I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia yang menempati urutan keempat sesudah padi, gandum dan jagung (Rubatzky & Yamaguchi 1998 ; Tjitrosoepomo 1997).
Kentang awalnya diintroduksi dari
dataran tinggi Andes, Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun 1570. Penerimaan masyarakat Spanyol menyebabkan pertumbuhan dan distribusi kentang meningkat dan mulai dibudidayakan secara besar-besaran (Hawkes 1994 ; Wattimena et al. 2002). Kentang dibawa ke sejumlah negara di Eropa dan dalam waktu kurang dari 100 tahun, tanaman ini telah ditanam cukup luas. Penyebaran di luar Eropa dimulai tahun 1620 ke India, tahun 1700 ke Cina dan ke berbagai wilayah di daerah Asia lainnya (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Di Indonesia, kentang pertama kali masuk di wilayah Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tahun 1794 dan mulai dibudidayakan di daerah dataran tinggi lainnya sejak tahun 1804 yaitu di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Tanah Karo (Sumatera Utara) sampai ke pegunungan Arfak (Irian Jaya) (Wattimena 2000). Saat ini kentang sudah dibudidayakan di 20 propinsi di Indonesia, yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua (AVRDC1991 ; Daryanto 2003). Kebutuhan kentang dari tahun ke tahun semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan gizi (Rukmana 1997). Perubahan pada konsumsi masyarakat Indonesia dewasa ini juga turut berperan dalam memacu peningkatan kebutuhan kentang. Di kota-kota besar mulai terlihat adanya pergeseran ke arah pemanfaatan kentang sebagai sumber alternatif karbohidrat. Walaupun permintaan kentang semakin meningkat, tetapi produksi kentang belum memenuhi tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia (BPS 2005). Hal ini terlihat dari penurunan produksi kentang setiap tahunnya. Pada tahun 2005 produksi kentang mengalami penurunan sebesar 62.421 ton, yaitu dari produksi 1.072.040 ton pada tahun 2004 menjadi 1.009.619 ton pada tahun 2005. Luas panen kentang tahun 2005 sebesar 61.557 Ha, sedangkan tahun
2
2004 sebesar 65.420 Ha. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produksi kentang adalah gangguan hama dan penyakit, iklim, teknik budidaya, pembibitan (mutu bibit) dan kesuburan tanah. Di antara faktor-faktor tersebut, gangguan hama dan penyakit merupakan penyebab utama penurunan produksi kentang di Indonesia. Penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi kentang di Indonesia adalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh berbagai bakteri, cendawan, fitoplasma, oomisetes, nematoda, viroids, dan virus dengan intensitas serangan yang sangat tinggi. Salah satu nematoda parasit yang saat ini sangat meresahkan petani kentang di Indonesia adalah potato cyst nematode (PCN) atau nematoda sista kentang (NSK) (Globodera spp.). Nematoda ini merupakan organisme pengganggu tanaman penting karena kemampuan merusak dan mematikan pada tanaman kentang yang sangat besar. Nematoda menyebar luas secara pasif melalui tanah atau umbi atau bahan pembiakan vegetatif yang lain. Sejarah NSK di Dunia dan di Indonesia Nematoda sista kentang berasal dari wilayah di sekitar Danau Titicaca pegunungan Andes Amerika Selatan, dekat perbatasan Peru dan Bolivia (Evans & Turner 1998). Impor tanaman kentang yang berasal dari Amerika Selatan oleh negara-negara di Eropa untuk keperluan pemuliaan demi menghasilkan varietas kentang resisten terhadap Phytophthora infestans, merupakan awal dari penyebaran NSK di Benua Eropa (Evans & Turner 1998). CABI (2002) telah mencatat daerah sebar NSK di Benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika dan Kepulauan Oceania (Kepulauan Norfolk New Zealand Australia). Ternyata pola sebar NSK mengikuti pola sebar tanaman kentang dan hampir seluruh sentra pertanaman kentang di dunia telah dicemari oleh kehadiran NSK (Hadisoeganda 2004). Sampai tahun 1923, NSK tergolong sebagai strain kentang dari nematoda sista bit gula (Heterodera schachtii (Schmidt). Pada tahun itu, Wollenweber mengklassifikasi strain kentang ini sebagai Heterodera rostochiensis (Woll.). Pada tahun tujuh puluhan, Stone (1973b) mengidentifikasi dan mendiskripsikan spesies NSK yang kedua yaitu Heterodera pallida. Nama-nama ini kemudian
3
diganti menjadi Globodera rostochiensis (nematoda sista kuning atau golden potato cyts nematode) dan G. pallida (nematoda sista putih atau pale potato cyts nematode) (Stevenson et al. 2001). Di Indonesia, NSK merupakan patogen baru, dan pertamakali dilaporkan menyerang pertanaman kentang di dusun Sumber Brantas Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Jawa Timur (Daryanto 2003). Lebih lanjut Daryanto (2003) melaporkan, dari hasil wawancara langsung dengan petani kentang di Kecamatan Bumi Aji, Jawa Timur terjadi penurunan produksi kentang pada tanaman yang terserang ringan yaitu dari produksi normal 24 ton menjadi 14 ton bahkan ada yang hanya 7 ton pada lahan seluas 1,5 ha, yang berarti terjadi penurunan produksi antara 32-71%. Awalnya nematoda tersebut termasuk Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK) kelas A1 yang berarti OPT yang belum terdapat di Indonesia dan harus diawasi agar tidak masuk ke wilayah Republik Indonesia. Saat ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 38/Kpts/HK.060/1/ 2006, tanggal 27 Januari 2006, tentang jenis-jenis organisme pengganggu tumbuhan karantina golongan I kategori A1 dan A2, golongan II kategori A1 dan A2, tanaman inang, media pembawa dan daerah sebarnya status NSK berubah, NSK termasuk sebagai OPTK kelas A2 yaitu OPTK yang sudah berada di dalam wilayah tertentu di Republik Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam pengendalian. Keberadaan nematoda ini selain dapat menimbulkan kerusakan tanaman kentang yang cukup besar, juga ekspor kentang dari suatu negara yang diketahui pertanaman kentangnya terinfeksi NSK akan terhambat (Brodie et al. 1993). Berdasarkan informasi tersebut, NSK berpotensi menjadi faktor pembatas utama pada produksi kentang di Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Biologi dan Siklus Hidup NSK Nematoda sista kentang mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya berisi telur (Mulder & Van der Wal 1997). Ketika tidak ada tanaman kentang, sista tetap tinggal di dalam tanah, sebagian dari sista akan
4
menetas secara alami untuk mengurangi kepadatan populasi, dan sebagian sista lagi akan tetap berada di dalam tanah untuk waktu yang lama tanpa inang. Kemampuan bertahan hidup, reproduksi dan dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, panjang hari dan faktor lingkungan di sekitarnya. Bagian yang aktif dari siklus hidup dimulai ketika juvenil stadia kedua (J2) menetas dari telur. Penetasan terjadi bila temperatur tanah cukup hangat (di atas 10°C) (Ferris 1959) dan ada rangsangan senyawa kimia yang dikeluarkan oleh ujung akar tanaman inang (Clark & Hennessy 1984 ; Rawsthorne & Brodie 1986). Rangsangan ini bersifat spesifik yaitu hanya terjadi pada tanaman dari famili Solanaceae seperti kentang, tomat, terung dan S. dulcamara (sejenis gulma). Menurut Devine & Jones (2000), sedikitnya ada sembilan senyawa kimia yang disebut faktor penetasan (hatching factors) yang berperan dalam penetasan telur NSK. Beberapa dari senyawa ini telah diidentifikasi dan dikarakterisasi, salah satunya adalah solanoeclepin A (Mulder et al. 1997). Rangsangan eksudat akar menyebabkan 60 – 80% telur menetas, sekitar 5% penetasan terjadi di dalam air dan 30% penetasan terjadi secara spontan tanpa inang (Fenwick 1949). Bila kondisi lingkungan tidak mendukung dan tidak ada rangsangan untuk menetas, telur berada dalam kondisi dorman di dalam sista. Pada stadia dorman, nematoda lebih resisten terhadap nematisida (Spears 1968). Nematoda mempunyai empat stadia juvenil dan stadia dewasa (jantan dan betina). J2 yang menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar tanaman inang. Selanjutnya J2 masuk ke dalam akar di dekat titik tumbuh atau akar-akar lateral dengan menusukkan stiletnya pada sel epidermis, masuk dan bergerak dalam akar secara intraselluler dan akhirnya menetap dan memulai makan di perisikel, korteks atau endodermis. Tusukan stilet menyebabkan masuknya saliva ke dalam sel dan merangsang pembentukan sinsitium yang dikelilingi oleh satu lapisan sel hiperplastik yang berguna untuk mentransfer nutrisi ke nematoda (Jones & Nortconte 1972). Interaksi inang-parasit mempengaruhi perkembangan juvenil stadia empat (J4) untuk menjadi betina atau jantan. Jenis kelamin ditentukan oleh kecukupan nutrisi. Nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan, sebaliknya jika
5
nutrisi cukup tersedia akan menghasilkam betina. Pada saat terjadi infeksi berat, NSK jantan menjadi lebih dominan, dan sebaliknya. Proses pelukaan terjadi pada saat NSK betina membengkak, memecah korteks akar, dan mengeluarkan bagian vulva, sedangkan bagian kepala dan leher masih tetap berada di dalam akar. Dalam perkembangannya, NSK jantan melingkar di dalam kutikula larva J4 dan memecah kutikula, kemudian keluar dari akar. Jantan dewasa berbentuk cacing (vermiform), keluar dari sinsitium dan masuk ke dalam tanah (Evans & Turner 1998). Reproduksi NSK terjadi secara seksual. Nematoda betina menghasilkan feromon untuk memikat atau menarik jantan yang berada di dalam tanah. Perkawinan segera terjadi beberapa saat kemudian. Setelah kawin, setiap betina menghasilkan sekitar 200-500 telur, kemudian betina mati dan dinding tubuhnya akan membungkus telur dan membentuk sista. Perkembangan embrio terjadi di dalam telur hingga stadia kedua. Penetasan kembali terjadi bila ada rangsangan yang dihasilkan oleh akar tanaman inang dan kondisi lingkungan yang sesuai dan siklus hidup akan berulang kembali. NSK akan melengkapi siklus hidupnya selama 38-48 hari bergantung kepada temperatur tanah (Chitwood & Buhrer 1945). Identifikasi dan Pengujian Patotipe NSK Identifikasi spesies dan patotipe NSK adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan metode pengendalian yang tepat. Sampai saat ini metode identifikasi konvensional yaitu dengan pengamatan dan pengukuran morfologi masih digunakan. Secara morfologi dan morfometri kedua spesies NSK, G. rostochiensis dan G. pallida mempunyai banyak persamaan, sehingga sulit dibedakan. Sista merupakan salah satu indikator penting untuk membedakan kedua spesies, dari sini dapat dilakukan pengamatan daerah perineal seperti jumlah tonjolan-tonjolan kutikula (cuticular ridges) antara vulva dan anus dan pengukuran rasio granek. Selain sista, morfologi betina, telur, juvenil stadia kedua (J2), jantan dan daerah posterior (vulva dan anus) digunakan untuk identifikasi spesies Globodera. Berdasarkan morfologi, G. pallida umumnya mempunyai
6
ukuran lebih besar atau lebih panjang dib&ingkan G. rostochiensis (CABI 2002 ; Stone 1973a ; Stone 1973b). Seiring
dengan
dikembangkan pengujian
perkembangan
bidang
molekuler,
maka
telah
yang didasari dengan perbedaan di dalam protein,
lemak, karbohidrat dan asam deoksiribonukleat (DNA) untuk metode identifikasi NSK, yaitu metode PCR (polymerase chain reaction). Teknik PCR dapat mengatasi masalah jumlah DNA yang rendah per individu. Fragmen DNA genom nematoda yang menjadi sasaran analisa diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Dari analisis genom nematoda, diperoleh informasi bahwa bagian internal transcribed spacer (ITS) dari rDNA merupakan daerah variabel sebagai k&idat yang baik untuk studi taksonomi molekuler dan filogenik sehingga sering digunakan untuk analisa patotipe suatu populasi nematoda (Thiery & Mugniery 1996). Dalam bidang fitopatologi, teknik PCR banyak digunakan untuk tujuan deteksi patogen, identifikasi patogen, karekterisasi keanekaragaman patogen maupun untuk diferensiasi patogen tumbuhan. Dengan demikian bersama-sama dengan teknik konvensional, prosedur yang berdasarkan analisis DNA dan protein secara kontinyu dikembangkan untuk mengidentifikasi NSK sehingga dapat ditemukan metode pengendalian yang tepat. Istilah patotipe digunakan pertama kali oleh Kort et al. (1977) dalam the International PCN Pathotype Scheme. Setiap spesies NSK dibedakan atas patotipe-patotipe berdasarkan kemampuan mereka untuk memperbanyak diri pada klon-klon Solanum dengan gen-gen ketahanan yang berbeda. Sampai saat ini diketahui ada delapan patotipe yang dikenal di Eropa, lima masuk dalam spesies G. rostochiensis (Ro1, Ro2, Ro3, Ro4 dan Ro5) dan tiga masuk dalam spesies G. pallida (Pa1, Pa2 dan Pa3) (Kort et al. 1977) sedangkan di Amerika Selatan dikenal sepuluh patotipe yang terdiri dari empat masuk dalam spesies G. rostochiensis (Ra1, Rb1, Ra2 dan Ra3) dan enam masuk dalam spesies G. pallida (Pa1, Pb1, Pa2, Pa3, Pa4 dan Pa5) (Canto Saenz & de Scurrah 1977) (Lampiran 2). Patotipe-patotipe asal Eropa dibuat berdasarkan laju reproduksi pada 6 klon diferensial yaitu : S. tuberosum spp. &igena CPC 1673, S. kurtzianum hibrid 60.21.19, S. verrnei GLKS 58.1642/4, 62.33.3 dan MPI 65.346/19 dan S. multidissectum hibrid P55/7 (Dunnett 1961). Biasanya nilai Pf/Pi ditentukan
7
dengan pengujian klon diferensial di pot, kemudian diinokulasi dengan 25 sista (Pi). Pada akhir penelitian jumlah sista baru (Pf) dib&ingkan dengan jumlah sista awal (Foot 1977). Patotipe dibagi menjadi virulen atau avirulen. Virulen jika Pf/Pi >1 atau avirulen jika Pf/Pi ≤ 1. Strategi Pengendalian NSK merupakan salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan, karena kemampuannya bertahan hidup yang sangat tinggi. Pada populasi rendah kehadiran nematoda sulit dideteksi, sebaliknya pada tingkat populasi yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat tinggi. Untuk itu perlu diupayakan pengelolaan secara terpadu, yaitu dengan pencegahan introduksi baru dari luar negeri, pembatasan penyebaran ke sentra-sentra produksi kentang yang masih bebas NSK, dan pengendalian di wilayah yang sudah terinfestasi. Beberapa teknik pengendalian NSK yang mungkin dapat dilakukan adalah : (1) rotasi tanaman, (2) penggunaan kultivar kentang tahan, (3) tanaman perangkap, (4) pengendalian biologi, (5)
penggunaan nematisida dan (6)
pengendalian terpadu. Penggunaan rotasi tanaman untuk mengendalikan NSK seringkali sulit dilakukan karena untuk memperoleh hasil yang nyata rotasi tanaman membutuhkan waktu yang lama, yaitu sekitar 6-7 tahun (Urwin et al. 2001). Selain itu umumnya tanaman yang digunakan untuk rotasi mempunyai nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan kentang, sehingga petani tidak tertarik untuk melakukan rotasi tanaman, untuk itu perlu dicari strategi pengendalian lain (Schomaker & Been 1999). Penggunaan varietas resisten merupakan cara yang efektif dan ekonomis dalam mengendalikan nematoda parasit tanaman. Walaupun demikian tidak mudah untuk mendapatkan varietas resisten NSK. Hal ini disebabkan karena NSK dikendalikan oleh beberapa gen virulen, dimana gen-gen virulen tersebut ada yang bersifat monogenik dan ada yang bersifak poligenik sehingga sulit untuk merakit varietas kentang dengan beberapa gen tahan sekaligus. Oleh karena itu walaupun pemuliaan tanaman telah berhasil mendapatkan beberapa varietas kentang resisten tetapi tidak menyelesaikan masalah NSK secara permanen. Tanaman perangkap (trap crop) adalah tanaman yang digunakan untuk
8
merangsang penetasan telur dari sista dengan eksudat yang dikeluarkan akar, tetapi mencegah terjadinya siklus hidup lengkap sehingga dapat menurunkan populasi nematoda di lapangan (Anonimus 2007c). Halford et al. (1999) ; Lamondia & Brodie (1986) mengemukakan bahwa dengan penggunaan tanaman perangkap dapat menurunkan populasi NSK di lapangan lebih dari 87%. Scholte (2000a) melaporkan bahwa tanaman kentang sendiri dapat digunakan, tetapi tidak ideal sebagai tanaman perangkap. Beberapa penelitian di Eropa menemukan bahwa penggunaan Solanaceae yang tidak menghasilkan umbi sebagai tanaman perangkap ternyata lebih efektif dibandingkan Solanaceae yang menghasilkan umbi. Hal ini disebabkan karena pada tanaman yang menghasilkan umbi, tanaman masih dapat tumbuh kembali walaupun umbi telah diambil. Setelah dilakukan skrining untuk waktu yang lama, didapat satu spesies Solanaceae yang efektif untuk mengendalikan NSK di Eropa yaitu Solanum sisymbriifolium (Lam.) (Scholte 2000b).
S. sisymbriifolium
mampu menurunkan populasi NSK sebesar 50-80% (Scholte 2000c ; Scholte & Vos 2000). Walaupun beberapa cendawan telah berhasil diisolasi dari Globodera spp., tetapi keberhasilan pengendalian NSK secara biologi masih kecil. Khan (1988), melaporkan parasit telur Paecilomyces lilacinus mampu mengendalikan G. rostochiensis seefektif nematisida aldicard. Goswami & Rumpehorst (1978) berhasil mengisolasi cendawan dari telur NSK di Jerman dan efektif menginfeksi 70% telur G. rostochiensis dan G. pallida. Keberhasilan penggunaan agens biokontrol untuk pengendalian biologi sangat dipengaruhi oleh seleksi isolat agens biokontrol yang akan digunakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi epidemiologi agens biokontrol dan nematoda itu sendiri (Stirling 1991). Untuk beberapa dekade, pengendalian nematoda yang efektif sangat tergantung pada penggunaan nematisida (Hague & Gowen 1987). Nematisida yang bersifat fumigan maupun yang non fumigan dapat digunakan untuk mengendalikan nematoda. Fumigasi tanah telah digunakan sejak lama dan dapat menurunkan populasi NSK secara cepat (Brodie & Mai 1989). Lebbink et al. (1989) melaporkan penggunaan fumigasi tanah (1,3-dikhloropropene, methyl isothiocyanate) di bawah kondisi yang optimum dapat menurunkan populasi
9
nematoda parasit tanaman hingga 80%, sehingga memungkinkan mempersingkat waktu rotasi tanaman. Hal ini yang menyebabkan penggunaan fumigasi tanah menjadi komponen kunci dalam pengenadian NSK di Amerika hingga tahun 1984. Namun penggunaan fumigasi tanah harus benar-benar diperhatikan, karena fumigasi tanah dapat bersifat fitotoksik dan dapat membunuh semua organisme di dalam tanah termasuk nematoda, cendawan, bakteri dan serangga (Lebbink et al. 1989). Nematisida yang bersifat non fumigasi digunakan untuk melindungi tanaman kentang dari kerusakan dan kehilangan hasil karena serangan nematoda. Nematisida
non
fumigasi
seperti
aldicarb
[2-methyl-2-(methylthio)
propionaldehyde O-(methylcarbamoyl) oxime] dan oxamyl {methyl N’,N’dimethyl-N-[(methylcarbamoyl)oxy]-1-thiooxamimidate} efektif mengendalikan NSK. Nematisida ini diaplikasikan pada permukaan tanah sebelum kentang ditanam (Whitehead 1986) atau diaplikasikan pada bibit pada waktu tanam (Brodie 1984). Walaupun nematisida efisien dan memberikan hasil dalam waktu yang cepat, tetapi penggunaan nematisida membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu nematisida bersifat persisten sehingga dapat menyebabkan kontaminasi air tanah, lingkungan dan kesehatan (Brodie & Mai 1989). Beberapa peneliti melaporkan nematisida juga bersifat bioremediasi, yang berarti beberapa nematisida dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri tanah sehingga pemberian nematisida tidak berefek apapun pada nematoda yang akan dikendalikan. Keterbatasan dari setiap teknik pengendalian jika digunakan secara tunggal untuk mengendalikan NSK, menjadi dasar pemikiran untuk memadukan beberapa teknik pengendalian sekaligus. Aplikasi nematisida non fumigan yang dikombinasikan dengan penggunaan kultivar kentang resisten dan fumigasi tanah telah menghambat penyebaran G. rostochiensis di Amerika (Evans & Brodie 1980). Di Belanda, dichloropropene dan methyl sodium digunakan secara intensif pada pengendalian terpadu NSK (Trudgill et al. 1987). Pengendalian NSK dengan strategi pengendalian terpadu dapat menurunkan resiko seleksi patotipe yang virulen secara cepat. Mengingat bahwa NSK adalah nematoda introduksi dari belahan dunia lain dan keberadaannya di Indonesia baru terdeteksi beberapa tahun yang lalu,
10
maka tidak mengherankan bila banyak hal belum terungkap. Oleh karena itu, salah satu aspek yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah pemetaan sebaran geografi NSK di Pulau Jawa (Bab II). Masuknya bibit kentang dari berbagai negara ke sentra-sentra pertanaman kentang di Indonesia memungkinkan terdapatnya kedua spesies NSK (G. rostochiensis dan G. pallida) dengan berbagai patotipe di Indonesia, bahkan tidak tertutup kemungkinan ada patotipe baru spesifik Indonesia. Persilangan antar NSK negara asal benih dan tekanan lingkungan baru yaitu iklim tropis Indonesia, serta adanya pengaruh faktor lingkungan seperti temperatur tanah dan lain-lain menyebabkan hanya individuindividu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya saja yang akan membentuk populasi (baca: isolat) di daerah baru. Di samping itu, proses seleksi dan suksesi alami ini tentu menciptakan koloni-koloni NSK baru di Indonesia yang mungkin sangat berbeda dari tetuanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengendalian maka perlu diketahui karakter detail tentang biologi dan siklus hidup NSK (Bab. IV), spesies dan patotipe NSK di Indonesia serta penelitian lebih mendalam tentang asam nukleat, sekuen nukleotida dan hubungan kekerabatan NSK isolat Indonesia dan isolat dari belahan dunia lain (Bab. III). Setelah mengetahui etiologi NSK isolat Indonesia, hal lain yang tidak kalah penting untuk diusahakan adalah mendapatkan formulasi pengendalian yang tepat untuk NSK Indonesia. Sampai saat ini penggunaan kultivar kentang resisten masih merupakan metode pengendalian yang paling banyak dilakukan di negara Eropa, tetapi di Indonesia belum tersedia informasi mengenai hal tersebut. Eksplorasi sifat ketahanan terhadap NSK yang mungkin dimiliki oleh beberapa kultivar kentang yang umum dibudidayakan di Indonesia perlu dilakukan. Sifat dormansi sista NSK yang sangat panjang menjadikan benih kentang yang terinfestasi berperan sangat penting dalam epidemiologi penyakit yang ditimbulkan di lapang. Tanaman Solanaceae
yang dapat mengakhiri masa
dormansi sista NSK akan sangat bermanfaat untuk menjadikan NSK masuk pada stadia rentan lingkungan. Untuk tujuan pengendalian, pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap NSK dan eksplorasi spesies-spesies tanaman Solanaceae lainnya yang menghasilkan suatu senyawa yang dapat mengaktivasi sista NSK (Bab. V).
11
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, perlu dilakukan penelitian ini yang bertujuan : (1) Mendapatkan sebaran geografi NSK di sentra-sentra pertanaman kentang di Pulau Jawa; (2) Mengetahui spesies dan patotipe NSK Indonesia dengan melakukan identifikasi berdasarkan karakter morfologi dan molekuler serta klon diferensial; (3) Mempelajari biologi NSK dengan mengamati perkembangan pascaembriogenik dan pengaruh temperatur terhadap faktor biologis; (4) Mengevaluasi ketahanan kultivar kentang dan kisaran inang NSK. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, penelitian dilakukan melalui serangkaian percobaan sebagai berikut : (1) Survei nematoda sista kentang di sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah; (2a) Identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter morfologi, yaitu dengan pengamatan dan pengukuran ciri-ciri morfologi (morfometri) dan karakter molekuler yaitu dengan menggunakan sidik jari DNA melalui teknik polymerase chain reaction (PCR); (2b) Pengujian klon diferensial untuk mengetahui patotipe NSK; (3). Mempelajari pengaruh temperatur terhadap faktor biologis dan mengamati perkembangan pascaembriogenik NSK; (4) Melakukan pengujian ketahanan kultivar kentang terhadap infeksi NSK dan uji kisaran inang untuk mendapatkan tanaman yang potensial sebagai tanaman perangkap NSK. Secara lengkap alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, akan memberikan informasi daerah penyebaran, spesies dan patotipe-patotipe nematoda sista kentang yang ada di Indonesia. Banyak pihak yang berkepentingan dengan ketersediaan informasi semacam ini. Karantina Tumbuhan misalnya, dapat menggunakan informasi ini sebagai dasar keilmuan untuk memberlakukan pembatasan lebih ketat pemasukan kentang dan penyebaran NSK ke daerah yang masih bebas NSK. Hasil penelitian juga akan memberikan informasi temperatur yang paling optimal bagi perkembangan NSK dan mengetahui pascaembriogenik dan siklus hiup NSK. Disamping itu akan diketahui respon ketahanan kultivar kentang dan kisaran inang yang berpotensi sebagai tanaman perangkap NSK. Pada akhirnya
12
semua informasi yang didapat, dapat digunakan untuk menentukan strategi pengendalian NSK yang tepat dan efektif di masa yang akan datang. Percobaan 1. Survei sebaran geografi NSK di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat Sampel tanah Sista
Percobaan 2. Identifikasi spesies dan patotipe
Karakter morfologi
Karakter molekuler
Percobaan 3. Kajian biologi
Percobaan 4. Evaluasi ketahana kultivar kentang dan kisaran inang NSK
a. Faktor biologi b. Pascaembriogenik c. Siklus hidup
a. Morfologi b. Morfometri
PCR
G. rostochiensis G. pallida
G. rostochiensis G. pallida
Uji klon diferensial
Analisis susunan DNA
Patotipe
Analisis hubungan kekerabatan
Hasil : Informasi tentang : (1). Sebaran geografi NSK di Pulau Jawa, (2). spesies dan patotipe NSK, (3). temperatur optimum untuk faktor biologi, (4). pascaembriogenik dan siklus hidup, (5). kultivar kentang tahan dan (6). Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap
Strategi pengendalian yang tepat dan efektif
Gambar 1.1. Diagram alur penelitian