal 19 UUPA, adapun syarat-syarat tersebut adalah : a. Sertipikat hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik. Dalam penerapan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 syarat utama yang harus dipenuhi selama proses pendaftaran tanah yakni adanya unsur “itikad baik” baik sebelum memperoleh maupun dalam proses pensertipikatan tanah. Itikad baik baik dapat dirumuskan sebagai berikut : Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa
86 dipengadilan dan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan.113 Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.114 Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum115 Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri
113
Muhammad Faiz, Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan, www.panmuhamadfaiz.co. diakses tanggal 3 Maret 2014. 114 Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana FH-UI, Jakarta, hal. 190. 115 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal.112
87 pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku.116 Pengertian lebih lanjut mengenai itikad baik secara subyektif dan obyektif, dikemukakan oleh Muhamad Faiz dimana ia menyatakan bahwa itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.117 Dalam suatu perjanjian Itikad baik harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak. Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah
116
Itikad Baik Menurut Hukum, http://itikad-baik-menurut-hukum.html, akses tanggal 18 April 2014. 117 Muhammad Faiz, loc.cit.
88 pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada kesengajaan sebagai bentuk kesalahan perbuatan yang secara psikologis, menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa : “Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan”.118 Karena itikad baik merupakan sikap bathin, sehingga sulit untuk menentukan apakah seseorang mempunyai itikad baik atau tidak , maka pembuktian akan adanya itikad baik dilakukan dihadapan hakim di pengadilan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembuktian, penilaian dan perumusan itiukad baik dalam praktek sulit dilakukan karena itikad baik adalah merupakan sikap bathin yang tidak tampak, oleh karena itu pelaksanaan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menjadi sulit dilakukan. Oleh karena persyaratan utama untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah itikad baik sedangkan itikad baik membutuhkan pembuktian lebih lanjut di muka pengadilan, maka salah satu cara untuk melaksanakan hak seseorang yang hilang adalah melalui gugatan pengadilan. Sehingga kemungkinan besar sertpikat yang terbit setelah 5 tahun masih dapat digugat jika penggugat dapat membuktikan bahwa telah terjadi itikad tidak baik yang dilakukan oleh pihak tergugat. Namun hal ini 118
Muhammad Faiz, loc.cit.
89 tidak berarti bahwa sertipikat hak atas tanah tersebut tidak kuat, sertipikat hak atas tanah tetap merupakan alat pembuktian yang kuat dan tetap berlaku selama belum ada putusan pengadilan yang mengatakan sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembuktian itikad baik seseorang dapat dijadikan alasan untuk melakukan gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah yang telah terbit lebih dari 5 tahun. b. Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara nyata tanahnya. Dalam hukum tanah nasional hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi Hukum Adat, yang dirumuskan dengan katakata komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Sifat komunalistik religius konsepsi Hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA: “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagi karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.” Dalam Hukum Adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak Ulayat, yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keprdataan dan hukum publik.119 Jika dalam Hukum Adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama seluruh
119
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 183.
90 rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Pernyataan ini menunjukkan sifat Komunalistik konsepsi hukum Tanah Nasional. Unsur religious konsepsi ini ditunjukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Dalam penjelasan Umum III angka 1 UUPA dinyatakan bahwa : Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat colonial yang kapatalistis dan masyarakat swapraja yang feudal. Sesuai dengan Penjelasan Umum III angka 1 diatas maka tidak ada alasan meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat itu adalah : hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.120 Penegasan terhadap keberlakukan hak ulayat ini tercantum dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 120
Boedi Harsono I, op.cit hal. 179.
91
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.121 Hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Hak ulayat ini mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar, ke dalam berhubungan dengan dengan para warganya, sedangkan berlaku ke luar hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut orang asing /orang luar.122 a) Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam bersumber pada kewajiban utama penguasa adat yaitu memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota
masyarakat
hukumnya,
jangan
sampai
timbul
perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian atau pembukaan tanah.123 Para anggota masyarakat hukum adat mempunyai kekuasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah hukumnya. Sebelum membuka tanah tersebut, ia harus memberitahukan kepada penguasa adatnya, tanpa diharuskan membayar sesuatu. Pemberitahuan ini untuk menjaga agar jangan sampai terjadi
121
Adrian Sutedi II, op.cit, hal. 49. Boedi Harsono, 2003, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono III), hal. 180. 123 Ibid. 122
92 bentrokan dengan anggota-anggota yang lain, misalnya tanah yang akan di buka itu juga akan dibuka pula oleh seorang anggota lain.124 b) Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar, penguasa adat mempertahankan dan
melaksanakan
hak
ulayat
masyarakat
hukum
adat
yang
bersangkutan. Orang asing yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah harus mendapat izin dari penguasa adat dan mungkin harus membayar sejumlah uang tertentu atau sebagian dari hasil yang diperolehnya. Dengan demikian orang luar tidak dapat menciptakan hak peserta atau hak pribadi secara langsung, oleh karena izin merupakan sumber hukum baginya. Bagi orang luar hak yang dapat diciptakan hanya hak pakai saja dan bukan hak milik.125 c) Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan Antara hak ulayat dengan hak perseorangan memiliki hubungan timbal balik saling mempengaruhi yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat dan warga-warganya. Jika pada suatu saat hak ulayat kuat, maka hak perseorangan menjadi lemah, demikian pula sebaliknya bila hak perseorangan kuat, maka hak ulayat menjadi lemah.126 Memahami pemikiran masyarakat adat tentang tanah yang dijelaskan oleh para ahli Hukum Adat, menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat 124
Ibid, hal. 181. Ibid, hal. 184. 126 Soerojo Wignjodipuro, 1994, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta, hal. 198. 125
93 dilepaskan dengan tanah, ia merupakan unsur yang esensi yang paling diperlukan selain untuk kebutuhan hidup yang lainnya. Ditegaskan pula bahwa tanahlah yang merupakan modal satu-satunya bagi manusia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter secara individu, maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka. Tetapi yang utama suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana semua anggota masayarakat pada dasarnya mempunyai kewajiban mengolah tanah yang baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan benar dari seseorang pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah tidak terpelihara, tidak terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut tanah terlantar. Kalau demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan hukum. Hak pengelolaan diberikan kepada orang lain maka konsep tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3-15 tahun) sampai tanah awah atau ladang itu menjadi semak belukar kembali, maka tanah kembali pada hak ulayat jadi menurut Hukum Adat, “tanah terlantar”, lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan ditinggalkan oleh pemegang haknya. Hanya secara yuridis tidak jelas kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan suatu
94 atau sebidang tanah adalah terlantar. Apabila memperhatikan kesimpulan berdasar pendapat para peneliti maka dinyatakan “kembali kepada hak ulayat atau masyarakat adat”. Biasanya yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya. Di beberapa daerah yang mengenal ladang berpindah, meninggalkan lahan yang pernah digarap atau diusahakan itu bukan dimaksudkan tidak dikerjakan tetapi justru dalam rangka memulihkan kesuburan tanah kembali. Artinya tidak diserahkan pada warga asyarakat lebih dahulu secara individu. Dalam perpektif ini, masyarakat Hukum Adat tidak menelantarkan tanah atau tidak mengenal tanah terlantar. Jadi terlihat bahwa konsep tanah nasional memiliki dan bersumber dari hukum adat dimana tanah pada dasarnya adalah milik bersama, namun kebersamaan tersebut memungkinkan untuk masuknya hak-hak atas tanah yang dikelola secara pribadi. Namun pengelolaan tanah secara pribadi tersebut tetap harus mementingkan kepentingan bersama, dimana ada pengaruh timbal balik antara hak ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang memiliki keeratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi (ditelantarkan), maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak ulayat atau dengan kata lain seseorang dapat kehilangan hak atas tanahnya. Dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, difinisi dari Tanah Terlantar adalah : “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah
95 pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kriteria tanah telantar mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, yang menyebutkan bawha : “Hanyalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifatnya dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan terlantar sesuai dengan Pasal 9 ayat
(1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yaitu : (1) Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar dilakukan oleh Kantor Pertanahan baik secara kedinasan maupun berdasarkan perintah dari Menteri atau Kepala Kantor Pertanahan Wilayah atau laporan dari Instansi Pemerintah lain atau dari masyarakat. (2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Nama dan alamat atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atau telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. b. Letak, luas ,status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan. c. Keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8. Kemudian setelah diidentifikasi tanah terlantar maka akan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara, tanah terlantar tersebut bergantung kepada keputusan Menteri Negara Agraria, berapa lama tanah terlantar menurut Peraturan Pemerintah secara umum jika ditemukan tanah terlantar, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara memberi peringatan secara tertulis dalam jangka waktu dalam rangka pemberian hak, setelah peringantan pertama
96 aka nada peringana kedua jika belum ada langkah sebagaimana mestinya maka Menteri Agraria akan memberi kesimpulan kepada pemegang hak tersebut maka akan dikenakan melalui pelelangan umum atau tanah yang sudah dinyatakan terlantar tersebut maka tanah ini langsung dikuasai oleh negara sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Kepada pemegang atas hak diberi ganti rugi, berdasarkan yang telah dibayar. Kalau pemegang hak telah melaksanakan secara fisik, maka akan diganti rugi. Ganti rugi dibebankan kepada pemegang hak yang baru sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Dalam UUPA sebenarnya banyak pasal-pasal yang menyebutkan tentang tanah terlantar, misalnya berakhirnya hak atas tanah karena ditelantarkan, hak atas tanah yang sudah dipunyainya. Dalam Pasal 10 UUPA menyebutkan: Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
a)
pemerasan.
b) c)
Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Pengaturan dalam Pasal 10 UUPA tersebut merupakan suatu ketentuan untuk mengusahakan sendiri tanahnya dan dalam kaitan dengan pengertian agraria pada umumnya yang mencakup bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya bahwa setiap unsur dari apa yang termasuk dalam pengertian agraria itu harus diusahakan atau dimanfaatkan secara maksimal. Kewajiban itu tidak terbatas pada para pemilik tanah saja, kata-kata „mempunyai sesuatu
97 hak‟ menunjuk juga kepada hak-hak lainnya, yaitu hak guna usaha dan hak pakai atas tanah Negara. 127
Karena Hukum Adat kita mengenal adanya tanah terlantar tersebut dan demikian pula Pasal 6 UUPA yang berbunyi : “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, telah mempertegas tentang adanya fungsi sosial hak atas tanah, termasuk juga seluruh aspek dari Agraria. Dan berpijak dari ketentuan Hukum Adat tersebut tentulah kita segera menetapkan suatu peraturan perundangan tentang tanah terlantar tersebut, untuk kepastian hukum ataupun untuk menangkal adanya tanah absentee baru ataupun dimanfaatkannya secara optimal tanah tersebut terlebih-lebih lagi tanah-tanah pertanian yang subur. Dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA yang mengakui bahwa Hukum Agraria itu adalah hukum adat yang telah disesuaikan dengan kemajuan zaman dan demikian pula tentang pengakuan akan hak ulayat, dimana didalamnya tergantung masalahmasalah dan penyelesaian akan kasus- kasus tanah terlantar tersebut. Dengan telah diundangkannya peraturan pelaksana dari pendaftaran tanah (Pasal 19 UUPA), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, maka sifat komunal yang terdapat dalam hukum adat tidak lagi terdapat seperti yang ada didalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 yang telah menuju kepada individualisasi dari hak-hak atas tanah dengan telah terdaftarnya hak-hak atas dengan telah terdaftarnya hak-hak atas tanah tersebut dan berbeda dengan hukum adat yang lebih menonjolkan sifat komunal dari hak-hak atas tanah. Sifat komunal hak atas tanah dalam hukum adat begitu menonjol, sehingga sudah ada istilah-
127
Boedi Harsono I, op.cit hal. 308.
98 istilah dari tanah terlantar misalnya di daerah Tapanuli disebut dengan nama salipi ni tartar di Sulawesi orang menyebutnya dengan nama tanah kebo. Sebenarnya dalam beberapa daerah diIndonesia istilah tanah terantar tersebut sudah ada, tetapi tidak secara terinci menyebutnya dan sanksi apa yang oleh Pengetua Adat atau tindakan apa yang akan diberikan untuk tanah-tanah terlantar tersebut. Melakukan usaha atas suatu tanah merupakan kunci dari penguasaan hak atas tanah di Indonesia, semakin banyak usaha yang dilakukan di atas suatu tanah maka semakin kuat hak atas tanah tersebut, namun sebaliknya semakin sedikit atau tanahnya tidak diusahakan oleh yang memiliki hak atas tanah yang bersangkutan maka hak atas tanah tersebut menjadi hilang. Konsep inilah yang melandasi rechtsverwerking. Dalam UUPA penelantaran tanah menjadi alasan untuk seseorang kehilangan hak atas tanah. Lembaga rechtverweking ini telah banyak mendapat pengakuan melalui putusan pengadilan yakni :
Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Maret 1959 Nomor 70/K/Sip/1959 dalam kasus terjadi di Kotapraja, Malang, tentang Hak Kedaluarwarsa. Suatu tangkisan kadaluwarsa dalam perkara perdata tentang tanah, ditolak dengan alasan, bahwa penggugat telah berulang kali minta dari tergugat, untuk menyerahkan tanah itu pada penggugat, (Ketua Majelis Wijono Prodjodikoro).128
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
329
K/Sip/1957.
Bahwa
berdasarkan kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali 128
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, op.cit hal. 151.
99 menjadi tanah kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya.129
Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 September 1958 Nomor 239/K/Sip/1957 Kasus terjadi di Tapanuli Selatan, bahwa walaupun si penggugat asli yang masih dibawah umur, adalah yang berhak atas sawah itu, tapi ibunya yang berkewajiban sebagai wali untuk memelihara hak si penggugat asli sampai ia menjadi dewasa, dan dalam perkara ini tampak kelalaian ibu penggugat asli dengan tidak bertindak sama sekali sehingga tanah tersebut dapat dikuasai oleh tergugat asli selama lebih kurang 18 tahun, dan karena kelalaian itu atas dasar penganggapan melepaskan hak (rechtsverwerking) penggugat asli dianggap telah melepaskan hak atas tanah sengketa. 130
Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1976 Nomor 783 K/Sip/1973. Bahwa penggugat terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terus- menerus selama 27 tahun tanpa digugat. Bahwa benar hukum adat yang berlaku bagi kedua belah pihak tidak mengenal lembaga “verjaring” tetapi hukum adat mengenal lembaga “pengaruh lampau waktu”. Bahwa seandainya memang penggugat terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat sampai sekian lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut minimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka 129 130
Bachtiar Effendi II, loc.cit. Soebekti Tamara, op.cit, hal 188.
100 (rechtsverwerking). Bahwa Penggugat terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur harus dilindungi oleh hukum.131
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 27 Mei 1958 Nomor 132/1953.Pdt. Kasus terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pelepasan hak (“rechtsverwerking”) penggugat dianggap melepaskan haknya atas dua bidang tanah, oleh karena selama 20 tahun membiarkan sawah sengketa digarap orang lain.132
Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1975 Nomor 408 K/Sip/1973. Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung. Karena para penggugatterbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhum nyonya Ratiem dan kemudian oleh anakanaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum Atma untuk
menuntut
tanah
tersebut
telah
sangat
lewat
waktu
(rechtverwerking).133 c. Sertipikat hak atas tanah telah diterbitkan lebih dari lima tahun dan sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat hak atas tanah bila tidak ada keberatan dari pihak ketiga maka sertipikat hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa :
131
Mahkamah Agung Republik Indonesia, op.cit, hal. 34. Toton Suprapto dan Muchsin, loc.cit. 133 Toton Suprapto dan Muchsin, op.cit, hal. 17. 132
101 Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Pasal 32 ayat (2) ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisideve verjaring. Hukum tanah yang berlaku di Indonesia yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya, tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian
102 waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah. Rechtsverwerking adalah lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, jika tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.134
Pada negara-negara yang menggunakan sistem publikasi
negatif umumnya dikenal lembaga acquisitieve verjaring (memperoleh hak milik dengan lampaunya waktu) yaitu apabila penerima hak yang beritikad baik bertindak tegas selaku pemilik dan yang bersangkutan menguasai tanah secara nyata dan terbuka selama sekian tahun, tanpa ada pihak lain yang menggugat, maka oleh hukum ia ditetapkan sebagai pemiliknya, yang hak kepemilikannya sudah tidak dapat diganggu gugat lagi, juga tidak oleh pihak yang membuktikan sebagai pemilik hak yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa “Untuk memperoleh Hak Milik atas 134
Boedi Harsono, op.cit, hal 67
103 sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, dimuka umum dan secara tegas sebagai pemilik”. Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa : Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alasan hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu pitang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alasan haknya. Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtverwerking” ini dalam pendaftaran tanah adalah untuk memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni :135 1. Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada gugatan/keberatan, maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemegang hak atas tanah tersebut; 2. Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain. Sebagaimana diuraikan pada poin (2) di atas, bahwa kunci dari penguasaan hak atas tanah adalah tanahnya digunakan secara nyata. Pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ini dapat diartikan bahwa jika dalam 5 tahun tanah tersebut ditelantarkan maka hak atas tanah tersebut menjadi hilang dan dapat diusahakan oleh orang lain. Jadi konsep rechtverwerking memiliki dampak kepada pemilik hak lama yang kehilangan hak atas tanahnya dan pemilik baru yang menguasai tanah tersebut dengan itikad baik selama lebih dari 5 tahun, karena pemilik yang
135
Maria SW Sumarjono, 1997, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah, dalam Seminar Kebijaksanaan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Terkait, Makalah, Yogyakarta, hal. 1.
104 lama membiarkan tanahnya disertifikatkan dan dikuasai oleh pemilik yang baru maka dengan kata lain ia membiarkan seseorang untuk mengambil haknya. Hal ini sesuai dengan asas hukum res nullius credit occupanti yang artinya benda yang ditelantarkan pemiliknya dapat diambil dan dimiliki. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 memiliki persyaratan agar sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan memiliki kekuatan pembuktian kuat yakni diperoleh dengan itikad baik, dikuasai secara langsung dan nyata dan telah diterbitkan selama lebih dari 5 tahun tanpa adanya gangguan dari pihak lain.
3.2 Pendapat Para Ahli Tentang Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Berdasarkan uraian pada sub bab 3.1 didapat kesimpulan bahwa Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 memiliki persyaratan agar sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan memiliki kekuatan pembuktian kuat yakni diperoleh dengan itikad baik, dikuasai secara langsung dan nyata dan telah diterbitkan selama lebih dari 5 tahun tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Dalam bab ini penulis mengutip pendapat dari para sarjana mengenai Pasal 32 PP nomor 24 tahun 1997. Menurut Boedi Harsono penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif tetapi dilain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hal dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya
105 yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.136 Menurut Eka Sihombing, dosen hukum pertanahan, menyatakan setuju dengan diterapkannya Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 karena tujuan utama pasal ini menurutnya adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat/seseorang yang dengan itikad baik memperoleh sertipikat. 137 Terhadap pemilik tanah sebenarnya seharusnya ia memelihara dan mengusai tanah yang dimilikinya. Kaitannya dengan jangka waktu lima tahun yang ditetapkan oleh pasal ini, ia berpendapat bahwa waktu ini masih terlalu lama, ia setuju jika jangka waktu dalam pasal ini menjadi diperpendek. Hal ini dikarenakan Kantor Pertanahan yang bersifat terbuka dan sistem komputerisasi yang akan dipakai oleh Kantor Pertanahan, sehingga setiap orang bisa melihat keterangan tentang suatu bidang tanah sewaktu-waktu dengan mudah dan cepat dimanapun ia berada. Ia juga berpendapat bahwa pasal ini hendaknya ditingkatkan menjadi suatu pasal dalam Undang-undang agar keberadaannya dapat lebih mengikat hakim dalam mengambil keputusan. Kepastian dan perlindungan hukum terhadap sertipikat hak atas tanah semakin lama akan sangat sangat diperlukan. Hal ini berdasarkan latar belakang masyarakat akan kebutuhan terhadap tanah, dimana kebutuhan akan tanah semakin bertambah sedangkan keberadaan tanah itu sendiri adalah tetap. Diterapkannya suatu aturan yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah merupakan suatu kebutuhan masyarakat.
136
Boedi Harsono, op.cit, hal. 480. Erpinka Aprini, Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 137
106 Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtverwerking” ini dalam pendaftaran tanah adalah untuk memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni :138 1. Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada gugatan/keberatan, maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemegang hak atas tanah tersebut; 2. Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain. Kepastian mengenai hal tersebut dapat menghindarkan rasa was-was pemegang sertipikat tanah yang rentan terhadap gangguan pihak lain setiap saat. Ketentuan ini dapat berakibat hilangnya hak untuk menuntut oleh pemegang hak atas tanah terhadap pemegang sertipikat. Rechtverwerking yang merupakan konsep asal dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, menurut Boedi Harsono adalah lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, jika tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.139 Rechtverwerking menurutnya merupakan lembaga hukum yang sudah dikenal dalam hukum adat. Rechtverwerking menurut Ign. Sugangga (dosen hukum adat) merupakan konsep yang banyak diterapkan dalam hukum adat, dimana konsep ini merupakan suatu kebijaksanaan hakim-hakim pada masa Kolonial Belanda dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah di Indonesia.140 Konsep ini bertujuan agar pemilik tanah tidak meninggalkan tanahnya tanpa diurus. Ign Sugangga 138
Maria SW Sumarjono, loc.cit. Maria SW Sumarjono, op.cit., hal. 67. 140 Erpinka Aprini, op.cit, hal. 68. 139
107 berpendapat bahwa rechtverwerking merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak atas tanah karena pemilik sebelumnya dianggap telah melepaskan hak atas tanahnya dengan tidak menguasai atau mengurus tanah tersebut lagi.141 Kebijaksanaan hakim pada masa Kolonial Belanda untuk menerapkan konsep rechtverwerking ini pada dasarnya agar tidak terjadi kekosongan hukum. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum tertulis bisa diatur dalam hukum yang tidak tertulis. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian lama membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan oleh pihak lain, yang memperoleh dengan itikad baik, maka ia dinggap telah melepaskan haknya atas bidang tanah yang bersangkutan dan karenanya hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Herman Soesangobeng, seorang peneliti, analis adat dan pertanahan berpendapat bahwa rechtverwerking bukan merupakan suatu lembaga adat sehingga tidak dapat digunakan sebagai upaya mengatasi kelemahan sistem negatif.142 Rechtverwerking juga bukan merupakan suatu lembaga hukum untuk memperoleh hak terlebih lagi menyatakan orang kehilangan hak atas tanahnya, guna menuntut kembali haknya atas tanah yang sudah didaftar atas nama orang lain. Menurut Herman Soesangobeng, penerapan dari konsep rechtverwerking mengandung resiko bahaya ancaman sengketa tanah karena rasa keadilan masyarakat yang terluka.143Ancaman ini memang belum tampak tetapi akan
141
Erpinka Aprini, loc.cit. Herman Soesangobeng, 2002, Komentar dan Kritik atas Pelaksanaan Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, Makalah, Jakarta, hal. 5. 143 Ibid. 142
108 meledak
setelah
berlangsung
beberapa
lama
dilaksanakannya
konsep
rechtverwerking dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia.144 Hal ini berkaitan jika ditemukan suatu bukti baru (novum) mengenai data fisik dan yuridis dalam proses pembuatan sertipikat, yang terkait juga dengan kualitas sumber daya manusia dari aparat terkait. Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menurut Herman Soesanggobeng hanyalah untuk mencegah upaya orang yang hanya sekadar ingin mengganggu ketenangan pemilik tanah terdaftar dalam menguasai tanahnya. Penerapan rechtverwerking yang merupakan konsep dari Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menurut AP. Parlindungan adalah tidak tepat dan ada segisegi negatifnya, yaitu akan banyaknya hak-hak orang yang diambil orang lain tanpa ada kuasa yang empunya untuk menuntut kembali haknya itu.145 Hal ini banyak terjadi di Sulawesi Selatan. Berkaitan dengan tanah terlantar yaitu tanah yang sudah dikuasai dan dikerjakan kemudian tidak diusahakan lagi untuk jangka waktu tertentu, seperti sawah lima tahun, tanah tegalan untuk tiga tahun dan kemudian tanah itu kembali kepada hak ulayat dan penguasa hak ulayatlah yang memperuntukkan hak itu kembali kepada orang lain, tidak dapat begitu saja seseorang menduduki tanah orang lain, sedangkan pemiliknya terpaksa mengungsi karena suatu sebab. AP. Parlindungan berpendapat bahwa penerapan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dapat merugikan para pemilik tanah yang sebenarnya kerena mereka tidak berhak menuntut kembali haknya.146
144
Ibid. AP. Parlindungan II, op.cit, hal. 128. 146 AP. Parlindungan II, loc.cit. 145
109 Istilah rechtverwerking masih belum terdapat persamaan persepsi. Boedi Harsono mengartikan rechtverwerking sebagai kehilangan hak.147 Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia yang digunakan dalam konteks Bahasa Indonesia saat ini rechtverwerking adalah pelepasan hak.148 Ter Haar mengartikan dengan makna melepaskan sendiri haknya oleh seorang subjek atau pemegang hak.149 Soebekti Poesponoto mengartikan rechtverwerking sebagai penghilangan hak sendiri.150 AP.Parlindungan mengartikan rechtverwerking sebagai lepasnya hak yang sudah dipunyainya.151 Para hakim dalam putusan mengenai rechtverwerking seperti telah ditulis pada bab sebelumnya pada umumnya mengartikan sebagai pelepasan hak. Pelepasan hak mengandung makna bahwa subjek pemegang hak sendirilah yang melepaskan haknya karena ia mempunyai suatu hak tetapi ia tidak mempergunakan haknya. Sedangkan kehilangan hak bermakna hak hilang karena pengaruh waktu, pemilik hak tidak melepaskan hak dengan sendirinya ia masih mempermasalahkan haknya). Menurut penulis, rechtverwerking merupakan suatu pelepasan hak, baik pelepasan hak yang sebenarnya maupun pelepasan hak secara “diam-diam” karena pemilik semula meninggalkan dan tidak menguasai tanahnya dalam jangka waktu tertentu atau pemilik tidak mempergunakan hak yang sebenarnya ia miliki. Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 rechtverwerking adalah lembaga hukum adat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem 147
Boedi Harsono, op.cit., hal. 67. Marjanne Termorshuizen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal. 343. 149 Ter Haar BZN, op.cit., hal. 200. 150 Herman Soesangobeng, op.cit., hal. 10. 151 AP. Parlindungan II, loc.cit. 148
110 publikasi negative dalam pendaftaran tanah. Konsep rechtverwerking dalam hukum adat bukan merupakan suatu lembaga hukum sebagaimana dalam hukum Belanda (BW) juga tidak sama dengan konsep verjaring pada hukum Belanda (BW). Lembaga hukum pada BW adalah tentang „memperoleh hak kepemilikan atas tanah‟ cara ini diatur dalam Pasal 584 BW.152 Pasal 584 merupakan salah satu cara dalam memperoleh hak milik karena daluwarsa (verjaring), sehingga cara ini dapat dikategorikan sebagai „lembaga hukum‟ dan merupakan „alasan hukum‟ bagi perolehan hak atas tanah. Sedangkan rechtverwerking hanya merupakan konsep yang dibahas dalam pandangannya dengan verjaring, namun ia bukan merupakan suatu lembaga hukum. Karena itu dibandingkan dengan verjaring, tiada kewajiban bagi hakim untuk menerapkan rechtverwerking. Menurut Ter Haar, konsep rechtverwerking digunakan oleh hakim pada masa Kolonial Belanda dalam menerapkan Hukum Belanda (BW) pada situasi bumiputera dengan hukum adatnya.153 Sehingga dalam penerapan konsep rechtverwerking para hakim harus dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Penggunaan konsep rechtverwerking, menurut Ter Haar hendaknya digunakan oleh hakim gubernemen dalam tiga kemungkinan pertimbangan atas kenyataan hukum, yaitu :154 1. Bilamana menurut hukum adat, hak-hak materiil atas tanah secara nyata memang diakui bisa lenyap dan bisa pula lahir karena dikuasai secara nyata dalam jangka waktu yang lama, sehingga rechtverwerking bisa diterapkan karena lamanya waktu. 2. Bilamana ada bukti penyangkal atas dugaan/anggapan terjadi atau lenyapnya suatu peristiwa hukum atau suatu hak, maka hakim dapat 152
AP. Parlindungan II, op.cit., hal. 9. Ten Haar, op.cit, hal. 237-238. 154 Ten Haar, loc.cit. 153
111 mempertimbangkan bahwa karena lamanya waktu telah melahirkan rechtverwerking sehingga dapat memutus lenyapnya suatu peristiwa hukum atau hak. 3. Hakim dapat juga menyatakan bahwa karena rechtverwerking, maka ia menolak suatu gugatan dengan alasan kadaluwarsa, apabila penggugat hanya mendalilkan gugatannya dengan satu-satunya anggapan bahwa dirinya telah memperoleh suatu hak berdasarkan suatu peristiwa hukum yang terjadi pada waktu yang sudah sangat lama. Pada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pasal ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan yang sudah ada dalam hukum adat yang dalam tata hukum sekarang merupakan bagian dari hukum tanah nasional Indonesia. Herman Soesanggobeng, tidak setuju bahwa Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penerapan dari hukum adat dan bukanlah ketentuan hukum baru.155 Hukum adat tidak mengenal rechtverwerking sebagai upaya penghapusan apalagi penghilangan hak atas tanah. Alasannya adalah karena prinsip dasar hukum adat ialah bahwa hak warga persekutuan hukum atas tanah tidak dapat dihilangkan atau dihapus, walaupun dapat dianggap dilepaskan oleh warga yang bersangkutan baik secara tegas maupun diam-diam. Hal ini merupakan perwujudan dari filosofi hukum tanah adat tentang keabadian hubungan hukum antara manusia, tanah, dan masyarakat hukumnya seperti dalam hukum ulayat. Jadi adalah bertentangan dengan jiwa dan semangat filosofi hukum adat yang sudah diterjemahkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA tentang
keabadian
hubungan
bangsa
atas
tanah.156
Menurut
Herman
Soesanggobeng, apabila konsep hukum Belanda rechtverwerking dalam arti
155 156
Herman Soesangobeng, op.cit., hal. 14. Herman Soesangobeng, loc.cit.
112 kehilangan hak dijadikan suatu lembaga hukum dalam sistem hukum pertanahan nasional Indonesia.157 Lembaga hukum adat yang layak dilembagakan kembali adalah lembaga pelepasan hak. Lembaga ini dikenal dalam hukum adat, sehingga lebih taat azas pada filosofi dan jiwa UUPA apabila dilembagakan kembali, daripada melembagakan konsep rechtverwerking yang bersumber pada hukum barat (BW) yang hakekatnya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.158 Beberapa pendapat menganggap Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan pasal yang diterapkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem publikasi negatif yang dianut oleh UUPA. Menurut Eka Sihombing penerapan pasal ini untuk menutupi kelemahan sistem publikasi negatif pada UUPA agar sertipikat benar-benar dapat memberikan suatu perlindungan dan kepastian hukum terhadap pemegangnya.159 Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, menurut Herman Soesongobeng dibuat untuk mencegah perilaku dimana orang sering mengajukan gugatan dengan tujuan agar pemilik tanah terdaftar tidak aman dan tenang memiliki tanahnya.160 Dalam hal ini penyebabnya bukan karena kelemahan sistem negatif sehingga pendaftaran dan sertipikat terkesan tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat, akan tetapi pada fakta di luar sistem yaitu perilaku masyarakat dan kerancuan pemahaman masyarakat atas bukti pajak yang dipersamakan dengan bukti hak milik. Menurut Boedi Harsono penerapan pasal ini yang merupakan penerapan dari lembaga rechtverwerking untuk mengatasi sistem 157
Herman Soesangobeng, loc.cit. Herman Soesangobeng, op.cit., hal. 15. 159 Erpinka Aprini, loc.cit., hal.70. 160 Herman Soesangobeng, loc.cit. 158
113 publikasi negatif yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut UUPA.161 Pada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 kelemahan sistem negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut, sehingga sertipikat berlaku sebagai alat bukti yang kuat bukan mutlak. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa pendaftaran negatif tidak jaminan memberikan jaminan hukum yang kuat. Pada dasarnya perbedaan pokok sistem negatif dan positif dalam pendaftaran tanah adalah terletak pada pelaksanaan tanggung jawab atas resiko bilamana kelak terbukti bahwa pendaftaran tanah dilakukan dengan alasan hukum dipalsukan. Pada sistem positif resiko ini ditanggung negara berupa membayarkan ganti rugi kepada pihak penuntut yang terbukti haknya benar atau pada beberapa negara diserahkan pada lembaga penyedia dana jaminan (asuransi). Sedangkan pada sistem negatif, jaminan atas resiko sama sekali tidak diberikan. Jadi kelemahan sistem negatif adalah pada tidak adanya kepastian lembaga pemikul resiko bilamana pendaftaran dilakukan atas dasar alat bukti yang tidak benar. Dalam sistem positif, negara bertanggung jawab atas resiko didaftarkannya tanah karena hak yang diperoleh melalui pendaftaran tanah adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat (indefeasible right). Dalam hal ini subjek pemegang yang sudah didaftar, tidak akan kehilangan baik hak maupun tanahnya, sebab negaralah yang bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang
161
Boedi Harsono I, op.cit., hal. 502.
114 mengklaim dan terbukti haknya memang diakui benar. Sebaliknya pada sistem negatif, meskipun pendaftaran sudah dilaksanakan dengan bukti hak yang sah dan benar, namun hal itu tidak menghilangkan hak pihak lain untuk mengklaim dengan bukti penyangkal. Maka akibat hukumnya, bilamana sangkalan diterima dengan benar, hak dan tanah yang dimiliki pemilik terdaftar akan hilang dan dikembalikan pada pihak yang dinyatakan paling berhak. Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa Pasal 32 PP 24 Tahun 1997 menetapkan 3 syarat untuk terciptanya sertipikat hak atas tanah yang kuat, karena dalam hukum tanah nasional seseorang bisa kehilangan hak jika tanah yang dimiliki ditelantarkan atau tidk digunakan. Namun permasalahannya terletak pada hal jika penggugat (pemilik tanah lama) adalah benar-benar pemilik tanah yang sesungguhnya tetapi di lain pihak pemegang sertipikat beritikad baik maka permasalahan yang sebenarnya adalah pihak yang dikalahkan mengajukan gugatan kepada siapa. Sistem pendaftaran yang kita pakai yaitu sistem negatif tidak mengatur hal ini, karena negara tidak memberikan ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan tersebut juga tidak ada lembaga penyedia dana (asuransi) yang khusus memberikan ganti kerugian itu. Sehingga untuk ke depannya penulis berharap akan ada yang bertanggung jawab untuk memikul resiko bilamana kelak terbukti bahwa pendaftaran tanah dilakukan atas dasar penipuan dengan pemalsuan alat bukti. Sehingga ada suatu keadilan bagi pemilik tanah yang sesungguhnya dan juga pihak pemegang sertipikat yang beritikad baik. Maka hakekat dari Pasal 32
115 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ini yaitu untuk mengatasi kelemahan pada sistem negatif dapat dilaksanakan.
116 BAB IV PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH YANG TELAH BERUMUR LEBIH DARI 5 TAHUN
4.1
Hapusnya hak atas tanah Hak secara umum dapat diartikan kuasa, kekuasaan, kewenangan, atau
juga sebagai kekuasaan untuk bertindak (rights are defined generally as power of free action).162 Dalam ilmu hukum, hak merupakan suatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu ben da maupun orang, sehingga menimbulkan hubungan hukum. Oleh karena itu, seseorang yang memperoleh hak atas tanah, di dalamnya telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut disertai dengan kewajiban-kewajiban dan pembatasan hak-hak atas tanah miliknya yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.163 Hapusnya hak atas tanah menurut ketentuan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain
pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum, penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya karena ditelantarkan, karena melanggar prinsip nasionalitas (haknya jatuh pada warga Negara asing), tanahnya musnah jangka waktunya berakhir dan dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, termasuk karena Putusan pengadilan.164
162
Adrian Sutedi II, op.cit hal. 242. Adrian Sutedi II, op.cit hal. 243. 164 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, op.cit, hal. 363. 163
117 Hapusnya hak atas tanah menyebabkan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang pengaturan selanjutnya diberikan kewenangannya kepada pemerintah, dalam hal ini instansi Badan Pertanahan Nasional RI. Apabila haknya dinyatakan hapus dan demi hukum statusnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara, maka tindakan administratif dalam sistem pendaftaran tanah harus didaftar/dicatat dalam buku tanah daftar umum lainnya.165 Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur bahwa pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah dilakukan oleh kepala kantor pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan :166 a) Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya. b) Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang, bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut. c) Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya. Dalam hal ini kepala kantor pertanahan dapat mengumumkan hapusnya hak yang sertipikatnya tidak diserahkan kepadanya untuk mencegah dilakukannya perbuatan hukum mengenai tanah yang sudah tidak ada haknya tersebut. Dijelaskan bahwa khusus terhadap pencatatan hapusnya hak atas tanah yang dibatasi masa berlakunya (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai) dan diperlukan penegasan dari Pejabat yang berwenang. Dalam acara melepaskan hak, maka selain harus ada bukti bahwa yang melepaskan adalah pemegang 165 166
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, loc.cit. Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, loc.cit.
118 haknya, juga perlu diteliti apakah pemegang hak tersebut berwenang untuk melepaskan hak yang bersangkutan. Jika hak atas tanah yang dilepaskan tersebut dibebani hak tanggungan, maka diperlukan persetujuan dari kreditur yang bersangkutan. Demikian juga ia tidak berwenang untuk melepaskan haknya, jika tanah yang bersangkutan berada dalam status sita oleh pengadilan atau ada bebanbeban lain.167 Hak atas tanah menjadi hapus, jika dibatalakan oleh Pejabat yang berwenang, sebagai sanksi terhadap tidak dipenihinya oleh pemegang hak yang bersangkutan kewajiban tertentu atau dilanggarnya sesuatu larangan.168 Sepanjang mengenai perkebunan HGU haknya tidak dibatalkan, tetapi menjadi hapus karena hukum menurut ketentuan Pasal 34 huruf e, yang menyatakan, bahwa : “Hak guna usaha hapus karena : e. ditelantarkan”, peryataan serupa terdapat dalam Pasal 27 huruf e dan 40 huruf e, masing-masing mengenai hak milik dan HGB, dimana hakikat ketentuan ini adalah perwujudan dari konsekuensi penerapan asas fungsi sosial hak-hak atas tanah.169 Berdasarkan Pasal 131 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa : pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh habisnya jangka waktu hak tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya berdasarkan data di Kantor Pertanahan.170 Dalam praktek, pelepasan hak atas tanah biasanya dilakukan oleh yang bersangkutan di hadapan Kantor Pertanahan 167
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, op.cit, hal. 364. Boedi Harsono I, op.cit., hal. 336. 169 Boedi Harsono I, loc.cit. 170 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, loc.cit. 168
119 yang disaksikan oleh dua orang Kepala Seksi.171 Hak atas tanah yang dimiliki seseorang dapat menjadi hapus apabila ditelantarkan oleh pemegang haknya, pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum, penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya karena ditelantarkan, karena melanggar prinsip nasionalitas (haknya jatuh pada warga Negara asing), tanahnya musnah jangka waktunya berakhir dan dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, termasuk karena Putusan pengadilan.
4.2 Akibat hukum pembatalan sertipikat hak atas tanah yang sudah berumur 5 tahun atau lebih. Sebagaimana dibahas dalam Bab III didapatkan hasil bahwa dalam menerapkan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diperlukan 3 (tiga) syarat yakni : a) Sertipikat hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik. b) Pemegang hak atas tanah harus menguasai secara nyata tanahnya. c) Sertipikat hak atas tanah telah diterbitkan lebih dari lima tahun dan sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat hak atas tanah bila tidak ada keberatan dari pihak ketiga maka sertipikat hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi. Apabila ketiga syarat tersebut dipenuhi, maka sertipikat hak yang dimiliki oleh subyek haknya akan menjadi semakin kuat dan tahan terhadap gugatan dari pihak lain. Berbicara mengenai Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 maka berbicara
171
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, op.cit, hal. 367.
120 mengenai rechverwerking dan berbicara juga mengenai penelantaran tanah yang mengakibatkan hapusnya hak atas tanah. Dalam konsep seseorang kehilangan hak menurut Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997, seseorang kehilangan hak atas tanah yang sudah bersertipikat karena membiarkan seseorang yang beritikad baik mensertipikatkan tanahnya selama lebih dari 5 tahun dan dalam jangka waktu tersebut pemilik sebelumnya tidak mengajukan keberatan sama sekali. Sebelum berlakunya undang-undang ini, telah banyak putusan yang menguatkan lembaga rechvereweking yakni : Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Nopember 1958 Nomor 361/K.Sip/1958 Pengadilan Tinggi yang mempergunakan alat hukum pelepasan hak (rechtsverwerking) tanpa semau dari pihak tergugat adalah melanggar tata tertib dari hukum acara, maka putusannya yang berdasar pada pelepasan hak itu harus dibatalkan. 172 Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Maret 1959 Nomor 70/K/Sip/1959. Kasus terjadi di Kotapraja, Malang, dengan Ketua Majelis Wirjono Prodjodikoro. Suatu tangkisan kadaluwarsa dalam perkara perdata tentang tanah, ditolak dengan alasan, bahwa penggugat telah berulang kali minta dari tergugat, untuk menyerahkan tanah itu pada penggugat, hal mana berarti bahwa kadaluwarsa itu telah tertahan (Gestuit).173 Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/Sip/1957.
Bahwa berdasarkan
kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah 172 173
Bachtiar Effendi II, loc.cit. Bachtiar Effendi II, loc.cit.
121 yang ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya.174 Putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
10
Januari
1957
Nomor
210/K/Sip/1955. Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking). Mahkamah Agung berpendapat, bahwa pembeli sawah kini patut dilindungi, oleh karena dapat dianggap, bahwa ia adalah beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seseorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah.175 Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1976 Nomor 783 K/Sip/1973. Bahwa penggugat terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terus-menerus selama 27 tahun tanpa ada gugatan. Bahwa benar hukum adat yang berlaku bagi kedua belah pihak tidak mengenal lembaga “verjaring” tetapi hukum adat mengenal lembaga “pengaruh lampau waktu”. Bahwa seandainya memang penggugat terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, maka kenyataan bahwa tergugat sampai sekian lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut minimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking). Bahwa Penggugat terbanding yang telah menduduki 174 175
Bachtiar Effendi II, loc.cit. Soebekti Tamara, op.cit, hal. 31.
122 tanah tersebut untuk waktu yang lama tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur dan memiliki itikad baik harus dilindungi oleh hukum.176 Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1956 Nomor 34 K/Sip/1956. Pembeli tanah dengan itikad baik harus dilindungi, pembelian dilakukan secara terang di muka yang berwajib, sedang dalam perkara ini memang benar sulit untuk mengetahui siapa pemilik tanah yang sebenarnya, karena pemilik ini sudah menguasai tanahnya sejak tahun 1932, sedangkan tanah tersebut sebelum dibeli oleh pembeli tersebut telah diperjualbelikan oleh orang lain dari pemiliknya. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 27 Mei 1958 Nomor 132/1953. Pdt.
Kasus terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Pelepasan hak (“rechtsverwerking”) penggugat dianggap melepaskan haknya atas dua bidang tanah, oleh karena selama 20 tahun membiarkan sawah sengketa digarap orang lain.177 Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1975 Nomor 408 K/Sip/1973. Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung. Karena para penggugatterbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhum nyonya Ratiem dan kemudian oleh anakanaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum Atma 176 177
Mahkamah Agung Indonesia, op.cit, hal. 34. Toton Suprapto dan Muchsin, op.cit, hal. 16.
123 untuk
menuntut
tanah
tersebut
telah
sangat
lewat
waktu
(rechtverwerking).178 Namun sebelum PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terbit, ukuran waktu yang dijadikan acuan apabila seseorang dikatakan menelantarkan tanah masih bersandar pada KUH Perdata yakni : a. Pasal 1963 KUHPerdata berbunyi : Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh Tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya. b. Pasal 1967 KUHPerdata berbunyi : Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan adanya Pasal 32 PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ini maka pemerintah menjamin bahwa sertipikat hak atas tanah yang berumur lebih dari 5 tahun mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat. Namun berbeda halnya dengan kasus sebagaimana diputus oleh mahkamah agung dengan Nomor 300/PK/PDT/2009, yakni sebagai berikut :
Bahwa Penggugat memiliki sebidang tanah seluas 54.000 m2 yang terletak di desa/kelurahan Kerobokan, kecamatan Kuta, kabupaten
178
.
Toton Suprapto dan Muchsin, op.cit, hal. 17.
124 Badung,
propinsi
Bali
dengan
sertipikat
hak
milik
Nomor
2366/kelurahan Kerobokan, gambar situasi tanggal 19-9-1988 Nomor : 4849/1988 (untuk selanjutnya disebut tanah sengketa) yang didapat penggugat dari membeli dari NS Lima Dewi sesuai dengan akta jual beli Nomor 222/1999 tertanggal 4 agustus 1999 yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah I Putu Chandra, SH.
Selama penggugat membeli tanah tersebut, tidak pernah ada masalah baik penguasaannya maupun dalam pembayaran pajaknya yang penggugat bayar sampai sekarang.
Bahwa pertengahan tahun 2003 tergugat pernah menyatakan kalau dia adalah juga pemilik tanah sengketa tersebut kepada penggugat, dengan dasar kepemilikan membeli dari kantor lelang negara pada tanggal 31 Juli 2003 dari sertipikat asal atas nama I Negah Ridja dengan sertipikat Nomor 312 seluas 55.000 M2. bahwa kenapa sertipikat atas nama I Negah Ridja ini bisa ada di balai lelang, karena sertipikat ini dijadikan agunan oleh CV. Lia dengan pembebanan hipotik I sebesar Rp.250.000.000,- pada tanggal 25 Februari 1991 dan dibebani hipotik II sebesar Rp. 750.000.000 atas hutang dari perusahaan UD. Sari, UD. Kariani dan CV. Libros yang kesemuanya berkedudukan di Denpasar, di agunkan di Bank Bapindo yang kemudian di tunjuk Bank Mandiri sebagai bank yang menangani likuidasinya.
Bahwa ternyata setelah penggugat menelusuri ternyata tanah yang menjadi obyek sengketa dulunya atas nama I Wayan Swadja yang
125 dulunya diatas namakan I Negah Ridja sesuai dengan kesepakatan bersama sesuai dengan surat pernyataan tanggal 29 oktober 1972 dihadapan seluruh aparat desa Kerobokan yang isinya adalah terdapat beberapa bidang tanah yang harus diserahkan oleh I Negah Ridja kepada I Wayan Suadja termasuk diantaranya tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2. Bahwa setelah kesepakatan itu dijalankan dan telah dikuasai oleh I Wayan Swadja namun pada saat pensertipikatan tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2 itu seharusnya sertipikat atas nama I Nengah Ridja tersebut diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimusnahkan namun ternyata sertipikat tersebut masih beredar. Dari kesimpulan kasus tersebut diatas dapat terlihat bahwa terdapat 2 pemilik yang beritikad baik yakni : 1.
NS Lima Dewi yang mendapat tanah melalui jual beli dengan akta jual
beli Nomor 222/1999 tertanggal 4 agustus 1999 yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah I Putu Chandra, SH. 2. Suharman yang mendapatkan tanahnya melalui lelang. Dari kedua pihak yang mendapatkan tanah tersebut, terlihat keduanya mendapatkan tanah tersebut dengan itikad baik. Namun ternyata tanah yang menjadi obyek sengketa dulunya atas nama I Wayan Swadja yang dulunya diatas namakan I Negah Ridja sesuai dengan kesepakatan bersama sesuai dengan surat pernyataan tanggal 29 oktober 1972 dihadapan seluruh aparat desa Kerobokan yang isinya adalah terdapat beberapa bidang tanah yang harus diserahkan oleh I
126 Negah Ridja kepada I Wayan Suadja termasuk diantaranya tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2. Bahwa setelah kesepakatan itu dijalankan dan telah dikuasai oleh I Wayan Swadja namun pada saat pensertipikatan tanah seluas 55.000 m2 yang setelah diukur ulang menjadi seluas 54.000 m2 itu seharusnya sertipikat atas nama I Nengah Ridja tersebut diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimusnahkan namun ternyata sertipikat tersebut masih beredar. Jadi disini terdapat 2 sertipikat yang beredar. Sehingga hakim meutuskan bahwa tanah tersebut milik NS Lima Dewi karena pemilik yang mendapatkan tanahnya melalui lelang terdapat adanya itikad tidak baik dari pemiliik tanah awal yakni I Negah Ridja. Maka dari sini Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 justru diterapkan pada NS Lima Dewi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa akibat hukum pembatalan sertipikat hak atas tanah yang telah terbit dari 5 tahun adalah hak atas tanahnya mejadi hapus dan beralih kepada Negara atau beralih kepada orang yang berhak. Pengadilan mengakui dan menerapkan rechverwerking sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sehingga kekuatan pembuktian sertipikat adalah kuat namun apabila ternyata syarat yang harus dipenuhi untuk menjalankan pasal ini tidak dipenuhi maka pengadilan bisa mengabaikan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini sebagaimana terlihat kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Nomor 300/PK/PDT/2009.
127
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 memiliki persyaratan agar sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan memiliki kekuatan pembuktian kuat yakni diperoleh dengan itikad baik, dikuasai secara langsung dan nyata dan telah diterbitkan selama lebih dari 5 tahun tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Permasalahan dari penerapan pasal ini menurut penulis adalah terletak pada hal jika penggugat adalah benar-benar pemilik tanah yang sesungguhnya tetapi di lain pihak pemegang sertipikat beritikad baik maka permasalahan yang sebenarnya adalah pihak yang dikalahkan mengajukan gugatan kepada siapa. Sistem pendaftaran yang kita pakai yaitu sistem negatif tidak mengatur hal ini, karena negara tidak memberikan ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan tersebut juga tidak ada lembaga penyedia dana atau asuransi yang khusus untuk memberikan ganti rugi. 2. Akibat hukum pembatalan sertipikat hak atas tanah yang telah terbit lebih dari 5 tahun adalah hak atas tanahnya mejadi hapus dan beralih kepada Negara dalam hal tanahnya ditelantarkan atau beralih kepada orang yang berhak / pemilik yang sebenarnya berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki
128 kekuatan hukum tetap. Pengadilan mengakui dan menerapkan rechverwerking sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sehingga kekuatan pembuktian sertipikat adalah kuat namun apabila ternyata syarat yang harus dipenuhi untuk menjalankan pasal ini tidak dipenuhi maka pengadilan bisa mengabaikan Pasal 32 ini sebagaimana terlihat dalam contoh kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Nomor 300/PK/PDT/2009.
5.2 Saran. Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan diatas adalah sebagi berikut : 1. Bagi pemerintah agar kedepannya ada yang bertanggung jawab untuk memikul resiko bilamana kelak terbukti bahwa pendaftaran tanah dilakukan atas dasar penipuan dengan pemalsuan alat bukti. Sehingga ada suatu keadilan bagi pemilik tanah yang sesungguhnya dan juga pihak pemegang sertipikat yang beritikad baik. Maka hakekat dari Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini yaitu untuk mengatasi kelemahan pada sistem negatif dapat dilaksanakan. 2. Bagi pemerintah agar melakukan sosialisasi mengenai ketentuan Pasal 32 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 agar masyarakat mengetahui mengenai hak dan kewajibannya terhadap tanah yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan hukum tanah nasional.
129
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Abdurahman, 1983, Beberapa Aspek Hukum Agraria, Alumi, Bandung. Armia, Muhammad Sidiq Tgk, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Azhary, Tahir, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bhakti, Jakarta. Boli Sabon, Max, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chomzah, H. Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II Sertipikat dan Permasalahannya, Prestasi Pustaka, Jakarta. Daliyo, J.B., 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan ke-2, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Daryanto S.s, 1997, Kamus Bahasa Indonesia, Apollo Lestari, Surabaya. Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Negara, Kreasi Total Media, Yogyakarta. Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal. 207.
130 Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, PT. Alumni, Bandung. Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung. Faiz, Pan Mohamad, 2009, Teori Keadilan John Rawls dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1. Gautama, Sudargo, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung. Garner, Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary With Guide To Pronunciation. Cet.7, St.Paul, West Publishing. Harsono, Boedi, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya Jiid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta. Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni Bandung. Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, Kanisius, Yogyakarta. Hutagalung, Arie S., 2000, Penerapan Lembaga Rechtsverweking untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah, Hukum dan Pembangunan No. 4, Jakarta. Khairandy, Ridwan 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana FH-UI, Jakarta. Kelsen, Hans, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung. Kusnadi, Adi, Laporan Teknis Intern tentang Masalah Hukum Perubahan Status, Jakarta. Lunis, Suhrawardi K., 2000, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Grafika, Jakarta.
Sinar
Lubis, Mhd. Yamin dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung.
131 Mas, Marwan 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Masyhur, Kahar, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2000, Upaya Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Peningkatan
Supremasi
Hukum,
Mustafa, Bachsan, 1988, Hukum Agraria dalam Perspektif, Remaja Karya, Bandung. Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1982, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta. Perangin, Effendi, 1996, Praktek Pengurusan Sertipikat Hak Atas Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Parlindungan, A.P., 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia Berdasarkan P.P. 24 Tahun 1997, Mandar Maju, Bandung. _______, 2002, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rawls, John, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, 2005, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah, Tugujogjapustaka, Yogyakarta. Suny, Ismail, 2000, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Spabaru, Jakarta. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2010, Ilmu Perundang-undangan Jenis Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta. Sunggono, Bambang, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
132 Suhadi dan Rofi Wahasisa, 2008, Buku Ajar Pendaftaran Tanah, Semarang, Universitas Negeri Semarang. Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta. Sugiyono, 1998, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suryabrata, Sumadi, 1989, Metodelogi Penelitian, Rajawali, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta. Sadli, Moh, 1972, “Foreign Investment in Developing Countries, Indonesia” dalam Direct Investment in Asia and Pacific, Edited by Peter Dysdate, Canberra, Australia National University Press. Soekanto, Soerjono, 1976, Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3, UI Press, Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Soesanto, J.B., 2000, Hukum Agraria I, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang. Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Tamara, Soebekti, 1961, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, Termorshuizen, Marjanne, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta. Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh
133 K.Ng Soebakti Poesponoto, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Tanya, Bernard L, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2008, Hukum Progresif, Kanisius, Yogyakarta. Wahjono, Padmo, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Rajawali, Cet.ke-1, Jakarta. Wignyosoebroto, Soetandyo, 2001, Hukum-Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, hal. 184. Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung Wignjodipuro, Soerojo, 1994, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta. Yamin, Muhammad, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
2. Karya Ilmiah Alfons, Maria 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang. Aprini, Erpinka, Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Harsono, Boedi, 2003, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta. Hutagalung, Ari Sukanti, 2001, Konsepsi yang mendasari penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, __________
, 2002, Kelemahan Pendaftaran Tanah Dengan Sistem Publikasi Negatif, Seminar Nasional di Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Ibrahim R., 2010, Status Hukum Internasional Dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional Permasalahan Teoritik Dan Praktek, Grup Riset Otonomi Daerah (GROD) Universitas Udayana, Denpasar.
134
Martono, I Gde Eka Putra, 2010, Kekuatan Hukum Sertifiat Hak Atas Tanah DinamikaPasal 32 ayat (2) PeraturanPemerintahNomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya-Universitas Udayana, Denpasar. Muchsan, 2000, Hukum Pertanahan Di Indonesia Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pertanahan, Yogyakarta. Soesangobeng, Herman,2002, Komentar dan Kritik atas Pelaksanaan Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, Jakarta. Sumarjono, Maria SW, 1997, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah, dalam Seminar Kebijaksanaan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Terkait, Yogyakarta. Suprapto, Toton dan Muchsin, 2002, Kepastian dan Perlindungan Hukum pada Landasan Keadilan dan Kebenaran, (Dalam seminar Keefektifan Lembaga Rechtverwerking Mengatasi Kelemahan Pendaftaran Tanah Dengan Sistem Publikasi Negatif), Jakarta. Daryanto S.s, 1997, Kamus Bahasa Indonesia, Apollo Lestari, Surabaya.
3. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembar Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembar Negara Tahun 2011 Nomor 82). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembar Negara Tahun 1997 Nomor 42).
135 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 51). Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 Tentang Penguasaan Terhadap Tanah-Tanah Perkebunan Terla ntar Dan Atau Ditelantarkan Di Daerah Propinsi Jawa Barat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 Tentang Penertiban Tanah Di Daerah Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum/ Perseorangan Yang Tidak Dimanfaatkan/ Diterlantarkan.
4. Internet hukum.kompasiana.com, Pemikiran Hukum:Suatu Diskursus Mengenai Negara Hukum, diakses pada tanggal 30 Januari 2014. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Di Daerah Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum/ Perseorangan Yang Tidak Dimanfaatkan/ Diterlantarkan, www.bpn.go.id, diakses tanggal 10 April 2014. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan atau Diterlantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat , www.bpn.go.id, diakses tanggal 10 April 2014. Itikad Baik Menurut Hukum, http://setia-ceritahati.blogspot.com/2008/10/itikadbaik-menurut-hukum.html, akses tanggal 18 April 2014. Muhammad Faiz, Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan, www.panmuhamadfaiz.co. diakses tanggal 3 Maret 2014. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, www.kennywiston.com/hukum adat htm, diakses 11 Mei 2007.
136
supanto.staff.hukum.uns.ac.id/, Mengkaji Hukum, diakses tanggal 07 Juni 2013. http://yogawiguna.blogspot.sg/2011/10/jenisdanprosedurlelangdiindonesia.html, balailelang, diakses pada tanggal 1 Desember 2013.