I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 telah meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia, dari 25,9 juta (17,7%) pada tahun 1993 menjadi 129,6 juta atau 66,3% dari jumlah penduduk pada tahun 1999 (BPS, 1999). Peningkatan ini tidak hanya terjadi di pedesaan, tetapi juga terjadi di daerah perkotaan di Indonesia. Selain sebagai dampak krisis ekonomi, hal ini juga akibat meningkatnya arus urbanisasi yang disertai dengan membanjirnya migrasi penduduk miskin dari daerah pedesaan, baik untuk mencari pekerjaan maupun hanya sekedar mengadu nasib. Kondisi ini menggambarkan kompleksitas masalah kemiskinan yang terjadi dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Masalah kemiskinan di perkotaan mempunyai korelasi yang cukup signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang dihadapi oleh masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan gizi, perumahan dan lingkungan serta ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha. Permasalahan tersebut juga mempengaruhi ketidakpastian hidup bagi komunitas
miskin
yang
didefinisikan
oleh
Moser
(1996)
sebagai
ketidakamanan dan ketidakpastian dalam kesejahteraan individu, rumah tangga dan masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan mereka. Terkait dengan ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha, berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pihak swasta guna memberikan peluang dan akses bagi masyarakat dalam mengembangkan aktivitas usaha yang telah mereka rintis. Sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada rakyat (people centered
devolopment),
upaya-upaya
yang
dikembangkan
tersebut
diarahkan pada pengembangan program pembangunan yang berakar pada potensi dan sumber daya lokal. Salah satunya diwujudkan melalui pengembangan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Program P2KP merupakan program bantuan stimulan yang berbentuk bantuan dana bergulir yang dimaksudkan untuk mengembangkan kapasitas
2
dan kapabilitas masyarakat miskin perkotaan sedemikian rupa mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup baik secara ekonomi maupun sosial. Untuk kepentingan tersebut, program ini dibagi ke dalam dua kelompok pengembangan yaitu kelompok fisik dan kelompok ekonomi. Kelompok fisik ditujukan untuk menyediakan sarana dan prasarana fisik sebagai fasilitas penunjang kegiatan ekonomi dan memperkuat struktur sosial masyarakat. Sementara kelompok ekonomi lebih diarahkan pada upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi yang berkembang dimasyarakat. Mekanisme penyaluran dana bantuan P2KP dilakukan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang dibentuk oleh masyarakat. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam P2KP dilakukan melalui pendekatan partisipatif, artinya inisiatif dan alasan penentuan dan pemilihan anggota yang akan menjadi anggota kelompok ditentukan oleh masyarakat. KSM fisik dibentuk berdasarkan wilayah administratif di kelurahan seperti tingkat RT dan RW, sedangkan KSM ekonomi dibentuk berdasarkan kelompok usaha ekonomis produktif (UEP) masyarakat yang sejenis. Disadari
bahwa
keberhasilan
suatu
program
pengembangan
masyarakat, sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang disusun
untuk
mendukung
pelaksanaan dan kesiapan
program, masyarakat
prosedur
atau
mekanisme
menghadapi perubahan yang
timbul sebagai implikasi pelaksanaan program itu sendiri. Tidak sinkronnya aspek-aspek tersebut dapat berakibat pada kegagalan program secara keseluruhan. Demikian juga dengan P2KP, sepanjang sejarah pelaksanaan selama kurang lebih 6 tahun (P2KP dillaksanakan mulai tahun 2000), belum ada data resmi yang menggambarkan perkembangan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) yang telah mendapat sentuhan P2KP selama kurun waktu pelaksanaanya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung, kegagalan program P2KP menurut hemat pengkaji terutama disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat dan mekanisme penyaluran bantuan usaha yang belum transparan. Hasil rekapitulasi penyaluran dana bantuan
P2KP di Kelurahan
Binong memperlihatkan bahwa sebagian besar, yaitu sekitar 54,57 % atau senilai Rp. 136.419.209,- dari total Rp. 250 juta dana P2KP yang
3
dialokasikan, diserap oleh sektor usaha ekonomis produktif masyarakat yang bergerak dibidang usaha rajutan. Data yang diperoleh dari pengelola program P2KP di Kelurahan Binong menunjukkan bahwa dari 344 KK yang dijadikan sasaran program, 185 KK diantaranya adalah pengrajin rajutan. Hal
ini
memperlihatkan
bahwa
penyaluran
bantuan
usaha
lebih
diprioritaskan pada kegiatan UEP yang memiliki kapasitas daya saing (competitive Advantage) sehingga lebih berpeluang untuk dikembangkan pada level bisnis yang lebih tinggi. Prioritas ini mengindikasikan bahwa selain aspek pertumbuhan, program P2KP juga mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability), baik usaha itu sendiri maupun perputaran dana program P2KP, sementara aspek sosial budaya yang terintegrasi didalamnya belum dijadikan pertimbangan bagi pemberian bantuan. Ditinjau dari sisi kuantitas keterlibatan masyarakat, P2KP di Kelurahan Binong dapat dikategorikan cukup berhasil. Hal ini nampak dari meningkatnya jumlah anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi atau memanfaatkan bantuan program. Pada tahap awal, program hanya mampu membangun kelembagaan dalam bentuk KSM-KSM sebanyak 10 KSM, saat ini baik kelembagaan maupun individu yang ikut berpartisipasi telah melibatkan 93 KSM atau 344 KK. Namun demikian, keberhasilan ini tidak diiringi oleh peningkatan kualitas usaha yang dikembangkan. Walaupun terlihat ada beberapa indikasi peningkatan kualitas dalam manejemen usaha seperti semakin luasnya jaringan pemasaran, hal ini belum dapat mewakili gambaran keberhasilan program secara keseluruhan. Pandangan ini terutama karena peningkatan tersebut hanya terjadi pada beberapa pengrajin, utamanya pengrajin yang memang dari awal telah memiliki skala usaha yang cukup besar, sementara pengrajin dengan skala usaha yang relatif lebih kecil belum memperlihatkan peningkatan signifikan. Hasil kajian yang penulis lakukan dalam praktek lapangan II memperlihatkan bahwa kondisi ini terjadi karena distribusi dana bantuan yang diterima oleh KSM tidak merata diantara anggota-anggotanya. Dalam distribusi dana bantuan yang diterima, ada kecenderungan pihak yang diserahkan wewenang mengelola dana yang diterima kelompok yang lebih memprioritaskan dana tersebut untuk kepentingannya usahanya sendiri. Umumnya dalam setiap KSM, pihak yang dipilih oleh anggotanya untuk menjalankan tugas sebagai pengurus adalah para pengrajin dengan skala
4
usaha yang cukup besar. Pemilihan ini dilakukan, selain untuk menjamin pasokan bahan baku dan pemasaran, juga keamanan dana bantuan yang diterima lebih terjaga. Namun dalam prakteknya, justeru oknum-oknum ini sengaja memanfaatkan posisi tersebut untuk mengatasi kendala yang mereka hadapi dalam mengakses modal dari lembaga-lembaga keuangan resmi. Kondisi diatas berakibat pada terhambatnya pertumbuhan aktivitas usaha pengrajin dengan skala usaha yang relatif kecil. Alokasi dana bantuan yang mereka terima tidak mampu meningkatkan kapasitas produksinya, bahkan tidak sedikit yang terpakai untuk keperluan rumah tangga. Selain itu, sikap monopoli tersebut akhirnya terakumulasi pada menurunnya kualitas nilai-nilai kepercayaan (trust) diantara anggota KSM, sehingga pada perkembangan selanjutnya, masyarakat lebih cenderung untuk bertindak secara individual dalam memanfaatkan dana P2KP. 1.2. Rumusan Masalah Dalam suatu komunitas yang mermiliki aktivitas produktif yang homogen selalu dihadapkan pada kecenderungan untuk terjadinya benturan diantara sesama mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan komunitas dengan aktivitas yang lebih variatif. Benturan dapat timbul akibat upaya mengembangkan usaha maupun dalam mengakses permodalan yang merupakan salah satu syarat penting dalam aktivitas ekonomi produktif. Tanpa adanya koordinasi yang baik, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan memunculkan tindakan-tindakan penyimpangan baik secara ekonomi maupun sosial seperti monopoli, oligopoli dan pemaksaan satu pihak terhadap pihak lainnya. Dampaknya, semua pihak yang ada dalam komunitas tersebut tidak akan dapat melakukan aktivitasnya dengan leluasa. Menghadapi kenyataan tersebut, maka salah satu tindakan yang mungkin dikembangkan adalah dengan membuat suatu wadah yang dapat menampung memiliki
aspirasi dan kepentingan anggota komunitas tersebut agar
peluang
mengembangkan permodalan.
dan aktivitas
Pembentukan
kesempatan
yang
produksinya wadah
ini
sama,
maupun dapat
dalam
baik
dalam
mengakses
dilakukan
dengan
mengembangkan konsep-konsep organisasi secara formal maupun dengan mengeksplore kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dalam
5
wujud
kelembagaan.
Wadah
dimaksud
dapat
berbentuk
sebuah
kelembagaan dalam pengertian organisasi ataupun kelembagaan, institusi secara terpisah atau kombinasi keduanya. Terkait dengan peluang dan kesempatan mengakses permodalan, berdasarkan gambaran permasalahan yang ditemukan dalam komunitas pengrajin rajutan di Kelurahan Binong, ternyata pembentukan wadah inipun tidak serta merta dapat mengeliminir benturan-benturan yang ada. Bahkan pembentukan wadah dimaksud justeru melahirkan potensi konflik baru diantara anggota komunitas. Pada kenyataan yang terjadi dalam komunitas pengrajin rajutan di Kelurahan Binong ini mendorong penulis untuk mencoba mengkaji permasalahan tersebut dengan menggali aspek-aspek penyebabnya. Agar kajian yang dilakukan lebih terarah, maka penulis mempersempit fokus kajian pada permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana menciptakan konsep keadilan dan kesetaraan dalam pemanfaatan bantuan dari program pengembangan masyarakat b. Bagaimana peran KSM dalam memformulasikan peran dan fungsi anggotanya dalam meningkatkan kapasitas daya saing. c. Bagaimana
bentuk
aktivitas
yang
dikembangkan
dalam
upaya
penguatan peran dan fungsi KSM dalam menunjang proses produksi. 1.3. Tujuan dan Kegunaan 1.3.1. Tujuan a. Mengidentifikasikan
aspek-aspek
sosial
masyarakat
yang
dilibatkan atau dikembangkan dalam proses pembentukan KSM. b. Mendapatkan gambaran tentang formulasi KSM yang tepat dan sesuai
dengan
keinginan,
kebutuhan
dan
kepentingan
masyarakat. c. Menggali aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan KSM dan faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap proses penguatan KSM. d. Menemukan rumusan dan model pendekatan yang efektif bagi upaya penguatan KSM 1.3.2. Kegunaan Secara umum kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat strategis berupa
masukan model-model dan konsep
6
pengembangan masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan oleh
pemerintah
daerah
dalam
penyusunan
kebijakan
pembangunan di daerah. Selain itu, kajian ini juga dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pengetahuan, dan
para
praktisi
yang
berkecimpung
langsung
dalam
pemberdayaan masyarakat. Lebih khusus diharapkan bermanfaat bagi: a. Pemerintah dan pihak terkait 1. Memberikan masukan praktis dan manfaat strategis berupa masukan
model-model
dan
konsep
pengembangan
masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan pembangunan. 2. Memberikan kritik dan saran tentang pergeseran praktek pengembangan
partisipatif
pada
berbagai
kondisi
masyarakat bagi pihak-pihak yang terlibat langsung sebagai agen pembaharu dalam pemberdayaan masyarakat di masa yang akan datang. b. Perguruan Tinggi 1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menambah khasanah keilmuan tentang bentuk-bentuk praktis konsep pendekatan kelompok dalam pemberdayaan masyarakat. 2. Memberikan informasi awal bagi penelitian selanjutnya, dalam usaha mendapatkan model pemberdayaan kelompok yang ideal pada masyarakat miskin perkotaan.