BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebagaimana besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Tanah dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan pada masa mendatang. Dewasa ini ketersediaan tanah-tanah Negara yang “bebas” yang sama sekali tidak dihaki atau diduduki orang atau pihak-pihak berkepentingan lainnya adalah sangat terbatas.1 Tanah juga mempunyai fungsi sebagai wadah atau wahana bagi berpijak dan berdirinya pembangunan. Pendek kata, hampir semua usaha pembangunan memerlukan tanah sebagai sarananya. Membangun tidak mungkin tanpa tanah, sebaliknya penggunaan tanah tidak mungkin kalau tidak ada pembangunan baik oleh pemerintah ataupun perorangan. Pembangunan baru dapat direalisasikan apabila tanah sebagai wadah untuk menyelenggarakan tersebut telah tersedia, baik secara fisik maupun yuridis.
1
. Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah, Yogyakarta, 2004, hlm.1.
Dengan demikian meningkatnya dan meluasnya pembangunan semestinya semakin meningkat dan merata pula kesejahteraan rakyat, sehingga akan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Keberhasilan pembangunan akan semakin
meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk membangun
dan
memperbesar kesadaran rakyat akan arti dan manfaat pembangunan, sehingga akan lebih memperkuat tekad rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan menuju terwujudnya cita-cita kemerdekaan bangsa yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Termasuk dalam kegiatan pembangunan tersebut adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Jumlah penduduk yang semakin bertambah tentunya juga membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jalan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya. Dalam hal jaringan transportasi, mengingat padatnya lalu lintas dewasa ini, maka perlu dilakukan pelebaran jalan dan/ atau pembangunan jalan baru. Pelaksanaan pembangunan untuk Kepentingan umum ini memerlukan ketersediaan tanah. Dengan demikian tanah merupakan faktor utama dalam pembangunan tersebut, untuk mencapai dan melaksanakan pembangunan
tersebut,
pemerintah
sering
menghadapi
masalah
yang
bersangkutan dengan ketersediaan tanah. Apabila ketersediaan tanah masih luas, pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tidak menemui hambatan, akan tetapi dengan sifat tanah sebagai sumber daya alam yang terbatas maka hal tersebut menjadi permasalahan ketika persediaan tanah semakin berkurang.
Pada masa sekarang ini, adalah sangat sulit menyelenggarakan pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah negara, sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan mengambil tanah oleh Pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pembangunan untuk kepentingan umum inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah yang disertai dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pengambilan tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan atau penyelenggaraan kepentingan umum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara. 3 (tiga) cara tersebut antara lain meliputi : pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan tanah), pencabutan hak atas tanah dan perolehan tanah secara langsung (jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela).2 Dalam pelaksanaan pengadaan tanah, sebelumnya dilakukan dengan sosialisasi dan musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara pihak yang membutuhkan tanah lewat panitia pengadaan tanah dengan pemilik hak atas tanah tersebut serta memperihatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Musyawarah merupakan aspek penting dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, karena dalam proses ini masyarakat yang terkena proyek pembangunan diberi pemahaman mengenai maksud dan tujuan pembangunan di atas tanah mereka dan yang terpenting adalah dibahas mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan mereka terima. 2
. Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah, Yogyakarta, 2004, hlm.14.
Masalah ganti kerugian ini menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembahasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang paling panjang dan berlarut-larut akibat tidak adanya titik temu yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.3 Guna memperlancar arus lalu lintas di kota yang semakin padat oleh transportasi, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum (angkutan umum), dibutuhkan suatu jalan raya yang memadai, baik mengenai luas maupun jumlahnya. Melihat jalan raya Magelang-Yogyakarta yang juga merupakan jalan negara terutama jalan dari Palbapang sampai Mertoyudan yang terletak di daerah Kabupaten Magelang arus lalu lintasnya begitu padat, namun tidak didukung oleh keadaan jalan yang memadai, maka rencana pemerintah untuk melebarkan jalan dari Palbapang hingga Mertoyudan ini merupakan gagasan yang bagus dan seharusnya
masyarakat
juga
harus
mendukungnya.
Untuk
melakukan
pembangunan pelebaran jalan ini dibutuhkan tanah yang tidak sedikit sebagai sarana utamanya. Pemerintah dalam usahanya memperoleh tanah sebagai sarana pokok pembangunan pelebaran jalan tersebut, adalah dengan cara pengadaan tanah yaitu dengan memberikan ganti rugi yang layak kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan. Pengadaan tanah untuk pelebaran jalan raya Magelang-Yogyakarta dari Palbapang hingga Mertoyudan ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Magelang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.4 Rencananya jalan PalbapangMertoyudan ini akan dibuat empat jalur, karena memerlukan biaya yang banyak, 3
. Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 396-397. 4 . Suara Merdeka, 8 Oktober 2008.
pembangunannya dibiayai secara patungan oleh Bank Dunia, Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Magelang.5
Pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan merupakan proyek yang telah lama direncanakan dan diputuskan oleh Pemerintah Pusat, namun baru akan dilaksanakan, karena pemerintah harus mempertimbangkan segala sesuatunya secara matang, agar tidak menimbulkan permasalahan yang berdampak merugikan masyarakat.6 Pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan ini akan mencapai enam meter dari bahu jalan, baik dari sisi barat maupun timur. Di sisi barat, umumnya merupakan lahan milik perorangan, instansi pemerintah, fasilitas umum dan badan hukum swasta, sedangkan di sisi timur sebagian besar adalah lahan milik PT Kereta Api Indonesia.7 Dengan pelebaran jalan ini diharapkan lalu lintas yang tadinya padat, rawan kecelakaan dan kemacetan yang mengganggu ketertiban umum menjadi lancar, harga tanah menjadi tinggi dan masyarakat dapat memanfaatkan keramaian jalan untuk kegiatan ekonomi produktif sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat itu sendiri. Mengingat potensi alam yang mendukung, Kabupaten Magelang ke depan akan dirancang menjadi kota satelit, sehingga menjadi pusat perhatian dan daerah tujuan wisata.8
5
. Palbapang-Mertoyudan Mulai Pengukuran, terdapat dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/14/ked08.htm, 14 September 2005 6 . Asfuri Muhsis, Kasubbag Komunikasi Kabupaten Magelang, Masalah Pelebaran Jalan Palbapang-Mertoyudan, terdapat dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/17/ked10.htm, 17 Januari 2006 7 . Terhambat, Pelebaran Jalan Mertoyudan, terdapat dalam http://www.kompascetak/0406/03/Jateng/55758.htm, 7 April 2006 8 . Asfuri Muhsis, Kasubbag Komunikasi Kabupaten Magelang, Masalah Pelebaran Jalan Palbapang-Mertoyudan, terdapat dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/17/ked10.htm, 17 Januari 2006
Dulu ruas jalan Palbapang-Mertoyudan ini pernah dilebarkan sebanyak dua kali, tetapi masyarakat yang terkena proyek tidak mendapatkan ganti rugi. Sekarang pemerintah sudah lebih bijaksana karena mau memberikan ganti rugi yang layak.9 Dalam musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah dengan para pemilik hak atas tanah yang terkena pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan ini terjadi berkali-kali dan sangat berlarut-larut. Keadaan ini terjadi karena para pemilik hak atas tanah menganggap bahwa penentuan besarnya ganti rugi yang dipatok atau yang menjadi harga dasar dari panitia pengadaan tanah terlalu rendah. Disisi lain panitia pengadaan tanah itu sendiri juga beranggapan bahwa ganti rugi telah sesuai dan layak karena tidak hanya didasarkan oleh NJOP (nilai jual obyek pajak) tahun berjalan, tetapi juga Nilai Jual Akhir (harga pasar yang berlaku pada saat itu), sehingga masyarakat tidak dirugikan.10 Sulitnya dalam proses penentuan besarnya ganti kerugian terhadap para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan pelebaran jalan PalbapangMertoyudan di Kabupaten Magelang ini tentu menjadi penghambat proses pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan tersebut. Semula yang direncanakan pada tahun 2007 telah selesai proses pembebasan tanahnya dalam arti pula semua ganti rugi telah diberikan kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan, namun sampai
9 . Palbapang-Mertoyudan Mulai Pengukuran, terdapat dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/14/ked08.htm, 14 September 2005 10 . Wawancara dengan Bapak Drs. R. Budiono, Anggota Dewan Kabupaten Magelang, Blabak Kabupaten Magelang (10 Oktober 2008)
dengan hari ini masih ada pemilik hak atas tanah yang belum mau melepaskan hak atas tanahnya untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan ini.11
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul: ”Tinjauan Yuridis Proses Penetapan Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pelebaran Jalan Palbapang-Mertoyudan di Kabupaten Magelang”
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses penetapan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan di Kabupaten Magelang? 2. Bagaimana alternatif penyelesaian bila ada pemilik hak atas tanah yang belum mau melepaskan hak atas tanahnya untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan di Kabupaten Magelang?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses penetapan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan di Kabupaten Magelang.
11
. Ibid.
2. Untuk mengetahui alternatif penyelesaian bila ada pemilik hak atas tanah yang belum mau melepaskan hak atas tanahnya untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan di Kabupaten Magelang.
D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademik maupun kepentingan praktis, berupa: 1. Kegunaan
teknis,
bagi
kalangan/
kepentingan
akademisi
dapat
memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk menambah khasanah dibidang hukum pertanahan, serta sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum, khususnya Hukum Agraria. 2. Kegunaan praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi pemerintah, khususnya aparatur Pemerintah Kabupaten Magelang dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum guna pembangunan pelebaran jalan PalbapangMertoyudan di Kabupaten Magelang.
E. Tinjauan Pustaka Dasar pokok pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yaitu Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
tentang hak menguasai negara dan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial dari tanah, serta Pasal 18 UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA menegaskan bahwa : ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.” Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.12 Sebagai tindak lanjut dari pada Pasal 18 UUPA ini banyak peraturan yang dibentuk, antara lain adalah pada tanggal 26 September 1961 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya. Kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, Instruksi Presiden tanggal 17 November 1973 Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta. Rangkaian proses pengaturan mengenai pembebasan tanah ini berakhir dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 12
. Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960)
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pada tanggal 17 Juni 1993 dan sebagai peraturan pelaksananya telah dikeluarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1994 tanggal 14 Juni 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.13 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum kemudian tidak berlaku lagi sejak pemberlakuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sedemikian telah diubah menjadi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Istilah pembebasan tanah tidak lagi dipergunakan tetapi dengan istilah pengadaan tanah, dan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah,14 sehingga melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Menurut Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 1 tersebut telah jelas dinyatakan bahwa cara untuk mendapatkan tanah dengan memberikan ganti rugi kepada yang memiliki tanah,
13
. Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.19. 14 . Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah, Yogyakarta, 2004, hlm.18.
ini merupakan bukti penghormatan atas hak-hak yang telah dimiliki para pemilik hak atas tanah. Mengingat tanah adalah mempunyai fungsi sosial serta digunakan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan dan penggunaan tanah harus dikendalikan oleh pemerintah. Hal itu berarti bahwa dalam pengadaan tanah, di satu pihak harus diingat adanya fungsi sosial dari tanah, yaitu harus diabdikan dalam kehidupan masyarakat banyak, bangsa, dan negara; namun di pihak lain kepentingan pihak yang telah memiliki hubungan hukum dengan tanah tersebutpun harus tetap dihormati.15 Salah satu yang diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menjadi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 adalah pengurusan pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwa, kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat, yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Penentuan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah ini akan dibahas dalam proses musyawarah dan mufakat antara panitia pengadaan tanah dengan para pemilik hak atas tanah, atau bila tidak memungkinkan atau tidak efektif maka musyawarah dapat dilakukan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus
15
. Ibid. hlm.5.
bertindak selaku kuasa mereka. Selain membahas mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, dalam proses musyawarah dan mufakat ini juga akan membahas mengenai pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (10) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa proses musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi, dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Dengan perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini menjadi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, ada perubahan pula mengenai bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pemilik hak atas tanah. Pemerintah membuat ketentuan baru mengenai bentuk ganti kerugian ini yaitu selain adanya penggantian uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, serta gabungan dari tanah dan uang penggantian itu, juga dimungkinkan adanya bentuk lain yang disetujui bersama antara warga dan pihak yang membutuhkan tanah.16 Menurut Pasal 15 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi
16
. Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 226.
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas : a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak Tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia. b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan. c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Ganti kerugian merupakan hak mutlak dari para pemegang hak atas tanah yang telah melepaskan atau menyerahkan tanahnya. Dengan demikian tidak ada suatu kewenangan bagi siapapun termasuk oleh pemerintah (negara) untuk mengambil tanah rakyat tanpa dengan suatu ganti kerugian.17 Jadi diberikannya ganti kerugian dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah di negara kita karena memang peraturan perundang-undangan di negara Indonesia tidak mengenal perolehan tanah berdasarkan penyitaan dan lebih dari pada itu bahwa setiap pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan harus mengikuti hak atas tanah sebagai bagian dari hak asasi manusia di bidang ekonomi.18
F. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian
17
. Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah, Yogyakarta, 2004, hlm. 31. 18 . Ibid. hlm. 32.
Obyek penelitian merupakan hal-hal yang akan diteliti yang tetuang dalam rumusan masalah dan dirumuskan dalam kalimat pernyataan.19 Dalam hal ini yang menjadi obyek penelitian adalah pelaksanaan penetapan ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan.
2. Subyek Penelitian a. Ketua Panitia pengadaan tanah untuk pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan atau yang mewakilinya. b. Para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan pelebaran jalan Palbapang-Mertoyudan. 3. Sumber Data a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian. b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen, literatur, majalah-majalah, makalah, peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah yang diteliti. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Terhadap data primer diperoleh dengan interview, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan bantuan pedoman wawancara dengan subjek penelitian. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung terhadap pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan tanah, dengan menggunakan daftar isian atau kuesioner
19
. Ibid. hlm. 1
yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Kuesioner dikatakan sebagai suatu metode penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang-orang yang menjadi sasaran penyelidikan. b. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari, membahas, memahami, menelusuri dan mengkaji suatu masalah yang terdapat dalam bukubuku, peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur lain yang berhubungan dengan permasalahan atau obyek penelitian. 5. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami dan mendekati obyek penelitian. 20 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku, artinya data yang diperoleh akan diteliti dan dipelajari dengan seksama kemudian disesuaikan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan. Setelah dianalisis, selanjutnya hasil analisis tersebut akan diwujudkan dalam bentuk diskriptif dengan ringkas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan dipahami. 6. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya diolah dengan proses pengolahan data kualitatif yaitu meliputi kegiatan editing, coding dan penyajian dalam bentuk narasi. Editing adalah meneliti data yang diperoleh untuk 20
. Mustaqiem dkk, Pedoman Penyusunan Tugas Akhir (Skripsi, Legal Memorandum dan Studi Kasus Hukum), Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, hlm. 14.
mengetahui atau menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataannya. Editing dilakukan dengan pembetulan data yang keliru dan menambah data yang kurang.21 Coding adalah proses untuk mengklasifikasikan jawaban-jawaban para responden menurut kriteria atau macam yang ditetapkan. Klasifikasi ini dilakukan dengan cara menandai masing-masing jawaban dengan tanda kode tertentu.22 Analisis data dengan menguraikan, membahas, menafsirkan temuantemuan penelitian dengan perspektif atau sudut pandang yuridis dalam bentuk narasi guna merumuskan kesimpulan atau generalisasi dari pertanyaan penelitian yang diajukan. Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitik, yaitu tata cara penelitian dengan menggambarkan apa yang diungkapkan oleh responden secara langsung maupun tidak langsung, serta data-data kepustakaan diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Selanjutnya dianalisis melalui pendekatan yuridis normatif.
21
. Ibid. hlm.15. . Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Ctk. Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 130. 22