1
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada tahun 2007 World Energy Council (WEC) menyepakati kriteria 3A (Availability, Accessibility, Acceptability) untuk menjamin terselenggaranya pelayanan energi yang berbasis pada energy security yang berkelanjutan. Istilah energy security menunjukkan adanya relasi antara jaminan ketersediaan energi dan keamanan nasional secara berkelanjutan. Energy security merupakan kondisi terjaminnya pemenuhan kebutuhan energi untuk mendukung berlangsungnya kemajuan perekonomian dan keamanan suatu negara. Kriteria 3A merupakan indikator energy security dari sisi pengguna energi (end users) yang mencakup aspek ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan akseptabilitas (acceptability) dalam pelayanan energi bagi seluruh masyarakat, baik di sektor industri dan jasa, rumah tangga, dan transportasi. Kriteria 3A merupakan indikator dalam mencapai sasaran pembangunan sektor energi dengan tetap memenuhi persyaratan sosial, lingkungan dan keamanan nasional dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (lihat Gambar 1.1). Pihak yang terkait dengan kepentingan penyediaan dan pelayanan energi dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kepentingan (interest group), yaitu: (1) kelompok pemasok energi primer (security of energy resources); (2) kelompok yang mengkonversi energi primer menjadi energi final dan mendistribusikannya (security of energy conversion and distribution); dan (3) kelompok pengguna energi final (energy security).
2
Gambar 1.1 Integrasi Kebijakan Energi Nasional Sumber: Harsono (2008)
Dalam konteks energy security, keterjaminan suplai daya listrik untuk memenuhi permintaan aktual membutuhkan dukungan sumber daya energi primer secara berkelanjutan, sistem konversi dan jaringan distribusi yang handal. Konversi energi primer menjadi energi listrik membutuhkan keberadaan pembangkit listrik yang handal (security of energy conversion), sedangkan sistem transmisi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan sistem distribusi listrik (security of electricity distribution) sehingga pelayanan listrik kepada masyarakat dapat dilakukan secara terjamin, efisien, dan berkelanjutan (lihat Gambar 1.2). Sebagaimana diketahui bahwa sistem ketenagalistrikan merupakan salah satu infrastruktur utama nasional yang mutlak diperlukan terutama untuk mendukung peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan kinerja sektor riil memerlukan dukungan sinkronisasi program dan rencana aksi (action plan) serta terselenggaranya pelayanan listrik yang efisien dan handal guna mendukung pengembangan sektor industri dan jasa, transportasi, dan perumahan. Pelayanan
3
listrik yang berorientasi pada permintaan aktual (actual demand) dan kualitas pelayanan akan mendorong peningkatan produktivitas nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Gambar 1.2 Integrasi Kebijakan Kelistrikan Sumber: Harsono (2009)
Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945 mengamanatkan agar sumber kekayaan alam, khususnya yang bersifat langka dan tak terbarukan dikuasai dan dikelola secara maksimal untuk kepentingan publik. UUD 1945 yang telah diamandemen mengadopsi prinsip efisiensi sebagai salah satu landasan operasional dalam pengelolaan sumber kekayaan alam. Implikasinya, energi tak terbarukan (termasuk listrik yang sekitar 90% berasal dari energi fosil) seharusnya diperlakukan sebagai public goods dan dikelola secara efisien. Dalam praktiknya listrik dikelola sebagai quasi-public goods oleh PLN. Mengingat pentingnya peran listrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi, maka peran PLN sebagai
4
operator tunggal menjadi sangat krusial. Peran PLN sebagai operator tunggal juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulator. Kebijakan tarif listrik tentunya mempengaruhi pola konsumsi listrik yang berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama ini pemerintah menerapkan kebijakan tarif universal, sedangkan ekonomi regional memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Penerapan tarif listrik universal tersebut sesungguhnya mengabaikan dimensi spasial sehingga perbedaan karakteristik di masing-masing wilayah selama ini belum dijadikan dasar pertimbangan untuk membentuk pola konsumsi yang dapat secara efektif mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Konsumsi listrik (electricity consumption) semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi global. Peningkatan konsumsi listrik dunia dan beberapa negara besar dapat dilihat pada Tabel 1.1. Pada tahun 1990 konsumsi listrik dunia yang hanya 11.862 terawatt-jam, dan pada tahun 2011 telah meningkat menjadi 21.018,1 terrawatt-jam. Tabel 1.1 Konsumsi Listrik Beberapa Negara, 1990-2011 (% terhadap konsumsi Dunia)
*dalam terawatt-hours Sumber: British Petroleum (2012)
5
Konsumsi listrik di Indonesia pada periode yang sama telah meningkat dari 35,54 terawatt-jam (0,3%) menjadi 160,77 terawatt-jam (0,8%). Konsumsi listrik dunia dalam 20 tahun terakhir meningkat 70%, sedangkan konsumsi listrik di Indonesia pada periode yang sama meningkat sebesar 352%. Data Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa pada periode tersebut, Produk Domestik Bruto per kapita dunia (PDB PPP) meningkat dari US$24,82 trilyun menjadi US$69,62 trilyun (meningkat 180%), sedangkan PDB per kapita Indonesia meningkat dari US$0,27 trilyun menjadi US$0,39 trilyun (meningkat 44%). Data di atas mengindikasikan bahwa daya dorong konsumsi listrik terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia cenderung lemah.
2011
2010 2009 2008
2007 0,00 Publik
20,00 40,00 60,00 Komersial Industri
80,00 100,00 Rumah Tangga
Gambar 1.3 Persentase Pelanggan Listrik Menurut Sektor, 2007-2011 Sumber: Kementerian ESDM (2011)
Gambar 1.3 dan 1.4 menunjukkan jumlah pangsa pelanggan dan konsumsi listrik menurut sektor di Indonesia pada tahun 2011. Konsumsi listrik terbesar adalah dari sektor rumah tangga di mana permintaan kebutuhan energi listrik oleh kelompok ini mencapai 40,8%. Berdasarkan jumlah pelanggannya, listrik di Indonesia didominasi oleh sektor rumah tangga dengan total pelanggan
6
42.557.542 orang (92%), diikuti oleh sektor komersial dengan jumlah pelanggan 2.049.361 orang (4,5%). Sementara, jumlah pelanggan sektor industri merupakan yang terkecil yakni sebanyak 50.365 orang (0,11%). Kendati angka pelanggan sektor industri merupakan yang terkecil, namun nilai konsumsi listrik pada sektor ini yang terbesar kedua setelah sektor rumah tangga dengan pangsa 34,3%. Berdasarkan data Natural Resources Accounting Energi Primer (2009), cadangan dari sumber daya energi primer di Indonesia relatif masih besar. Cadangan minyak dan gas bumi cadangan (Jawa dan luar Jawa) masing-masing 7,99 milyar barel dan 159,64 trilyun standard cubic feet (TSCF), cadangan batubara sebesar 20,98 milyar ton (di luar Jawa), potensi energi panas bumi (geothermal) mencapai 16.035 mega watt (Jawa dan luar Jawa), dan potensi air sebesar 15.804 mega watt (Jawa dan luar Jawa). Sedangkan cadangan energi matahari belum banyak dimanfaatkan. Khusus untuk kebutuhan energi listrik di Jawa dan Bali diperlukan kapasitas listrik terpasang pada tahun 2015 sebesar 35.000 mega watt yang terdiri atas 14.000 mega watt dari Pusat Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar batubara (PLTU batubara), 13.000 mega watt dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan gas, serta sekitar 8.000 mega watt berasal dari pembangkit energi alternatif lainnya.
Gambar 1.4 Konsumsi Listrik Menurut Sektor di Indonesia, 2001 dan 2011 Sumber: Kementerian ESDM (2010)
7
Cadangan energi terbarukan seperti air, panas bumi, surya dan angin relatif besar jumlahnya dan ramah lingkungan, namun belum banyak dimanfaatkan (4,6%) karena masih kurang ekonomis bila dibandingkan dengan energi tak terbarukan bebasis fosil, khususnya batubara. Sementara pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara menimbulkan masalah pencemaran lingkungan sehingga perlu dipikirkan pemanfaatan sumber energi alternatif nonfosil yang didukung teknologi ramah lingkungan. Salah satu sumber energi listrik nonminyak adalah energi nuklir, namun pembangunannya membutuhkan persiapan yang matang dan lama karena memerlukan sistem keselamatan dan keamanan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi untuk mencegah timbulnya masalah saat praoperasi, operasi, dan pascaoperasi (decommisioning). Tabel 1.2 Energi Primer PLN Berdasarkan Jenis Bahan Bakar, 1999-2008 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
BBM (juta kilo liter) 4,70 5,02 5,40 7,00 7,61 8,51 9,91 9,98 10,69 11,32
Gas (billion cubic feet) 237 229 222 193 184 176 143 158 171 182
Batubara (juta ton) 11,41 13,14 14,03 14,06 15,26 15,41 16,90 19,09 21,47 21,00
Sumber: PLN (2010)
Ahimsa (2005) menjelaskan bahwa sistem interkoneksi Jawa dan Bali memberikan kontribusi 80% dari konsumsi energi listrik seluruh Indonesia. Proyeksi kebutuhan energi listrik di Jawa dan Bali telah disesuaikan untuk memenuhi pertumbuhan permintaan energi listrik yang cenderung semakin meningkat, seperti terlihat pada Gambar 1.5. Sebagai catatan, perkiraan kapasitas energi listrik terpasang untuk tahun 2010/2011 sebesar 31,8 giga watt (GW), dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang hanya 25,5 GW untuk tahun
8
2003/2004. Tabel 1.2 menunjukkan pemakaian energi primer oleh PLN dalam sepuluh tahun terakhir. Konsumsi batubara terus meningkat, namun pemakaian gas alam cenderung menurun akibat kelangkaan pasokan gas dan keterbatasan jaringan infrastruktur untuk menyalurkan gas ke pembangkit listrik.
Gambar 1.5 Bauran Energi Primer Indonesia Tahun 2010 Sumber: Kementerian ESDM (2011)
Tabel 1.3 Pemakaian Energi Primer Menurut Jenis Energi, 2003-2009 (dalam SBM*) Tahun
Minyak Bumi
Gas Bumi
Batubara
Tenaga Air
Panas Bumi
Biomasa
Jumlah
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
456.647.707 498.117.696 493.636.985 459.333.373 474.042.813 463.913.946 490.470.209
204.142.054 187.553.776 191.189.376 196.599.386 183.623.636 193.352.098 220.929.902
164.950.173 151.543.284 173.673.093 205.779.290 258.174.000 205.492.060 234.318.000
22.937.538 24.385.647 27.034.841 24.256.796 28.450.964 29.060.413 28.688.314
10.375.200 11.077.000 10.910.460 11.182.742 11.421.759 13.423.610 14.973.198
272.005.374 271.806.233 270.042.895 276.335.944 275.199.938 277.962.458 279.251.225
1.131.058.046 1.144.483.636 1.166.487.650 1.173.487.531 1.230.913.110 1.183.204.585 1.268.630.848
*SBM = setara barel minyak Sumber: Kementerian ESDM (2009)
Dapat dilihat bahwa sumber inefisiensi PLN yang utama beberapa tahun terakhir ini adalah fuel-mix yang terjebak pada pemakaian minyak yang terlalu banyak. Kendati demikian, produksi listrik tetap harus dilakukan agar pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik dapat dipenuhi. Pada tahun 2008 komposisi produksi kWh berdasarkan bahan bakar adalah BBM 36%, batubara 35%, gas alam 17%, panas bumi 3% dan hidro 9% (lihat Tabel 1.3). Restrukturisasi sektor energi di Indonesia dilakukan berdasarkan hasil berbagai studi (awal 1990-an) ditandai dengan diberlakukannya kebijakan
9
restrukturisasi sektor kelistrikan yang dirancang dalam program untuk meletakkan fondasi yang lebih kokoh bagi pengembangan ketenagalistrikan. Krisis ekonomi 1998 telah mempercepat lahirnya Undang-Undang (UU) baru berisi pengaturan ulang sektor energi. Hal inilah yang mendorong terjadinya perubahan mendasar pada sektor energi dan berimplikasi terhadap perkembangannya di masa depan. Sampai saat ini telah diterbitkan beberapa peraturan perundangan-undangan terkait ketenagalistrikan yaitu UU 30/2009 dan beberapa UU lainnya yang terkait sektor energi. Pengesahan UU ketenagalistrikan 2009 ini mewajibkan pemerintah sebagai regulator untuk menjalankan misi sosialnya yaitu menyediakan kebutuhan listrik untuk seluruh wilayah di Indonesia. Dalam melaksanakan misi tersebut, pemerintah mendelegasikan kepada PLN sebagai operator tunggal untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan sektor ketenagalistrikan. Undangundang ini adalah pengganti UU 20/2002 yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Perbedaan mendasar dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dengan Undang-Undang yang sebelumnya, UU No. 15 Tahun 1985, adalah pelaku usaha yang terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Menurut pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009, tidak hanya PLN saja yang berhak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, namun BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik juga berhak melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Kendati demikian, PLN sebagai operator tunggal yang ditunjuk oleh pemerintah dan pelaksana utama usaha penyediaan tenaga listrik akan tetap memegang hak prioritas (memiliki first
10
right of refusal) sebagai penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan UU No. 30 Tahun 2009, yaitu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahterakan masayarakat (lihat Tabel 1.4). Tabel 1.4 Transformasi UU Ketenagalistrikan di Indonesia, 1985-2009 No 1
2
UU No. 15 Tahun 1985 Hanya BUMN (PLN) saja yang mempunyai hak dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.
Tidak mengatur regionalisasi tarif listrik.
UU No. 20 Tahun 2002
Ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945. UU ini dianggap sudah tidak tepat lagi untuk diimplementasikan dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
UU No. 30 Tahun 2009 Pelaku yang terlibat dalam penyediaan tenaga listrik menurut pasal 11 ayat (1) UU 30 Tahun 2009, tidak hanya BUMN (PLN) saja yang berhak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, namun BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik juga punya hak yang sama dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Memungkinkan penetapan tarif listrik regional (pasal 34) dan jual beli listrik dengan negara lain (pasal 37-41).
Sumber: Disarikan dari berbagai UU Ketenagalistrikan (berbagai tahun)
Sejak 1 Januari 2001, Indonesia telah melakukan transformasi dari negara yang sentralistik menjadi desentralistik dengan menerapkan kebijakan Otonomi Daerah. Kebijakan ini dipicu oleh adanya krisis moneter 1998 yang mendorong terjadinya reformasi dan transisi politik. Sejak itu Indonesia mulai menerapkan desentralisasi yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi di mana kota dan kabupaten diberikan kewenangan yang lebih besar untuk membangun wilayahnya sendiri, sedangkan pemerintah provinsi berfungsi sebagai koodinator. Pada tahun 2004, kebijakan pelaksanaan Otonomi Daerah ini
11
disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota sesungguhnya lebih memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Dimensi ekonomi politik dan spasial konsumsi listrik di 6 koridor ekonomi perlu dianalisis secara lebih mendalam karena temuan-temuan yang dihasilkan dapat mendukung tujuan undang-undang Otonomi Daerah untuk mempercepat pembangunan wilayah dan mengurangi kesenjangan antardaerah. Dewasa ini kebutuhan tenaga listrik semakin meningkat. Keberlangsungan berbagai aktivitas swasta baik sektor rumah tangga maupun industri sangat tergantung pada ketersediaan tenaga listrik. Untuk melaksanakan amanat UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah membuat roadmap 2010-2014 yang memposisikan sektor ketenagalistrikan untuk berperan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu pemerintah melalui PLN diharapkan mampu menyediakan tenaga listrik sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Konsumsi listrik setiap tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan perkembangan pola hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya sektor rumah tangga dan
12
sektor industri. Permintaan energi listrik selama 2006-2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 6,3% per tahun (lihat Tabel 1.5). Sementara PLN hanya mampu meningkatkan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2004-2008 rata-rata 4,4% per tahun. Konsumsi listrik menarik untuk diteliti karena beberapa alasan mendasar. Pertama, adanya ketidakseimbangan antara permintaan listrik aktual dengan penyediaan tenaga listrik mengakibatkan kekurangan suplai tenaga listrik di beberapa wilayah tertentu terutama di luar sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali. Permintaan energi listrik terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan ratarata 6,3% per tahun selama 2006-2010, sementara pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan hanya mampu menambah kapasitas pembangkit listrik rata-rata 4,4% per tahun. Ketidakseimbangan antara permintaan listrik aktual dengan penyediaan tenaga listrik mengakibatkan kekurangan suplai tenaga listrik di beberapa wilayah tertentu terutama di luar sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (JAMALI). Lambatnya pertumbuhan penyediaan tenaga listrik merupakan dampak krisis ekonomi 1998, di mana pada saat itu kapasitas pembangkit terpasang hanya tumbuh sebesar 1,13% (Kementerian ESDM, 2010). Konsumsi listrik Indonesia pada tahun 2006 sebesar 112.609 giga watt hour (Gwh) meningkat menjadi 147.297 GWh pada tahun 2010, dengan peningkatan rata-rata per tahun 6,6%. Peningkatan konsumsi listrik tersebut terutama didorong oleh meningkatnya konsumsi pada sektor rumah tangga dan industri. Tabel 1.5 menunjukkan perkembangan jumlah konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi
13
di Indonesia selama 2000-2010 di mana pola konsumsi listrik yang cenderung terus meningkat tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini nampaknya sejalan dengan temuan Yoo (2006) yang menjelaskan bahwa konsumsi listrik tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tabel 1.5 Konsumsi Listrik dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2000-2010
Sumber: Diolah dari Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian ESDM (2010)
Pola konsumsi listrik terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB), struktur ekonomi dan jumlah penduduk. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk pada umumnya mendorong
terjadinya
peningkatan
aktivitas
penggunaan
tenaga
listrik.
Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan konsumsi listrik pada sektor rumah tangga, industri, komersial (usaha), dan publik (umum). Konsumsi listrik di sektor rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, sedangkan konsumsi listrik di sektor industri dan usaha seharusnya memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, masih ada wilayah di Indonesia yang belum teraliri listrik.
14
Gambar 1.6 Rasio Elektrifikasi Setiap Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Sumber: Kementerian ESDM (2011)
Tabel 1.6 Rasio Elektrifikasi di Masing-Masing Koridor dan Provinsi, 2010
Sumber: Kementerian ESDM (2011)
Kedua, rasio elektrifikasi, yang menunjukkan rasio antara jumlah penduduk yang teraliri listrik dengan jumlah penduduk di suatu wilayah, terus mengalami peningkatan dari 65,1% (2008) menjadi 67,2% (2011). Rasio elektrifikasi antarprovinsi dan antarkoridor ekonomi sangat bervariasi. Gambar 1.6 memperlihatkan tingkat rasio elektrifikasi di DKI Jakarta telah mencapai 100%, namun di NTT baru 29,1%, Papua 31,61%. NTB 31,2%. Rasio elektrifikasi
15
merupakan ukuran ketersediaan listrik di setiap wilayah. Persebaran rasio elektrifikasi di berbagai wilayah Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.6 dan Tabel 1.6. Dalam beberapa tahun terakhir, rasio elektrifikasi nasional terus mengalami peningkatan, dari 65,1% (2008) menjadi 67,2% (2010) (Kementerian ESDM, 2011). Sasaran pembangunan ketenagalistrikan di Indonesia diarahkan untuk mencapai rasio elektrifikasi 74,03% pada tahun 2012. Upaya untuk mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi menghadapi banyak hambatan, di antaranya adalah peraturan perundang-undangan, kebijakan sektoral termasuk masalah kelembagaan dan tata kelola, kelayakan ekonomi dan finansial, serta kondisi geografis. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian, perkembangan industri, kemajuan teknologi, dan meningkatnya standar hidup masyarakat, maka permintaan listrik pun menjadi semakin meningkat. Ketiga, jumlah konsumsi listrik cenderung terus meningkat selama 20002010 ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian yang menggunakan data periode 1947-1974 di Amerika Serikat (AS) yang dilakukan oleh Kraft & Kraft (1978), menunjukkan adanya temuan hubungan kausal antara Gross National Product (GNP) dan konsumsi energi. Temuan tersebut membuktikan adanya hubungan kausal searah di mana pertumbuhan GNP mempengaruhi konsumsi energi di AS. Dalam konteks perdebatan literatur, beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian-penelitian tersebut memberikan hasil yang saling bertentangan. Jumbe
16
(2004) menyatakan bahwa para ekonom dan analis kebijakan memberikan perhatian pada hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi, karena arah hubungan kausal memiliki implikasi kebijakan bagi pemerintah
terutama
pada
rancangan
dan
implementasi
kebijakan
ketenagalistrikan. Arah hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi dapat dibagi menjadi 4 macam hubungan, yang masing-masing memiliki implikasi pada kebijakan ketenagalistrikan: Pertama, hubungan kausal searah dari konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa pembatasan terhadap penggunaan listrik dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, peningkatan penggunaan listrik dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Altinay & Karagol, 2005; Shiu & Lam, 2004). Kedua, hubungan kausal searah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi listrik menunjukkan bahwa penerapan kebijakan konservasi akan menekan konsumsi listrik pengaruhnya kecil terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya pada perekonomian yang tidak begitu bergantung pada listrik. Dalam hal ini, peningkatan pertumbuhan ekonomi secara permanen akan dapat meningkatkan konsumsi listrik secara permanen pula. Ketiga, adanya hubungan kausal dua arah antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi secara kesatuan saling menentukan dan mempengaruhi pada saat yang sama. Keempat, ketiadaan hubungan kausal menunjukkan bahwa kebijakan yang bersifat konservatif ataupun ekspansif dalam hubungannya dengan konsumsi listrik tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
17
Studi empirik tentang hubungan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencoba membuktikan apakah ada hubungan antara keduanya. Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Murry & Nan (1996), Yoo (2006), dan Chen, et al. (2006). Penelitian yang dilakukan Yoo (2006) menemukan bahwa hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia (1971-2002) hanya bersifat searah yakni dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi listrik dan tidak berlaku bagi arah yang sebaliknya. Tiadanya hubungan kausal searah dari konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi, menurut Yoo (2006) diakibatkan oleh kecilnya proporsi pemakaian listrik untuk aktivitas-aktivitas ekonomi yang berkaitan langsung dengan pembentukan PDB. Temuan Yoo tersebut memperkuat hasil temuan Murry & Nan (1996) yang menjelaskan bahwa arah hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi listrik. Chen, et al. (2006), dengan periode penelitian yang hampir sama yakni 1971-2001, melakukan uji kausalitas tersebut di samping dengan menggunakan teknik runtut waktu (a single country data set) juga dengan prosedur data panel (panel data procedures). Hasil dengan teknik runtut waktu menunjukkan bahwa hubungan kausalitas hanya terjadi dalam jangka panjang, tidak jangka pendek dan arah hubungannya bergerak dari konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, hasil dengan prosedur data panel untuk sepuluh negara industri baru Asia (termasuk Indonesia) menunjukkan bahwa hubungan kausalitas yang bersifat dua arah (bi-directional) hanya terjadi dalam jangka panjang, sedangkan
18
hubungan kausalitas dalam jangka pendek hanya bergerak dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi listrik, dan tidak sebaliknya. Keempat, selama ini pemerintah menerapkan kebijakan tarif secara seragam, sedangkan karakteristik berbagai wilayah di Indonesia berbeda-beda. Penerapan tarif listrik universal tersebut sesungguhnya mengabaikan dimensi spasial sehingga perbedaan karakteristik di masing-masing wilayah selama ini belum dijadikan dasar pertimbangan untuk membentuk pola konsumsi yang secara efektif dapat mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Struktur perekonomian Indonesia secara spasial sampai dengan akhir 2010 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 57,8%, kemudian diikuti oleh koridor Sumatera sebesar 23,2%. Sedangkan konsumsi listrik per kapita tertinggi berada di Jawa (874,70 Kwh per kapita), diikuti oleh Sumatera (388,64 Kwh per kapita), Kalimantan (372,13 Kwh per kapita), Bali-Nusa Tenggara (325,90 Kwh per kapita), Sulawesi (313,12 Kwh per kapita), dan Papua-Kepulauan Maluku (195,93 Kwh per kapita) (lihat Tabel 5.4).
Dalam konteks perdebatan literatur ekonomi geografi, teori lokasi menjelaskan dimensi spasial dengan dua perspektif, yaitu perspektif klasik dan moderen (Kuncoro, 2012: 19-23). Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” (economies of agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Perspektif moderen menunjukkan beberapa kelemahan teori Klasik mengenai aglomerasi. Singkatnya, sejak dasawarsa 1980-an, semakin banyak ekonom yang
19
tertarik untuk mengkaji masalah lokasi (Krugman, 1995; Lucas, 1988; Fujita dan Thisse, 1996). Sejumlah penelitian dari bidang restrukturisasi sosial ekonomi dan perubahan struktural baru-baru ini menekankan tentang semakin pentingnya arti sebuah wilayah dan perannya sebagai salah satu aktor ekonomi mendasar dalam konfigurasi dari pola spasial pembangunan ekonomi (Rodriguez-Pose, 1998: chap.3). Ohmae menyatakan bahwa dalam dunia tanpa batas, region state mungkin dapat menggantikan nation states sebagai gerbang masuk ekonomi global (Ohmae, 1995). Porter (1990, 2003) mempertanyakan peran negara sebagai unit analisa yang relevan. Walaupun telah banyak literatur yang menyajikan teori tentang ekonomi wilayah dan geografi ekonomi, namun konsep dan teori tersebut masih belum banyak diuji secara empirik, kecuali studi Kuncoro (2012). Tiadanya hubungan kausalitas antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi si suatu wilayah diperkirakan karena konsumsi listrik cenderung lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan dasar (sektor rumah tangga), sementara sisanya baru digunakan untuk mendukung aktivitas-aktivitas ekonomi yang berdampak langsung pada peningkatan PDB (lihat Tabel 1.7). Mekanisme dan aktor utama di balik kebijakan tarif listrik dan hubungan dengan subsidi listrik belum banyak diteliti dari perspektif ekonomi politik dan kebijakan kelistrikan, mulai dari era Soeharto hingga SBY. Tabel 1.7 Komposisi Konsumsi Tenaga Listrik (Gwh): Indonesia, 2006-2010 Kelompok Pelanggan Rumah Tangga Usaha/Bisnis Industri Umum Jumlah Gwh = giga watt hour
2006 43.754 18.415 43.615 6.825 112.609
Sumber: Kementerian ESDM (2010)
Konsumsi Tenaga Listrik (Gwh) 2007 2008 2009 47.324 50.184 54.945 20.608 22.926 24.638 45.802 47.969 46.017 7.510 7.940 8.607 121.246 129.019 134.207
2010 59.825 27.157 50.985 9.330 147.297
20
1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang dihadapi oleh Indonesia adalah: kondisi wilayah di Indonesia sangat beragam dilihat dari sisi konsumsi listrik, PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan rasio elektrifikasi, namun pemerintah selama ini menerapkan kebijakan tarif listrik yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia. Sayangnya, penelitian empirik yang telah dilakukan selama ini belum banyak yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, spasial, dan politik kebijakan tarif listrik. Dari perspektif ekonomi, studi ini akan membuktikan arah hubungan antara konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Dari perspektif spasial, studi ini akan menjawab “di mana” (where) dan “mengapa” (why) aktivitas ekonomi dan konsumsi listrik cenderung berlokasi di provinsi/wilayah/koridor tertentu dan tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. Dari perspektif ekonomi politik, studi ini akan menganalisis politik kebijakan tarif listrik, terutama kebijakan kelistrikan mulai dari era Soeharto hingga SBY, hubungan antara kebijakan tarif dan subsidi listrik, mekanisme dan aktor utama di balik kebijakan tarif listrik. Mengingat peran listrik yang sangat strategik dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, serta melihat kondisi kelistrikan nasional yang mengindikasikan masih adanya berbagai kelemahan, pertanyaan penelitian yang akan dijawab oleh studi ini adalah: a.
Bagaimana pola hubungan (satu arah, dua arah, atau tidak ada hubungan) antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di enam koridor ekonomi Indonesia?
21
b.
Bagaimana tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita mampu dijelaskan oleh sejumlah faktor dominan?
c.
Mengapa kebijakan tarif listrik selama ini diberlakukan seragam di seluruh wilayah Indonesia? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika konsumsi listrik
dan permasalahannya dari dimensi ekonomi, spasial, dan politik kebijakan. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu: a.
Untuk mengidentifikasi pola hubungan antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di provinsi/wilayah/koridor ekonomi Indonesia.
b.
Untuk menganalisis sejumlah faktor dominan yang mempengaruhi tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita.
c.
Untuk mengevaluasi kebijakan tarif listrik yang selama ini diberlakukan seragam di seluruh Indonesia meskipun kondisi antarwilayah bervariasi dari konsumsi listrik dan PDRB per kapita.
Bilamana pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas dapat terjawab, maka diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pola hubungan antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi, faktor-faktor dominan tertentu yang mempengaruhi tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Temuan-temuan tersebut diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang implikasinya terhadap kebijakan yang terkait dengan ketenagalistrikan yang mempengaruhi pola konsumsi listrik. Selanjutnya, temuan-temuan dan hasil
22
analisis tersebut dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rekomendasi kebijakan, khususnya kebijakan penetapan tarif agar berimplikasi positif terhadap pola konsumsi listrik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah: Pertama, memberikan penjelasan tentang pola hubungan antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Pola hubungan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi/wilayah PLN/koridor ekonomi berkaitan dan berimplikasi pada kebijakan regional dan sektoral yang terkait dengan ketenagalistrikan. Kedua, memberikan pemahaman secara komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Pemahaman ini diperlukan sebagai dasar untuk menyempurnakan kebijakan regional dan sektoral di bidang ketenagalistrikan yang selama ini cenderung aspasial sehingga peran PLN dapat dioptimalkan dalam upayanya memenuhi permintaan listrik aktual. Ketiga, memberikan gambaran tentang hal-hal di luar kebijakan (beyond policy) yang mempengaruhi kebijakan tarif dan dampak kebijakan tarif terhadap konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Implikasi kebijakan tersebut penting untuk diketahui agar dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi kebijakan kepada pemerintah dan para stakeholders terkait, mulai dari kelompok yang berkepentingan dengan suplai energi primer, konversi energi dan distribusi listrik serta kelompok pengguna energi listrik.
23
1.5 KEASLIAN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan tiga dimensi yang saling terkait yakni geografi, ekonomika, dan studi kebijakan. Pendekatan ini penting untuk memahami secara komprehensif fenomena konsumsi listrik di setiap provinsi yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan dimasukkannya dimensi spasial, ekonomika, dan kebijakan, maka analisis dalam penelitian dapat lebih difokuskan pada hasil sintesa ketiga dimensi tersebut, yaitu pada domain geografi ekonomi, ekonomika politik, dan geo-strategi (lihat Gambar 1.7).
Penelitian ini meliputi 26 provinsi dan 6 koridor ekonomi di Indonesia karena studi-studi empirik sebelumnya hanya memfokuskan pada analisis makro (misal: Yoo, 2006; Chen, et al. 2006).
Gambar 1.7 Keaslian Penelitian Perspektif Ekonomi. Ilmu ekonomi arus utama (mainstream economics) ternyata tidak banyak menjelaskan dari dimensi spasial, atau cenderung spaceless (aspasial). Pertanyaan “mengapa” (why) dan “di mana” (where) aktivitas ekonomi cenderung memilih berlokasi belum terjawab dengan memuaskan. Akhirnya lahirlah bidang kajian geografi ekonomi (misal: Krugman, 1998), studi-studi spasial dan regional (misal: Hayter, 1997; Kuncoro, 2002a). Selain mazhab Neo-
24
Klasik, dua teori utama yang menjawab pertanyaan di atas adalah New Economic Geography (NEG) dan New Trade Theory (NTT) (Kuncoro, 2001). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, akan dibuktikan bagaimana hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Pembuktian kembali atas hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlu dilakukan dikarenakan adanya keterbatasan dan perbedaan hasil penelitian mengenai arah hubungan kausal antara kedua variabel tersebut di Indonesia pada penelitian-penelitian sebelumnya. Pembuktian ulang hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat nasional maupun tingkat provinsi dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika. Model ekonometrika yang akan dipakai dalam penelitian ini mengacu pada model penelitian yang digunakan oleh Chen, et al. (2006) dalam mengetahui hubungan antara konsumsi listrik dengan PDB di 10 negara Asia. Perspektif Geografi. Penelitian-penelitian terdahulu tentang hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik Indonesia dilakukan dengan menggunakan data agregat nasional, baik data PDB maupun konsumsi listrik. Istilah regionalisasi pada umumnya dimaksudkan untuk menunjukkan pengelompokan beberapa wilayah yang berdekatan, sedangkan istilah wilayah dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih sering merujuk pada pengertian subnasional atau provinsi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah provinsi, bukan negara. Studi atas Indonesia dalam penelitian ini tidak sebagai satu kesatuan, tetapi sebagai suatu negara yang terdiri dari 26 provinsi. Penelitian terhadap masing-masing provinsi perlu dilakukan karena adanya perbedaan
25
karakteristik di antara masing-masing provinsi tersebut, seperti perbedaan faktor endowment energi, perbedaan sejarah baik ekonomi maupun politik, perbedaan hierarki baik yang terkait politik maupun kelembagaan, perbedaan jumlah penduduk, perbedaan budaya, perbedaan letak geografis, dan lain-lain. Pemilihan 26 provinsi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1) ketersedian data konsumsi listrik dan PDRB menurut provinsi di PLN dan BPS dimulai dari periode 1980-2010; dan (2) sejarah pemekaran wilayah di Indonesia khususnya untuk lingkup provinsi. Provinsi-provinsi hasil pemekaran wilayah tahun 1999 dalam penelitian ini diagregasi ke provinsi semula. Di samping itu, peranan wilayah subnasional (kabupaten, kota, atau provinsi), yang mempengaruhi lokasi aktivitas ekonomi, nampaknya semakin penting dalam studi geografi ekonomi. Beberapa pernyataan menarik dari pakar geografi ekonomi mengenai semakin pentingnya peranan wilayah subnasional adalah (Kuncoro, 2001): “Pertama, Rodriguez-Pose (1998) menyatakan bahwa berbagai studi dalam bidang sosial-ekonomi dan perubahan sosial menekankan semakin pentingnya peran wilayah sebagai pelaku ekonomi dalam konfigurasi baru pola pembangunan spasial. Kedua, Ohmae (1995) menegaskan
bahwa dalam dunia tanpa batas
(borderless), region state akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Ketiga, Porter (1990) mempertanyakan peran negara sebagai unit analisis yang relevan dengan mengatakan bahwa “para pesaing di banyak industri, dan bahkan seluruh kluster
26
industri, yang sukses pada skala internasional, ternyata seringkali berlokasi di suatu kota atau beberapa wilayah dalam suatu negara.” Perspektif Kebijakan. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitianpenelitian terdahulu karena analisis kebijakan dilakukan dalam dimensi ekonomi politik dan spasial. Hal ini merupakan dampak dari penggunaan wilayah (dalam hal ini provinsi) sebagai unit analisis. Dengan menggunakan dimensi ekonomi politik dan spasial, diharapkan rekomendasi kebijakan yang bersifat sektoral maupun regional mampu dihasilkan dalam penelitian ini dapat diterapkan di seluruh provinsi sesuai dengan karakteristik masing-masing provinsi. Geografi Ekonomi. Geografi ekonomi merupakan hasil sintesis antara perspektif ekonomika dan spasial. Munculnya ilmu ekonomi geografi (geography economics) telah melengkapi jawaban bagi masalah ekonomi yang sebelumnya hanya mampu menjawab barang apa yang akan diproduksi (what), bagaimana memproduksinya (how), dan untuk siapa barang tersebut dibuat (for whom) dengan mengabaikan “mengapa” dan “di mana” aktivitas ekonomi cenderung memilih berlokasi. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi arus utama sebelum munculnya ilmu ekonomi geografi hampir tidak ada kata “lokasi” atau “spatial economics” (Krugman, 1998). Pendekatan geografi ekonomi fokus pada upaya untuk menganalisis tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita tersebut akan dikaitkan dengan sejumlah faktor dominan tertentu menggunakan analisis diskriminan.
27
Geo-strategi. Geo-strategi merupakan hasil sintesis antara perspektif kebijakan dan spasial. Pendekatan geo-strategi fokus pada analisis pola hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi serta sekaligus mengevaluasi strategi kelistrikan nasional yang cenderung aspasial (spaceless). Aspek spasial merupakan unsur yang sangat penting dalam formulasi maupun implementasi suatu kebijakan tarif listrik, khususnya untuk diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki wilayah luas, sebaran penduduk dan sumberdaya alam yang tidak merata. Analisis Ekonomi Politik. Analisis ekonomi politik merupakan hasil sintesis antara ekonomika dan analisis kebijakan. Pendekatan ini difokuskan pada upaya untuk mengetahui dampak kebijakan penetapan tarif listrik terhadap konsumsi istrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi di Indonesia. Analisis ekonomi politik juga mencakup analisis terhadap hal-hal di luar kebijakan (beyond policy) dan berbagai pihak yang memiliki kewenangan dan kepentingan terkait pengelolaan energi, khususnya penetapan tarif listrik. 1.6 SISTEMATIKA PENELITIAN Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagaimana pada Gambar 1.8. Penulisan laporan penelitian ini secara keseluruhan terdiri dari delapan bab, masing-masing bab dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Bab 1 memuat uraian tentang latar belakang dan permasalahan konsumsi listrik di Indonesia yang dianalisis dari dimensi ekonomi politik dan spasial. Permasalahan yang terkait konsumsi listrik dan implikasinya terhadap kebijakan ketenaga listrikan dirumuskan dalam bab ini.
28
Bab 2 membahas survei literatur yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu landasan teoritik dan studi empirik. Landasan teoritik membahas berbagai teori yang mendasari penelitian ini. Sedangkan studi empirik membahas hasil kajian dan penelitian lain sebelumnya yang relevan untuk diuraikan dalam penelitian ini. Bab 3 menguraikan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, yang terdiri dari penentuan jenis data, metode pengumpulan data, model, dan analisis yang digunakan. Metodologi dalam penelitian ini dipilih berdasarkan masalah penelitian dan survei literatur yang sudah diuraikan di Bab 1 dan Bab 2.
BAB IV HUBUNGAN KAUSAL ANTARA KONSUMSI LISTRIK DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB II SURVEI LITERATUR
BAB V DIMENSI SPASIAL KONSUMSI LISTRIK
BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
BAB VI POLITIK KEBIJAKAN TARIF LISTRIK
Gambar 1.8 Sistematika Penelitian Bab 4 akan menganalisis pola hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Hubungan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada kebijakan yang terkait dengan ketenaglistrikan. Oleh karena itu, pola hubungan tersebut akan dievaluasi dalam bab ini dengan memperhatikan aspek ekonomi dan spasial (geografi). Pada Bab 5 akan dilakukan analisis spasial untuk mengetahui pola konsumsi listrik dan bagaimana tipologi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita mampu dijelaskan oleh sejumlah faktor dominan yang mempengaruhinya.
29
Analisis ini dimaksudkan untuk menghasilkan tipologi masing-masing provinsi berdasarkan tingkat konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tipologi wilayah akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis diskriminan. Analisis politik kebijakan akan dilakukan pada Bab 6 berdasarkan temuantemuan pada Bab-bab sebelumnya untuk mengevaluasi kebijakan tarif listrik selama ini guna mencari temuan “dibalik” kebijakan yang diberlakukan (beyond the policy). Untuk itu analisis ekonomi politik akan dilakukan terhadap stakeholders yang terkait dengan PLN, proses penetapan tarif, dan subsidi listrik untuk mengetahui mengapa kebijakan tarif listrik (TDL) cenderung seragam untuk semua wilayah. Bab 7 akan menyajikan kesimpulan yang memuat rangkuman temuantemuan penting yang dihasilkan dari penelitian ini. Pada bab ini akan disampaikan pula implikasi kebijakan berdasarkan temuan-temuan yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.