Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
DIFERENSIASI PELAKSANAAN PEMBEBASAN DAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA Dian Cahayani Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected]
Abstract Land is a vital requirement of human life. The land issue is a very touching justice due to the nature of land is rare and limited, and is a basic need of every human being. Is not always easy to design a land policy that is perceived as fair to all parties. According to the legal provisions in force in Indonesia, the government is given the authority to take over people’s land for development purposes, but that decision should not be made arbitrarily. There are two ways in which the government to perform retrieval of land owned by citizens, which means liberation or release and revocation way land rights. There are differences in the liberation and revocation rights to land either on the legal basis and the procedure and its completion. Keywords: Liberation of rights, revocation of rights, the right to land. Abstrak Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat vital. Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak. Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Pemerintah memang diberikan wewenang untuk mengambil alih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Terdapat dua cara yang ditempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan atau pelepasan dan cara pencabutan hak atas tanah. Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasar hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaiannya. Kata Kunci: Pembebasan hak, Pencabutan hak, Hak atas tanah.
A. Pendahuluan Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat vital. Tanah adalah hak dasar setiap orang yang dijamin dalam UUD 1945. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Tanah merupakan salah satu sumber daya 56
yang menjadi kebutuhan semua orang, badan hukum, dan atau sektor-sektor pembangunan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dari bunyi pasal tersebut, terkandung makna bahwa bumi, termasuk di dalamnya tanah dikuasai oleh negara, konsep dikuasai oleh negara artinya negara yang mengatur. Negaralah
Dian Cahayani. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah ...
yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan pertanahan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar (Maria S.W. Sumardjono, 2007: 19). Hal i nil ah yang m enjadi am anat terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada saat diberlakukannya peraturan ini sejak tanggal 24 September 1960, maka seluruh wilayah Indonesia, yang sederhana, mudah, modern serta memihak pada rakyat Indonesia dan hakikatnya “UUPA harus pula meletakkan dasar-dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagian, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan Negara” (Hasan Wargakusumah, 1992: 9-10). Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberiganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum. Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum di Indonesia diderivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara. Dan dalam perkecualian untuk kepentingan umum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Negara tidak memiliki semua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut. Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis akan membahas tentang perbedaan atau diferensiasi pelaksanaan pembebasan dan pencabutan hak atas tanah di Indonesia. Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Pemerintah memang diberikan wewenang untuk mengambil alih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.” Jadi pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan. Dan juga menurut hukum yang berlaku di Indonesia ada dua cara yang ditempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan atau
57
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening) (S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D, 2000: 164). Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya didasarkan pada musyawarah antara kedua pihak. Pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya. Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasar hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaiannya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961. Pembebasan tanah diatur di dalam di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
B. Pembebasan Hak Atas Tanah Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya didasarkan pada musyawarah antara kedua pihak. Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat dijumpai aturannya di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk
58
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal. Ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No. 65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Boedi Harsono menyatakan bahwa dengan pelepasan hak atas tanah tidak berarti hak atas tanah berpindah dari pemegang haknya kepada pihak lain yang memberikan kerugian, melainkan hak atas tanah tersebut hapus dan kembali menjadi tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Pelepasan hak atas tanah merupakan salah satu faktor penyebab hapusnya hak atas tanah dan bukan pemindahan hak atas tanah (Boedi Harsono, 1990). Pembebasan/pelepasan hak atas tanah dilakukan untuk pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Kepentingan umum tersebut meliputi (Pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006): 1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/
Dian Cahayani. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah ...
air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; Tempat pembuangan sampah; Cagar alam dan cagar budaya; Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur menerbitkan keputusan penetapan lokasi. 3. S e t e l a h d i t e r i m a n y a k e p u t u s a n penetapan lokasi, instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari wajib mempublikasikan rencana pelaksanaan pembangunan unt uk kepent ingan umum kepada masyarakat, dengan cara sosialisasi. 4. Dalam hal rencana pembangunan diterima masyarakat, maka dibentuklah Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota
C. Prosedur Pembebasan Hak Atas Tanah
atas penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah dan/atau bangunan dan/ atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. 5. Panitia pengadaan tanah kemudian melakukan penilaian dengan menunjuk Lembaga Penilaian Harga Tanah untuk menilai harga tanah. Dalam melaksanakan penilaian harga tanah panitia harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak-hak atas tanah dan atau benda/tanaman yang ada diatasnya berdasarkan harga umum setempat. Musyawarah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi berpedoman pada: a. kesepakatan para pihak; b. hasil penilaian; dan c. tenggat waktu penyelesaian proyek pembangunan. 6. Keputusan panitia pengadaan tanah mengenai besar atau bentuknya ganti rugi, kemudian disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota panitia yang turut mengambil keputusan. 7. Setelah menerima keputusan dari panitia pengadaan tanah, instansi dan para pemegang hak atas tanah yang bersangkutan supaya memberitahukan kepada panitia pengadaan tanah tentang persetujuan atau penolakannya, mengenai
2. 3. 4.
5. 6. 7.
Prosedur Pembebasan/pelepasan hak atas tanah diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu: 1. Tahap perencanaan, untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat 1 (satu) tahun sebelumnya, ya ng m en gur a i k an : m ak s ud da n tujuan pembangunan; letak dan lokasi pembangunan; luasan tanah yang diperlukan; sumber pendanaan; analisis kelayakan lingkungan perencanaan pem bangunan, te rm as uk da mpa k pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendaliannya. 2. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur. Setelah permohonan diterima, Bupati/Walikota atau Gubernur mengkaji kesesuaian rencana pembangunan didasarkan atas rekomendasi instansi terkait dan Kantor Pertanahan Kabupaten/ K ot a . B er d as a r k an r ek om en da s i
59
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
besar atau bentuk ganti rugi yang telah ditetapkan. Ganti rugi selain dalam bentuk uang juga diberikan dalam bentuk: a. Tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali, sesuai yang dikehendaki pemilik dan disepakati instansi pemerintah yang memerlukan tanah; b. Tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan, bagi harta benda wakaf; c. Recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakant setempat, untuk tanah ulayat; atau d. Sesuai keputusan pejabat yang berwenang, untuk tanah Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 8. Apabila telah tercapai kata sepakat mengenai besar atau bentuknya ganti rugi, maka dilakukan pembayaran ganti rugi secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak atas tanah. 9. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat tanda terima pembayaran ganti rugi; yang berhak atas ganti rugi membuat surat pernyataan pelepasan/ pe nyer a han hak a t as t a nah at au penyerahan tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah; Panitia Pengadaan Tanah membuat Berita Acara Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah atau Penyerahan Tanah. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota mencatat hapusnya hak atas tanah yang dilepaskan atau diserahkan pada buku tanah, sertipikat, dan daftar umum pendaftaran tanah lainnya.
60
D. Pencabutan Hak Atas Tanah Pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah kepunyaan suatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak-hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi suatu kewajiban hukum (Abdurrahman, 1978: 38). Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, kehakiman dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan bendabenda yang ada di atasnya.” Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UndangUndang nomor 20 tahun 1961 (Supriadi, 2007: 68). Dan dasar pokok dari Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah itu adalah ketentuan pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Dian Cahayani. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah ...
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang” Menurut ketentuan hukum yang berlaku berkenaan dengan pencabutan hak ini maka untuk terlaksananya suatu pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan yaitu: (Abdurrahman, 1983: 79) 1. Pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendakinya. Unsur kepentingan umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam pengertian kepentingan umum ini adalah kepentingan bangsa, Negara, Kepentingan bersama dari rakyat, serta kepentingan dari pembangunan. 2. Pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang menurut tata cara yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Untuk keperluan itu pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 20 tahun 1961 dan berbagai ketentuan pelaksananya guna mengatur acara pencabutan hak atas tanah tersebut. 3. Pencabutan hak atas tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Si empunya hak atas tanah berhak atas pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak berdasarkan atas harga yang pantas. Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah (S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D, 2000: 166). Menurut Undang-undang No. 20 tahun 1961, Pencabutan Hak Atas Tanah hanya boleh dilakukan: (Efendi Perangin, 1989: 39)
1. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa, Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat demikian pula kepentingan pembangunan. 2. Sebagaimana cara yang terakhir untuk memperoleh tanah yang diperlukan, yaitu jika musyawarah dengan yang empunya tidak membawa hasil yang diharapkan. Syarat pertama yang harus diindahkan dalam melaksanakan pencabutan hak harus dilakukan benar-benar untuk kepentingan umum. Pasal 18 UUPA yang merupakan dasar untuk mengadakan tindakan ini menyebutkan adanya kepentingan umum sebagai dasar pencabutan hak dan memasukkan kedalamnya kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, kemudian oleh Undang-Undang No. 20 tahun 1961 ditambahkan pula dengan memasukan ke dalamnya adanya kepentingan pembangunan. Oleh karena itu menganut ketentuan tersebut di atas maka pengertian kepentingan umum adalah meliputi: (Efendi Perangin, 1989: 39) 1. Kepentingan bangsa; 2. Kepentingan Negara; 3. Kepentingan bersama dari rakyat; 4. Kepentingan pembangunan.
E. Prosedur Pencabutan Hak Atas Tanah Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) 1. Dengan acara biasa Dalam acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan tanah) menyampaikan permohonan kepada
61
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Presiden RI dengan perantara Menteri Dalam negeri/Dirjen Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan syaratsyarat seperti ditentukan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 20 tahun 1961 yaitu: a. Rencana peruntukannya dan alasanalasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu. b. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan. c. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. 2. Dengan acara luar biasa Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang memungkinkan dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perlukan tempat penampungan segera. (pasal 6 Undang-Undang No. 20 tahun 1961): a. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, m aka dal am keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran ganti kerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
62
b. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan P residen mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu. c. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.
F. Penutup Terdapat Diferensiasi pelaksanaan pembebasan dengan pencabutan hak atas tanah pembebasan hak atas tanah dilakukan sebagai tahap pengadaan tanah yang dilakukan untuk pembangunan untuk kepentingan umum, melibatkan pemegang hak atas tanah untuk diajak bermusyawarah agar ditemukan kata sepakat. Kesepakatan tersebut untuk menentukan besaran ganti rugi dalam bentuk uang atau selain uang. Pencabutan hak atas tanah dilakukan apabila dalam prosedur pembebasan hak atas tanah tidak ditemukan kata sepakat dalam musyawarah yaitu apabila dengan proses pembebasan/pelepasan hak atas tanah tidak berhasil. Pihak-pihak yang dimohonkan dalam pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah Bupati/Walikota atau Gubernur khusus untuk DKI Jakarta, lalu dibentuklah Panitia Pengadaan Tanah, intansi yang terkait adalah Kantor Pertanahan.
Dian Cahayani. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah ...
Sedangkan pada pencabutan hak atas tanah, pihak-pihak yang dimohonkan adalah Presiden Republik Indonesia dengan perantara Menteri Dalam Negeri atau Direktorat Jenderal Agraria. Prosedur pembebasan hak atas tanah adalah dimulai dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan; Instansi pemerintah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur; setelah keputusan penetapan lokasi diterima, instansi pemerintah mempublikasikan rencana pelaksanaan pembangunan kepada masyarakat; pembentukan Panitia Pengadaan Tanah oleh Bupati/Walikota atau Gubernur atas penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah; panitia pengadaan tanah menunjuk Lembaga Penilaian Harga Tanah untuk menilai harga tanah sebagai penafsiran besarnya ganti rugi, dan bermusyawarah dengan para pemegang hak atas tanah; keputusan mengenai ganti rugi disampaikan kepada instansi; apabila telah tercapai kata sepakat mengenai ganti rugi, dilakukan pembayaran ganti rugi secara langsung oleh instansi kepada para pemegang hak atas tanah; Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat tanda terima pembayaran ganti rugi; yang berhak atas ganti rugi membuat surat pernyataan pelepasan hak atas tanah; Panitia Pengadaan Tanah membuat Berita Acara Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah; Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mencatat hapusnya hak atas tanah yang dilepaskan pada buku tanah, sertipikat, dan daftar umum pendaftaran tanah lainnya. Prosedur pencabutan hak atas tanah adalah dengan acara biasa: pihak pemohon menyampaikan permohonan kepada Presiden RI dengan perantara Menteri Dalam negeri/ Dirjen Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu; dan dengan acara luar biasa: dalam keadaan
mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan dengan acara luar biasa yang memungkinkan dilakukan secara lebih cepat. Misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana diperlukan tempat penampungan segera. Dalam melakukan pembebasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah hendaknya Pemerintah melakukannya dengan bijak, dengan alasan yang tepat, dan memang sesuai dengan kepentingan umum, bukan hanya karena kepentingan pemerintah sendiri ataupun swasta. Apabila tidak dilakukan secara bijak, maka dapat memicu kemarahan dan kerusuhan penduduk. Diperlukan pengganti kerugian yang sepadan dengan hak atas tanah yang dimiliki penduduk. Besar dan bentuk ganti rugi supaya disesuaikan dengan kebutuhan yang diinginkan penduduk seperti kebutuhan yang dimiliki di atas tanahnya. Agar tercipta keadilan dan kedamaian dalam bermasyarakat.
Daftar Pustaka Abdurrahman. 1978. “Masalah Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia.” Bandung: Alumni. ____________. 1983. “Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan Di Indonesia”. Bandung: Alumni. Boedi Harsono. 1990. “Aspek Yuridis Penyediaan Tanah.” Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 2 Tahun XX. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Efendi Perangin. 1989. “Hukum Agraria Indonesia.” Jakarta: Rajawali. Hasan Wargakusumah. 1992. “Hukum Agraria I Buku Panduan Mahasiswa,” Cet.1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
63
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Maria S.W. Sumardjono. 2007. “Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi.” Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
S. F. Marbun dan Moh. Mahfud MD. 2000. “Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara.” Yogyakarta: Liberty.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
64
Supriadi. 2007. “Hukum Agraria.” Jakarta: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.