1
I. PENDAHULUAN 1.2. Tujuan Penelitian 1.1. Latar Belakang Salah satu masalah dalam memahami atmosfer adalah kita harus melihat atmosfer dalam tiga dimensi, kebanyakan alat bantu dalam analisis meteorologi hanya memilki dua dimensi seperti peta cuaca sinoptik atau citra satelit. Walaupun seiring perkembangan zaman citra satelit telah dapat melakukan analisis hingga bagian permukaan akan tetapi masih terdapat kelemahan dalam aplikasinya. Analisis meteorologi kerap dilakukan beradasarkan lapisan horizontal dua dimensi, baik lapisan teratas atau lapisan terbawah, sehingga kerap terjadi kekosongan analisis antara kedua lapisan ruang tersebut. Kedaan udara atas memiliki karakteristik yang khas. Pengamatan udara atas memiliki skala waktu dan ruang yang sempit jika dibandingkan dengan proses yang mempengaruhinya (Pettersen S, 1956). Kebanyakan kejadian cuaca terjadi di lapisan atmosfer atas, mulai dari uap air yang terangkat, menjadi jenuh, berkondensasi, hingga jatuh menjadi titik hujan, hal ini menarik banyak ahli meteorologi untuk memecahkan dan mengambarkan kejadian di lapisan tersebut, berbagai piranti serta persamaan telah digunakan dan dikembangkan untuk tujuan ini mulai dari layang-layang hingga diagram aerologik. Gambaran atmosfer yang lebih lengkap akan diperoleh pemahaman keadaan atmosfer yang lebih baik, oleh karena itu diperlukan pengamatan terhadap udara atas untuk memahami keadaan atmosfer pada keadaan yang sebenarnya. Radiosonde adalah suatu piranti meteorologi yang dapat memberikan gambaran dari keadaan udara atas, dengan bantuan radiosonde akan diperoleh pengukuran suhu, titik embun, kecepatan angin, kelembaban untuk batas ketinggian tertentu dari atmosfer. Walaupun masih juga terdapat kekurangan dalam hal efisiensi dan proses pengambilan data, akan tetapi untuk ketelitian dan pengambaran udara atas pada ketinggian tertentu tersebut, radiosonde masih diandalkan hingga kini. Salah satu piranti lunak yang dapat digunakan dalam membantu aplikasi data Sounding adalah RAOB (Rawindsonde observation Program). Dengan perangakat ini pemprosesan, analisa dan prakiraan keadaan udara atas dapat lebih dipermudah.
Tujuan dari penelitian ini: 1. Menentukan karakteristik udara atas atmosfer menggunakan aplikasi program RAOB (Rawindsonde observation Program) untuk wilayah bandar udara Soekarno-Hatta pada selang waktu Desember 2007 hingga November 2008 2. Menganalisis perbedaan karakteristik udara atas pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2007-2008. 3. Menganalisis kadar uap air di atmosfer dengan menghitung nilai Precipitable Water (PW) untuk bulan-bulan D-J-F dan J-J-A
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Atmosfer Atmosfer adalah lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi (Prawiriwardoyo S, 1996). Atmosfer memilki lapisan-lapiasan yang ditentukan berdasarkan profil suhunya. Lapisan itu antara lain troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer. Sangat jarang terjadi percampuran antar lapisan-lapisan dari atmosfer tersebut. Lapiasan terbawah dari atmosfer adalah troposfer. Lapisan ini mengandung 80% masa, 99% uap air dan aerosol dari keseluruhan atmosfer. Ketebalan dari lapisan ini tidak tetap bergantung pada tempat dan waktu. Ketebalan dari troposfer pada daerah khatulistiwa dapat mencapai 20 km dan dapat hanya 8 km di daerah kutub, pada lapisan troposfer inilah kejadian cuaca terjadi. Sumber bahang utama dari lapisan troposfer adalah bumi yang menyerap dan memantulkan kembali radiasi matahari. Oleh karena itu secara umum suhu menurun seiring bertambahnya ketinggian dengan nilai yang konstan 10 ºC setiap km. Akan tetapi dengan adanya uap air di udara berdasarkan persamaan Clausius-Clapeyron akan terjadi pengurangan nilai perubahan suhu terhadap ketinggian. Data sounding diperoleh dengan pelepasan balon berisi helium yang dilengkapi dengan perangkat elektronik (radiosounding) untuk merekam dan mentransmisikan data suhu dan kelembaban dalam perjalanan terbangnya. Kecepatan ratarata pergerakan keatas dari balon tersebut
2
sebesar 5 m/s, daya jelajah balon dapat mencapai ketinggian 20-30 km. Dalam pengamatan atmosfer digunakan berbagai piranti sesuai dengan pengamatan yang dilakukan. Untuk lapisan hingga 30 km digunakan radiosonde, untuk lapisan 30 hingga 90 km digunakan roket dan untuk lapisan di atas 90 km digunakan citra satelit.
Gambar 1. Proses Pengambilan Data Sounding. Sumber : (Charles D et al., 1991) 2.2. Lifting Condensation Level, Paras Kondensasi Angkat (LCL) LCL atau PKA (Paras Kondensasi Angkat) adalah ketinggian atau paras saat paket udara yang diangkat menjadi jenuh. Dalam mempelajari atmosfer profil kelembaban udara diterapkan dalam nilai mixing ratio yang konstan, sehingga pada pengangkatan parsel udara mengikuti garis adiabatik kering pada suatu titik akan menjadi jenuh. Ketinggian titik LCL berpengaruh terhadap pemicuan pengangkatan uap air dari permukaan. Eltahir dan Pal (1996), menyebutkan jika lapisan teratas dari boundary layer bertepatan dengan LCL dan LFC maka proses konvektif akan terpicu, sebaliknya jika lapisan boundary layer berada di bawah titik LCL dan LFC maka proses konvektif tidak terpicu. Ketinggian dari titik LCL dapat ditentukan dengan mengguanakan rumus Espy’s yaitu: hLCL = 125 (T - Td) Di mana h : Ketinggian (m) T : Temperatur (ºC) Td : Temperatur titik embun (ºC) Ketinggian dari LCL juga dapat ditentukan dengan menggunakan diagram aerologi. Titik LCL ditentukan dengan melihat kelembaban parsel dan perpotongan pergerakan parsel dengan garis Mixing ratio
saat parsel udara menjadi jenuh, pada awal pergerakan parsel udara bergerak mengikuti garis adiabatik kering hingga pada suatu titik parsel udara tersebut menjadi jenuh dan parsel akan bergerak mengikuti garis adiabtik basah. Titik awal parsel tersebut menjadi jenuh merupakan titik LCL.
Gambar 2. Titik LCL Dalam Diagram Aerologi. Sumber: (Charles D et al., 1991) Ketinggian LCL juga digunakan dalam membatasi perameter prakiraan Tornado Craven dan Brooks (2004) sebagian besar Tornado berhubungan dengan ketinggian LCL yang berada di bawah 1300 m. 2.3. Level of Free Convective (LFC) LFC merupakan lapisan dimana pada lapisan tersebut penurunan suhu udara terhadap ketinggian (lapse Rate) lingkungan, lebih curam jika dibandingkan dengan penurunan suhu udara terhadap ketinggian (lapse Rate) adiabatik basah (Wickham PG, 1970), sehingga menyebabkan parsel udara otomatis bergerak naik. Proses pengangkatan parsel ini akan berhenti pada suatu titik saat terjadi keseimbangan dengan lingkungan.
Gambar 3. Titik LFC Dalam Diagram Aerologi. Sumber : (Charles D et al., 1991)
3
Titik LFC dapat ditentukan dengan sudah jenuh di atas titik LCL hingga memotong kurva lingkungan. Area dimana kurva lingkungan berada di sebelah kiri jalur pergerakan parsel udara jenuh (mengikuti garis mixing ratio) merupakan area dimana parsel udara dapat bergerak keatas dengan otomatis, atau biasa disebut area positif. Sedangkan area di bawah titik LFC, parsel udara membutuhkan energi dari luar untuk dapat bergerak naik dan disebut area negatif (Pettersen S, 1956). Titik dimana kurva lingkungan kembali bersinggungan dengan jalur parsel disebut titik equilibrium (El) atau titik keseimbangan. 2.4. Convective Condensation Level (CCL), Paras Kondensai Konvektif (PKK) CCL atau PKK (Paras Kondensai Konvektif) adalah ketinggian dimana kondensasi mulai berlangsung akibat dari pemansan konvektif. Ketinggian CCL selalu berada diatas LCL akibat dari pemanasan membuat berkurangnya RH sehingga diperlukan ketinggian yang lebih untuk mencapai titik kondensasi. Berbeda dengan titik LCL yang tidak berhubungan dengan kurva lingkungan, titik CCL sangat berhubungan dengan kurva lingkungan. Titik CCL merupakan perpotongan dari pergerakan sebuah parsel ketika jenuh yang terangkat akibat pemanasan dengan kurva lingkungan. Ketinggian titik ini selain dipengaruhi oleh kelembaban juga dipengaruhi oleh pemanasan permukaan. Titik CCL berhubungan dengan nilai Tc atau temperatur konvektif, temperatur konvektif merupakan suhu permukaan yang dibutuhkan parsel udara untuk terangkat mencapai titik sangat jenuh pada kurva lingkungan. CCL juga merupakan tinggi dasar awan konvektif atau awan kumulus. Titik CCL pada sore hari merupakan titik dasar awan kumulus akibat dari pemanasan sepanjang siang hari. 2.5. Convective Available Potential Energy (CAPE) CAPE adalah daerah dimana parsel udara memiliki energi positif atau dapat terangkat dengan otomatis, dalam diagram Skew T CAPE adalah luas antara wilayah kurva lingkungan dengan garis adiabaitk basah parsel, di atas level LFC dan di bawah titik keseimbangan (El). CAPE merupakan singkatan dari convective available potential
mengikuti pergerakan parsel udara yang energy satuan dari CAPE adalah j/kg, CAPE dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
Di mana: Tv : Temperatur Virtual Tvenv: Temperatur Virtual Lingkungan g : Gravitasi Zn : Ketinggian LFC Zf : Ketinggian Titik Keseimbangan CAPE sangat dominan dalam proses hujan konvektif. Kriteria terjadinya konvektif adalah tersedianya nilai CAPE yang relatif besar dan terjadinya pengangkatan masa awal di dekat permukaan atau boundary layer (Satiadi D, dkk,. 2004). Nilai kebalikan dari CAPE adalah CIN atau Convective Inhibition CIN adalah area negatif, dalam area ini parsel udara membutuhkan energi dari luar untuk dapat terangkat, CIN atau CIHN disebut juga energi penghambat konvektif. Secara teori proses yang menyebabkan hujan yang disebabkan oleh proses konvektif, terbagi menjadi dua yaitu, adanya pemicu pengangkatan uap air dan pelepasan energi potensial serta formasi dari hujan. Tingkat kestabilan dari atmosfer biasanya dikerakteristikkan dari nilai CAPE, dan nilai CAPE sangat berhubungan dengan keadaan permukaan terutama suhu dan kelembaban (El Tahir, Pal, 1996). Tabel 1. Nilai CAPE Terhadap Kestabilan Convective Available Potential Energy (CAPE) (J/kg) 0 - 999 Marginal Instability 1000-2500 Moderate Instability 2500-4000 Strong Instability > 4000 Extreme Instability Sumber: www.UKAgriculturalWeather Center.Co.Edu.2007. 2.6. Radiosonde dan RAOB Hasil dari radisonde merupakan gambaran dari keadaan suhu atmosfer, bukan merupakan keadaan dari suatu parsel udara. Kurva sounding merupakan profil suhu lingkungan yang melingkupi parsel udara tersebut. Kurva suhu lingkungan hasil radiosonde terbagi menjadi dua yaitu kurva (T) suhu dan (Td).
4
Hasil kurva sounding dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu: Stabil, tidak stabil dan stabil bersyarat. Sounding yang stabil menunjukan tidak terdapat energi untuk pengangkatan parsel dalam atmosfer sebaliknya pada sounding yang tidak stabil tersedia energi yang besar untuk terjadi pengangkatan parsel. Pada stabil bersyarat terdapat energi positif (angkat) dan energi negatif dalam hasil sounding tersebut. RAOB adalah singkatan dari Rawinsonde Observation Program. Perangkat lunak ini digunakan untuk menganalisis hasil dari radiosonde secara digital. Dalam program ini hasil radiosonde dapat langsung diplotkan ke dalam grafik aerologi. Grafik aerologi yang digunakan dapat berupa skew T/log P, Emagram ataupun Thepigram. RAOB menyediakan aplikasi dalam menganalisis dan memprediksi keadaan cuaca. Berikut beberapa aplikasi yang digunakan dalam penelitian ini: 2.6.1. Significant level Analisis ini merupakan aplikasi program dalam menentukan level atau lapisan penting dalam pergerakan sebuah parsel udara. Dalam analisis ini program akan mensimulasikan pergerakan dari sebuah parsel udara. Proses simulasi dapat dilakukan dengan beberapa pilihan dalam menentukan kondisi dan parameter awal dari parsel. Penentuan kondisi awal dari parsel ditetukan dalam pilihan LPL (Lifted Parcel Level), LPL merupakan lapisan awal parsel mulai terangkat. Level ini akan menjadi dasar awal pengangkatan parsel yang akan disimulasikan. Pilihan dalam menentukan ketinggian lapisan ini, yaitu: 1. Surface (permukaan), dalam pilihan ini LPL akan ditentukan dari permukaan sehingga kondisi parsel akan diperoleh dari data permukaan sounding tersebut. 2. Most Unstable (or Best) Level, dalam pilihan ini LPL akan ditentukan oleh program secara otomatis berdasarkan nilai potensial terbesar temperatur bola basah (Tw). Diperlukan input ketebalan lapisan yang harus dianalisis program dalam menentukan level tersebut. Ketebalan yang umum digunakan adalah 150 mb. 3. Lower xxx mb, dalam pilihan ini LPL dan kondisi awal parsel akan diperoleh dari rata-rata temperatur dan temperatur bola basah dalam ketebalan lapisan yang dipilih.
4. Multiple prompt, dalam pilihan ini LPL akan ditentukan berdasarkan input yang diberikan. 2.6.2. Pericipitable Water (PW) Nilai Pericipitable Water (PW) merupakan jumlah dari uap air di dalam atmosfer. Nilai PW diperoleh dari integrasi kelembaban spesifik lapisan udara, nilai ini diperoleh dengan menggunakan rumus:
Di mana: : Masa jenis air ρ w
g q
: Gravitasi : Kelembaban spesifik dari lapisan P1 dan P2
Nilai PW dalam program RAOB ditampilkan dalam bagian analisis dengan sebutan Water dalam satuan cm dan merupakan total uap air yang tersedia dalam kolom udara tersebut. 2.6.3. Analisis-analisis Lainnya Terdapat variabel-variabel lain yang disediakan dalam menganalisis kurva sounding dalam aplikasi RAOB, analisis tersebut salah satunya adalah Cross section. Dalam pilihan tampilan terdapat pilihan Cross section dalam aplikasi ini tampilan dari pilihan analisis akan menjadi kontur yang menghubungkan nilai variable anlisis yang sama dari beberapa sounding. Terdapat dua jenis Cross section yaitu waktu dan wilayah, dengan pilihan ini dapat terlihat kerakteristik sebaran variable analisis yang diinginkan dalam jangka waktu atau luas wilayah tertentu. 2.7. Struktur Klimatologi Daerah Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng berada pada ketinggian 8 meter di atas permukaan laut, secara Geografis berada di 06º07’00” LS 106º39’00” BT termasuk kedalam provinsi Banten dan berdekatan dengan teluk Jakarta. Iklim daerah tersebut dipengaruhi oleh faktor pantai dan lautan. Sepanjang tahun daerah ini memiliki kelembaban udara yang besar, dengan ratarata RH bulanan 70-80%. Kelembaban udara rata-rata pada wilayah ini sebesar 78% Nilai RH rata-rata bulanan terbesar terjadi pada bulan Juli dan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus. Berikut
5
kelembaban relatif rata-rata bulanan selama 17 tahun tahun 1985-2002 (Gambar 4)
yang paling aktif di dunia (Setiadi dkk, 2007).
Gambar 4. Kelembaban Relatif (RH) Ratarata Wilayah Bandar Udara Soekarno Hatta.
Gambar 6. Curah Hujan wilayah Bandar Udara Soekarno-Hatta.
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan Oktober 2009 di Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor. Gambar 5. Perbandingan Kelembaban Relatif (RH) Antara RH Pukul 07:00 WIB dengan Pukul 18:00 WIB Wilayah Bandar Udara Soekarno Hatta. Curah hujan rata-rata daerah ini sebesar 140 mm yang tersebar dengan pola monsunal. Dalam bulan Desember, Januari, Februari terjadi musim dingin di belahan bumi Utara dan musim panas di belahan bumi Selatan, sehingga terjadi pusat tekanan tinggi di wilayah Asia dan sebaliknya pusat tekanan rendah di wilayah Australia. Perbedaan tekanan ini menyebabkan angin berhembus dari wilayah Asia menuju Australia atau dikenal dengan angin monsoon barat, angin tersebut kaya akan uap air dan membawa hujan pada jalur yang dilewatinya. Sebalik nya pada monsoon timur wilayah Australia mengalami musim panas dan wilayah Asia mengalami musim dingin sehingga terjadi mekanisme yang berkebalikan. Dikutip dalam Wu et al (2003) secara umum iklim di Indonesia lebih ditentukan oleh variasi curah hujan, dikarenakan variasi suhu yang terjadi di Indonesia jauh lebih kecil jika dibandingkan variasi curah hujan. Indonesia juga merupakan wilayah konvektif
3.2. Alat dan Bahan Data dan alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Data sounding tahun 2007-2008 dari wilayah Cengkareng, Bandar Udara Soekarno Hatta, Banten jawa Barat. Data curah hujan dan unsur iklim lain stasiun cuaca wilayah objek kajian. Perangkat lunak RAOB seri 0.57. Litratur-literatur yang menunjang anlisis penelitian ini. Selain itu digunakan peralatan umum lain seperti seperangkat Personal Computer, (Data yang digunakan merupakan data mentah Raw) dari radiosonde stasiun cuaca bandar udara Soekarno-Hatta yang diperoleh www.wyoming.edu untuk tahun 2007-2008. 3.3. Metode Penelitian Penelitaian ini terbagi menjadi 3 tahap, yang terdiri dari : Pengolahan data menggunakan RAOB, hasil yang diperoleh antara lain LCL, LFC, CCL, PW dan CAPE Pemilahan Data. Analisis secara keseluruhan, termasuk mencari korelasi antara data sounding dengan data cuaca stasiun yang ada dan