BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai tunas bangsa dalam membangun Indonesia sangatlah penting tidak saja bagi bangsa dan negara melainkan bagi masa depan anak itu sendiri. Dalam undang-undang dasar mengatur jelas hak-hak anak yang salah satunya adalah berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Ps 28B Amandemen Undang-Undang Dasar ke II, 18 Agustus 2000) dengan kata lain undang-undang menjamin dalam memberikan kebebasan anak dalam mengeluarkan gagasan atau kreativitas anak. Banyak yang kita jumpai potensi-potensi anak yang sangat luar biasa, lebih lagi apabila anak berada dibawah bimbingan belajar baik oleh orangtua maupun bimbingan ekstrakulikuler. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai moral terhadap Bangsa. Anak dalam arus globalisasi patutlah harus diperhatikan, memang tidak harus berpandangan extrim terhadap globalisasi namun jiwa anak yang masih labil belum mengerti yang mana yang patut dilakukan atau dicontoh menjadikan orangtua tidak begitu saja melepaskan pergaulan anak dengan teman-temanya. Lebih lagi, bahwa anak, akan cepat meniru apa yang dilihatnya tanpa mengetahui akibat dari setiap pilihan tindakan.
Universitas Sumatera Utara
Tingginya tingkat kejahatan tidak saja dilakukan pada orang dewasa melainkan pula anak-anak pada usia muda sehingga merisaukan orangtua bagaimana membimbing anak-anaknya agar jangan sampai melakukan tindak pidana. Pengertian anak dapat ditinjau dari berbagai aspek kejiwaan. keijiwaan tampaknya ada pengklasifikasikan yang agak rinci, yaitu anak remaja dini, remaja penuh dewasa muda dan akhirnya dewasa. Perilaku delinkuesi anak, yang merupakan terjemahan dari istilah juvenile delinkuensi adalah perilaku anak yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk katagori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukan bagi mereka. Namun apakah sistem penjatuhan pidana dapat kita samakan dalam penjatuhan pidana bagi orang dewasa. Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sebagai sarana terakhir yaitu sebagai sarana perbaikan keadaan yang telah dirusak dengan adanya tindak pidana (obat pamungkas) di dalam masyarakat . Penjatuhan pemidanaan oleh aparatur negara (dalam hal ini lembaga yudikatif) terhadap pelaku tindak pidana adalah obyektif dan fair. Hal ini, guna agar tidak terjadinya balas membalas atau pertikaian di dalam masyarakat. Dimana hanya negaralah yang mempunyai kewenangan untuk membalas dan menegakan hukum guna mencapai keadilan. Namun apakah hal tersebut bermanfaat bagi masyarakat? Dan mengurangi orang untuk tidak melakukan tindak pidana?
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan hal tersebut menurut Yenti Garnasih bahwa “Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupakan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khusunya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventit.” 1 Lebih jauh lagi ia mengatakan : 1. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar dari pada kerugian oleh suatu tindak pidana 2. Jangan
menggunakan
hukum
pidana
apabila
penggunaannya
diperkirakan tidak akan tepat Sebagaimana pendapat Satjipto Raharjo
bahwa hukum bukanlah
sekedar logika semata karena lebih dari itu hukum merupakan ilmu sebenarnya. 2 Gagasan ini yang di tuangkan oleh pemerhati hukum yaitu Satjipto Raharjo dimana melihat adanya kaitan dengan hal-hal di belakang hukum. Keinginan untuk melihat logika sosial dari pada logika hukum atau perundang-undangan. Yang seharusnya selalu dimaknai sehinga selalu up to date. Dengan kata lain hukum selalu bergerak dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
1
Yenti Garnasih, “Kebebasan Berpendapat dan Kebijakan Criminal” (LBH Pers), hal. 1 Turiman, “Memahami Hukum Progresif Sartipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia), “ (Disertasi Doktor Universitas Diponorogo, Semarang, 2010) hal. 2 2
Universitas Sumatera Utara
Seturut dengan pendapat Satjipto Raharjo di atas khususnya “untuk tindak pidana anak perlunya ada tindakan lain dalam menangani hal tersebut. Peradilan anak yang mengedepankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa”. 3 Muncul beberapa argument akan hal ini, yang mengatakan bahwa terhadap pidana
anak seharusnya tidak perlu di masukan dalam penjara,
karena dapat mempengaruhi kejiwaan sang anak. “Suasana penjara yang tidak ramah
dan
konsep
pemisahan
dari
masyarakat
atau
lingkungannya,
akan menyebabkan anak merasa dirinya pantas mempersalahkan dirinya dan inferioritas. Tidak layak kembali ke masyarakat. Pada akhirnya, menciptakan lingkaran residivis. Sebab, di lingkungan ini mereka merasa mendapat tempat.”4 Tingginya tingkat kejahatan yang terjadi seakan Negara tidak mempunyai lagi obat yang ampuh untuk menurunkan angka kejahatan persetiap tahunnya meski hal tersebut telah dibuat Regulasi yang tegas atau represif pada setiap tindak pidana. Upaya preventif dalam menangulangi tindak pidana adalah salah satu instrumen untuk menangulangi tinginya tingkat kejahatan. Kebutuhan manusia untuk hidup teratur, serasi, selaras, tentram dan damai tetap dijaga sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, untuk memberikan keamanan kepada setiap warga negara diperlukan tindakan aparat penegak hukum dengan melaksanakan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana. Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang berdiri dari subsitem yang berhubungan yang disebut dengan sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System. 3
www.google.com Ari Budoyo, “Dampak Bagi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana” Koran Tempo (Selasa, 14 April 2009) 4
Universitas Sumatera Utara
Criminal Justice System telah dikenalkan pada tahun 1958 oleh Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (sistem approach) Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama Criminal Justice System. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President’s Crime Commission. “Diagram skemetik “Criminal Justice System” telah disusun oleh The Commission’s Task Force on Science and Technology dibawah pimpinan Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajarial dengan bertopang pada pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, kemudian sejak saat itu, dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendri melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain.” 5 “Menurut Romli Atmassamita, ciri pendekatan sistem dalam peradilan dapat dilakukan antara lain : 1.
Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan)
2.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana 5
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Persepektif Eksistensialisme dan Abolisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
3.
Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari Efektivitas penyelesaian perkara
4.
Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice” 6 Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono Reksodiputro merupakan
“sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, bertujuan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, kemudian mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku mengulangi kejahatannya”. 7 Lebih
lanjut
ia mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana
(Criminal Justuce System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi dapat diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana menurut Mardjono dapat dirumuskan yaitu : 8 1.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana dan
3.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya 6
Ibid, hal.10 Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-batas Toleransi”; Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993 : 1 8 Ibid, hal. 3 7
Universitas Sumatera Utara
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sisitem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice system” apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut :9 1.
Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama
2.
Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana) dan
3.
Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana Menurut Marlina sistem peradilan pidana terdiri dari empat komponen
yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan, keempat komponen tersebut bekerja sama dalam menegakan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan) meliputi penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputu pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi pelaksanaan putusan yang telah ditetapkan dalam
persidangan
seperti
penempatan
terpidana
dalam
lembaga
permasyarakatan. Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalisasi di masyarakat. Penggunanaan
9
Ibid, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
sistem peradilan pidana dianggap bentuk respon penanggulangan kriminal dan wujud usaha penegakan hukum pidana. Sistem tersebut diharapkan mampu menyelesaikan persoalan kejahatan yang terjadi, akan tetapi dalam pelaksanaannya tujuan tersebut belum seluruhnya berhasil. Sebagai contoh banyak pelaku tindak pidana kembali mengulangi kejahatannya atau resedivis. Hal tersebutlah yang menjadi Kesukaran didalam sistem peradilan pidana. 10 Selanjutnya Menurut Rusli Muhamad mengatakan bahwa : “Apa yang menjadi tujuan utama sistem peradilan pidana sulit dicapai, melindungi, mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana diharapkan kembali kejalan benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.” 11 Pemerintah sebagai penyelengara kehidupan bernegara memberikan perlindungan dan kesehjatraan kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai upaya kebijakan yang teragenda dalam dalam progaram pembangunan nasioanal. Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan nasional tergabung dalam kebijakan sosial (social politik). Kebijakan sosial memuat kebijakan bidang politik, ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, pengelolahan sumber daya alam, kesehatan lingkungan
kehidupan dan lain
sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh pada peningkatan kaulitas kehidupan masyarakat.
10
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009,
hal. 5 11
Rusli Muhamad. (1999). Reformasi Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta; dalam Journal Hukum Ius Quia lustum, Nomor 1, Vol. 6, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagain dari kebijakan sosial (social policy) termasuk didalamnya kebijakan legislatif (lesilatif polcy). Kebijakan penangulangan kejahatan (criminal policy) adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum. Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Menjadi bahan perenungan dan pengkajian bagi para ilmuwan agar sistem peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau setidak-tidaknya mendekatinya. Hal ini pula yang melahirkan suatu konsep baru dalam dunia peradilan pidana yaitu Diversi dan Restroactive Justice, khususnya untuk tindak pidana anak. Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang konsep diversi dan restroactive justice, perlu diperhatikan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana Konsep Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum Pengadilan Negeri Batam 2. Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep dan Restroactive Justice
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum Pengadilan Negeri Batam. b. Untuk mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep Diversi dan Restroactive Justice 2. Manfaat Peneltian yaitu sebagai berikut : Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis - Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice - Menambah pengetahuan penulis pada khususnya tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice dalam penegakan hukum b. Manfaat Praktis : - Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti - Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum dalam menangani masalah khusunya mengenai Tindak Pidana Anak - Sebagai referensi bagi penelitian berikutnya
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai
Konsep Diversi dan Restroactive Justice adalah
berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri meskipun hal ini telah banyak dituangkan dalam berbagai tulisan atau karya ilmiah, namun dalam hal berbeda dapat dikatagorikan sebagai peneltian baru karena baik judul dan permasalahannya berbeda, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara
akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan jujur dalam menemukan kebenaran
E. Tinjauan Kepustakaan Setiap penelitian tentunya memerlukan sumber refrensi, baik yang berupa tulisan atau pun pendapat para ilmuwan dan para praktisi mengenai teori-teori, pengertian dan jenis-jenisnya. Sehinga dapat tersusun secara komperensif, sistematis dan logis. Adapun dalam hal ini, akan diuraikan beberapa hal yaitu sebagai berikut : 1. Pengertian Diversi Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan
peradilan
anak
yang
disampakan
Presiden
Komisi
Pidana
(president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.
Universitas Sumatera Utara
Secara gramatikal pengertian diversi adalah pengalihan. Dimana pelaksanaan diversi dilatar belakangi keingginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut menurut chris graveson Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragram, tetapi lebih banyak menekankan pada penahan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Diskresi telah diketahui dengan baik oleh polisi tetapi diversi merupakan istilah di luar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum. Diskresi bukanlah konsep baru bagi polisi. Ini adalah salah satu dari konsep yang paling mendasar dalam pemolisian baik secara historis maupun didalam masyarakat moderen. Polisi telah mempraktekan penggunaan diskresi sejak pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang dalam komunitas atau masyarakat memiliki tangung jawab serupa. Diskresi didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat melakukan pelangaran ringan yang tidak memerlukan intervensi hukum dan/atau pengadilan. Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum yang berlaku umum, artinya mungkin saja secara formal tidak ada dalam hukum tertulis tapi telah dikembangkan menjadi praktek yang
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusnya diskresi diterapkan. Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gethorpe “bahwa diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.” 12 Kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan kontroversial karena peilngambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehinga hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Apabila kita melihat tujuan dari diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi yaitu menangani pelangaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, Diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.
2. Pengertian Restroactive Justice Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal mendapatkan perhatian dari kalangan hukum. 12
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain : 13 1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya) apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan ; 2. Selanjutnya scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat 3. Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita 4. Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanski hukum. 13
Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hal. 1-15
Universitas Sumatera Utara
5. M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan mengenai etilogi tingkah laku manusia. Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Artinya apabila hukum pidana diterapkan kepada anak maka sudah tentu banyak kemudharatan yang akan dialami di pihak negara, pemborosan negara, pemboroasan anggaran, serta stigmasisasi dan labeling yang tidak bisa dihindari. Restroactive Justice Adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni (menyambut), pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu. Menurut Tony F. Marshall Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future. (Restorative justice adalah sebuah proses
dimana semua pihak
yang
berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). 14 14
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Dari defenisi tersebut di atas bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Hal ini pula telah ditegaskan dalam hukum perdata dan acara perdata Pasal 130 HIR/154 RBG begitu pula dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dimana Mediasi bersifat wajib dalam semua perkara perdata kecuali perkara Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas putusan BPSK dan KPPU (Pasal 4). 15 Lebih lanjut di dalam psl 2 (3) mengatakan tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan perma ini merupakan pelangaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dan di dalam Pasal 2 (4) mengatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan putusannya wajib meyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator yang bersangkutan. Suatu sinkronisasi apabila kita melihat Restroactive Justice dan mediasi dalam hukum perdata. Perbedaan antar keduanya ialah dalam mediasi sifatnya adalah wajib dan apabila tidak dilakukan maka putusan batal demi hukum sementara dalam Restroactive Justice tidak mengharuskan untuk dilaksankan, melainkan hanyalah sebagai alternatif untuk menyelesaikan suatu tindak pidana.
15
www.mahkamahagung.com Legislasi Perma
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip dalam Restroactive Justice antara lain : 1. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya 2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif 3. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalahnya 4. Menciptakan
forum
untuk
bekerjasama
dalam
menyelesaikan
masalah 5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal 16 Prinsip yang sama dijelaskan dalam konsep Restroactive Justice yang termuat dalam draft Declaraction of Basic Principles on the use of Restroactive Justice Programmer in Criminal Matters. 17 1. Program
Restroactive
Justice
berarti
beberapa
program
yang
menggunakan proses Restroactive Justice atau mempunyai maksud mencapai hasil Restroactive (Restroactive outcome) 2. Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses Restroactive Justice. Contoh ; restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan koban dan/atau pelaku 16 17
Adrianus Meliala, Restroactive Justice, artikel dalam http;//google/com Marlina, Op.Cit, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
3. Restroactive proces dalam hal ini adalah suatu proses dimana koban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan di campuri oleh pihak ketiga 4. Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program Restroactive Justice 5. Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi pertisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep Restroactive Justice harus memperhatikan beberapa hal yaitu : 18 1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelangaran hukum 2. Tujuan lebih penting dari pada proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi 3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan msyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses penyelesian. 18
Ibid, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan Restroactive Justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Diskusi tentang Restroactive Justice di beberapa negara dimulai dengan membandingkan sistem peradilan pidana yang ada sekarang dengan proses Restroactive Justice. Menurut Howard Zehr sistem penghukuman Restributive Justice dimulai dengan sebuah pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat negara. Kejahatan tersebut harus telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran dituduh bersalah terhadap seseorang. sedangkan Restroactive Justice adalah suatu pandangan penghukuman yang diarahkan pada upaya untuk memulihkan kembali keadaan yang telah tergoncang akibat terjadinya kekerasan kepada keadaan
semula saat sebelum terjadinya
tindakan pelanggaran. Proses penyelesainnyadiarahkan untuk menghasilkan keadilan bagi semua pihak baik itu korban, pelaku dan masyarakat.
3. Teori Pengambilan Keputusan Pada tahun 1950-an pengambilan keputusan oleh hakim kurang memberikan perhatian terhadap pengambilan keputusan, dan hal ini baru dimulai pada saat perang dunia kedua. Bersamaan dengan dimulianya perang dunia kedua, cikal bakal computer mulai ditemukan. Seorang pilot akan dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan dalam pekejaaannya sehingga memahami proses berpikir manusia menjadi sesuatu yang sangat penting. Setelah perang dunia kedua dan seiring dengan semakin berkembangnya kemajuan computer, pembicaraan pemprosesan informasi menjadi penting dan teori-teori berpikir tahun 1800-an banyak dikaji ulang dalam konsep teori pemrosesan informasi.
Universitas Sumatera Utara
Informasi tidak dapat dilepaskan dengan pengambilan keputusan, karena hal ini sejalan, apakah baik atau tidaknya keputusan itu dibuat. Menurut “Umslot mengatakan bahwa pengambilan keputusan (decision making) merupakan proses berpikir dan perilaku yang menghasilkan suatu pilihan.” 19 Dengan kata lain dalam hal ini ini adanya proses berpikir dan perilaku sehingga mengakibatkan suatu pilihan. Pendapat yang berbeda diutarakan oleh “Matlin dimana pengambilan keputusan dengan penalaran (resoning) dalam hal derajat kepastian situasinya. lebih lanjut lagi ia mengatakan penalaran merupakan pengujian terhadap informasi dan penarikan kesimpulan dalam situasi yang lebih pasti dibanding dengan pengambilan keputusan.” 20 Menurut “Umstot menjelaskan bahwa pemecahan masalah (problem solving) meliputi proses sistematik yaitu mendefenisikan problem, mengumpulkan data, mengajukan alternatif, menentukan pilihan diantara sekian banyak alternative, menerapkan pemecahan masalah dan tindak lanjut.” 21 Sedangkan, menurut Malayu S.P. Hasibuan mendefenisikan yaitu suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk melakukan aktivitas-aktivitas pada masa yang akan datang. 22
19
Yusti Probowati Rahay, Dibalik Putusan Hakim, hal. 51 dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company; 20 Ibid., hal. 51, dikutip dari, Matlin, M.W. 1989. Cognition. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc. hal. 75 21 Ibid., hal 51, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company; 22 Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2103425-pengertian-pengambilankeputusan/#ixzz1Ksly1L2Y
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa defenisi yang dikemukakan, dapat disimpulkan pengambilan keputusan yaitu proses bagaimana menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional dan ideal berdasarkan fakta, data dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Dasar pengambilan keputusan adalah berpikir. Menurut Dawes dan Kagen secara sederhana berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir otomatis dan terkontrol. Salah satu berpikir secara otomatis adalah asosiasi yaitu sesuatu pada lingkungan yang memunculkan ide dalam pikiran atau satu ide memunculkan ide lain atau ingatan lain. Dan berpikir terkontrol adalah berpikir yang ilmiah, yaitu individu menghepotesiskan sejumlah objek atau pengalaman, diamati dan diajukan kemungkinan hipotesisnya. 23 Adapun Kahnemen mengemukakan tiga macam keputusan heuristic atau Metoda pemecahan masalah yang didasarkan pada pola kecerdasan manusia sebagai berikut : 1. Perwakilan (representative) yaitu evaluasi probalitas atau kemungkinan dengan melihat seberapa besar A mewakili B dengan memperhatikan kemiripan A mewakili B. jika A sangat mewakili B, probalitas A berasal dari proses B adalah tinggi, begiu pula sebaliknya; 2. Ketersediaan (Avalaibilty) yaitu mempertimbangkan kejadian yang ada dalam pikirannya. Contoh, seseorang memprediksi frekuensi kemungkinan terkena resiko penyakit jantung dengan cara mengingat jumlah kejadian serangan jantung pada manula yang dikenalnya 23
Ibid., hal 52, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;
Universitas Sumatera Utara
3. Penyesuaian dan jangkar (Adjustnment & Anchor) yaitu melakukan estimasi kuantitatif dengan memulai dari suatu nilai awal kemudian disesuaikan sehingga membawa hasil jawaban akhir”. 24
4. Teori Pengambilan Keputusan Dalam Perkara Pidana Teori pengambilan keputusan dapat diterapkan ke dalam banyak bidang. Salah satunya dalam pengambilan keputusan perkara pidana. Khususnya ketika hakim memutuskan terdakwa bersalah atau tidak. “Teori pengambilan keputusan perkara pidana benyak dilandasi pada teori antara lain sebagai berikut : 1. Pendekatan Teori Probalitas. Pendekatan teori probalitas didasari oleh teori probalitas Bayesian dimana dimensi dasar dari berpikir yang menyatakan bahwa, membuat keputusan adalah probalitas subyektif, artinya semua informasi akan dikonesp oleh individu sebagi kekuatan keyakinan. 2. Pendekatan Aljabar. Pendekatan aljabar adalah persamaan model linear atau persamaan rerata yang dibobot. Persamaan rerata yang dibobot berasumsi bahwa setiap bukti yang diidentifikasi akan diperantarai oleh derajat kepentingan, relevansi dan realibiitas bukti. 3. Pendekatan Model Cerita. Dalam hal ini, hakim mengumpulkan informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa maupun barang bukti”. 25 24
Ibid., hal 55-56, dikutip dari, Kahneman, D., Slovic, P.,and Tversky, A. 1998. Judgment Under Uncertainly : Heuristic and blases, Cambridge, Massachusetts : Cambridge University Press.
Universitas Sumatera Utara
5. Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim Putusan hakim merupakan sebuah mahkota dan dengan putusan tersebut juga mewakili pribadi pembuat putusan, yang meliputi : karakter, intelegen dan kebijaksanaan. Karena apabila putusan tersebut dibuat tanpa pertimbangan yang matang maka putusan yang dijatuhkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang diatasnya yaitu pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Putusan Hakim adalah putusan yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Bab I pasal I angka 11 menyebutkan bahwa putusan hakim adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Menurut “Dewi Gemala putusan hakim adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara”. 26 Adapun Jenis-jenis putsan hakim dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut : 1. Putusan Bebas 2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hakim 3. Putusan Pemidanaan
25 26
Djamaludin Ancok, Dibalik Putusan Hakim, Srikandi, Yogyakarta, hal. 57, 61, 64 Dewi Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
hal. 148
Universitas Sumatera Utara
Ad. 1. Putusan Bebas Atau vrij spraak adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Terhadap Pasal 191 ayat (1) KUHAP kita dapat menarik kesimpulan dari Unsur-unsur pasal tersebut, yaitu : 1) Dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan 2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan Jenis putusan ini, diambil oleh hakim yang bersangkutan dengan pertimbangan : 3) Tidak memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-undang secara Negatif. Artinya pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak cukup itu, tidak diyakini oleh hakim. 4) Tidak memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian. Artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, karena menurut Pasal 183 KUHAP, untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan degan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yaitu keyakinan hakim. Maka menurut “Yahya Harahap dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) putusan bebas didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim :
Universitas Sumatera Utara
a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan di persidangan bai berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dengan kata lain perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepda terdakwa b. Secara nayat hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian juga bertentangan. Misalnya, saksi yang dihadirkan dipersidangan hanya satu orag saksi saja, yang mana satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis) c. Putusan bebas tersebut tidak didukung oleh keyakinan hakim. penilaian yan demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP, yang mengajarkan pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim. sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim.” 27 Hal ini menurut hemat penulis, agar hakim benar-benar menjatuhkan putusan kepada seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak terjadi salah menjatuhkan putusan pada orang yang tidak bersalah. Sebagaimana asas hokum mengatakan “Lebih baik membebaskan seorang orang yang terbukti bersalah dari pada menghukum orang yang tidak terbukti bersalah”. Lebih lanjut “Yahya Harahap mengatakan, bahwa dalam Pasal 191 KUHAP dapat lagi diperluas dengan syarat-syarat yang diatur dalam KUHP atau Undang- Undang, hal-hal keadaan itu antara lain :
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 347-354
Universitas Sumatera Utara
1) Pasal 44; apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa “tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan : a. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau mental disorder sehinga akalnya tetap sebagai anak-anak atau b. Jiwanya tergangu karena penyakit seperti sakit gila, histeria, epilepsi, melankolik dan sebagainya 2) Pasal 45; perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun, terhadap pelaku tindak pidana yang belum cukup umurnya 16 tahun, hakim dapat menentukan : a. Memerintahkan supaya anak bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya “tanpa hukuman pidana”, atau b. Memerintahkan supaya anak yang bersalah tersebut diserahkan kepada Pemerintah “tanpa pidana apa pun” jika perbuatan yang dilakukannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 3) Pasal 48; orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa (overmacht) baik bersifat daya paksa batin atau fisik”. 28 Selanjutnya apabila ditelaah, terhadap putusan bebas itu sendiri, adanya perkembangan yang dibagi menjadi “dua bentuk yaitu : 1) Putusan bebas murni atau de “zulvere vrijspraak” di mana hakim membenarkan mengenai “feiten”-nya 2) Putusan bebas tidak murni atau de “onzulvere vrijspraak” yaitu batalnya
dakwaan
secara
terselebung
atau
perampasan
yang
menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan”. 29
Ad. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hukum atau Onslag van alte rechtsvervolging. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang mana berbunyi : 28
Ibid,. hal 347-348 Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 179 29
Universitas Sumatera Utara
“jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Terhadap Pasal 191 ayat (2) KUHAP dapat terjadi jika : 1) Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan. 2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secar sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Melainkan yurisdiksi hukum perdata, adat atau dagang. 3) Adanya alasan pemaaf (strafultsluitings-gronden/feit de’axcuse’) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-ground).
Ad.3. Putusan Pemidanaan atau veroordeling yang mana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu : “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana” “Putusan pemidanaan ini dapat terjadi jika memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1) Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan 2) Majelis hakim berpendapat bahwa ; a)
Putusan terdakwa sebagaimana didakwakan Jaksa/Penutut Umum dalam surat dakwakan telah terbuti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak kejahatan atau pelanggaran dan c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan (Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP)” 30
30
Ibid, hal. 194
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan
suatu
pemecahan
atas
permasalahan-
permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan, 31 dan dalam penulisan
skripsi
ini
digunakan
penelitian
hukum
kepustakaan
(Library research) yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang mencakup bahan sekunder dan bahan hukum tertier serta penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan cara wawancara ke berbagai narasumber yang terkait dengan topic yang dibahas.
2. Lokasi Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi Kotamadya Batam.
3. Sumber Data Dalam memperoleh data penelitian penulis membagi atas 2 bagian yaitu :
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 2007, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian lapangan yang berhubungan dengan obyek skripsi b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil mempelajari buku-buku, literatur-literatur, karangan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan
4. Teknik Pengumpulan Data a. Penelitian kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan literatur-literatur serta karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. b. Penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan penelitian pada instansi terkait dengan cara wawancara yaitu mengajukan daftar pertanyaan secara langsung kepada responden.
5. Metode Analisa Data Berdasarkan analisa data yang dikumpulkan melalui penelitian akan diolah dengan mengunkan metode sebagai berikut : Kualitatif, yaitu dengan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat urain teori-teori dan pendapat para sarjana untuk mendapatkan kesimpulan secara yuridis dan sistematik.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman terhadap skripsi ini, maka disusun dengan sistematika yang terdiri dari empat bab.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
Merupakan bab yang berisikan Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keasliaan penelitian, tinjauan pustaka tentang landasan teori yang memperkuat alasan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah yang terbagi dalam empat sub bab yaitu Pengertian Diversi, Pengertian Restroactive Justice, Teori Pengambilan Keputusan dan Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim, serta berisi tentang Metode penelitisn yaitu Jenis penelitian, Lokasi penelitian dan Sumber data
BAB II Merupakan bab yang berisikan konsep diversi dan restroactive justice dalam penegakan hukum menguraikan tentang sejarah diversi dan restroactive justice, prinsip dan tujuan diversi, prinsip dan tujuan restroactive justice, peran diversi dalam penegakan hukum, model restroactive justice BAB III Merupakan bab yang berisikan pelaksanaan putusan hakim terhadap konsep diversi dan restroactive justice menguraikan tentang, dasar putusan hakim, metode hakim dalam mengambil keputusan, dan menganalisis beberapa putusan anak kaitannya dengan konsep diversi dan restroactive justice BAB IV Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran yang dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan konsep diversi dan restroactive justice
Universitas Sumatera Utara