Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
“MEDIASI-ARBITRASE”UNTUK PENYELESAIAN SENGKETA TANAH Nia Kurniati Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Jl Dipati Ukur 35 Bandung E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Penyelesaiansengketa pertanahan yang bersifat keperdataan oleh pengadilan, dilakukan melalui proses gugatan berdasarkan ketentuan HIR/RBg. Sistem penyelesaian sengketa di pengadilan yang formalistik, dan adanya berbagai upaya hukum yang dapat ditempuh, mengakibatkan lamanya waktu penyelesaian sehingga biaya tidak terukur, dan produk penyelesaian sengketa berupa Putusan Pengadilan yang bersifat “kalah – menang”,menjadi alasan penggunaan pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Melalui penelitian hukum normatif dan mempergunakan metode analisis data secara kualitatif dan deskriptif analisis, diperoleh hasil bahwa sengketa pertanahan yang bersifat keperdataan penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan melalui proses silang atau “mediasi-arbitrase”. Nota kesepakatan yang dipersiapkan oleh mediator dalam proses “mediasi-arbitrase” secara khusus dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, akan mengikat para pihak pada proses arbitrase, yang akan menghasilkan putusan arbitrase yang final dan mengikat. Sehingga “mediasi-arbitrase” dapat menjadi sarana penyelesaian sengketa yang memenuhi asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan. Kelemahan daripada mediasi disempurnakan oleh arbitrase yang bersifat final dan mengikat dalam satu proses penyelesaian. Kata kunci: Sengketa Tanah, Mediasi-Arbitrase, Proses Silang ABSTRACT : Settlement of land disputes which is private can be conducted through the process of a lawsuit to the court based on the provisions in HIR / RBg. Dispute resolution systems in a formalistic court, resulting in the length of time of completion so that the costs are not measurable, and the products of the disputes resolution in the form of judicial decisions is “lose - win”. This is the reason the preferred usage of dispute resolution outside the court. Through the use of normative legal research and use the data analysis methods in qualitative and descriptive analysis, obtained the results that settlement of land disputes which is private may be conducted outside the courts through the cross process or “mediation-arbitration”. The Memorandum of Understanding that prepared by the mediator in the process of “mediation-arbitration” specifically created based on the agreement of the parties, will be binding on the parties to the arbitration process, which will produce an arbitration decision that is final and binding. So that “mediation-arbitration” can become a dispute settlement that fulfills the principle of legal certainty, the principle of expediency and fairness Key words: land disputes, Mediation-Arbitration, Cross Process. PENDAHULUAN
oleh pengadilan dilakukan berdasarkan ketentuan HIR/RBG, dan penyelesaian secara di luar pengadilan dengan menggunakan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa tanah menggunakan mekanisme ADR dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan berbagai ketentuan hukum lainnya seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang telah diganti oleh PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilandan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang telah diganti oleh Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Fenomena konflik dan sengketa tanah ini telah dan sedang berlangsung di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini tercermin dari jumlah perkara perdata yang diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2010 berjumlah 4.144 perkara, jumlah ini naik 6,26 % dari penerimaan perkara tahun 2009 yang berjumlah 3.900 perkara. Dari 4.144 perkara perdata yang diterima tersebut, jumlah terbesar (1824 perkara atau 44,26 %) merupakan perkara berkaitan dengan sengketa tanah (Gusrizal, Disertasi, 2013). Tanah-tanah yang sedang menjadi objek sengketa ini pada gilirannya tidak dapat dioptimalkan penggunaannya, dan tidak memberi manfaat secara ekonomi baik bagi pemegang haknya maupun bagi masyarakat pada umumnya sehingga tanah objek sengketa tidak dapat memenuhi fungsi sosialnya. Untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik dan sengketa tanah, yang bersifat perdata, penyelesaian 197
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
Penyelesaiansengketa oleh pengadilan dilakukan dengan proses gugatan ke pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg. Para pihak dalam sengketa mengharapkan pengadilan dapat memberi putusan yang adil, berkepastian hukum dan dapat memberi manfaat, meskipun diketahui bahwa putusan pengadilan bersifat “kalah-menang”. Sifat “kalah-menang” putusan pengadilan ini akan menjadikan pihak yang “kalah” menyimpan rasa dendam dan kebencian serta merasa disakiti, sehingga secara hakiki sengketa itu tidak pernah terselesaikan. Meskipun sesungguhnya dalam setiap perkara tidak ada yang menang, tetapi semua kalah, yang menang hanya satu yaitu penasihat hukum yang menerima bayaran dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga peristiwa “kalah – menang” dapat diungkapkan ke dalam peribahasa “kalah jadi abu, menang jadi arang” (Priyatna Abdurrasyid, 2002). Bagi pihak yang “kalah” tersedia upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi, upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung, dan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Adanya upaya-upaya hukum ini menimbulkan lamanya waktu penyelesaian sengketa oleh pengadilan disamping biaya tidak terukur, karena semakin panjang penyelesaiannya akan semakin tinggi biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh para pihak dalam sengketa. Bahkan seringkali terjadi, putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pun, tidak dapat dilaksanakan secara sukarela. Penolakan atas pelaksanaan putusan pengadilan oleh pihak yang “kalah” seringkali dilakukan dengan menggunakan pengerahan masa, yang pada akhirnya menimbulkan bentrokan antara masa yang menolak pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) dengan jajaran aparat yang mengawal eksekusi. Adanya kelemahan penyelesaian sengketa oleh pengadilan, menyebabkan para pihak berpaling menggunakan mekanisme ADR. Mengingat akan kelemahan dalam penyelesaian sengeketa oleh pengadilan, terdapat asas hukum dalam acara perdata yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perdata melalui putusan pengadilan merupakan ultimum remedium atau alternatif terakhir, artinya bahwa penyelesaian perkara perdata semaksimal mungkin harus diselesaikan dengan musyawarah kekeluargaan. Hal ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa perkara perdata pada umumnya terjadi antara pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan, hubungan sosial yang dekat, jika proses penyelesaian perkaranya melalui proses beracara dengan putusan pengadilan, akibatnya akan merusak hubungan kekeluargaan yang telah lama terbangun sebelumnya (Miswadi, 2005).Sebagai penerapan asas ultimum remedium,mekanisme ADR di dalam penyelesaian sengketa pertanahan telah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia.
Berdasarkan uraian pada latar belakang kiranya perlu konsep penyelesaian sengketa yang mampu menjadi solusi penyelesaian yang paripurna, yaitu penyelesaian yangterukur jangka waktunya, berkepastian hukum, bermanfaat bagi para pihak dan berkeadilan, tidak menempatkan para pihak berada dalam posisi kalah-menang. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakan penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan ? 2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa pertanahan yang berkepastian hukum, bermanfaat dan berkeadilan ? Tujuan 1. Mengetahui penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan 2. Menunjukan penyelesaian sengketa pertanahan yang berkepastian hukum, bermanfaat dan berkeadilan. Tinjauan Pustaka Istilah Konflik dan Sengketa Pertanahan Sebutan “konflik” dan “sengketa” sudah menjadi pembicaraan umum di dalam pergaulan hidup manusia. Istilah tersebut sering digunakan dalam kehidupan seharihari di dalam pergaulannya. Terdapat berbagai pandangan tentang makna konflik dan sengketa dikemukakan oleh para pakar. Di dalam istilah konflik dan sengketa terkandung pengertian adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi antara konflik dan sengketa keduanya dapat dibedakan (Rahmadi Usman, 2003). Konflik merupakan “pertentangan di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara para pihak yang bersangkutan (Rahmadi Usman, 2003). Dalam konflik terdapat sebuah situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, ini tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain (Rahmadi Usman, 2003). Sepanjang para pihak dapat menyelesaikan konfliknya dengan baik, maka tidak akan menjadi sengketa, namun apabila terjadi sebaliknya, para 198
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
Fenomena Konflik Pertanahan dan Sengketa Pertanahan Timbulnya sengketa hukum atas tanah, dapat bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Peristiwa konflik dan sengketa pertanahan telah dan sedang berlangsung di berbagain wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, berhadapan dengan konflik dan sengketa pertanahan, sebagai salah satu akibat dari berbagai kegiatan pembangunan yang sarat dengan muatan berbagai kepentingan yang saling bergesekan antara satu dengan lainnya. Sengketa pertanahan yang telah dan sedang berlangsung ini, mungkin juga akan terus berlangsung jika tidak dicarikan jalan keluarnya yang objektif (Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif, 2008). Beberapa jenis sengketa pertanahan dikemukakan oleh para pakar maupun praktisi sesuai dengan keadaan nyata yang terjadi, yaitu dikemukakan Maria S.W. Sumardjono, bahwa secara garis besar sengketa pertanahan dapat di pilah menjadi 5 (lima) kelompok yaitu (Maria S.W. Sumardjono, Mediasi, 2008).: a. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan; b. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; c. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan; d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e. sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya maka akan timbul sengketa (Maria S.W. Sumardjono, 2008). Dengan demikian di dalam setiap konflik terkandung potensi sengketa. Dikemukakan oleh Coser bahwa “ conflicts involve struggles between two or more people over values, or competition for status, power, or scarce resources(Moore, Cristopher W, 1996). Jika konflik telah nyata (manifest), maka hal itu disebut sengketa (Moore, Cristopher W, 1996). Sedangkan sengketa merupakan pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras atau inconsistent terhadap sesuatu yang benilai, sedangkan konflik merupakan pertentangan yang bersifat makro, misalnya pertentangan antara golongan atau kelompok (Lawrence M Friedman, alih bahasa, Wishnu Basuki2001). Dalam pada itu istilah sengketaatau dispute diartikan sebagai “ a disagreement between persons about their rights or their legal obligations to one another(Daniel Oran, J.D., Mark Tosti J.D., 2008). Penerapan makna konflik dan sengketa pada bidang pertanahan, melahirkan istilah konflik pertanahan dan sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan atau land dispute dapat dirumuskan sebagai “pertikaian atau perselisihan yang menjadikan (hak) tanah sebagai objek persengketaan“. Pelaksanaan hak (dan kewajiban) pada suatu hubungan hubungan hukum yang seringkali menjadi sumber timbulnya sengketa hukum atas tanah yaitu apabila hak seseorang yang diberikan oleh hukum materiil dilanggar, kepentingan seseorang yang dilindungi oleh hukum materiil diingkari (Sudikno Mertokusumo, 1993). Timbulnya sengketa atas tanah, adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyesuaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Rusmadi Murad, 1991). Sengketa tanah ini pada akhirnya akan menuju kepada tuntutan bahwa “seseorang” adalah yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa (Rusmadi Murad, 1991). Ditinjau dari sudut pandang pendekatan konflik, istilah sengketa tanah dikategorikan sebagai manifest conflict dan emerging conflicts (Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif, 2008). Dalam suatu sengketa, pihak-pihak sudah teridentifikasi, berhadapan langsung dalam suatu sengketa yang sedang berlangsung atau berkelanjutan dan tidak dicapai jalan keluar yang memuaskan kedua belah pihak (deadlock) (Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif, 2008).
Pada sisi lain dikemukakan oleh Boedi Harsono yang meninjau sengketa pertanahan secara yuridis praktis, yaitu sebagai berikut (Boedi Harsono, Makalah, 1996)sengketa mengenai bidang tanah mana yang dimaksudkan; a. sengketa mengenai batas-batas bidang tanah; b. sengketa mengenai luas bidang tanah; c. sengketa mengenai status tanahnya : tanah negara atau tanah hak; d. sengketa mengenai pemegang haknya; e. sengketa mengenai hak yang membebaninya; f. sengketa mengenai pemindahan haknya; g. sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapan luasnya untuk suatu proyek pemerintah atau swasta; h. sengketa mengenai pelepasan/pembebasan tanah; 199
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
i. sengketa mengenai pengosongan tanah; j. sengketa mengenai pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan lainnya; k. sengketa mengenai pembatalan haknya; l. sengketa mengenai pencabutan haknya; m. sengketa mengenai pemberian haknya; n. sengketa mengenai penerbitan sertifikatnya; o. sengketa mengenai alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan; dan sengketa-sengketa lainnya.
a. Masalah/sengketa perkebunan. b. Masalah penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat. c. Masalah yang berkaitan dengan putusan pengadilan oleh pihak yang kalah. d. Masalah permohonan pendaftaran yang berkaitan dengan tumpang tindih hak atau sengketa batas. e. Masalah berkaitan dengan pendudukan tanah dan/ atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanahtanah yang telah dibebaskan oleh pihak swasta untuk berbagai kegiatan. f. Masalah yang berkaitan dengan klaim sebagai tanah ulayat. g. Masalah yang berkaitan dengan tukar menukar tanah bengkok desa yang telah menjadi kelurahan. h. Masalah-masalah lainnya seperti sengketa dari pemanfaatan lahan tidur dan tanah terlantar.
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang berwenang di bidang pertanahan, membedakan tipe sengketa pertanahan yang sedang dan telah berlangsung ditanganinya, sebagai berikut (Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif, 2008)) : a. Sengketa di atas tanah perkebunan dengan tuntutan pembatalan Hak Guna Usaha, pengembalian tanah dan ganti kerugian, b. Sengketa di atas tanah yang termasuk kawasan hutan dengan tuntutan permohonan hak atas tanah yang masih terdaftar sebagai kawasan hutan atau tuntutan pengembalian tanah masyarakat adat, c. Sengketa di atas tanah yang telah dibebaskan oleh pengembang untuk perumahan, perkantoran, kawasan industri dan lain-lain dengan tuntutan pembatalan Hak Guna Bangunan atas nama pengembang, d. Sengketa di atas tanah objek landreform, e. Sengketa di atas tanah bekas tanah partikelir ex Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 dengan tuntutan pembatalan Hak Guna Bangunan pengembang atau pengembalian tanah, f. Sengketa di atas tanah bekas hak barat dengan tuntutan pembatalan hak asal konversi hak barat, g. Sengketa di atas tanah yang dikuasi oleh Angkatan Bersenjata (ABRI : TNI AD, TNI AL, TNI AU) dengan tuntutan pengembalian tanah dan pemberian hak kepada masyarakat, bila TNI memerlukannya agar memberikan ganti kerugian kepada masyarakat, h. Sengketa antara masyarakat dengan PT Kereta Api Indonesia (PTKAI) , PT Pelindo, dengan tuntutan pemberian hak atas tanah kepada masyarakat, i. Sengketa-sengketa lain terkait dengan pendaftaran tanah yang berasal dari tumpang tindih girik dan eigendom, tumpang tindih girik, dan konflik yang berasal dari pelaksanaan putusan pengadilan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengemukakan tipe sengketa pertanahan yang ruang lingkupnya lebih luas yang mencakup selain sengketa terhadap tanah sebagai bagian dari permukaan bumi, juga meliputi tubuh bumi di bawahnya dan air, serta ruang di atas nya, hingga lebih tepat dikatakan sebagai sengketa agraria, yaitu sebagai berikut (Maria S.W. Sumardjono,Tanah Dalam Perspektif, 2008) : a. Sengketa agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan diekploitasi secara massif, b. Sengketa agraria akibat program swasembada beras yang pada praktiknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah, serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk, urea dan sebagainya, c. Sengketa agraria di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan HGU maupun karena pembangunan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), d. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estat, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan lain-lain, e. Sengketa agraria akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan,
Berdasarkan sengketa yang telah dan sedang ditanganinya tersebut, BPN membedakan permasalahan tanah ke dalam 8 (delapan) kelompok besar yaitu (Maria S.W. Sumardjono,Tanah Dalam Perspektif, 2008) : 200
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
f. Sengketa agraria akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung dan sebaginya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan, g. Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria non tanah (perairan, udara, dan isi perut bumi) dan menggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelompok kecil orang atau perusahaan tertentu meskipun sumber-sumber agraria tersebut berada dalam kawasan yang selama ini menjadi bagian dari kawasan tenurial lokal dari masyarakat setempat atau kawasan bebas. Memperhatikan berbagai jenis dan tipe sengketa tersebut, dapat dikemukakan bahwa secara garis besar sengketa pertanahan dapat dibedakan ke dalam: a. Sengketa pertanahan yang bersifat keperdataan, yaitu sengketa yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan, baik oleh subjek hak maupun oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap objek haknya (tanah). Adapun yang menjadi pokok permasalahan berkaitan dengan keabsahan alas hak sebagai dasar penetapan suatu hak atas tanah yang sangat penting dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum. b. Sengketa pertanahan yang bersifat administratif, yaitu sengketa pertanahan yang timbul sebagai akibat adanya kesalahan atau kekeliruan penetapan hak oleh pejabat administrasi (BPN), yaitu : 1) Kekeliruan penerapan aturan, 2) Kekeliruan penetapan subjek hak, 3) Kekeliruan penetapan objek hak, 4) Kekeliruan penetapan status hak, 5) Masalah prioritas penerima hak tanah, 6) Kekeliruan penetapan letak, luas dan batas.
a. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah, yaitu merupakan kelaziman masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahim, memadukan berbagai luka seolah-olah tidak pernah terjadi perselisihan diantara mereka (Priyatna Abdurrasyid, 2002). Cara penyelesaian ini dalam bahasa hukum modern dikenal sebagai win-win solution, yang merupakan esensi tujuan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. b. Penyelesaian melalui badan peradilan, yaitu diajukan ke pengadilan umum secara perdata atau pidana jika sengketanya mengenai penyelesaian pemakaian tanah secara illegal yang dimungkinkan oleh UU No. 51/PRP/ 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya; atau melalui peradilan tata usaha negara. Pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun sudah bukan rahasia lagi, relatif banyak sengketa pertanahan yang diselesaikan melalui pengadilan dirasakan kurang efektif disamping memerlukan waktu yang relatif panjang dan biaya tidak terukur (Ari Sukanti Hutagalung, 2005). c. Melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution – ADR) berdasarkan UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data sekunder yang diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder dan tertier serta didukung pula oleh data primer yang diperoleh dari responden terkait. Analisis data dilakukan secara metode kualitatif dan deskriptif analisis.
Pihak-Pihak Dalam Konflik/ Sengketa Tanah Para pihak yang terlibat dalam konflik-sengketa pertanahan, meliputi : a. Individu/ Masyarakat/ masyarakat adat/ lembaga adat ; b. Badan/Badan hukum: Badan Usaha Milik Negara/ Daerah (BUMN/BUMD) seperti PT Perkebunan Negara, PT Kereta Api Indonesia. PT Pelindo, Perhutani, c. Instansi Pemerintah: Lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara, Kementerian, Non Kementerian, Pemerintah Pusat/Daerah.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan Secara teoretik UU tersebut telah meletakan dasar bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan diperkuat oleh UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 38 ayat (1) dan (2) telah memberikan landasan hukum bagi penyelesaian sengketa dengan menggunakan mekanisme Arbitrase dan ADR. Mekanisme penyelesaian sengketa secara ADR antara lain adalah Mediasi.Penerapan Mediasi pada penyelesaian sengketa pertanahan, telah
Seperti sengketa-sengketa pada umumnya di bidang lain, sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui 3 cara yaitu : 201
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
memperoleh legal standing sejak terbitnya Peraturan Presiden No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang di dalam susunan organisasinya dibentuk Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang mempunyai tugas dan fungsinya antara lain dalam “perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan” dan dalam “pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, dan fasilitasi lainnya” (Pasal 23 huruf a dan e). Dasar hukum penggunaan mediasi dalam penyelesaian konflik - sengketa pertanahan oleh BPN yaitu Keputusan BPN RI No.34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah diubah dengan Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kini telah diganti oleh Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, pejabat pada Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanakan kebijakan di bidang penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanahdiposisikan sebagai mediator dalam penyelesaian kasus konflik dan sengketa pertanahan. Arbitrase muncul sebagai sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekui. Arbitrase dengan sifatnya yang informal, tertutup, biaya terukur, dan efisien diharapkan mampu menyelesaikan sengketa secara lebih memenuhi harapan para pihak (Maria S.W Sumardjono, 2001). Penggunaan arbitrase bagi penyelesaian sengketa bidang pertanahan telah dilaksanakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dalam hal ini BANI telah menjatuhkan putusannya No.190/II/ARB-BANI/2004 tentang pembatalan perjanjian Service Apartemen Agreement Block P antara pemohon dan termohon yang berisi penyerahan atas Hak Pengelolaan (HPL) No.3/Desa Benoa seluas kurang lebih 12.575 m2 dari pemohon kepada termohon untuk dijadikan Hak Guna Bangunan yang selanjutnya tertera di atas Sertipikat No.709/Desa Benoa Kecamatan Kuta, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Propinsi Daerah Tingkat I Bali atas nama termohon seluas kurang lebih 12.575 m2. Majelis Arbitrase pada BANI, menyatakan pula bahwa putusan arbitrase adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak (Nia Kurniati, Disertasi, 2010). Penyelesaian sengketa tanah melalui Arbitrase dapat dipilih oleh para pihak dengan memuatnya
sebagai klausul dalam suatu perjanjian, atau dituangkan dalam perjanjian khusus setelah sengketa terjadi. Jika demikian dalam strukturnya maka dimungkinkan untuk membentuk arbitrase yang diadakan secara khusus atas persetujuan para pihak (ad hoc). Dengan menggunakan landasan hukum di dalam UU Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009 Pasal 38 ayat (1) dan (2) jo UU No.30 Tahun 1999 dimungkinkan cara arbitrase bagi penyelesaian sengketa bidang pertanahan. Didalam ketentuan hukum yang berlaku terdapat pembatasan tentang objek sengketa yang dapat diselesaikan oleh Arbitrase. Seperti disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahwa objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu “sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa “. Pasal 66 huruf b beserta penjelasannya telah mengatur objek sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase. Menurut pasal tersebut, hanya sengketa dalam ruang lingkup hukum perdagangan yang meliputi perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual yang dapat diselesaikan oleh arbitrase.Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut, dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase diberikan pengertian yang luas, yaitu sejauh objek sengketa tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Di dalam ruang lingkup kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya aspek bidang pertanahan hadir atau dengan kata lain kegiatan-kegiatan tersebut akan menggunakan tanah sebagai objek yang sama. Sebagai contoh : untuk melaksanakan kegiatan bidang penanaman modal secara langsung (direct investment), tanah merupakan salah satu faktor penting yang akan diperhitungkan oleh penanam modal (investor). Beragam bidang penanaman modal yang tidak bisa dilepaskan dengan kebutuhan tanah seperti bidang industri, pariwisata, permukiman. Perolehan hak atas tanah dan kepastian hukum kepemilikannya akan menjadi perhatian utama sebelum investor masuk menanamkan modalnya. Sejalan dengan itu, Pasal 5 Ayat (2) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Secara penafsiran argumentum a contratio, objek sengketa yang menjadi kewenangan lembaga arbitrase atau arbitrase adhoc untuk menyelesaikannya adalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan 202
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sepanjang itu penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Selanjutnya menurut Priyatna Abdurrasyid pada prinsipnya setiap masalah yang dapat diselesaikan dengan cara perdamaian, selama tidak dilarang oleh Undang-Undang, dapat diselesaikan melalui arbitrase. Hal ini adalah seiring dengan bunyi Pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan, bahwa “ sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian“. Dalam konteks penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan, ketika para pihak yang bersengketa menghendaki penyelesaian secara arbitrase dapat digunakan mekanisme arbitrase berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang dibuat secara khusus dengan menunjuk arbiter. Hal penting yang harus diperhatikan adalah : a. Penentuan sengketa pertanahan yang dapat diserahkan penyelesaiannya pada arbitrase. b. Penentuan tentang arbiter yang dapat memeuhi kualifikasinya yaitu: mampu bersikap independent, memahami peta permasalahan tanah. c. Memahami ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis berkenaan dengan masalah tanah. d. Memahami prinsip-prinsip hukum berkenaan dengan pertanahan. e. Penentuan tentang cara pengangkatan arbiter, tata cara dan syarat pengajuan sengketa serta pemberian keputusannya dan tata cara pelaksanaan keputusan arbitrase. f. Penentuan sifat putusan sebagai final and binding.
sehingga dalam penyelesaiannya tidak selalu dapat diupayakan penyelesaian cepat, serta memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan, maka pendapat dan pengalaman berbagai pihak terkait penyelesaian sengketa pertanahan dapat diakomodir dalam rangka mencari solusi penyelesaian untuk para pihak dalam sengketa sebagai perwujudan kepastian hukum penyelesaian sengketa. Akses memperoleh kepastian hukum dan keadilan atau yang lebih umum dikenal dengan istilah ”access to justice”, adalah “Kesempatan atau kemampuan setiap warga negara tanpa membedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.” Termasuk juga akses bagi masyarakat khususnya bagi kelompok miskin, buta hukum, dan tidak berpendidikan terhadap mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggungjawab) untuk memperoleh keadilan dalam sistem hukum positif melalui lembaga peradilan. Pada sisi lain terdapat pandangan mengenai keadilan, seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Keadilan mengandung prinsip persamaan (equality); di sisi lain, keadilan juga mengandung prinsip perbedaan (difference). Prinsip persamaan termaktub dalam kalimat “setiap warga negara bersamaan haknya di hadapan hukum”. Di sisi lain, prinsip perbedaan memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada warga negara yang secara ekonomi dan sosial berada dalam posisi kurang beruntung atau lemah. Dalam konteks ini, penulis bermaksud menggambarkan apakah hukum Indonesia sudah menyediakan akses bagi warga masyarakatnya untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapinya menyangkut tanah. Melalui pranata hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, diharapkan individu/badan hukum dapat melihat perwujudan kepastian hukum dan keadilan dalam sengketa di bidang pertanahan dengan menggunakan konsep “mediasi-arbitrase” atau “proses silang (hybrid)”. Mediasi-arbitrase merupakan metode penyelesaian sengketa dengan proses silang atau hybrid yang menggabungkan dua metode yaitu mediasi dengan arbitrase menjadi satu proses penyelesaian. Metode ini merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat sukarela dan tidak mengikat, yaitu sampai sengketa dipecahkan dan disetujui pada waktu mana perjanjian menjadi mengikat terhadap semua pihak yang terlibat (Priyatna Abdurrasyid, 2002). Penggunaan Metode Hybrid di Indonesia masih sangat baru, BANI sebagai
Dengan perluasan arti terhadap objek sengketa dalam arbitrase, memberi celah bagi penyelesaian sengketa pertanahan dengan arbitrase, antara lain terbukti pada penyelesaian sengketa pertanahan oleh BANI dengan Putusan BANI Nomor No.190/II/ARB-BANI/2004. Disamping itu pada sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah yang menimbulkan keresahan sosial yang timbul sebagai ekses penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan pada umumnya yang berkisar pada penentuan ganti rugi atas tanah, Arbitrase ad hoc dapat hadir. 2. Mediasi - Arbitrase (Hybrid) Bagi Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang Berkepastian Hukum, Bermanfaat dan Berkeadilan Beragam dan kompleksnya akar permasalahan yang mendasari timbulnya konflik-sengketa pertanahan, 203
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
salah satu Badan Arbitrase Nasional di Indonesia baru menggunakan aturan dan prosedurnya pada tahun 2006 walaupun sudah mengembangkannya pada tahun 2003. Mediasi telah diterapkan pada penyelesaian kasuskasus pertanahan dengan menggunakan pihak ketiga, untuk menyampaikan saran-saran yang dikehendaki oleh para pihak yang tidak mampu disampaikannya sendiri. Dalam mediasi, mediator memberikan penyelesaian yang inovatif melalui bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling menguntungkan (Priyatna Abdurrasyid, 2002). Kelebihan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah dilakukan oleh seorang yang benar-benar dipercaya kemampuannya untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.Namun dalam mediasi tidak terdapat kewajiban dari masingmasing pihak untukmenaati apa yang disarankan oleh mediator. Mediator dalam mediasi tidakmempunyai kekuasaan memaksakan suatu penyelesaian pada pihakpihak. Mediator membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampaiterdapat kesepakatan yang mengikat para pihak, selanjutkandituangkan dalam suatu perjanjian atau nota kesepakatan. Sejauh ini penerapan mediasi pertanahan telah digunakan dalam praktek oleh Badan Pertanahan Nasional dengan berpedoman pada Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.Penggunaan cara mediasi oleh BPN telah berhasil menyelesaikan berbagai sengketa pertanahan yang terjadi di beberapa kota. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa kasus yang berhasil diselesaikan dengan perdamaian : 1. Sengketa permohonan pemecahan sertipikat hak milik No.34/ Ramanuju, Kelurahan Citangkil, Kecamatan Citangkil Kota Cilegon, yang dilaporkan kepada Kantor Pertanahan Kota Cilegon melalui Laporan Pengaduan No. LP/06/V/2007/ SKP tertanggal 22 Mei 2007. Penyelesaian secara damai dimuat dalam Berita Acara Mediasi Nomor: BAM/Juli/2007/PPSKP (Maris S.W. Sumardjono, Mediasi, 2008). 2. Kasus tanah Rancamaya Bogor yaitu tanah pertanian seluas kurang lebih 251 hektar yang sejak tahun1949 telah dikuasai masyarakat petani, yang ternyata di atas tanah para petani telah disertipikatkan atas nama PT Suryamas Duta Makmur (PTSDM) dengan Hak Guna Bangunan dengan SK No.612/HGB/BPN/91 untuk pembangunan perumahan mewah dan lapangan golf, tanpa setahu mereka. Terjadi penolakan oleh para petani atas pembuldozeran secara paksa. Kasus ini telah selesai dengan perdamaian yang ditengahi oleh
Komnas HAM (Maria S.W. Sumardjono, Mediasi, 2008). Dalam beberapa kasus sengketa pertanahan yang diselesaikan dengan cara mediasi tidak berhasil mencapai perdamaian. Sebagai contoh dapat dikemukakan yaitu : a. Perkara adat No.04/KAN-PA/NM.8.SK/I/2014/PDG dengan Pendakwa Mirsan Selaku Mamak Kepala waris Kaum Suku Tanjung Koto berlawanan dengan Terdakwa Yoserizal, CS selaku mamak Kepala Waris Kaum Suku Jambak. Kerapatan Adat Nagari (KAN) Ninik Mamak Nan Salapan Suku Nagari Padang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara adat pada tingkat pertama dan terakhir telah berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa namun TIDAK BERHASIL (Putusan Pengadilan Negeri Padang, 2014). b. Kasus Tanah adat Masyarakat Jelmu Sibak, Bentian Besar Kutai kalimantan, dalam sengketa tanah adat yang melibatkan suku Dayak Bentian dengan perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPH/ HPHTI). Konflik-sengketa adat ini bersifat struktural karena melibatkan anggota suku Dayak Bentian dengan perusahaan HPH/HPHTI dan HPHTITrans serta instansi terkait sebagai pemberi izin berlangsungnya kegiatan perusahaan tersebut. Cara Perdamaian yang ditempuh dengan memberi tawaran untuk memindahkan lokasi usaha, demikian juga konsiliasi tidak dapat dilanjutkan sehingga usaha tersebut gagal (Maria Sumardjono, Mediasi, 2008). Penerapan musyawarah untuk perdamaian (mediasi) sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dilakukan oleh lembaga adat yang dikenal dengan sebutan Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako yang terjadi pada masyarakat adat Minangkabau. Namun tidak semua upaya mediasi yang dilakukan terhadap upaya penyelesaian sengketa pertanahan dapat dicapai perdamaian. Pada beberapa penyelesaian sengketa pertanahan (tanah Pusako) di Sumatera Barat oleh KAN berhasil dicapai perdamaian, akan tetapi para pihak seringkali mengingkari kesepakatan yang telah dicapai dalam upaya perdamaian, akibatnya keputusan KAN tidak dipatuhi karena dirasakan tidak memuaskan satu pihak atau kedua belah pihak. Dengan demikian tidak selamanya mediasi mampu memberi penyelesaian perdamaian dan para pihak mematuhi kesepakatan dalam perdamaian. Pentaatan oleh para pihak atas kesepakatan yang telah diambil hanya dilandasi kekuatan moral semata dan tidak mengikat. 204
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
Berbeda dari penyelesaian melalui mediasi, penyelesaian sengketa melalui arbitrase berarti para pihak menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (arbiter) untuk memperoleh suatu putusan penyelesaian sengketa yang final dan mengikat secara hukum yang bisa dimintakan pelaksanaan putusannya kepada Pengadilan jika salah satu pihak ingkar. Berperkara melalui arbitrase ternyata tidak selalu murah dan cepat, disamping mempunyai banyak kelebihan yang membawa para pihak pada posisi yang menguntungkan; dalam beberapa kasus yang pernah terjadi menunjukan bahwa berperkara melalui arbitrase justru rumit dan berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang juga biaya yang relatif lebih mahal (http://repository.unhas.ac.id/ handle/123456789/13835). Kekurangan daripada mediasi ini dapat diatasi dengan menggabungkan kedua metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu mediasi dan arbitrase ke dalam satu proses menjadi Med-Arb. Pada Med-Arb terdapat dua bentuk yaitu “mediator berfungsi sebagai arbiter pada proses arbitrase”, dan bentuk kedua yaitu bentuk dasar dari Med-Arb yaitu “proses mediasi penuh dengan proses arbitrase penuh bila proses mediasi gagal menyelesaikan keseluruhan sengketa”. Mediasi-arbitrase (med-arb) mengambil kelebihan masing-masing yangdimiliki oleh mediasi dan arbitrase dan mengabungkannya kedalam satu prosespenyelesaian. Med-Arb di buat untuk membawa keuntungan yang dimiliki mediasi dan arbitrase kedalam satu forum, Med-Arb menggabungkan dua metode penyelesaian sengketa yaitu “mediasi dan arbitrase dalam sebuah proses gabungan”, pertama menggunakan mediasi dan lalu menggunakan arbitrase yang formal untuk memutus persoalan yang tidak terselesaikan pada proses mediasi. Dengan kata lain jika dalam proses mediasi usahanya terhenti dan tidak sampai mencapai suatu tahapan yang disepakati dan akhirnya mereka tidak dapat bersepakat lebih jauh lagi, para pihak akan melanjutkan ke proses arbitrase yang dapat menghasilkan suatu keputusan yang final dan mengikat.Pihak ketiga yang sebelumnya bertindak sebagai mediator dapat menjadi arbiter (bila memenuhi kualifikasi) pada proses arbitrase dan dengan segera memberikan keputusan arbitrase. Jika para pihak setuju untuk melanjutkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka mediator kemudian akan membuat Nota Kesepakatan (memorandum of argreement) yang menyatakan mereka menyerahkan sengketa mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Dengan catatan dalam nota tersebut tertuang juga hasil yang telah dicapai dalam proses mediasi dan akan dipatuhi oleh para pihak. Berbeda dengan nota kesepakatan pada proses mediasi
tradisional yang tidak mengikat, nota kesepakatan yang telah disiapkan oleh mediator dalam proses med-arb secara khusus dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, sehingga akan mengikat mereka nanti pada proses arbitrase (Zulkarnaen Hamka, Skripsi, 2014). Terdapat dua bentuk Med-Arb, bentuk yang pertama mediator juga berfungsi sebagai arbiter pada proses arbitrase, dan bentuk kedua adalah bentuk dasar dari Med-Arb yaitu proses mediasi penuh dengan proses arbitrase penuh bila proses mediasi gagal menyelesaikan keseluruhan sengketa (Zulkarnaen Hamka, Skripsi, 2014). Dalam bentuk mediator juga berfungsi sebagai arbiter pada proses arbitrase, mediator dan arbiter adalah orang yang sama, keuntungannya adalah agar para pihak dapat menyampaikan temuan-temuan yang mungkin belum disampaikan pada proses mediasi atau informasiinformasi lain yang ingin disampaikan para pihak kepada arbiter untuk membantu pembuktian terhadap masalah yang belum diselesaikan.Dalam bentuk Med-Arb ini, disarankan untuk membuat nota kesepakatan untuk masalah yang sudah terselesaikan pada tahap mediasi tanpa memberitahukan sebelumnya kepada para pihak tentang bagaimana arbiter akan menyelesaikan sebagian masalah yang tidak terselesaikan tersebut, karena ada kemungkinan salah satu pihak yang kecewa terhadap keputusan dari arbitrase meninggalkan proses Med-Arb tanpa menandatangani nota kesepakatan (Zulkarnaen Hamka, Skripsi, 2014). Dalam bentuk Med-Arb, mediator dan arbiter adalah pihak yangberbeda, arbiter dapat dipilih oleh para pihak sesuai dengan spesialisasi atau kemampuannya sesuai dengan sengketa yang sedang mereka hadapi. Secara tradisional, dalam sebuah kontrak pada bagian penyelesaian sengketa, mediasi ditentukan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang utama dan arbitrase digunakan bila dalam proses mediasi ada satu atau lebih masalah belum terselesaikan.Hasil akhir dari mediasi (Nota Kesepakatan) dilaksanakan dan ditandatangani olehpara pihak yang merefleksikan bagian-bagian yang telah menjadi keputusan yang berhasil dan dianggap telah selesai. Hanya bagian yang tidak selesai yang dibawa kearbitrase sesuai perjanjian Med-Arb. Dalam sengketa yang lebih besar, proses Med-Arb dimulai dengan proses mediasi standard dan diikuti dengan arbitrase yang final yang mungkin dipimpin oleh seorang arbiter atau mungkin dipimpin oleh tiga orang panel arbitrase (Zulkarnaen Hamka, Skripsi, 2014). Penerapan metode Med-Arb terhadap kasus-kasus sengketa pertanahan yang sedang berlangsung sangat dimungkinkan karena telah ada payung hukum sebagai landasannya, yaitu UU Kekuasaan Kehakiman No.48 205
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
Tahun 2009 Pasal 38 ayat (1), (2), jo UU Arbitrase dan ADR No.30 Tahun 1999 Pasal 5 (1), (2), Pasal 66 huruf b.UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 38 ayat (1), ayat (2) berbunyi “Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman”. “Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelesaian di luar pengadilan”. UU No.30 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (1berbunyi “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Ayat (2) berbunyi “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”. Pasal 66 huruf b dan Penjelasannya menyebut tentang ruang lingkup hukum perdagangan sebagai objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase, yaitu meliputi kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Secara teoretik, metode Med-Arb dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa sepanjang didasari kesepakatan diantara para pihak untuk menyelesaikan perselisihannya kepada pihak ketiga yang independen dan dipercaya mampu menyelesaikan perselisihan diantara para pihak, dan para pihak memiliki private autonomy untuk menyatakan kehendaknya untuk menyelesaikan perselisihannya dengan metode Med-Arb. Adanya kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya menurut teori kehendak atau teori hukum kontrak yang berasal dari prinsip private autonomy, menimbulkan kosekuensi pihak yang menyatakan kehendaknya bebas mengungkapkan kemauannya. Kemauan para pihak yang dituangkan dalam nota kesepakatan sebagai sebuah kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak, memiliki 2 dimensi yaitu freedom from contract dan freedom to contract (seseorang tidak mempunyai kewajiban kontraktual jika kewajiban tersebut tidak didasarkan pada kesepakatan diantara mereka dan bahwa seseorang akan memiliki kewenangan yang didasarkan pada kesepakatan dalam hubungan hukum mereka) (Randy E. Barnet, dalam Ridwan Khairandy, Pasca Sarjana Universitas Indonesia). Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum akibat pengaruh doktrin negara kesejahteraan (walfare state), paradigma kebebasan berkontrak bergeser ke arah kepatutan. Pembatasan kebebasan berkontrak dilakukan
baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Dalam sistem hukum modern saat ini, kebebasan berkontrak tidak hanya dibatasi oleh larangan-larangan yang diciptakan peraturan perundang-undangan (statutory prohibition) tetapi juga oleh extralegal standard yang berkaitan dengan agama moral dan keadilan (Reinhard Zimmerman dalam Khairandy, Pascasarjana Universitas Indonesia). Dengan menggunakan prinsip kebebasan berkontrak, penggunaan Med-Arb bukan suatu keniscayaan untuk diterapkan bagi penyelesaian sengketa bidang pertanahan. Keuntungan Mediasi-Arbitrase atau Med-Arb bagi penyelesaian sengketa pertanahan yaitu : 1. Memberikan putusan yang final : Metode ini menjanjikan kepada para pihak sebuah hasil yang final dan mengikat terhadap masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui mediasi. Sifat utama dari Med-Arb adalah pada kepastian dari putusannya yang final, yang merupakan sifat dasar dari arbitrase, Med-Arbiter memiliki kewenangan penuh untuk membuat perjanjian yang final dan mengikat, dan kewenangan ini tidak dimiliki oleh mediator (http:// repository.unhas.ac.id/handle/123456789/13835). 2. Biaya terukur dan lebih efektif dari arbitrasi atau pengadilan: Metode Med-Arb dapat menghemat waktu dan uang karena mediasi dan arbitrase digabungkan dalam satu tahapan yang berurutan dan terpisah. Pertama, bila pada tahapan mediasi tidak berhasil mendapatkan kesepakatan, maka para pihak dan pengacara mereka tidak perlu mencari pihak lain yang tentu tidak familiar dengan sengketa tersebut dan mereka juga dapat mempersiapkan diri untuk proses arbitrase. Kedua, masalah dalam sengketa sering di batasi selama tahapan mediasi dan kemajuan dari prosesnya dapat langsung di bawa ke proses arbitrase. Putusan arbitrase hanya menyelesaikan sengketa yang tidak diselesaikan melalui mediasi, jadi apabila terdapat sebagian sengketa yang telah disepakati oleh para pihak dengan nota kesepakatan, maka tidak akandiselesaikan lagi melalui arbitrase (http:// repository.unhas.ac.id/handle/123456789/13835). 3. Flexibilitas dalam proses dapat membantu menyelesaikan sengketa : Keluwesan yang melekat pada med-arb memungkinkan prosesnya dapat dibuat cocok untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi. Meskipun belum tentu semua tipe sengketa pertanahan akan dapat diselesaikan dengan cara Med-Arb, akan tetapi konsep Med-Arb, sedikitnya dapat memberi sumbangan bagi penyelesaian sengketa tanah yang 206
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 3 Nopember 2016 : 197 - 208
memuat asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, dan asas keadilan bagi para pihak dalam sengketa.
Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Penerbit Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana,
SIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Sengketa tanah yang merupakan perkara perdata, penyelesaiannya dapat dilakukan selain di pengadilan juga di luar pengadilan dengan menggunakan cara mediasi, atau arbitrase, atau proses silang/MediasiArbitrase ; dapat dilakukan di luar pengadilan melalui proses silang atau “mediasi-arbitrase. 2. Nota kesepakatan yang dipersiapkan oleh mediator dalam proses med-arb secara khusus dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak akan mengikat para pihak pada proses arbitrase sebagai putusan arbitrase yang final dan mengikat,menjadi sarana penyelesaian sengketa/konflik yang memenuhi asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan.
Lawrence M Friedman, 2001. American Law an Introduction, Second edition, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, alih bahasa, Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa, Cet. Pertama. Maria S.W. 2001. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ---------2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi dan Sosial Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ---------2008. Mediasi Sengketa Tanah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Moore, Cristopher W.1996. The Mediation Process Practical Strategies for Resolving Conflict, Jossey – San Fransisco: Bass Publishers.
UCAPAN TERIMA KASIH
Miswadi 2005. Hukum Acara Perdata, STAIN Press, Bukit Tinggi.
Disampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kemenristek Ditjen Dikti, Simlitabmas, Rektor Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Hukum Unpad, dan Pengelola Jurnal Sosiohumaniora Universitas Padjadjaran yang terakreditasi Nasional, besar harapan saya Artikel ini dapat dimuat dalam penerbitan Jurnal Sosiohumaniora pada edisi dan tahun 2017 yang akan datang.
Nia Kurniati. 2010. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Bidang Penanaman Modal Melalui Arbitrase Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Priyatna Abdurrasyid,, 2002. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit PT Fikahati Aneska – BANI.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmadi Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
Ari S Hutagalung, 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Penerbit Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI).
Rusmadi Murad. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Penerbit Alumni.
Boedi Harsono. 1996. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Sesuai Ketentuan-Ketentuan dalam UUPA, makalah disampaikan dalam Seminar HUT UUPA XXXVI, 1996, yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala BPN di Jakarta 22 Oktober.
Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogjakarta: Liberty. Zulkarnaen Hamka, 2014. Mediasi-Arbitrase dan ArbitrasiMediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional, Makassar: Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin.
Daniel Oran, J.D., Mark Tosti J.D. 2008. Oran’s Dictionary of The Law, Fourth edition, Thomson Delmar Learning, New York: Clinton Park.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/13835 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Gusrizal, 2013. Pelaksanaan Eksekusi Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dalam Sistem Peradilan Perdata Melalui Proses Mediasi,
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
207
“Mediasi-Arbitrase”untuk Penyelesaian Sengketa Tanah Nia Kurniati,
PERMA No.1 Tahun 2016 tentang Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
208