BAB
INDUSTRTALISASI DAN INDUSTRI PERDESAAN
I 1.1 Industrialisasi Dalam pengertian yang umum,kata industri dalam industrialisasi merujuk pada "kegiatan ekonomi’ sehingga ia mencakup juga misalnya industri jasa, industri dan babkan industri pertanian. Industrialisasi dalam pengertian umum ini merupakan usaha secara sengaja dan terus menerus dilakukan untuk membuat kinerja sektor-sektor ekonomi menjadi lebih modern didukung oleh system organisasi, penggunaan teknologi yang lebih efisien, dan orientasi yang lebih komersial. Karena itu industrialisasi lebih dari sekedar dengan alat dan mesin produksi. Di sektor pertanian, misahnya, proses industrialisasi sering dipahami dalam penggunaan teknologi mekanisasi. Namun industrialisasi menjangkau lebih dari sekedar penggunaan mesin-mesin pengolah lahan dan produk. Industrialisasi yang memodernisir sektor pertanian menjangkau aspek yang luas yang dikenal dengan revolusi hijau (green revolution), didukung oleh perkreditan, perbaikan infrastruktur, penanganan pasca panen, distribusi, dan pemasaran. Di negara maju, bantuan komputer (Computer assisted management) bahkan telah menjadi umum digunakan dalam pengelolaan dan produksi di pertanian. Dalam pengertian yang umum ini yaitu industrialisasi sebagai suatu proses modernisasi ekonomi, industrialisasi kemudian tidak hanya digunakan untuk merujuk pada kegiatan ekonomi. Dalam pengertian yang sama, industrialisasi digunakan dalam lingkup wilayah, baik administratif maupun fungsional, misalnya industrialisasi perdesaan, industrialisasi wilayah pesisir, dan seterusnya.. Dalam pengertian yang sempit, industrialisasi membatasi pengertian 'industri' dalam arti pengolahan (manufacture). Dengan demikian pengertian industrialisasi lebih menekankan pada proses dan usaha untuk memoderaisasi industri manufaktur agar menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi serta menjadi penggerak utama perkembangan sektor-sektor lainnya. Pada periode 1960 hingga 1970'an, banyak negara berkembang yang menekankan strategi mdustrialisasinya pada substitusi import (import substituting industrialization), Industrialisasi dipandang sebagai kunci utama modernisasi ekonomi. Selain masalah proteksi yang tinggi, substitusi import dinilai sebagai
cara termudah untuk mencapai kondisi tersebut. Tetapi industri, khususnya industri yang mengcopy industri barat, membutuhkan input modal, manajemen, dan keahlian yang besar. Sementara menciptakan peluang kerja yang terbatas. Selain tidak dapat diharapkan mengatasi masalah pengangguran dan setengah pengangguran di kebanyakan negara berkembang, ekspansi industri manufaktur skala besar saja berdampak memperbesar kesenjangan. ‘industrialization and the spread of other modern activities is associated with the introduction of wesrtn technologies which require large inputs of capital and human skills but create little employment…” (Killick.1981).
1.2 Industrialisasi di Indonesia : Steps on Two Legs Seperti
kebanyakan
negara
berkembang
lainnya
di
awal
pembangunannya Indonesia menekankan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Strategi pembangunan industrinya adalah import dengan dukungan penanaman modal pada industri skala besar seperti semen dan kimia, pupuk, tekstil, kertas, obat-obatan dan industri-industri ringan, metal, dan permesinan lain. Pada tahap awal pembangunan terencana ini belum ada perhatian yang eksplisit terhadap industri kecil dan perdesaan, Memasuki Repelita III, pemerintah telah secara eksplisit menyebutkan dalam
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
(GBHN)
konsep
kebijakan
pengembangan dan perencanaan untuk industri kecil, industri rumahtangga, dan industri perdesaan, selain industri menengah dan besar. Konsep tersebut diperjelas dalam program industrialisasi yang dibedakan dalam dua kategori yaitu : 1. program industri dengan penekanan pada pemerataan (development equity oriented industry) 2. program industri dengan penekanan pada pertumbuhan ekonomi (growth oriented industry)
Pembagian program tersebut juga dilakukan dalam pemilahan kategori industri. Program industri dengan penekanan pada pemerataan mempunyai kelompok sasaran kelompok jenis industri kecil dan kerajinan rakyat. Program industri dengan penekanan pada pertumbuhan ekonomi terutama ditujukan pada industri skala besar modern substitusi import.
Pemisahan program pengembangan dengan dikotomi kategori industri semacam ini dipandang sebagai konsep kebijakan pengembangan yang berpijak pada dua kaki (steps on two legs). Pijakan pengembangan pada orientasi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan sering berlangsung kurang sinergis. Jika pertumbuhan ekonomi diberi penekanan, pemerataan pembangunan sering tertinggal. Sebaliknya jika pemerataan diberi penekanan, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Meskipun aspek pemerataan berada diurutan pertama, tidak berarti bahwa industri kecil dan kerajinan mendapat prioritas pengembangan. Perkembangan industri kecil dan perdesaan sering dirugikan oleh berbagai kebijakan industrial yang menguntungkan industri skala besar (scalebiased industrial policy). Sekalipun demikian industri kecil memiliki daya tahan dan tingkat kemandirian yang baik.
2.1 Industri substitusi Import Dalam pelaksanaan industrialisasi, program dan prioritas pengembangan lebih ditekankan pada industri skala besar modern substitusi import yang telah digariskan sejak Repelita I. Sekalipun demikian, harapan bahwa industri modern skala besar substitusi import akan menopang pertumbuhan ekonomise secara umum tidak nampak realisasinya. Sebaliknya, sejumlah terdapat sejumlah kelemahan yang menjauhkan orientasi pembangunan industri. Kelemahan tersebut (Ramly. 1983 dan Teszler, 1989.) adalah : 1. Efisiensi yang rendah/ low level of efficiency 2. ketergantungan teknologi import dan input antara (dependency on imported inputs and technology) 3.
bersifat padat modal dengan sumbangan penyerapan kerja marginal / high capital intensive with marginal contribution to employment creation
4. memperkuat dikotomi antara Jawa dengan Luar Jawa/ strengthening dichotomy between Jawa and outer islands
ad.l efisiensi yang rendah/ low level of efficiency Industri manufaktur banyak memperoleh kemudahan dan bantuan dari pemerintah antara lain berupa subsidi dalam bentuk insentif fiskal dan perlindungan terus menerus, akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan
dan keringanan pengembalian, keringanan dalam pajak dan akses lokasi industri. Ini berakibat industri manufaktur indonesia belum dapat menghasilkan produk yang bersaing di pasaran dalam negeri dan internasional, baik dari segi harga maupun mutu (price wise and quality wise). Dalam istilah ekonomi, industri manufaktur Indonesia mempunyai tingkat efisiensi yang rendah dibandingkan industri sejenis di luar negeri
Ad.2 ketergantungan input dan teknologi import (dependency on imported inputs and technology) Import barang-barang konsumsi akan menurun sejalan dengan proses substitusi import. Sebaliknya import bahan baku, bahan antara, dan teknologi sebagai input produksi akan meningkat. Dengan kata lain, pada mulanya impor produk jadi, kemudian beralih ke impor komponen, suku cadang, bahan baku, dan bahan tambahan. Industri substitusi impor mengasembling komponen dan suku cadang, dan mengolah bahan baku yang diimport. Terkait dengan rendahnya efisiensi, strategi substitusi import juga menghasilkan tendensi ketergantungan industri Indonesia untuk menyandarkan diri pada teknologi, bahan baku, dan bahan antara dari luar. Hambatan atau kelambanan dalam komponen impor akan mengganggu industri nasional.
Ad.3 bersifat padat modal dengan sumbangan penyerapan kerja marginal / high capital intensive with marginal contribution to employment creation Penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur Indonesia hanya 8,6% atau sekitar 4, 3 juta dari keseluruhan tenaga kerja yang berjumlah sekitar 51,19 juta jiwa. Untuk menciptakan 1 peluang kerja pada PMA (penanaman modal asing) dan PMDN (penanaman modal dalam negeri) rata-rata dibutuhkan 1252 US dolar, pada industri manufaktur PMA dibutuhkan 3,150 US dolar, PMDN 670 US dolar.
Ad.4 memperkuat dikotomi antara Jawa dengan Luar Jawa/ strengthening dichotomy between Jawa and outer islands Lebih dari setengah proyek PMA dan PMDN di tanamkan di Jawa. Kebanyakan dari modal ini ditanamkan pada industri-industri substitusi import. Sisanya sekitar 36% tersebar di pulau-pulau luar Jawa dan kebanyakan berkaitan dengan produksi komoditi eksport seperti produk pertambangan, penebangan dan pengolahan kayu, karet, minya sawit, merica, kopra, dan produk-produk perkebunan lainnya. Sejak akhir periode kolonial telah tercipta struktur ekonomi yang dikotomis antara Jawa dan luar Jawa. Jawa merupakan konsumen utama produk-produk nasional sementara luar Jawa sebagai penghasil devisa dari produk eksport seperti pertanian, kehutanan, dan komoditas perdagangan. Kebijakan substitusi import semakin memperkuat dikotomi tersebut.
2.2 Industri dengan Comparative Advantage Sejumlah kecil industri skala besar mempunyai kemampuan nyata dalam memanfaatkan potensi sumberdaya nasional. Potensi tersebut bisa berupa bahan baku dan input industri yang ada di Indonesia atau kemampuan dalam memanfaatkan besarnya persediaan tenaga kerja di Indonesia. Produk industri pengolahan pangan dan pertanian dan kelompok industri tekstil, kulit, dan batik tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga banyak yang diekspor untuk menghasilkan devisa. Dalam kelompok pengolahan pangan dan pertanian
kemampuan
untuk
mengekspor
berhubungan
juga
dengan
pernanfaatan bahan baku dan input industri yang tersedia dalam negeri. Sedangkan dalam kasus industri tekstil, kulit, dan batik, keunggulannya juga nampak dalam memanfaatkan besarnya persediaan tenaga kerja di Indonesia. Dalam istilah ekonomi, kedua kelompok industri ini memanfaatkan adanya keunggulan komparatif (comparative advantage)
2. Industri Perdesaan dalam Industrialisasi Industrialisasi dengan penekanan pada industri besar modern substitusi import yang mengcopy dari negara maju dipandang kurang sesuai dengan kondisi di negara berkembang sperti Indonesia. Kondisi di negara maju adalah modal tersedia banyak, tenaga kerja sedikit (pool capital, limited labour). Di
Indonesia kondisinya hampir berkebalikan sebab tenaga kerja melimpah tetapi sumber modal terbatas (pool of labour, limited capital). Karena itu industri kecil dan industri perdesaan dipandang lebih sesuai untuk kondisi semacam ini, atau setidaknya sebagai alternatif pembangunan industri yang perlu dipertimbangkan. Industri perdesaan mempunyai sejumlah potensi yang baik untuk mendukung industrialisasi, diantaranya adalah; a. kemampuannya untuk menciptakan peluang kerja karena tuntutan modal yang kecil untuk setiap peluang kerja yang diciptakan (capital-labour ratio'nya kecil), sehingga juga mempermudah peluang usaha (easy entry) b. perannya dalam pemerataan pendapatan dan sekaligus juga penghasil devisa c. tingkat kemandirian yang tinggi, keluwesan (fleksibilitas), dan daya tahan usaha d. pemanfaat sumberdaya, tenaga kerja, keahlian teknik dan manajerial setempat (comparative avantago) e. stimulator bagi tumbuhnya industriawan pribumi dan juga pendorong bagi peran wanita dalam industri manufaktur f.
penggerak (mobilisasi) dana masyarakat dalam kegiatan ekonomi produktif
g. penyedia kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa yang tidak selalu dipenuhi oleh perusahaan besar dan formal, seiring dengan adanya akses dan peningkatan modal h. Pendukung desentralisasi ekonomi dan penguatan industri regional
Namun potensi tersebut juga dihadapkan pada sejumlab kendala. Sejumlah industri perdesaan menghadapi kendala pengembangan yang bersifat struktur usaha, sementara yang lain telah melampaui masalah struktur dan menghadapi masalah yang bersifat peningkatan manajerial. Lebih dari itu, masalah yang terkait dengan aspek eksternal dan institusional dapat menjadi penghambat perkembangan industri perdesaan. 1. Masalah yang bersumber dari struktur usaha 2. masalah manajerial: pengelolaan usaha 3. masalah internal pengusaha 4. masalah eksternal: institusi dan kebijakan
5. masalah infrastruktur dan pelayanan
ad.l masalah yang bersumber dari struktur usaha meliputi elemen-elemen pembentuk garis produksi (line of production) mulai dari input, pengolahan, dan out
put.
Modal,
misalnya,
sering
ditempatkan
dalam
masalah
utama
pengembangan struktur usaha. Selain bahan baku dan bahan tambahan sering dihadapai sejumlah industri perdesaan terutama dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas ketersediaan bahan bakii dan bahan pembantu. Alat dan teknologi produksi yang menghambat pengembangan usaha terutama karena sifatnya yang tradisional, dan kurang efisien sehingga tidak bisa mendukung peningkatan produksi dan produktivitas usaha.
Ad.2. masalah manajerial terkait dengan aspek pengelolaan usaha, misalnya lemahnya pencatatan dan pengendalian aliran uang (cashflow) dalam produksi, terbatasnya wawasan permintaan pasar, perluasan jangkauan pasar dan peningkatan peluang pasar, kemampuan yang kurang pengadaan kontak dagang dan transaksi, serta menjalin kemitraan usaha.
Ad.3 masalah internal yang berkaitan dengan karakteristik dan kondisi pengusaha antara lain misalnya latar belakang pendidikan yang kurang memadai,sempitnya orientasi, wawasan, dan motivasi usaha, serta lemahnya keusahawanan dan profesionalisme usaha.
Ad.4 masalah eksternal merujuk pada aspek-aspek diluar usaha dan pengusaha yang berpeluang meningkatkan usaha. Ini terutama merujuk pada aspek institusional
dan
kebijakan.
Masalah
mendasar
pengembangan
industri
perdesaan adalah bahwa kebijakan selama ini belum mengintegrasikan dan mengakomodasi industri perdesaan dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Ini berarti pengakuan dan dukungan akan eksistensi industri perdesaan masih terbatas. Dampaknya program dan proyek pengembangan menjadi terbatas, kurang terfokus dengan intensitas rendah, dan bersifat parsial. Intervensi institusi masih terbatas, sering terjebak dalam masalah administratif dan rutin. Institusi kurang jelas deskripsi tugas dan tanggung jawabnya dalam pengembangan industri
perdesaan,
sementara
dukungan
personel,
penganggaran,
dan
infrastruktur untuk mendukung operasional pengembangan masih terbatas.
Ad.5 masalah akses terhadap infrstruktur dan pelayanan pengembangan mempunyai kedudukan seperti masalah institusi dan kebijakan. Dalam hal ini jika ada perbaikan, akan berdampak pada peningkatan kinerja industri perdesaan. Jika perbaikan tidak dilakukan, pengaruhnya sedikit terhadap industri perdesaan, sebab industri perdesaan mempunyai kemandirian dan otonomi tinggi dengan ketergantungan rendah pada aspek eksternal. Akses pelayan dan infrastruktur bisa mencakup pelayanan finansial, informasi usalia, inovasi dan transfer teknologi, serta asistensi dan pendampingan. Pengembangan industri berdasarkan pemahaman akan masalah serta pertimbangan akan potensinya akan penting artinya dalam rangka industrialisasi perdesaan yang tujuan-tujuan utama industrialisasi perdesaan ini antara lain. •
Menciptakan
struktur
industri
nasional
yang
kuat
dengan
mengintegrasikan dan mengaitkan industri perdesaan dengan usaha formal dan industri skala besar •
Memperkuat
landasan
perekonomian
perdesaan
dan
pusat-pusat
perdesaan dengan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih luas (broad base development) •
Meningkatkan nilai tambah produk pertanian melalui keterkaitan antara sektor pertanian lengan industri pengolah produk-produk pertanian (agroprocessing industry)
•
Memanfaatkan
berbagai
sumberdaya,
keahlian,
serta
ketrampilan
setempat dalam kegiatan ekonomi yang atraktif, lebih komersial dan kompetitif •
Menumbuhkan dan menyuburkan sikap dan perilaku keusahawanan (entrepreneurship) serta modernisasi kegiatan ekonomi produktif
•
Membuka peluang investasi dari pendudiik perkotaan dan transfer teknologi bagi penduduk perdesaan
•
Menguatkan keterkaitan spasial dan fungsional antara desa-kota (rural urban linkages)
•
Menciptakan peluang kerja dan mendorong peluang berusaha di sektor non-pertanian bagi penduduk perdesaan
•
Memproduksi dan menyediakan barang-barang kebutuhan penduduk perdesaan khususnya dan membuka peluang pasar penduduk perkotaan
•
Menahan arus migrasi desa-kota khususnya pada kelompok penduduk berusia muda dan terdidik (brain-drain process)
1.4. Lingkungan Industri Perdesaan Selain aspek struktur industri dan industrialiasiasi, perhatian terhadap kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, terutama industri perdesaan di negara sedang berkembang berkaitan pula dengan dinamika internal di daerah perdesaan baik dari aspek demografis, lahan pertanian, dan sifat kegiatan pertanian.
1.4.1
Sosio-Demografi
Lebih dari 70% penduduk Indonesia tinggal di daerah perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Meskipun terjadi penurunan tingkat pertumbuhan penduduk, nilai nominal pertumbuhan penduduk perdesaan lebih besar dari penduduk perkotaan. Jumlah yang besar dengan pertumbuhan yang tinggi ini berarti pula tingginya angkatan kerja, sementara kesempatan kerja perdesaan relatif tetap dan terbatas sehingga ada kesenjangan antara jumlah kebutuhan dan ketersediaan (quantity demand- supply) pekerjaan di desa. Dari segi kualitas, angkatan kerja yang besar tersebut relatif lebih terdidik sebagai hasil dari pembangunan dan distribusi pendidikan pada periode 80'an. Peningkatan
pendidikan
ini
mempengaruhi
aspirasi
penduduk
terhadap
pekerjaan yang lebih berkualitas di luar sektor pertanian. Dengan demikian ada kesenjangan kualitas pekerjaan yang dibutuhkan dengan yang tersedia (quality demand-supply) Dengan demikian terjadi proses tekanan penduduk atas ketersediaan pekerjaan di desa (population pressure on employment opportunity) yang semakin menguat Ini berakibat semakin besarnya arus migrasi penduduk ke kota-kota (rural-urban mobility). Sekalipun demikian, ada kecenderungan pergeseran aspirasi terhadap pekerjaan. Pada periode 80'an tersebut ada orientasi yang kuat terhadap pekerjaan formal (blue-collar job) baik di sektor pemerintah maupun swasta, meskipun pada jenis pekerjaan rendah (misalnya pekerja pabrik, pelayan toko) dengan pendapatan tidak terlalu tinggj. Pada
periode 90'an pilihan pekerjaan bergeser pada sektor informal atau pekerjaan mandiri (misalnya pedagang, sopir, tukang dan pengarajin lainnya), namun memberikan pendapatan yang cukup bagi para migran. Industrialisai perdesaan dipandang penting untuk mengatasi kondisi tersebut. Selain itu, sejak peiode 90'an momentumnya dipandang baik seiring dengan meningkatnya semangat kemandirian kerja dan kewirausahaan didukung oleh perbaikan infrastrukrur yang mengintegrasikan desa dengan kota-kota. Karena itu, industrialisasi perdesaan perlu terus dikembangan sebagai satu dari kebijakan-kebijakan untuk menciptakan pekerjaan di daerah perdesaan dan di kota-kota kecil dengan cara memajukan pengusaha industri manufaktur skala kecil, industri ramah tangga, dan industri kerajinan yang lebih kompetitif dan komersial.
1.4.2. Sosio-Ekonomi Selain aspek sosio-demografis perdesaan, proses perubahan juga menjangkau ketersediaan lahan pertanian. Di perdesaan Indonesia, lahan merupakan aset utama ekonomi produksi pertanian. Namun secara historis, penguasaan lahan pertanian cenderung terfragmentir dalam petak-petak dengan luasan yang sempit (small ownership) kurang dari 0,5 ha. Lahan berukuran kecil tersebut cenderung semakin terfragmentir dalam ukuran yang semakin mengecil sehingga nilai keuntungan ekonomi (economic profitabilitynya) semakin menurun jika menerapkan paket agronomi panca usaha tani. Sejumlah proses yang mempengaruhi penurunan sediaan lahan tersebut antara lain ; • mekanisme pewarisan (inheritance mechanism) • proses konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non-pertanian (land loss) Selain ketersediaan lahan, pola dan orientasi produksi pertanian yang telah mengalami modernisasi melalui revolusi hijau (green revolution) cenderung lebih irit dalam penggunaan tenaga kerja). Dengan perkataan lain, terjadi penggeseran tenaga kerja ke luar sektor pertanian karena penurunan sediaan lahan dan karena penerapan teknologi yang menggantikan tenaga (technological replacement) Dalam tabel berikut, disajikan kecenderungan distribusi penguasaan lahan menurat kategori luasannya nampak dari tabel tersebut adanya kecenderungan
umum penurunan luasan lahan di perdesaan. Hal ini nampak dari semakin meningkatnya proporsi petani berlahan sempit (tiny farms) dan petani yang tidak memiliki lahan (landless) atau buruh tani. Sedangkan proporsi yang memiliki lahan cukup luas yaitu di atas 0,5 ha semakin menurun proporsinya. Dari data ini dapat diasumsikan adanya kecenderungan penurunan derajat kesejahteraan masyarakat perdesaan sejalan semakin berkurangnya luasan lahan yang diusahakan dan semakin meningkatoya buruh tani. Lahan pertanian adalah aset produksi, karena itu semakin rendah akses terhadap lahan, semakin besar resiko kemiskinannya. Atas dasar konsep ini, ada 3 kelompok yang rentan terhadap kemiskinan (expose to poverty] yaitu : a. buruh tani (tuna kisma, landless laborers) b. petani penyewa (tenants) c. petani kesil (petani gurem, small ownership)
Tabel. 1 Kategorisasi Tenaga Kerja Di Perdesaan Jawa Kategori
Landless
Proporsi (%)
Kecenderungan
33.0
Meningkat
Tiny farms 30.0 (0.5 ha)
Meningkat
Cukupan & 22.0 better (>0.5 ha)
Menurun
Opsi untuk pekenaan dan penghasitan Pengumpul produk hutan, pemanenan bawon, buruh harian, pekerja pabrik, kerajinan, perdagangan, pindah ke kota secara permanen, sirkular, atau komuter. Seperti di atas ditambah meningkatkan produktivitas per ha Tidak ada kesulitan, proporsi keuntungan yang kurang sesuai dari varietas baru dan perubahan teknologi pertanian Bukan 'landless' dalam arti seperti kelompok pertama, tidak terorientasikan pada pekerjaan pertanian
Pegawai 15.0 Sedikit meningkat negeri, pedagang dan orientasi kota lainnya Sumber: Jones. Gavin.WT1986. Population Growth in Java. Canberra.
Hal yang juga menarik adalah kecenderungan peningkatan pekerjaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari menurunnya peran pertanian dalam lapangan pekerjaan di desa. Kondisi ini bisa diartikan bahwa pekerjaan non-pertanian, khususnya industri perdesaan semakin penting dan perlu memperoleh intervensi pengembangan untuk menjadikannya lebih kompetitif dan komersial.
1.4.3. Sifat Kegiatan pertanian Berbeda dengan pekerjaan di sektor formal, pekerjaan di pertanian tidak berlangsung terus menerus atau kontinyu sepanjang tahun dan teratur atau reguler setiap harinya. Curahan jam kerja pertanian mengandung waktu-waktu senggang atau waktu jeda (slack season) dan waktu-waktu sibuk atau puncak (peak season). Kegiatan pertanian, karenanya, mengandung ciri musiman (seasonal) dan berfluktuasi ffluctuative). Ciri musiman (seasonal) merujuk pada satu tahun produksi yang dibagi menjadi 2 musim yaitu kemarau atau musim kering dan musim basah atau musim hujan. Musim hujan pada umumnya merupakan puncak-puncak kesibukan di pertanian sehingga membutuhkan curahan kerja yang tinggi. Sebaliknya, curahan kerja di musim kemarau atau musim kering adalah musim yang tidak sibuk atau musim sepi (slack season) dengan curahan kerja yang reiatif kecil. Konsep fluktuasi curahan kerja pertanian merajuk pada tahapan dalam setiap periode tanam. Dalam tahapan-tahapan ini mengandung perbedaan curahan kerja dan ada masa jeda atau tanpa kegiatan diantara beberapa tahap kegiatan. Selain itu terdapat perbedaan peran laki-laki dan wanita antara dalam berbagai tahapan Secara umum tahapan kegiatan pertanian meliputi;
Tabel. 2. Curahan Kerja dalam Tahapan Kegiatan Pertanian
No.
Tahapan kegiatan pertanian
Ciri curahan kerja
Peran tenaga kerja
1.
Penyiapan lahan / land Umumnya tmggi preparation
Terutama laki-laki
2.
Penanaman /cultivation
Terutama
Cukup tinggi
wanita
3. 4.
5. 6.
Pemupukan sedang /fertilising Perawatan, Rendah pemberantasan hama dan gulma /pest gulmae eradication Pemanenan /harvesting Tinggi Pasca panen pemasaran harvesment marketing
dan Rendah /postand
untuk tanaman padi, atau laki-laki dan wanita untuk hortikultur dan palawija Terutama laki-laki Terutama laki-laki
Terutama wanita Lai-laki wanita
atau
Sifat kegiatan pertanian yang sedemikian telah menjadi pendorong yang cukup signifikan bagi tumbuh dan berkembangnya industri perdesaan. Pada awalnya kegiatan industri berlangsung sebagai pengisi atau komplementaritas bagi kegiatan pertanian yang sedang jeda. Namun kemudian banyak diantaranya yang mengalami transformasi dari bersifat sampingan menjadi industri perdesaan yang lebih maju sebagai sumber utama dan penting bagi nimah tangga perdesaan. Transformasi ini teratama oleh karena kepemilikan ketrampilan (skill endowments) yang dibenruk oleh pengalaman yang panjang terutama pafa kelompok industri kerajinan dan pertukangan (craft and artisans industry).
1.4.4. Kaitan dengan Sektor Pertanian Ketersediaan produk pertanian mendorong munculnya industri-industri perdesaan yang mengolah produk tersebut atau yang dikenal dengan industri pengolahan hasil pertanian (agro processing industry). Produk pertanian sering diolah terlebih dahulu sebelum dijual. Dengan pengolahan ini dapat ditingkatkan keuntungan yang diperoleh melalui penambahan nilai dibandingkan jika dijual tanpa diolah. Pengolahan bisa berlangsung secara sederhana tanpa merubah bentuk substansial produk, misalnya dengan membersihkan (cleaning), memilah berdasarkan ukuran dan kondisinya (sorting), menjemur (drying), atau mengepak dan atau memberi label (packing-labelling). Dalam pengolahan sederhana,
transformasi nilai lebih penting daripada transformasi bentuk. Pengolahan juga bisa memasuki tahap pengolahan yang lanjut adalah perlakuan terhadap input produksi sehingga terjadi transformasi bentuk dan nilai dalam output produksinya. Dengan demikian ada kaitan antara sektor pertanian dengan industri perdesaan, yaitu dalam bentuk sektor industri memanfaatkan produk pertanian sebagai bahan input produksi. Kaitan ini disebut kaitan ke depat (forward linkage). Industri
pengolahan
produk
pertanian
merupakan
tahap
awal
perkembangan industri. Industri ini dipandang bisa tumbuh dan berkembangan karena ketersediaan bahan baku atau sering disebut sebagai industri berbasis bahan baku (resource base industry). Selain kaitan ke depan, dimungkinkan pula keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam arti industri menghasilkan produk-produk yang dimanfaatkan sebagai input produksi pertanian Produk ini bisa berupa alat-alat pertanian seperti sabit, cangkul, garu, bajak yang diproduksi oleh industri pengolahan logam atau produk pupuk organik yang dihasilkan dari biogas dan kompos. Baik kaitan kedepan maupun kebelakang, terkandung proses yang saling memperkuat perkembangan antara sektor industri dan pertanian.