BAB VI KEBIJAKSANAAN DALAM HAL PENCABUTAN HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA
Bahwa bagi rakyat dan masyarakat Indonesia Hak atas ta-nah dan bendabenda yang ada di atasnya merupakan hubungan hukum yang penting, sehingga apabila benar-benar diperlukan, pencabutan hak tersebut untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat serta kepentingan pembangunan, perlu diadakan dengan hati-hati, dan dengan cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Menurut Instruksi Presiden, bahwa sesuatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : 1. Kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau 2. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau 3. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau 4. Kepentingan pembangunan. Sehubungan dengan pencabutan Hak atas tanah ini, pasal 18 UUPA dengan tegas dan jelas menyatakan tentang jaminan-jaminan bagi yang empunya (pemegang Hak), yaitu bahwa pencabutan Hak harus disertai pemberian ganti rugi yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undangundang.
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
1
44
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Sejalan dengan ketentuan yang terkandung dalam pasal 18 UUPA tersebut, lahir Undang-undang No. 20 Tahun 1961, tentang : Pencabutan Hak-hak atas tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, yang kemudian dengan Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1973 tentang : Pelaksanaan pencabutan Hak-hak atas tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, terdapat beberapa perbaikan di dalamnya, yang dapat anda ketahui pada uraian-uraian selanjutnya. Menurut pasal 2. UU No. 20 Tahun 1961, permintaan untuk melakukan pencabutan Hak atas tanah dan/atau Benda-benda yang ada di atasnya, harus diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria (sekarang Dirjen Agraria), melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Pengajuan permintaan harus disertai dengan: 1. Rencana peruntukkannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan Hak itu; 2. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam Hak dari tanah yang akan dicabut Haknya serta benda-benda yang bersangkutan; 3. Rencana penampungan orang-orang yang Haknya akan dicabut. Pengajuan permintaan ini disampaikan kepada Presiden, ini berarti bahwa segala sesuatunya mengenai hal di atas diputuskan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal ini Presiden (yaitu setelah mendengar pertimbangan instansi-instansi Pemerintah Daerah, Menteri Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria, dan Menterimenteri lainnya yang bersangkutan) yang akan mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
2
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
pencabutan Hak. Presidenlah yang memutuskan pencabutan Hak itu dan menetapkan besarnya ganti kerugian kepada yang berhak. A. Acara Pencabutan Yang Biasa Dan Yang Mendesak Undang-undang No. 20 Tahun 1961 secara garis besarnya memuat 2 macam acara pencabutan Hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya demi kepentingan umum, yaitu Acara yang biasa dan acara yang mendesak. 1. Acara/Tatacara Yang Biasa a. Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan Hak itu kepada Presiden, dengan perantaraan Menteri Agraria (sekarang Dirjen Agraria atau lengkapnya Menteri Negeri
c.q. Ditjen Agraria), dengan
dilengkapi
Dalam
persyaratan-
persyaratan yang diperlukan (seperti yang telah dikemukakan di atas). b. Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan para Kepala Daerah yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran ini dilakukan oleh suatu Panitya Penaksir yang para anggotanya mengangkat sumpah. Dalam pertimbangan tersebut dimuat pula soal usaha-usaha yang berkepentingan dengan cara sedemikian rupa mengusahakan agar mereka yang dipindahkan sehubungan dengan pencabutan Hak atas tanahnya, tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya atau mencari nafkah kehidupannya yang baru dan layak seperti semula.
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
3
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
c. Selanjutnya permintaan ini, dengan pertimbangan Kepala Daerah dan taksiran ganti rugi tersebut dilanjutkan oleh Kepala Inspeksi jAgraria kepada Menteri Dalam
Negeri c.q. Dirjen Agraria, disertai
pertimbangan-pertimbangan pula. d. Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden untuk memperoleh keputusan dengan disertai pertimbangan. Pertimbangan Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan Hak itu. Menteri Kehakiman memberi pertimbangan dari segi hukumnya, sedang Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta dilakukannya pencabutah Hak tersebut dalam masyarakat. Apakah tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya atau yang diminta itu benar-benar diperlukan sekali dan tidak dapat diperoleh di tempat lain. e. Penguasaan tanah dan/ataupun benda-benda yang diperlukan benarbenar bagi kepentingan umum itu baru dapat dilakukan oleh yang berkepentingan setelah ada Surat Keputusan Pencabutan Hak dari Presiden dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Presiden serta terwujudkannya usaha-usaha yang berkepentingan dalam mengusahakan mereka yang dipindahkan tetap dapat mencari nafkah kehidupannya yang layak seperti semula. 2. Acara/Tata Cara Yang Mendesak Dalam
keadaan
yang
sangat
mendesak
yang
memerlukan
penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera,
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
4
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
maka pencabutan Hak khususnya penguasaan tanah dan/atau benda-benda itu dapat diselenggarakan melalui prose dur atau tatacara khusus yang lebih cepat. Ketentuan demikian tercantum dalam pasal 6 UU No. 20 Tahun 1961, jelasnya sebagai berikut: a. Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan
yang
berkepentingan
Kepala
Inspeksi
Agraria
menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan Hak yang dimaksud tersebut kepada Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria), tanpa disertai taksiran ganti rugi dari Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah. b. Dalam hal tersebut pada ayat (a) di atas, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan Surat Keputusan yang mem-beri perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan menguasai tersebut akan segera diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan Hak tersebut.
B. Masalah Ganti Kerugian Hal ini tentu akan mempersoalkan, bagaimanakah kalau yang empunya (pemegang Hak) tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggapnya bahwa jumlah yang harus diterima itu kurang layak. Baiklah kita tinjau dahulu pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961.
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
5
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
Menurut pasal ini : Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya. dicabut itu tidak bersedia menerima ganti rugi sebagai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggap jumlahnya kurang layak,
maka ia dapat meminta banding kepada
Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar Pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutuskan soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir. Jadi kalau pemegang Hak (yang empunya) tidak bersedia menerima ganti rugi yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggapnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta bandingan kepada Pengadilan Tinggi. Tetapi bagaimanapun juga pencabutan Hak itu sendiri tidak dapat diganggu gugat di muka Pengadilan ataupun dihalang-halangi pelaksanaannya. Mempertimbangkan dan memutuskan hal tersebut semata-mata adalah wewenang Presiden.
C. Tata Cara Penetapan Ganti Rugi Oleh Pengadilan Tinggi Dalam pemeriksaan banding ganti kerugian digunakan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Pengadilan Tinggi dengan memperhatikan perkecualian sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 ini. Tujuan utama dari Acara ini adalah untuk mendapatkan putusan secara cepat, karena semua pihak berkepentingan terhadap putusan yang cepat tersebut. Oleh
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
6
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
karena itu dengan keluarnya PP No. 39 Tahun 1973 ini diharapkan agar pihak Pengadilan Tinggi dapat memberikan prioritas, baik dalam pemeriksaan perkara banding maupun dalam menyampaikan putusannya. Permintaan banding ini harus diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaannya meliputi tanah dan atau benda-benda yang Haknya dicabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan Presiden yang dimaksud dalam pasal 5 dan 6 UU No. 20 Tahun 1973 tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan. Sehubungan dengan telah sampainya permintaan banding itu ke Pihak Pengadilan Tinggi, maka Panitera membuat catatan tentang permintaan ini yang
diajukan
oleh
yang
bersangkutan
secara
tertulis
atau
yang
disampaikannya secara lisan. Permintaan banding ini dapat diterima apabila terlebih dahulu telah dibayar biaya perkara yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Apabila ternyata peminta banding tidak mampu, maka atas pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi, yang bersangkutan dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebut. Selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya permintaan banding, perkara ini harus sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Jadi pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pengadilan Tinggi dapat mendengar secara langsung semua pihak yang bersangkutan dengan pelaksanaan pencabutan Hak atas tanah dan atau bendabenda yang ada di atasnya itu. Pendengaran pihak-pihak tersebut dapat
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
7
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
dilimpahkan oleh Pengadilan Tinggi kepada Pengadilan Negeri dimana tanah dan atau benda-benda itu berada. Putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal putusan perkara. Putusan ini akan diumumkan dalam Berita Negara RI dengan biaya yang dibebankan kepada peminta banding dan atau yang berkepentingan atas pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi.
PPHAT - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
8
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya